You are on page 1of 23

BAB I PENDAHULUAN

Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih dari vena hemoroidalis di daerah anorektal. Kelainan ini mirip dengan varises yang didapatkan pada ekstremitas, pada plexus pampiniformis pada varikokel, dan plexus oesophagus yang terdapat pada varises oesophagus. Hemoroid berasal dari bahasa Yunani, yaitu haema yang berarti darah dan rhoos yang berarti mengalir (Jusi, 1999). Hemoroid merupakan salah satu penyakit yang paling sering dijumpai. Sulit untuk memperoleh angka insidensi dari penyakit ini. Tapi pengalaman klinik menyokong dugaan bahwa sangat banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang menderita hemoroid. Bahkan yang lebih banyak lagi menderita hemoroid dalam bentuk tanpa gejala atau keluhan. Orang mungkin telah hemoroid selama bertahun-tahun tapi tetap tidak terdeteksi. Penderita lebih suka pengobatan sendiri dengan preparat topikal dan enggan untuk mencari bantuan dari para profesional kesehatan, karena mungkin berbicara tentang penyakit ini dianngap memalukan. Meskipun demikian, studi epidemiologi luar negeri melaporkan prevalensi hemoroid bervariasi sekitar 4,4% di antara orang dewasa di Amerika yang menyebabkan keluhan. Di Australia, pasien hemoroid yang memerlukan tindakan pengobatan tercatat sebesar 300.000 per tahun yang berobat ke praktek umum. Dikatakan bahwa baik pria maupun wanita mempunyai peluang yang sama untuk terkena hemoroid, yang berusia antara 45-65 tahun merupakan prevalensi tertinggi. Semua orang di atas 30 tahun mempunyai kemungkinan 30 50 % untuk mendapat varises di tungkai, pleksus hemoroidalis maupun di tempattempat lain (Dudley, 1992; Leung, 2011). Insidensi Hemoroid meningkat dengan bertambahnya usia. Mungkin sekurang-kurangnya 50% orang yang berusia lebih dari 50 tahun menderita hemoroid dalam berbagai derajat. Namun demikian, tidak berarti penyakit ini hanya diderita oleh orang tua saja. Hemoroid dapat mengenai segala usia, bahkan

kadang-kadang dapat dijumpai pada anak kecil. Walaupun hemoroid tidak mengancam keselamatan jiwa tetapi tidak jarang pasien hemoroid dirawat dengan anemia berat. Hemoroid juga menyebabkan perasaan yang tidak nyaman. Sehingga jika hemoroid ini menyebabkan suatu keluhan atau penyulit, maka diperlukan tindakan (Jusi, 1999).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Fisiologi Anorektum

Usus besar meluas dari ileocaecal sampai ke anus. Usus ini dibagi ke dalam beberapa bagian yaitu kolon, rektum, dan kanal anal. Dinding kolon meliputi 5 lapisan yang berbeda, yaitu mukosa, submukosa, otot melingkar bagian dalam, otot longitudinal bagian luar, dan serosa. Pada rektum distal, otot polos bagian dalam bergabung membantuk internal anal sphincter. Pada bagian kolon yang intraperitoneal dan 1/3 proksimal rektum ditutupi oleh lapisan serosa, sedangkan pada bagian tengah dan distal rektum hanya dilapisi oleh sedikit serosa (Bullard & Rothenberg, 2005). Kanal anal berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum berasal dari endoderm. Karena adanya perbedaan ini maka perdarahan, persarafan, serta pengaliran vena dan limfenya berbeda juga, termasuk dengan epitel yang melapisinya. Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus sedangkan kanal anal dilapisi oleh anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis pipih kulit luar (Jong & Sjamsuhidajat, 2004). Panjang rektum kurang lebih 12 sampai 15 cm. Tiga lipatan submukosa yang berbeda, valve of Houston, memanjang ke dalam lumen rektum. Di bagian belakang, presacral fascia memisahkan rektum dari presacral venous plexus dan persyarafan pelvis. Pada sakrum 4, retrosacral fascia (Waldeyers fascia) memanjang ke depan dan ke bawah dan melekat pada fascia propria di anorectal junction. Di bagian depan, Denonvilliers fascia memisahkan rektum dari prostat dan vesika seminalis pada pria dan vagina pada wanita. Lateral ligamen menyokong rektum bagian bawah (Bullard & Rothenberg, 2005). Kanal anal panjangnya sekitar 2 sampai 4 cm dan biasanya lebih panjang pada pria daripada wanita. Dimulai dari anorektal junction dan berakhir di ujung anus. Bagian atas kanal anal disebut garis dentata atau garis pektinata, yaitu bagian transisi antara mukosa kolumnar rektum dan squamous anoderm.

Daerah batas rektum dan kanal anal ditandai dengan perubahan jenis epitel, sehingga disebut zona transisi anal. Garis dentata dikelilingi lipatan mukosa longitudinal yang disebut columns of Morgagni, masuk ke kripta anus. Bila timbul infeksi pada daerah kripta dapat menimbulkan abses anorektum yang dapat membentuk fistula (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004). Kanal anal dan kulit luar di sekitarnya kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap rangsangan nyeri (Jong & Sjamsuhidajat, 2004). Di bagian rektum distal, otot polos bagian dalam menebal dan terdiri dari internal anal sphincter dan dikelilingi oleh subkutaneus, superfisial, dan eksternal sphincter dalam. Eksternal sphincter dalam adalah

perpanjangan dari otot puborektalis. Cincin sphincter anus melingkari kanal anal dan terdiri dari sphincter internal dan eksternal. Bagian lateral dan posterior cincin sphincter terbentuk dari penggabungan sphincter interna, otot longitudinal, bagian tengah otot puborektalis, dan bagian dari sphincter eksternal. Otot sphincter internal terdiri dari serabut otot polos, sedangkan otot dari sphincter eksternal disusun oleh serabut otot lurik (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004) Bantalan anal terdiri dari pembuluh darah, otot polos (Treitz's muscle), dan jaringan ikat elastis di submukosa. Bantalan ini berlokasi di kanal anal bagian atas, dari garis dentata menuju cincin anorektal (otot puborektal). Ada tiga bantalan anal, masing-masing terletak di lateral kiri, anterolateral kanan, dan posterolateral kanan. Hemoroid yang lebih kecil terdapat di antara ketiga letak primer tesebut. Otot polos (Treitz's muscle) berasal dari otot longitudinal yang bersatu. Serat otot polos ini melalui sphincter internal dan menempelkan diri ke submukosa, dan berkontribusi terhadap bagian terbesar dari hemoroid. Beberapa dari strukur vaskular tidak memiliki dinding otot. Tidak adanya dinding otot menandai bahwa struktur vaskular ini lebih sebagai sinusoid bukan vena. Penelitian menunjukkan bahwa perdarahan hemoroid merupakan perdarahan dari arteri, bukan vena karena perdarahan dari hemoroid yang abnormal ini berasal dari arteriol presinusoid yang berhubungan dengan

sinusoid di regio ini. Hal ini dibuktikan dengan wama darah yang merah cerah dan pH arterial dari darah (Cintron & Herand, 2007). Arteri hemoroidalis superior berasal dari cabang langsung arteri mesentrika inferior dan menyuplai ke bagian atas rektum. Arteri ini membagi lagi menjadi dua cabang: kiri dan kanan, dan cabang kanan bercabang lagi, letak dari ketiga cabang ini dapat menjelaskan letak hemoroid interna, yaitu dua buah di setiap perempat sebelah kanan dan sebuah di perempat lateral kiri. Arteri hemoroidalis medialis berasal dari arteri iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior berasal dari arteri pudenda interna, yang merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Anastomosis dari antara arcade pembuluh inferior dan superior merupakan suatu sirkulasi kolateral yang bermakna dalam tindakan bedah atau sumbatan aterosklerotik di daerah aorta dan arteri iliaka. Pleksus hemoroidalis yang merupakan kolateral luas dan kaya akan darah, pada keadaan perdarahan oleh karena hemoroid interna, maka akan menghasilkan darah segar berwarna merah dan bukan darah vena (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004) . Aliran vena dari rektum berjalan paralel dengan suplai arterinya. Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang vena iliaka. Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan mengalirkan darah ke dalam sistem porta melalui vena mesentrika inferior. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Vena hemoroidalis media mengalirkan darah ke dalam vena iliaka interna. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah kedalam vena pudenda interna dan kemudian masuk kedalam vena iliaka interna dan sistem kava. Pleksus submukosa bagian dalam sampai columns of Morgagni membentuk pleksus hemoroidalis dan mengalir ke dalam ketiga vena yang ada. Distribusi aliran vena ini menjadi penting berkaitan dengan memahami cara penyebaran dari keganasan dan infeksi serta terbentuknya hemoroid (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004) .

Gambar 2.1 Anatomi Anorektum (Jong & Sjamsuhidajat, 2004)

2.2 Definisi Pada bagian atas dari kanal anal terdapat bantalan dari jaringan submukosa yang mengandung jaringan konektif yang terdapat vena dan otot polos. Umumnya hanya terdapat tiga bantalan, yaitu bagian lateral kiri, anterior kanan, dan posterior kanan. Susunan anatomi ini berfungsi sebagai pelindung dinding anus sewaktu kontinensia dan berkontribusi dalam penutupan anal. Hemoroid berarti istilah patologi yang digunakan untuk mendeskripsikan turunnya Anal Cushion (bantalan anus), yang menyebabkan vena yang dikandung didalamnya mengalami dilatasi (Norman & William, 2002). Hemoroid adalah suatu pelebaran yang terjadi pada vena yang berada didalam pleksus hemoroidalis yang sebenarnya bukan merupakan suatu

keadaan yang patologik, kecuali apabila telah menyebabkan keluhan atau penyulit dan memerlukan tindakan lebih lanjut untuk mengurangi keluhan. Ketegangan yang berlebihan, peningkatan tekanan abdomen dan buang air besar yang keras (susah) meningkatkan pembengkakan vena dari pleksus hemoroidalis dan menyebabkan prolaps dari jaringan hemoroid (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004). Hemoroid dibedakan menjadi dua yaitu hemoroid interna dan hemoroid eksterna. Hemoroid interna adalah pembesaran pembuluh vena yang terjadi pada pleksus vena hemoroidalis superior diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh mukosa. Hemoroid interna ini sebenarnya merupakan bantalan vaskuler dalam jaringan submukosa pada rektum bagian bawah. Hemoroid kebanyakan terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan-depan, kananbelakang, dan kiri-lateral. Dapat pula timbul hemoroid kecil diantara ketiga tempat tersebut. Hemoroid interna bisa prolaps atau berdarah, tetapi jarang menjadi terasa sakit kecuali sudah terjadi trombosis dan nekrosis (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004; Fleshman & Madoff, 2004). Hemoroid eksterna merupakan pelebaran dan penonjolan dari pleksus vena hemoroidalis inferior yang terdapat di sebelah distal garis dentata di dalam jaringan dibawah epitel anus. Karena lapisan anoderm sangat banyak persyarafan, maka trombosis dari hemoroid eksterna dapat

menimbulkan nyeri yang sangat menyakitkan. Skin tags adalah jaringan fibrotik kulit yang berlebihan pada pinggiran anus, sering sulit dibedakan dengan hemoroid eksterna. Hemoroid eksterna dan skin tag dapat menyebabkan gatal dan susah dibersihkan jika ukurannya besar. Pengobatan hemoroid eksterna dan ski n tag han ya diindikasikan untuk

menghilangkan keluhan (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004). Pleksus hemoroid interna dan eksterna saling berhubungan secara longgar dan merupakan awal dari aliran vena yang kembali berawal dari rektum sebelah bawah dan anus. Pleksus hemoroid interna mengalirkan darah ke vena hemoroidalis superior dan selanjutnya ke vena porta. Pleksus hemoroid eksterna mengalirkan darah ke peredaran sistemik melalui perineum dan

lipat paha ke vena iliaka. Anastomosis antara kedua pleksus ini sering menyebabkan hemoroid di kedua tempat eksterna dan interna, atau yang dalam hal ini disebut mixed hemorrhoid. Hemorrhoidectomy sering digunakan untuk pengobatan pada mixed hemoroid yang besar dan menimbulkan keluhan (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004). Postpartum Hemoroid adalah hasil dari setelah usaha mengejan selama proses melahirkan, dan dapat menimbulkan edema, trombosis, dan atau strangulasi. Pilihan terapi yang diambil adalah Hemorrhoidectomy, terutama jika pasien memiliki riwayat hemoroid kronik dengan keluhan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Abramowitz dkk di Prancis diketahui bahwa 1 dari 3 wanita setelah melahirkan mengalami hemoroid eksterna atau fisura anal. Trauma dapat dihubungkan dengan trombosis hemoroid eksterna yang terjadi. Pada seorang wanita hamil terdapat 3 faktor yang mempengaruhi timbulnya hemoroid, yaitu adanya tumor intraabdomen, kelemahan pembuluh darah sewaktu hamil akibat pengaruh perubahan hormonal, dan mengedan waktu partus (Jong & Sjamsuhidajat, 2004; Abramowitz, et al., 2002; Peter, 2000)

Gambar 2.2 Batas Kanal Anal (Bullard & Rothenberg, 2005)

2.3 Etiologi Penyebab dasar dari hemoroid belum dapat dijelaskan hingga sekarang, masih terjadi beberapa perdebatan mengenai teori terjadinya patogenesis penyakit ini. Secara tradisional dikatakan bahwa hemoroid adalah varikosis

sederhana dari pleksus vena hemoroidalis superior dan inferior, dan ini dinyatakan tidak terbukti. Dalam teori varikosis vena hemoroidalis, dinyatakan bahwa hemoroid dipacu untuk terbentuk dan membesar oleh semua pengaruh yang cenderung menyebabkan peningkatan tekanan pada vena tak berkatup dari pleksus. Sehingga efek dari konstipasi kronis dan diare adalah memacu perkembangan hemoroid, sama halnya dengan pada kehamilan dan tumor besar di pelvis yang berkaitan dengan peningkatan tekanan vena hemoroidal. Usaha mengejan terkait dengan pekerjaan seperti pekerjaan berat yang manual, dan angkat berat juga terlibat sebagai penyebab hemoroid. Bahkan pekerjaan rendah residu, makan rendah serat yang biasa di makan orang barat dapat dianggap sebagai faktor yang berkontribusi sebagai penyebab hemoroid (Shackelford & Zuidema, 2002). Banyak teori lainnya dalam mencari penyebab terjadinya hemoroid, seperti teori bahwa hemoroid berasal dari jaringan hemangioma yang dihasilkan dari metaplasia dan kemiripan antara ambeien dan corpus cavernosum yang tegak. Ada pula yang menyatakan bahwa hemoroid berasal dari penyempitan rektum bagian bawah dan kanal anal, yang dikarenakan oleh pengikat yang tidak terbatas pada level dari anal sphincter tapi mungkin diatasnya dan sering bertempat di bagian bawah rektum. Teori dari Thomson yaitu sliding anal lining, menyatakan bahwa bantalan yang terdapat pada rektum menjadi menebal karena tegangan dan menjadi dislokasi karena regangan dan gangguan pada otot polos yang melekat pada internal sphincter. Semua faktor lain yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam pleksus vena mendorong terjadinya pembesaran bantalan dan menurunkannya

(Shackelford & Zuidema, 2002). Walaupun telah terbukti hubungan antara vena porta dan vena sistemik dengan pleksus hemoroidalis pada dinding kanal anal, hemoroid agak jarang bermanifestasi menjadi hipertensi porta. Insiden

berhubungan dengan garis keluarga ditunjukkan dibawah 10 persen dari kasus hemoroid. Yang menarik adalah kejadian hemoroid pada remaja dan dewasa muda sering dihubungkan dengan riwayat yang kuat dari riwayat keluarga yang terkena ambeien (Shackelford & Zuidema, 2002). Seperti yang dikatakan Gass dan Adams, mereka menyatakan bahwa penonjolan dari mukosa rektum yang menembus keluar seharusnya disebut hernia. Anorektal herniasi atau hemoroid ditegaskan oleh Gass dan Adams bukanlah berasal dari konstipasi melainkan dari kebiasaan normal defekasi sedangkan infeksi lain atau trauma pada rektum dan anus yang menyebabkan konstipasi pada kebanyakan pasien (Gass & Adams, 2004). 2.4 Patogenesis Jaringan hemoroid saat diperiksa secara histologi, menunjukkan adanya dilatasi dari vena dengan atropi dinding vena, khususnya pada bagian adventitia dan media. Jaringan elastis digantikan oleh berbagai jenis jaringan fibrosus. Infiltrasi dari sel bulat sering ditemukan, dan trombus, single atau multiple, dapat ditemukan bersama vena yang berdilatasi. Bekuan darah sering terdapat diluar pembuluh darah juga. Trombosis vena superfisial bisa menjadi ulkus dan dapat menunjukan bukti histologi dari infeksi akut atau kronis. Hemoroid eksterna dilapisi oleh epitel berlapis skuamous, sedangkan internal hemoroid dilapisi membran mukosa (Shackelford & Zuidema, 2002). Skin tag, atau hemoroiod cutan, terdiri dari jaringan ikat fibrosus yang dilapisi oleh kulit dan menunjukan hasil akhir trombosis hemoroid ekstema dimana bekuan darahnya sudah teratur dan venanya telah digantikan oleh jaringan ikat (Shackelford & Zuidema, 2002). 2.5 Faktor Risiko Ada beberapa hal yang dapat menjadi suatu faktor risiko pada kasus hemoroid, yaitu: a. Keturunan : hemoroid lebih mudah terjadi pada orang-orang dengan dinding pembuluh darah yang lemah dan tipis, dan hal ini diturunkan secara genetik. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Universitas

10

Indonesia telah dibuktikan pula bahwa riwayat keluarga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap angka kejadian hemoroid. Menurut penelitian lainnya yang dilakukan oleh Yanuardi 2007 orang dengan faktor genetik memiliki risiko 2,5 kali lebih besar untuk menderita hemoroid dibanding yang tidak memiliki faktor genetik (Jusi, 1999; Irawati, Utomo, & Salawati, 2009; Yanuardani, 2007). b. Anatomik pada vena darah anorektal yang tidak mempunyai katup dan plexus hemoroidalis yang kurang mendapat sokongan otot dan fasia sekitarnya (Jusi, 1999). c. Pekerjaan : lebih mudah terjadi pada orang-orang yang dalam pekerjaannya harus berdiri atau duduk lama, atau harus mengangkat barang berat (Jusi, 1999). d. Usia : pada usia tua timbul degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga otot sphincter menjadi tipis dan atoms. Dengan bertambahnya usia, vena semakin distensi dan kehilangan support, dan menyebabkan semakin sensitifnya pembuluh darah sehingga mudah terjadi hemoroid. Pigot et al (2005), mengatakan ada hubungan yang signifikan antara umur < 50 tahun dengan kejadian hemoroid dan memilikiresiko 1,95 kali terkena hemoroid. Berdasarkan umur hemoroid eksterna lebih sering terjadi pada usia muda dan umur pertengahan dibandingkan dengan usia lebih lanjut. Prevalensi hemoroid bertambah seiring bertambahnya umur, dimana puncaknya pada umur 45-65 tahun (Jusi, 1999; Norman & William, 2002; Haas, Fox, & Haas, 2004; Pigot, Siproudhis, & Allaert, 2005; Greenfield, 1997) e. Endokrin : misalnya pada wanita hamil terjadi dilatasi vena ekstremitas dan anus karena pengaruh sekresi hormon relaksin (Jusi, 1999). f. Mekanis : dipengaruhi oleh semua kegiatan yang menimbulkan peninggian tekanan abdomen, misalnya pasien hipertroft prostat (Jusi, 1999). g. Fisiologis : terjadi karena dipengaruhi keadaan tubuh yang lain, seperti adanya bendungan peredaran darah porta karena menderita dekompensasio kordis atau sirosis hepatis (Jusi, 1999).

11

h. i.

Radang : merupakan faktor yang penting yang dapat menyebabkan vitalitas jaringan disekitar menjadi berkurang (Jusi, 1999). Jenis Kelamin : Berdasarkan jenis kelamin belum diketahui, walaupun laki-laki lebih umumnya lebih sering datang berobat. Tapi perlu diketahui, kehamilan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang menjadi predisposisi gejala hemoroid pada wanita (Norman & William, 2002; Greenfield, 1997). 2.6 Manifestasi Klinis Banyak hemoroid yang muncul tanpa menimbulkan gejala. Keluhan

yang biasanya muncul pertama pada pasien dengan hemoroid adalah tinja yang disertai darah saat buang air, dan gumpalan yang tidak sakit atau tonjolan keluar pada pinggiran anus. Nyeri hebat biasanya hanya timbul pada hemoroid eksterna yang mengalami trombosis dan jarang ada hubungannya dengan hemoroid interna (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004; Shackelford & Zuidema, 2002) Perdarahan yang terjadi pada hemoroid biasanya berselang-seling dan tidak selalu muncul saat buang air. Darah yang keluar selalu berwarna merah segar. Jumlah darah yang hilang bervariasi, seperti hanya berupa garis, menetes, mewarnai air toilet sampai merah, namun biasanya sedikit. Harus diperhatikan bahwa perdarahan ini kadang menghasilkan tanda-tanda anemia pada pasien dimana pasien kehilangan darah terus menerus pada waktu yang lama. Hemoroid menempati urutan kedua setelah perdarahan menstruasi yang berlebihan sebagai penyebab anemia karena perdarahan kronis. Jadi untuk pasien dengan tipe anemia seperti ini dan ditambah hemoroid, diperlukan pemeriksaan sumber perdarahan yang cermat (Jong & Sjamsuhidajat, 2004; Shackelford & Zuidema, 2002). Penonjolan keluar dari hemoroid biasanya ditemukan pertama kali saat sedang buang air besar. Tonjolan itu akan masuk kembali ke posisi normal setelah tegangan berhenti atau selesai buang air. Pada stadium lebih lanjut, hemoroid interna ini perlu didorong kembali setelah buang air agar masuk kedalam anus. Akhirnya, hemoroid berlanjut mengalami prolaps menetap dan tidak dapat

12

didorong masuk kembali. Pada prolaps dengan stadium yang sangat parah ditunjukkan dengan penonjolan permanen, yang keluar melalui otot sphincter, dan memperbesar risiko terjadinya strangulasi atau trombosis. Iritasi kulit perianal menimbulkan rasa gatal atau pruritus anus dikarenakan kelembaban yang terus menerus dan rangsangan mukus (Jong & Sjamsuhidajat, 2004; Shackelford & Zuidema, 2002). Trombosis pada gumpalan interna biasanya berhubungan dengan prolaps dan dipertanggung jawabkan oleh keadaan statis yang luar biasa didalam hemoroid saat anal sphincter berkontraksi. Saat komplikasi ini muncul, terjadi keadaan parah yang mendadak yaitu nyeri hebat yang terns menerus di daerah anus. Benjolan keras dapat diraba pada daerah lokasi nyeri dan rapuh. Duduk menjadi tidak nyaman, sedangkan berbaring meringankan keadaan. Pada perneriksaan yang menyakitkan untuk pasien, ditemukan tanda

pembengkakan pada tepi anus dengan dilapisi mukosa dari hemoroid yang prolaps kearah luar. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa mukosa yang melapisi trombosis pada hemoroid interna mengalami nekrosis, yang mungkin berhubungan dengan perdarahannya. Pada daerah yang menjadi ulkus dapat menimbulkan infeksi dan menyebabkan terjadinya selulitis atau abses (Shackelford & Zuidema, 2002). Trombosis pada hemoroid eksterna lebih biasa terjadi. Ini dipercaya akan menjadi robekan vena eksterna karena tekanan dan hasil tarikan, dan menjadi perianal hematoma yang menyakitkan. Karakteristiknya adalah pembengkakan menyakitkan pada daerah dekat pinggir anus yang terjadi tibatiba, sering didahului oleh konstipasi atau diare. Dengan inspeksi pada daerah pinggir anus ditemukan adanya pembengakakan dengan warna kebiruan menunjukkan adanya bekuan darah yang tersembunyi. Sama seperti pada hemoroid interna, duduk menjadi sangat tidak nyaman, bahkan buang air pun menjadi sangat menyakitkan. Gumpalan keras yang terbentuk biasanya mencapai ukuran maksimal pada hari kedua dan setelah berhenti akan meninggalkan skin tag. Ulkus yang tumpang tindih dengan hematoma akan menyebabkan pelepasan bekuan secara spontan dan selanjutnya akan berdarah. Infeksi dapat terjadi dan menyebabkan terbentuknya perianal abses

13

(Shackelford & Zuidema, 2002).

2.7 Diagnosa Diagnosa pada hemoroid salah satunya dengan pemeriksaan fisik. Penonjolan dan tingkatan prolaps dapat terlihat dengan pemeriksaan pada posisi berdiri tegak atau duduk (Shackelford & Zuidema, 2002). Apabila hemoroid mengalami prolaps, lapisan epitel penutup bagian yang menonjol keluar ini mengeluarkan mukus yang dapat dilihat apabila pasien diminta mengedan. Pada pemeriksaan colok dubur hemoroid interna tidak dapat diraba karena tekanan vena di dalamnya tidak cukup tinggi, dan biasanya tidak nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004; Shackelford & Zuidema, 2002) Untuk menilai hemorid interna yang belum menonjol digunakan anoskopi. Pada anoskopi terlihat penonjolan struktur vaskuler ke dalam lumen. Apabila au merupakan hemoroid interna. Untuk memperjelas pasien diminta untuk sedikit mengedan, ukuran hemoroid akan membesar dan makin nyata terlihat. Proktosigmoidoskopi digunakan untuk memastikan bahwa keluhan tidak berasal dari radang atau keganasan pada daerah yang lebih tinggi. Feses harus diperiksa terhadap adanya darah samar (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004; Shackelford & Zuidema, 2002).

2.8 Diagnosa banding Ada beberapa gejala dan tanda pada hemoroid yang juga merupakan gejala dan tanda pada manifestasi penyakit lain seperti perdarahan rektum. Perdarahan rektum merupakan manifestasi utama pada hemoroid interna, tetapi dapat pula terjadi pada pasien karsinoma kolorektum, penyakit divertikel, polip, kolitis ulserosa, dan penyakit lainnya yang tidak banyak terdapat pada kolorektum. Untuk menyingkirkan diagnosa banding ini dapat dilakukan beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan sigmoidoskopi, foto barium dan kolonoskopi untuk keadaan tertentu, sesuai keluhan dan gejala (Bullard & Rothenberg, 2005; Shackelford & Zuidema, 2002)

14

Prolaps rektum juga harus dibedakan dengan prolaps mukosa akibat dari hemoroid interna. Kondiloma perianal dan tumor anorektum lainnya biasanya tidak sulit dibedakan dengan hemoroid yang disertai prolaps. Gumpalan lunak akibat trombosis hemoroid eksterna juga mudah dibedakan dengan umbai kulit pada fisura anus (Bullard & Rothenberg, 2005). Perbedaan antara hemoroid dengan karsinoma kolorektal terletak pada perdarahan yang terjadi. Pada karsinoma rektum perdarahan yang keluar bersama tinja akan disertai pula dengan lendir sedangkan pada hemoroid, perdarahan yang keluar bersama tinja tidak disertai oleh lendir. Pada kolorektal, keganasan terjadi karena adanya proses inflamasi pada massa tumor. Bila massa terdapat pada kolon distal darah yang keluar berwarna merah segar, sedangkan bila massa terletak pada kolon proksimal darah yang keluar berwarna merah kehitaman. Pada hemoroid, darah yang keluar akan berwarna merah dan menyemprot atau menetes (Samiadji & Riwanto, 1995). 2.9 Klasifikasi Hemoroid interna dikelompokan dalam empat derajat. Derajat pertama hemoroid menyebabkan perdarahan merah segar tanpa nyeri saat buang air besar. Pada pemeriksaan fisik di derajat ini tidak ditemukan adanya prolaps dan pada anoskopi didapatkan penonjolan vaskuler ke dalam lumen. Pada derajat kedua terjadi penonjolan keluar dari kanal anal saat mengedan ringan tetapi masih dapat masuk kembali secara spontan. Pada derajat tiga hemoroid interna penonjolan yang terjadi akan keluar saat mengedan dan perlu bantuan dorongan secara manual untuk

mengembalikan ke posisi semula. Hemoroid interna derajat empat merupakan hemoroid yang menonjol dan tidak dapat didorong masuk (Bullard & Rothenberg, 2005; Jong & Sjamsuhidajat, 2004; Shackelford & Zuidema, 2002).

15

Gambar 2.3 Derajat Hemoroid Interna (Jong & Sjamsuhidajat, 2004)

2.10 Penatalaksanaan 2.10.1 Observasi dan Edukasi Perdarahan yang terjadi pada hemoroid derajat pertama dan kedua biasanya akan membaik dengan perubahan pola makan menjadi tinggi serat, menggunakan pelunak feses, dan menghindari tekanan berlebihan. Untuk pruritus yang disebabkan oleh hemoroid biasanya membaik dengan perbaikan kebersihan diri. Obat topikal tidak efektif untuk pengobatan gejala hemoroid (Bullard & Rothenberg, 2005; Shackelford & Zuidema, 2002) Menurut Lalisang pada penelitiannya, medikamentosa digunakan untuk mengobati unsur-unsur yang terjadi gangguan seperti pada pembuluh darah, ligamen dan otot polos, sehingga prolaps dapat teratasi. Dengan pilihan pengobatan yang sesuai dengan faktor risiko dan gradasi hemoroid maka dapat memberikan hasil yang cukup baik (Lalisang, 2005). 2.10.2 Tindakan lokal non operatif Pada terapi ini terdapat beberapa jenis terapi yang dapat dilakukan, seperti sclerotherapy, rubber band ligation, infared photocoagulation (Bullard & Rothenberg, 2005; Shackelford & Zuidema, 2002) 2.10.2.1 Sclerotherapy Penyuntikan di bagian yang berdarah pada hemoroid interna dengan sclerosing agent adalah salah satu cara lain yang efektif untuk terapi hemoroid derajat satu dan dua dan beberapa keadaan derajat tiga. Satu sampai tiga

16

mililiter (mL) dari solusio sclerosing seperti 5-phenol dalam olive oil, sodium morrhuate, atau quinine urea disuntikkan ke dalam submukosa tiap hemoroid. Tapi kekurangannya terdapat beberapa komplikasi dari penggunakan

sclerotherapy, antara lain infeksi dan fibrosis (Bullard & Rothenberg, 2005). 2.10.2.2 Rubber band ligation Perdarahan yang terjadi terns menerus pada derajat satu, dua dan beberapa keadaan pada derajat tiga dapat diterapi dengan menggunakan rubber band ligasi. Terapi ini termasuk debridement jaringan nekrosis, drainase dari abses yang terbentuk, dan antibiotik spektrum luas (Bullard & Rothenberg, 2005; Shackelford & Zuidema, 2002). Dari penelitian yang pernah dilakukan diketahui bahwa intensitas dan durasi nyeri pasca operatif pada minggu pertama lebih terasa pada terapi dengan rubber band ligation20. Pada penelitian yang dilakukan oleh Bleday dan kawan-kawan, 90 % dari sirnptomatik hemoroid dapat ditangani secara konservatif atau dengan rubber band ligation. Sedangkan operasi hanya untuk hemoroid dengan tingkatan yang berat, dan komplikasi yang muncul tidak begitu berbeda (Bleday, Pena, Rothenberger, Goldberg, & Buls, 2004; Gupta, 2003) . 2.10.2.3 Infra red photocoagulation Ini adalah merupakan cara yang efektif untuk terapi hemoroid derajat satu dan dua yang kecil. Ketiga kuadran dapat di terapi secara bersamaan. Tidak efektif bila menggunakan teknik ini pada hemoroid yang besar dan sebagian besar telah prolaps (Bullard & Rothenberg, 2005; Shackelford & Zuidema, 2002). Berdasarkan penelitian Gupta, pada keadaan pasca terapi dengan infra merah fotokoagulasi periode nyeri post defekasi lebih sebentar dibandingkan dengan pasca terapi dengan rubber band ligation (Gupta, 2003) 2.10.2.4 Eksisi pada trombosis hemoroid eksterna Trombosis akut dari hemoroid eksterna biasanya menyebabkan rasa sakit yang hebat dan massa yang teraba di perianal selama 24-72 jam setelah terjadi trombosis. Trombosis dapat secara efektif diterapi dengan melakukan pemotongan secara melingkar dengan keadaan dibawah pengaruh anastesi.

17

Dalam 72 jam., bekuan akan mulai di absorbs tubuh dan perlahan rasa sakit akan hilang (Bullard & Rothenberg, 2005; Fleshman & Madoff, 2004; Jong & Sjamsuhidajat, 2004) 2.10.3 Tindakan operatif Operasi ini disebut juga hemorroidectomy. Telah banyak prosedur yang dilaksanakan untuk reseksi elektif hemoroid. Semuanya berdasarkan penurunan aliran darah ke pleksus hemoroidal dan pemotongan kelebihan mukosa dan anoderm. Sebelum dilakukannya prosedur operatif harus dipastikan dahulu bahwa bukan keganasan (Bullard & Rothenberg, 2005; Shackelford & Zuidema, 2002). 2.10.3.1 Closed sub mucosal hemoridectomy Dalam operasi ini yang dilakukan adalah reseksi jaringan hemoroid dan penutupan luka dengan benang yang terabsorbsi. Ketiga jenis hemorid dapat di terapi menggunakan teknik ini (Bullard & Rothenberg, 2005; Shackelford & Zuidema, 2002). 2.10.3.2 Open hemoroidectomy Biasanya sering disebut juga sama Milligan dengan dan Morgan submucosal

hemorrhoidectomy.

Prinsipnya

closed

hemoroidectomy, yang menjadi pembeda adalah pada hemorroidectomy terbuka luka dibiarkan terbuka dan dibiarkan sembuh dengan sendiri (Bullard & Rothenberg, 2005; Shackelford & Zuidema, 2002). 2.10.3.3 Staples Hemoroidectomy Staples hemoroidectomy telah dianjurkan sebagai operasi alternatif yang bisa diterima. Tidak seperti eksisional hemorroidectomy, staples

hemorroidectomy tidak untuk memotong kelebihan jaringan hemoroid. Malah, staples hemorroidectomy menghilangkan sebagian kecil sekeliling proximal segmen mukosa rektal ke garis dentata menggunakan stapler circular (Bullard & Rothenberg, 2005; Shackelford & Zuidema, 2002). Kontraindikasi dalam penggunaan stapler adalah anal stenosis, pada keadaan ini anal kanal tidak dapat dimasukan alat stapler. Prosedur ini juga harus dihindari untuk pasien dengan abses anorektal, kompleks fistula pada anus, dan Crhon's disease (Parker, 2004).

18

Dari penelitian yang dilakukan di Australia dan Selandia Baru di dinyatakan bahwa staples hemorroidectomy kurang lebih seaman

hemorroidectomy konvensional. Terapi dengan stapler juga memiliki masa penyembuhan yang lebih cepat dibanding operatif konvensional (Parker, 2004; Hill, 2004). Hasil dari penelitian yang dilakukan di Swiss menunjukan bahwa prosedur stapler berhubungan dengan adanya penurunan rasa nyeri pada pasca operasi, masa penyembuhan yang lebih cepat dan masa kembali beraktivitas yang lebih cepat serta kesamaan komplikasi yang muncul dengan teknik eksisi hemoroidectomy (Hetzer, Demartines, Handschin, & Clavein, 2002; Ho, et al., 2004). 2.11 Komplikasi 2.11:1 Komplikasi Hemoroid Sekali-sekali hemoroid interna yang mengalami prolaps akan menjadi irreponibel, sehingga tak dapat terpulihkan oleh karena kongesti yang mengakibatkan edem dan trombosis. Keadaan yang agak jarang ini dapat berlanjut menjadi trombosis melingkar pada hemoroid interna dan eksterna secara bersamaan. Keadaan ini menyebabkan nyeri hebat dan dapat berlanjut menyebabkan nekrosis mukosa dan kulit yang menutupinya. Emboli septik dapat terjadi melalui system portal dan dapat menyebabkan abses hati. Anemia dapat terjadi karena perdarahan ringan yang lama (Jong & Sjamsuhidajat, 2004). 2.11.2 Komplikasi Pasca Terapi Komplikasi dari penggunaan rubber band ligation adalah retensi urin, infeksi dan perdarahan. Perdarahan biasa muncul kira-kira 7 sampai 10 hari setelah rubber band ligation, dan biasanya berhenti sendiri. Penelitian oleh Gupta menyatakan beberapa pasien hemoroid mengalami rektal tenesmus setelah 1 minggu. Dua pasien kembali dengan mengeluhkan nyeri parch, dan keluhan dapat dihilangkan dengan melepas karet pengikatnya. Ada pula yang mengalami retensi urine setelah terapi dengan rubber band ligation (Gupta, 2003). Berdasarkan penelitian oleh Gupta didapatkan bahwa dengan terapi infra merah fotokoagulasi hanya sedikit pasien yang mengalami rektal tenesmus,

19

dan lebih cepat kembali melaksanakan rutinitasnya pasca terapi (Gupta, 2003). Dilaporkan pada penelitian oleh Gupta, komplikasi yang muncul pada terapi infra merah fotokoagulasi adalah perdarahan dan hampir selalu berkaitan dengan defekasi. Dikonfirmasi bahwa hal ini berasal dari jaringan hemoroid yang meluruh ke bagian koagulasi. Dari hasil follow up setelah setahun, didapatkan hasil beberapa pasien mengalami rekurensi gejala perdarahan, dan 1 orang mengalami rekurensi prolaps dari penonjolan (Gupta, 2003). Komplikasi pada hemoroidectomy adalah nyeri pas ca operasi yang membutuhkan bantuan obat analgesik untuk mengurangi nyerinya. Retensi urin juga terjadi pada 10-50% pasien. Rasa nyeri yang timbul dapat menyebabkan fecal impaction. Risiko dari impaction bisa diturunkan dengan penggunaan laxantive pada pasca operasi. Perdarahan dengan jumlah yang sedikit dapat diperkirakan muncul pada keadaan pasca operasi. Perdarahan yang muncul ini biasanya dikarenakan ligasi yang tidak adekuat pada pembuluh darah. Infeksi jarang terjadi, terapi bila muncul biasanya ditandai dengan nyeri hebat, demam dan retensi urin. Gejala jangka panjang yang timbul seperti inkontinensia, anal stenosis, dan ectropion (Bullard & Rothenberg, 2005).

20

DAFTAR PUSTAKA

Abramowitz, L., Sobhani, I., Benifla, J. L., Vuagnat, A., Darai, E., Mignon, M., et al. (2002). Anal Fissure and External Hemorrhoids Before and After Delivery. Disease of The Colon and Rectum . Bleday, R., Pena, J. P., Rothenberger, D. A., Goldberg, S. M., & Buls, J. G. (2004). Symptomatic Hemorrhoids: Current Incidence and Complications of Operative Therapy. Disease of The Colon and Rectum . Bullard, K. M., & Rothenberg, D. A. (2005). Schwartz Principle of Surgery Eight Edition. USA: McGraw-Hill Companies. Cintron, J. R., & Herand, A. (2007). Benign Anorectal: Hemorrhoids. In The ASCRS Textbook of Colon and Rectal Surgery (pp. 156-172). New York: Springer. Dudley, H. A. (1992). Hamilton Bailey: Ilmu Bedah Gawat Darurat Edisi XI. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. Fleshman, J. W., & Madoff, R. (2004). Current Surgical Therapy Eight Edition. USA: Elsivier Mosby. Gass, O. C., & Adams, J. (2004). Hemorrhoids: Etiology and Pathology. American Journal Surgery . Greenfield. (1997). Essential of Surgery: Scientific Principles and Practice 2nd Edition. England: Lippincolt. Gupta, P. J. (2003). Infra Red Coagulation Versus Rubber Band Ligation in Early Stage Hemorrhoids. Brazillian Journal of Medical and Biological Research vol 36 , 1433-1439. Haas, P. A., Fox, T. A., & Haas, G. P. (2004). The Pathogenesis of Hemorrhoids. Disease of The Colon and Rectum .

21

Hetzer, F. H., Demartines, N., Handschin, A. E., & Clavein, P. (2002). Stapled Versus Excision Hemorrhoidectomy. Archives of Surgery vol 137 no 3 , 337-340. Hill, A. (2004). Stapled Haemorrhoidectomy: No Pain, No Gain. New Zealand Medical Journal vol 117 no 1203 , 1-4. Ho, Y. H., Cheong, W. K., Tsang, C., Ho, J., Eu, K. W., Tang, C. L., et al. (2004). Stapled Hemorrhoidectomy Cost and Effectiveness. Disease of The Colon and Rectum . Irawati, D., Utomo, M., & Salawati, T. (2009). Hubungan Antara Riwayat Keluarga, Konstipasi, dan Olahraga Berat dengan Kejadian Hemoroid. Semarang. Jong, W. d., & Sjamsuhidajat, R. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jusi, H. D. (1999). Dasar-dasar Ilmu Bedah Vaskuler. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. Lalisang, T. J. (2005). Medikamentosa pada Hemoroid. Jakarta: Majalah Kedokteran Indonesia. Leung, T. H. (2011, January 1). Non Communicable Disease Watch vol 4. Haemorrhoid Flare Up-A No Laughing Matter , pp. 1-6. Norman, S., & William, B. (2002). Surgical Textbook. England: Lippincolt. Parker, G. S. (2004). A New Treatment Option for Grades III and IV Hemorrhoids. The Journal of Family Practice Supplement , 799-804. Peter, M. J. (2000). Oxford Textbook of Surgery 2nd Edition Volume 2. England: Oxford Press. Pigot, F., Siproudhis, L., & Allaert, F. A. (2005). Risk Factors Associated with Hemorrhoidal Symptoms in Specialized Consultation . Gastroenterologic Clinique et Biologique vol.129 no.2 , 1270-1274.

22

Samiadji, S., & Riwanto, I. (1995). Akurasi Keluhan Berak Darah dan Penurunan Berat Badan dalam Diagnosa Karsinoma Rekti. Semarang: Universitas Diponegoro. Shackelford, & Zuidema. (2002). Surgery of The Alimentary Tract. Philadelphia: W B Saunders Company. Yanuardani, M. T. (2007). Hubungan Antara Posisi Buang Air Besar dan Faktor Resiko Lainnya Terhadap Terjadinya Hemoroid. Semarang: Universitas Diponegoro.

23

You might also like