You are on page 1of 9

Pendahuluan Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) di Indonesia perlu ditingkatkan dan dilestarikan.

Dalam "pelestarian penggunaan ASI", yang terutama perlu ditingkatkan adalah pemberian ASI eksklusif, yaitu pemberian ASI segera (kurang lebih 30 menit setelah lahir) sampai bayi berumur 4 bulan dan memberikan kolostrum pada bayi (Depkes RI; 1992:15). Bila kesehatan ibu setelah melahirkan baik, menyusui merupakan cara memberi makan yang paling ideal untuk 4--6 bulan pertama sejak dilahirkan, karena ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak lagi cukup mengandung protein dan kalori, seorang bayi mulai memerlukan minuman/makanan pendamping ASI (Evi Nurvidya Anwar, 1992:5). Gambaran mengenai pemberian ASI pada bayi ditunjukkan dalam SKRT. SKRT tersebut menunjukkan bahwa pada bayi umur 0--2 bln yang mulai diberi makanan pendamping cair sebesar 21,2%; makanan lumat/lembik 20,1%; dan makanan padat 13,7%. Pada bayi berumur 3--5 bln, yang mulai diberi makanan pendamping cair sebesar 60,2%; lumat/lembek 66,2%; dan padat 45,5% (Badan Litbangkes - BPS, SKRT 1992:46). Sementara itu, hasil penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa para ibu memberi makanan pralaktal (susu formula dan madu) pada hari pertama atau hari kedua sebelum ASI diberikan, sedangkan yang menghindari pemberian kolostrum 62,6% (Unika-Atma Jaya 1990:15). Selain itu, hasil SDKI 1991 dan 1994 menunjukkan bahwa proporsi pemberian ASI eksklusif di pedesaan pada 1991 sebesar 54,9% dan menurun menjadi 48% pada 1994. Sedangkan di perkotaan pada 1991 sebesar 46,7% dan menurun menjadi 45,7% pada 1994 (Ratna Budiarso, 1995:84). Sampai saat ini, telah banyak informasi yang menggambarkan tentang besarnya prosentase pemberian ASI eksklusif, tetapi belum banyak informasi yang menganalisis penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif. Oleh karena itu, rendahnya pemberian ASI eksklusif oleh para ibu masih perlu dipelajari, terutama

yang berhubungan dengan latar belakang sosial ekonomi, sosial demografi, dan perawatan kesehatan waktu hamil serta melahirkan. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 mendapati baru sekitar 52 persen ibu yang memberikan ASI (air susu ibu) eksklusif kepada anak-anak mereka. Kondisi ini, menurut Menteri Kesehatan Achmad Sujudi dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Azrul Azwar, lebih baik dari Brazil, yaitu 42 persen pada tahun 1996. Tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan Cuba yang telah mencapai 72 persen pada tahun 1996. Sambutan yang dibacakan dalam rangka pembukaan seminar Sosialisasi Pekan ASI Sedunia di Ruang Serba Guna Depkes RI, Rabu (14/8) ini menargetkan pada tahun 2005, 80 persen wanita Indonesia sudah memberikan ASI Eksklusif Tujuan pelaksanaan seminar adalah untuk meningkatkan kesadaran para peserta untuk memberikan ASI Eksklusif kepada para bayi dari sejak lahir sampai usia empat sampai enam bulan. Selain itu, seminar ini merupakan salah satu upaya nyata dalam peningkatan pemberian ASI khususnya di kalangan ibu bekerja, jelas Azrul. Menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pada tahun 1997 jumlah ibu bekerja di Indonesia mencapai 34,33 juta jiwa, dengan angka pertumbuhan sekitar 4,76 persen per tahun. Yang dimaksud dengan pemberian ASI Eksklusif, menurut Dr Utami Roesli, Ketua Lembaga Peningkatan Penggunaan ASI Sint Carolus, adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa makanan tambahan cairan lain. Misalnya susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa bantuan bahan makanan padat seperti pisang, pepaya, nasi yang dilembutkan, bubur susu, biskuit, bubur nasi, tim, dan lain sebagainya. Kegunaan pemberian ASI Ekslusif ini tidak hanya diperoleh bayi, ibu yang menyusuinya pun akan mendapatkan keuntungan, yaitu, si ibu akan lebih cepat

kembali ke berat badan yang normal, ini disebabkan adanya refleks prolaktin yang bisa mempercepat pengerutan rahim

Masalah Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitin sebagai berikut: bagaimana pola pemberian ASI dan apa faktor-faktor yang menentukan pola pemberian ASI? Tujuan Hal ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara faktor sosial ekonomi, demografi, dan perawatan kesehatan waktu melahirkan dengan pola pemberian ASI oleh ibu-ibu menyusui di Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya untuk: a. Menganalisis gambaran pola pemberian ASI/ASI eksklusif menurut kelompok umur bayi di perkotaan dan di pedesaan. b. Menganalisis hubungan antara pola pemberian ASI dengan faktor sosial ekonomi, demografi, dan perawatan kesehatan waktu melahirkan. c. Menganalisis faktor determinan pemberian ASI eksklusif/non-eksklusif di perkotaan dan pedesaan. Perilaku seseorang ditentukan oleh dua faktor penting, yaitu faktor karakteristik seseorang dan karakteristik lingkungannya (Shortell et al 1987:10). Sedangkan dari hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh Gochman diperoleh kesimpulan bahwa perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh tingkat umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan (Gochman, 1988:66).

Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam meningkatkan penyuluhan mengenai pemberian ASI eksklusif oleh ibu-ibu di perkotaan dan di pedesaan. Di samping itu, diperlukan peningkatan cara pemberian ASI oleh ibu-ibu yang bekerja. Pembahasan Dalam upaya meningkatkan pemberian ASI eksklusif, yang terutama ditingkatkan adalah "Menyusui ASI Eksklusif". Menurut petunjuk Bina Gizi Masyarakat, pengertian ASI eksklusif adalah "hanya ASI sampai bayi berumur 4 bulan dan diberikan kolostrum" yang diberikan kepada anak < 4 bulan. Untuk mengetahui anak/bayi tersebut menyusui ASI eksklusif atau tidak, ditelusuri dari anak menyusu ASI/tidak menyusui. Dari anak yang menyusu, ditelusuri anak yang hanya diberi ASI saja dan diberi makan/minum, kemudian anak tersebut dalam 24 jam hanya diberi ASI. Dari definisi ini, telah diperoleh gambaran bahwa bayi yang < 1 bulan, proporsi menyusu ASI ekslusif justru lebih rendah dari bayi umur 1 bulan. Proporsi ini terjadi di daerah perkotaan dan di pedesaan. Hal ini kemungkinan karena ibu-ibu dalam masa kini banyak melakukan kegiatan untuk memperoleh tambahan pendapatan keluarga. Hal ini didasarkan pada hasil analisis asosiasi bahwa proporsi pemberian ASI eksklusif mempunyai hubungan dengan kegiatan yang dilakukan oleh ibu. Proporsi pemberian ASI eksklusif di perkotaan dan pedesaan untuk umur bayi < 1--3 bulan cenderung tidak jauh berbeda. Hal ini kemungkinan terjadi karena para ibu di desa dan di kota telah sama-sama terpapar oleh media, sehingga pengetahuan dan kepedulian mereka terhadap bayi untuk menyusui cukup besar. Jumlah anak umur 0--4 tahun dalam keluarga tampaknya mendukung pemberian ASI eksklusif oleh para ibu. Hal ini didasarkan pada hasil uji regresi

bahwa jumlah anak 1--2 dalam keluarga mempunyai pengaruh dibandingkan dengan keluarga yang tidak mempunyai 1--2 anak. Berdasarkan umur, proporsi pemberian ASI eksklusif tampak cukup bervariasi dari umur < 1 bulan sampai umur 3 bulan. Hal ini yang menunjukkan bahwa bayi yang berumur 2 bulan mempunyai kemungkinan untuk diberi ASI eksklusif 4 kali dibandingkan dengan yang tidak berumur 2 bulan, tertinggi dibandingkan dengan kemungkinan pada umur 1 bulan dan 3 tiga bulan. Sementara itu, proporsi pemberian ASI eksklusif berdasarkan kategori lokasi (di perkotaan, di pedesaan, di desa tertinggal, dan di desa tak tertinggal), tidak terjadi perbedaan yang cukup tajam. Hal ini kemungkinan terjadi karena pengaruh modernisasi di desa-desa sehingga para ibu kurang menyadari pentingnya pemberian ASI eksklusif. Di samping itu, telah terjadi peningkatan iklan susu buatan yang secara gencar memasarkan produk susunya sebagai pengganti ASI. Dalam pemberian ASI ekslusif, walaupun ada kecenderungan bahwa yang pengeluaran rata-rata sebulannya tinggi, rata-rata pengeluaran untuk makan tinggi, dan penghasilan bersih dari pekerjaan utama tinggi, tampaknya tidak mempunyai pengaruh langsung pada kemungkinan pemberian ASI eksklusif. Hal ini terbukti dengan tidak adanya pengaruh yang bermakna pada menyusui ASI ekslusif dengan variabel pertolongan pertama/kedua waktu melahirkan, terpaparnya dari media radio, TV, serta membaca koran. Oleh karena itu, tampaknya masih diperlukan informasi dari sumber lain mengenai faktor-faktor yang menentukan ibu-ibu dalam menyusui ASI, khususnya ASI eksklusif.

Kebijakan-kebijakan Pemerintah RI sehubungan penggunaan ASI Eksklusif 1. Inpres No.14/1975 Menko Kesra selaku koordinator pelaksana menetapkan bahwa salah satu program dalam usaha perbaikan gizi adalah peningkatan penggunaan ASI. 2. Permenkes No.240/1985 Melarang produsen susu formula untuk mencantumkan kalimat-kalimat promosi produknya yang memberikan kesan bahwa produk tersebut setara atau lebih baik mutunya daripada ASI. 3. Permenkes No.76/1975 Mengharuskan produsen susu kental manis (SKM) untuk mencantumkan pada label produknya bahwa SKM tidak cocok untuk bayi, dengan warna tulisan merah dan cukup mencolok. 4. Melarang promosi susu formula yang dimaksudkan sebagai ASI di semua sarana pelayanan kesehatan. 5. Menganjurkan menyusui secara eksklusif sampai bayi berumur 4-6 bulan dan menganjurkan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun. 6. Melaksanakan rawat gabung di tempat persalinan milik pemerintah maupun swasta. 7. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam hal PP-ASI sehingga petugas tersebut terampil dalam melaksanakan penyuluhan pada masyarakat luas. 8. Pencanangan Peningkatan Penggunaan ASI oleh Bapak Presiden secara nasional pada peringatan Hari Ibu ke-62 (22Desember1990). 9. Upaya penerapan 10 langkah untuk berhasilnya menyusui di semua rumah sakit, rumah bersalin dan puskesmas dengan tempat tidur.

Kesimpulan 1. Pola pemberian ASI eksklusif pada bayi umur < 1--2 bulan relatif cukup tinggi, sedangkan yang berumur 3 bulan relatif cukup rendah, baik secara keseluruhan ataupun yang dibedakan menurut perkotaan dan pedesaan. 2. Proporsi pemberian ASI ekslusif pada bayi berumur 2 bulan relatif cukup besar, baik di perkotaan maupun di pedesaan, dan mulai menurun pada umur tiga bulan. 3. Proporsi bayi yang menyusu ASI eksklusif mulai umur < 1 bulan sampai 2 bulan relatif cukup besar, baik secara keseluruhan maupun berdasarkan pedesaan dan perkotaan, serta rendah proporsinya pada umur 3 bulan. Proporsi pemberian ASI ekslusif pada bayi umur 3 bulan di perkotaan lebih rendah dibandingkan di pedesaan. 4. Berdasarkan hal ini adanya hubungan antara sosial ekonomi, semuanya menggambarkan proporsi pemberian ASI eksklusif pada semua tingkatan yang relatif cukup besar dibandingkan dengan yang tidak eksklusif. 5. Faktor sosial ekonomi, demografi, pelayanan kesehatan, dan paparan media, yaitu umur bayi, tingkat pendidikan yang ditamatkan, dan jumlah anak 0--4 tahun dalam keluarga.

Saran 1. Diperlukan penyuluhan yang intensif melalui komunikasi langsung oleh petugas-petugas kesehatan di desa: bidan desa, kader-kader Posyandu, dan dalam pertemuan instrumen kelompok ibu-ibu tentang ASI eksklusif. 2. Diperlukan penyuluhan yang rinci tentang cara-cara menambah makanan tambahan pada ibu-ibu untuk menjamin kecukupan gizi pada waktu menyusui. 3. Berhubung rendahnya pemberian ASI eksklusif kepada bayi berumur kurang 1 bulan dibandingkan yang berumur 1 bulan, diperlukan informasi lebih lanjut mengenai penyebab terjadinya hal ini.

Daftar Pustaka 1. Indonesia, Departemen Kesehatan, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Dikjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat (1992). Pedoman Pemberian Makanan Tambahan Pendamping ASI (MP-ASI) Jakarta. 2. Evi NA (1992). Sudahkah Bayi Anda DIberi ASI? Warta Demografi, Th XXII, No.8, Agustus 1992, Jakarta: 5 3. Indonesia, Departemen Kesehatan, Badan Litbangkes-BPS (1992). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Jakarta 4. Ratna LB (1995). Perubahan Perilaku Pemberian ASI di Indonesia. Majalah Kesehatan Perkotaan II (I), Jakarta:84

You might also like