You are on page 1of 40

1

BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA

1.1

Definisi Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendiks verniformis dan

merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran apendiks yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika apendiks yang terinfeksi perforasi (Bailey dan Love, 2008).

1.2

Embriologi Apendiks Apendiks berasal dari usus tengah. Perkembangan usus tengah ditandai

dengan pemanjangan usus yang cepat dan mesenteriumnya sehingga terbentuk gelang usus primer. Pada bagian puncaknya, saluran usus tersebut tetap berhubungan langsung dengan kantung kuning telur melalui duktus vitellinus yang sempit. Bagian kranial saluran usus ini berkembang menjadi bagian distal duodenum, jejunum, dan bagian ileum. Bagian kaudal menjadi bagian bawah ileum, sekum, apendiks, kolon asendens, dan dua pertiga bagian proksimal kolon transversum. Sebagai akibat dari pertumbuhan yang cepat ini dan membesarnya hepar yang terjadi serentak, rongga abdomen untuk sementara menjadi terlalu kecil untuk menampung semua ekstraembrional usus dan gelung-gelung tersebut masuk ke rongga selom.

Gambar 1.1 Herniasi Usus Tengah

Serentak dengan pertumbuhan panjangnya, gelung usus primer berputar mengelilingi poros yang dibentuk oleh arteri mesenterika superior.

Gambar 1.2 Sumbu Rotasi yang Dibentuk Arteri Mesenterika Superior

Pada minggu ke-10, gelang usus yang mengalami herniasi mulai kembali ke dalam rongga perut. Ujung distal tunas sekum membentuk suatu divertikel yaitu apendiks primitif. Karena apendiks berkembang pada saat penurunan kolon, dapatlah dimengerti bahwa letaknya seringkali di retrocaecal (Langman, 2000).

Gambar 1.3 Rotasi Intestinal Normal

1.3

Anatomi Apendiks Apendiks berbentuk sepe1rti tabung sempit dan berongga yang terhubung

dengan sekum (Drake et al., 2010). Apendiks berukuran panjang 2-22 cm. Kumpulan folikel limfoid tersebar pada mukosa apendiks dan jumlah folikel tersebut meningkat pada usia 8-20 tahun (Craig, 2011) . Apendiks digantung dari ileum terminalis oleh mesoapendiks yang dilewati oleh arteri appendikularis. Lokasi apendiks bervariasi antara lain retrocaecal, retroileal, ileocaecal, ileoileal, pelvinal (Drake et al, 2010).

Gambar 1.4 Variasi Letak Apendiks

Apendiks adalah organ intraperitoneal dan tersusun dari serosa, lapisan otot luar yaitu otot longitudinal yang terbentuk dari fusi tiga taenia coli

diperbatasan antara sekum dan apendiks dan lapisan otot dalam berupa otot sirkular yang merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum. Di bawah lapisan otot sirkular terdapat lapisan submukosa yang mengandung jaringan limfoepitelial. Mukosa terdiri dari epitel kolumnar dengan sedikit sel kelenjar dan sel neuroendokrin argentafin (Craig, 2011).

Gambar 1.5 Jaringan Apendiks

Apendiks divaskularisasi oleh arteri appendikularis yang merupakan percabangan dari arteri ileokolika. Arteri ileokolika merupakan percabangan dari arteri mesenterika superior yang memvaskularisasi sekum sampai dengan dua pertiga proksimal kolon transversum. Vena apendiks bermuara di vena ileokolika yang melanjutkan diri ke vena mesenterika superior. Sistem limfatik apendiks mengalir ke limfenodi ileosekal. Persarafan apendiks berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesenterika superior. Serabut saraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri viseral dari apendiks berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke medula spinalis setinggi segmen torakal X karena itu nyeri viseral pada apendiks bermula di sekitar umbilikus (Fefendi, 2008).

Gambar 1.6 Vaskularisasi Apendiks

Apendiks pada dewasa berpangkal pada sekum, lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaaan ini menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada umur itu tinggi (Samsuhidajat dan de Jong, 2005).

1.4

Fisiologi Apendiks Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir di muara apendiks

tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymfoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA. Immunoglubulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di

apendiks sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya terus meningkat selama masa pubertas dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit.

1.5

Insidensi Selama kehidupan insidensi terjadinya apendisitis pada laki-laki adalah

12% sedangka pada wanita adalah 25%, sekitar 7% dari semuanya menjalani operasi apendisitis akut ( Schwartz, 2008). Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Diagnosa apendisitis pada kelompok usia muda
biasanya sangat sulit dilakukan mengingat penderita usia muda sulit melukiskan perasaan sakit yang dialaminya, sehingga kejadian apendisitis pada usia muda lebih sering diketahui setelah terjadi perforasi. Insidens tertiggi pada kelompok umur 20-

30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan wanita umumnya sebanding, kecuali umur 20-30 tahun, insidens laki-laki lebih tinggi (Samsuhidajat dan de Jong, 2005).

1.6

Etiologi Apendisitis dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain bakteri dan

sumbatan lumen apendiks. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris. Penyebab lain yang diduga menyebabkan apendisitis ialah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti Entamoeba histolytica (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005). Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional

apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora kolon biasa. Semua hal tersebut akan mempermudah timbulnya apendisitis (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

1.7

Patologi Proses patologi pada apendiks sering kali disebabkan adanya obstruksi

lumen apendikuler oleh fekalit. Hal tersebut menyebabkan nekrosis tekanan pada mukosa dan invasi bakteri pada dinding apendikuler. Penyebab lain dari obstruksi meliputi elongasi apendiks atau apendiks yang berbelit, adesi, dan neoplasma seperti karsinoma namun jarang ditemukan (Toy et al., 2008). Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa apendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa apendikuler akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

Gambar 1.7 Patofisiologi Peri Apendikuler Infiltrat

Gambar 1.8 Patologi Apendiks

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi pada apendisitis oleh karena gangguang pembuluh darah. Gangren dan perforasi lebih banyak terjadi pada orang tua berumur lebih dari 60 tahun dan mungkin terjadi akibat diagnosis apendisitis yang terlambat (Toy et al., 2008).

10

1.8

Bakteriologi Populasi bakteri pada apendiks mirip dengan bakteri yang terdapat pada

kolon. Pada apendiks bakteri tetap sepanjang hidup terkecuali Porphyromonas gingivalis. Bakteri ini hanya terdapat pada usia dewasa. Bakteri pada apendisitis perlu dikultur karena memiliki kemiripan pada infeksi usus seperti divertikulitis. Jenis mikroorganisme yang sering terdapat pada kasus apendiks yang perforasi adalah E. coli dan Bacteroides fragilis. Apendisitis adalah infeksi polimikroba, dari beberapa kasus pernah dilaporkan sampai terdapat 14 jenis mikroba berbeda pada kasus perforasi (Schwartz, 2005).

Tabel 1.1

Mikroorganisme pada apendisitis

Perlu dilakukan pemeriksaan sampel rutin pada kasus apendisitis baik pada kasus perforasi atau tanpa perforasi. Antibiotik efektif dalam pencegahan infeksi luka pasca operasi dan abses intraabdomen dibatasi sampai 24-48 jam pada kasus tanpa perforasi. Sedangkan untuk apendisitis yang disertai perforasi diberikan 7-10 hari. Antibiotik IV diberikan sampai jumlah leukosit normal dan pasien tidak demam selama 24 jam (Schwartz, 2005).

1.9

Gejala Klinis Apendisitis biasanya dimulai dengan nyeri samar-samar, nyeri

periumbilikalis yang kolik atau nyeri epigastrium. Dalam 1 sampai 12 jam, tetapi biasanya dalam waktu 4 sampai 6 jam nyeri beralih ke kuadran kanan bawah yang dinyatakan sebagai nyeri menetap yang diperparah dengan berjalan atau

11

batuk. Pasien biasanya lebih suka berbaring terlentang. Jika diminta bergerak mereka melakukanya dengan hati-hati. Hampir semua pasien mengalami mual dengan satu atau dua episode muntah. Mual dan muntah yang berkepanjangan dimulai sebelum timbulnya rasa sakit menunjukkan diagnosis penyakit lain. Penderita kadang juga mengalami konstipasi dan pada beberapa kasus dilaporkan penderita mengalami diare. Demam kurang dari 38C khas terjadi pada apendisitis akut. Demam tinggi dapat mengarahkan ke diagnosis penyakit lain atau menunjukkan ada perforasi apendiks. Denyut nadi normal atau sedikit lebih tinggi (Schwartz, 2005). Menurut (Bailey dan Love, 2008), pada beberapa kasus letak apendiks juga mempengaruhi gejala yang muncul : a. Retrosekal Kekakuan dinding perut sering tidak ada, kadang palpasi dalam tidak menimbulkan nyeri pada kuadran kanan bawah. Kadang nyeri ditemukan pada pinggang dan terdapat kekauan pada daerah kuadratus lumborum Tanda psoas dapat positif karena kontak dengan otot psoas pada saat fleksi sendi panggul Hiperekstensi sendi panggul kadang dapat menimbuilkan nyeri

b. Pelvis Diare pada awal gejala karena apendiks kontak dengan rektum Jika letak apendik seluruhnya pada pelvis, nyeri pada titik Mc. Burney jarang didapatkan Dalam beberapa kasus nyeri tekan dapat terjadi di atas dan di sebelah kanan simfisis pubis Pada rectal touch bisa didapatkan nyeri pada retrovesikal atau kavum Douglas terutama di sisi kanan. Uji psoas dan obturator dapat positif Jika apendiks kontak dengan vesika urinaria dapat menyebabkan peningkatan frekuensi berkemih c. Posileal

12

Apendiks terletak di belakang ileum terminal Hal ini menyulitkan diagnosis, kadang dapat ditemukan diare dan muntah.

Nyeri tekan pada titik Mc. Burney kadang tidak jelas, walaupun demikian nyeri biasanya segera muncul di sebelah kanan umbilikus

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan : A. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit dan suhu tubuh masih tinggi, B. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda peritonitis, C. Hasil labolatorium masih terdapat leukositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri. Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda (masa afroid) ditandai dengan : A. Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi, B. Pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak ada tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan batas jelas dengannyeri tekan ringan. C. Hasil labolatorium hitung leukosit dan hitung jenis normal Pada kasus apendisitis kronis diagnosis baru ditegakkan jika dipenuhi semua riwayat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronis apendisitis secara makroskopik dan mikroskopik dan keluhan menghilang setelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendisitis kronis adalah fibrosis menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronis. Insiden apendisitis kronis ini sekitar 1-5% (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

1.10

Pemeriksaan Fisik Pada hari ketiga atau lebih, palpasi setelah serangan apendisitis akut akan

didapatkan teraba massa padat di regio iliaka dekstra dibawah muskulus yang

13

rigid sedangkan pada regio abdomen yang lain tidak didapati rigiditas atau massa padat tersebut. Massa juga dapat ditemukan pada pelvis (Ali dan Rafique, 2010). Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforata. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforata. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah (Pieter, 2005) .Apendisitis yang tidak terobati berlanjut dengan perforata dalam 48-72 jam; karenanya, lamanya gejalanya sangat penting dalam mengintepretasi tanda fisik dalam menentukan strategi pengobatan (Pieter, 2005). Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi tingkah laku pasien dan keadaan perutnya. Saat akut, pasien dengan apendisitis sering bergerak perlahan dan terbatas, membungkuk kedepan, dan sering dengan sedikit pincang. Pasien tersebut akan memegang kuadran kanan bawah dengan tangan dan enggan untuk naik ke meja periksa. Pada inspeksi, abdomen tampak rata (tidak ada benjolan). Perubahan warna dan bekas luka memar harus dipikirkan trauma perut. Perut kembung menunjukkan suatu komplikasi seperti perforata atau obstruksi. Auskultasi bisa menunjukkan bising usus normal atau hiperaktif atau bisa didapat bising usus hipoaktif ketika apendiks mengalami perforasi (Hartman, 2000). Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut. Kuadran kanan bawah (titik Mc.burney) harus dipalpasi terakhir setelah pemeriksa mempunyai kesempatan mempertimbangkan respons terhadap pemeriksaan kuadran yang seharusnya tidak nyeri. Titik Mc.burney adalah perpotongan lateral dan duapertiga dari garis yang menghubungkan spina iliaka superior anterior kanan dan umbilikus. Tanda fisik yang paling penting pada apendisitis adalah nyeri tekan menetap pada saat palpasi dan kekakuan lapisan otot rektus. Palpasi Abdomen pada anak, jika anak takut atau agitasi saat pemeriksaan sebelumnya, maka otot perut mungkin tegang keseluruhan sehingga membuat interpretasi temuan ini tidak dimungkinkan (Hartman, 2000). Pemeriksaan nyeri lepas harus dikerjakan

14

dengan hati-hati supaya bermakna. Palpasi perut yang dalam dan kemudian dilepaskan dengan tiba-tiba akan menyebabkan nyeri dan rasa takut terutama pada anak-anak dan hal ini tidak dianjurkan. Perkusi jari dengan lembut pada semua kuadran merupakan pemeriksaan pada semua kelompok umur tetapi terutama pada anak yang takut (Hartman, 2000).

Gambar 1.9 Titik Mc.Burney

Pemeriksaan colok dubur yang menyebabkan nyeri pada daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika (Pieter, 2005). Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri (Pieter, 2005).

15

Tabel 1.2. Pemeriksaan pada apendisitis

Rovsings sign Psoas sign atau Obraztsovas sign Obturator sign Dunphys sign Ten Horn sign Kocher (Kosher)s sign Sitkovskiy (Rosenstein)s sign Bartomier-Michelsons sign Aure-Rozanovas sign Blumberg sign

Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan. Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah. Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina. Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah. Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri Nyeri yang semakin bertambah pada kuadran kanan bawah pada pasien dibaringkan pada sisi kiri dibandingkan dengan posisi terlentang Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit trianglekanan (akan positif Shchetkin-Bloombergs sign) Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba

1.11

Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium Pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Pada apendisits akut leukosit mulai 10.000-18.000/mm3. Jika lebih dari 18.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforata. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika (Kartono, 1995). B. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan pencitraan yang mungkin membantu dalam mengevaluasi pasien dengan kecurigaan apendisitis adalah foto polos perut, ultrasonogram, enema barium, dan kadang-kadang CT scan. Temuan apendisitis pada foto perut

16

meliputi apendikolit yang mengalami kalsifikasi, usus halus yang distensi atau obstruksi, dan efek massa jaringan lunak (Hartman, 2000). Menurut Darmawan Kartono (1995) foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ileal atau caecal ileus (gambaran garis permukaan air-udara di sekum atau ileum). Patognomonik bila didapatkan gambaran fekalit. Foto polos pada apendisitis yang telah mengalami perforasi: a. Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran kanan bawah b. Penebalan dinding usus disekitar letak apendiks, seperti sekum dan ileum. c. Garis lemak pra peritoneal menghilang d. Skoliosis ke kanan e. Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan akibat paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi. C. USG (Ultra Sonografi) Dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan ukuran apendiks lebih dari normalnya (diameter 5 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan bawah seperti inflamatory bowel disease, divertikulitis sekal, divertikulum meckel, endometriosis dan pelvic inflamatory disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG. D. CT scan CT scan telah menjadi modalitas pilihan untuk mendiagnosis apendisitis dan lebih akurat dibandingkan USG. CT scan telah terbukti memiliki akurasi 97% dalam mendiagnosis apendisitis. CT scan dengan inflamasi apendiks tampak fekalit selain itu CT scan dapat mengevaluasi seluruh abdomen dan menemukan abses dan phlegmon. Kekuranganya pemeriksaan dengan CT scan adalah ketergantungan pada keterampilan operator, dan keakraban dokter dengan membaca CT scan. E. Pemeriksaan Barium Enema dan Kolonoskopi

17

Merupakan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma kolon. Temuan pada barium enema adalah temuan pengaruh massa pada sekum karena proses radang dan lumen apendiks tidak terisi atau terisi sebagian (Hartman, 2000). Tetapi untuk apendisitis akut, pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan ruptur apendiks.

1.12

Diagnosa Banding Diagnosa banding nyeri perut kanan bawah antara lain :

1. Gastroenteritis Musl, muntah dan diare dapat mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol 2. Demam dengue Dapat dimulai dengan sakit perut seperti peritonitis. Disini didapatkan hasil tes Rumpel Leede positif, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat 3. Crohns disease Tanda Crohns disease adalah diare, penurunan berat badan, dan benjolan dekat dengan garis midline. Untuk menunjang diagnosis Crohns disease, pemeriksaan penunjang memakai barium harus hati-hati karena dapat menyebabkan perforasi usus. 4. Limfadenitis mesenterika Biasanya didahului oleh enteritis atau gasgtroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan mual, nyeri tekan perut samar 5. Kista twisted ovarian Nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan terba masaa dalam ronga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Langkah diagnosis yang utama pada penyakit ini adalah pemeriksaan bimanual yang didukung dengan CT scan. 6. Kehamilan diluar kandungan Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yangbtidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahn

18

akan timbul nyeri mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik 7. Urolitiasis Batu ureter atau batu gunjal. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran khas. Eritrosituria sering ditemukan. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebra di sebelah kanan dan piuria. Diagnosa dengan foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan 8. Infeksi panggul Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dsn nyeri bagian bawah perut lebihbdifus, biasanya dapat disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina ditemkan nyeri hebat panggul jika uterus diayunkan 9. Penyakit saluran cerna lainnya Seperti divertikuliti Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, perforasi colon, karsinoid dan mukokel apendiks.

1.13

Tata Laksana Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah

apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindakan bedah sambil pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendektomi dapat dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya belum jelas sebaiknya dilakukan observasi dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi, tindakan laparoskopi diagnosis pada diagnosis yang meragukan akan segera menentukan akan dilakukan tindakan operasi atau tidak. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

19

Penggunaan ligasi ganda pada setelah apendektomi terbuka dilakukan dengan jahitan yang mudah diserap tubuh. Ligasi yang biasa dilakukan pada apendektomi adalah dengan purse string (z-stich atau tobacco sac) dan ligasi ganda. Pada keadaan normal, digunakan jahitan purse string. Ligasi ganda digunakan pada saat pembalikkan tunggul tidak dapat dicapai dengan aman, sehingga yang dilakukan adalah meligasi ganda tunggul dengan dua baris jahitan. Dengan peningkatan penggunaan laparoskopi dan peningkatan teknik laparoskopik, apendektomi laparoskopik menjadi lebih sering. Prosedur ini sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita. Beberapa studi mengatakan bahwa laparoskopi meningkatkan kemampuan dokter bedah untuk operas (Rahmawati et al., 2009).

Tabel 1.3 Macam insisi pada apendektomi

Insisi Grid Iron (McBurney Incision) Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi paralel dengan otot oblikus eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan spina liaka anterior superior kanan dan umbilikus.

20

Lanz transverse incision Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis miklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik dari pada insisi grid iron.

Rutherford Morissons incision (insisi suprainguinal) Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

Low Midline Incision Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.

Insisi paramedian kanan bawah Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas pubis.

21

1.14

Prognosis Prognosis mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah, dan

15% jika pecah pada orang tua. Kematian biasanya dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum ruptur dan antibiotik yang lebih baik Mc.Phee et al., 2007).

1.15

Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Baik berupa

perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum, dan lengkung usus (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

22

BAB 2. LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA Nama Jenis Kelamin Umur Pekerjaan Suku Agama Alamat No. Rekam Medik Tgl. MRS Tgl. KRS : Tn. M S : Laki-laki : 35 tahun : Tani : Madura : Islam : Krajan Sidodadi, Tempurejo Jember : 38.78.51 : 28 Mei 2012 : 5 juni 2012

ANAMNESIS Keluhan Utama Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang 10 hari SMRS : pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah, sebelumnya pasien mengeluh nyerinya di ulu hati. Nyerinya bersifat terus menerus, jika dipakai bergerak nyerinya meningkat. Pasien tidak muntah, tetapi mual, nafsu makan menurun, demam sumer-sumer. Oleh istri pasien diberi obat penurun panas dan antibiotik. 3 hari SMRS : pasien mengatakan terasa ada benjolan di perut kanan bawah sejak 3 hari yang lalu dan nyeri, sempat demam, muntah 2x. Pasien tidak mengalami penurunan berat badan. Pasien juga mengatakan sulit BAB sebelumnya tetapi bisa kentut, BAK normal. 2 hari sebelum MRS pasien sempat berobat ke PKM Tempurejo karena tidak tahan dengan nyerinya. Menurut pasien, di PKM pasien disuntik obat anti nyeri dan diberi antibiotik. Hari senin malam tanggal 28

23

Mei 2012 nyeri kambuh kembali, karena tidak tahan pasien lalu dibawa ke IGD RS dr. Soebandi.

Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada riwayat operasi sebelumnya, riwayat hipertensi dan riwayat DM disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti pasien.

Riwayat Pengobatan Pasien mendapat pengobatan di PKM Tempurejo. Di sana di beri obat suntik anti nyeri dan antibiotik

PEMERIKSAAN FISIK Senin, 28 April 2012, jam 21.00 WIB (H0) KU : Lemah VS : TD : 110/70 mmHg N : 78 x/menit Kesadaran: Compos mentis RR : 20 x/menit t : 36,7 C

Status Generalis Kulit : Dalam batas normal Kepala: Mata Hidung Telinga Mulut Leher: Dalam batas normal : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : tidak ada secret/bau/perdarahan : tidak ada secret/bau/perdarahan : bibir tidak sianosis, tidak ada pigmentasi, mukosa tidak pucat.

24

Thoraks: Cor: I: Ictus cordis tidak tampak P: Ictus cordis teraba di ICS IV MCL Sinistra P: Batas jantung ICS IV Parasternal dekstra sampai ICS V MCL sinistra A: S1S2 tunggal, extrasistol -, gallop -, murmur Pulmo: I: Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketertinggalan gerak P: Fremitus raba normal P: Sonor A: Vesikuler +/+, Ronkhi -/- Wheezing -/Abdomen: I: Flat A: Bising usus (+) normal P: Tympani, pekak hepar + P: Soepel, nyeri tekan +, defans muskular Ekstremitas: Akral hangat + + + + Status Lokalis: Regio inguinalis dextra Masa ukuran 3x2 cm, padat kenyal Nyeri tekan + Rebound phenomena + Psoas sign + RT : nyeri arah pukul 11 Oedem - - -

ASSESMENT Apendisitis kronis

25

PLANNING Cek Lab lengkap Infus RL 20 tpm Inj. Ceftriaxone 2x1 gr Inj. Metronidazol 3x500 gr Inj. Antrain 3x1 amp Diet bubur halus Posisi semi fowler

Selasa, 29 mei 2012, jam 05.00 WIB (H1 MRS) SUBJEKTIF : Nyeri perut kanan bawah

OBJEKTIF : KU : Cukup VS : TD : 110/80 mmHg N : 82 x/menit Status Generalis: K/L Thorak: : a/i/c/d : -/-/-/C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen: I: Flat A: Bising usus (+) normal P: Tympani, pekak hepar (+) P: Soepel, nyeri tekan (+), defans muskular (-) Ekstremitas: Akral hangat + + + + Oedem - - Kesadaran: Compos mentis RR : 20 x/menit t : 35,7 C

26

Status lokalis: Nyeri tekan + Masa ukuran 3x2 cm Rebound phenomena Psoas sign +

ASSESMENT : Apendisitis kronis

PLANNING : Infus RL 20 tpm Injeksi Ceftriaxone 2x1gr Injeksi Metronidazol 3x500 mg Inj. Antrain 3x1 Diet bubur halus Posisi semi fowler

Rabu, 30 mei 2012, jam 05.00 WIB (H2 MRS) SUBJEKTIF : Nyeri perut kanan bawah sudah berkurang

OBJEKTIF : KU : Cukup VS : TD : 110/80 mmHg N : 78 x/menit Status Generalis: K/L Thorak: : a/i/c/d : -/-/-/C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/Kesadaran: Compos mentis RR : 20 x/menit t : 35,8 C

27

P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen: I: Flat A: Bising usus (+) normal P: Tympani, pekak hepar (+) P: Soepel, nyeri tekan (+), defans muskular (-) Ekstremitas: Akral hangat + + + + Oedem - - -

Status lokalis: Nyeri tekan + Masa Rebound phenomena Psoas sign +

ASSESMENT : Apendisitis kronis

PLANNING : Infus RL 20 tpm Injeksi ceftriaxone 2x1gr Injeksi Metronidazol 3x500 mg Inj. Antrain 3x1 amp Diet bubur halus Posisi semi fowler Cek ulang lab

28

Kamis, 31 mei 2012, jam 05.00 WIB (H3 MRS) SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF : KU : Cukup VS : TD : 110/80 mmHg N : 72 x/menit Status Generalis: K/L Thorak: : a/i/c/d : -/-/-/C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen: I: Flat A: Bising usus (+) normal P: Tympani, pekak hepar (+) P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-) Ekstremitas: Akral hangat + + + + Oedem - - Kesadaran: Compos mentis RR : 20 x/menit t : 36,5 C

Status lokalis: Nyeri tekan Masa Rebound phenomena Psoas sign -

29

ASSESMENT : Apendisitis kronis

PLANNING : Infus RL 20 tpm Injeksi ceftriaxone 2x1gr Injeksi Metronidazol 3x500 mg Diet bubur halus Posisi semi fowler

Jumat, 1 Juni 2012, jam 05.00 WIB (H4 MRS) SUBJEKTIF : Diare cair

OBJEKTIF : KU : Cukup VS : TD : 110/80 mmHg N : 74 x/menit Status Generalis: K/L Thorak: : a/i/c/d : -/-/-/C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen: I: Flat A: Bising usus (+) meningkat P: Tympani, pekak hepar (+) P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-) Kesadaran: Compos mentis RR : 20 x/menit t : 36 C

30

Ekstremitas: Akral hangat + + + + Oedem - - -

Status lokalis: Nyeri tekan Masa Rebound phenomena Psoas sign -

ASSESMENT : Apendisitis kronik

PLANNING : Infus RL 20 tpm Injeksi ceftriaxone 2x1gr Injeksi Metronidazol 3x500 mg Diatab 3x1 Diet bubur halus Posisi semi fowler

31

Sabtu, 2 Juni 2012, jam 05.00 WIB (H4 MRS) SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF : KU : Cukup VS : TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit Status Generalis: K/L Thorak: : a/i/c/d : -/-/-/C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen: I: Flat A: Bising usus (+) normal P: Tympani, pekak hepar (+) P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-) Ekstremitas: Akral hangat + + + + Oedem - - Kesadaran: Compos mentis RR : 20 x/menit t : 36,8 C

Status lokalis: Nyeri tekan Masa Rebound phenomena Psoas sign -

32

ASSESMENT : Apendisitis kronis

PLANNING : Infus RL 20 tpm Injeksi ceftriaxone 2x1gr Injeksi Metronidazol 3x500 mg Diet bubur halus Posisi semi fowler

Minggu , 3 Juni 2012, jam 05.00 WIB (H5 MRS) SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF : KU : Cukup VS : TD : 110/80 mmHg N : 78 x/menit Status Generalis: K/L Thorak: : a/i/c/d : -/-/-/C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen: I: Flat A: Bising usus (+) normal P: Tympani, pekak hepar (+) P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-) Ekstremitas: Akral hangat + + + + Status lokalis: Oedem - - Kesadaran: Compos mentis RR : 20 x/menit t : 36,8 C

33

Nyeri tekan Masa Rebound phenomena Psoas sign -

ASSESMENT : Apendisitis kronis

PLANNING : Infus RL 20 tpm Injeksi ceftriaxone 2x1gr Injeksi Metronidazol 3x500 mg Diet bubur halus Posisi semi fowler

Senin, 4 Juni 2012, jam 05.00 WIB (H6 MRS) SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF : KU : Cukup VS : TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit Status Generalis: K/L Thorak: : a/i/c/d : -/-/-/C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen: I: Flat A: Bising usus (+) normal Kesadaran: Compos mentis RR : 20 x/menit t : 36,8 C

34

P: Tympani, pekak hepar (+) P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-) Ekstremitas: Akral hangat + + + + Oedem - - -

Status lokalis: Nyeri tekan Masa Rebound phenomena Psoas sign -

ASSESMENT : Apendisitis kronis

PLANNING : Infus RL 20 tpm Injeksi ceftriaxone 2x1gr Injeksi Metronidazol 3x500 mg Diet bubur halus Posisi semi fowler Pro apendektomi

35

LAPORAN OPERASI APENDEKTOMI Diagnosis Pre Operasi Diagnosis Post Operasi : Apendisitis kronis : Apendisitis kronis

Jenis Operasi appendiktomi, operasi sedang, elektif Informed Consent, iv line, Posisi supinasi, desinfeksi dengan Povidon Iodine, persempit dengan doek steril Incisi paramedian dextra, diperdalam lapis demi lapis sampai dengan membuka peritoneum Didapatkan apendiks meradang ukuran 5 x 0,5 cm, perforasi (-), pus (-), perlengketan (+), letak antesekal Dilakukan apendektomi Lapangan operasi ditutup lapis demi lapis operasi selesai

instruksi post op : * infus RL : D5 = 1 : 1 (1000 cc/24 jam) * inj. Ceftriaxone 2x1gr * inj. Antrain 2x1amp * Sadar baik MSS diet bebas

Gambar 2.1 Hasil operasi apendektomi

36

Selasa, 5 Juni 2012, jam 05.00 WIB (H7 MRS, H1 POST OP) SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF : KU : Cukup VS : TD : 110/70 mmHg N : 82 x/menit Status Generalis: K/L Thorak: : a/i/c/d : -/-/-/C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen: I: Flat A: Bising usus (+) normal P: Tympani, pekak hepar (+) P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-) Ekstremitas: Akral hangat + + + + Oedem - - Kesadaran: Compos mentis RR : 20 x/menit t : 36,4 C

Status lokalis:

Verban + ukuran 6x4 cm Darah Pus -

37

ASSESMENT : Apendisitis kronis post apendiktomi H1

PLANNING : Pro KRS Obat pulang : Cefixime 2x100 mg As. Mefenamat 2x500 mg Kontrol Poli Bedah tgl 9-6-2010

PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Laboratorium (28 Mei 2012) Hematologi Hb Lekosit Hematokrit Trombosit LED Faal Hati SGOT SGPT Faal Ginjal Serum Kreatinin BUN Urea Asam urat Elektrolit Natrium Kalium Klorid : 134,6 mmol/L : 43,36 mmol/L : 102,9 mmol/L (135-155 mmol/L) (3,5-5 mmol/L) (90-110 mmol/L) : 1,0 mg/dL : 11 mg/dL : 23 mg/dL : 3,6 mg/dL (0,6-1,3 mg/dl) (6-20 mg/dl) (10-50 mg/dl) (3,4-7 mg/dL) : 16 u/L : 19 u/L (10-35 u/L) (9-43 u/L) : 13,6 gr/dl : 7,3 x 109 /L : 41 % : 152 x 109 /L : 41/69 (13,4-17,1 gr/dL) (4,3- 10,3x 109/L) (38-42%) (150-450 x 109/L) (0-15 mm/jam)

38

Kalsium Kadar gula darah Sewaktu

: 1,92 mmol/L

(2,15-2,57 mmol/L)

: 116 mg/dL

(< 200 mg/dL)

Hasil Laboratorium (31 Mei 2012) Hematologi Hb Lekosit Hematokrit Trombosit LED : 14,1 gr/dl : 4,3 x 109 /L : 41 % : 194 x 109 /L : 4/8 (13,4-17,1 gr/dL) (4,3- 10,3x 109/L) (38-42%) (150-450 x 109/L) (0-15 mm/jam)

Hasil foto thoraks

Dalam batas normal Hasil USG : mendukung klinis peri apendikuler infiltrat

39

BAB 3. DAFTAR PUSTAKA

Ali, S., Rafique, H. M., Appendicular Mass Early Exploration vs Conservative Management. 2010. Khanewal: Professional Medical Jurnal. Arshad, M., Aziz, L. A., Qasim, M., Talpur, K. A. H. Early Appendictomy in Appendicular Mass. 2008. Pakistan: University of Medical and Health Sciences. Bailey, H., Love, M.N. Bailey and Loves Short Practice of Surgery. Ed.25. 2008. London : Hodder Arnold. De Jong, Sjamsuhidajat. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC. Garba, E. S., Ahmed, A. Management of Appendicular Mass. 2008. Nigeria: University Teaching Hospital Zaria. Jordan., J. S., Kovalcik, P. J., Schwab, C. W. Appendicitis with Palpable Mass. 1980. Virginia: Naval Regional Medical Centre. Kristensen, E. S. M. D., Ivan, H. V. I. D., The Appendiceal Mass Results of Conservative Management. 1982. Denmark: University of Aarhus. Mc. Phee, S. J. Current Medical Diagnosis and Treatment. Ed. 46. 2007. California: The Mc. Priyatno, J. E. Kontroversi Pengelolaan Apendikuler Infiltrat. 1992. Semarang : Universitas Diponegoro

Sadler, T. W. Embriologi Kedokteran Langman. Ed. 7. 2000. Jakarta: EGC. Graw Hill Companies.

40

Schwartzs. Principles of Surgery Part I. Eight Edition. 2005. California: The Mc. Graw Hill Companies. Tahir, S., Edin, Pak, Shuja, A. Appendicular Mass/Abscess.

You might also like