You are on page 1of 11

18 Maret 2009

Mewaspadai Penghentian Penyidikan


Kasus [Korupsi] Kehutanan dengan
Mekanisme
Pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan
Grahat Nagara1
g.nagara@elsdainstitute.or.id
ELSDA Institute, Jakarta, Indonesia

Abstract
Tujuan – Tulisan ini bertujuan untuk memahami penggunaan politically exposed
person [PEP] dalam tatanan praktis per casu terutama kaitannya dengan kasus-
kasus korupsi yang muncul akibat adanya keputusan penyidik untuk mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan [SP3]. Dengan menggunakan mekanisme
PEP dalam mewaspadai adanya SP3 yang berpeluang melemahkan pemberantasan
korupsi, diharapkan dapat menjadi efek deteren tersendiri agar proses penegakan
hukum dapat berjalan dengan sebagai mana mestinya – yaitu mencari keadilan.
Desain/metodologi/pendekatan – Analisis digunakan dengan menilai das sein
dan das sollen, kemudian mencari kerangka yuridis untuk mendapatkan
argumentasi atas hipotesa yang diajukan. Berdasarkan metodologi tersebut analisis
dilakukan untuk memahami bagaimana mekanisme PEP dapat digunakan secara
efektif dalam mewaspadai penghentian penyidikan pada kasus korupsi yang
kemudian melemahkan penegakan hukum.
Temuan – Berdasarkan analisis yuridis, ditemukan bahwa pada dasarnya
mekanisme PEP untuk diterapkan secara khusus lebih banyak bermain pada tataran
kebijakan penyedia jasa keuangan sebagai pihak pelapor dalam konteks sejauh apa
risk based approach digunakan oleh penyedia jasa keuangan. Lebih dari itu, tulisan
ini berharap adanya kajian yang lebih mendalam apakah model risk based
approach tersebut dapat berguna secara lebih efektif.
Originalitas/nilai – Tulisan ini berusaha meningkatkan atensi penyedia jasa
keuangan untuk lebih menguatkan mekanisme rezim anti pencucian uangnya,
menggunakan metode-metode yang lebih efektif dan efisien.
Kata Kunci – Anti Pencucian Uang, Due Dilligent, Korupsi, Risk Based Approach,
Indonesia
18 Maret 2009

Tidak heran memang. Seperti kasus-kasus kejahatan kehutanan


lainnya khususnya yang bernuansa korupsi kental, penegakan
hukum terhadap kejahatan kehutanan di Riau pun mengalami
hambatan. Setelah maju mundur antara kejaksaan dan kepolisian,
akhirnya penyidik mengeluarkan keputusan yang dianggap
kontroversial, yaitu surat perintah penghentian penyidikan [SP3]
pada 13 [tiga belas] kasus kejahatan kehutanan yang berpotensi
merugikan negara hingga trilyunan rupiah. Terlepas dari perdebatan
tepat atau tidaknya kebijakan kepolisian daerah Riau pada saat itu,
keluarnya SP3 belakangan ini memiliki tren yang meningkat
sekaligus memiliki tendensi menjadi celah hukum utama dalam
melemahkan penegakan hukum. Bahkan menciderai keadilan dengan
menimbulkan kejahatan korupsi baru. Tanpa ada instrumen yang
tepat, SP3 akan terus menghantui setiap penegakan hukum.

Menciderai rasa keadilan


Apakah keluarnya SP3 itu berarti salah? Belum tentu. Mekanisme sistem
penegakan hukum [criminal justice system] di Indonesia, kecuali Komisi
Pemberantasan Korupsi, memang mengenal istilah penghentian penyidikan. Sesuai
dengan Pasal 109 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana setidaknya ada tiga
alasan dikeluarkannya SP3 terhadap sebuah kasus, termasuk diantaranya korupsi.
Pertama, karena kurangnya alat bukti. Kedua, peristiwa yang dalam proses
penegakan hukum tersebut ternyata bukan merupakan sebuah tindak pidana, dan;
Ketiga, dihentikan demi hukum.

Penghentian penyidikan merupakan salah satu mekanisme dalam sistem


penegakan hukum Indonesia yang menganut asas praduga tak bersalah. Dengan
beban pembuktian di tangan negara, dalam hal ini penuntut, maka penyidik
diwajibkan untuk bersifat ketat [stelsel negatif] dalam membawa sebuah kasus ke
peradilan. Kasus yang dibawa harus memiliki gambaran jelas mengenai peristiwa
pidana dan bagaimana pelaku tindak pidana tersebut melakukannya. Ketika itu
semua tidak dapat dipenuhi dalam penyelidikan atau alasan lain sebagaimana Pasal
109 KUHAP ditemukan dan kasus terkatung-katung dalam penyidikan, mau tidak
mau penyidik harus melakukan pilihan tersebut.

Sekilas mekanisme tersebut memang wajar. Namun, mekanisme ini justru


acapkali dijadikan celah hukum (baca: alat) untuk melemahkan penegakan hukum.
Apalagi, mengingat kejahatan korupsi kehutanan yang umumnya melibatkan orang
18 Maret 2009

yang memiliki kekuasaan atau kekayaan yang luar biasa. Pada masa ini kasus yang
sedang berjalan akhirnya dapat menjadi sangat rentan. Barang bukti bisa tiba-tiba
hilang. Harta hasil kejahatan mungkin sudah raib entah kemana. Sedangkan
tersangka sendiri mungkin telah menghilang. Artinya ada kemungkinan mekanisme
penghentian penyidikan digunakan secara sewenang-wenang sehingga menciderai
rasa keadilan sedemikian rupa. Bahkan, dapat terlihat dari berbagai kasus korupsi
yang dikenakan SP3, penghentian tersebut justru menuai kasus korupsi baru oleh
penegak hukum.

Kasus Urip dan Artalyta dapat menjadi contoh yang tepat. Urip, the six billion
rupiah man, merupakan Ketua Tim Jaksa-35 yang ditugaskan mengusut salah satu
kasus korupsi terbesar di Indonesia justru berakhir dibui sebagai terpidana kasus
suap 6 milyar. Terungkap di pengadilan bahwa uang hasil suap sebesar 660 dollar
tersebut berkaitan erat dengan kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia [BLBI]
pemilik Bank Dagang Negara Indonesia [BDNI] Sjamsul Nursalim melalui perantara
Artalyta. Indikasi ini dinilai kuat setelah beberapa waktu sebelumnya, Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, mengeluarkan SP3 kasus
tersebut. Andai saja ketika itu Komisi Pemberantasan Korupsi tidak menangkap
basah Urip bersama uang milyaran rupiahnya, mungkin SP3 itu akan ditanggapi
dingin-dingin saja oleh penegak hukum.

Dengan meningkatnya tren SP3 pada penanganan kasus-kasus korupsi,


termasuk korupsi kehutanan di penegakan hukum konvensional, tidak heran kalau
kemudian publik melihatnya sebagai upaya-upaya terstruktur dan sistematis untuk
menghancurkan sendi-sendi anti korupsi. Terutama ketika penghentian penyidikan
ini ditandai dengan pola-pola yang hampir sejenis, seperti misalnya (Yuntho, 2004):

Pertama, penerbitan SP3 yang dilakukan secara diam-diam. Cukup banyak SP3
kasus korupsi yang tidak diumumkan dengan layak kepada publik, dengan alasan
tidak adanya kewajiban untuk melakukan hal tersebut. Padahal sebagaimana asas-
asas penyelenggaraan negara menurut Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, seharusnya penyelenggaraan negara diadakan secara akuntabel dan
terbuka. Dalam konteks ini, tentunya masyarakat berhak mengetahui apa yang
terjadi pada proses hukum yang merugikan negara [masyarakat secara umum],
termasuk ketika SP3 terpaksa diambil oleh penyidik selaku salah satu
penyelenggara negara.

Kedua, pengumuman diberikan apabila isu SP3 telah bocor kepada umum. Kembali
mengutip dari tulisan Emerson: “Biasanya pihak kejaksaan akan mengumumkan
secara resmi jika sudah beredar desas desus mengenai SP3 tersebut dikalangan
masyarakat dan media. Dan pemberitahuan penerbitan SP3 biasanya baru
diungkapkan setelah rekan-rekan media meminta konfirmasi dari Jaksa Agung
maupun Jampidsus atau Kapuspen Kejaksaan Agung dalam suatu acara resmi yang
tidak memungkinkan bagi para petinggi kejaksaan untuk melarikan diri.” Contohnya
adalah ketika Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 terhadap 3 kasus korupsi besar
18 Maret 2009

yang melibatkan Prayogo Pangestu, Siti Hardiyanti Rukmana, dan kasus penerbitan
commercial paper JOOR dengan tersangka Djoko Ramiaji. Berita SP3 justru keluar
ketika wartawan mendesak Direktur Penyidikan pada masa itu, yaitu Untung Uji
Santosa, dalam sebuah acara ramah tamah antara Forum Wartawan Kejaksaan
[Forkawa] dengan jajaran pejabat kejaksaan tindak pidana khusus().

Ketiga, dilakukan pada kejahatan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara luar
biasa. Kecenderungan ini diperoleh dari simpulan dengan mempertimbangkan juga
hampir tidak adanya kasus korupsi skala besar yang berhasil ditangani oleh
kejaksaan. Belakangan ini, setidaknya ada tiga SP3 yang dikeluarkan pada kasus-
kasus yang banyak menyita perhatian publik - sebut saja kasus Laksamana Sukardi
dengan kapal tanker very large crude cruiser [VLCC], kasus Tommy Soeharto, dan
kasus yang paling fenomenal adalah kasus Sjamsul Nursalim dengan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia [BLBI], Tradisi SP3 kasus besar yang menurut Oce Madril
dimulai sejak masa pemerintahan Megawati, dengan tandem M.A. Rachman, telah
mengakibatkan setidaknya 17 kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi
lenyap begitu saja (Madril, 2009). Kasus korupsi kehutanan di Riau sendiri, bukanlah
kasus yang kecil. Dari sudut pandang kasus-kasus yang ditangani KPK, setidaknya
negara telah dirugikan hingga trilyunan rupiah.

Keempat, dilakukan pada saat perhatian publik sedang terserap hal lain. Pola ini
agaknya sangat cocok dengan keluarnya SP3 kasus Riau. Dilakukan ketika minggu
tenang mendekati akhir tahun, yaitu pada minggu terakhir bulan Desember 2008.
Hampir praktis perhatian publik lebih banyak terserap untuk hari libur panjang,
sementara lembaga swadaya masyarakat umumnya juga sedang sibuk
menyelesaikan laporan-laporan akhir tahun.

Selain 4 model hipotesa Yuntho tersebut, mengambil pelajaran dari kasus


Riau, kita sebenarnya dapat menambah pola lain yaitu seperti:

Kelima, upaya praperadilan dipersulit. Dalam kasus tersebut, Wahana Lingkungan


Hidup [WALHI] dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau [JIKALAHARI] sudah sejak
Desember 2008 mengajukan upaya pra peradilan dengan meminta dokumen SP3
dari Kepolisian Daerah Riau, entah kenapa hingga tulisan ini disusun (Tribun Jakarta,
2009) kepolisian belum juga mengirimkan berkas tersebut.

Wajar kalau kemudian publik secara luas menganggap bahwa SP3 merupakan
salah satu mekanisme penegakan hukum yang paling rentan dan rawan korupsi.
Sementara penegak hukum tertutup mengenai sejauh mana proses penyelidikan
dan penyidikan terhadap kasus korupsi tersebut, publik dipaksa untuk menerima
keputusan apapun yang keluar, termasuk penghentian penyidikan terhadap kasus
korupsi yang sudah sangat merugikan rakyat.
18 Maret 2009

Aktivitas yang dicurigai


Korupsi apalagi terkait kehutanan biasanya akan melibatkan bisnis kehutanan
dengan skala besar, khususnya dapat terlihat dari bagaimana pelaku kehutanan
memanfaatkan tata kelola kehutanan yang buruk (Muhajir, 2008). Hal ini juga
berlaku bagi praktek-praktek korupsi lain yang bersimbiosis dengan korupsi
kehutanan tersebut. Hasil kejahatan kehutanan yang melahirkan praktek-praktek
korupsi inilah yang menjadi salah satu target rezim anti pencucian uang terhadap
kejahatan kehutanan.

Agak sedikit berbeda dengan sistem penegakan hukum atas kejahatan lain,
rezim anti pencucian uang mengedepankan proses penegakan hukum berdasarkan
informasi-informasi yang sifatnya intelijen. Setiap petunjuk dapat menjadi indikator
yang berharga. Ketika indikator tersebut tampak beririsan dengan transaksi
keuangan profil pelaku dalam hal ketidak wajarannya, maka disitulah peran rezim
anti pencucian uang dapat menjadi simpul untuk menjerat saling singkarut
kejahatan korupsi tersebut.

Secara umum, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana


Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003
[selanjutnya disebut UU TPPU] memang tidak pernah mengatur indikator tersebut
secara ketat. Undang-undang hanya memberikan kewajiban bahwa pihak pelapor
seperti perbankan, maupun penyedia jasa keuangan lainnya diwajibkan melakukan
pelaporan transaksi keuangan yang dianggap mencurigakan [LTKM/STR] secara
umum dengan ciri-ciri diantaranya [lihat Pasal 1 angka 7 huruf a sampai c UU
TPPU]:

Pertama, transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau


kebiasaan pola transaksi nasabah yang bersangkutan. Profil yang dimaksud adalah
segala informasi terkait subyek hukum yang dimaksud, bisa berarti pekerjaannya
sebagai penegak hukum, atau bisa juga gajinya. Sedangkan istilah pola transaksi
dan karakteristik lebih mengacu pada bagaimana biasanya profil tersebut
melakukan transaksi terhadap hartanya, bisa itu kebiasaan menerima pendapatan
tidak lebih dari 4 juta, atau kebiasaan menyisihkan 500 ribu secara periodik. Secara
sederhana, seorang profil misalnya penegak hukum dengan gaji biasa adalah 1,5
juta perbulan tiba-tiba menerima uang ratusan juta rupiah dan melakukan transfer
berkali-kali kepada pihak keluarganya atau orang-orang terdekatnya.

Kedua, transaksi keuangan yang oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Ciri kedua ini sekaligus untuk menutupi
salah satu celah pelaporan transaksi sebagaimana diatur Pasal 13 UU TPPU. Ketika
pelaku upaya untuk menghindari tersebut, misalnya dengan melakukan transaksi
yang dipecah, maka transaksi tersebut termasuk transaksi keuangan yang
mencurigakan; dan terakhir adalah,
18 Maret 2009

Ketiga, transaksi yang dilakukan atau batal dilakukan dengan harta kekayaan yang
patut diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Kalau kita cermati dari aturan-aturan tersebut sifat suspicious tidak hanya
bermain pada istilah profil dan jumlah transaksi yang dilakukan tetapi juga
berkaitan pada aktivitas yang mungkin tengah dilakukan oleh pelaku. Ketika sebuah
profil mencurigakan, melakukan tindakan mencurigakan, kemudian melakukan
transaksi mencurigakan, maka pada titik itulah transaksi yang dilakukannya akan
dilaporkan sebagai sebuah transaksi keuangan mencurigakan.

Kembali kepada tema utama tulisan ini, oleh karena itu kita dapat melihat
bahwa sebenarnya SP3 dapat menjadi salah satu indikator adanya transaksi
keuangan mencurigakan. Sebagaimana telah dipaparkan sebeluemnya bahwa SP3
adalah salah satu mekanisme hukum yang rentan terhadap korupsi maupun upaya
pelemahan penegakan hukum. Ketika profil penegak hukum yang menangani suatu
kasus korupsi besar tiba-tiba melakukan SP3, tentunya akan menimbulkan
pertanyaan besar.

Jariah manantang buliah. Begitu dalam peribahasa Padang, yang bermakna


tidak mungkin ada pekerjaan yang tidak ada imbalannya. Bahwasanya ada yang
diuntungkan dengan keluarnya SP3 adalah suatu hal yang pasti, yaitu koruptor.
Pertanyaannya adalah apakah SP3 ini benar-benar murni tanpa “uang jerih payah”?

Kejelian dan peran aktif perbankan dalam mempertahankan reputasinya


sebagai perbankan yang bersih oleh karena itu menjadi pilar utama dalam sistem
ini, untuk memberikan atensi yang lebih tinggi kepada setiap profil-profil yang
terlibat dalam kasus korupsi, termasuk penegak hukum.

Penegak hukum sebagai “politically exposed person”?


Ketika berbicara penegak hukum sebagai subyek dengan atensi yang lebih
tinggi dalam konteks pelaporan transaksi keuangan maka kita akan berhadapan
dengan istilah high risk person atau lebih spesifiknya adalah politically exposed
person [PEP]. PEP sendiri pada dasarnya merupakan bagian daripada pada
manajemen risiko oleh pihak pelapor, untuk menjaga tingkat kewaspadaan
penyedia jasa keuangan terhadap transaksi keuangan mencurigakan.

Istilah Politically Exposed Person umumnya dikonotasikan sebagai orang-


orang yang memiliki kekuasaan dalam pemerintahan. Oleh karena itu merupakan
orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan sangat dikenal oleh publik,
sebagaimana didefinisikan oleh FATF:

“individuals who are or have been entrusted with prominent publik functions
in a foreign country, for example Heads of State or of government, senior
politicians, senior government, judicial or military officials, senior executives
of state owned corporations, important political party officials. Business
relationships with family members or close associates of PEPs involve
18 Maret 2009

reputational risks similar to those with PEPs themselves. The definition is not
intended to cover middle ranking or more junior individuals in the foregoing
categories”.

Semenatara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan [PPATK] dalam


pedomannya mendefinisikn PEP sebagai (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan [PPATK], 2008):

“individu yang merupakan atau dipercayakan dengan fungsi-fungsi yang


dikenal umum di suatu negara asing, misalnya kepala negara atau kepala
pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintahan senior, petugas
pengadilan atau militer, eksekutif senior BUMN, partisan, partai politik besar.
Hubungan usaha dengan anggota keluarga atau sejawat terdekat PEP
melibatkan risiko reputasi nama baik yang sama dengan dirinya sendiri.
Definisi ini tidak termasuk ranking menengah atau individu yang lebih junior
dalam kategori sebelumnya. Hal ini berlaku bagi Warga Negara Indonesia
maupun Warga Negara asing.”

Definisi-definisi PEP tersebut di atas apabila dicermati memiliki lingkup yang


terlalu luas dan namun sekaligus juga tinggi – akhirnya mempersulit efektivitas
implementasi manajemen risiko. Dengan lingkup yang terlalu luas, tentunya akan
membebani sistem manajemen risiko perbankan, yang akhirnya berakibat buruk
bagi operasional kinerja perbankan itu sendiri. Sementara lingkup yang tinggi juga
belum tentu secara efektif dapat menjaring pelaku – misalnya pada kasus korupsi
Riau. Tersangka korupsi mungkin saja individu dengan kekayaan dan kekuasaan
tinggi dalam perusahaan atau pejabat sekelas bupati, namun demikian, celah
korupsi terkecil misalnya SP3 yang dilakukan oleh penegak hukum level menengah
justru dapat merusak keseluruhan efektivitas penegakan hukum. Sebagai
tambahan, perbankan di Riau sendiri mungkin kecil kemungkinannya untuk
dikunjungi oleh pelaku kejahatan narkotika dalam lingkup internasional.
Hipotesisnya, efektivitas PEP tidak ditentukan dari tingginya jabatan yang dimiliki
seorang individu atau luasnya cakupan PEP hingga PEP internasional, namun
ditentukan pada seberapa kritis peran individu pada suatu lokasi tertentu bahkan
yang sifatnya kasuistis sekalipun.

Oleh karena itu, agar tidak membebani sistem keuangan secara masif,
penyedia jasa keuangan dan pihak pelapor dapat membatasi urgensi profil-profil
tersebut diangkat sebagai PEP, dengan berbagai konsekuensi dan pertimbangan
dalam manajemen resikonya (Couch). Hal ini sebenarnya agak mirip dengan apa
yang disampaikan Raymond Choo dalam tulisannya (Choo, 2008):

“Rather than simply creating a checklist-based PEP definition and seeking


too apply it, regulated entities and regulators should undertake a risk-based
evaluation of the types of PEP monitoring and related strategy (e.g.
corruption prevention strategy) that are likely to be most effective in the
respective jurisdiction and organization in both short term and long term.”
18 Maret 2009

Intinya kedua penulis yaitu Couch dan Choo, mengajukan PEP yang sifatnya lebih
spesifik dan bervariatif antara penyedia jasa keuangan misalnya dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Choo, 2008):

 Lokasi geografis
 Jenis jasa dan produk yang diberikan
 Tingkat senioritas yang diperlukan dalam klasifikasi PEP
 Apakah atensi diperluas dengan mencakup PEP secara domestik
 Kapan atensi terhadap PEP tertentu daluarsa

Dalam hal ini, terkait dengan rentannya SP3 dan upaya pemberantasan korupsi,
penulis merekomendasikan penerapan PEP yang sifatnya jangka pendek, kepada
para penegak hukum yang sedang menangani kasus korupsi khususnya kasus-
kasus korupsi yang memiliki tingkat perhatian publik yang tinggi (contohnya, kasus
korupsi yang dimuat di media masa nasional). Mengambil contoh kasus Riau
setidaknya ada beberapa profil yang dapat dimasukkan dalam PEP jangka pendek
tersebut hingga kasus ini selesai, yaitu:

Pertama, Kepala Kepolisian Daerah Riau dan kerabat dekat maupun ajudannya.
Kepolisian Daerah Riau adalah profil yang menandatangani SP3. Selain itu, secara
struktural Kapolda memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada penyidik,
kekuasaan yang sekaligus juga rentan korupsi.

Kedua, Kepala Kepolisian Resor Kota [Kapolres] dan kerabat dekat maupun
ajudannya. Selain Kapolda, penegak hukum yang dapat memerintahkan SP3
termasuk juga diantaranya Kapolres, tergantung dari lingkup lokasi penyidikannya.

Ketiga, Direktur Reserse Kriminal [Direkskrim]. Selain Kapolda, profil lain yang dapat
menandatangani SP3 kasus adalah Direksrim atas nama Kapolda.

Keempat, penyidik yang menangani kasus dan kerabat dekat maupun ajudannya.
Penyidik dalam hal ini penyidik yang menangani kasus tentunya merupakan pihak
yang paling dekat untuk terlibat dengan tersangka secara otomatis juga menjadi
salah satu profil yang paling rentan untuk dekat dengan korupsi.

Tentu saja PEP sendiri bukanlah sebuah daftar yang dengan otomatis
menduga seseorang sebagai orang jahat. Ketika seseorang dimasukkan dalam
daftar PEP, ia tidak dengan sendirinya menjadi orang jahat. PEP merupakan salah
satu cara dalam manajemen resiko untuk menimalisir resiko yang mungkin terjadi
jika sebuah institusi [keuangan] melakukan kontak dengan PEPs tersebut (Muhajir,
2008). Namun, dengan dimasukkannya penegak hukum (khususnya pada kasus-
kasus yang menyita perhatian publik) sebagai PEP akan memberikan tambahan
kontrol masyarakat penegakan hukum sebuah kasus, khususnya atas nama
pemberantasan korupsi.
18 Maret 2009

Simpulan
Kejahatan korupsi adalah salah satu kejahatan yang paling sulit diberantas.
Setiap titik legal formal dalam penegakannya seolah-olah dapat dimanipulasi pelaku
kejahatan, termasuk dengan SP3. Celah hukum yang seharusnya menjadi atensi
seluruh pihak ketika berbicara dalam konteks pemberantasan korupsi.

Rezim anti pencucian uang dengan mekanisme STR dan PEP sebenarnya
merupakan salah satu instrumen yang handal yang dapat digunakan dalam
kerangka pemberantasan korupsi. Dengan model yang lebih fleksibel sesuai konteks
kejahatan asalnya, jejaring rezim tersebut berpeluang menekan kejahatan hingga
ke titik yang rendah. Termasuk diantaranya dengan menerapkan PEP yang lebih
sesuai dengan tujuan dan risiko nyata yang dihadapi oleh penyedia jasa keuangan
dimana kejahatan tersebut terjadi.

Rekomendasi Pertama.

Perlu dicatat bagi penyedia jasa keuangan sebagai front liner rezim anti
pencucian uang untuk bertindak lebih kreatif, dengan menggunakan risk
based approach dalam mekanisme manajemen risiko PEP maupun STR-nya.
Dengan model berbasis risiko tersebut diharapkan penyedia jasa keuangan
dapat menerapkan rezim secara efektif dan efisien.

Tentu saja rekomendasi pertama tersebut akan sangat bergantung pada bagaimana
pengetahuan perbankan mengenai modus-modus kejahatan asal yang lazim terjadi
di Indonesia – termasuk korupsi dalam proses pelemahan penegakan hukum
perkara korupsi. Oleh karena itu, penulis juga merasa perlu untuk
merekomendasikan poin penting kedua, yaitu:

Rekomendasi Kedua.

Sangat dianjurkan bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan


untuk memperbaiki pedomannya sesuai dengan modus dan tipologi
kejahatan asal pencucian uang yang dianut di Indonesia.

Penelitian lebih lanjut


Ada beberapa hal dari tulisan ini yang kemudian dapat lagi diperjelas melalui
penelitian yang lebih mendalam:

 Memasukkan penegak hukum sebagai salah satu komponen high risk dalam
manajemen risiko penyedia jasa keuangan memang dapat memitigasi
kerentanan pelemahan penegakan hukum kasus korupsi melalui SP3, dan
sampai pada lingkup apa.

Referensi
18 Maret 2009

Choo, R. (2008). politically exposed persons [PEP]: risks and mitigation. Journal of
Money Laundering Control , 371-387.

Couch, C. (n.d.). Suspicious Activity Reports by Financial Institutions. Retrieved from


http://72.14.235.132/search?q=cache:rwY0WsYdiV8J:www.legislature.mi.gov/docum
ents/2003-2004/billanalysis/House/pdf/2003-HLA-4579-
a.pdf+suspicious+activity+report+patriot+act&cd=6&hl=id&ct=clnk&gl=id&client
=firefox-a

Madril, O. (2009, Februari 24). Indonesian Corruption Watch. Retrieved from Artikel
dari Jawa Pos: Obral SP3 untuk Koruptor:
http://antikorupsi.org/indo/content/view/14172/7/

Muhajir, M. (2008, Oktober 14). Penerapan Mekanisme Politically Exposed Peoples


[PEP’s] dalam Menangani Kejahatan Kehutanan di Indonesia. Retrieved Januari 13,
2009, from Katalog Hukum: http://kataloghukum.blogspot.com/2008/10/penerapan-
mekanisme-politically-exposed.html

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan [PPATK]. (2008). Pedoman


Identifikasi Produk,Nasabah, Usaha, dan Negara Beresiko Tinggi, bagi Penyedia Jasa
Keuangan. Pedoman IV .

Republika. (2003, September 8). Artikel Dan Berita: SP3 Bola Api yang Tak Pernah
Padam. Retrieved from Masyarakat Transparansi Indonesia:
http://www.transparansi.or.id/berita/berita-september2003/berita2_080903.html

Tribun Jakarta. (2009, Februari 10). Berita : Kapolri - SP3 Sudah Final. Retrieved from
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau:
http://jikalahari.org/index.php?option=com_content&task=view&id=111&Itemid=2

Yuntho, E. (2004, November 25). Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi. Hukum
Online .
1Analis ELSDA Institute. Tulisan ini merupakan pandangan penulis secara pribadi dan bukan
pandangan dari Lembaga Ekonomi Lingkungan dan Sumber Daya Alam [ELSDA institute] secara
umum. Tulisan ini disusun berdasarkan kapasitas penulis secara pribadi.

You might also like