You are on page 1of 32

Skenario Seorang anak laki-laki, A, 7 tahun datang ke poli gigi dan mulut suatu RS dengan membawa rujukan dari

poli penyakit mata RS tersebut. Dokter umum yang memeriksanya mendiagnosis pasien A dengan selulitis orbita mata kanan. Dari hasil anamnesis ditemukan bahwa gigi belakang kanan atas A sudah tinggal akar sejak kira-kira 3 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan intra oral ditemukan gigi 55 yang tinggal akar (radix) serta gigi 16 dengan lubang besar. Tidak ada kalkulus, tidak terdapat gigi yang goyang serta tidak ditemukan kelainan lain di rongga mulut. Diduga selulitis orbita terjadi karena infeksi pada radix gigi 55.
1. Merumuskan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, dengan menyususn resume kasus (overview case) RPS: pasien seorang laki-laki A, 7 tahun rujuka dari poli penyakit mata dengan diagnosis selulitis orbita mata kanan. Gigi belakang kanan atas A sudah tinggal akar sejak kira-kira 3 tahun yang lalu. Mata kanan bengkak? Mata kanan nyeri? Pemeriksaan fisik: Gigi 55 yang tinggal akar (radix) serta gigi 16 dengan lubang besar Tidak ada kalkulus Tidak terdapat gigi goyang Tidak ditemukan kelainan lain dirongga mulut Pemeriksaan oftalmoskop?? Diagnosis: selulitis orbita dextra et causa infeksi odontogenik kronis 2. Menjelaskan kerangka konsep dalam dalam menganalisis kasus

3. Menjelaskan ilmu kedokteran dasar (basic science) terkait kasus

Anatomi Sinus Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi, sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore), dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.

Gambar 1. Sinus Paranasal Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.

Fungsi sinus paranasal adalah : Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak. Sebagai pengatur udara (air conditioning). Peringan cranium. Resonansi suara. Membantu produksi mukus.

Gambar 2. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus Maksilaris - Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I. - Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada pars zygomaticus maxillae. - Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa. - Berhubungan dengan : a. Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata. b. Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar. c. Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi. Anatomi Palpebra Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata terhadap trauma, paparan sinar, dan pengeringan bola mata. 1

Kelopak mempunyai lapisan kulit yang tipis pada bagian depan sedangkan pada bagian belakang ditutupi oleh selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal. 1 Pada kelopak terdapat bagian-bagian : Kelenjar, seperti : kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus. 1 Otot, seperti okuli : M. yang

orbikularis

berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut M. Rioland. M. orbikularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N. fasial. M. levator palpebra, yang berorigo pada annulus foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini dipersarafi oleh N. III, yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata. 1 Di dalam kelopak mata ada tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo palpebra. 1 Septum orbita, yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak depan. 1 Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus, terdiri atas jaringan ikat yang merupakan jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar Meibom (40 buah di kelopak atas dan 20 pada kelopak bawah). 1 Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra. 1

Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal n. V, sedangkan kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V. 1

Anatomi Rongga Orbita Volume orbita dewasa + 30cc dan bola mata hanya menempati sekitar 1/5 bagian ruangannya. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Orbita berhubungan dengan : Atas Bawah Medial : : : Sinus frontalis Sinus maksilaris Sinus ethmoidalis dan sphenoidalis

facies orbitais os frontalis os ethmoidale os lakrimale crista lacrimalis posterior crista lacrimalis anterior pars orbitais os maksilaris pars frontalis os maksilaris os zygomaticum facies orbitais os sphenoidale facies orbitais os zygomatici

os ethmoidale Facies orbitaes os frontale

Os lacrimale

Proc orbitais os palatini

Facies orbitaes os maxilla

Dinding Orbita : Atap : facies orbitais ossis frontalis Ala parva ossis sphenoidalis (bgn posterior) mengandung kanalis optikus Dasar : Lateral Medial : : pars orbitais ossis maksilaris (bgn sentral yang luas) pars frontalis ossis maksilaris (medial) os zygomaticum (lateral) processus orbitais ossis palatini (daerah segitiga kecil di posterior) anterior : facies orbitais ossis zygomatici (malar) os ethmoidale os lakrimale korpus sphenoidale crista lacrimalis anterior : dibentuk oleh processus frontalis ossis maksilaris

crista lacrimalis posterior yg dibentuk oleh : Atas Bawah : processus angularis ossis frontalis : os lacrimale

Diantara kedua crista lacrimalis terdapat sulkus lakrimalis dan berisi sakus lakrimalis. Vaskularisasi Orbita Arteri utama : Arteri Oftalmika yang bercabang menjadi : 1. 2. 3. 4. Arteri retina sentralis memperdarahi nervus optikus Arteri lakrimalis memperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas Cabang-cabang muskularis berbagai otot orbita Arteri siliaris posterior brevis memperdarahi koroid dan bagian-bagian nervus optikus 5. 6. 7. 8. 9. Arteri siliaris posterior longa memperdarahi korpus siliare Arteri siliaris anterior memperdarahi sklera, episklera,limbus, konjungtiva Arteri palpebralis media ke kedua kelopak mata Arteri supraorbitais Arteri supratrokhlearis Arteri-arteri siliaris posterior longa saling beranastomosis satu dengan yang lain serta dengan arteri siliaris anterior membentuk circulus arterialis mayor iris. Vena utama : Vena Oftalmika superior dan inferior. Vena Oftalmika Superior dibentuk dari : Vena supraorbitais Vena supratrokhlearis vena angularis mengalirkan darah dari kulit Satu cabang di daerah periorbita

Vena ini membentuk hubungan langsung antara kulit wajah dengan sinus kavernosus sehingga dapat menimbulkan trombosis sinus kavernosus yang potensial fatal akibat infeksi superfisial di kulit periorbita. Anatomi Bola Mata Bola mata orang dewasa normal hampir mendekati bulat dengan diameter anteroposterior sekitar 24,5 mm.

Kamera anterior

kornea

Pupil Kamera posterior Zonula

iris Canalis Schlemm Korpus siliaris

lensa Ora serata

M rectus lateralis

Sklera

vitreus

koroid retina

Nervus opticus

Makula, fovea sentralis

Konjungtiva : Membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. 1. Konjungtiva palpebralis : melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Ditepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior ( pada fornices superior dan inferior ) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris. 2. Konjungtiva bulbaris : melekat longgar ke septum orbitae di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan

konjungtiva sekretorik. Sklera dan Episklera Sklera : pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta bersambungan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus optikus di belakang. Episklera : lapisan tipis dari jaringan elastik halus, yang membungkus permukaan luar sklera anterior, mengandung banyak pembuluh darah yang memasok sklera. Kornea Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea disisipkan ke sklera di limbus, lekuk melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis. Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh pembuluh darah limbus, humor aquaeus, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V (trigeminus). Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang di lalui berkas cahaya menuju retina. Kornea bersifat tembus cahaya karena strukturnya uniform, avaskuler,

dan deturgesens. Detugesens, atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan, sedangkan cedera epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat, hilang pada saat epitel sudah beregenerasi. Uvea Uvea terdiri dari iris, korpus siliare, dan koroid. 1. Iris : perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera anterior dari kamera posterior, yang masing-masing berisi humor aquaeus. Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik. 2. Korpus siliaris : secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris ( + 6 mm ). Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat sirkuler adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehinga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang. Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi korpus siliare berasal dari lingkar utama iris. 3. Koroid : segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.

Koroid tersusun dari tiga lapisan pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai khoriokapilaris.

Koroid disebelah dalam dibatasi oleh membrana Bruch dan di sebelah luar oleh sklera. Ke anterior, koroid bersambung dengan korpus siliare. Otot-otot ekstraokular Otot Rektus Lateralis Rektus Medialis Rektus Superior Rektus Inferior Oblikus Superior Oblikus Inferior Adneksa mata 1. 2. Alis mata Palpebra, diatur oleh : Muskulus Orbikularis Okuli, berfungsi menutup palpebra, dipersarafi nervus VII. Muskulus Levator Palpebrae Superioris dan Muskulus Rektus Inferior, dipersarafi nervus III. Persarafan sensoris ke palpebra datang dari divisi I dan II dari nervus trigeminus (V). Palpebra diperdarahi oleh cabang-cabang palpebra lateral dan medial dari arteri lakrimalis dan oftalmika. 3. Apparatus Lakrimalis terdiri dari : Bagian sekretoir : - Glandula Lakrimalis - Duktus Lakrimalis Bagian ekskretoir : - Pungtum Lakrimal, superior dan inferior - Kanalikuli Lakrimal superior dan inferior - Sakus Lakrimal - Duktus Nasolakrimal dan Meatus inferior Kerja Primer Abduksi Aduksi Elevasi Depresi Intorsi Ekstorsi Kerja Sekunder Tidak Ada Tidak Ada Aduksi, intorsi Aduksi, ekstorsi Depresi, abduksi Elevasi, abduksi Saraf N. VI N. III N. III N. III N. IV N. III Vaskularisasi Diperdarahi oleh cabang-cabang muskular arteri oftalmika.

Fornix conjungtiva superior

Canaliculus lacrimalis superior

Glandula lacrimalis, ductuli excretorii Saccus lacrimalis Fornix conjungtiva inferior Punctum lacrimale Caruncula lacrimale Duktus nasolacrimalis

Canaliculus lacrimalis inferior Meatus inferior

Air mata disekresi glandula lakrimalis, bermuara di konjungtiva forniks superior bagian temporal. Dengan berkedip, air mata disalurkan ke seluruh bagian anterior mata dan terkumpul di sakus lakrimal. M orbikularis okuli menekan pada sakus lakrimal, sehingga menimbulkan tekanan negatif di dalamnya. Pada waktu mata dibuka, dengan adanya tekanan negatif ini, air mata dapat terserap pungtum lakrimal dan seterusnya sampai ke meatus inferior. Air mata tidak meleleh melalui hidung, karena hidung banyak mengandung pembuluh darah, sehingga suhunya panas, ditambah dengan pernafasan, sehingga mempercepat penguapan. Air mata tidak meleleh melalui pipi juga, karena isi dari glandula meibom, menjaga margo palpebra tertutup rapat pada waktu berkedip. Selulitis Istilah selulitis digunakan suatu penyebaran oedematus dari inflamasi akut pada permukaan jaringan lunak dan bersifat difus. Selulitis dapat terjadi pada semua tempat

dimana terdapat jaringan lunak dan jaringan ikat longgar, terutama pada muka dan leher, karena biasanya pertahanan terhadap infeksi pada daerah tersebut kurang sempurna. Selulitis mengenai jaringan subkutan bersifat difus, konsistensinya bisa sangat lunak maupun keras seperti papan, ukurannya besar, spongius dan tanpa disertai adanya pus, serta didahului adanya infeksi bakteri. Tidak terdapat fluktuasi yang nyata seperti pada abses, walaupun infeksi membentuk suatu lokalisasi cairan (Peterson, 2003). Penyebaran infeksi selulitis progressif mengenai daerah sekitar, bisa melewati median line, kadang-kadang turun mengenai leher (Pedlar, 2007). Etiologinya berasal dari bakteri Streptococcus sp. Mikroorganisme lainnya negatif anaerob seperti Prevotella, Porphyromona dan Fusobacterium (Berini, et al, 1999). Infeksi odontogenik pada umumnya merupakan infeksi campuran dari berbagai macam bakteri, baik bakteri aerob maupun anaerob mempunyai fungsi yang sinergis (Peterson,2003). Infeksi Primer selulitis dapat berupa perluasan infeksi/abses periapikal, osteomyielitis dan perikoronitis yang dihubungkan dengan erupsi gigi molar tiga rahang bawah, ekstraksi gigi yang mengalami infeksi periapikal/perikoronal, penyuntikan dengan menggunakan jarum yang tidak steril, infeksi kelenjar ludah (Sialodenitis), fraktur compound maksila / mandibula, laserasi mukosa lunak mulut serta infeksi sekunder dari oral malignancy. Menurut Berini, et al (1999) selulitis dapat digolongkan menjadi: 1. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial, yang tidak jelas batasnya. Infeksi bakteri mengandung serous, konsistensinya sangat lunak dan spongius. Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau spasia yang terlibat. 2. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut

Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan berdasarkan spasia yang dikenainya. Jika terbentuk eksudat yang purulen, mengindikasikan tubuh bertendensi membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme resistensi lokal tubuh dalam mengontrol infeksi. Peterson (2003) beranggapan bahwa selulitis dan abses sulit dibedakan, karena pada beberapa pasien dengan indurasi selulitis mempunyai daerah pembentukan abses. a. Selulitis Difus Akut Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu: 1) Ludwigs Angina 2) Selulitis yang berasal dari inframylohyoid 3) Selulitis Senators Difus Peripharingeal 4) Selulitis Fasialis Difus 5) Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya b. Selulitis Kronis Selulitis kronis adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi pada pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan perawatan yang adekuat atau tanpa drainase. 3.Selulitis Difus yang Sering Dijumpai Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Angina Ludwigs . Angina Ludwigs merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia sublingual, submental dan submandibular bilateral, kadang-kadang sampai mengenai spasia pharingeal. Selulitis dimulai dari dasar mulut. Seringkali bilateral, tetapi bila hanya mengenai satu sisi/ unilateral disebut Pseudophlegmon.

Biasanya infeksi primer dari selulitis berasal dari gigi molar kedua dan ketiga bawah, penyebab lainnya adalah sialodenitis kelenjar submandibula, fraktur mandibula compund, laserasi mukosa lunak mulut, luka yang menusuk dasar mulut dan infeksi sekunder dari keganasan oral. Gejala klinis dari Angina Ludwigs (Pedlar, 2007), seperti oed ema pada kedua sisi dasar mulut, berjalan cepat menyebar ke leher hanya dalam beberapa jam, lidah terangkat, trismus progressif, konsistensi kenyal kaku seperti papan, pembengkakan warna kemerahan, leher kehilangan anatomi normalnya, seringkali disertai demam/kenaikkan temperatur tubuh, sakit dan sulit menelan, kadang sampai sulit bicara dan bernafas serta stridor. Angina Ludwigs memerlukan penangganan sesegera mungkin, berupa rujukan untuk mendapatkan perawatan rumah sakit, antibiotik intravenous dosis tinggi, biasanya untuk terapi awal digunakan Ampisillin dikombinasikan dengan metronidazole, penggantian cairan melalui infus, drainase through and through, serta penangganan saluran nafas, seperti endotracheal intubasi atau tracheostomi jika diperlukan. b. Abses Abses adalah daerah jaringan yang terbentuk dimana didalamnya terdapat nanah yang terbentuk sebagai usaha untuk melawan aktivitas bakteri berbahaya yang menyebabkan

infeksi. Sistim imun mengirimkan sel darah putih untuk melawan bakteri. Sehingga nanah atau pus mengandung sel darah putih yang masih aktif atau sudah mati serta enzim. Abses terbentuk jika tidak ada jalan keluar nanah atau pus. Sehingga nanah atau pus tadi terperangkap dalam jaringan dan terus membesar. Abses dapat terbentuk pada seluruh bagian di dalam tubuh. Khususnya di dalam mulut, dapat terbentuk di gusi, gigi, atau akarnya. Bakteri dapat masuk dengan beberapa jalan: 1. Melalui luka yang terbuka 2. Melalui lubang karies 3. Melalui poket atau gusi yang terbuka

Perbedaan Abses dan Selulitis

KARAKTERISTIK Durasi Sakit Ukuran Palpasi Lokasi Kehadiran Pus Tingkat Keparahan Bakteri Enzim yang dihasilkan Akut

SELULITIS Kronis Terlokalisi Kecil Fluktuasi

ABSES

Berat dan merata Besar Indurasi jelas Difus Tidak ada Lebih berbahaya Aerob (Streptococcus) Streptokinase / fibrinolisin Hyaluronidase dan Streptodornase

Berbatas Jelas Ada Tidak darurat Anaerob (Staphylococcus) Coagulase

Sifat

Difus

Terlokalisir

Sumber :

http://www.gbipasko39bandung.com/artikel/39article/37/Abses-pada-Gigi penulis : Suryadinata, drg

http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/10/pustaka_unpad_selulitis_fasialis.pdf

Peterson L J., et al. 2003. Contemporary Oral and Maxillofascial Surgery. 4th ed. Mosby. Saint Louis. Missouri

Topazian & Goldberg. 2004. Oral and Maxillofacial Infections. 3rd ed. WB. Saunders. Philadelphia

Pedlar, Jonathan. 2007. Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd ed. Elsevier. London

Jalur Penyebaran Infeksi Dental Infeksi odontogenik memiliki 2 sumber yaitu:

Periapikal Berawal dari nekrosis pulpa yang dilanjutkan dengan invasi bakteri ke jaringan periapikal. Nekrosis pulpa merupakan kematian pulpa yang disebabkan iskemik jaringan pulpa yang disertai dengan infeksi. Infeksi tersebut disebabkan oleh mikroorganisme yang bersifat saprofit namun juga dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang memang bersifat patogen. Nekrosis pulpa sebagian besar terjadi oleh komplikasi dari pulpitis baik yang akut mapun yang kronik yang tidak ditata laksana dengan baik dan adekuat. Pulpa Normal

Trauma/ceder a

Pulpitis akut

Pulpitis kronik

Nekrosis Pulpa Tahap terjadinya Nekrosis Pulpa Etiologi nekrosis pulpa yang paling sering adalah karies dentis, trauma, dan iatrogenik. Nekrosis pulpa sebagian besar berawal dari pulpitis yang disebabkan oleh karies dentis. Trauma dapat menyebabkan pulpitis yang berakhir dengan nekrosis pulpa. Menurut Robertson dkk, pada obliterasi kanal pulpa akibat trauma pada gigi insisivus permanen

didapatkan 16% kasus mengalami nekrosis pulpa melalui tes elektrikal pulpa. Nekrosis juga dapat disebabkan prosedur medik yang dilakukan oleh klinisi. Menurut Poul dkk, dari 617 gigi dari 51 pasien yang dilakukan osteotomi pada fraktur Le Fort I didapatkan 0,5% gigi mengalami nekrosis pulpa.

JALUR INFEKSI ODONTOGENIK

Periodontal

Berawal dari poket periodontal yang dalam yang memudahkan bakteri masuk ke jaringan lunak. Ketika bakteri subgingival berkembang dan membentuk kompleks dengan bakteri periodontal patogen yang mengekspresikan faktor virulensi, maka akan memicu respon imun host yang secara kronis dapat menyebabkan periodontal bone loss. Abses periodontal dapat berasal dari eksaserbasi periodontitis kronik, defek kongenital yang dapat memfasilitasi bakteri(fusion dari akar, development grooves, dll), maupun iatrogenik karena impaksi dari kalkulus pada epitel periodontal pocket selama scaling. Beberapa abses akan invasi membentuk fistula dan menjadi kronik yang pada umumnya bersifat asimptomatik ataupun paucisimptomatik. Infeksi Odontolgi pada Anak

Merupakan infeksi orofasial yang disebakan oleh infeksi gigi. Sering dijumpai pada anak, terutama bila karies telah mencapai pulpa non vital atau tertinggal sisa akar. Dimulai

dari karies gigi yang tidak di rawat, maka proses infeksi akan terus berlanjut mencapai pulpa hingga mengakibatkan kematian jaringan pulpa, penyebaran dilanjutkan ke bifurkasi pada gigi sulung atau sekitar periapikal karena akar gigi sulung mengalami resobsi yang tidak beraturan. Sebagian besar infeksi orofasial berasal dari odontogenik, dan bersifat self-limiting, yang memiliki karakteristik berupa drainase spontan. Perawatan didasarkan pada dua prinsip: eliminasi penyebab yang mendasarinya, serta drainase dan debridemen lokal. Jika infeksi lokal tidak dirawat, infeksi akan menyebar ke bagian atas dan bawah wajah. Prosedur dental invasif akan meningkatkan resiko bakterimia transien. Hanya sejumlah spesies bakteri yang diimplikasikan dalam infeksi. Jika diindikasikan, antibiotik harus diadministrasi segera sebelum melakukan prosedur dental. Jika prosedur semacam itu dilakukan di sekitar jaringan yang terinfeksi,dibutuhkan dosis tambahan.

Beberapa penelitian telah mengevaluasi prevalensi dan perluasan bakterimia akibat berbagai macam prosedur dental pada anak-anak. Dalam kaitan ini, telah dibuktikan bahwa menyikat gigi menyebabkan bakterimia pada lebih dari sepertiga anak-anak, dan pemasangan/pelepasan wedge/splint dan braket atau band meningkatkan jumlah kasus bakterimia dalam kasus pediatrik secara bermakna. Tingkat oral higiene sangat mempengaruhi tingkat bakterimia. Oleh karena itu, oral higiene yang optimal merupakan faktor paling penting untuk mencegah komplikasi yang mungkin timbul akibat bakterimiameskipun menurut beberapa penulis, dibutuhkan lebih banyak perawatan antibiotik. Pencabutan gigi sederhana dapat menyebabkan bakterimia pada 40-50% kasus. Tingkat bakterimia tertinggi disebabkan oleh injeksi intraligamen dalam prosedur yang dilakukan di bawah kondisi anestesi lokal [96,6% anak]. Trauma gigi merupakan salah satu faktor resiko infeksi rongga mulut, terutama jika terjadi pembukaan pulpa dan/atau perubahan ruang periodontal. Kecenderungan infeksi akan meningkat jika trauma pada jaringan keras gigi atau pendukungnya mengakibatkan luka membran mukosa atau kulit terbuka.

Pada infeksi yang berjalan kronis akan terjadi kerusakan tulang disekitar gigi dan sangat membahayakan benih gigi tetap pengganti. Sifat penyebar infeksi odontogen antara lain: 1. Cepat menyebar ke tempat yang lebih dalam 2. Dapat merusak benih gigi tetap (Turner Hipoplasia)

3. Dapat merusak pusat-pusat pertumbuhan yakni condilus mandibula 4. Dapat menyebabkan cellulitis yakni penyebaran toksin bakteri dari produknya ke jaringan ikat jarang di seekitar wajah termasuk orbital nasal Penjalaran infeksi pada anak adalah sebagai berikut: 1. Menimbulkan rasa tidak nyaman, kadang-kadang disertai rasa sakit 2. Perluasan penyebaran tergantung dari gravitasi dan bentuk anatomi 3. Arah penyebaran ke maksila yakni ke palatum, pipi, dan sinus maksilaris, sedangkan di mandibular yakni di bawah gingiva, dan lidah. 4. Proses penyebaran berlangsung sanga cepat karena tulang alveolar belum kompak dan dalam tahap tumbuh dan kembang 5. Dapat merusak ata akibat penyebaran mengenai saraf trigeminus sehingga untuk melakukan pencabutan gigi atas harus berhati-hati 6. Proses penyebaran berasal dari infeksi jarigan pulpa yang menembus ke tulang periapikal, kemdian cortical plate, tulang alveolar, perosteum dan jaringan lunak Bila infeksi dibiarkan maka dapat meluas aliran darah (septikemi) sehingga dapat menyebar ke organ dalam lainnya, misalnya hati ginjal, dan jantung.
A. Definisi Selulitis orbita adalah peradangan supuratif jaringan ikat jarang intraorbita di belakang septum orbita.1 Selulitis orbita jarang merupakan penyakit primer rongga orbita. Biasanya disebabkan oleh kelainan pada sinus paranasal dan yang terutama adalah sinus etmoid. Selulitis orbita dapat mengakibatkan kebutaan, sehingga diperlukan pengobatan segera. Pada anak-anak, selulitis orbitais biasanya berasal dari infeksi sinus dan disebabkan oleh bakteri Haemophilus influenzae. Bayi dan anak-anak yang berumur dibawah 6-7 tahun tampaknya sangat rentan terhadap infeksi oleh Haemophilus influenzae.2 B. Epidemiologi Peningkatan insiden selulitis orbita terjadi di musim dingin, baik nasional maupun internasional, karena peningkatan insiden sinusitis dalam cuaca. Ada mencatat peningkatan frekuensi selulitis orbita pada masyarakat disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus yang resisten methicillin. 1. Mortalitas / Morbiditas

Sebelum ketersediaan antibiotik, pasien dengan selulitis orbita memiliki angka kematian dari 17%, dan 20% dari korban yang selamat buta di mata yang terkena. Namun, dengan diagnosis yang cepat dan tepat penggunaan antibiotik, angka ini telah berkurang secara signifikan; kebutaan terjadi dalam 11% kasus. Selulitis orbita akibat S. aureus yang resisten terhadap methicillin dapat menyebabkan kebutaan meskipun telah diobati antibiotik. 2. Ras Selulitis orbita tidak dipengaruhi oleh rasial. 3. Sex Tidak ada perbedaan frekuensi antara jenis kelamin pada orang dewasa, kecuali untuk kasus-kasus S. aureus yang resisten terhadap methicillin, yang lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan rasio 4:1. Namun, pada anak-anak, selulitis orbita telah dilaporkan dua kali lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. 4. Usia

Selulitis orbita, pada umumnya, lebih sering terjadi pada anak-anak daripada di dewasa muda. Kisaran usia anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan selulitis orbita adalah 7-12 tahun.

Etiologi Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif yang menyerang jaringan ikat di sekitar mata, dan kebanyakan disebabkan oleh beberapa jenis bakteri normal yang hidup di kulit, jamur, sarkoid, dan infeksi ini biasa berasal dari infeksi dari wajah secara lokal seperti trauma kelopak mata, gigitan hewan atau serangga, konjungtivitis, kalazion serta sinusitis paranasal yang penyebarannya melalui pembuluh darah

(bakteremia) dan bersamaan dengan trauma yang kotor. Pada anak-anak infeksi selulitis sering disebabkan oleh karena sinusitis etmoidalis yang mengenai anak antara umur 2-10 tahun. Ada Beberapa bakteri penyebab, diantaranya : a. Haemophilus influenzae Merupakan bakteri yang bersifat gram negatif dan termasuk keluarga Pasteuracella. Haemophilus influenzae yang tidak berkapsul banyak diisolasi dari cairan serebrospinalis, dan morfologinya seperti Bordetella pertussis penyebab batuk rejan, namun bakteri yang didapat dari dahak besifat pleomorfik dan sering berbentuk benang panjang dan filamen.

Gambar Haemophilus influenzae yang diperoleh dari dahak. Haemophillus influenzae dapat tumbuh dengan media heme oleh karena media ini merupakan media kompleks dan mengandung banyak prekursor-prekursor pertumbuhan khususnya faktor X (hemin) dan faktor V ( NAD dan NADP ). Di laboratorium di tanam dalam agar darah cokelat yang sebelumnya media tanam tersebut dipanaskan dalam suhu 80 o C untuk melepaskan faktor pertumbuhan tersebut. Bakteri dapat tumbuh dengan baik pada suhu 35 o C- 38o C dengan PH optimal sebesar 7,6. Bakteri ini dapat tumbuh pada kondisi aerobik ( sedikit CO2). Bakteri ini sekarang sudah jarang untuk menyebabkan selulitis akibat banyaknya tipe vaksinasi untuk strain ini.

b. Staphylococcus aureus Merupakan bakteri gram positif yang berkelompok seperti anggur dan merupakan bakteri normal yang ada di kulit manusia terutama hidung dan kulit. S aureus dapat menyebabkan berbagai penyakit kulit ringan khususnya selulitis,

impetigo, furunkel, karbunkel dan penyakit kulit lainnya. S aureus ini sangat bersifat fakultatif anaerobik yang tumbuh oleh respirasi aerobik atau melalui fermentasi asam laktat. Bakteri ini memiliki sifat katalase (+), dan oksidase (-) dan dapat tumbuh pada suhu antara 15-45 derajat celcius pada konsentrasi NaCl setinggi 15 persen. Oleh karena bakteri ini memiliki enzim koagulase yang dapat menyebabkan gumpalan protein yang berbentuk bekuan, maka bakteri ini memiki sifat patogen yang sangat potensial sekali.

Gambar Staphylococcus aureus gram negatif

c. Streptococcus pneumoniae Merupakan bakteri gram positif yang berbentuk seperti bola yang secara khas hidup berpasangan atau rantai pendek. Bagian ujung belakang tisap sel berbentuk tombak ( runcing tumpul ), tidak membentuk spora, dan tidak bergerak, namun yang galur ganas memiliki kapsul, bersifat alpha hemolisis pada agar darah dan akan terlisis oleh garam empedu. Streptococcus pneumoniae ini merupakan bakteri penghuni normal pada saluran napas bagian atas manusia yang sering menyebabkan sinusitis. Bakteri inilah yang paling sering menyebabkan selulitis orbita melalui jalur sinusitis terlebih dahulu. Kuman ini merupakan yang paling sering menyebabkan selulitis pada anakanak usia < 3 tahun yang lebih cenderung menyebar secara bakteremia.

Gambar Streptococus pneumoniae

d. Streptococcus pyogenes Merupakan bakteri gram positif yang berbentuk kokus berantai, tidak bergerak, bersifat katalase negatif, fakultatif anaerobik, serta sangat membutuhkan media untuk hidupnya berupa medium yang mengandung darah. Streptokokus grup A biasanya memiliki sebuah kapsul yang terdiri dari asam hialuronat dan menunjukkan hemolisis beta pada agar darah.

Gambar Streptococcus pyogenes pada pewarnaan gram dan hemolisis beta.

Diperkirakan terdapat 5-15 % di saluran pernapasan pada tiap individu, dan tanpa menimbulkan tanda-tanda penyakit. Seperti flora normal, S. pyogenes dapat menjadi patogen pada saat pertahanan tubuh terganggu sehingga infeksi supuratif bisa terjadi. Selulitis yang disebabkan oleh bakteri ini sering bersifat lokal, bukan melalui suatu penyebaran.

Selulitis orbita merupakan infeksi yang sering terjadi melalui fokus

infeksi sinus

paranasal, khususnya sinus etmoidalis. Penyebarannya disebabkan oleh karena tipisnya tulang untuk menghalangi tersebarnya fokus infeksi dan penyebaran masuk melalui pembuluh darah kecil yang menuju jaringan ikat di sekitar bola mata.

Manifestasi klinis
Selulitis orbita jarang merupakan penyakit primer rongga orbita. Biasanya disebabkan oleh kelainan pada sinus paranasal dan yang terutama adalah sinus etmoid. Gejalanya berupa: - Demam, biasanya sampai 38,9 Celsius atau lebih - Kelopak mata atas dan bawah membengkak dan nyeri - Kelopak mata tampak mengkilat dan berwarna merah atau ungu - Bayi atau anak tampak sakit

- Jika mata digerakkan, akan timbul nyeri - Penglihatan menurun (karena kelopak mata membengkak menutupi mata) - Mata menonjol - Merasa tidak enak badan - Gerakan mata menjadi terbatas

4. Menganalisis patofisiologi kasus terkait gejala dan tanda pada kasus

Selulitis orbita disebabkan infeksi odontogenik kronik

yang berasal dari pulpa dan

periodontal. Periodontitis apikalis akut atau kelanjutan dari infeksi/abses periapikal, menyebar ke segala arah waktu mencari jalan keluar. Ketika itu biasanya periosteum ruptur

dan infeksi menyebar ke sekitar jaringan lunak intra dan/atau extra oral, menyebabkan selulitis. Penyebab utama selulitis adalah proses penyebaran infeksi melalui ruangan subkutaneus sellular / jaringan ikat longgar yang biasanya disebabkan dari infeksi odontogenik. Penyebaran ini dipengaruhi oleh struktur anatomi lokal yang bertindak sebagai barrier pencegah penyebaran, hal tersebut dapat dijadikan acuan penyebaran infeksi pada proses septik. Barrier tersebut dibentuk oleh tulang rahang dan otot-otot yang berinsersi pada tulang tersebut. Menurut Dimitroulis (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran dari infeksi adalah mikroorganisme (Virulensi mikroorganisme, jumlah mikroorganisme, asal infeksi (pulpa, periodontal, luka jaringan) dan toksisitas yang dihasilkan dan dikeluarkan dari mikroorganisme) dan host (keadaan Umum (status kesehatan, sistem imun, umur) dan faktor lokal (suplai darah, efektivitas sistem pertahanan)). Peterson (2002) menguraikan mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan lebih jelas lagi, sebagai berikut: mekanisme pertahanan lokal (barrier anatomi tubuh yang intak dan populasi bakteri normal dalam tubuh), mekanisme pertahanan hurmoral (imunoglobulin dan komplemen) serta mekanisme selular (fagosit, granulosit, monosit dan limfosit). Akibat perubahan jaringan yang disebabkan karena aktivitas bakteri dan pertahanan lokal dari host serta mekanisme serupa yang bekerja secara sistemik), menimbulkan gambaran klinis infeksi. Rasa sakit tekan, eritema dan edema mudah dikenali sebagai manifestasi suatu peradangan. Kadang-kadang bakteri yang memproduksi gas bisa memicu dan mendukung terjadinya respon pembengkakan. Pernanahan adalah akibat langsung dari mekanisme lokal pertahanan virulensi bakteri. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda infeksi yaitu ; 1. Rubor: permukaan kulit yang terlibat infeksi terlihat kemerahan akibat vasodilatasi, efek dari inflamasi 2. Tumor: pembengkakan, terjadi karena akumulasi nanah atau cairan exudat 3. Calor: teraba hangat pada palpasi karena peningkatan aliran darah ke areainfeksi
4. Dolor: terasa sakit karena adanya penekanan ujung saraf sensorik oleh jaringan yang

bengkak akibat edema atau infeksi


5. Fungsiolaesa: terdapat masalah denagn proses mastikasi, trismus, disfagia, dan gangguan

pernafasan. Penjalaran infeksi pada anak adalah sebagai berikut:

1. Menimbulkan rasa tidak nyaman, kadang-kadang disertai rasa sakit 2. Perluasan penyebaran tergantung dari gravitasi dan bentuk anatomi 3. Arah penyebaran ke maksila yakni ke palatum, pipi, dan sinus maksilaris, sedangkan di mandibular yakni di bawah gingiva, dan lidah. 4. Proses penyebaran berlangsung sanga cepat karena tulang alveolar belum kompak dan dalam tahap tumbuh dan kembang 5. Dapat merusak ata akibat penyebaran mengenai saraf trigeminus sehingga untuk melakukan pencabutan gigi atas harus berhati-hati
6. Proses penyebaran berasal dari infeksi jarigan pulpa yang menembus ke tulang periapikal,

kemdian cortical plate, tulang alveolar, perosteum dan jaringan lunak


7. Bila infeksi dibiarkan maka dapat meluas aliran darah (septikemi) sehingga dapat

menyebar ke organ dalam lainnya, misalnya hati ginjal, dan jantung.

5. Merencanakan penatalaksanaan sesuai dengan konsep patofisiologi penyakit serta kompetensi dokter gigi umum.

Penyakit selulitis orbita bisa dicegah melalui imunisasi vaksin HiB untuk mencegah terjadinya infeksi Haemophilus pada anak-anak. Evaluasi yang tepat dan pengobatan dini pada infeksi sinus maupun gigi bisa mencegah penyebaran infeksi ke mata. Penatalaksanaan yang terbaik pada selulitis orbita adalah: 1. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit. 2. Diberikan cairan melalui infus dan antibiotik. 3. Jika terbentuk abses (penimbunan nanah), dilakukan pembedahan untuk membuang nanahnya. Infeksi ini perkembangannya sangat cepat karena itu harus dipantau secara ketat. Jika segera diobati, akan terjadi pemulihan sempurna.
Pada kerusakan periodontal diobati dengan debrideman, kuretase subginggiva dan obat cuci mulut Hidrogen peroksida 3 %. Disamping itu, jika diikuti gejala-gejala sistemik seperti demam, dianjurkan pemberian pengobatan secara oral dengan menggunakan penisilin V dosis 25.000 sampai 50.000 unit/KgBB/24 jam dibagi 4 dosis. Biasanya, jika diobati gejala akan hilang

dalam waktu 48 jam. Hal yang terpenting adalah konsultasi gigi, dianjurkan untuk pembersihan gigi yang teliti guna mencegah kekambuhan dan memperbaiki kerusakan periodontal.3 Penanganan komplikasi periodontitis fase akut ditujukan pada perbaikan perbaikan keadaan umum disertai pemberian antibiotik yang tepat untuk kuman penyebab dan dilakukan debrideman, selanjutnya dilakukan pembedahan untuk memperbaiki kerusakan. Upaya ini memerlukan perencanaan dan keahlian yang baik dengan mengutamakan pulihnya fungsi dari aspek kosmetik.4

Algoritma management selulitis orbita 3. Gorlin. R.J Penyakit Rongga Mulut dalam BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Ed.6, Jakarta : EGC, 1997: 286-288 4. Sjamsuhidajat. R, Jong W.D Kepala dan Leher dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed Revisi. Jakarta. EGC.1998: 449-450 Beberapa jenis antibiotik yang dapat digunakan dalam terapi selulitis orbita yaitu :

a. Vankomisin (Vancocin) Trisiklik glycopeptide antibiotik untuk pemberian intravena. Diindikasikan untuk pengobatan strain staphylococcus methicillin-resistant (tahan beta-laktam) pasien yang alergi penisilin. b. Klindamisin (Cleocin) Menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom bakteri tuas, mengikat dengan preferensi 50S subunit ribosom dan mempengaruhi proses inisiasi rantai peptide c. Sefotaksim (Claforan) Semisintetik antibiotik spektrum luas untuk penggunaan parenteral. Efektif terhadap gram positif aerob, seperti Staphylococcus aureus (tidak mencakup methicillin-resistant strain), termasuk penisilinase dan non-penisilinase strain, dan Staphylococcus pyogenes , gram negatif aerob (misalnya, H influenzae), dan anaerob (misalnya , spesies Bacteroides). d. Nafcillin (Unipen) Efektif terhadap spektrum gram-positif yang luas, termasuk Staphylococcus, pneumococci, dan grup A beta-hemolitik streptokokus semisintetik penisilin. e. Ceftazidime (Fortaz, Ceptaz) Semisintetik, spektrum luas, beta-laktam antibiotik untuk injeksi parenteral. Memiliki spektrum yang luas dari efektivitas terhadap gram negatif aerob seperti H. influenzae, gram positif aerob seperti Staphylococcus aureus (termasuk penisilinase dan non-penghasil penisilinase strain) dan S. pyogenes , dan anaerob, termasuk Bacteroides spesies f. Kloramfenikol (Chloromycetin) Efek bakteriostatik terhadap berbagai bakteri gram negatif dan gram-positif dan sangat efektif terhadap H influenzae. g. Tikarsilin (Ticar) Penisilin semisintetik suntik yang bakterisida terhadap kedua organisme gram positif dan gram negatif, termasuk H influenzae, Staphylococcus S (non-penghasil penisilinase), beta-hemolitik streptokokus (kelompok A), S. pneumoniae, dan organisme anaerob, termasuk Bacteroides dan Clostridium spesies. h. Cefazolin (Ancef, Kefzol, Zolicef)

Sefalosporin IM atau IV semisintetik. Memiliki efek bakterisidal terhadap Staphylococcus S (termasuk strain yang memproduksi penisilinase-), kelompok A streptokokus beta-hemolitik, dan H influenza 6. Menganalisis komplikasi penyakit sesuai dengan konsep patofisiologinya Komplikasi yang sering terjadi diantaranya : abses orbita, abses subperiosteal, trombosis sinus kavernosus, gangguan pendengaran, septikemia, meningitis dan kerusakan saraf optic dan gangguan penglihatan

Gambar komplikasi dari selulitis


7. Mengaplikasikan konsep dasar komunikasi efektif, etika profesi serta aspek kesehatan masyarakat pada kasus

1. Asbury, Taylor. Rundaneva, Paul. Vaughan, Daniel P. Oftalmologi Umum. Jakarta : Widya Medika. Hal. 1-5, 265-266. 2. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2004. Hal. 1-13, 101-102. 3. Kanski J. Clinical Ophtalmology a Systemic Approach. Philadelphia : Butterworth Heinemann Elsevier. Page : 175-176. 4. Lang, Gerhard K .Ophtalmology a Pocket Textbook Atlas. 2006 . New york : Thieme. Hal. 425-427.

5. Putz, R & Pabst, R. Atlas Anatomy Manusia Sobotta. Jakarta : EGC. 6. Suhardjo, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata Edisi 1. Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 2007. Hal. 53-54 7. Anonim. Selulitis Orbita. Akses November 2011, 4. Available from

http://www.repository.usu.ac.id 8. Anonim. Orbital Cellulitis. Akses November 2011, 4. Available from

http://www.cellulitis.org 9. Barry, Seltz L. Microbiology and Antibiotic Management of Orbital Cellulitis. Pediatric Official Journal of The Academy of Pediatric. 2011. 10. Esther, Hong S MD. Orbital Cellulitis in a Child. Akses November 2011, 4. Page 1-8 11. Harrington, John. Orbital Cellulitis. Akses November 2011, 4. Available from http://www.emedicine.medscape.com.

You might also like