You are on page 1of 18

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupuntidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada pasien ini diklasifikasikan pada ASA II, dikarenakan adanya penyakit sistemik ringan sampai sedang tanpa ada pembatasan aktifitas fisik (terdapat leukositosis, kemungkinan terjadi karena infeksi appendisitisnya). Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang berasal dari The American Society Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi ini bukan alat prakiraan risiko anastesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan. Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat. Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Pada kasus ini operasi appendiktomi dengan diagnosis pre-operatif appendisitis pada pasien ASA II Gejala yang paling menonjol adalah demam dan nyeri tekan pada regio abdomen kanan bawah (titik Mc Burney) dan leukositosis. Pada operasi pasien ini, teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi regional (spinal). Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi

appendiktomi sehingga pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk mempermudah operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan. Analgesia spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgetik lokal ( bupivacain ) ke dalam ruang subarachnoid ( urutan jarum spinal untuk mencapai raung subarachnoid : kulit subkutis lig. Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum ruang epidural duramater ruang subarachnoid ) di antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4L5. 8 jam sebelum operasi pasien menjalani puasa hal ini bertujuan untuk meminimalkan terjadinya regurgitasi karena selama anestesia refleks laring mengalami penurunan.

Indikasi/Kontraindikasi/ Komplikasi Keterangan Bedah ekstremitas bawah Bedah panggul Tindakan sekitar rectum-perineum Bedah obstetric-ginekologi Indikasi Bedah urologi Bedah abdomen bawah Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan

Pasien menolak Infeksi pada tempat penyuntikan Hipovolemia berat, syok Indikasi Kontra Absolut Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan Tekanan intra cranial tinggi Fasilitas resusitasi minimal Kurang pengalaman/tanpa didampingi

konsultan anesthesia Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia) Infeksi sekitar tempat penyunikan Kelainan neurologis Kelainan psikis Indikasi Kontra Relatif Bedah lama Penyakit jantung Hipovolemia ringan Nyeri punggung kronis Hipotensi berat Bradikardia Hipoventilasi Trauma pembuluh darah Komplikasi Tindakan Trauma saraf Mual muntah Gangguan pendengaran Blok spinal tinggi, atau spinal total Nyeri tempat suntikan Komplikasi Pasca Tindakan Nyeri punggung Nyeri kepala karena kebocoran likuor

Retensio urine Meningitis

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid: 1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

Gambar 2.1 Posisi anestesi spinal 2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis. 3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.

4. Beri anestetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml. 5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introdusersedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Obat yang diberikan : 1. Ondansetron 4mg IV Diberikan sebagai premedikasi ( anti mual-muntah ) 2. Bupivacain 15mg Anastetik lokal golongan amida. Digunakan sebagai anestetik yang disuntikkan di ruang sub arachnoid. Anestetik ini biasanya digunakan yang hiperbarik, dengan dosis 5-15mg ( 1-3ml ). 3. Ketorolac 30mg IV Diberikan sesaat sebelum operasi selesai sebagai analgetik pasca operasi. Cairan : Ringer-Laktat 500ml untuk pengganti cairan yang hilang selama operasi. Anastesi spinal dilakukan yang digunakan pada pasien ini adalah Bupivakain 20 mg yang disuntikkan dengan jarum spinal ke ruang subarachnoid antara kanalis spinalis VL 3 VL 4. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah pasien diberikan premedikasi ondancetron iv 4 mg. Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino amida. Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupiivacaine kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi

athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivacaine adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut. Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan denyut nadi selalu dimonitor. Infus RL diberikan pada penderita sebagai cairan rumatan. Beberapa saat sebelum operasi selesai diberikan Ketorolac 30 mg sebagai analgesik setelah operasi Perlu diperhatikan terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Berat badan pasien adalah 50 kg, maka apabila pasien peusa selama 9 jam: Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi apakah ringan, sedang atau berat (Morgan, 2006).

Tabel 2.7 Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma Derajat Trauma Ringan (herniorrhaphy) Sedang (cholecystectomy) Berat (bowel resection) 2.6 Monitoring Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring. Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter Heart rate, nadi, dan kualitasnya Warna membran mukosa, dan capillary refill time Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu. Kebutuhan cairan tambahan 0-2 ml/kg 2-4 ml/kg 4-8 ml/kg

Setelah selesei operasi, pasien dipindah ke ruang rumatan dan diawasi aktivitas motorik, sensorik dan kesadaran. Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih minimal. Meskipun demikian, tetap

harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil.

Pada instruksi pasca bedah, pasien diharuskan tidur pakai bantal 1 x 24 jam, hal ini dilakukan, karena obat yang dipakai untuk anestesi lokal bersifat hiperbarik, obat ini akan mengikuti posisi tubuh, jika posisi tubuh diubah maka obat akan bergerak ke posisi yang lebih rendah, sehingga obat tidak naik ke bagian atas tubuh. Bila pasien tenang dengan Aldrette Score > 8 tanpa nilai nol, maka pasien dapat dipindah ke bangsal. Pada pasien ini, Aldrette Score bernilai 8, dengan rincian sebagai berikut: Warna kulit merah muda (nilai 2), Pasien dapat bernapas dalam dan teratur (nilai 2), Tekanan darah + 20 % dari tekanan darah praanestesi (nilai 2), Pasien bangun bila dipanggil (nilai 1), Ekstremitas atas dapat digerakkan (nilai 1). Peniaian Pergerakan Gerak bertujuan Gerak tak bertujuan Tidak bergerak Pernafasan Teratur, menangis Depresi Perlu bantuan Warna kulit Merah muda Pucat Sianosis Tekanan Darah Berubah sekitar 20% Berubah 20-30% Berubah > 30% Kesadaran Sadar penuh Bereaksi rangsangan Tidak bereaksi 0 1 0 2 1 0 2 1 0 2 tanpa 1 Nilai 2 1 0 Batuk, 2

Jika jumlah > 8 pasien dapat dipindahkan ke ruangan

Setelah pasien memiliki Aldrette Score > 8, pasien dikirim ke bangsal dengan catatan: Awasi tanda vital secara ketat, awasi kesadaran, Infus cairan Ringer Laktat 1500 mL/24 jam, cek Hb pasca operasi, Tidur terlentang dengan bantal selama 24 jam, Jika pasien sadar penuh, minum bertahap, dan lain-lain sesuai dokter bedah

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Hal hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat. Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih. Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat. Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal.

Tabel Anastesi spinal yang paling sering digunakan Anastesi lokal Lidocain (Xylobain, Lignokain ) 2% plain 5% dalam dekstrosa 7,5% Bupivakain (Markain) 0,5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml) 1.006 1.033 Isobarik Hiperbarik 20-100 mg (2-5 ml) 20-50 mg (1-2 ml) Berat Jenis Sifat Dosis

0,5% dalam dekstrosa 8,25%

1.027

Hiperbarik

5-15 mg (1-3 ml)

Indikasi Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.

Kontraindikasi Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.

Persiapan Pasien Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.

Perlengkapan Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai

dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008. Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk steril juga harus disiapkan. Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.

Tipe Quincke

Tipe Whitacre

Teknik Anestesi Spinal Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain: 1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi. 2. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrata lumbalis (interlumbal). 3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.

4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid.

5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.

6. Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.

Komplikasi Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed. Komplikasi tindakan : 1. Hipotensi berat: Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan. 2. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2 3. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas 4. Trauma pembuluh saraf 5. Trauma saraf 6. Mual-muntah 7. Gangguan pendengaran 8. Blok spinal tinggi atau spinal total Komplikasi pasca tindakan: 1. Nyeri tempat suntikan 2. Nyeri punggung 3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor 4. Retensio urine 5. Meningitis

Komplikasi intraoperatif: 1). Komplikasi kardiovaskular Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek BezoldJarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 34menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.

2). Blok spinal tinggi atau total Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang

bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat. Komplikasi respirasi 1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru normal. 2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi. 3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla. 4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tandatanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

Komplikasi postoperative: 1). Komplikasi gastrointestinal Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis berlebihan,pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA 1. Said A.Latief dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2002 2. Mansjoer, Arif. dkk. Kapita Selekta Kedokteran edisi III. Jakarta. 2002 3. R. Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi dua. Jakararta : Penerbit EGC. 2004 4. Anonim. Anestesiologi. Diakses dari http/www.doktermuda.wordpress.com. d

You might also like