You are on page 1of 4

Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 APA SEKUEN STRATIGRAFI? Sekuen stratigrafi secara sederhana dapat diartikan sebagai cabang stratigrafi yang mempelajari paket-paket sedimen yang dibatasi oleh bidang ketidakselarasan atau bidang lain yang korelatif dengan bidang ketidakselarasan tersebut. Analisis sekuen stratigrafi akan menghasilkan kerangka kronostratigrafi dari endapan yang dianalisa. Kerangka itu selanjutnya dapat dipakai untuk mengkorelasikan dan memetakan fasies-fasies yang ada dalam endapan yang dianalisis. Sekuen stratigrafi merupakan ancangan stratigrafi modern yang memanfaatkan sejumlah metoda dan konsep yang telah ada sebelumnya, terutama biostratigrafi, seismik stratigrafi, kronostratigrafi, dan sedimentologi. Perlu ditekankan disini bahwa konsep litostratigrafi tidak memberikan sumbangan yang berarti dalam pengembangan konsep dan metoda sekuen stratigrafi. Satuan litostratigrafi ditentukan berdasarkan kesamaan litologi dan biasanya memotong garis waktu. Di lain pihak, satuan sekuen stratigrafi pada hakekatnya merupakan satuan kronostratigrafi yang sejajar dengan garis waktu (gambar 1-1). 1.2 SEJARAH PERKEMBANGAN SEKUEN STRATIGRAFI Sekuen stratigrafi sering dipandang sebagai ilmu baru yang dikembangkan pada dasawarsa 1970-an dari seismik stratigrafi. Sebenarnya tidak demikian. Konsep sekuen stratigrafi berakar pada kontroversi selama berabad-abad mengenai faktor-faktor yang mengontrol terbentuknya daur sedimen. Pertentangan itu terjadi antara kelompok yang berpendapat bahwa guntara (eustasy) merupakan faktor pengontrol terbentuknya daur sedimen dengan kelompok yang berpendapat bahwa tektonik merupakan faktor pengontrol terbentuknya daur sedimen. Sejarah perdebatan panjang itu dipaparkan dalam buku yang disunting oleh Dott (1992). Buku lain yang memiliki kaitan penting dengan sejarah perkembangan sekuen stratigrafi adalah AAPG Memoir 26 yang disunting oleh Payton (1977) serta SEPM Special Publication 42 yang disunting oleh Wilgus dkk (1988). Mereka yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai sejarah perkembangan konsep ini dapat membaca buku-buku tersebut. Walau demikian, disini akan dikemukakan pula ringkasan sejarah perkembangan tersebut. 1.2.1 Teori-Teori Sakral tentang Perubahan Muka Air Laut Banjir besar jaman Nabi Nuh merupakan salah satu cerita yang memiliki kaitan dengan konsep perubahan muka air laut. Bagi para peneliti jaman dulu, kebenaran adanya banjir itu tidak pernah dipermasalahkan. Hal yang dipermasalahkan adalah asal mula terjadinya banjir. Topik itu tidak hanya menarik perhatian para ilmuwan, namun juga kaum agamawan. Topik yang menarik itu telah melahirkan sejumlah teori, konsep, dan publikasi. Dua publikasi yang termashyur pada waktu dulu adalah Sacred Theory of the Earth karya Burnet (1681) dan Telliamed karya de Maillet (1742). Menurut de Maillet (1742), setelah bumi terbentuk akibat akrasi debu kosmik, massa air yang menyelimuti bumi sedikit demi sedikit berkurang volumenya sehingga akhirnya timbul topografi seperti yang kita lihat kini. Jadi, dilihat dari kaca mata de Maillet, perubahan muka air laut merupakan sebuah proses searah yang berskala global. Konsep penurunan muka air laut seperti itu disebut teori neptunisme. Pengerosian rantai pegunungan primitif dan pembentukan sejumlah paket sedimen yang mem-perlihatkan gejala sayupan (offlapping), sebagaimana yang diimplikasikan oleh de Maillet, dilukiskan pada gambar 1-2. 1.2.2 Perkembangan pada Abad 18 Banyak analisis stratigrafi mendetil dilakukan pada abad 18. Pada 1788, Hutton untuk pertama kali mengungkapkan arti penting ketidakselarasan sebagai ciri pemisah jenjang erosi, pengangkatan, dan pengendapan. Ketidakselarasan juga di-gunakan oleh para ahli stratigrafi, misalnya Sedgwick dan Murchison, sebagai bukti fisik untuk membagi waktu geologi. Di lain pihak, pada waktu itu teori atau konsep yang terkait dengan teori neptunisme masih tetap dikembangkan orang. Pada 1823, William Buckland mengajukan teori diluvium. Dalam teori ini produk-produk geologi yang terbentuk sebelum banjir besar Nabi Nuh

Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)

disebut endapan pra-diluvium, sedangkan produk-produk geologi setelah banjir besar Nabi Nuh disebut endapan pasca-diluvium atau aluvium. Teori ini pernah populer, namun kemudian memudar dengan munculnya banyak bukti geologi yang mengindikasikan bahwa proses geologi jauh lebih kompleks dibanding satu peristiwa banjir yang dramatis. 1.2.3 Perkembangan pada Abad 19 Pada pertengahan abad 19, perdebatan antara pendukung guntara dengan pendukung tektonik sebagai faktor pengontrol perubahan muka air laut mulai menghangat sejalan dengan munculnya teori glasiasi. Lyell dan beberapa ahli lain, termasuk Linneaus dan Celsius, menemukan bukti penurunan muka air laut dalam singkapan-singkapan di pantai Scandinavia. Fakta itu ditafsirkannya sebagai bukti bahwa daratan telah mengalami penurunan secara lambat (Lyell, 1835). Pendapat itu kemudian didukung oleh Bravais pada 1840 setelah dia memperoleh tafsiran yang sama berdasarkan fakta bahwa gisik di sepanjang fjord Scandinavia telah miring. Di lain pihak, pada waktu yang hampir bersamaan, Agassiz (1840) mengembangkan teori glasiasi. Pada 1842, MacLaren mengemukakan pendapat bahwa proses pelelehan es seperti yang diungkapkan dalam teori glasiasi dapat menyebabkan penaikan muka air laut secara global. Sayang sekali, gagasan Agassiz dan MacLaren itu tidak mendapat tanggapan yang memadai selama sekitar dua dasawarsa, sampai Croll (1864) mengajukan konsep glasiasi yang dijelaskannya terjadi akibat proses-proses yang berkaitan dengan pergerakan bumi. 1.2.4 Perkembangan pada Awal Abad 20 Pada akhir abad 19, teori glasiasi dipandang mampu menjelaskan perubahan muka air laut global dan pengangkatan isostatis. Namun, kesahihan teori itu kemudian dipertanyakan lagi pada awal abad 20. Pada 1906, Edward Suess memperkenalkan istilah guntara untuk menamakan proses penurunan dan penaikan muka air laut yang terjadi secara global di seluruh permukaan bumi. Suess menafsirkan bahwa penurunan muka air laut global itu terjadi akibat penurunan dasar laut, sedangkan penaikannya terjadi akibat sedimentasi di laut dalam. Walau demikian, sebagian ahli geologi yang hidup pada awal abad 20 masih tetap berpegang pada teori Lyell yang menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya perubahan muka air laut adalah perubahan-perubahan tektonik di daratan. Pada waktu itu, sebagian ahli geologi Amerika mulai mengembangkan berbagai konsep yang menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terbentuknya ketidakselarasan global. Salah seorang pemuka kelompok ini adalah Chamberlin yang pada 1898 dan 1909 menerbitkan teorinya mengenai faktor-faktor diastrofisme terhadap stratigrafi sebagai akibat perubahan muka air laut global. Tiga diagram yang ditampilkan oleh Chamberlin dalam makalah tahun 1898 diperlihatkan pada gambar 1-3. Ketiga diagram itu dewasa ini dipandang oleh para ahli sebagai bentuk awal dari konsep-konsep sekuen stratigrafi modern. Gagasan-gagasan Chamberlin kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli geologi Amerika pada beberapa dekade berikutnya. Sebagian diantara ahli itu adalah Ulrich, Schuchert, dan Grabau. Sebuah gagasan penting dari kelompok guntara ini adalah teori pulsasi yang diformulasikan oleh Grabau. Pada dasarnya teori itu menyatakan bahwa perselingan endapan transgresi dan regresi dalam rekaman stratigrafi terjadi karena perubahan aliran panas dari dalam bumi. Menurut Grabau, dalam The Rhythm of the Ages (terbit tahun 1940), irama denyut bumi memiliki periodisitas sekitar 30 juta tahun dan menyebabkan terbentuknya ketidakselarasan global. Ketidakselarasan itu selanjutnya dapat digunakan untuk membagi rekaman stratigrafi. Sebelum The Rhythm of the Age diterbitkan, ahli-ahli geologi Eropa, khususnya Stille (1924), mengembangkan gagasan mengenai ketidakselarasan global yang disebabkan oleh tektonik global. Dia juga menyatakan bahwa tektonik global itu juga menimbulkan perubahan muka air laut global. Pada awal abad 20 itu, sebagian ahli mulai menemukan adanya gejala pendauran berskala kecil (hingga beberapa meter) dalam sedimen pengandung batubara yang berumur Karbon di Illinois dan Kansas. Pada 1935, setelah melakukan penelitian terhadap perubahanperubahan glacio-eustatic Plistosen, Wanles dan Shepard berpendapat bahwa siklotem pada strata Karbon terbentuk akibat akumulasi dan pelelehan gletser Gondwana. Pendapat ini mengangkat kembali konsep kontrol glacio-eustatic yang dicetuskan oleh Croll beberapa dekade sebelumnya.

Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)

Sejak itu, konsep daur sedimen pada berbagai skala mulai meruak ke permukaan. Namun, pada 1949 Gilully mengemuka-kan bahwa orogenesis bukan merupakan proses episodik seperti yang dipahami para ahli geologi masa itu, melainkan proses yang menerus. Pendapat Gilully, seorang ahli geologi terpandang waktu itu, banyak mempengaruhi pandangan para ahli geologi lain. Akibatnya, siklotem kemudian ditafsirkan ulang sebagai produk autosiklis, yaitu sebagai hasil perpindahan lobus delta dari waktu ke waktu. Inilah yang kemudian menyebabkan sedimentologi naik daun pada tahun 1960-an karena orang memandang betapa pentingnya proses sedimentologi dalam menghasilkan daur sedimen. Menarik sekali apa yang dikemukakan oleh Dott (1992) bahwa pada waktu itu banyak ahli stratigrafi lebih menyukai menyebut dirinya sebagai ahli sedimentologi. 1.2.5 Pertengahan hingga Menjelang Akhir Abad 20 Pada 1949, Sloss, Krumbein, dan Dapples untuk pertama kalinya mengajukan konsep sekuen stratigrafi dalam sebuah pertemuan dimana Gilully justru mengajukan pendapat seperti yang telah dikemukakan di atas. Waktu itu ketiga ahli stratigrafi tersebut mendefinisikan sekuen sebagai kumpulan strata dan formasi yang dibatasi oleh ketidakselarasan inter-regional. Meskipun konsep sekuen tidak mendapat tanggapan yang menggembirakan, Sloss (1963) memperlihatkan contoh penerapan konsep itu dengan menyajikan sejumlah sekuen pada Kraton Amerika Utara. Konsep tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh murid-murid Sloss di Northwestern University. Peter Vail, yang dewasa ini dipandang sebagai pencetus konsep sekuen stratigrafi modern, adalah salah seorang diantara murid Sloss. Salah satu karya tulis terpenting pada waktu itu adalah buah tangan Wheeler (1958) mengenai konsep kronostratigrafi. Isi makalah itu masih tetap digunakan hingga saat ini dan merupakan salah satu kunci dari konsep sekuen stratigrafi modern. 1.2.6 Seismik Stratigrafi Terobosan penting dalam bidang stratigrafi terjadi pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an, sejalan dengan keberhasilan teknologi perekaman dan pengolahan data seismik. Pada 1977, dalam AAPG Memoir 26, Vail dkk mengemukakan konsep-konsep sekuen dan perubahan muka air laut global sebagai faktor utama yang mengontrol pembentukan sekuen. Tahun itu juga menandai pergantian tongkat kepemimpinan pengembangan konsep stratigrafi modern dari kalangan akademisi ke kalangan industri. Pada tahun-tahun berikutnya konsep sekuen dikembangkan lebih jauh sehingga tidak hanya diterapkan pada data seismik, namun juga pada data bor dan singkapan (Vail dkk, 1984). Pada 1985, dalam AAPG Memoir 39, Hubbard dkk mengajukan konsep megasekuen dan mengemukakan bahwa paket-paket endapan seperti itu terbentuk akibat proses-proses tektonik. Dengan demikian, perdebatan antara para pendukung tektonik dan guntara sebagai faktor pengontrol pembentukan sekuen kembali menghangat. Pada 1987, Haq dkk menerbitkan kurva perubahan muka air laut global. Kurva itu mungkin merupakan salah satu gambar paling kontroversial yang pernah diterbitkan oleh kelompok Exxon, terutama karena data pendukung gagasan yang terkandung dalam diagram itu tidak pernah diterbitkan. Banyak ahli masih bertanya-tanya apakah koreksikoreksi terhadap pengangkatan dan subsidensi telah dimasukkan atau tidak. Selain itu, keakuratan penentuan umur ketakselarasan seperti yang diimplikasikan oleh diagram itu juga banyak dipertanyakan (a.l. Miall, 1991). 1.2.7 Sekuen Stratigrafi Dalam SEPM Special Publication 42, kelompok Exxon mengajukan sejumlah konsep baru seperti ruang akomodasi (accomodation space) dan parasekuen (parasequence). Publikasi ini menandai perluasan komunitas peminat sekuen stratigrafi, dari para penafsir seismik ke komunitas geologi secara keseluruhan. Sejak akhir dekade 1980-an hingga pertengahan dekade 1990-an ini, banyak diterbitkan makalah mengenai sekuen stratigrafi. Sebagian diantara makalah itu menerapkan teknik sekuen stratigrafi secara langsung, tanpa mengkajinya lebih dulu. Padahal, banyak ahli seperti Miall (1991) dan Schlager (1992), masih mempertanyakan kesahihan korelasi antar cekungan yang menjadi dasar penyusunan kurva Vail (1987) dan model-model yang ditampilkan dalam SEPM Special Publication 42. Pada 1989, Galloway mengajukan sebuah model alternatif berupa sekuen yang tidak dibatasi oleh bidang ketidakselarasan, melainkan oleh bidang banjir maksimum (marine flooding surface). Pitman (1978) jauh-jauh hari telah menunjukkan bahwa asal-usul sekuen dan pola onlap dapat dijelaskan sebagai produk 3

Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)

subsidensi tepian cekungan. Cloething (1988) serta Kooi & Cloething (1991) menunjukkan bahwa perubahan muka air laut dan sekuen yang berskala jutaan tahun tidak hanya dapat dijelaskan sebagai produk perubahan muka air laut global, melainkan juga sebagai produk tegasan-tegasan dalam lempeng litosfir. Perkembangan mutakhir dalam sekuen stratigrafi muncul dalam bentuk yang disebut sebagai sekuen stratigrafi resolusi-tinggi (high-resolution sequence stratigraphy), yaitu penerapan konsep sekuen stratigrafi pada skala subseismik, serta dalam pemodelan cekungan sedimen. Van Wagoner dkk (1990) memelopori studi ini. Studi sekuen stratigrafi resolusi-tinggi juga dilakukan hingga daur-daur sedimen berukuran beberapa meter, khususnya pada endapan karbonat dan endapan campuran karbonat-silisiklastik (Hardie dkk, 1986; Goldhammer dkk, 1991). Teori milankovitch digunakan oleh para ahli sekuen stratigrafi untuk menjelaskan proses pembentukan siklus-siklus berskala subsekuen. Pemodelan komputer juga digunakan untuk meng-analisis dan mereplikasi proses pengisian cekungan sedimen, mulai dari skala beberapa meter hingga skala cekungan. Perangkat lunak yang menampilkan model-model pengisian cekungan banyak bermunculan, misalnya program yang dibuat oleh Royal Dutch/Shell, Aigner dkk (1990), dan program SEDPAK yang dibuat oleh University of South Caroline. Program komputer yang memperlihatkan modelmodel pembentukan daur sedimen pada skala sub-cekungan juga banyak dibuat, misalnya program Mr Sediment (Goldhammer dkk, 1989) serta program yang dirancang oleh Bosence & Waltham (1990). 1.2.8 Perkembangan di Masa Datang Arah perkembangan sekuen stratigrafi di masa mendatang masih sukar untuk diprakirakan. Namun, paling tidak untuk jangka pendek, sistem karbonat perlu dipelajari lebih lanjut untuk membuktikan faktor yang mempengaruhinya. Selain itu, sebagaimana ditekankan oleh Posamentier & Weimer (1993), penelitian masa datang juga hendaknya diarahkan pada penerapan konsep sekuen stratigrafi terhadap endapan non-bahari dan endapan laut-dalam serta pada usaha-usaha untuk meningkatkan kesahihan atau menggantikan kurva perubahan muka air laut yang ada sekarang ini berdasarkan hasil penelitian terhadap singkapan dan data bawah permukaan. Schlager (1992) dan beberapa ahli lain menyarankan agar pendekatan sedimentologi lebih ditingkatkan sehingga kita dapat mengetahui dengan jelas sejauh mana pengaruh autosiklisitas dalam kerangka sekuen secara keseluruhan. Sebagai kata akhir, kita boleh berharap untuk menyaksikan perdebatan hangat mengenai berbagai konsep di seputar sekuen stratigrafi. Hal ini sudah barang tentu menggembirakan karena wajah stratigrafi menjadi jauh lebih menarik dibanding sebelum tahun 1960-an, sebelum Vail dkk menyelamatkan stratigrafi dari bentuknya yang membosankan.

You might also like