You are on page 1of 89

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian Semakin meningkatnya pelayanan di bidang kesehatan dan tingkat sosial ekonomi masyarakat serta tingginya tingkat pengetahuan masyarakat secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup. Pada tahun 2000 usia harapan hidup di Indonesia mencapai 67 tahun dan jumlah populasi usia lanjut sebanyak 17 juta (7%). Pada tahun 2006 usia harapan hidup mencapai 66 tahun, dan jumlah usia lanjut 19 juta (8,9%). Menurut perkiraan pada tahun 2020, usia harapan hidup di Indonesia yaitu 71 tahun dan jumlah usia lanjut mencapai 28,8 juta jiwa (11,34%). Ini merupakan peringkat tertinggi keempat setelah Republik Rakyat Cina (RRC), India, dan Amerika Latin.1,2 Sedangkan untuk provinsi Kalimantan Timur dilaporkan jumlah usia lanjut pada tahun 2005 yaitu 87.000 dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 90.801 jiwa. Sementara itu jumlah usia lanjut berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 yaitu 97.748 jiwa. Angka ini akan terus meningkat dari tahun ke tahun.3,4 Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut di dunia khususnya Indonesia dan Kalimantan Timur disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: penurunan angka mortalitas, perkembangan vaksin dan antibiotik, perbaikan gizi, perbaikan kesehatan masyarakat serta kemajuan

dalam terapi dan pencegahan penyakit kardiovaskuler. Namun ternyata peningkatan jumlah usia lanjut ini akan membawa dampak di bidang kesehatan, karena akan diikuti oleh bertambahnya penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan. Sedikitnya 80% dari usia lanjut diatas 65 tahun mempunyai satu penyakit kronis dan banyak diantaranya mempunyai lebih dari satu penyakit. Selain itu berbagai masalah fisik biologik, psikologik dan sosial juga akan bermunculan pada penduduk usia lanjut.5,6 Salah satu masalah yang sering kali terjadi pada usia lanjut adalah penurunan fungsi kognitif. Kognitif merupakan kemampuan pengenalan dan penafsiran seseorang terhadap lingkungannya berupa perhatian, bahasa, memori, visuospasial, dan fungsi memutuskan. DSM-IV mengklasifikasikan tiga kelompok gangguan pada fungsi kognitif yaitu Delirium, Demensia, dan Amnestik.7 Pada sebagian orang menurunnya kemampuan kognitif sering kali dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang wajar terjadi pada mereka yang berusia lanjut, padahal penurunan fungsi kognitif yang progresif dan terus-menerus akan meningkatkan resiko seseorang menderita Demensia. Demensia atau yang lebih dikenal dengan pikun merupakan suatu keadaan hilangnya fungsi kognitif disertai kemunduran intelektual berat dan progresif yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang yang paling ditakuti saat ini.1 Demensia berpotensi mengakibatkan dampak yang dapat

menghancurkan sistem kesehatan masyarakat. Hal ini tidak hanya disebabkan

karena penduduk bertambah tua, tetapi juga dikarenakan Demensia adalah suatu penyakit kronis yang menyebabkan seseorang kesulitan dalam menjalani hidupnya. Berdasarkan data dari WHO (World Heath Organization), disebutkan bahwa beban penyakit Demensia melebihi beban penyakit malaria, tetanus, kanker payudara, dan penyalahgunaan obat-obatan. Disebutkan pula bahwa beban penyakit akibat Demensia diperkirakan akan meningkat sebanyak lebih dari 76% selama seperempat abad mendatang.8 Berdasarkan data, pada tahun 2005 penderita Demensia di kawasan Asia Pasifik berjumlah 13,7 juta jiwa dan menjelang tahun 2050 jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 64,6 juta. Prevalensi dan insiden Demensia di Indonesia (dalam ribuan) pada tahun 2005 yaitu 606,1 dan 191,4. Pada tahun 2020 prevalensi dan insiden Demensia diperkirakan akan meningkat menjadi 1.016,8 dan 314,1. Dan pada tahun 2050 diperkirakan prevalensi dan insiden Demensia mencapai angka 3.042,0 dan 932,0.8 Melihat besarnya angka prevalensi dan insiden Demensia di Indonesia, maka penurunan fungsi kognitif sebagai gejala dini Demensia, khususnya pada usia lanjut, perlu untuk dideteksi sedini mungkin dan seakurat mungkin. Hal tersebut dikarenakan kegagalan diagnosis dini Demensia dapat menimbulkan penanganan yang tidak berguna dan pada hakikatnya akan memberikan beban tambahan pada penderita dan keluarga. Diagnosis Demensia yang tepat yang diikuti penatalaksanaan yang terarah akan memberikan hasil yang optimal, mengurangi beban ekonomi, sosial dan emosi

serta memberi peluang yang lebih baik bagi pasien dan keluarga dalam merencanakan kehidupannya di masa mendatang.1 Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mengetahui ada tidaknya penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Nirwana Puri Samarinda, sebagai salah satu bentuk deteksi dini terjadinya Demensia. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa MMSE (Mini Mental State Examination), merupakan perangkat tes yang sering digunakan oleh klinisi untuk mendeteksi penurunan fungsi kognitif.9 Selanjutnya penelitian ini dikhususkan untuk memberikan gambaran mengenai faktor resiko terjadinya penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut di PSTW Nirwana Puri. Banyak faktor yang menyebabkan tingginya resiko seseorang mengalami penurunan fungsi kognitif diantaranya usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Merokok juga termasuk dalam faktor resiko, akan tetapi peranannya dalam penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut masih terus diteliti. Keempat faktor resiko ini lah yang nantinya akan diteliti secara langsung oleh peneliti pada usia lanjut yang tinggal di PSTW Nirwana Puri. Peneliti tidak meneliti faktorfaktor resiko yang lain dikarenakan keterbatasan data-data yang ada di panti jompo tersebut.

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda tahun 2010 ? 1.2.1 Sub Masalah Bagaimana gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda tahun 2010 berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan kebiasaan merokok usia lanjut ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum : Untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda tahun 2010. 1.3.2 Tujuan Khusus : Untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda tahun 2010 berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan kebiasaan merokok usia lanjut.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis - Memberikan informasi mengenai status fungsi kognitif pada usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda dan diharapkan dapat memberi pengetahuan untuk mengurangi terjadinya Demensia pada usia lanjut.
-

Meningkatkan derajat kesehatan usia lanjut pada khususnya, meningkatkan derajat kesehatan dan usia harapan hidup bangsa Indonesia pada umumnya.

- Untuk institusi terkait dalam hal ini Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri diharapkan dapat dijadikan masukan untuk mendapatkan informasi yang lebih luas tentang permasalahan yang sedang dihadapi oleh usia lanjut. - Untuk pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial RI, agar dapat dijadikan salah satu acuan untuk menyusun strategi atau kebijakan dalam upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan pada usia lanjut. 1.4.2 Manfaat ilmiah - Memperkaya informasi dan pengetahuan kedokteran terutama di bidang ilmu penyakit jiwa khususnya mengenai Demensia. - Menambah Gerontologi. informasi dan pengetahuan dibidang Geriatri-

- Sebagai dasar penelitian ilmiah selanjutnya dan perlu di kembangkan dalam upaya pemecahan masalah kesehatan pada usia lanjut untuk menunjang program kesehatan. 1.4.3 Manfaat bagi peneliti - Sebagai sarana pembelajaran dan penerapan dari ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan khususnya ilmu penyakit jiwa. - Meningkatkan pengalaman dan keterampilan peneliti dalam menganalisis permasalahan yang ada di masyarakat. - Sebagai pemenuhan tugas dalam memperoleh gelar sarjana kedokteran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Fisiologi Penuaan (Aging) 2.1.1 Hipotesa tentang proses penuaan Proses penuaan disebut senescence (dari bahasa Latin senescere, berarti menjadi tua) dan ditandai oleh penurunan bertahap pada fungsi semua sistem tubuh yaitu kardiovaskuler, pernafasan, genitourinarius, endokrin, kekebalan, dan lainnya. Secara umum proses menua didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif, dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan dan untuk dapat bertahan hidup. Proses menua antar individu dan antar organ tidaklah sama, hal ini dikarenakan proses menua amat dipengaruhi oleh penyakit-penyakit degeneratif, kondisi lingkungan serta gaya hidup.5,10 Berbagai teori tentang proses menua telah banyak dikemukakan, namun demikian data-data dan fakta berdasarkan eksperimen belakangan ini lebih mengarah pada teori cellular based theories of aging, karena perubahan selular dianggap menjadi dasar perubahan di tingkat sistem organ dan populasi. Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli biologi bernama Weissman (1891). Weissman kemudian membedakan dua jenis sel manusia, yaitu sel tubuh (somatic cells) dan sel kelamin (germ cells). Karena diferensiasi sel tubuh dan kegagalan untuk membelah diri, akhirnya sel

tubuh mengalami proses penuaan dan akhirnya terjadi kematian pada manusia tersebut.5,11 Penelitian-penelitian mengenai proses penuaan dari tahun ke tahun terus berkembang. Pada tahun 1960, penelitian yang dilakukan oleh Hayflick dan Moorhead mengungkapkan bahwa sel manusia terus-menerus akan mengalami proses proliferasi atau pembelahan sel yang cepat. Proses tersebut pada suatu waktu akan mengalami penurunan yang disebut sebagai proses penuaan sel disusul dengan kematian sel.11 Teori biologis tentang proses penuaan kemudian dibagi menjadi teori intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berarti perubahan yang berkaitan dengan usia timbul akibat penyebab di dalam sel sendiri, sedangkan teori ekstrinsik menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi diakibatkan oleh pengaruh lingkungan. Teori intrinsik atau teori genetik menjelaskan bahwa di dalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan jalannya proses penuaan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Weissman serta Hayflick dan Moorhead sebelumnya. Teori genetik mengakui adanya mutasi somatik (somatic mutation), yang mengakibatkan kegagalan atau kesalahan di dalam penggandaan DNA. Sedangkan Teori ekstrinsik atau teori non genetik terdiri dari berbagai teori seperti teori radikal bebas, teori cross-link, teori glikasi, teori kekebalan (immunologic theory) serta teori fisiologis. Teori-teori ini kemudian menjelaskan tentang mekanisme terjadinya penuaan.5,11

Salah satu penyebab terjadinya proses penuaan adalah terjadinya perubahan pada DNA, RNA, dan protein. Sebagai contoh terjadi mutasi dan anomali kromosom terus-menerus, yang kemudian akan terakumulasi dari tahun ke tahun. Selain mutasi dan anomali, dikatakan pula bahwa kesalahan duplikasi DNA yang terus-menerus meningkat akibat bertambahnya usia, akan terakumulasi. Hasil akumulasi dari kesalahan genetik ini dalam jumlah yang bermakna akan menyebabkan penuaan.5 Teori radikal bebas dipercaya sebagai teori yang dapat menjelaskan terjadinya proses menua. Radikal bebas merupakan molekul, fragmen molekul atau atom dengan elektron bebas tak berpasangan. Radikal bebas ini terjadi dalam sistem metabolik, akibat polusi asap industri atau kendaraan bermotor, radiasi, pestisida, zat pengawet makanan, kerusakan sel atau sel mati pada penyakit seperti hepatitis dan kanker. Karena radikal bebas sangat aktif, zat ini mudah terikat dengan molekul lain dan fungsi molekul berubah. Radikal bebas dapat terikat pada DNA dan RNA pada inti sel, sehingga terbentuk protein yang abnormal dan menimbulkan gangguan fungsi sel. Radikal bebas ini merusak sel dan mengganggu fungsi sel dan dapat menimbulkan penyakit, degenerasi sel serta mempercepat proses penuaan.11 Teori kekebalan atau immunologic theory menjelaskan bahwa perubahan pada jaringan limfoid mengakibatkan tidak adanya keseimbangan dalam sel T sehingga produksi antibodi dan kekebalan menurun. Hal ini terlihat pula pada mengecilnya kelenjar thymus pada usia lanjut. Padahal,

10

sistem kekebalan terlaksana berkat berfungsinya dengan baik jaringan kelenjar limfa, sumsum tulang, tonsil, kelenjar thymus. Hal ini kemudian berhubungan dengan meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian pada usia lanjut akibat penyakit infeksi tertentu seperti meningitis, tuberkulosis, pneumonia pneumokokus, influenza, dll.11 2.1.2 Perubahan pada otak akibat proses penuaan 2.1.2.1 Perubahan fungsi otak Otak akan mengalami proses penuaan meliputi atrofi otak yaitu sekitar 5-10% pada usia antara 30-70 tahun. Pada usia lanjut atrofi terutama terjadi pada daerah hipokampus yang merupakan pusat pengaturan proses belajar, memori, dan emosi. Setiap tahunnya otak kehilangan sekitar 100.000 neuron, hal ini dikarenakan secara berangsur-angsur tonjolan dendrit pada neuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif akan terjadi fragmentasi dan kematian sel neuron. Gangguan pada sel neuron ini meliputi penurunan fungsi saraf aferen yang menyebabkan terjadinya penurunan penyampaian informasi sensorik dari luar serta penurunan fungsi saraf eferen pada sistem saraf perifer yang menyebabkan gangguan persepsi sensorik. Selain itu terjadi pula gangguan pada pusat pengendalian saraf otonom (hipotalamus) yakni bagian otak yang mengatur sekresi hormon. Medulla spinalis ikut mengalami penurunan fungsi sehingga mempengaruhi

pergerakan otot dan sendi pada usia lanjut. Beberapa perubahan

11

fungsi ini akhirnya menimbulkan beberapa tanda klinis yang berhubungan dengan proses penuaan, antara lain: perubahan memori, aktivitas motor, gangguan kesadaran sensorik (nyeri sentuh, panas, dingin), mood, pola tidur, dan fungsi neuroendokrin. Penurunan kemampuan intelektual (kognitif) pun dimasukkan sebagai tanda telah terjadinya suatu penuaan, walaupun pada sebagian orang berusia lanjut hal tersebut tidaklah terjadi.5,9,11 2.1.2.2 1. Perubahan struktur otak

Perubahan yang terjadi di sel otak dan saraf berupa : a. b. c. d. e. f. g. h. i. Jumlah sel menurun, dan fungsi digantikan sel yang tersisa Terganggunya mekanisme perbaikan sel Kontrol nukleus sel terhadap sitoplasma menurun Terjadi perubahan jumlah dan struktur mitokondria Degenerasi lisosom yang mengakibatkan hidrolisa sel Berkurangnya butir Nissl Terjadi penggumpalan kromatin Terjadi penambahan pigmen lipofuscin Terjadi vakuolisasi protoplasma

2.

Perubahan yang terjadi di otak usia lanjut : a. Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%, ukurannya mengecil, terutama di bagian parasagital, frontal dan parietal.

12

b.

Jumlah neuron berkurang dan tidak dapat diganti baru. Disamping itu terjadi penyusutan sel pyramidal cortex cerebral dan penurunan sel non pyramidal.

c.

Terjadi pengurangan neurotransmitter Sel pyramidal: asam amino, asam glutamik dan asam aspartik Sel nonpyramidal: Gamma Amino Butyric Acid (GABA), neuropeptides, somatostatin Lain-lain: serotonin. monoamines, dopamine, noradrenaline,

d.

Terbentuknya

struktur

abnormal

di

otak

dan

terakumulasinya pigmen organik-mineral seperti lipofuscin, plak amiloid dan neurofibrillary tangles. e. Perubahan biologis lainnya yang mempengaruhi otak, seperti gangguan indera gangguan telinga, kelenjar mata, gangguan dan

kardiovaskuler, kortikosteroid. 3.

thyroid

Selain itu terdapat pula perubahan-perubahan pada sel dan jaringan ketika seseorang menjadi usia lanjut : a. Adanya perubahan genetik yang mengakibatkan

terganggunya metabolisme protein. b. Gangguan metabolisme asam nukleat dan DNA.

13

c.

Terjadinya ikatan DNA dengan protein stabil yang mengakibatkan gangguan genetik.

d. e.

Gangguan kegiatan enzim dan sistem pembuatan enzim. Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati.

f. g. h.

Terjadi pengurangan parenkim. Terjadi penurunan sitoplasma protein. Peningkatan metaplasmik protein seperti kolagen dan elastin.11

2.2

Fungsi Kognitif pada Usia lanjut 2.2.1 Definisi Usia lanjut Berdasarkan WHO, usia lanjut dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : usia lanjut (elderly) berusia antara 60-74 tahun, tua (old) 75-90 tahun, dan sangat tua (very old) berusia lebih dari 90 tahun.12 Menurut UU RI No.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia lanjut, disebutkan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.13 2.2.2 Fungsi Kognitif Intelektual, emosi, serta tingkah laku manusia sehari-hari sangatlah kompleks dan bervariasi, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah gangguan dari ketiga hal tersebut dapat dijadikan indikator adanya kelainan pada otak. Nyatanya intelektual, emosi, serta tingkah laku sehari-hari memiliki area pengaturan yang berbeda (anatomi yang berbeda) serta

14

interpretasi yang berbeda juga (paralise sensorik dan motorik atau aphasia). Komponen dari mental dan tingkah laku yang diamati meliputi perhatian, persepsi dan interpretasi, daya ingat (baik jangka pendek maupun jangka panjang), kemampuan berpikir dan memberi alasan, emosi dan mood, inisiatif, bersosialisasi, pemahaman. Dari semua itu, perhatian serta persepsi dan interpretasi berhubungan dengan fungsi sensorik. Daya ingat atau memori serta kemampuan berpikir berhubungan dengan fungsi kognitif. Emosi dan mood, afektif. Inisiatif berhubungan dengan fungsi conative, bersosialisasi menunjukkan kemampuan seseorang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, dan pemahaman menunjukkan kapasitas seseorang mengerti sesuatu hal. Masing-masing komponen tersebut memiliki sisi objektif dan sisi subjektif. Objektif ditunjukkan sebagai respon tingkah laku diproduksi oleh beberapa stimulus. Sedangkan subjektif ditunjukkan dalam proses berpikir dan perasaan yang digambarkan oleh seseorang sebagai bentuk respon terhadap stimulus.14 Studi proses menua yang dilakukan oleh Baltimore Longitudinal Study menyimpulkan bahwa terjadi perubahan proses kognisi seiring dengan bertambahnya usia, misalnya kecepatan belajar dan kecepatan memecahkan masalah serta memori. Kemampuan visuospasial (seperti menggambar objek tiga dimensi, menyusun suatu balok) serta kemampuan verbal (diukur melalui kecepatan memberi nama suatu objek, menyebutkan kata yang berlawanan dengan huruf tertentu) juga menurun seiring dengan bertambahnya usia. Umumnya kemampuan-kemampuan yang menyangkut

15

fungsi kognitif ini mulai menurun sejak memasuki usia 60-an, dan akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia. Namun demikian, kemampuan verbal (seperti kosa kata, informasi, perbandingan) masih terpelihara baik sampai usia 80 tahun.5 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM-IV) mengklasifikasikan tiga kelompok gangguan yaitu Delirium, Demensia, dan gangguan Amnestik ke dalam kategori gangguan kognitif. Walaupun DSM-IV menyatakan bahwa gangguan psikiatrik lain dapat memiliki suatu gangguan kognitif sebagai suatu gejalanya, tetap saja gangguan kognitif merupakan gejala umum dari Delirium, Demensia, dan gangguan Amnestik.7 2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif 1. Usia Semakin lanjut usia seseorang maka resiko untuk terjadinya penurunan kognitif akan semakin besar. Menurut penelitian, prevalensi Demensia adalah 3% dari populasi penduduk usia 60 tahun ke atas.15 Sedangkan menurut Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI), pada usia 65 tahun insiden Demensia mencapai 15%, jumlah ini akan meningkat dua kali setiap kenaikan umur 5 tahun.1 Penelitian yang lain menyebutkan bahwa prevalensi Demensia hampir 5% pada populasi usia di atas 65 tahun dan menunjukkan peningkatan yaitu 14% pada usia 65-69 tahun dan 24-50% pada usia 85 tahun ke atas. Dari

16

peningkatan angka kejadian Demensia tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi usia seseorang, maka fungsi kognitif akan semakin mengalami penurunan.9,16 2. Jenis kelamin Meski menjadi hal yang wajar akibat proses penuaan, ternyata pikun lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Namun demikian tidak ada perbedaan yang signifikan atara jenis kelamin dan Demensia.17 Selain osteophorosis, jantung koroner dan stroke, dampak lain dari kekurangan estrogen pada jangka waktu lama adalah Demensia.18 Daya ingat wanita cenderung cepat tumpul karena penurunan hormon estrogen saat

menopause, yang lebih dini dibandingkan pria. Hal ini lah yang menyebabkan fungsi kognitif pada wanita lebih cepat menurun. Di otak, reseptor estrogen terutama terletak pada area dimana terdapat fungsi belajar dan mengingat, seperti hipokampus dan amygdala.19 Salah satu penelitian menyebutkan prevalensi wanita menderita Demensia lebih tinggi dibanding pria, karena umumnya pria mengalami tahapan MCI (Mild Cognitive Impairment) terlebih dahulu sebelum akhirnya mengalami Demensia, sementara wanita langsung mengalami Demensia bila terjadi gangguan fungsi kognitif tanpa mengalami tahapan MCI.20

17

3.

Stroke Serangan stroke yang berturut-turut dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif dan meningkatkan resiko terjadinya Demensia sebesar 4 sampai 12 kali. Serangan-serangan stroke ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan otak. Semakin luas lesi akibat stroke yang dilihat dari CT-scan kepala pasien, maka semakin berat pula penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Resiko penurunan ini meningkat sesudah serangan stroke.21

4.

Nutrisi Vitamin B diketahui memiliki peranan dalam terjadinya Demensia. Penelitian menyebutkan hal ini berhubungan dengan hiperhomosisteinemia, dimana ditemukan angka kejadian Demensia lebih tinggi pada orang dengan homosistein yang tinggi (hiperhomosisteinemia) dibandingkan orang yang

memiliki homosistein yang lebih rendah. Hiperhomosisteinemia ini dikarenakan defisiensi asam folat atau vitamin B6 atau vitamin B12 berdampak pada gangguan dalam metabolisme homosistein, sehingga homosistein tidak dapat diubah menjadi metionin dan sistein. Pada akhirnya defisiensi vitamin B ini pada usia lanjut berhubungan dengan lemahnya fungsi kognitif dan rendahnya nilai kemampuan bahasa dan ekspresi.22,23

18

Salah satu jenis vitamin B, kolin, adalah bahan dasar asetilkolin yaitu neurotransmitter yang berperan aktif dalam pembentukan memori di saraf otak. Jenis vitamin B lain, niasin, membantu sintesis dan perbaikan DNA. Kekurangan niasin meningkatkan kemungkinan menderita Alzheimer sebesar 80%. Orang-orang yang sangat kekurangan vitamin B memiliki gelombang otak yang abnormal, menyebabkan memori yang rusak dan gangguan psikologis lainnya.24 5. Tekanan darah Tekanan darah yang tinggi pada usia muda atau pertengahan, diduga berhubungan dengan terjadinya penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut. Hasil penelitian di Honolulu menyebutkan bahwa setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik (TDS) terdapat peningkatan risiko sebesar 7% timbulnya penurunan fungsi kognitif sedang dan 9% timbulnya fungsi kognitif yang buruk. Selain hipertensi, hipotensi (tekanan darah sistole <140 mmHg) dan tekanan nadi yang rendah (<70 mmHg) juga menunjukkan peningkatan resiko terjadinya Demensia pada usia lanjut.25 6. Tingkat pendidikan Berdasarkan penelitian, terdapat hubungan antara angka kejadian Demensia pada usia lanjut dengan tingkat pendidikan, hal ini terlihat dari skor-skor pada pemeriksaan status fungsi

19

kognitif, sebagai contoh MMSE, berbanding lurus dengan tingkat pendidikan usia lanjut. Ini dikarenakan beberapa komponen dalam pemeriksaan tersebut menuntut kecakapan usia lanjut dalam hal mengkalkulasi, berbahasa, orientasi serta registrasi. Tentu saja keempat komponen tersebut akan sukar dilakukan usia lanjut dengan tingkat pendidikan yang rendah.26 Penelitian lain menyatakan bahwa pendidikan tinggi ternyata dapat menunda terjadinya Demensia, karena pendidikan diketahui dapat meningkatkan memori otak dengan

meningkatkan densitas sinaps-sinaps neurokortikal.27,28 7. Pola hidup dan faktor kebiasaan Rutin berolahraga dan rajin melakukan kegiatan-kegiatan intelektual yang mengasah otak pada saat berusia lanjut diketahui dapat menurunkan resiko terjadinya penurunan fungsi kognitif. Kegiatan-kegiatan intelektual yang mengasah otak, seperti: bermain catur, mengisi teka-teki silang, berdiskusi mengenai topik aktual serta membaca koran harus sering-sering dilakukan oleh para usia lanjut karena menurut penelitian, kegiatan-kegiatan semacam ini dapat meningkatkan stimulasi kognitif dan mendorong berkembangnya dendrit serta

meningkatnya plastisitas sistem saraf pusat, sehingga fungsi kognitif tetap bertahan baik.15,29,30

20

Rutin berolahraga ringan bagi usia lanjut, seperti berjalan kaki ataupun aerobik, berdampak positif terhadap perbaikan fungsi kognitif usia lanjut yang mengidap gangguan fungsi kognitif ringan. Hal ini dikarenakan olahraga ataupun kegiatan-kegiatan fisik lainnya dapat meningkatkan aliran darah otak dan produksi fakor-faktor pertumbuhan untuk saraf, sehingga lebih lanjut mengurangi resiko terjadinya Demensia.31,32,33 8. Penurunan fungsi kognitif juga dapat terjadi setelah seseorang mengalami trauma kepala atau cardiac arrest.34 9. Merokok Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa merokok memiliki kaitan dengan kejadian Demensia. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa konsumsi nikotin ternyata akan lebih meningkatkan efek yang merugikan berpengaruh bagi otak maupun penurunan kesehatan fungsi jantung kognitif dan serta

terhadap

Demensia.35 Penelitian berbeda menyebutkan efek nikotin meningkatkan atensi, konsentrasi, fungsi kognitif serta

memperbaiki penurunan daya ingat pada penderita Demensia Alzheimer.36,37,38,39 Penelitian lainnya menyebutkan mereka yang dulunya merokok dan kini sudah berhenti, memiliki resiko dua kali lipat dibandingkan dengan mereka yang sama sekali tidak pernah

21

merokok. Dan mereka yang merokok sepanjang hidupnya akan lebih cepat mengalami kehilangan daya ingat. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa merokok pada usia pertengahan menimbulkan adanya kecenderungan penurunan daya ingat dan perubahan fungsi ingatan dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok sebelum menginjak usia 60 tahun.40 Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Kareen J. Anstey dkk dari The Australian National University, menyebutkan bahwa orang yang mulai aktif merokok ketika berusia lanjut memiliki resiko penurunan fungsi kognitif dan Demensia 40-80% lebih tinggi dibanding usia lanjut yang tidak pernah merokok seumur hidupnya. Namun demikian, berdasarkan penelitian tersebut tidak ditemukan adanya peningkatan resiko Demensia dan adanya penurunan fungsi kognitif bagi usia lanjut yang aktif merokok selama hidupnya jika dibandingkan dengan usia lanjut yang tidak pernah merokok sama sekali. Sedangkan untuk mantan perokok, jika dibandingkan dengan usia lanjut yang tidak pernah merokok, tidak ditemukan adanya peningkatan resiko terjadinya Demensia, tetapi pada pemeriksaan MMSE didapatkan penurunan skor MMSE tiap tahunnya.41 Penelitian lain menyebutkan merokok tidak mempengaruhi fungsi kognitif individu, dan tidak ditemukan adanya perbedaan yang berarti antara usia lanjut yang merokok maupun tidak merokok

22

terhadap fungsi kognitifnya setelah disesuaikan dengan faktor resiko lainnya seperti usia dan tingkat pendidikan.42,43

2.3

Demensia 2.3.1 Definisi Demensia adalah sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik atau progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (kortikal yang multiple) yaitu: daya ingat, daya fikir, daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut, biasanya disertai hendaya fungsi kognitif, dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder mengenai otak.44 2.3.2 Epidemiologi Dari beberapa tipe Demensia, yang terbanyak diderita oleh usia lanjut yaitu Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Dari penelitian, untuk kawasan Amerika dan Eropa, didapatkan hasil bahwa sekitar 50 hingga 60 persen dari total penderita Demensia, menderita Demensia Alzheimer (Alzheimers diseases). 15 hingga 30 persen dari total penderita Demensia, menderita Demensia Vaskuler.7 Angka ini berbeda dengan yang ditemukan di kawasan Asia. Persentase kejadian Demensia Vaskuler di kawasan Asia justru mencapai 50% dari total kejadian Demensia dan apabila dilihat dari etiologinya Demensia Pasca-stroke merupakan 15-30% 23

dari Demensia Vaskuler, angka ini akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia.16 2.3.3 Klasifikasi Demensia Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak, sifat klinisnya.45,46 1. Menurut umur : a. b. 2. Demensia senilis (>65th) Demensia prasenilis (<65th)

Menurut perjalanan penyakit : a. b. Irreversibel Reversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, defisiensi vitamin B, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb)

3.

Menurut kerusakan struktur otak : a. b. c. d. e. f. g. h. i. Tipe Alzheimer Tipe non-Alzheimer Demensia vaskular Demensia Jisim Lewy (Lewy Body Dementia) Demensia Lobus frontal-temporal Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS) Morbus Parkinson Morbus Huntington Morbus Pick

24

j. k. l.

Morbus Jakob-Creutzfeldt Sindrom Gerstmann-Strussler-Scheinker Prion disease

m. Palsi Supranuklear progresif n. o. p. 4. Multiple skeloris Neurosifilis Tipe campuran

Menurut sifat klinis : a. b. Demensia proprius Pseudo-demensia

Dari klasifikasi Demensia di atas, diketahui bahwa jenis-jenis Demensia sangatlah beragam. Namun demikian, Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler merupakan dua jenis Demensia yang seringkali dijumpai dalam masyarakat. Berikut akan dijelaskan secara ringkas mengenai kedua jenis Demensia tersebut. 1. Demensia Alzheimer Demensia tipe ini pertama kali digambarkan oleh Alois Alzheimer pada tahun 1907. Digambarkan oleh Alois Alzheimer suatu kondisi dimana seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan Demensia yang progresif selama 4,5 tahun. Kondisi ini selanjutnya diberi nama sesuai namanya sendiri yaitu Alzheimer.10

25

Diketahui beberapa faktor resiko dalam perkembangan Demensia Alzheimer, yaitu: wanita, genetik (riwayat keluarga atas penyakit yang sama), dan mempunyai riwayat cedera kepala. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40% dari pasien Demensia mempunyai riwayat keluarga menderita Demensia Alzheimer, sehingga dapat disimpulkan bahwa setidaknya dari beberapa kasus faktor genetik memang mempengaruhi perkembangan Demensia Alzheimer. Penelitian selanjutnya diketahui bahwa Sindroma Down juga secara karakteristik berhubungan dengan perkembangan Demensia Alzheimer.7 Berdasarkan penelitian, dikatakan bahwa penderita Sindroma Down (trisomi 21) mempunyai resiko lebih besar untuk terjadinya Demensia Alzheimer. Bahkan insiden Demensia Alzheimer pada Sindroma Down 3 sampai 5 kali lebih banyak dibanding orang normal. Selain insiden terjadinya Demensia Alzheimer yang lebih banyak dibanding orang normal, penderita Sindroma Down juga diketahui mengalami Demensia lebih awal. Kisaran usia kemunculannya lebih cepat 20 tahun dibanding orang normal pada umumnya, yaitu berkisar antara usia 30 hingga 40 tahun. Hal ini terlihat dari 25% penderita Sindroma Down berumur di atas 35 tahun telah menunjukkan gejala-gejala Demensia Alzheimer. Adanya ekstra gen akibat abnormalitas kromosom ketiga (trisomi 21) pada Sindroma Down merupakan suatu faktor penyebab berkembangnya penyakit Alzheimer lebih dini.47

26

Diagnosa akhir Demensia Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak penderita. Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan dilatasi ventrikel serebri, dapat diketahui pada CAT scanning.7,48 Ada tiga perubahan mikroskopis klasik dan patognomonik pada Demensia Alzheimer, yaitu: a. Bercak penuaan (senile atau neuritic plaque), berupa deposit material amorf (amiloid) yang dikelilingi oleh akson dan dendrit yang abnormal serta mikroglia dan astrosit reaktif. Komponen utama amiloid di dalam neuritic plaque yaitu protein beta amiloid/A4, yang merupakan neurotoksik. Hasil penelitian

menunjukkan adanya protein beta amiloid/A4 secara langsung menyebabkan kematian sistem saraf pada penyakit Alzheimer. Senile atau neuritic plaque ini banyak tersebar pada korteks serebri.49 b. Neurofibrillary tangles berupa massa berbentuk simpul, kumparan atau kekusutan serabut neuron di dalam sitoplasma sel neuron. Pada dasarnya neurofibrillary tangles dan neuritic plaque ditemukan pada otak normal orang dengan usia lanjut. Tetapi ketika ditemukan jumlahnya yang meningkat pada otak, dikatakan sebagai tanda telah terjadinya Alzheimer.50

Neurofibrillary tangles ditemukan terutama dalam girus

27

hipokampus, lainnya dalam amigdala dan lobus temporalis di dekatnya, girus singuli lokus sereleus serta sedikit dalam substansi nigra. Selain ditemukan pada demensia Alzheimer, ternyata neurofibrillary tangles ini juga ditemukan pada penyakit lain, seperti Demensia Parkinson.49 c. Degenerasi granulovakuola, terutama ditemukan pada sel-sel piramidal dalam hipokampus, juga korteks serebri.49 2. Demensia Vaskuler Demensia Vaskuler paling sering ditemukan pada laki-laki dengan kisaran usia antara 60 sampai 70 tahun. Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita Demensia tipe ini. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar luas pada otak. Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah oleh plaque arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain (misalnya katup jantung). Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis, hasil funduskopi yang tidak normal atau pembesaran jantung.7,10 Penurunan fungsi kognitif pada Demensia Vaskuler tergantung pada jenis gangguannya. Dapat akut atau tiba-tiba bila terjadi gangguan pembuluh darah secara mendadak, dan akan menurun lagi bila serangan itu berulang.15

28

2.3.4 Tanda dan Gejala Demensia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek. Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings Defisit neurologik motor & fokal Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoid Agnosia, apraxia, afasia ADL (Activities of Daily Living) susah Kesulitan mengatur penggunaan keuangan Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian Lupa meletakkan barang penting Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang Mudah terjatuh, keseimbangan buruk Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine & alvi Tak dapat makan dan menelan Koma dan kematian.45

2.3.5 Diagnosis Diagnosis Demensia didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien, termasuk pemeriksaan status mental, dan informasi dari anggota keluarga maupun kerabat terdekat. Keluhan dari pasien tentang gangguan intelektual dan menjadi pelupa harus diperhatikan. Selain itu, dengan ditunjang

29

pemeriksaan CT scan juga MRI, sensitivitas diagnostik mencapai 85-90%.


7,49

2.3.6 Diagnosis Banding 1. Delirium Tabel 2.1 Perbedaan klinis Delirium dan Demensia45
Gambaran Riwayat Awal Sebab Delirium Penyakit akut Cepat Terdapat penyakit lain (infeksi, dehidrasi, guna/putus obat Ber-hari/-minggu Naik turun Naik turun Terganggu, periodic Cemas dan iritabel Sering terganggu Lamban, inkoheren, inadekuat Jangka pendek terganggu nyata Halusinasi (visual) Retardasi, agitasi, campuran Terganggu siklusnya Amat terganggu Sering reversible Segera Demensia Penyakit kronik Lambat laun Biasanya penyakit otak kronik (spt Alzheimer, demensia vaskular) Ber-bulan/-tahun Kronik progresif Normal Intak pada awalnya Labil tapi tak cemas Turun jumlahnya Sulit menemukan istilah tepat Jangka pendek & panjang terganggu Halusinasi jarang kecuali sundowning Normal Sedikit terganggu siklus tidurnya Sedikit terganggu Umumnya tak reversibel Perlu tapi tak segera

Lamanya Perjalanan sakit Taraf kesadaran Orientasi Afek

Alam pikiran Bahasa Daya ingat Persepsi Psikomotor Tidur Atensi & kesadaran Reversibilitas 2. Penanganan

e 2. Depresi Pasien dengan disfungsi kognitif terkait depresi secara umum memiliki gejala-gejala depresi yang mencolok, umumnya pasien

30

depresi lebih menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada pasien dengan demensia.7 3. Pseudodemensia Pada pseudodemensia terjadi perubahan tingkah laku yang tibatiba (onset akut) serta penderita memiliki banyak keluhan padahal hasil tes neuropsikologis menunjukkan tidak adanya kelainan. Sedangkan pada Demensia onset penyakit perlahanlahan dan ditemukan hasil tes neuropsikologis jelek.1 4. Skizofrenia Dibandingkan dengan Demensia, Skizofrenia memiliki gejala psikosis dan gangguan fungsi intelektual serta gangguan pikiran yang lebih ringan.7 5. Proses penuaan yang normal Pada proses penuaan yang normal juga ditemukan adanya penurunan fungsi kognitif. Hal ini ditandai dengan terjadinya penurunan daya ingat (memori), hanya saja pada kondisi penuaan yang normal penurunan daya ingat ini bersifat ringan dan tidak sampai mengganggu ADL.7

2.3.7 Prognosis Demensia merupakan gangguan yang perkembangannya progresif dari tahun ke tahun dan sering berakhir dengan kematian. Hal ini diperberat dengan riwayat keluarga serta onset dini dari Demensia. Namun demikian,

31

dengan deteksi dini Demensia serta terapi yang cepat dan tepat, gangguan yang terjadi dapat diperbaiki (reversible).7 2.3.8 Terapi Penatalaksanaan pada Demensia dititik beratkan pada : a. Pencegahan Demensia Vaskuler, dengan pengendalian penyakitpenyakit jantung dan pembuluh darah. b. c. Mengobati penyakit-penyakit yang memperberat kejadian Demensia. Mengobati gejala-gejala gangguan jiwa yang mungkin menyertai Demensia. d. Mengatasi masalah penyimpangan perilaku dengan obat-obatan penenang (transquillizer dan hipnotic) serta pemberian obat-obatan anti kejang bila perlu. e. f. Pendekatan psikologi dalam mengatasi masalah perilaku. Memberikan konseling pada keluarga penderita serta orang-orang yang ada disekitar penderita.51

Secara umum, terapi dari Demensia terbagi dua yaitu : 1. Terapi Farmakologis Terapi farmakologi berupa45 : a. Nootropika : - Pyritinol (Encephabol) 1 x 100 - 3 x 200 mg - Piracetam (Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg - Sabeluzole (Reminyl)

32

b.

Ca-antagonis : - Nimodipine (Nimotop 1- 3 x 30 mg) - Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v./i.m. - Cinnanzine (Stugeron) 1 - 3 x 25 mg - Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infus - Pantoyl-GABA

c.

Acetylcholinesterase inhibitor : - Tacnne 10 mg dinaikkan lambatlaun hingga 80 mg (Hepatotoksik) - Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x /hari - Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg - Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg - Memantine 2 x 5 mg 10 mg.

2. Terapi Non Farmakologis Tiga bentuk utama dalam terapi non-farmakologis bagi penderita Demensia, yaitu: managing the family, managing the environment, dan managing the patient. Tujuan terapi non-farmakologis adalah untuk memperbaiki orientasi realitas pasien, memodifikasi perilaku, membantu keluarga atau pengasuh dalam pembuatan pelaksanaan program aktivitas harian penderita, serta memberikan pelatihan yang benar pada keluarga maupun pengasuh bagaimana menghadapi dan mengasuh penderita Demensia.51 Termasuk dalam terapi non-farmakologis :

33

a.

Intervensi lingkungan : - Penyesuaian fisik (bentuk ruangan, warna, alat yang tersedia) - Penyesuaian waktu (membuat jadwal rutin) - Penyesuaian lingkungan malam hari (mandi air hangat, tidur teratur) - Penyesuaian indera (mata, telinga) - Penyesuaian nutrisi (makan makanan dgn gizi seimbang).

b.

Intervensi perilaku : - Wandering Yakinkan dimana keberadaan pasien Berikan keleluasaan bergerak di dalam dan di luar ruangan Gelang pengenal "Hendaya Memori". - Agitasi dan agresivitas Hindari situasi yang memprovokasi Hindari argumentasi Sikap kita tenang dan mantap Alihkan perhatian ke hal lain. - Sikap dan pertanyaan yang berulang Tenang, dengarkan dengan baik, jawab dengan penuh pengertian. Bila masih berulang, acuhkan dan usahakan alihkan perhatian ke hal yang menarik pasien. - Perilaku seksual yang tidak wajar Tenang dan bimbing pasien keruang pribadinya Alihkan ke hal yang menarik perhatiannya

34

Bila didapatkan dalam keadaan telanjang, berilah baju atau selimut untuk menutupi badannya. Bantu mengenakan baju kembali. c. Intervensi psikologis : - Intervensi psikologis dapat berupa psikoterapi untuk mengurangi kecemasan, memberi rasa aman dan ketenangan, dalam bentuk: psikoterapi individual, psikoterapi kelompok, psikoterapi keluarga - Untuk pengasuh diperlukan: dukungan mental, pengembangan kemampuan adaptasi dan peningkatan kemandirian, serta

kemampuan menerima kenyataan (realistik). - Mengatasi mudah lupa lakukan: latihan terus-menerus, berulangulang, tingkatkan perhatian, asosiasikan hal yang diingat dengan hal yang sudah ada dalam otak.53

2.4

Mini Mental State Examination (MMSE) Deteksi penurunan fungsi kognitif dapat dilakukan melalui

pemeriksaan status mental yang meliputi atensi, bahasa, memori jangka pendek, visuospasial dan fungsi eksekusi serta pemeriksaan fungsi luhur untuk mengetahui hubungan struktur dan fungsi. Secara kuantitatif untuk mendeteksi penurunan fungsi kognitif tersebut dapat digunakan 3 jenis perangkat tes, yaitu : Mini Mental State Examination (MMSE), Clinical Dementia Rating (CDR), Global Deterioration Scale (GDS).9 Dari ketiga jenis perangkat tes tersebut, yang sekarang paling sering digunakan oleh klinisi adalah MMSE. MMSE atau

35

pemeriksaan status mental mini merupakan salah satu pemeriksaan mental mini yang cukup populer, yang diperkenalkan oleh Folstein et al pada tahun 1975. MMSE secara luas digunakan sebagai pemeriksaan standar status mental di banyak negara, dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia.21 MMSE digunakan untuk mendeteksi gangguan sederhana, mengikuti perjalanan penyakit, dan memonitor respon pasien terhadap terapi. Gangguan tersebut meliputi atensi, orientasi, berhitung, bahasa, ingatan segera, memori jangka pendek, kemampuan verbal serta kemampuan pasien menulis apa yang diinstruksikan. Tes ini tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengerjaannya, hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Akan tetapi, pada pasien dengan tingkat pendidikan rendah dan intelegensi yang kurang, memerlukan waktu pemeriksaan yang lebih lama.54 Pengelompokan skor instrumen MMSE menurut kriteria Folstein dan Galasko, yaitu: fungsi kognitif baik bila skor 28 30, fungsi kognitif sedang bila skor 24 27, Demensia borderline bila skor 20 23, dan Demensia bila skor 0 19.55,56 Namun demikian, total skor pada MMSE ternyata tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan asli individu yang diperiksa. Latar belakang pendidikan akan turut mempengaruhi total skor pada pemeriksaan. Oleh sebab itu, tes ini tidak digunakan untuk membuat suatu diagnosis resmi terhadap Demensia, melainkan hanya digunakan sebagai screening test. Untuk benar-benar mendiagnosis seseorang menderita Demensia, selain digunakan MMSE

36

(pemeriksaan neuropsikologis), juga harus dilakukan pemeriksaan fisik, riwayat penyakit dan aktivitas fungsional sehari-hari.1,57 Dari pemeriksaan-pemeriksaan MMSE yang telah banyak dilakukan, diketahui bahwa semakin tinggi nilai hasil pemeriksaan MMSE akan mengurangi kemungkinan terjadinya Demensia sekitar 95%.14

2.5

Profil Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Nirwana Puri Samarinda adalah

satu-satunya panti jompo yang dimiliki Pemerintah yang berada di Samarinda, berada langsung dibawah pengawasan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur. PSTW Nirwana Puri yang terletak di Jalan Mayjen Sutoyo (ex. Jalan Remaja) No. 7 Samarinda ini didirikan pada tahun 1978, diresmikan oleh Direktur Jenderal Bantuan Sosial Departemen Sosial. Awalnya panti ini bernama Sasana Tresna Werdha Nirwana Puri, kemudian dengan ketetapan Menteri Sosial saat itu panti ini berganti nama menjadi Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda. Dalam perkembangan selanjutnya PSTW Nirwana Puri banyak menjalin kerjasama dengan berbagai instansi seperti RSUD AW.Sjahranie, RSJ Atma Husada, Puskesmas Remaja, serta Poltabes Samarinda. PSTW Nirwana Puri Samarinda memiliki luas lahan 20.850 m2 terdiri dari 15 wisma dengan keseluruhan daya tampung 120 orang, 1 poliklinik, 1 mushola, 1 dapur umum, kantor, serta beberapa bangunan lainnya. 15 wisma yang membentuk komplek perumahan di area panti merupakan tempat tinggal para usia lanjut, dimana penghuni wisma-wisma tersebut dibedakan berdasarkan jenis

37

kelamin, namun ada pula 1 wisma dimana seluruh penghuninya merupakan pasangan suami istri. Masing-masing wisma dihuni oleh 5-8 usia lanjut, ditambah dengan seorang pengasuh yang bertugas merawat serta mengawasi kegiatan para usia lanjut setiap harinya. Saat ini PSTW Nirwana Puri Samarinda menampung sekitar 110 orang usia lanjut, dengan jumlah penghuni perempuan yaitu 58 orang dan penghuni laki-laki 52 orang. Para usia lanjut ini berasal dari berbagai daerah seperti Samarinda, Balikpapan, Berau, Tarakan, Bontang, Paser, Panajam, Kutai Kartanegara serta Kutai Timur. Untuk dapat menjadi penghuni PSTW Nirwana Puri Samarinda ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi para usia lanjut, antara lain: 1. Usia lanjut yang berumur 60 tahun keatas 2. Sehat jasmani dan rohani (dalam keadaan stabil saat masuk atau mendaftar) 3. Terlantar atau ditelantarkan. 4. Bersedia tinggal di panti. 5. Surat keterangan tidak mampu dari aparat setempat atau desa atau kelurahan. 6. Surat keterangan dari instansi sosial kabupaten atau kota.

38

BAB III KERANGKA KONSEP

Usia Jenis kelamin Stroke Nutrisi Tekanan darah Tingkat pendidikan Pola hidup dan faktor kebiasaan Asam urat tinggi Konsumsi obat Post head injury Merokok

Fungsi Kognitif

Demensia

Pemeriksaan : MMSE (Mini Mental State Examination )

39

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1

Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional.

4.2

Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda pada bulan Februari 2010 sampai November 2010.

4.3

Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah semua usia lanjut yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

4.4

Kriteria Inklusi dan Eklusi 4.4.1 Kriteria Inklusi

- Semua penghuni panti jompo yang berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal dan menetap di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda periode Agustus 2010. - Penghuni panti jompo yang bersedia untuk dijadikan responden.

40

4.4.2 Kriteria Eklusi

- Penghuni panti jompo yang berusia kurang dari 60 tahun. - Penghuni panti jompo yang memiliki gangguan pendengaran atau penglihatan, serta memiliki gangguan dalam berkomunikasi. - Penghuni panti jompo yang memiliki gangguan jiwa.

4.5

Cara Pengumpulan Data 4.5.1 Data Primer Data primer diperoleh melalui pemeriksaan atau wawancara langsung terhadap usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda dengan menggunakan instrumen MMSE. 4.5.2 Data Sekunder Data sekunder berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan diperoleh dari data keanggotaan usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

4.6

Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mini Mental State Examination (MMSE).

41

4.7

Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 4.7.1 Usia lanjut Usia lanjut adalah laki-laki atau perempuan berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda. Kriteria Objektif : 60 - 74 tahun 75 - 90 tahun > 90 tahun

4.7.2

Fungsi Kognitif Merupakan kemampuan pengenalan dan penafsiran seseorang terhadap lingkungannya berupa perhatian, bahasa, memori, visuospasial, dan fungsi memutuskan. Derajat dan nilai gangguan fungsi kognitif ditentukan dari pemeriksaan status mental mini (MMSE), dalam bentuk skor. Kriteria Objektif : skor 28 30 skor 24 27 skor 20 23 skor 0 19 : fungsi kognitif baik : fungsi kognitif sedang : Demensia borderline : Demensia

42

4.7.3

Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah jenis kelamin usia lanjut yang tinggal dan menetap di Panti Werdha Nirwana Puri yang menjalani pemeriksaan MMSE. Kriteria Objektif : Laki-laki Perempuan

4.7.4

Tingkat Pendidikan Keterangan mengenai tingkat pendidikan terakhir yang pernah dijalani usia lanjut yang menjadi subjek penelitian. Kriteria Objektif : Tidak sekolah atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal SD / SR (Sekolah Rakyat) SLTP / SMP atau yang sederajat SLTA / SMA atau yang sederajat

4.7.5

Kebiasaan Merokok Keterangan mengenai kebiasaan merokok usia lanjut setiap harinya hingga saat wawancara atau pemeriksaan dilakukan (perokok aktif sekarang).

43

Kriteria Objektif : Merokok Tidak Merokok

4.8

Pengolahan dan Penyajian Data Data hasil pemeriksaan MMSE diolah dengan menggunakan program Excel, dan hasil yang didapat dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan serta kebiasaan merokok usia lanjut, dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi.

4.9

Analisa Data Pada penelitian ini digunakan analisa distribusi frekuensi untuk analisa fungsi kognitif menurut usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan kebiasaan merokok usia lanjut. Hasil analisa masing-masing akan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi.

44

4.10 Alur Penelitian

Mengunjungi PSTW Nirwana Puri Samarinda

Menentukan sample usia lanjut yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi

Penilaian status fungsi kognitif pada usia lanjut dengan MMSE

Pengolahan data dan analisis hasil

45

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1

Analisa data hasil penelitian 5.1.1 Data Karakteristik Responden a. Data Usia Responden Dari penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sempaja tanggal 8 Oktober 2012 sampai 20 Oktober 2012 terhadap 36 pasien DM tipe 2 diketahui usia terendah subjek yang diteliti yaitu 35 tahun dan usia tertinggi yaitu 66 tahun. Variabel usia pada penelitian kemudian dibagi ke dalam 4 kisaran usia berdasarkan pembagian usia di Puskesmas Sempaja, yaitu: 21-35 tahun, 36-50 tahun, 51-65 tahun, dan >66 tahun. Jumlah pasien DM tipe 2 pada kisaran usia 21-35 tahun yang diteliti yaitu 1 orang (2,8%), untuk kisaran usia 36-50 tahun pasien DM tipe 2 yang diteliti berjumlah 13 orang (36,1%), untuk usia 51-65 tahun jumlah yang diteliti yaitu 21 orang (58,3%), dan untuk usia 66 tahun jumlah pasien DM tipe 2 yang diteliti yaitu 1 orang (2,8%).

46

Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan kelompok usia

No

Kelompok Usia (tahun) 21-35 36-50 51-65 66

Jumlah (orang) 1 13 21 1

Persentase (%) 2,8 36,1 58,3 2,8

1 2 3 4

Total

36

100

30 25

65,1

j u 20 m l 15 a h 10
5

30,2 %

distribusi berdasarkan kelompok usia

4,7 % 0 60-74 tahun 75-90 tahun >90 tahun

Gambar 5.1 Distribusi responden berdasarkan kelompok usia

b. Data Jenis Kelamin Responden Dari penelitian terhadap 36 pasien DM tipe 2 yang datang berobat ke Puskesmas Sempaja didapatkan hasil pasien yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 14 orang (38,9%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 22 orang (61,1%).

47

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin

No

Jenis Kelamin

Jumlah (orang) 14 22

Persentase (%) 38,9 61,1

1 2

Laki-laki Perempuan

Total

36

100

48,8 %

Laki-laki Perempuan 51,2 %

Gambar 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin

c. Data Tingkat Pendidikan Responden Dari penelitian yang dilakukan terhadap 36 pasien DM tipe 2, terdapat 8 orang yang tidak bersekolah (22,2%), sedangkan sisanya pernah mengenyam pendidikan dengan pembagian: untuk pasien yang berpendidikan SD/SR berjumlah 15 orang (41,7%), tingkat pendidikan SMP yaitu 5 orang (13,9%), tingkat pendidikan

48

SMA/SMK/STM berjumlah 5 orang (13,9%), dan pasien dengan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi berjumlah 3 orang (8,3%).
Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

No

Tingkat Pendidikan

Jumlah (orang) 8 15 5 5 3

Persentase (%) 22,2 41,7 13,9 13,9 8,3

1 2 3 4 5

Tidak sekolah SD / SR SMP SMA / SMK / STM Perguruan Tinggi

Total

36

100

27,9 % 44,3 % SD / SR SMP SMA / SMK / STM Tidak sekolah 13,9 %

13,9 %

Gambar 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

49

d. Data lamanya menderita DM tipe 2 Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa dari 36 pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Sempaja didapatkan 3 orang (8,3%) yang menderita DM tipe 2 <1 tahun, 19 orang (52,8%) menderita DM tipe 2 selama 1-3 tahun, 6 orang (16,7%) menderita DM tipe 2 selama 4-6 tahun, 3 orang (8,3%) menderita DM tipe 2 selama 7-9 tahun, dan sebanyak 5 orang (13,9%) menderita DM tipe 2 selama 10 tahun.
Tabel 5.4 Distribusi pasien berdasarkan lamanya menderita DM tipe 2

No

Lama menderita DM tipe 2 (tahun) <1 1-3 4-6 7-9 10

Jumlah (orang) 3 19 6 3 5

Persentase (%) 8,3 52,8 16,7 8,3 13,9

1 2 3 4 5

Total

36

100

d. Data Gula Darah Puasa (GDP) pasien Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa dari 36 pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Sempaja didapatkan 10 orang (27,8%) yang memiliki kadar GDP 101-150 mg/dl, 9 orang (25%) memiliki kadar GDP 151-

50

200 mg/dl, sebanyak 8 orang (22,2%) memiliki GDP 201250 mg/dl, 7 orang (19,4%) memiliki kadar GDP 251-300 mg/dl, 1 orang (2,8%) memiliki kadar GDP 301-350 mg/dl, dan sebanyak 1 orang (2,8%) memiliki kadar GDP >350 mg/dl. Dari 36 pasien DM tipe 2 tersebut, tidak ada yang memiliki kadar GDP 100 mg/dl. e. Data keteraturan berobat pasien Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa dari 36 pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Sempaja didapatkan 20 orang (55,6%) yang rutin mengkonsumsi obat DM setiap harinya, dan sebanyak 16 orang (44,4%) yang tidak rutin mengkonsumsi obat DM.

Gambar 5.4 Distribusi responden berdasarkan kebiasaan merokok

5.1.2

Data Tingkat Depresi a. Tingkat Depresi Pasien DM tipe 2 Dari penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sempaja Samarinda terhadap 36 pasien, berdasarkan BDI (Beck Depression Inventory) diperoleh hasil sebanyak 2 orang (5,6%) termasuk ke dalam Depresi sedang, pasien DM tipe 2 yang termasuk dalam Borderline sebanyak 14 orang (38,9%), yang termasuk ke dalam gangguan mood sebanyak 18 orang (33,3%), dan sisanya yaitu 8

51

orang (22,2%) termasuk dalam kategori normal. Sedangkan untuk kategori depresi berat maupun depresi sangat berat tidak ditemukan.
Tabel 5.5 Tingkat Depresi pasien DM tipe 2

Normal

Gangguan mood

Borderline

Depresi sedang

Depresi berat

Depresi sangat berat

Jumlah (orang) Persentase (%)

12

14

22,2

33,3

38,9

5,6

p e r s e n t a s e

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Fungsi kognitif Fungsi kognitif baik sedang Demensia borderline Demensia

Gambar 5.5 Tingkat fungsi kognitif responden

b. Data Tingkat Depresi berdasarkan Usia Pada kisaran usia 21-35 tahun, dengan jumlah pasien DM tipe 2 yang diteliti 1 orang, diketahui 1 orang (100%) tersebut

52

termasuk ke dalam kategori Depresi sedang. Rata-rata nilai total BDI pada kisaran usia ini adalah 22. Dari 13 responden yang diteliti pada kisaran usia 36-50 tahun, didapatkan sebanyak 1 orang (7,7%) termasuk dalam kategori depresi sedang, 2 orang (15,4%) termasuk dalam borderline dan 6 orang (46,1%) termasuk dalam kategori gangguan mood. Sedangkan sisanya yaitu 4 orang (30,8%) termasuk dalam kategori normal. Rata-rata nilai total BDI pada kisaran usia 36-50 tahun ini adalah 11,1. Pada kisaran usia 51-65 tahun, didapatkan 21 pasien DM tipe 2 yang diteliti. Dari 21 orang tersebut, sebanyak 12 orang (57,1%) termasuk dalam kategori borderline, 6 orang (28,6%) termasuk ke dalam kategori gangguan mood, dan sisanya yaitu 3 orang (14,3%) termasuk dalam kategori normal. Rata-rata nilai total BDI pada kisaran usia ini yaitu 14,8. Terakhir pada rentang usia 66 tahun hanya ada 1 orang pasien DM tipe 2 yang diteliti dan termasuk dalam kategori normal. Rata-rata usia pasien DM tipe 2 responden yang termasuk dalam kategori normal adalah 52,2 tahun, sedangkan yang termasuk dalam depresi sedang rata-rata berusi 42,5 tahun.

53

Tabel 5.6 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan usia


Rata -rata nilai total BDI 22 11,1 14,8 6 Kategori Tingkat Depresi III IV V % 0 46,1 28,6 0 n 0 2 12 0 % 0 15,4 57,1 0 n 1 1 0 0 % 100 7,7 0 0 n 0 0 0 0 % 0 0 0 0

Usia (tahun) 21-35 36-50 51-65 66

I n 0 4 3 1 % 0 30,8 14,3 100

II n 0 6 6 0

VI Jumlah n 0 0 0 0 % 0 0 0 0 1 13 21 1

Keterangan: I : normal; II : gangguan mood; III : borderline; IV : Depresi sedang; V : Depresi berat; VI : Depresi sangat berat

120 100 p e 80 r s e 60 n t 40 a s e 20 0 60-74 tahun 75-90 tahun >90 tahun

Fungsi kognitif baik Fungsi kognitif sedang Demensia borderline Demensia

Gambar 5.6 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan usia

Tabel 5.7 Rata-rata usia berdasarkan tingkat fungsi kognitif responden

54

Normal

Gangguan mood

Borderline

Depresi sedang

Depresi berat

Depresi sangat berat

Rata-rata usia (tahun)

52,2

52,2

55,3

42,5

c. Data Tingkat Depresi berdasarkan Jenis Kelamin Dari 36 pasien DM tipe 2 yang datang berobat ke Puskesmas Sempaja terdapat 14 orang berjenis kelamin laki-laki dan terdapat 22 orang berjenis kelamin perempuan. Pada 14 pasien dengan jenis kelamin laki-laki didapatkan hasil sebanyak 2 orang (14,3%) termasuk dalam kategori depresi sedang. Sisanya yaitu 4 orang (28,6%) termasuk dalam kategori borderline, 3 orang (21,4%) termasuk dalam kategori gangguan mood, dan 5 orang (35,7%) termasuk dalam kategori normal. Pada 22 pasien DM tipe 2 dengan jenis kelamin perempuan didapatkan hasil 10 orang (45,5%) termasuk dalam kategori borderline, sebanyak 9 orang (40,9%) termasuk dalam kategori gangguan mood, dan sisanya yaitu 3 orang (13,6%) termasuk dalam kategori normal. Perbandingan rata-rata nilai total BDI lakilaki dan perempuan adalah 12,6 : 14.

Tabel 5.8 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin


Jenis Rata Kategori Tingkat Depresi Jumlah

55

Kelamin

-rata nilai total BDI

I n %

II n %

III n %

IV n %

V n %

VI n %

Laki-laki Perempuan

12,6 14

5 3

35,7 13,6

3 9

21,4 40,9

4 10

28,6 45,5

2 0

14,3 0

0 0

0 0

0 0

0 0

14 22

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : Demensia borderline; IV : Demensia

70 p e r s e n t a s e 60 50 Fungsi kognitif baik 40 30 20 10 0 Laki-laki Perempuan Fungsi kognitif sedang Demensia borderline Demensia

Gambar 5.7 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin

d. Data Tingkat Depresi berdasarkan Tingkat Pendidikan Data hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 usia lanjut yang diteliti, 19 orang diantaranya pernah mengenyam pendidikan SD/SR. Dari 19 usia lanjut tersebut diketahui 1 orang (5,3%) tidak memiliki gangguan fungsi kognitif sementara persentase terbanyak

56

42,1% termasuk dalam kategori Demensia. Rata-rata nilai total MMSE untuk tingkat pendidikan SD/SR ini adalah 19,5. Untuk tingkatan SMP didapatkan 1 orang (16,7%) termasuk dalam fungsi kognitif baik, 1 orang (16,7%) termasuk dalam fungsi kognitif sedang, 3 orang (50%) termasuk dalam Demensia borderline, dan yang termasuk dalam Demensia berjumlah 1 orang (16,7%). Rata-rata nilai total MMSE pada tingkatan pendidikan ini adalah 23. Selanjutnya untuk tingkatan SMA/SMK/STM, dengan

jumlah usia lanjut yang diteliti yaitu 6 orang, didapatkan hasil 1 orang (16,7%) termasuk dalam fungsi kognitif baik, 2 orang (33,3%) termasuk dalam fungsi kognitif sedang serta Demensia borderline, dan 1 orang (16,7%) termasuk dalam Demensia. Ratarata nilai total MMSE yang diperoleh pada tingkat ini adalah 23,5. Untuk usia lanjut yang tidak pernah mengenyam pendidikan, didapatkan hasil 1 orang (8,3%) memiliki fungsi kognitif yang baik dan 10 orang (83,3%) termasuk dalam Demensia. Rata-rata nilai total MMSE yang didapat yaitu 15,3.

Tabel 5.9 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan tingkat pendidikan

57

Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD/SR SMP SMA/SMK/STM Perguruan Tinggi

Rata -rata nilai total BDI 14,2 14,4 14,4 14,8 2,6

I n 3 1 1 0 3 % 37,5 6,7 20 0 100

II n 1 7 1 3 0

Kategori Tingkat Depresi III IV V % 12,5 46,6 20 60 0 n 4 6 3 1 0 % 50 40 60 20 0 n 0 1 0 1 0 % 0 6,7 0 20 0 n 0 0 0 0 0 % 0 0 0 0 0

VI Jumlah n 0 0 0 0 0 % 0 0 0 0 0 8 15 5 5 3

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : Demensia borderline; IV : Demensia.

90 p e r s e n t a s e 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tidak sekolah SD / SR SMP SMA / SMK / STM Fungsi kognitif baik Fungsi kognitif sedang Demensia borderline Demensia

Gambar 5.8 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan tingkat pendidikan

e. Data Tingkat Depresi berdasarkan Lamanya Menderita DM tipe 2 Pada usia lanjut yang memiliki kebiasaan merokok

didapatkan rata-rata nilai total MMSE sebesar 21,7. 2 orang (13,3%) dari 15 usia lanjut yang merokok tidak memiliki gangguan

58

pada fungsi kognitifnya dan 4 orang (26,7%) termasuk kedalam Demensia. Sedangkan pada usia lanjut yang tidak merokok, rata-rata nilai total MMSE nya adalah 18,1. Didapatkan 28 orang yang tidak merokok, dengan pembagian 2 orang (7,1%) dengan fungsi kognitif baik dan 16 orang (57,1%) termasuk dalam Demensia.
Tabel 5.10 Tingkat depresi berdasarkan Lama Menderita DM Tipe 2
Lama Menderita DM tipe 2 (tahun) <1 1-3 4-6 7-9 10 Rata -rata nilai total BDI 11,3 15,2 14,6 12 7,4 Kategori Tingkat Depresi III IV V % 33,3 26,3 66,7 0 40 n 1 9 2 2 0 % 33,3 47,4 33,3 66,7 0 n 0 2 0 0 0 % 0 10,5 0 0 0 n 0 0 0 0 0 % 0 0 0 0 0

I n 1 3 0 1 3 % 33,3 15,8 0 33,3 60

II n 1 5 4 0 2

VI Jumlah n 0 0 0 0 0 % 0 0 0 0 0 3 19 6 3 5

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : demensia borderline; IV : demensia.

60 p e r s e n t a s e 50 40 30 20 10 0 Merokok Tidak merokok Fungsi kognitif baik Fungsi kognitif sedang Demensia borderline Demensia

59

Gambar 5.9 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan kebiasaan merokok

f. Data Tingkat Depresi berdasarkan Gula Darah Puasa (GDP) Pada usia lanjut yang memiliki kebiasaan merokok

didapatkan rata-rata nilai total MMSE sebesar 21,7. 2 orang (13,3%) dari 15 usia lanjut yang merokok tidak memiliki gangguan pada fungsi kognitifnya dan 4 orang (26,7%) termasuk kedalam Demensia. Sedangkan pada usia lanjut yang tidak merokok, rata-rata nilai total MMSE nya adalah 18,1. Didapatkan 28 orang yang tidak merokok, dengan pembagian 2 orang (7,1%) dengan fungsi kognitif baik dan 16 orang (57,1%) termasuk dalam Demensia.
Tabel 5.10 Tingkat depresi Gula Darah Puasa (GDP)
Gula Darah Puasa (mg/dl) < 100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350 > 350 Rata -rata nilai total BDI 0 10,6 15,2 17,5 10,5 10 18 Kategori Tingkat Depresi III IV V % 0 40 33,3 25 42,8 0 0 n 0 2 4 5 2 0 1 % 0 20 44,4 62,5 28,6 0 100 n 0 0 1 1 0 0 0 % 0 0 11,1 12,5 0 0 0 n 0 0 0 0 0 0 0 % 0 0 0 0 0 0 0

I n 0 4 1 0 2 1 0 % 0 40 11,1 0 28,6 100 0

II n 0 4 3 2 3 0 0

VI Jumlah n 0 0 0 0 0 0 0 % 0 0 0 0 0 0 0 0 10 9 8 7 1 1

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : demensia borderline; IV : demensia.

60

60 p e r s e n t a s e 50 40 30 20 10 0 Merokok Tidak merokok Fungsi kognitif baik Fungsi kognitif sedang Demensia borderline Demensia

Gambar 5.9 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan kebiasaan merokok

g. Data Tingkat Depresi berdasarkan Keteraturan Berobat Dari 36 pasien DM tipe 2 yang datang berobat ke Puskesmas Sempaja terdapat 14 orang berjenis kelamin laki-laki dan terdapat 22 orang berjenis kelamin perempuan. Pada 14 pasien dengan jenis kelamin laki-laki didapatkan hasil sebanyak 2 orang (14,3%) termasuk dalam kategori depresi sedang. Sisanya yaitu 4 orang (28,6%) termasuk dalam kategori borderline, 3 orang (21,4%) termasuk dalam kategori gangguan mood, dan 5 orang (35,7%) termasuk dalam kategori normal. Pada 22 pasien DM tipe 2 dengan jenis kelamin perempuan didapatkan hasil 10 orang (45,5%) termasuk dalam kategori borderline, sebanyak 9 orang (40,9%) termasuk dalam kategori gangguan mood, dan sisanya yaitu 3 orang (13,6%) termasuk

61

dalam kategori normal. Perbandingan rata-rata nilai total BDI lakilaki dan perempuan adalah 12,6 : 14.

Tabel 5.8 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan keteraturan berobat


Rata -rata nilai total BDI Kategori Tingkat Depresi III IV V % n % n % n %

Keteraturan Berobat

I n %

II n

VI Jumlah n %

Teratur Tidak Teratur

11,4 16,1

6 2

30 12,5

9 3

45 18,8

5 9

25 56,2

0 2

0 12,5

0 0

0 0

0 0

0 0

20 16

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : Demensia borderline; IV : Demensia

70 p e r s e n t a s e 60 50 Fungsi kognitif baik 40 30 20 10 0 Laki-laki Perempuan Fungsi kognitif sedang Demensia borderline Demensia

Gambar 5.7 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin

62

BAB VI PEMBAHASAN

6.1

Tingkat fungsi kognitif berdasarkan usia Dari penelitian yang dilakukan pada 43 usia lanjut penghuni PSTW Nirwana Puri diketahui kisaran usia responden yaitu 61 tahun hingga 98 tahun. Setelah usia diketahui, responden kemudian dibagi dalam 3 kelompok, yaitu usia lanjut (elderly) berusia antara 60-74 tahun, tua (old) 75-90 tahun, dan sangat tua (very old) berusia lebih dari 90 tahun.12 Setelah dibagi sesuai dengan kelompok usia, dihitung jumlah nilai pemeriksaan MMSE per individu untuk kemudian dibagi lagi ke dalam 4 kategori fungsi kognitif, yaitu fungsi kognitif baik (nilai MMSE 28-30), fungsi kognitif sedang (nilai MMSE 24-27), Demensia borderline (nilai MMSE 20-23), dan Demensia (nilai MMSE 0-19).56,57 Hasil yang didapat kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, beserta persentase masing-masing kategori. Data pada tabel 5.6 dan gambar 5.6 menunjukkan bahwa angka Demensia tinggi pada usia >90 tahun (very old). Terbukti dari dua usia lanjut yang termasuk dalam kisaran usia di atas 90 tahun, kedua-duanya termasuk dalam kategori Demensia (100%). Berbeda dengan usia lanjut yang berada pada kisaran usia 60-74 tahun (elderly), usia lanjut pada kisaran usia ini cenderung masih memiliki fungsi kognitif yang baik, walaupun tidak dipungkiri pada kisaran usia ini juga ditemukan usia lanjut yang termasuk dalam kategori Demensia yaitu sebesar 39,3%. Hal ini dipengaruhi

63

oleh banyak faktor antara lain penyakit (pasca stroke), hipertensi yang dialami oleh hampir seluruh usia lanjut yang ada di PSTW Nirwana Puri, dan mengkonsumsi obat-obatan seperti obat anti hipertensi, juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.1,21,32 Namun demikian persentase untuk kategori Demensia pada kisaran usia ini (elderly) merupakan yang terendah jika dibandingkan kisaran usia old dan very old. Dari gambar 5.6 jelas terlihat bahwa persentase Demensia, dari persentase terendah hingga yang tertinggi, secara berurutan yaitu pada kisaran usia elderly, old,dan very old. Hasil ini serupa dengan penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan, dimana pada penelitian tersebut disebutkan bahwa prevalensi Demensia hanya sekitar 5% pada kisaran usia 65 tahun dan menunjukkan peningkatan 24-50% pada rentang usia 85 tahun ke atas. Sama halnya dengan Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI), menurut AAzI insiden Demensia akan meningkat dua kali lipat setiap kenaikan usia 5 tahun.1,16 Semakin menurunnya fungsi kognitif pada usia lanjut dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah usia. Semakin lanjut usia seseorang, perubahan pada otak akan semakin terlihat. Perubahan ini meliputi perubahan fungsi serta struktur pada otak. Studi yang dilakukan oleh Baltimore Longitudinal Study menyebutkan bahwa ketika seseorang telah memasuki usia 60-an kemampuan-kemampuan yang menyangkut fungsi kognitif akan semakin menurun. Dan penurunan fungsi kognitif akan semakin terlihat seiring dengan bertambahnya usia, misalnya kecepatan

64

belajar dan memecahkan masalah serta memori.5 Perubahan struktur otak pun akan semakin tampak seiring dengan bertambahnya usia. Penurunan jumlah sel otak, sel neuron serta atrofi pada otak akan mempengaruhi bagian-bagian otak yang mengatur proses belajar, memori dan emosi seperti Hipokampus. Selain itu pada proses penuaan seringkali terdapat akumulasi pigmen organik-mineral membentuk struktur-struktur seperti plak amiloid dan neurofibrillary tangles yang jika ditemukan dalam jumlah yang besar akan mengindikasikan seseorang menderita Demensia Alzheimer. Oleh karena itu, semakin usia lanjut seseorang maka akan semakin rentan mengalami gangguan memori atau Demensia.49 Sejalan dengan hal tersebut, rata-rata nilai total MMSE juga semakin menurun pada usia >90 tahun. Dari hasil penelitian yang tercantum dalam tabel 5.6 diketahui rata-rata nilai total MMSE pada kisaran usia 60-74 tahun (elderly) adalah 21,3 , sedangkan pada kisaran usia 75-90 tahun (old) dan usia >90 tahun (very old) yaitu 17,5 dan 15. Penurunan rata-rata nilai total MMSE ini juga dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto dkk. Dari hasil penelitian tersebut diketahui pada kisaran usia 65-69 tahun didapatkan rata-rata nilai total MMSE yaitu 18,2, pada kisaran usia 70-74 tahun rata-rata nilai total MMSE 15,7 , pada kisaran usia 75-79 tahun ratarata nilai total MMSE yaitu 14,3, dan pada kisaran usia 80 tahun didapatkan rata-rata nilai total MMSE 13,9. Dari hasil penelitian ini diketahui peningkatan usia individu akan diikuti dengan penurunan rata-rata nilai total MMSE.21

65

Rendahnya rata-rata nilai total MMSE dapat diartikan adanya gangguan pada salah satu atau beberapa komponen dalam MMSE, yaitu atensi, orientasi, berhitung, bahasa, ingatan, memori jangka pendek, kemampuan verbal serta kemampuan untuk menulis apa yang

diinstruksikan. Namun demikian rendahnya hasil pemeriksaan MMSE tidak mutlak mengindikasikan individu mengalami gangguan-gangguan tersebut, karena ada faktor lain yang turut serta mempengaruhi tinggi-rendahnya hasil pemeriksaan MMSE yaitu tingkat pendidikan.1,55

6.2

Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin Dari 43 usia lanjut yang diteliti terdapat 22 orang berjenis kelamin laki-laki dan 21 orang berjenis kelamin perempuan. Setelah dikelompokkan berdasarkan tingkatan fungsi kognitifnya, seperti yang terlihat pada gambar 5.7, didapatkan persentase kategori fungsi kognitif baik dan sedang pada perempuan lebih rendah dibandingkan pada laki-laki. Bahkan masih berdasarkan gambar 5.7, persentase Demensia pada perempuan mencapai 2 kali lipat dibanding laki-laki. Hal ini sesuai dengan teori, dimana pada buku Sinopsis Psikiatri disebutkan bahwa perempuan merupakan salah satu faktor resiko dari Demensia Alzheimer.7 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya, kejadian Demensia pada perempuan ternyata lebih banyak dibandingkan laki-laki. Namun demikian, tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan Demensia.17

66

Pada

penelitian

lain

disebutkan

bahwa

tingginya

prevalensi

perempuan menderita Demensia dikarenakan umumnya pada perempuan bila terjadi gangguan fungsi kognitif akan langsung berlanjut ke tahap Demensia, sementara pada laki-laki akan terjadi perubahan fungsi kognitif dari yang normal atau fungsi kognitif baik ke MCI (Mild Cognitive Impairment) terlebih dahulu sebelum akhirnya berlanjut ke tahap Demensia.20 Tingginya angka kejadian Demensia pada perempuan salah satunya dikarenakan hormon estrogen, dimana kekurangan hormon estrogen dalam jangka waktu lama akan berdampak pada terjadinya Demensia. Di otak, reseptor estrogen terutama terletak pada area dimana terdapat fungsi belajar dan mengingat, seperti hipokampus dan amygdala. Penurunan hormon estrogen saat menopause pada perempuan yang lebih dini dibandingkan laki-laki inilah yang menyebabkan angka Demensia pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Selain itu, banyaknya perempuan yang tidak mengenyam pendidikan juga mempengaruhi penurunan fungsi kognitif lebih dini dibanding laki-laki.18,19 Dilihat dari tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata nilai total MMSE pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Seperti halnya hasil penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto dkk pada 45 usia lanjut di Panti Sosial Budi Sejahtera Banjarbaru menunjukkan rata-rata nilai total MMSE pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini dikarenakan lebih

67

banyak subjek laki-laki yang mendapat pendidikan formal dibandingkan perempuan.21

6.3

Tingkat fungsi kognitif berdasarkan tingkat pendidikan Berdasarkan gambar 5.8 di atas terlihat persentase Demensia pada kelompok usia lanjut yang tidak mengenyam pendidikan formal hampir mencapai 2 kali lipat dibandingkan persentase Demensia pada kelompok dengan pendidikan SD, dan mencapai 5 kali lipat dibandingkan persentase Demensia pada kelompok usia lanjut dengan pendidikan SMP dan SMA. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Khasanah di PSTW Yogyakarta unit Abiyoso dan Budiluhur, dimana dari penelitian tersebut di dapatkan hubungan antara Demensia dengan tinggi-rendahnya pendidikan individu. Dimana semakin tinggi pendidikan yang diperoleh individu, maka semakin rendah resiko mengalami Demensia di masa tua, dan sebaliknya.26 Hal ini dikarenakan pendidikan dapat meningkatkan stimulasi kognitif dan mendorong berkembangnya dendrit serta meningkatnya plastisitas sistem saraf pusat, sehingga fungsi kognitif tetap bertahan baik. Selain itu orang yang berpendidikan akan terbiasa melakukan kegiatan-kegiatan intelektual yang mengasah otak sehingga menurunkan resiko terjadinya penurunan fungsi kognitif.27,28 Hasil yang ditunjukkan pada tabel 5.9 di atas berbanding lurus dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto dkk terhadap usia lanjut di Panti Sosial Budi Sejahtera Banjarbaru yang menunjukkan bahwa dari

68

seluruh usia lanjut yang mengalami Demensia, 87,5% atau sekitar 28 orang termasuk dalam tingkat pendidikan rendah (tidak bersekolah hingga pernah menjalani Sekolah Dasar).21 Jika dilihat dari rata-rata nilai total MMSE usia lanjut, seperti pada tabel 5.8, dapat diketahui bahwa usia lanjut yang tidak mengenyam pendidikan jika dibandingkan dengan kelompok usia lanjut yang pernah mengenyam pendidikan memiliki rata-rata nilai total MMSE yang lebih rendah. Sedangkan usia lanjut dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki rata-rata nilai total MMSE yang juga lebih tinggi dibandingkan usia lanjut dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Hal yang sama didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Turana terhadap usia lanjut di Jakarta, dimana menurut penelitian Turana nilai total MMSE sebanding dengan tingginya tingkat pendidikan. Hal ini didasarkan pada beberapa komponen MMSE yang memang hanya bisa dikerjakan oleh usia lanjut yang sebelumnya pernah mengenyam pendidikan. Komponen MMSE tersebut antara lain orientasi, atensi-kalkulasi, registrasi dan bahasa.25 Namun demikian, tingginya nilai total MMSE pada usia lanjut tidak selamanya menunjukkan tidak adanya gangguan pada fungsi kognitif. Latar belakang pendidikan yang tinggi akan memudahkan usia lanjut untuk mengerjakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada pemeriksaan status mental mini sehingga total nilai yang dihasilkan pun tinggi, walaupun sebenarnya individu tersebut mengalami gangguan fungsi kognitif. Begitu juga sebaliknya, usia lanjut yang tidak memiliki latar belakang pendidikan

69

formal cenderung kesusahan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan selama pemeriksaan sehingga total nilai yang dihasilkan jauh lebih rendah, walaupun sebenarnya individu tersebut tidak memiliki gangguan fungsi kognitif.1 Pada penelitian kali ini, ditemukan 1 usia lanjut yang memiliki fungsi kognitif baik walaupun termasuk dalam kelompok usia lanjut yang tidak mengenyam pendidikan. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan biaya pada saat itu, tetapi dengan niat belajar yang tinggi oleh individu meskipun tidak mendapat pendidikan formal di sekolah tetapi tetap berusaha belajar mendapatkan ilmu dari teman-teman sepermainan.

6.4

Tingkat fungsi kognitif berdasarkan kebiasaan merokok Dari hasil penelitian terhadap kebiasaan merokok usia lanjut di PSTW Nirwana Puri seperti yang terlihat pada gambar 5.9, diketahui bahwa usia lanjut yang merokok memilik persentase Demensia yang lebih rendah dibandingkan usia lanjut yang tidak merokok yaitu 26,7% dari keseluruhan total usia lanjut yang Demensia, sementara yang tidak memiliki kebiasaan merokok sebesar 57,1%. Hasil yang didapat berbeda dengan teori yang ada, dimana berdasarkan teori merokok dapat menurunkan kecepatan dan ketepatan kemampuan berpikir serta menurunkan kemampuan daya ingat (memori). Selain itu merokok dapat menurunkan IQ, menyebabkan tersumbatnya katup pembuluh darah dalam otak, hilangnya nutrisi dan akhirnya kerusakan

70

pada jaringan otak.35 Penelitian yang dilakukan oleh Radcliffe Infirmary Oxford University di Inggris didukung oleh riset Institute of Public Health Cambridge University, mengungkapkan bahwa konsumsi nikotin ternyata akan lebih meningkatkan efek yang merugikan bagi otak maupun kesehatan jantung dan berpengaruh terhadap penurunan fungsi kognitif serta Demensia.40 Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Kareen J. Anstey dkk dari The Australian National University menyebutkan bahwa tidak ditemukan adanya peningkatan resiko Demensia dan adanya penurunan fungsi kognitif bagi usia lanjut yang aktif merokok selama hidupnya jika dibandingkan dengan usia lanjut yang tidak pernah merokok sama sekali. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dimana disebutkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan merokok ketika berusia lanjut memiliki resiko penurunan fungsi kognitif dan Demensia 40-80% lebih tinggi dibanding usia lanjut yang tidak pernah merokok seumur hidupnya.41 Penelitian lain yang dilakukan terhadap usia lanjut di Taiwan pada tahun 2003 menyebutkan usia lanjut yang tidak merokok memiliki kinerja fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan mereka yang merokok. Namun demikian menurut peneliti perbedaan tersebut tidak signifikan setelah disesuaikan dengan usia, pendidikan, hipertensi, diabetes, dan kejadian vaskular individu.42 Penelitian lain yang dilakukan di Inggris menyebutkan merokok tidak meningkatkan atau menurunkan fungsi kognitif individu,

71

hanya mempercepat proses patologi dalam tubuh sehingga mempercepat proses kematian.43 Sejalan dengan yang terlihat pada gambar 5.9, rata-rata nilai total MMSE seperti yang terlihat pada tabel 5.10 pada usia lanjut yang memiliki kebiasaan merokok lebih tinggi dibanding dengan yang tidak merokok, yaitu 21,7 sementara rata-rata nilai total MMSE pada usia lanjut yang tidak merokok yaitu 18,1. Hal ini didukung oleh penelitian dari Sanyoto dkk dimana rata-rata nilai total MMSE pada usia lanjut yang merokok yaitu 17 lebih tinggi dibanding rata-rata niai total MMSE usia lanjut yang tidak merokok yaitu 14,9. Hasil penelitian Sanyoto dkk berdasarkan kebiasaan merokok usia lanjut di Panti Sosial Budi Sejahtera ini menunjukkan bahwa sekitar 75% usia lanjut dengan Demensia tidak memiliki kebiasaan merokok, dan 66,7% lainnya memiliki kebiasaan merokok.21 Dalam suatu penelitian, memori dan kognitif telah terbukti dipengaruhi oleh dopamine yang dihasilkan pada bagian korteks prefrontal. Pengeluaran dopamine di daerah korteks serebral ini ditingkatkan oleh nikotin, dan pemutusan nikotin berdampak pada penurunan fungsi dopamine. Sejalan dengan itu, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pemberian nikotin dapat meningkatkan atensi dan menurunkan kehilangan memori pada penderita Schizophrenia. Hal ini berkaitan dengan reseptor alpha-7 asetilkolin nikotinat. Gangguan pada reseptor alpha-7 ini diketahui menyebabkan gangguan fungsi kognitif, terutama kesulitan dalam atensi. Nikotin disebutkan dapat meningkatkan kerja dari reseptor alpha-7 sehingga

72

dapat meningkatkan fungsi kognitif terutama atensi, konsentrasi, juga dapat membantu proses berpikir.36,37 Hipotesa serupa menyebutkan adanya hubungan antara penurunan kolin asetiltransferase dan asetilkolin (AcH) di otak dengan tingkat kerusakan kognitif pada pasien Demensia Alzheimer. Selain itu, reseptor muskarinik dan nikotinat di korteks serebral mengalami penurunan pada usia lanjut, sehingga menjadi hal yang mungkin bila diberikan agonis reseptor kolinergik (nikotin) untuk memperbaiki sebagian penurunan fungsi kognitif dan memori pasien. Pada penelitian ini didapatkan hasil nikotin meningkatkan atensi serta meningkatkan kerja otak dalam memproses berbagai informasi pada pasien Alzheimer, seperti halnya kinerja otak pada dewasa muda sebagai kontrolnya.38 Nikotin sebagai zat yang paling banyak dikaitkan dengan ketagihan pada rokok diterima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian ke jalur adrenergik sehingga membuat perokok akan merasa lebih tenang, nikmat, memacu sistem dopaminergik, dan merasa daya pikir lebih cemerlang. Sementara di jalur adrenergik , zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian yang mengeluarkan neurotransmitter serotonin. Meningkatnya serotonin inilah yang menyebabkan timbulnya rangsangan rasa senang untuk mencari rokok lagi. Proses pembakaran rokok tidaklah berbeda dengan proses pembakaran bahan-bahan padat lainnya. Rokok yang terbuat dari dari daun tembakau kering, kertas, zat perasa yang dapat dibentuk oleh elemen Carbon (C) , elemen Hidrogen (H), elemen Oksigen

73

(O), elemen Nitrogen (N), elemen Sulfur (S) dan elemen-elemen lain yang berjumlah kecil.39 Nikotin bisa benar-benar bermanfaat sebagai obat jika digunakan dengan benar dan dosis yang akurat, namun selama ini orang menggunakan nikotin untuk hal yang berbeda dan dalam dosis yang tinggi. Dalam American Journal of Psychiatry diketahui bahwa reaksi nikotin dengan oksigen dapat membentuk asam nikotinat atau niasin atau vitamin B3. Efek dari senyawa ini bisa bermanfaat bagi tubuh manusia yaitu menenangkan, meningkatkan suasana hati dan merangsang aktivitas otak, fungsi motorik dan memori. Kekurangan niasin meningkatkan kemungkinan menderita Alzheimer sebesar 80%. Orang-orang yang sangat kekurangan vitamin B memiliki gelombang otak yang abnormal, menyebabkan memori yang rusak dan gangguan psikologis lainnya.24,39 Berbeda dengan hasil MMSE yang didapat pada penelitian kali ini, penelitian yang dilakukan oleh Launer dan rekan-rekan menunjukkan hasil bahwa mereka yang tidak pernah merokok mengalami penurunan dalam skor MMSE yakni 3 poin setiap tahunnya. Sementara pada mereka yang merokok, skor MMSE menunjukkan penurunan sampai 16 poin setiap tahun.41

74

BAB VII PENUTUP

7.1

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tingkat fungsi kognitif pada usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda maka dapat disimpulkan : Gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan usia didapatkan fungsi kognitif baik terbanyak pada kisaran usia 60-74 tahun, sedangkan Demensia terbanyak pada usia >90 tahun. Gambaran fungsi kogntif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan jenis kelamin didapatkan fungsi kognitif baik terbanyak pada laki-laki, sedangkan Demensia terbanyak pada perempuan. Gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan fungsi kognitif baik terbanyak pada SMP dan

SMA/SMK/STM, sedangkan Demensia terbanyak pada usia lanjut yang tidak sekolah. Gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan kebiasaan merokok didapatkan fungsi kognitif baik terbanyak pada usia lanjut yang

75

merokok, sedangkan Demensia terbanyak pada usia lanjut yang tidak merokok.

7.2

Saran Untuk pihak pemerintah yaitu Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial, perlunya peningkatan terhadap pelayanan kesehatan dan jaminan pemeliharaan sosial bagi usia lanjut serta selalu memonitoring kesehatan usia lanjut tidak hanya fisik tetapi juga mental secara berkala. Untuk pihak PSTW Nirwana Puri, perlunya kecermatan dalam memperhatikan kesehatan usia lanjut terutama kesehatan mental yang seringkali gejalanya sulit dikenali dan sering terabaikan. Bagi pihak Pendidikan Kedokteran, perlu adanya kerjasama dengan institusi terkait dalam suatu program untuk membekali dan

meningkatkan kompetensi mahasiswa kedokteran dalam hal kedokteran geriatri, terkait Demensia pada usia lanjut dan permasalahan lainnya. Bagi usia lanjut disarankan untuk aktif mengikuti berbagai kegiatan yang dapat merangsang otak sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya Demensia dan disarankan para usia lanjut mengurangi kebiasaan merokok karena bagaimanapun merokok meiliki pengaruh buruk terhadap kesehatan. Bagi pihak keluarga dan masyarakat, agar tetap memberikan dukungan moril kepada usia lanjut khususnya yg berada di PSTW Nirwana Puri

76

dengan cara melakukan kunjungan silaturahmi pada kerabat yang berada di panti. Untuk peneliti lain, perlu dilakukan penelitian serupa di beberapa tempat lain khususnya di Kalimantan sebagai pembanding hasil penelitian mengingat minimnya data mengenai status fungsi kognitif pada usia lanjut juga insiden Demensia pada usia lanjut di Kalimantan; perlu dilakukan penelitian serupa namun terhadap faktor resiko lain yang juga berpengaruh terhadap Demensia pada usia lanjut yang nantinya menghasilkan data yang lengkap dan akurat untuk

dimanfaatkan baik oleh seluruh pihak yang membutuhkan; serta untuk penelitian selanjutnya dapat dikembangkan menjadi penelitian analitik untuk melihat hubungan antar variabel dengan lebih jelas dan spesifik.

77

DAFTAR PUSTAKA

1.

Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI). Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia lainnya. Edisi 1. Jakarta: AAzI; 2003. pp. 1-3, 14-19, 61

2.

Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Lansia Masa Kini dan Mendatang (Online). Available from: http://www.menkokesra.go.id/content/view/2933/333/ (Accessed : 13th March 2010)

3.

Badan Pusat Statistik. Penduduk 60 tahun ke atas menurut Kabupaten/Kota dan keadaan kesehatan, Kalimantan Timur. (Online) 2005. Available from: http://www.datastatistikIndonesia.com/component/option,com_supas/task/itemid,956/ (Accessed: 13th November 2010)

4.

Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur. Peringatan Hari Lanjut Usia Tahun 2009. (Online) 2009. Available from: http://dinsos.kaltimprov.go.id/utama.php?module=detailberita&id=89 (Accessed: 13th November 2010)

5.

Safithri F. Proses Menua di Otak dan Demensia Tipe Alzheimer (Alzheimers disease). Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran keluarga Saintika Medika 2005; 2(2): pp. 225-232

6.

Dikot, Y. Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. Majalah Ilmiah Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani Medika Kartika 2005; 3(1): pp. 45-46

7.

Kaplan HI, Benjamin JS, Jack AG. Sinopsis Psikiatri. Trans Widjaja K. Edisi 7. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. pp. 502-503, 515-532 Anggota Alzheimers Disease Internasional Asia Pasifik. Demensia di Kawasan Asia Pasifik: Sudah Ada Wabah. (Online) 2007. Available from: http://www.apreportindonesian.pdf (Accessed: 26th March 2008)

8.

78

9.

Suwono WJ. Demensia: Suatu Pendeteksian Dini dan Terapinya. Majalah Kedokteran Atma Jaya 2003; 2(1): pp. 39-44 Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press; 1995

10.

11.

Hardywinoto, Tony S. Panduan Gerontologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2005

12.

Setianto B. Pengetahuan Pelayanan Fisik Lanjut Usia. (Online) 2007. Available from: http://www.pjnhk.go.id (Accessed: 13th March 2010)

13.

Kementrian Sosial RI. Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. (Online) 2008. Available from: http://www.depsos.go.id/modules.php?name=news&file=print&sid=773 (Accessed : 13 March 2010)

14.

Ropper AH, Robert HB. Principles of Neurology. 8th edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2005. pp. 356, 381-382

15.

Rachmawati E. Latih Otak, Singkirkan Demensia. Kompas. (Online) February 19, 2009. Available from: http://kesehatan.kompas.com/read/2009/02/19/22050114/latih.otak.singkirk an.demensia (Accessed: 13th February 2010)

16.

Pudjonarko D. Demensia Masih Bisa Disembuhkan. Suara Merdeka. (Online) 2010. Available from: http://suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2010/01/21/96004/Demen sia-Masih-Bisa-Disembuhkan (Accessed: 16th February 2010)

17.

Purnakarya I. Peran Zat Gizi Makro terhadap Kejadian Demensia pada Lansia. (Online) 2008. Available from: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32098992.pdf (Accessed: 13th November 2010)

79

18.

Said U. Interaksi Hormonal dan Kualitas Kehidupan pada Wanita. (Online) 2004. Available from: http://digilib.unsri.ac.id/download/INTERAKSI%20HORMONAL%20%20 DAN%20KUALITAS%20HIDUP%20WANITA.pdf (Accessed: 13th November 2010)

19.

Yaffe K, Kathryn K, Somnath S. Cognitive Function in Postmenopausal Women Treated with Raloxifene. The New England Journal of Medicine. (Online) 2001; 344(16). Available from: http://www.nejm.org (Accessed: 20th February 2010)

20.

Petersen RC, Roberts RO, Knopman DS, Geda YE, Cha RH, Pankratz VS, Boeve BF, et al. Prevalence of Mild Cognitive Impairment is Higher in Men. Neurology. (Online) 2010; 75(10): pp. 889-897. Available from: http://www.neurology.org (Accessed: 1st December 2010)

21.

Sanyoto DD, dkk. Gambaran Mini Mental State Examination (MMSE) pada Manula di Panti Sosial Budi Sejahtera Banjarbaru. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Berkala Kedokteran 2006; 5(2): pp. 155-161

22.

AAzI. Kadar Folat dan Homosistein Berhubungan dengan Insidensi Demensia. (Online) 2008. Available from: http://assosiasialzheimerindonesia.wordpress.com/2008/09/28/kadar-folatdan-homosistein-berhubungan-dengan-insidensi-demensia-journal-ofneurology-neirosurgery-and-psychiatry-2008-79864-868/ (Accessed: 16th February 2010)

23.

Conis E. Vitamin B and its role in Improving Memory. Los Angeles Times. (Online) November 8, 2010. Available from: http://www.latimes.com/health/la-he-nutriton-lab-b-vitamins20101108,0,4113862.story (Accessed: 1st December 2010)

24.

Ramadion. Ingatlah Makanan-makanan Anti Pikun. (Online) 2010. Available from: http://ruangpsikologi.com/makanan-anti-pikun (Accessed: 12th December 2010)

80

25.

MML. Hipertensi Merupakan Faktor Resiko Terjadinya Demensia pada Orang Tua. (Online) 2006. Available from: http://www.kalbefarma.com/index.php?mn=news&tips=detail&detail=1841 1 (Accessed: 16th February 2010)

26.

Turana Y. Pemeriksaan Status Mental Mini pada Usia Lanjut di Jakarta. Medika 2004; 30(9): pp. 563-8

27.

Hall CB, Derby C, Levalley A, Katz MJ, Verghese J, Lipton RB. Education Delays Accelerated Decline on a Memory Test in Persons Who Develop Dementia. Neurology. (Online) 2007; 69(17): pp. 1657-1664. Available from: http://www.neurology.org (Accessed: 1st December 2010)

28.

Khasanah N. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Penurunan Daya Ingat (Demensia) pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta. (Online) 2010. Available from: http://digilib.fk.umy.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=yoptumyfkp p-gdl-noviakhasa-151 (Accessed: 13th November 2010) Republika Newsroom. TTS dan Catur Hindari Pikun. Republika. (Online) June 25, 2009. Available from: http://www.republika.co.id:8080/berita/58468/tts-dan-catur-hindaripikun?quicktabs_58468=second (Accessed: 16th February 2010)

29.

30.

Meyers L. Warding off Dementia. Monitor on Psychology. (Online) 2008; 39(3): pp. 22. Available from: http://www.apa.org (Accessed: 1st December 2010)

31.

Syamsuddin. Mencapai Optimum Aging pada Lansia. (Online) 2008. Available from: http://bp.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=797 (Accessed: 20th February 2010)

32.

Viktor. Aktif Bergerak, Jauhkan Penyakit. (Online) 2009. Available from: http://www.dinkessumbar.org/index.php?file_id=14&class=news&act=read&news_id=562 (Accessed: 16th February 2010)

81

33.

Winerman L. Exercise May Protect Against Brain-Cell Loss. Monitor on Psychology. (Online) 2005; 36(10): pp. 21. Available from: http://www.apa.org (Accessed: 1st December 2100) Adhianingsari W. Dementia. (Online) 2006. Available from: http://fk-uii (Accessed: 20th February 2010)

34.

35.

Herdiana TR. Nikotin Merusak Otak. (Online) 2010. Available from: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-publichealth/2008565-nikotin-merusak-otak/ (Accessed: 13th November 2010)

36.

Sacco KA, Termine A, Seyal A, Dudas MM, Vessicchio JC, et al. Effects of Cigarette Smoking on Spatial Working Memory and Attentimal Deficits in Schizophrenia: Involvement of Nicotinic Receptor Mechanism. Archives of General Psychiatry. (Online) 2005; 62(6): pp. 649-659. Available from: http://archpsyc.ama-assn.org/ (Accessed: 12th December 2010)

37.

Treichel JA. Compound Improves Cognition in Schizophrenia Patients. Psychiatric News. (Online) 2006; 41(14): pp. 23. Available from: http://pn.psychiatryonline.org/ (Accessed: 12th December 2010)

38.

Sahakian B, Jones G, Levy R, Gray J, Warburton D. The Effects of Nicotine on Attention, Information Processing, and Short-term Memory in Patients with Dementia of the Alzheimer Type. The British Journal of Psychiatry. (Online) 1989; 154: pp. 797-800. Available from: http://bjp.rcpsych.org/cgi/eletter-submit/154/6/797 (Accessed: 12th December 2010)

39.

Bararah VF. Fakta Lain Seputar Nikotin. (Online) 2010. Available from: http://us.health.detik.com/read/2010/04/19/142254/1341126/763/fakta-lainseputar-nikotin (Accessed: 12th December 2010)

40.

Gunawan A. Merokok Mempercepat Hilangnya Daya Ingat pada Masa Tua. (Online) 2004. Available from: http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid1080528075.89281. (Accessed: 16th February 2010)

82

41.

Anstey KJ, Chwee VS, Agus S, Richard OK. Smoking as a Risk Factor for Dementia and Cognitive Decline: A Meta-Analysis of Prospective Studies. (Online) 2007. Available from: http://aje,oxfordjournals.org/misc/terms.shtml (Accessed: 6th March 2010)

42.

Chen WT, Wang PN, Wang SJ, Fuh JL, Lin KN, Liu HC. Smoking and Cognitive Performance in the Community Elderly: A Longitudinal Study. Journal of Geriatric Psychiatry and Neurology. (Online) 2003; 16(1): pp. 18-22. Available from: http://online.sagepub.com/search/results?submit=yes&src=hw&andorexactf ulltext=and&fulltext=smoking+and+dementia&x=13&y=9 (Accessed: 13th November 2010)

43.

Doll R, Peto R, Boreham J, Sutherland I. Smoking and Dementia in Male British Doctors: Prospective Study. British Medical Journal. (Online) 2000; 320: pp.1097-1102. Available from: http://bmj.com/cgi/content/full/320/7242/1097 (Accessed: 13th November 2010)

44.

Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan PPDGJ III. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2003

Ringkas

dari

45.

Roan W. Delirium dan Demensia. (Online) 2007. Available from: http://IDI (Accessed: 26th March 2008)

46.

Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; 1993

47.

Halim H, Adhy T. Demensia Alzheimer pada Penderita Sindroma Down. Majalah Kedokteran Damianus Universitas Atma Jaya Jakarta 2009; 8(2): pp. 89-94

48.

Walton SJ. 1982. Essentials of Neurology. 5th edition. London: Pitman Books Limited; 1982. pp. 139-142

83

49.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1999. pp. 245-248

50.

Waxman SG. Correlative Neuroanatomy. 24th edition. United States of America: McGraw-Hill Companies; 2000. pp. 276-280

51.

Yatim F. Pikun (Demensia), Penyakit Alzheimer dan Sejenisnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2003

52.

Tjahyanto A, Surilena. Penatalaksanaan Non-Farmakologis Demensia. Majalah Kedokteran Damianus Universitas Atma Jaya Jakarta 2009; 8(1): pp. 7-10

53.

Kuntjoro ZS. Gangguan Psikologis dan Perilaku pada Demensia. (Online) 2002. Available from: http://e-psikologi.com (Accessed: 26 March 2008)

54.

Sjahrir H, Kiking R, Sumarnita T, Aldy SR, Irfan DL, Indra B. The Mini Mental State Examination in Healthy Individuals in Medan Indonesia by Age and Educational Level. (Online) 2001. Available from: http://www.neurology-asia.org/articles/20011_019.pdf (Accessed: 11 March 2010)

55.

Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR. Mini Mental State. J Psychiatry Res 1975; 12: pp. 189-98

56.

Galasko D, Klauber MR, Hofsteter R, Salmon DP, Lasker B, Thal LJ. The MMSE in The Early Diagnosis of Alzheimers Disease. Arch Neurology 1990; 47: pp. 49-52

57.

Kaplan HI, Benjamin JS, Jack AG. Sinopsis Psikiatri. Trans Widjaja K. Edisi 7. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. pp. 868-872

84

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Interpretasi : Skor 28 30 : Fungsi kognitif baik Skor 24 27 : Fungsi kogntif sedang

Skor 20 23 : Demensia borderline Skor 0 19 : Demensia

85

Lampiran 2. Master Tabel

Wisma Melati

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Nama Mth At Myt AM Hrt Tgm AS ASl Rst Ksd SM Stn Nsh Bkr Str Lhr Asw Spj Smt Hry Srm Swr SM SK P P P L L L L L L L P P P L L L L L P L L L P P

Jenis Kelamin

Usia 98 tahun 76 tahun 80 tahun 70 tahun 70 tahun 96 tahun 86 tahun 75 tahun 80 tahun 68 tahun 68 tahun 81 tahun 65 tahun 70 tahun 74 tahun 75 tahun 65 tahun 77 tahun 65 tahun 68 tahun 80 tahun 73 tahun 77 tahun 61 tahun

Mawar Tulip

Sakura Kenanga Flamboyan Seruni Seroja

Dahlia

Anggrek

Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Tidak sekolah Tidak sekolah SMA SMA SMP Tidak sekolah SR SR SMA SMP SR SMP SR SMP SR STM SR Tidak sekolah SR SR SR Tidak sekolah SMP

Kebiasaan Merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Merokok Merokok Merokok Merokok Tidak merokok Merokok Merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Merokok Merokok Tidak merokok

Skor GDS 13 (Demensia) 10 (Demensia) 9 (Demensia 25 (Kog.sedang) 28 (Kog.baik) 17 (Demensia) 24 (Kog.sedang) 20 (D.borderline) 16 (Demensia) 22 (D.borderline) 22 (D.borderline) 24 (Kog.sedang) 20 (D.borderline) 16 (Demensia) 30 (Kog.baik) 24 (Kog.sedang) 17 (Demensia) 20 (D.borderline) 11 (Demensia) 18 (Demensia) 16 (Demensia) 23 (D.borderline) 13 (Demensia) 22 (D.borderline)

Kamboja

Bougenville

W. Kusuma

Teratai

25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43

An Srt Asm AS Msr Ysn Tt Spt Hrm Krl Slm Drn Lsn KT Slt SH Sym Mnh Ksm

P P P L P P P P L L L L L L P P P P P

70 tahun 80 tahun 63 tahun 68 tahun 65 tahun 73 tahun 62 tahun 64 tahun 71 tahun 65 tahun 89 tahun 65 tahun 69 tahun 68 tahun 80 tahun 64 tahun 69 tahun 70 tahun 70 tahun

Tidak sekolah Tidak sekolah Tidak sekolah SR SR SR SMP Tidak sekolah SR SR SMA SR SR SR Tidak sekolah SMK SR SR Tidak sekolah

Tidak merokok Merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Merokok Merokok Tidak merokok Tidak merokok Merokok Merokok Merokok Merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok Tidak merokok

14 (Demensia) 11 (Demensia) 17 (Demensia) 27 (Kog.sedang) 20 (D.borderline) 19 (Demensia) 27 (Kog.sedang) 29 (Kog.baik) 28 (Kog.baik) 19 (Demensia) 23 (D.borderline) 23 (D.borderline) 21 (D.borderline) 23 (D.borderline) 17 (Demensia) 26 (Kog.sedang) 4 (Demensia) 10 (Demensia) 15 (Demensia)

84

Lampiran 3. Foto Penelitian

Foto 1. Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda

Foto2. Proses wawancara dengan responden

113

You might also like