You are on page 1of 11

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176

PERAN PPR DALAM RADIOLOGI DIAGNOSTIK DAN INTERVENSIONAL

Togap Marpaung
Badan Pengawas Tenaga Nuklir Jalan Gajah Mada No.8, Jakarta, 10120

Abstrak
PERAN PPR DALAM RADIOLOGI DIAGNOSTIK DAN INTERVENSIONAL. Latar belakang tulisan ini adalah adanya persepsi yang kurang tepat mengenai status PPR secara legal, selain itu peran PPR hanya dianggap sekedar persyaratan teknis untuk memenuhi peraturan Masyarakat sains nuklir yang bekerja di bagian radiologi rumah sakit, khususnya Radiografer menganggap PPR suatu profesi, pendapat ini masuk akal karena pada umumnya PPR adalah praktisi medik yang berasal dari bagian radiologi. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1997 dinyatakan bahwa PPR adalah kedudukan sesuai tanggung jawab dan setiap petugas tertentu (PPR) di dalam instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion wajib memiliki izin berupa surat izin bekerja (SIB). PP No. 33 Tahun 2007 menegaskan bahwa PPR adalah petugas yang ditunjuk oleh Pemegang Izin (PI) dan oleh BAPETEN dinyatakan mampu melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan proteksi radiasi. Klassifikasi PPR terdiri dari 3 tingkatan dan mereka adalah PPR Medik Tingkat 2. Hingga bulan September 2010, sesuai data b@lis, jumlah PPR Medik Tingkat 2 adalah 2.350 personil. Masa berlaku SIB adalah 4 tahun dan untuk perpanjangan SIB maka PPR wajib mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh BAPETEN. Dasar hukum adalah Perka BAPETEN No.15 Tahun 2008. Perwujudan peran PPR dapat tercermin dari terpenuhinya persyaratan administrasi terkait dengan masalah perizinan dan persyaratan keselamatan radiasi penggunaan pesawat sinar-X. Semua persyaratan tersebut menjadi tanggung jawab PPR. Ruang lingkup adalah pembahasan peran PPR terkait dengan tanggung jawabnya dalam rangka menjamin implememtasi dari program proteksi dan keselamatan radiasi (Program P & KR). Kata kunci: PPR, Radiologi Diagnostik dan Intervensional, Pesawat Sinar-X, Program P & KR.

Abstract
RULE OF RPO IN DIAGNOSTIC AND INTERVENTIONAL RADIOLOGY. The Background of this paper is there is an incorrect perception on status of RPO legally, besides that the role of RPO just consider as a technical requirement to comply with the regulations. Nuclear scientists who work at radiology department in hospital, especially Radiographers consider that RPO as a profession, this opinion makes sense because they are medical practitioners in general, coming from department of radiology. Based on Act No. 10 Year 1997 stated that RPO is a status related with responsibility and every particular personnel (RPO) in installation which utilize ionizing radition shall have a license as a working permit (WP). Government Regulation No. 33 Year 2007 states that RPO is a personnel which is pointed by Licensee and by Regulatory Authority declared they are capable to perform their job which is relevant to radiation protection. Classification of RPO consits of 3 levels and they are RPO of Medical Level 2. Until September 2010, refer to b@lis data, number of RPO Medical Level 2 are 2,350 personnels. Validity of WP is 4 years and to extend it, RPO shall follow a refresher course conducted by BAPETEN. Legal basis is Chairman Regulation of BAPETEN No. 15 Year 2008. Realization of the role of RPO can be reflected from by complying with the administrative requirement related to a problem of licensing process and radiation safety requirement for the use of X-ray equipment. All those requirements become a responsibility of RPO. Scope is a discussion of the Togap Marpaung 99 STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 role of RPO related to their reponsibility in the frame of ensuring the implementaion of radition protection and safety program (RP & S Program). Keywords: RPO, Diagnostic Radiology and Interventional, X-ray equipment, R P & S Program.

PENDAHULUAN Pemahaman oleh sebagian besar masyarakat sains nuklir yang bekerja di bagian radiologi rumah sakit, khususnya Radiografer bahwa PPR merupakan suatu profesi yang sama dengan profesi lain, hal ini dapat menjadi masuk akal karena pada umumnya PPR adalah tenaga kesehatan yang berasal dari bagian radiologi. Namun pendapat ini suatu hal yang keliru karena tidak sesuai dengan fakta juridis sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, PPR adalah suatu kedudukan sesuai tanggung jawab. Demikian halnya dalam ketentuan umum PP No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, dijelaskan bahwa PPR adalah petugas yang ditunjuk oleh PI dan oleh BAPETEN dinyatakan mampu melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan proteksi radiasi. Namun demikian seseorang dapat menjadi PPR harus terlebih dahulu menjadi personil yang profesional bahkan secara ideal yang bersangkutan telah memiliki pengetahuan yang komprehensif terkait dengan tanggung jawab yang dipikulnya dalam hal penerapan proteksi radiasi sedemikian sehingga dapat menjamin terselenggaranya keselamatan radiasi hingga terwujudnya budaya keselamatan. Terminologi Keselamatan Radiasi atau Keselamatan Radiologik dan Proteksi Radiasi atau Proteksi Radiologik adalah sering digunakan secara bersamaan yang dapat dipertukarkan sebagai contoh, Petugas Proteksi Radiasi-PPR (Radiation Protection Officer-RPO) atau Petugas Keselamatan Radiasi-PKR (Radiation Safety Officer-RSO). Dalam publikasi Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency-IAEA) juga disebutkan dua terminologi tersebut (RPO dan RSO), sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia menggunakan penyebutan PPR, negara Amerika dengan penyebutan PKR, bahkan negara Inggris dengan penyebutan Penasehat Proteksi Radiasi-PPR (Radiation Protection Adviser-RPA). Nomenklatur sebagai PPR atau PKR mempunyai peran yang sama, hal itu tergantung dari Badan Pengawas suatu negara menetapkan personil sebagai PPR atau PKR. Oleh sebab itu, suatu saat boleh saja penyebutan personil tersebut berubah menjadi Petugas Proteksi dan Keselamatan Radiasi (PP&KR). STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA

Untuk pemanfaatan tenaga nuklir di bidang medik, PPR dapat berasal dari tenaga kesehatan dengan profesi yang berbeda-beda, misalnya sebagai radiografer, fisikawan medik, dokter spesialis radiologi atau dokter gigi. Namun demikian PI sebagai penanggung jawab utama dalam hal keselamatan radiasi seharusnya menentukan personil PPR berdasarkan kompetensinya dengan beberapa pertimbangan yang objektif bukan karena faktor subjektif. Nilai Tambah Sebagai PPR Menjadi PPR merupakan suatu pilihan, idaman, rasa bangga serta kepuasan tersendiri karena pimpinan rumah sakit, klinik, praktek dokter atau puskesmas akan menunjuk PPR sebagai penanggung jawab keselamatan radiasi. Manfaat penunjukan sebagai PPR ini dapat memberikan nilai tambah, sebagai contoh penambahan pendapatan berupa uang karena PPR merupakan salah satu persyaratan izin penggunaan pesawat Sinar-X yang wajib dipenuhi oleh Pemohon Izin. Kebijakan BAPETEN mengenai PPR di Bidang Medik ini dapat bertugas untuk 3 (tiga) instansi, misalnya rumah sakit, klinik dan praktek dokter asalkan lokasinya berdekatan. Apabila PPR adalah seorang praktisi medik dengan profesi sebagai Radiografer maka yang bersangkutan dapat merangkap tugasnya yang sekaligus bertindak sebagai PPR. Menurut ketentuan dari Kementerian Kesehatan seorang Radiografer dapat melaksanakan tugas rangkap profesi untuk 2 (dua) intansi. Sesuai dengan Perka BAPETEN No. 15 Tahun 2008 tentang Persyaratan untuk Memperoleh Surat Izin Bekerja bagi Petugas Tertentu di Instalasi yang Memanfaatkan Sumber Radiasi Pengion, untuk radiologi diagnostik dan intervensional adalah PPR Medik Tingkat 2 (dua). Nilai tambah lain sebagai PPR adalah bagi PPR khususnya yang bekerja di intansi pemerintah, seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) atau Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dapat mengajukan diri sebagai tenaga fungsional pengawas radiasi. Demikian halnya potensi PPR yang juga bekerja di lingkungan rumah sakit milik tentara (angkatan darat, laut dan udara) serta kepolisian dapat menjadi tenaga fungsional pengawas radiasi. Kesempatan sebagai tenaga 100 Togap Marpaung

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 fungsional pengawas radiasi yang berasal dari luar instansi BAPETEN sudah ada, yaitu staf Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sejak beberapa tahun yang lalu. Salah satu ketentuan menjadi tenaga fungsional adalah PPR wajib mengikuti dan lulus pelatihan tenaga fungsional yang diselenggarakan oleh BAPETEN. PPR juga sebagai mitra kerja dari BAPETEN dalam berbagai situasi, misalnya ketika proses permohonan izin, inspektur BAPETEN melaksanakan inspeksi, dalam hal terjadi situasi abnormal atau insiden (paparan berlebih), konsultasi publik mengenai draf peraturan atau sosialisasi mengenai peraturan yang baru, dan sistem perizinan. Jelasnya PPR merupakan kontak person dari pihak BAPETEN tetapi bukan sebagai perpanjangan tangan dari BAPETEN. DASAR HUKUM MENGENAI PERAN PPR U U No. 10 Tahun 1997 Dalam Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, pada Bab V Pengawasan, pasal 19 ayat 1, menetapkan bahwa setiap petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu di dalam instalasi nuklir lainnya dan di dalam instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion wajib memiliki izin. Pada ayat 2 ditetapkan bahwa, persyaratan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur oleh Badan Pengawas. Pada bagian penjelasan ayat 1 diuraikan bahwa kedudukan petugas dalam pengoperasian reaktor nuklir dan pemanfaatan sumber radiasi sangat penting. Mengingat peranannya dapat menentukan aman atau tidaknya pengoperasian dan pemanfaatan itu, maka untuk mendapatkan izin, petugas tersebut harus menjalani suatu pengujian untuk membuktikan kualifikasinya. Sedangkan yang dimaksud petugas tertentu adalah, antara lain, ahli radiografi, operator radiografi, petugas proteksi radiasi, petugas dosimetri dan petugas perawatan. Oleh karena ada kewajiban bagi petugas tertentu, khususnya PPR memperoleh izin dari Badan Pengawas maka UU No. 10 Tahun 1997 ini juga mengatur mengenai sanksi pidana terkait dengan pelanggaran ketentuan tersebut, yang ditetapkan pada bab VIII, Ketentuan Pidana, pasal 42, yaitu: ayat 1: Barang siapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). ayat 2: Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Togap Marpaung 101 terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Selanjutnya UU No. 10 Tahun 1997 ini mengamanatkan beberapa hal yang terkait dengan PPR dalam bentuk peraturan pelaksanaannya, yaitu PP dan Perka BAPETEN. a. PP No. 33 Tahun 2007

Dalam ketentuan umum PP No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 16 UU No. 10 Tahun 1997, ditetapkan bahwa PPR adalah petugas yang ditunjuk oleh PI dan oleh BAPETEN dinyatakan mampu melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan proteksi radiasi. Pada pasal 6 ayat 1, ditetapkan bahwa penanggung jawab keselamatan radiasi terdiri dari: (a) pemegang izin (PI); dan (2) pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir. Pada ayat 2, tanggung jawab PI, terkait dengan peran PPR, sebagai berikut: 1. membentuk dan menetapkan pengelola keselamatan radiasi di dalam fasilitas atau instalasi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. 2. menyusun, mengembangkan, melaksanakan, dan mendokumentasikan Program P & KR, yang dibuat berdasarkan sifat dan risiko untuk setiap pemanfaatan tenaga nuklir. Dalam hal ini, PI dalam melaksanakan tanggung jawabnya dapat mendelegasikan kepada atau menunjuk personil yang bertugas di fasilitas atau instalasinya untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam mewujudkan keselamatan radiasi. Pendelegasian atau penunjukan tidak membebaskan PI dari pertanggung jawaban hukum jika terjadi situasi yang dapat membahayakan keselamatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Penanggung jawab keselamatan radiasi wajib mewujudkan budaya keselamatan pada setiap pemanfaatan tenaga nuklir dengan cara: 1. membuat standar operasi prosedur dan kebijakan yang menempatkan proteksi dan keselamatan radiasi pada prioritas tertinggi; 2. mengindetifikasi dan memperbaiki faktorfaktor yang mempengaruhi proteksi dan keselamatan radiasi sesuai dengan tingkat potensi bahaya; 3. mengidentifikasi secara jelas tanggung jawab setiap personil atas proteksi dan keselamatan radiasi; 4. menetapkan kewenangan yang jelas masingmasing personil dalam setiap pelaksanaan proteksi dan keselamatan radiasi; STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 5. membangun jejaring komunikasi yang baik pada seluruh tingkatan organisasi, untuk menghasilkan arus informasi yang tepat mengenai proteksi dan keselamatan radiasi; dan menetapkan kualifikasi dan pelatihan yang memadai untuk setiap personil. terjadi; perubahan rona lingkungan yang berpengaruh pada proteksi dan keselamatan; kemungkinan terjadinya kesalahan prosedur penmgoperasian, dan akibat yang ditimbulkan; dan/atau dampak terhadap proteksi dan keselamatan, jika dilakukan modifikasi.

4. 5.

6.

6. PP. No. 29 Tahun 2008

Perka BAPETEN No.15 Tahun 2008 Dalam PP No. 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, sebagai pelaksanaan pasal 17 UU No. 10 Tahun 1997 tersebut, pada pasal 14 ayat 1, bagian ketiga, ditetapkan bahwa Persyaratan Teknis untuk pemanfaatan tenaga nuklir di bidang medik, sebagai berikut: 1. prosedur kerja; 2. spesifikasi teknis sumber radiasi pengion atau bahan nuklir yang digunakan, sesuai dengan standar keselamatan radiasi; 3. perlengkapan proteksi radiasi dan/atau peralatan keamanan sumber radioaktif; 4. Program P & KR dan/atau keamanan sumber radioaktif; 5. laporan verifikasi keselamatan radiasi dan/atau keamanan sumber radioaktif; 6. hasil pemeriksaan kesehatan pekerja radiasi; 7. data kualifikasi personil, yang meliputi: a. PPR dan personil lain yang memiliki kompetensi; b. personil yang menangani sumber radiasi pengion; dan/atau c. petugas keamanan sumber radioaktif atau bahan nuklir. Selanjutnya dalam bagian penjelasan diuraikan bahwa Program PK & R berisi tentang: 1. penyelenggara keselamatan radiasi; 2. personil yang bekerja di fasilitas atau instalasi; 3. pembagian daerah kerja; 4. pemantauan paparan radiasi dan/atau kontaminasi radioaktif di daerah kerja; 5. pemantauan radioaktivitas lingkungan di luar fasilitas atau instalasi; 6. program jaminan mutu proteksi dan keselamatan radiasi; dan 7. rencana penanggulangan keadaan darurat; Sedangkan Laporan Verifikasi Keselamatan Radiasi antara lain berisi tentang: 1. sifat dan besarnya paparan potensial, serta kemungkinan terjadinya; 2. batasan dan kondisi teknis untuk pngoperasian sumber 3. kemungkinan terjadinya kegagalan struktur, sistem, komponen, dan/atau kesalahan prosedur yang terkait dengan proteksi dan keselamatan, serta dampak yang ditimbulkan jika kegagalan STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA Ketentuan yang mengatur mengenai kualifikasi PPR adalah Perka BAPETEN No. 15 Tahun 2008 tentang Persyaratan untuk Memperoleh Surat Izin Bekerja bagi Petugas Tertentu di Instalasi yang Memanfaatkan Sumber Radiasi Pengion. Perka ini merupakan amanat langsung dari pasal 19 UU No. 10 Tahun 1997. Pada Bab II, bagian kesatu PPR, Pasal 3, ditetapkan PPR dikelompokkan menjadi 2 (dua), meliputi: 1. PPR untuk Industri; dan 2. PPR untuk Medik PPR untuk Medik diklassifikasikan menjadi: 1. PPR Medik Tingkat 1 (satu); 2. PPR Medik Tingkat 2 (dua); dan 3. PPR Medik Tingkat 3 (tiga); PPR Medik Tingkat 1 (satu) melipiti PPR yang bekerja pada instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion untuk kegiatan: 1. ekspor zat radioaktif; 2. impor dan pengalihan zat radioaktif dan/atau pembangkit radiasi pengion; 3. penggunaan dan/atau penelitian dan pengembangan dalam: a. radioterapi; b. kedokteran nuklir diagnostik in vivo;dan c. kedokteran nuklir terapi. PPR Medik Tingkat 2 (dua) meliputi PPR yang bekerja pada instalasi yang memanfaatkan Sumber Radiasi Pengion untuk kegiatan: 1. pengalihan zat radioaktif dan/atau pembangkit radiasi pengion; dan 2. penggunaan dan/atau penelitian dan pengembangan dalam radiologi diagnostik dan intervensional. PPR Medik Tingkat 3 (tiga) adalah PPR yang bekerja pada instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion untuk kegiatan penggunaan dan/atau penelitian dan pengembangan dalam kedokteran nuklir diagnostik in vitro. Dalam hal ini, setiap orang untuk dapat menjadi PPR wajib memiliki Surat Izin Bekerja (SIB) dan wajib lulus ujian untuk memperoleh SIB yang diselenggarakan oleh Kepala BAPETEN. Ujian untuk memperoleh SIB PPR, meliputi ujian tertulis dan lisan. Adapun persyaratan ujian untuk memperoleh PPR, meliputi: 102 Togap Marpaung

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 1. 2. berusia paling rendah 18 (delapan belas tahun); berijazah serendah-rendahnya D-III jurusan eksakta atau teknik; 3. berbadan sehat; dan 4. lulus pelatihan PPR. Masa berlaku untuk PPR Medik Tingkat 1 berlaku selama 3 (tiga) tahun, untuk PPR Medik Tingkat 2 berlaku selama 4 (empat) tahun; dan untuk PPR Medik Tingkat 3 berlaku selama 5 (lima) tahun. Pemegang SIB PPR wajib mengikuti 1 (satu) kali Pelatihan Penyegaran yang diselenggarakan oleh Kepala BAPETEN selama masa berlaku SIB. Selanjutnya SIB PPR berakhir jika: 1. habis masa berlaku SIB; atau 2. dicabut oleh Kepala BAPETEN. Kepala BAPETEN langsung mencabut SIB PPR jika: 1. Pemegang SIB PPR menyampaikan data yang tidak benar dalam dokumen persyaratan untuk memperoleh SIB; 2. Pemegang SIB PPR karena perbuatannya terbukti menurut peraturan perundangundangan menyebabkan terjadinya kecelakaan radiasi. Personil Berkualifikasi, Tugas dan Tanggung Jawab Personil Berkualifikasi Salah satu hal penting yang diatur dalam draf Perka BAPETEN terkait penggunaan pesawat sinar-X adalah kualifikasi personil dan peran PPR yang diuraikan dalam bentuk tugas dan tanggung jawab. Penanggung jawab utama keselamatan radiasi adalah PI, namun pihak terkait lain juga tetap memiliki tanggung jawab sesuai peran tiap personil yang berkualifikasi meliputi: (1) PPR; (2) Radiografer; 3) Dokter yang Kompeten; (4) Fisikawan Medis; (5) Tenaga Ahli (Qualified Expert). Personil ini adalah tenaga kesehatan yang bertindak sebagai praktisi medik di bagian radiologi sesuai dengan profesinya. Menjadi PPR harus terlebih dahulu menjadi seorang yang profesional bahkan secara ideal yang bersangkutan telah memiliki pengetahuan yang mumpuni atau komprehensif terkait dengan tanggung jawab yang dipikulnya dalam hal proteksi dan keselamatan radiasi. Oleh karena itu, seseorang menjadi PPR dapat berasal dari praktisi medik yang berprofesi antara lain sebagai Radiografer, Fisikawan Medis dan Dokter yang kompeten (misalnya Dokter spesialis radiologi-DSR, Dokter spesialis kardiologi, Dokter spesialis radiologi kedokteran gigi, Dokter umum, dan Dokter gigi). Idealnya yang menjadi PPR dari sekian Togap Marpaung 103 banyak profesi sebagai praktisi medik tersebut tergantung dari status rumah sakit, misalnya tipe atau kelasnya, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: jumlah pasien (beban kerja), jumlah dan jenis pesawat sinar-X yang tersedia serta kualifikasi personil (sumber daya manusia). Untuk layanan radiologi yang sederhana PPR dapat dirangkap oleh radiografer bahkan untuk praktek dokter gigi perorangan, seorang Pemilik pesawat sinar-X gigi dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai PI, PPR, Operator dan Dokter gigi yang kompeten untuk membaca citra radiologi. Dalam halini, Radiografer tidak hanya kompeten mengerjakan pembuatan citra sesuai permohonan dokter yang memberi rujukan tetapi juga tetap dalam koridor proteksi dan keselamatan radiasi. Kementerian Kesehatan melalui lembaga pendidikan politeknik kesehatan (Poltekkes) yang menyelenggarakan tenaga kesehatan untuk radiologi juga telah meningkatkan kemampuan personilnya. Untuk bidang atau disiplin ilmu tertentu, yang pada awalnya pendidikan seorang Radiografer hanya strata D3 (diploma tiga) ditingkatkan menjadi D4 (dilpoma empat). Kebutuhan peningkatan komptensi Radiografer karena tuntutan prosedur yang semakin kompleks, peralatan yang semakin canggih dan sistem manajemen radiologi yang berbasis mutu. Semua hal ini didedikasikan demi terwujudnya keselamatan pasien dari semua aspek (tidak hanya aspek keselamatan radiasi tetapi juga aspek lainnya). Radiografer yang sudah berpendidikan D4 ini juga dapat sebagai PPR, apalagi yang bersangkutan telah ditunjuk PI sebagai Kepala ruangan radiologi. Pilihan yang ideal sebagai PPR seharusnya berasal dari latar belakang pendidikan fisika medis berdasarkan beberapa pertimbangan yang objektif, sebagaimana lazimnya di negara maju (misalnya Amerika, Australia, Jepang dan Jerman) dan negara berkembang (Filipina, Malaysia, Thailan, dan Singapur). Tenaga Fisika Medis adalah tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam bidang fisika medik klinik dasar. Bahkan untuk rumah sakit yang memiliki fasilitas layanan nuklir yang lengkap, meliputi: radiologi diagnostik dan intervensional, radioterapi dan kedokteran nuklir, PPR adalah seorang pakar, yaitu seorangi Fisikawan Medis dengan latar belakang pendidikan S (3) atau setidaknya S (2) yang sangat kompeten dalam bidangnya. Tenaga Ahli (Qualified Expert) adalah tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam bidang fisika medik klinik lanjut, telah mengikuti clinical residence, dan telah bekerja di instalasi radiologi paling kurang 5 (lima) tahun.

STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 Tugas dan Tanggung Jawab Ketersinggungan hubungan kerja antara PPR dan Fisikawan Medis saling menunjang dan melengkapi sebagaimana diuraikan dalam tugas dan tanggung jawab masing-masing personil tersebut di bawah ini. Tugas dan Tanggung Jawab PPR Tugas dan tanggung jawab PPR adalah sebagai berikut: 1. mengetahui, memahami dan melaksanakan semua ketentuan keselamatan kerja radiasi; 2. membuat dan memutakhirkan Program P & KR; 3. memantau aspek operasional Program P & KR; 4. memastikan ketersediaan dan kelayakan perlengkapan proteksi radiasi, dan memantau pemakaiannya; 5. meninjau secara sistematik dan periodik, program pemantauan di semua tempat di mana pesawat sinar-X digunakan; 6. memberikan konsultasi yang terkait dengan proteksi dan keselamatan radiasi; 7. berpartisipasi dalam mendesain fasilitas radiologi; 8. memelihara rekaman; 9. mengidentifikasi kebutuhan dan mengorganisasi kegiatan pelatihan; 10. melaksanakan latihan penanggulangan dan pencarian keterangan dalam hal paparan darurat; 11. melaporkan kepada PI setiap kejadian kegagalan operasi yang berpotensi kecelakaan radiasi; dan 12. menyiapkan laporan tertulis mengenai pelaksanaan Program P & KR, dan verifikasi keselamatan yang diketahui oleh PI untuk dilaporkan kepada Kepala BAPETEN Tugas dan Tanggung Jawab Jawab Fisikawan Medis Tugas dan tanggung jawab Fisikawan Medis adalah sebagai berikut: 1. mengetahui, memahami dan melaksanakan semua ketentuan keselamatan kerja radiasi; 2. berpartisipasi dalam meninjau ulang secara terus menerus keberadaan sumber daya manusia, peralatan, prosedur, dan perlengkapan proteksi radiasi; 3. melakukan uji kesesuaian pesawat sinar-X apabila instalasi tersebut memiliki peralatan yang memadai; 4. melakukan perhitungan dosis terutama untuk menentukan dosis janin pada wanita hamil; STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA 5. 6. 7. 8. merencanakan, mengimplementasikan, dan supervisi prosedur jaminan mutu; berpartisipasi dalam investigasi dan evaluasi kecelakaan radiasi; memberikan kontribusi terhadap program pelatihan proteksi radiasi; dan bersama DSR dan Radiografer, memastikan kriteria penerimaan mutu hasil pencitraan dan justifikasi dosis paparan radiasi sinar-X yang diterima oleh pasien

Tugas dan Tanggung Jawab Tenaga Ahli (Qualified Expert) Tugas dan tanggung jawab Tenaga Ahli adalah sebagai berikut 1. mengetahui, memahami, dan melaksanakan semua ketentuan keselamatan kerja radiasi. 2. meninjau ulang Program P & KR; dan 3. memberikan pertimbangan berdasarkan aspek Keselamatan Radiasi, praktik rekayasa yang teruji, dan kajian keselamatan secara komprehensif untuk peningkatan layanan radiologi diagnostik dan intervensional kepada PI. RADIOLOGI DIAGNOSTIK INTERVENSIONAL DAN

Radiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penggunaan semua modalitas yang menggunakan radiasi untuk diagnosis dan prosedur terapi dengan menggunakan panduan radiologi, termasuk teknik pencitraan dan penggunaan radiasi dengan sinar-X dan radioaktif. Berdasarkan modalitas yang digunakan berupa pesawat sinar-X maka layanan radiologi terdiri atas radiologi diagnostik dan radiologi intervensional. Secara umum di Indonesia, pesawat sinar-X untuk radiologi diagnostik dan intervensional dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis berdasarkan bentuk fisik dan penginstalasiannya, meliputi: 1. Pesawat sinar-X dapat dijinjing/portabel (portable); 2. Pesawat sinar-X mudah dipindahkan (mobile); dan 3. Pesawat sinar-X terpasang tetap (stationery). Penggunaan pesawat sinar-X radiologi diagnostik dan intervensional semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hingga bulan September 2010, sesuai data b@lis, jumlah rumah sakit, klinik, praktek dokter dan puskesmas sebanyak 1.359 (seribu tiga ratus lima puluh sembilan) instansi, jumlah izin total sebanyak 3.662 (tiga ribu enam ratusenam puluh dua) dan jumlah PPR Medik Tingkat 2 (dua) sebanyak 2.350 (dua ribu tiga ratus lima puluh) orang. 104 Togap Marpaung

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 c. Pesawat sinar-X C-arm/U-arm angiografi; dan d. Pesawat sinar-X CT-scan angiografi. Pesawat sinar-X selain digunakan untuk radiologi diagnostik secara umum, ada juga pesawat sinar-X untuk penunjang radioterapi terdiri atas: a. Pesawat sinar-X simulator; b. Pesawat sinar-X CT-scan untuk simulator; c. Pesawat sinar-X CT-scan simulator; dan d. Pesawat sinar-X C-arm untuk brakhiterapi. Satu jenis lain adalah pesawat sinar-X untuk penunjang kedokteran nuklir, yaitu pesawat sinar-X CT-scan. Jenis Pesawat Sinar-X Berdasarkan Jenis Uji Kesesuaian Untuk memelihara kinerja pesawat sinar-X supaya tetap handal sesuai standar maka pesawat sinar-X harus diuji oleh petugas uji yang berkualifikasi secara rutin, menggunakan protokol uji yang dan alat uji yang standar. Bahkan pesawat sinar-X yang baru juga harus terlebih dahulu diuji sebelum digunakan terhadap pasien. Ketentuan mengenai kewajiban uji kesesuain (compliance testing) pesawat sinar-X ini telah diatur dalam PP. No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, Secara efektif mulai diberlakukan bulan Juni 2012. Dari sekian banyak jenis penggunaan pesawat sinar-X untuk radiografi dan fluoroskopi maka pesawat sinar-X diagnostik dapat dikelompokkan sebagai berikuti: a. Pesawat sinar-X mobile (mobile X-ray equipment) b. Pesawat sinar-X mamografi (mammographic X-ray equipment) c. Pesawat sinar-X terpasang tetap/besar (major/fixed X-ray equipment) d. Pesawat sinar-X fluoroskopi (fluoroscopic X-ray equipment) e. Pesawat sinar-X gigi (dental X-ray equipment) f. Pesawat sinar-X CT- scan (computed tomographic X-ray equipment) Jenis pesawat sinar-X portabel tidak masuk dalam lingkup pengujian berdasarkan literatur buku kerja (work book ) yang diterbitkan oleh Australia Barat. Pesawat sinar-X gigi meliputi pesawat yang menggunakan film atau alat penerima citra elektronik (electronic image receptors) intra-oral, dan pesawat tomografi panoramik atau chepalometri yang menggunakan film maupun alat penerima citra elektronik extra-oral. Demikian halnya dengan jenis pesawat sinar-X CT-Scan yang digunakan di ruang radioterapi untuk simulator dan pesawat sinar-X CT- Scan untuk angiografi di ruang kardiologi serta pesawat sinar-X untuk PET- CT di 105 STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA

Radiologi Diagnostik Radiologi diagnostik adalah kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan semua modalitas yang menggunakan radiasi (pengion maupun bukan pengion) untuk diagnosis dengan menggunakan panduan radiologi. Pesawat Sinar-X digunakan untuk menghasilkan citra dari objek yang diperiksa dengan teknik radiografi atau fluoroskopi dan pesawat sinar-X ini secara khusus dapat dikelompokkan sesuai fungsinya sebagai suatu peralatan penunnjang medik meliputi: (1) diagnostik; (2) intervensional; (3) penunjang radioterapi; dan (4) penunjang kedokteran nuklir. Pesawat sinar-X diagnostik sangat beragam jenisnya terdiri atas: a. Pesawat sinar-X terpasang tetap untuk pemeriksaan umum; b. Pesawat sinar-X mobile, yang ditempatkan dalam: 1. ruangan; 2. mobile station. c. Pesawat sinar-X tomografi; d. Pesawat sinar-X densitas tulang; e. Pesawat sinar-X ESWL, dengan jenis: 1. C-arm; dan 2. konvensional. f. Pesawat sinar-X C-arm bedah; g. Pesawat sinar-X mamografi; yang ditempatkan dalam: 1. ruangan; 2. mobile station. h. Pesawat sinar-X kedokteran gigi, meliputi: 1. intraoral konvensional; 2. intraoral digital; 3. ekstraoral konvensional; 4. ekstraoral digital; 5. CBCT-scan. i. Pesawat sinar-X fluoroskopi; dan j. Pesawat sinar-X CT-scan. Radiologi Intervensional Radiologi intervensional adalah cabang ilmu radiologi yang terlibat dalam terapi dan diagnosis pasien, dengan melakukan terapi dalam tubuh pasien melalui bagian luar tubuh dengan memasukan berbagai macam instrumen antara lain kateter, kawat penuntun, stent, dan lain-lain dengan menggunakan sinar-X yang merupakan terapi alternatif selain bedah pada berbagai kondisi dan mengurangi kebutuhan perawatan. Jenis pesawat sinar-X untuk intervensional terdiri atas: a. Pesawat sinar-X fluoroskopi; b. Pesawat sinar-X CT-scan fluoroskopi; Togap Marpaung

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 ruang kedokteran nuklir tidak dibedakan dengan pesawat sinar-X CT-Scan di ruang radiologi. Berbagai jenis pesawat sinar-X, sebagaimana pada gambar berikut:

Gambar 4. Pesawat Sinar-X Fluoroskopi

Gambar 1. Pesawat Sinar-X Mobile

Gambar 5. Pesawat Sinar-X Gigi

Gambar 2. Pesawat Sinar-X Mamografi

Gambar 6. Pesawat Sinar-X CT- Scan

Gambar 3. Pesawat Sinar-X Terpasang Tetap

Gambar 7. Pesawat Sinar-X Portabel

STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA

106

Togap Marpaung

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 Persyaratan Administrasi Sebagaimana diuraikan dalam tugas dan tanggung jawab PPR untuk membantu PI, maka dalam hal proses permohonan izin baru maupun perpanjangan pesawat sinar-X, PPR harus memahami persyaratan izin penggunaan pesawat sinar-X sebagai berikut: a. fotokopi identitas pemohon izin, untuk orang atau badan yang baru mengajukan izin, meliputi: 1. kartu tanda penduduk (KTP), kartu izin tinggal sementara (KITAS), paspor, atau surat keterangan domisili perusahaan; dan 2. akta pendirian badan hukum atau badan usaha. b. izin pelayanan kesehatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang di bidang kesehatan. c. data lokasi Penggunaan Pesawat Sinar-X. d. dokumen denah ruangan dan sekitarnya, meliputi: 1. ukuran; 2. bahan; dan 3. ketebalan dinding ruangan. e. fotokopi spesifikasi teknis atau manual pesawat sinar-X dari pihak pabrikan; f. rekaman hasil pengukuran paparan radiasi di sekitar fasilitas yang dibuat oleh PPR dari perusahaan yang memasang pesawat sinar-X g. fotokopi ijazah semua personil yang berkompeten dalam bidang radiologi diagnostik dan intervensional; h. fotokopi surat izin bekerja (SIB) dari PPR; i. fotokopi bukti permohonan pelayanan pemantauan dosis perorangan atau hasil evaluasi pemantauan dosis perorangan, sesuai dengan jumlah pekerja radiasi yang akan dicantumkan dalam Izin; j. fotokopi bukti kepemilikan dosimeter pembacaan langsung; dan k. dokumen Program P & KR. Persyaratan Keselamatan Radiasi Demikian halnya dengan persyaratan keselamatan radiasi untuk radiologi diagnostik maupun intervensional, PPR senantiasa harus menjamin terpenuhinya persyaratan tersebut, meliputi: a. persyaratan manajemen; b. persyaratan proteksi radiasi; c. persyaratan teknik; dan d. verifikasi keselamatan. Persyaratan Manajemen Persyaratan ini terkait dengan penyelenggaran proteksi dan keselamatan radiasi (bentuk organisasi), kualifikasi setiap personil, tanggung jawab, dan rekaman. Persyaratan Proteksi Radiasi Persyaratan ini terkait dengan justifikasi penggunaan pesawat sinar-X, limitasi dosis, dan penerapan optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi. Optimisasi ini diterapkan melalui prinsip optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi, meliputi: Pembatas dosis untuk personil dan anggota masyarakat, dan Tingkat panduan paparan medik untuk pasien. Persyaratan Teknik Persyaratan ini terkait dengan standar pesawat sinar-X sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar lain yang tertelusur (misal ISO), peralatan penunjang radiologi, ketentuan operasional, ketentuan fasilitas, dan instalasi pesawat sinar-X. Verifikasi Keselamatan Verifikasi ini harus dilakukan melalui dokumen spefisikasi teknik pesawat sinar-X sesuai dengan SNI atau standar lain yang tertelusur yang diterbitkan oleh pihak pabrikan atau laboratorium terakreditasi di negara asal, pemantauan paparan radiasi, dan uji kesesuaian pesawat sinar-X serta hasilnya harus dicatat dalam Logbook . PERAN PPR DALAM PENERAPAN PROGRAM P & KR Salah satu tugas penting PPR adalah menyusun dokumen Program P & KR sebagai salah satu persyaratan izin, isinya disesuaikan dengan Pedoman yang diberikan oleh BAPETEN. Prosedur terkait dengan proteksi dan keselamatan radiasi juga harus disusun oleh PPR dan prosedur ini dapat dibuat tersendiri sesuai dengan jenis pesawat sinarX. Mengenai Instruksi Kerja untuk setiap radiografer hendaknya juga dibuat oleh PPR. Selanjutnya PI akan mensyahkan dokumen tersebut setelah terlebih dahulu dievaluasi oleh BAPETEN. Dokumen P & KR ini bersifat dinamis, sangat terbuka untuk dikembangkan dan dimutakhirkan secara periodik sesuai situasi dan kondisi baik atas inisiatif pihak pengguna sendiri maupun berdasarkan masukan yang disampaikan oleh BAPETEN, antara lain melalui inspektur pada saat 107 STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA

Togap Marpaung

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 pelaksanaan inspeksi. Tujuan Program P & KR adalah menunjukkan tanggung jawab penyelenggara proteksi dan keselamatan radiasi melalui penerapan struktur manajemen, kebijakan, dan prosedur yang sesuai dengan sifat dan tingkat risiko sedemikian sehingga budaya keselamatan dapat terselenggara secara konsisten. Dokumen Program P & KR akan dibuat secara tersendiri untuk Radiologi Diagnostik dan Intervensional sesuai dengan sistematika di bawah ini. BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Tujuan I.3. Ruang Lingkup I.4. Definisi BAB II. PENYELENGGARA PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI II.1. Struktur Organisasi (jika penyelenggara dalam bentuk organisasi) II.2. Tanggung Jawab II.3. Pelatihan BAB III. DESKRIPSI FASILITAS, PESAWAT SINAR-X DAN PERALATAN PENUNJANG, DAN PERLENGKAPAN PROTEKSI RADIASI III.1. Deskripsi Fasilitas III.2. Deskripsi Pesawat Sinar-X dan Peralatan Penunjang III.3. Deskripsi Perlengkapan Proteksi Radiasi BAB IV. PROSEDUR PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI IV.1. Proteksi dan Keselamatan Radiasi dalam Operasi Normal IV.1.1. Pengoperasian Pesawat Sinar-X IV.1.2. Proteksi dan Keselamatan Radiasi untuk Personil IV.1.3. Proteksi dan Keselamatan Radiasi untuk Pasien IV.1.4. Proteksi dan Keselamatan Radiasi untuk Pendamping Pasien IV.2. Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat BAB V. REKAMAN DAN LAPORAN V.1. Keadaan Operasi Normal V.2. Keadaan Darurat kedudukan yang mempunyai peran penting yang diatur dalam UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Apabila kewajiban mengenai PPR ini dilanggar sebagai salah satu persyaratan izin pemanfaatan tenaga nuklir maka sanksi pidana akan dikenakan sesuai yang ditetapkan dalam UU No. 10 Tahun 1997. Seseorang dapat memproleh SIB sebagai PPR setelah dinyatakan lulus pelatihan PPR dan juga dinyatakan lulus ujian SIB. PPR bagaikan seorang bintang (star) yang mempunyai peran penting di suatu instalasi radiologi diagnostik dan intervensional karena PPR bertindak sebagai pemeran utama sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam hal penerapan Program P & KR. Oleh karena PPR berasal dari tenaga kesehatan maka PPR juga dapat mengembangkan pilihan potensi kariernya sebagai fungsional tenaga kesehatan atau fungsional tenaga pengawas radiasi. PPR juga berperan sebagai mitra kerja dari BAPETEN tetapi PPR bukan sebagai perpanjangan tangan dari BAPETEN. Program P & KR merupakan salah satu persyaratan izin dan suatu dokumen yang dinamis, sangat terbuka untuk dikembangkan dan dimutakhirkan secara periodik sesuai situasi dan kondisi baik atas inisiatif pihak pengguna sendiri maupun berdasarkan masukan yang disampaikan oleh BAPETEN, antara lain melalui inspektur pada saat pelaksanaan inspeksi. Prosedur dapat disusun secara tersendiri untuk setiap jenis penggunaan pesawat sinar-X, misalnya Prosedur Radiologi Khusus untuk Angiografi.

2.

3. 4.

5.

6. 7.

8.

SARAN 1. Agar PI semakin memberdayakan PPR dengan memberikan peran yang lebih besar lagi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya untuk menjamin penerapan Program P & KR. Agar BAPETEN semakin meningkatkan pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir di bidang medik melalui kebijakan yang dapat meningkatkan peran PPR sebagaimana diatur dalam Perka BAPETEN. Agar BAPETEN juga dapat melakukan kegiatan sosialisasi mengenai jabatan fungsional pengawas radiasi dengan mengundang peserta PPR dari penggunaan tenaga nuklir di bidang medik.

2.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. PPR wajib dimiliki fasilitas/instalasi yang memanfaatakan tenaga nuklir dan PPR bukan merupakan suatu profesi tetapi suatu

3.

STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA

108

Togap Marpaung

SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. BAPETEN, Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, BAPETEN , Jakarta (1998). BAPETEN, Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan RadiasiPengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, BAPETEN Jakarta (2007). BAPETEN, Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir BAPETEN, Jakarta (2008). BAPETEN, Draf Perka BAPETEN tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Intervensional, BAPETEN, Jakarta (2009). Marpaung, Togap; Memahami Konsep Program Proteksi dan Keselamatan Radiasi, BAPETEN, Jakarta (2010). IAEA, Building Competence in Radiation Protection and the Safe Use of Radiation Sources, IAEA, Vienna (2001).

3.

4.

5. 6.

Togap Marpaung

109

STTN-BATAN & Fak Saintek UIN SUKA

You might also like