You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Hingga saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar berbasis fosil sebagai sumber energy. Data yang didapat dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa dengan persediaan minyak mentah di Indonesia yaitu sekitar 9 miliar barrel dan dengan laju produksi ratarata 500 juta barrel pertahun, persediaan itu akan habis selama 18 tahun. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan memenuhi persyaratan lingkuungan global, satu-satunya cara adalah dengan pengembangan bahan bakar alternative ramah lingkungan. Kebutuhan biodiesel Indonesia terus meningkat tiap tahunnya.

Peningkatan kebutuhan biodiesel Indonesia tiap tahun dan proyeksi kebutuhan biodiesel Indonesia hingga tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Kebutuhan Tiap Tahun dan Proyeksi Kebutuhan Biodiesel Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Kebutuhan biodiesel (juta kiloliter) 0 0.22 0.88 1.06 1.25 1.44 1.63 1.82 2.01 2.20

(Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, 2007)

Komoditas perkebunan penghasil minyak nabati di Indonesia yang dapat di manfaatkan sebagai bahan baku biodiesel cukup banyak, diantaranya minyak kelapa sawit, minyak kelapa dan jarak pagar. Salah satu minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku adalah minyak kelapa sawit atau yang lebih dikenal dengan nama CPO (Crude Palm Oil). Produksi CPO di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun. Sebagai produsen CPO terbesar yang kedua di dunia, Indonesia sangat potensial sebagai produsen biodiesel dengan memanfaatkan minyak yang berbasis sawit. Oleh karena itu, pembangunan industry biodiesel berbahan baku minyak sawit sangat cocok dan ideal bila didirikan di Indonesia untuk memenuhi permintaan dalam negeri dan permintaan dunia akan biodiesel.

1.2

Metil Ester (Biodiesel) Metil ester asam lemak adalah senyawa yang berumus molekul

Cn-1H2(n-1)CO-OCH3 dengan nilai n yang umum adalah angka genap diantara 8-24 dan nilai r (jumlah ikatan rangkap) lazimnya 0 sampai 3. Pada awalnya metal ester dan turunannya dapat digunakan sebgai surfaktan untuk bahan makanan dan non makanan. Beberapa industry hilir menggunakan metal ester sebagai bahan kosmetika, deterjen, sabun mandi, farmasi, plastic dan barang dari karet. Namun dalam dua decade terakhir, metal ester direkomendasikan sebagai komponen minyak diesel alternative atau yang lebih dikenal dengan nama biodiesel. Biodiesel adalah bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak diesel/solar. Secara kimia biodiesel termasuk dalam golongan monoalkil ester atau metal ester dengang panjang rantai karbon antara 12 sampai 20 yang mengandung oksigen. Biodiesel memiliki sifat fisika dan kimia yang sama dengan petroleum diesel sehingga dapat digunakan langsung pad mesin diesel atau dicampur dengan petroleum diesel. Walaupun kandungan kalori biodiesel serupa dengan petroleum diesel, tetapi karena biodiesel mengandung oksigen, maka flash pointnya lebih tinggi jadi tidak mudah terbakar. Disamping itu biodiesel tidak mengandung sulfur dan senyaw benzene yang bersifat karsinogenik sehingga biodiesel

merupakan bahan bbakar yang lebih bersih dan mudah ditangani daripada petroleum diesel. Kelebihan biodiesel dibandingkan dengan petroleum diesel antar lain: Merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang jauh lebih baik (free sulfur dan smoke number rendah). Merupakan renewable energy karena terbuat dari bahan terbarukan. Biodiesel lebih aman dan tingkat toksisitasnya 10 kali lebih rendah dibandingkan petroleum diesel. Biodiesel tidak menambah efek rumah kaca seperti halnya petroleum diesel karena emisi yang dihasilkan dapat terurai secara alamiah (biodegradable). Mereduksi polusi tanah serta melindungi kelestarian perairan dan sumber air minum.

1.3

Metoda Pembuatan Metil Ester (Biodiesel) Berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati maka proses

pembuatan biodiesel secara komersial dibedakan menjadi 2 yaitu : 1. Transesterifikasi dengan katalis basa (sebagian besar menggunakan kalium hidroksida) untuk bahan baku refined oil atau minyak nabati dengan kandungan FFA rendah. 2. Esterifikasi dengan katalis asam (umumnya menggunakan asam sulfat) untuk minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi dilanjutkan dengan transesterifikasi dengan katalis basa Proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan jika minyak nabati mengandung FFA di atas 5%. Jika minyak berkadar FFA tinggi (>5%) langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup besar dapat menghambat pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya emulsi selama proses pencucian (Hikmah, 2010).

1.3.1

Transesterifikasi Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi

dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty Acid Metil Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester dapat dilihat pada Gambar 1.2 (Destianna, 2007).

Gambar 1.2 Reaksi Transesterifikasi dari Trigliserida Menjadi Ester Metil AsamAsam Lemak (Destianna, 2007)

Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat (Mittlebatch,2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi. Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah ester metil asam-asam lemak. Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah produk, yaitu: a. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi b. Memisahkan gliserol c. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi eksoterm).

Biodiesel mentah (kasar) yang dihasilkan proses transesterifikasi minyak (atau esterifikasi asam-asam lemak) biasanya masih mengandung sisa-sisa katalis, metanol, dan gliserol atau air. Untuk memurnikannya, biodiesel mentah tersebut bisa dicuci dengan air, sehingga pengotor-pengotor tersebut larut ke dalam dan terbawa oleh fase air pencuci yang selanjutnya dipisahkan. Porsi pertama dari air yang dipakai mencuci disarankan mengandung sedikit asam/basa untuk menetralkan sisa-sisa katalis. Biodiesel yang sudah dicuci kemudian dikeringkan pada kondisi vakum untuk menghasilkan produk yang jernih (pertanda bebas air) dan bertitik nyala 100 oC (pertanda bebas metanol) (Destianna, 2007).

1.3.2

Esterifikasi Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester.

Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat dan, karena ini, asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial (Soerawidjaja, 2006). Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah (misalnya paling tinggi 120C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikhiometrik) dan air produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam. Reaksi esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 1.3 (Destianna, 2007).

Gambar 1.3 Reaksi Esterifikasi (Destianna, 2007)

Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka-asam 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu (Destianna, 2007).

1.4

Ketersediaan CPO Ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri biodiesel sawit secara

umum tidak mengkhawatirkan. Dalam perjalanan sejarah-nya, melalui proyekproyek pembangunan maupun swadaya masyarakat, perkebunan kelapa sawit telah berkembang sangat pesat. Pada tahun 1968, luas areal yang baru 1,2 juta ha menjadi 6,074 juta ha pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 6,51 juta ha (Tabel 1.2) Selain pertumbuhan areal yang cukup pesat tersebut, hal lain yang lebih mendasar lagi adalah penyebarannya, yang semula hanya ada pada 3 provinsi saja di Sumatera (dari 27 provinsi), tetapi saat ini telah tersebar di 19 provinsi di Indonesia (dari 33 provinsi). Sumatera masih memiliki areal terluas di Indonesia, yaitu mencapai 74,87% diikuti Kalimantan dan Sulawesi, masing-masing 21,35% dan 2,40%. Komposisi pengusahaan kelapa sawit juga mengalami perubahan, yaitu dari sebelumnya hanya perkebunan besar, tetapi saat ini telah mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Pada tahun 2005, luas areal PR sekitar 2,86 juta ha (40,44%), PBN 718 ribu ha (11,58%) dan PBS 2,94 juta ha (47,98%) (Ditjenbun, 2007). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kelapa sawit juga mengalami peningkatan, dari hanya 181 ribu ton CPO pada tahun 1968 menjadi 15,9 juta ton pada tahun 2006 dan tahun 2007 diperkirakan 16,5 juta ton, dengan komposisi PR memberi andil produksi CPO sebesar 6,83 juta ton (31,11%), PBN sebesar 2,82 juta ton (16,46 %) dan PBS sebesar 6,85 juta ton (52,43%). Produksi

tersebut dicapai pada tingkat produktivitas PR sekitar 2,86 ton CPO/ha atau setara 13,61 ton TBS (tandan buah segar)/ha, PBN 3,57 ton CPO/ha atau setara 16,98 ton TBS/ha dan PBS 3,51 ton CPO/ha atau sekitar 16,69 ton TBS/ha. Produktivitas perkebunan kelapa sawit di Sumatera relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Kalimantan dan Sulawesi. Selain faktor kesesuaian lahan yang lebih baik juga usaha perkebunan di Sumatera yang telah terlebih dulu berkembang dan lebih berpengalaman. Produksi perkebunan kelapa sawit Indonesia diperkirakan masih akan terus meningkat di masa datang, yang berasal dari TBM saat ini dan dari pengoptimalan TM yang telah ada. Tabel 1.2 Ketersediaan Bahan Baku CPO Tahun 2006

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2007) 1.5 Peta Sebaran Industri Biodiesel Industri biodiesel sawit telah didirikan di beberapa daerah di Indonesia mulai dari yang skala kecil, sedang, maupun besar. Yang paling besar adalah pabrik di Cikupa, Banten dan Gresik, Jawa Timur yang dimiliki oleh Eterindo Wahanatama, Tbk yang berkapasitas produksi sebesar 100.000 ton per tahun. Berikutnya adalah pabrik biodiesel milik PT. Sumi Asih yang berkapasitas 36.000 ton per tahun yang terletak di Bekasi, Jawa Barat. PT. Ganesha Energy membangun pabrik biodiesel berskala menengah di Bekasi dengan kapasitas 6.000 ton/tahun. Di berbagai tempat terdapat pihak-pihak yang mengembangkan

pabrik biodiesel skala kecil yang berkapasitas 0,5 ton sampai dengan 3 ton/hari. Yang membangun pabrik dengan kapasitas 0,5 ton/hari antara lain adalah PT. Pindad, PT. Tracon Indonesia, Institut Teknologi Bandung. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan membangun pabrik biodiesel berkapasitas 1 ton/ hari, PT. Energi Alternatif Indonesia 1,5 ton/hari dan BPPT membangun pabrik berkapasitas 3 ton/hari. Namun data lain Tim Nasional Pengembangan BBN pada April 2007 sudah terdapat beberapa perusahaan yang sudah mendirikan atau berencana mendirikan industri biodiesel dengan kapasitas total 620.000 ton/tahun (Tabel 1.3). Tabel 1.3 Industri biodiesel di Indonesia pada 2007

BAB III DESKRIPSI PROSES


Perancangan pabrik biodiesel dari PFAD akan digunakan proses 2 tahap (Esterifikasi dan Trans-esterifikasi). PEmilihan proses ini berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu (Zandi,2007) : 1. Proses satu tahap dapat tidak efisien karena produk yang dihasilkan kemungkinan jauh dari spesifikasi yang diharapkan. 2. Proses dua tahap dapat menghasilkan yield yang besar dan menghasilkan produk dengan spesifikasi yang diharapkan, karena yang dikonversi menjadi biodiesel tidak hanya asam lemak saja tapi trigliseridanya juga dikonversi menjadi biodiesel. Reaktan yang digunakan untuk PFAD adalah methanol dengan alas an methanol lebih ekonomis dibandingkan dengan etanol. Sedangkan katalis yang digunakan adalah katalis homogen (cair) berupa katalis asam dan katalis basa. Katalis asam yang digunakan adalah Asam Sulfat (H2SO4) dan katalis basa yang digunakan adalah Natrium Hidroksida (NaOH). Proses pembuatan biodiesel dari PFAD dapat dilihat pada Gambar 2.1

PFAD Reaktor I

Biodiesel H2SO4 Air FFA Separator

Biodiesel FFA Reaktor II Biodiesel NaOH Air Gliserol Sabun FFA Separator

H2SO4 H2SO4 Metanol Tangki Pencampuran I Metanol NaOH Metanol Tangki Pencampuran II

Destilasi

Metanol H2SO4, NaOH Air, Gliserol Sabun, FFA

Biodiesel

Gambar 2.1 Blok Diagram Pembuatan Biodiesel dari PFAD

2.1

Persiapan Bahan Baku Pada persiapan bahan baku, PFAD yang akan digunakan dipanaskan

terlebih dahulu dalam sebuah tangki hingga suhunya mencapai 70oC. Pemanasan bertujuan supaya PFAD mencair.

2.2

Reaksi Esterifikasi PFAD yang telah dipanaskan dan telah mencair dipompakan ke dalam

reactor esterifikasi. Reaksi esterifikasi berlangsung dalam Reaktor Alir Tangki Berpengaduk (RATB) dengan suhu 70oC dan tekanan 1 atm. Ke dalam reaktor juga diumpankan metanol sebagai reaktan dan katalis H2SO4. Reaksi esterifikasi ini bertujuan untuk mengubah asam lemak bebas yang terkandung dalam PFAD menjadi ester dengan konversi 98% (Chongkhong, 2007). Sebelum masuk reaktor trans-esterifikasi, kadar air, H2SO4, dan metanol yang masih tersisa dalam produk esterifikasi harus dipisahkan dengan proses separasi gravitasi, karena air yang terkandung dapat mengganggu proses selanjutnya yaitu dapat mengkonsumsi katalis basa pada proses trans-esterifikasi. Alat yang akan digunakan pada proses separasi ini adalah dekanter. Produk atas

dari dekanter dikirim ke reaktor trans-esterifikasi. Reaksi esterifikasi dapat dilihat pada reaksi berikut. Katalis asam

RCOOH + CH3OH

RCOOCH3 + H2O

2.3

Reaksi Transeterifikasi Reaksi trans-esterifikasi merupakan reaksi antara trigliserida dengan

alkohol menghasilkan metil ester dan gliserol dengan konversi hingga 98% (Hambali dkk, 2007). Pada proses trans-esterifikasi ditambahkan methanol berlebih supaya tidak terjadi reaksi berbalik ke kiri. Pada reaksi trans-esterifikasi katalis yang digunakan adalah NaOH yang telah dicampur terlebih dahulu dengan metanol sebelum masuk ke reaktor transesterifikasi. Lama reaksi pada tahap ini adalah 30 menit dengan suhu 70 oC dan tekanan 1 atm. Reaksi trans-esterifikasi dapat dilihat pada reaksi berikut. Katalis asam Trigliserida + 3 metanol Biodiesel + Gliserol Hasil reaksi di reaktor trans-esterifikasi dipisahkan dengan cara dekantasi di dekanter dan terbentuk dua lapisan yaitu fasa gliserol (gliserol, metanol, sodium hidroksida, sabun) dan fasa ester (metil ester, minyak yang tidak bereaksi, metanol, sabun).

2.4

Permurnian Biodiesel Lapisan bagian atas dari dekanter yaitu lapisan fasa ester masuk ke kolom

pencuci untuk memisahkan biodiesel dengan impurities (metil ester, minyak yang tidak bereaksi, metanol, sabun) yang ada. Pencucian fasa ester menggunakan airhangat dalam kolom pencuci. Kemudian dialirkan ke dekanter, lapisan bawah dari dekanter dialirkan ke kolom destilasi dan lapisan atas dialirkan ke vacuum dryer.

2.5

Recovery Metanol Aliran bawah dari dekanter dimasukkan ke kolom destilasi. Produk utama

dari destilasi yaitu metanol. Metanol yang telah teruapkan kemudian dikondensasikan dan dialirkan kembali ke tangki penyimpanan metanol untuk digunakan pada proses selanjutnya. Hasil lain dari kolom destilasi yait gliserol, sabun, NaOH sisa, H2SO4 menjadi limbah dari pabrik ini.

BAB III ANALISA EKONOMI


3.1 Biaya Peralatan Harga peralatan pada tahun pendirian pabrik ditentukan dengan menggunakan indeks harga Chemical Engineering Plant Cost Index (CEPCI). Penentuan harga peralatan pada kapasitas yang sama pada tahun yang berbeda dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Dimana: Cp Co Ip Io : Harga alat yang dicari : Harga alat yang diketahui, pada tahun sebelumnya : Indeks harga alat yang dicari : Indeks harga alat yang diketahui

Direncanakan pembelian peralatan pada tahun 2013 (pendirian pabrik). Indeks harga tahun 2013 dihitung dengan menggunakan metode eksponensial. Dari perhitungan diperoleh indeks harga untuk tahun 2013 adalah 508.

Tabel 3.1 Chemical Engineering Plant Cost Index Year 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 Index 261 297 314 317 323 325 318 324 343 355 358 361 Year 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Index 358 359 368 381 382 387 390 391 394 394 396 402 Year 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Index 444 468 500 459 467 475 483 491 499 508 516 525

DAFTAR PUSTAKA
Chongkhong., S., dkk. 2007. Biodiesel Production by Esterification of Palm Fatty Acid Distillate. http://www.energy-based.nrct.go.th [viewed : 3 November 2007]. Coulson & Richardson,. Destianna, M., 2007, Intensifikasi Proses Produksi Biodiesel, Institut Teknologi Bandung & PT. Rekayasa Industri: Bandung. Fadlah, R., 2009, Pra Rancangan Pabrik Unit Pemurnian Metil Ester Hasil Tranesterifikasi Menjadi Biodiesel Sawit dengan Kapasitas 100 Ton/Hari, Universitas Sumatera Utara: Medan. Hambali, Erliza, dkk. 2007. Teknologi Bio Energi. Agro Media : Jakarta. Hikmah, Zuliana, 2010, Pembuatan Metil Ester (Biodiesel) Dari Minyak Dedak Dan Metanol Dengan Proses Esterifikasi Dan Transesterifikasi, Universitas Diponegoro : Semarang Kompas, 2012, Harga CPO Menguat 4,1 Persen, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/08/14332325/Harga.CPO .Menguat.4.1.Persen., [Viewed: 28 Desember 2012] Peters, M.,S., et al, 2003, Plant Design and Economics for Chemical Engineers Fifth Edition, New York: McGraw Hill. Seider, W., D. et al, 2010, Product and Process Design Principles Synthetis, Analysis, and Evaluation Third Edition, John Wiley & Sons, 1nc. Soerawidjaja, Tatang H. Fondasi-Fondasi Ilmiah dan Keteknikan dari Teknologi Pembuatan Biodiesel. Handout Seminar Nasional Biodiesel Sebagai Energi. Toko Kimia Indonesia, 2012, Daftar dan Price List Bahan-bahan Kimia yang kami jual, .., [viewed: 28 Desember 2012] Turton, R., et al, 2009, Analysis, Syntesis, and Design of Chemical Processes Third Edition, Prentice Hall International Series. Zandi, Agustinus. 2007. Intensifikasi Proses Produksi Biodiesel. Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa ITB Bidang Energi : Bandung.

You might also like