You are on page 1of 22

ASPEK PSIKOLOGI KELUARGA DAN PASIEN VEGETATIVE STATE

BIOETHIC HUMAN PROGRAM (BHP) SPECIAL SENSES SYSTEM

KELOMPOK C1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Elissa Dewi Lisencia Fitri Lulu Hafiyyani Rizky Takdir Ramadhan Lutfiani Azahra Dwi Puspitasari Rahma Damayanti Ferdila Khalidia Agy Faqih Ramadhani Eka S Alvito Wira Tiza 111 0211 011 111 0211 015 111 0211 089 111 0211 107 111 0211 123 111 0211 128 111 0211 131 111 0211 161 111 0211 168 111 0211 176

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


1

2012/2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah seminar ini berjudul Aspek Psikologis Keluarga dan Pasien Vegatative State. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah seminar ini , kepada dokter pembimbing kami yang telah memberi materi serta memberi motivasi kepada kami, kepada teman teman tutorial C1 yang telah bersama sama membuat makalah ini, memberikan kontribusi yang sangat maksimal dalam pembuatan makalah ini, juga teman-teman mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Fakultas Kedokteran angkatan 2011 yang memberi suport . Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini belum sempurna, masih banyak kekurangan, tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu kami menerima saran dan pendapat untuk memperbaiki nya. Demikianlah makalah seminar ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Mei 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi BAB I a b c Pendahuluan Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan

i ii

1 2 3 4

BAB II Tinjauan Pustaka BAB III Isi dan Pembahasan a b c Contoh kasus Pembahasan Proses Adaptasi Keluarga

7 7 11

BAB IV Penutup a b Kesimpulan Saran 15 15

Daftar Pustaka

ii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang
Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%) penderita cedera kepala adalah cedera kepala ringan, sekitar 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera sekunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas mencapai 75% . Pengukuran standar yang biasa digunakan untuk menentukan seberapa parah cedera kepala adalah Glasgow Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan Bond (1975). Kriterianya adalah sebagai berikut: 1 Death (meninggal): Merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Penderita menjadi sadar kembali dan meninggal setelah itu karena komplikasi sekunder dan penyebab lain. 2 Vegetative state: Penderita tidak memberikan respon dan tidak bisa berbicara untuk beberapa waktu kedepan. Penderita mungkin dapat membuka mata dan menunjukkan siklus tidur dan bangun tetapi fungsi dari korteks serebral tidak ada. 3 Severe disability: Membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan aktifitas sehari-hari disebabkan karena kecacatan mental atau fisik, biasanya kombinasi antara keduanya. Kecacatan mental yang berat kadang-kadang juga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini pada penderita dengan kecacatan fisik sedikit atau tidak ada. 4 Moderate disability: Dapat berjalan-jalan menggunakan transportasi umum dan bekerja di tempat-tempat tertentu (dengan perlindungan) dan dapat beraktifitas bebas sejauh kegiatan tersebut tidak mengkhawatirkan. Ketidakmampuan (kecacatan) penderita mencakup perubahan derajat dari dispasia, hemiparise, atau ataksia maupun berkurangnya intelektual dan daya ingat dan perubahan personalitas. Lebih mampu untuk melakukan hal-hal protektif diri. 5 Good recovery: Dapat melanjutkan kehidupan normal sekalipun terjadi keadaan defisit neurologis.

Evaluasi/taksiran penilaian praktis dari keluaran penderita cedera kepala berat GOS dibagi menjadi 5 skala yaitu: good recovery, moderate disability, severe disability, vegetative state dan death. Dari skala di atas dapat dibagi menjadi keluaran baik/favorable outcome (good recovery dan moderate disability) dan keluaran buruk/unfavorable outcome (severe disability, vegetative state dan death). Secara sederhana vegetative state diartikan keadaan sadar sebagian. Sadar sebagian dalam artian tubuh penderita bisa berfungsi tanpa bantuan mesin, ada siklus tidur-bangun, ada refleks tubuh, tetapi tidak ada tanda-tanda "kesadaran". Sama dengan istilahnya, vegetative, seperti tanaman. Hidup tapi hanya sebatas napas, makan, minum, tapi tidak ada fungsi luhur. Seperti "tubuh kosong". Kondisi ini menjadi masalah yang serius khususnya dalam segi etik. Apakah pasien tetap dipertahankan dalam keadaan ini atau dianggap sudah meninggal. Vegetative state sendiri bisa dikatakan persisten atau permanen. Biasanya dianggap persisten jika dalam waktu 4 minggu tidak pulih dalam keadaan ini dan persisten jika lewat dalam waktu 1 tahun. Bagi keluarga, vegetative state adalah isu besar. Jika dirawat, pasien bisa bertahan sampai tahunan, bisa lebih dari sepuluh tahun namun tanpa kesadaran. Tentu ini sangat melelahkan dari segi fisik maupun emosional. Ada yg menyarankan untuk di euthanasia pasif karena kondisi ini sama saja dengan kematian. Untuk apa mempertahankan orang yang sudah meninggal? Disisi lain, ada yang menyarankan untuk tetap dipertahankan. Seberapa kecil pun kemungkinan untuk pulih layak untuk dikejar. Disinilah akan timbul pergolakan sisi psikologis dari keluarga pasien. Merawat seseorang seumur hidup bukanlah sesuatu yang mudah akan tetapi memilih jalan yang lain juga merupakan sesuatu yang melawan moral. Atas dasar itulah makalah ini dibuat. Untuk dapat mengkaji dan menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait aspek psikologis keluarga pasien vegetative state.

Rumusan Masalah
Hal yang menjadi rumusan masalah dalam makalah yang bertema aspek psikologis keluarga dan pasien vegetative state ada dua hal. Pertama adalah bagaimana kondisi aspek psikologis keluarga pasien vegetative state dan yang kedua adalah langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak psikologis negatif keluarga pasien vegetative state.

Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah yang bertema aspek psikologis keluarga dan pasien vegetative state adalah untuk mengetahui kondisi aspek psikologis keluarga pasien penderita vegetative state dan untuk mengetahui langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak psikologis negatif keluarga pasien vegetative state.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Glasgow Outcome Scale (GOS) adalah skala yang digunakan untuk mengukur outcome yang pada awal penggunaannya ditujukan pada pasien trauma kapitis. Skala ini diciptakan oleh Jennet dkk pada tahun 1975 dan dipakai untuk mengalokasikan orang-orang yang menderita cedera otak akut traumatik maupun non-traumatik ke dalam kategori outcome. Skala ini menggambarkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan, yang difokuskan pada bagaimana trauma mempengaruhi fungsi kehidupan (Leon-Carrion,2006). Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut (Leon-Carrion, 2006 ; Capruso dan Levin, 1996) : 0 : Death 1 : Vegetative state 2 : Severe disability 3 : Moderate disability 4 : Good recovery Suatu masalah khusus pada akhir kehidupan yaitu dua keadaan ketidaksadaran tetap, yaitu: 1 Koma Mendalam Tetap Pada keadaan ini pasien seolah-olah tidur lelap. Matanya tertutup dan tidak ada reaksi apapun. Beberapa pasien yang mengalami koma mendalam dalam waktu yang cukup lama bisa kembali siuman. Koma mendalam tetap bisa juga beralih ke keadaan vegetatif tetap. Sehingga, keluarga sering mendapat harapan bahwa pasien akan sembuh, tapi yang mereka lihat hanyalah refleks-refleks otomatis. 2 Vegetatif Tetap

Pada keadaan ini pasien masih menunjukkan refleks-refleks tertentu, matanya sering membuka (tapi tidak melihat), ada semacam ekspresi pada wajah seperti senyum atau seringai (tapi tidak komunikatif), masih ada semacam irama tidur dan jaga. Pasien tidak mempunyai aktivitas psikis lagi. Keadaan vegetatif tetap dapat berlangsung bertahuntahun lamanya. Penting sekali keadaan vegetatif tetap tidak dicampuradukkan dengan mati otak. Pada orang yang mati otak, batang otak tidak berfungsi lagi. Sedangkan pada pasien dalam keadaan vegetatif tetap, batang otak masih berfungsi. Bagian otak yang menjadi dasar untuk aktivitas psikis pada pasien-pasien ini ternyata sudah tidak berfungsi lagi sama sekali. Dan bukan untuk sementara saja, melainkan secara definitif. Seperti dikatakan H. Tristram Engelhardt dan kawan-kawannya, sebagai persona mereka sudah mati. Sejauh mereka masih hidup, kehidupan mereka berstatus seperti tumbuhan (dalam arti: vegetatif atau nabati saja). Tapi satu-satunya pengertian mati otak yang diterima sekarang adalah terdapat mati otak, termasuk batang otak. Dengan demikian, pasien dalam keadaan vegetatif tetap belum dapat dianggap mati otak. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal ,sifat ,kegiatan, yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok, dan masyarakat. Keluarga adalah sebuah unit srtuktur dan organisasi yang berinteraksi dengan lingkungan, sebuah system interpersonal yang terdiri dari berbagai subsistem. Keluarga meliputi semua individu yang menanggung fungsi keluarga dan satu sama lain terhubung secara emosional, konsekuensinya adalah hubungan emosional seperti kekhawatiran, kesedihan, dan kebahagiaan ditanggung bersama . (Friedmemann ( 2005 ) Keluarga mempunyai tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya, antara lain ; mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga, mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat, member perawatan pada anggota keluarganya yang sakit, dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri, mempertahankan suasana rumah yang menguntungkankesehatan dan perkembangan kepibadian anggota keluarganya, mempertahankan hubungan timbale balik antara keluarga dan pemberi layanan kesehatan.

10

System keluarga yang dibangun bersama, dimana semua anggota keluarga membentuk system tersebut. Perubahan salah satu bagian dari system akan merubah kenyamanan system tersebut.kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan sangat esensial untuk mempertahankan fungsi optimal dari system keluarga. Perubahan tidak dapat dipisahkan dengan penyakit terminal yang sangat besar pengaruhnya pada keluarga. Dalam kondisi sulit kehadiran keluarga akan membantu memberikan dukungan emosional dan spiritual yang dibutuhkan pasien, member kekuatan bagi anggota keluarga yang sakit ( davinson, 2009 ) Anggota keluarga khususnya ibu memegang peranan vital sebagai pemberi layanan utama untuk anggota keluarganya yang mengalami penyakit fisik kronik ataupun penyakit mental. Fungsi kesehatan keluarga adalah bertanggungjawab untuk memonitor atau mengawasi dan mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi pada anggota keluarga yang sakit. Konsekuensi keluarga sebagai pemberi layanan pada anggotanya yang sakit dapat berpotensi positif ataupun negative, bila keluarga merasakan peningkatan kebutuhan dan aktivitas yang tidak seimbang sehingga menimbulkan stress. Dalam situasi krisis yang diakibatkan adanya anggota keluarga yang sakit, keseimbangan perubahan peran merupakan faktor penting dalam proses adaptasi keluarga. Struktur keluarga dimodifikasi untuk menyeimbangkan peran dari masing0masing anggota keluarga atau yang lainnya ( friedmann, 1999 ) Jika unit keluarga mengalami disfungsi/ anggota keluarga sakit akan berdampak pada anggota keluarga, oleh karena itu dokter dan perawat harus memberikan pelayanan yang holistic tidak hanya pada individu yang sakit tapi juga keluarganya.

11

BAB III ISI DAN PEMBAHASAN Contoh Kasus


Sesudah kecelakaan mobil pada 11 Januari 1983, Nancy Cruzan (22 tahun) ditemukan oleh tim ambulans tanpa tanda pernapasan dan denyut jantung. Pernapasan dan denyut jantung berhasil dipulihkan kembali oleh tim medis dengan diresusitasi dan Nancy bisa bernapas spontan, kemudian segera dibawa ke Missouri State Hospital dalam keadaan tidak sadar. Menurut perkiraan pada ahli bedah saraf, Nancy selama 12-14 menit tidak bernapas. Kerusakan otak yang menjadi akibatnya telah menyebabkan koma yang diakui oleh dokter sebagai persistent vegetative state (PVS). Sesudah kira-kira 3 minggu, kemudian para dokter memasang gastrotomy tube untuk nutrisi dan hidrasi. Karena sudah menjadi jelas bahwa fungsi psikis Nancy tidak mungkin pulih kembali, sesudah beberapa bulan orang tuanya minta supaya nutrisi dan hidrasi dihentikan saja, agar anak mereka meninggal dengan tenang. Rumah sakit menolak permintaan itu, kalau tidak ada izin dari pengadilan. Kasus tersebut dibawa ke pengadilan, dan hasilnya adalah permintaan orang tua ditolak. Alasannya adalah karena tidak ada bukti bahwa pasien sendiri pernah menyatakan kehendaknya bahwa jika ia dalam keadaan vegetatif, nutrisi dan hidrasi sebaiknya dihentikan. Tapi kemudian orang tua Nancy membawa kasus tersebut ke pengadilan lagi karena ditemukan bahan bukti baru yang menunjukkan bahwa Nancy sebelum kecelakaan pernah menyatakan kepada beberapa temannya bahwa jika ia mengalami keadaan vegetatif, ia ingin pemberian nutrisi dan hidrasi dihentikan. Oleh karena itu, pengadilan mengizinkan mencabut pipa nutrisi dan hidrasi.

(Bertens, K, 2011. Etika Biomedis. Yogyakarta: Kanisius) Pembahasan


Pada saat awal biasanya pasien dengan persistent vegetative stat (PVS) dirawat di Unit Perawatan Intensif (UPI). Setelah jangka waktu tertentu keadaan pasien PVS mulai 12

stabil dan tidak memerlukan alat perawatan canggih. Saat itu ia dapat dipindahkan dari unit perawatan intensif ke ruang perawatan biasa. Perawatan pasien ditujukan untuk mempertahankan kondisi tubuh pasien melalui pemberian makanan buatan (artificial nutrition and hydration) dan berbagai perawatan untuk pasien tidak sadar. Di negara maju pasien seperti ini banyak yang dirawat di rumah perawatan (nursing homes), hospice, atau di rumah. Jika keadaannya memburuk atau memerlukan tindakan medis barulah dirujuk ke rumah sakit. Jika keadaan vegetasi telah ditentukan, dokter berkewajiban mendiskusikan keadaan pasien dengan keluarga atau pihak yang mewakili pasien. Diskusi ini meliputi keadaan pasien saat ini, prognosis, dan rencana perawatan termasuk pemakaian alat bantu penunjang kehidupan. Dokter perlu memerhatikan pendapat keluarga pasien. Persetujuan rencana pengobatan dari pihak keluarga sangat diperlukan mengingat tingkat ketidakpastian relatif tinggi. Apakah pasien akan diobati secara agresif (artinya penekanan pada upaya kuratif, menyetujui pemakaian seluruh sarana dan prasarana pengobatan yang ada dalam ilmu kedokteran) atau dilakukan pengobatan paliatif (artinya penekanan pada aspek perawatan). Sampai kapankah pengobatan atau perawatan ini dilakukan? Siapa yang mengambil keputusan mengenai perawatan pasien PVS? Kumpulan pertanyaan ini harus dijawab oleh tim dokter dan keluarga pasien. Oleh karena itu, keluarga pasien perlu mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pasien PVS, apa itu PVS, bagaimana cara merawat pasien PVS, bahkan sampai pada hal-hal mendasar yang berkaitan dengan kehidupan. Suasana yang penuh dengan ketidakpastian, perbedaan antara yang tampak/ fakta hasil observasi dengan interpretasi fakta, dan berbagai keterbatasan yang ada baik di sisi dokter maupun di sisi keluarga pasien dikomunikasikan dengan baik dan sabar sehingga tidak timbul salah pengertian. Di Indonesia, faktor-faktor inilah yang paling sering membawa masalah sehingga merusak hubungan keluarga pasien-dokter dan memunculkan masalah yang bersifat sangat kompleks. Pada salah satu kaidah bioetik seorang dokter wajib berbuat baik, menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Perlakuan terbaik kepada pasien merupakan poin utama dalam kaidah beneficence. Dengan kata lain, kita harus memberikan yang terbaik dan mengupayakan semaksimal mungkin untuk 13

kesembuhan pasien dengan bertanggung jawab dan berkasih sayang, sebagaimana tingkat ekonomi, pandangan politik, agama, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan dan kewarganegaraan tidak boleh mengubah sikap dan pelayanan dokter terhadap pasiennya. Di sisi lain seorang pasien dengan vegetative state tidak mampu berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri, dikarenakan hilangnya fungsi kognitif, sehingga keluargalah yang lebih banyak memutuskan apa yang akan di lakukan selanjutnya karena di sini keluargalah kompeten menentukan keputusan. Karena pada dasarnya seseorang dikatakan kompeten secara hukum untuk melakukan informed concent jika ia telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang baik. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu. Jika dalam anggota keluarga ada yang mengalami keadaan vegetative state, sudah pasti mereka akan berjuang sedemikian hebat untuk kesembuhan anggota keluarganya. Mungkin pada awal terdiagnosanya vegetative state, ada perasaan menolak kenyataan dan perasaan tidak percaya atas apa yang diutarakan oleh dokter, disini peran dokter untuk memahami dan memberi informasi dengan baik sangat diperlukan sehingga tidak tercipta suatu kesalahpahaman. Ketidakpercayaan pada awalnya merupakan sesuatu yang wajar, dimana jika disadari sangatlah tidak mudah menerima kenyataan bahwa salah satu orang terdekat mereka didiagnosa seperti itu. Namun dengan pendekatan yang baik, diharapkan keluarga pasien bisa menerima kenyataan dan mulai membantu dalam upaya perbaikan keadaan pasien. Melihat dari sisi keluarga, selain mereka mempunyai kewajiban yang sama untuk berjuang mempertahankan dan melakukan yang terbaik, mereka juga merupakan kelompok yang rentan, dimana keluarga pasien pasti mengalami stress berkepanjangan akibat tuntutan ekonomi, tenaga dan waktu yang harus tercurahkan untuk pasien. Disini dalam mengambil keputusan kita juga harus memperhatikan keadaan keluarga, tentunya dengan tidak membeda-bedakan namun tetap melihat sisi terbaik dengan meninjau semua aspek yang berkaitan. Jangan sampai ada kelompok yang dirugikan atas keputusan yang diambil. Jika keluarga memutuskan untuk menjalani euthanasia maka hal tersebut harus disetujui oleh pengadilan. 14

Dunia memang tidak seluruhnya sependapat dengan euthanasia, dan setidaknya sikap moral yang menang pada kasus tersebut telah menantang sikap moral membela kehidupan yang selama ini dianut dunia kedokteran. Sebagian para ahli etik yang pro-putusan pengadilan mencari alasan pembenaran dari segi moral, sedangkan mereka yang kontra mengemukakan bahwa tindakan tersebut adalah pembunuhan. Yang membela pemberian nutrisi dan hidrasi kepada pasien dalam keadaan vegetatif tetap mempunyai alasan yaitu kehidupan manusia bagaimanapun harus dihormati. Yang dipersoalkan adalah apakah pemberian nutrisi dan hidrasi seperti itu merupakan suatu tindak medis atau cara asuhan yang biasa. Kalau dianggap sebagai tindak medis, tidak perlu dilanjutkan bila ternyata tidak efektif lagi. Karena tindak medis dilakukan untuk menyembuhkan atau memperbaiki kesehatan. Kalau tujuan itu tidak mungkin tercapai lagi, tindakan itu kehilangan maknanya dan lebih baik dihentikan saja. Dalam konteks pasien vegetatif state, diberikan makanan artifisial supaya pasien menjadi sadar lagi. Dan untuk menjalankan prosedur itu diperlukan profesionalisme keperawatan yang cukup tinggi. Sehingga pendapat bahwa prosedur itu tergolong tindak medis, maka boleh dihentikan bila tidak ada makna medis lagi. Sebaliknya, pendapat bahwa prosedur itu merupakan cara asuhan biasa, maka asuhan selalu harus diberikan. Jika seorang manusia tidak bisa makan sendiri, ia harus dibantu oleh sesamanya. Misalnya, anak kecil. Demikian juga pasien yang tidak sadar harus diasuh terus. Bahkan dapat dinilai sebagai kelalaian, jika menghentikan asuhan itu. Jalan keluar untuk permasalahan ini dicari dengan menafsirkan kemauan pasien sendiri. Jika pasien pernah menyatakan bahwa ia tidak mau kehidupannya diperpanjang dengan makanan artifisial seperti itu, hal itu merupakan alasan yang cukup untuk menghentikan prosedur itu, asal keluarga mendukung. Cara lain untuk mengetahui kehendak pasien yaitu bila pasien meninggalkan surat wasiat dimana ia menyatakan tidak ingin kehidupannya diperpanjang terus bila suatu saat mengalami keadaan vegetatif tetap atau ia telah menunjuk seseorang untuk mengambil keputusan terbaik atas namanya bila suatu saat ia mengalami keadaan vegetatif tetap. Namun, bila tidak diketahui kemauan pasien, pertanyaan bisa timbul, apakah pemberian makanan secara artifisial tidak lebih baik dihentikan saja, bila sudah berlangsung terlalu lama dan tidak terlihat bermanfaat lagi untuk melanjutkannya? Dalam hal ini sering kali keinginan keluarga dinilai sudah cukup untuk menjadi sebuah keputusan.

15

Situasi seperti itu yang membingungkan dari segi etika, maka penuntun yang aman adalah kaidah emas (hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana saudara sendiri ingin diperlakukan). Ada sebuah prinsip bahwa tidak pernah wajib menggunakan sarana-sarana yang tidak proporsional. Rupanya pemberian nutrisi dan hidrasi kepada pasien dalam keadaan vegetatif tetap termasuk kategori itu, karena tidak ada manfaat lagi yang dapat diperoleh dengan prosedur itu, sedangkan beban untuk keluarga dan tim medis sangat berat. Kalau perawatan itu harus dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional, beban finansial juga akan terasa sangat berat, khususnya dalam negara-negara berkembang. Jadi, jalan keluar yang paling baik adalah keputusan terakhir diberikan oleh pengadilan, seperti sekarang sudah dipraktekkan di beberapa negara. Proses Adaptasi Keluarga Stress adalah respon dari suatu ketegangan yang diproduksi oleh stressor baik secara aktual ataupun kebutuhan yang lama tidak dikelola dengan baik. Stressor pada keluarga adalah suatu akumulasi dari perkembangan dan situasi yang terjadi dalam hubungan antar anggota keluarga. Beberapa kejadian yang dapat menjadi stressor bagi keluarga yaitu : kehilangan baik karena kematian ataupun perceraian, ketegangan dalam pernikahan (perselingkuhan), kekerasan dalam keluarga, sakit dan perawatan yang lama, ketegangan intrafamily, hamil dan kelahiran, transisi pekerjaan, keuangan dan fase transisi setelah baru menikah. Menurut Hickey (2003), penyakit neurologis yang serius, konsekuensinya tidak hanya pada pasien tetapi juga pada keluarga. Struktur keluarga, hubungan, mekanisme koping terhadap stress dan krisis menjadi pertimbangan yang sangat penting. Anggota keluarga akan bereaksi terhadap penyakit keluarganya, respon yang ditimbulkan adalah kecemasan, penolakan, depresi, marah, dan ketakutan. Pada kondisi vegetative state, terjadi ketidakmampuan yang progresif dan permanen sehingga membuat pasien sangat tergantung dengan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Stress pada kondisi penyakit neurologis yang diderita pasien sangat signifikan dan membutuhkan perhatikan dan dukungan petugas kesehatan pada keluarga untuk membuat pemikiran/pendapat yang realistis. Kemampuan keluarga untuk menerima situasi dan

16

beradaptasi secara langsung akan mempengaruhhi kondisi emosional yang baik bagi tiap anggota dalam unit keluarga termasuk pasien. Untuk menangani stress dalam keluarga dibutuhkan strategi koping yang positif. Strategi koping adalah perilaku atau proses keluarga yang digunakan untuk beradaptasi terhadap stress. Strategi keluarga dalam menghadapi stress, ada beberapa hal yaitu : strategi kognitif, menggunakan pengetahuan dengan memahami kondisi antar anggota keluarga; strategi komunikasi, terbuka dan jujur mendengarkan satu dengan yang lain; strategi emosional, mengekspresikan perasaan dan berdamai dengan perasaan negatif; strategi hubungan, meningkatkan kebersamaan, kerjasama dan kepercayaan; strategi spiritual, melaksanakan aktivitas keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan; strategi lingkungan, mencari bantuan dari komunitas; strategi perkembangan individu, meningkatkan kemampuan diri dan mengembangkan bakat.

Keluarga yang dapat mengembangkan strategi koping yang positif akan mampu adaptif terhadap perubahan perubahan yang ada dalam keluarga. Namun jika maladaptive, keluarga akan menolak masalahnya, tanpa solusi berkepanjangan sehingga pada akhirnya akan terjadi kekerasan / penyalahgunaan dalam keluarga (Friedman, 1999)

Beberapa respon emosional yang muncul pada keluarga ketika terjadi perubahan status kesehatan anggota keluarganya dan keluarga maladaptif terhadap perubahan tersebut, yaitu : a Kecemasan, cemas adalah perasaan tidak nyaman, khawatir, ataupun takut yang berhubungan dengan ketidakmampuan mengenali sumber bahaya. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya konflik atau frustasi dalam hidup. Terjadi perubahan fisiologis seperti denyut nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat, diare, dan terasa tegang pada abdomen. b Frustasi, adalah perasaan yang terjadi ketika tindakan yang dilakukan gagal mencapai tujuan ataupun tidak ada kesimpulan yang pasti terhadap masalah yang ada.

17

Ketakutan, adalah perasaan khawatir yang ekstrim terhadap potensi pasien dapat membaik. Ketakutan sangat berhubungan dengan ketidaktauan, ketidakmauan, dan kehilangan kontrol. Manifestasi perilaku: melakukan tindakan irasional.

Depresi, adalah perasaan sedih dan rendah diri disertai kesulitan dalam berpikir, melakukan aktivitas dan tanggung jawab sehari hari, energi lemah dan merenungi diri, tidak mampu mengekspresikan perasaan. Karakteristik perilakunya yaitu : sedih, afek datar, wajah tanpa ekspresi, menangis, putus harapan, dan tidak tertarik dengan lingkungan sekitar. Seseorang yang depresi tidak lagi mampu melihat kemungkinan resolusi dan masalahnya.

Menolak, penolakan adalah mekanisme defensif, dimana seseorang menolak untuk mengetahui kenyataan yang ada. Kenyataan yang ada sangat menyakitkan baginya sehingga sulit untuk berdamai. Menolak adalah metode temporer untuk berdamai dengan sumber stress dan masalah yang dihadapi.

Perasaan bersalah, perasaan dimana seseorang merasa melakukan kesalahan yang secara langsung bertanggung jawab terhadap hasil yang negatif dari tujuan yang ingin dicapai. Manifestasi perilaku yang timbul : perasaan menyesal, harga diri rendah dan membenci diri sendiri. (Hickey, 2003) Pada kondisi krisis dalam keluarga, terjadi perubahan gaya hidup yang negatif.

Berdasarkan penelitian Lui, et al, 2005, menyatakan bahwa kerja di perubahan pada aspek fisik, emosional, ataupun sosial pada keluarga yang mengalami krisis. Dari aspek fisik, keluarga merasa kelelahan, istirahat yang tidak cukup, tidur tidak teratur, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi akibat tuntutan perawatan. Dari aspek emosional, keluarga merasa depresi, stress, takut, cemas, dan merasa bersalah akibat ketidakpastian kondisi pasien, perubahan peran dan fungsi, keluarga merasa memiliki waktu yang sangat terbatas untuk mendapat skill yang dibutuhkan untuk peran barunya, dan kurang penjelasan dari petugas medis. Dari aspek sosial, keluarga merasa terisolasi dari kehidupan sosial, tidak mampu lagi untuk liburan, kurang kontak dengan teman. Dan dari aspek keuangan keluarga menghabiskan banyak uang untuk pengobatan sehingga beban bertambah berat. 18

Pada kondisi pasien tidak sadar, hal yang memperanguhi kondisi psikologis adalah keluarga mengalami beban yang sulit untuk membuat keputusan dan pilihan terapi. Hal tersebut di ungkapkan oleh McAdam & Puntillo (2009). Namun ada hal positif yang didapatkan keluarga dalam merawat pasien vegetative state, meningkatkan hubungan dan memperkuat ikatan antara keluarga dan pasien. Faktor faktor yang mempengaruhi pengalaman keluarga dalam merawat pasien vegetative state yaitu : umur, gender, pendidikan, status pekerjaan, hubungannya dengan pasien, lamanya perawatan, jumlah keluarga yang merawat. (Tang & Chen, 2002) Dalam dimensi sistem keluarga ada empat proses yang terjadi sesuai dengan target yang akan dicapai yaitu : system maintenance, system change, coherence, dan individuation. Tujuan dari keempat proses tersebut adalah memberikan dukungan antar anggota keluarga jika terjadi perubahan system, menemukan solusi bersama untuk mempertahankan stabilitas system keluarga, dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dalam system keluarga. System maintenance meliputi perilaku yang berakar dan menjadi tradisi pada struktur dan proses keluarga, dan berhubungan dengan pengelolaan masalah keluarga. Pertahanan system meliputi peran, pola aturan dalam system, ritual, pengambilan keputusan, struktur kekuasaan, pembagian kerja, stabilitas dan target kontrol. Target kontrol berfokus pada fungsi regulasi keluarga, bagaimana mengatur efek perubahan yang ada, sedangkan target stabilitas berfokus pada tradisi, nilai, dan budaya yang diyakini keluarga. System change adalah adanya perubahan besar yang terjadi pada keluarga khususnya pada system nilai keluarga, kerjasama, dan persetujuan semua anggota keluarga, target pada proses ini adalah target perkembangan yang bertujuan untuk memahami dan mencoba nilai / tradisi yang baru. Coherence berfokus pada ikatan emosional dan kepedulian antar anggota keluarga, targetnya adalah stabilitas dan spiritual dalam keluarga, adanya hubungan yang saling menerima dan saling memiliki mengikuti ritme yang terjadi dalam sistem. Individuation, keluarga meningkatkan pengetahuan, belajar dan merubah perilaku, berbagi pendapat dengan yang lainnya, tergetnya adalah perkembangan dan spiritual. Untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan yang ada, diperlukan keseimbangan

19

dari keempat dimensi tersebut secara berkelanjutan dalam kehidupan keluarga sehari hari. (Friedmeann, 2005)

20

BAB IV PENUTUP Kesimpulan Keluarga memiliki tugas dalam pemeliharaan kesehatan anggotanya. Bila anggota keluarganya ada yang berada dalam keadaan vegetative state, maka akan berdampak pada anggota keluarga yang lain. Karena vegetative state adalah keadaan dimana seseorang tidak sadar tapi masih menunjukkan refleks-refleks tertentu, seperti matanya sering membuka (tapi tidak melihat), ada semacam ekspresi pada wajah seperti senyum atau seringai (tapi tidak komunikatif), masih ada semacam irama tidur dan jaga tapi tidak mempunyai aktivitas psikis lagi. Dan keadaan vegetatif tetap yang dapat berlangsung bertahun-tahun lamanya, mungkin pada awal terdiagnosanya vegetative state, ada perasaan menolak kenyataan dan perasaan tidak percaya atas apa yang diutarakan oleh dokter, dokter berperan membantu untuk memahami dan memberi informasi dengan baik. Dengan pendekatan yang baik, diharapkan keluarga pasien dapat menerima kenyataan dan mulai membantu dalam upaya perbaikan keadaan pasien. Keluarga pasien pasti mengalami stress berkepanjangan akibat tuntutan ekonomi, tenaga, lelah fisik akibat terusmenerus merawat dan waktu yang harus tercurahkan untuk pasien. Untuk menangani stress dalam keluarga dibutuhkan strategi koping yang positif. Strategi koping adalah perilaku atau proses keluarga yang digunakan untuk beradaptasi terhadap stress. Strategi keluarga dalam menghadapi stress, ada beberapa hal yaitu : strategi kognitif, strategi komunikasi, strategi emosional, strategi hubungan, strategi spiritual, strategi lingkungan, strategi perkembangan individu. Ada hal positif yang didapatkan keluarga dalam merawat pasien vegetatuive state, dapat meningkatkan hubungan dan memperkuat ikatan atara keluarga dan pasien. Saran Dampak psikologis yang terjadi pada keluarga pasien vegetative state yang bisa mempengaruhi sikap dan keputusan keluarga terhadap pasien, maka tenaga medis setidaknya ikut berpartisipasi dalam menangani kondisi psikologis keluarga pasien. 21

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K, 2011. Etika Biomedis. Yogyakarta: Kanisius. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005 Davidson, J, A. 2009. Family centered care:American Association of Critical.Journal. Friedmann,M,L. 2005. The Framework of systemic organization, Newbury Park

22

You might also like