You are on page 1of 50

Annisa Rahim_012106082

LBM 2 MODUL MATA SGD 8

STEP 1 1. COBBLE STONE : benjolan yg besarnya 1mm biasanya tejadi krn penimbunan cairan dan sel limfoit dibawah konjungtiva fornix,bisa juga timbul di palpebra superior 2. Injeksi konjungtiva : adanya pelebaran pembuluh darah a.konjungtiva posterior,semakin bnyak terlihat di konjungtiva fornix 3. Vods 6/6 : samadengan visus 6/6 = bisa melihat jarak 6m yg pda orng normal jg dpt mlhat pd jrk 6m mata kanan kiri

STEP 2 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. STEP 3 1. Mengapa mata merah,gatal,keluara secret tetapi pndangan tdk kabur?? Tidak ada kelainan pd media refrakta,terjadi kelainan di media lain Gangguan pada visus ada 3:refraksi,media refrakta,nervus Ada gangguan pd adneksa mata,trjadi gangguan pd konjungtiva Mata merah karena adanya infalamasi,vasodilatasi(bradikinin,leukotrin,ptostalgladin) Gatal karena adanya histamine Bisa trjadi krna 2 hal: senyawa kimia dan mekanik Mekanik : bila dikucek2 akan merasa gatal2 terus Kimia : dr hisatamin ke kortek serebrigirus postsentralisgatal Keluara secret krn klenjar2 di palpebra terjadi peradangan Sitokin5interleokin5 Sel darah putih apakah member gambaran penyakit yg diderita? Jenis2 sekret : serous: secret bening lebih encer dr mucus(krn virus),mucus:secret kental dan elastic (alergi),purulen:cair keruh(bakteri)fibrin hancur tdk elastis,sanguis:merah biasanya brcamur dg darah (kronis),membrane:keruh lengketklau ditarik tdk brdarah,pseudomembran: ketika ditarik akan berdarah Mekanisme pembentukan secret Proses alergi dan infeksi apakah sama(mekanismenya)?? 1 Mengapa mata merah,gatal,keluara secret tetapi pndangan tdk kabur?? Kenapa sakitnya berulang ulang factor pncetus?? Hub makan udang dan kerang dg keluhan? Kenapa alergi dimata tdk di organ lain?? Kenapa ada injeksi konjungtiva dab sifat dr injeksi tsb?? Bagaimana terjadinya cobble stone? Kenapa keluhan sudah 5hr tp tdk membaik juga?? Cara kerja dr obat tetes mata dan obat minum pd scenario dan kemungkinan obat itu apa?? Dd

Annisa Rahim_012106082
2. Kenapa sakitnya berulang ulang factor pncetus?? Krna sel mast mmpunyai memori trhap alergi trsbut 3. Hub makan udang dan kerang dg keluhan? Ikan mngandung histamine Udang:dragonkulusmedinensis menyababkan dradunosis kalau dimata bisa mnyababkan konjungtivitis flikten(tipe 4) Kerang : Kulit udang mengandung 100kdalton Faktor endogen dan eksogen dr kerang dan udang yg mnyebabkan alergi 4. Kenapa alergi dimata tdk di organ lain?? 5. Kenapa ada injeksi konjungtiva dan sifat dr injeksi tsb?? Krn proses inflamasi Sifat2: mudah digerakkan knpa? 6. Bagaimana terjadinya cobble stone?histologinya Kelenjar dan pembuluh darah yg mengeluarkan secret cairan 7. Kenapa keluhan sudah 5hr tp tdk membaik juga?? 8. Cara kerja dr obat tetes mata dan obat minum pd scenario dan kemungkinan obat itu apa?? 9. dd

STEP 4 MAPING

STEP7 1. Mengapa mata merah,gatal,keluara secret tetapi pndangan tdk kabur??

Annisa Rahim_012106082

The allergic reaction results from the activation of mast cells in a Type I hypersensitivity reaction. Type I Hypersensitivity Hypersensitivity reactions result in the release of inflammatory mediators. Some mediators will have direct pharmacological effects on local or even distant tissues; others will recruit and activate effector cells that further contribute to tissue damage. An allergic reaction results from the interaction of an allergen with specific IgE antibodies, bound to Fc receptors on mast cells (see A). This leads to degranulation of the mast cell and release of mediators, such as histamine (see B). Rapid systemic release of these mediators will cause capillary leakage and mucosal oedema, resulting in shock and asphyxia. Type I mediators include: preformed molecules HISTAMINE: protease enzymes, proteoglycans (heparin), and chemotactic factors new synthesised molecules such as platelet activating factor (PAF), leukotrienes and prostaglandins (mainly PGD2) Actions of histamine depend on site of release. In the airways it induces smooth muscle contraction, in the skin it causes the hallmark "wheal and flare" response through increased vascular permeability. Widespread activation of mast cells leads to systemic effects of circulatory shock, reduced blood pressure, collapse, chest tightness, arrested breathing and death when severe (if not treated) - this is Anaphylactic Shock.

Annisa Rahim_012106082
Diseases include rhinitis, asthma, conjunctivitis, diarrhoea and vomiting, eczema, and anaphylactic shock. These are the atopic or allergic diseases. http://www.elu.sgul.ac.uk/rehash/guest/scorm/118/package/content/index.html

Annisa Rahim_012106082

Annisa Rahim_012106082

ATOPI Mekanisme Atopi Fungsi sistem imun Normal perlindungan host terhadap antigen asing Abnormal respon imun (hipersensitivitas)dapat menyebabkan terjadinya cedera jaringan dan penyakit Konstribusi genetik Isotipe disregulasi imun yang spesifik Individu yang atopik cenderung menghasilkan Igs dari golongan isotipe IgE secara berlebihan Produksi IgE Sistem imun memiliki beberapa mekanisme efektor yang diperantarai antibodi Bagian dari hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) terdiri dari reaksi-reaksi yang dimediasi terutama oleh IgE Reaksi-reaksi ini menyebabkan penyakit atopi melalui respon hipersensitivitas tipe cepat. Praunitz dan Kustner, pada tahun 1921, pertama kali mendemonstrasikan adanya serum terhadap antigen spesifik reagin pada orang alergi yang mampu mentransfer reaksi alergi berupa bentol dan kemerahan. Ishizaka, dan Johannson dan Bennich, pada tahun 1967, mendemonstrasikan ciri-ciri reagin atau antibodi yang sensitif pada kulit sebagai jenis Ig yang baru, termasuk IgE. Gambaran akhir hipersensitivitas tipe cepat diakibatkan oleh: Terpajan antigen (alergen) Pembentukan antibodi IgE sebagai respon terhadap antigen Produksi antibodi IgE spesifik terhadap antigen: Membutuhkan kolaborasi yang aktif antara makrofag, limfosit-T, dan limfosit-B. Alergen, yang merupakan semacam rumput-rumputan atau serbuk sari rumput Bermuda: 6

Annisa Rahim_012106082
Masuk melalui traktus respiratorius, traktus gastrointestinal, atau kulit. Bereaksi dengan makrofag yang menghasilkan antigen Dipresentasikan ke limfosit T yang peka (sensitif) sewajarnya. Limfosit B, terhadap APC, antigen, dan limfosit T yang peka; distimulasi untuk berkembang menjadi sel plasma Sintesis sel plasma dan sekresi IgE spesifik terhada antigen. Sel plasma menghasilkan IgE sebagian bertempat lamina propria pada kulit, traktus respiratorius, dan traktus gastrointestinal. Pengikatan IgE pada Sel Mast Antibodi IgE diikat pada sel mast: Reseptor di sel mast, spesifik untuk Fc Region pada rangkaian kuat epsilon. Sel mast yang mengandung IgE didistribusikan ke seluruh tubuh melalui transfer pasif ke dalam serum. Sel-sel mast: Sel jaringan ikat perivaskular yang ditemukan di seluruh jaringan. Bermigrasi ke dalam sistem vaskular sebagai basofil (sel yang sama). Memiliki 5.000 sampai 500.000 antibodi IgE spesifik terhadap antigen pada permukaannya. Level serum IgE merupakan cerminan jumlah IgE yang terikat pada sel. Mengandung mediator yang potensial terhadap hipersensitivitas tipe cepat. Pajanan Ulang Antigen Ikatan antibodi IgE terhadap reseptor sel mediator berhubungan secara langsung terhadap konsentrasi serum IgE. Semakin tinggi level serum IgE, semakin besar ikatan IgE terhadap sel mast dan basofil. Semakin besar sensitivitas pasien, semakin sedikit antigen yang dibutuhkan untuk menginisiasi respon alergi Interaksi antigen dengan IgE spesifik antigen yang terikat pada permukaan membran sel mas: Rangsangan alergen yang berulang oleh alergen spesifik yang sama menginisiasi pertautansilang dua atau lebih molekul IgE yang terikat sel mast. Sinyal dikirim ke bagian dalam sel yang menginisiasi respon molekular: Rasio siklik guanosine monophosphate (GMP) yang meningkat: adenosine monophosphate (AMP). Reseptor Fc berhubungan dengan penggabungan protein transmembran dan adenilat siklase. Penggabungan protein mengaktifkan adenilat siklase ketika pertautan silang ( crosslinking)antigen terhadap dua antibodi IgE terjadi. Adenilat siklase mereduksi adenosine triphosphate (ATP); cGMP/AMP. AMP berkurang melalui kinase yang meningkatkan pelepasan mediator. Pembentukan awal granula sitoplasmik: Bermigrasi ke permukaan membran sel. Bergabung satu sama lain dan membran sel. Keluar melewati membran ke lingkungan-mikro eksternal. 7

Annisa Rahim_012106082
Meningkatkan influks ion Ca2+ dari ruang ekstraseluler: Pelepasan mediator anafilaksis Tipe I. Produksi leukotrien dan prostaglandin, melalui aktivasi metabolisme asam arakidonat (gambar 17-15).

Annisa Rahim_012106082

Degranulasi Sel Mast Ketika dipicu oleh antigen, membran sel mast membolehkan influks kalsium, yang memicu degranulasi dan pelepasan mediator yang berhubungan dengan pembentukan granula (gambar 17-16). Pelepasan asam arakidonat, yang kemudian dimetabolisasi memalui jalur lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien, seperti LTD4 + LTD5 (gambar 17-10), atau jalur siklooksigenase yang menghasilkan prostaglandin dan tromboksan. Mediator yang Sudah Ada dalam Granula Sel Mast Histamin Mediator utama pada reaksi alergi tipe cepat, tapi juga ditemukan pada reaksi tipe lambat. Vasodilatasi Meningkatkan permeabilitas kapiler Bronkokonstriksi Edema jaringan Dua tipe reseptor jaringan: H1: otot polos pembuluh darah, saluran pernapasan, sel goblet, dan mukosa saluran pencernaan. H2: sel T supresor, basofil, sel mast, neutrofil, dan sel lambung. Heparin 9

Annisa Rahim_012106082
Antikoagulan Menekan produksi histamin Meningkatkan fagositosis Tryptase, beta-glucosaminidase Enzim proteolitik Eosinophil and neutrophil chemotactic factors (ECF dan NCF, berturut-turut) TAME (tosyl-L-arginine methyl ester esterase) Enzim degradatif Kininogenase Menyebabkan edema mukosa vasoaktif Mediator yang Terbentuk Kemudian Leukotrien D4 dan E4 Dibentuk dari asam arakidonat melalui jalur lipoksigenase Vasoaktif Kemotaksis Bronkokonstriksi Prostaglandin dan tromboksan Dibentuk dari asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase Bronkokonstriksi Agregasi platelet Vasodilatasi Faktor aktivasi trombosit (PAF= platelet activating factor) Kemotaksis untuk eosinofil Merangsang sel lainnya untuk melepaskan mediator

o o

Sel darah putih 1. Leukosit (Hitung total) Nilai normal 4500-10000 sel/mm3 Nilai normal bayi di bawah 1 bulan atau Neonatus 9000-30000 sel/mm3, Bayi sampai balita rata-rata 5700-18000 sel/mm3, Anak 10 tahun 4500-13500/mm3, ibu hamil rata-rata 600017000 sel/mm3, postpartum 9700-25700 sel/mm3 Interpretasi Hasil: Segala macam infeksi menyebabkan leukosit naik; baik infeksi bakteri, virus, parasit, dan sebagainya. Kondisi lain yang dapat menyebabkan leukositosis yaitu: Anemia hemolitik Sirosis hati dengan nekrosis Stres emosional dan fisik (termasuk trauma dan habis berolahraga) Keracunan berbagai macam zat Obat: allopurinol, atropin sulfat, barbiturat, eritromisin, streptomisin, dan sulfonamid.

10

Annisa Rahim_012106082
o Leukosit rendah (disebut juga leukopenia) dapat disebabkan oleh agranulositosis, anemia aplastik, AIDS, infeksi atau sepsis hebat, infeksi virus (misalnya dengue), keracunan kimiawi, dan postkemoterapi. Penyebab dari segi obat antara lain antiepilepsi, sulfonamid, kina, kloramfenikol, diuretik, arsenik (terapi leishmaniasis), dan beberapa antibiotik lainnya.

Leukosit (hitung jenis) o Nilai normal hitung jenis Basofil 0-1% (absolut 20-100 sel/mm3) Eosinofil 1-3% (absolut 50-300 sel/mm3) Netrofil batang 3-5% (absolut 150-500 sel/mm3) Netrofil segmen 50-70% (absolut 2500-7000 sel/mm3) Limfosit 25-35% (absolut 1750-3500 sel/mm3) Monosit 4-6% (absolut 200-600 sel/mm3) o o Penilaian hitung jenis tunggal jarang memberi nilai diagnostik, kecuali untuk penyakit alergi di mana eosinofil sering ditemukan meningkat. Interpretasi Hasil : Shift to the left. Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen) relatif dibanding limfosit dan monosit dikenal juga dengan sebutan shift to the left. Infeksi yang disertai shift to the left biasanya merupakan infeksi bakteri dan malaria. Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the left antara lain asma dan penyakitpenyakit alergi lainnya, luka bakar, anemia perniciosa, keracunan merkuri (raksa), dan polisitemia vera. Shift to the right. Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif dibanding netrofil disebut shift to the right. Infeksi yang disertai shift to the right biasanya merupakan infeksi virus. Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the right antara lain keracunan timbal, fenitoin, dan aspirin.

Sekret

11

Annisa Rahim_012106082

Buku Ajar Diagnostik Fisik: By Mark H. Swartz

12

Annisa Rahim_012106082

13

Annisa Rahim_012106082

http://www.aoa.org/documents/CPG-11.pdf

14

Annisa Rahim_012106082
http://books.google.co.id/books?id=63xKiuvnpUIC&pg=PA103&lpg=PA103&dq=eye+discharge+muc ous+serous+purulent&source=bl&ots=NKAGrOmHrD&sig=inV8XTbSYo6eif0lw8PREwSOJS8&hl=en&s a=X&ei=SW2eUaiEIsLtrAeQkYFI&redir_esc=y#v=onepage&q=eye%20discharge%20mucous%20serou s%20purulent&f=false

Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu (Kanski, 2003): 1. Penghasil musin a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah inferonasal. b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior. c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus. 2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria. Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik (Sihota, 2007). Antigen IgE+reseptor Fc di sel mast degranulasi mediator2 hiperplasi sel goblet hipersekresi mucus. Tanda-tanda Inflamasi Wilmana (1995), Robbins dan Kumar (1995), serta Abrams (1994) menyebutkan bahwa gejala proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kemerahan (rubor), panas (calor), rasa nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan gangguan fungsi (functio laesa). 15

Annisa Rahim_012106082
a. Kemerahan (rubor) Kemerahan atau rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai darah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini yang dinamakan hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1994). b. Panas (calor) Panas atau calor biasanya terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut (Abrams, 1994). Panas pada tempat inflamasi dapat disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah dan dapat juga karena adanya pirogen yang menggangu pusat pusat pengatur panas dihipotalamus (Kee dan Hayes, 1996). Sebenarnya, panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 370C, yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab daerah (pada suhu 370C) yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena lebih banyak dari pada yang disalurkan ke daerah normal (Abrams, 1994). c. Rasa nyeri (Dolor) Rasa nyeri atau dolor dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai cara, perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf, dan pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang pasti dapat menimbulkan rasa sakit (Abrams, 1994). d. Pembengkakan (tumor) Pembengkakan atau tumor merupakan akibat eksudasi disertai peningkatan cairan intertisial (Robbins dan Kumar, 1995). Pada keadaan dini reaksi peradangan sebagian eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat (Abrams, 1994). e. Gangguan fungsi (functio laesa) Gangguan fungsi atau functio laesa adalah reaksi peradangan yang telah dikenal. Mudah untuk mengerti mengapa bagian yang bengkak dan sakit disertai sirkulasi yang abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal berfungsi secara abnormal (Abrams, 1994). Hiperemia pada radang akan meningkatkan suhu lingkungan mikro sel-sel yang mengganggu fungsi enzim, atau meningkatnya aktivitas metabolisme pada lokasi radang akan menurunkan pH dan mengganggu fungsi dengan cara tersebut (Robbins dan Kumar, 1995).

Cornea and External Eye Disease: Corneal Allotransplantation, Allergic

Semua organ tubuh kita memberikan respon imun, termasuk mata, yang dibagi menjadi dua kategori utama yaitu respon imun humoral dan selular. Respon imun humoral terutama terjadi melalui IgE dan sel mast yang mengawali reaksi alergi. IgG kadar tinggi dalam darah dapat berperan dalam penyakit autoimun yang mengenai mata seperti pemfigoid. Sedangkan respon imun selular 16

Annisa Rahim_012106082
melibatkan sel T. Respon imun yang efektif terhadap antigen benda asing membutuhkan sel efektor dalam suatu aturan lintasan melalui jaringan, meskipun beberapa faktor yang dapat larut (seperti sitokin) berperan penting terhadap aktivasi sel - sel imun, leukosit masih diperlukan sebagai tanda untuk lalu lintas efektif. Mata merupakan kelanjutan susunan saraf pusat sedangkan konjungtiva merupakan kelanjutan dari jaringan ikat, berupa mukosa yang berhubungan dengan jaringan limfosit. Epitel konjungtiva terdiri dari suatu kelompok sel dendritik yang dikenal sebagai sel langerhans, dimana fungsinya sama dengan makrofag di jaringan - jaringan lain dalam tubah, yaitu sebagai sel penjaga pada sistem imun permukaan okular. Imunitas humoral pada konjungtiva lebih banyak melibatkan IgA, dan imunitas selular yang didominasi oleh CD4+ sel T. Adanya sel - sel imun, konjungtiva mempunyai pembuluh limfatik yang kaya suplainya, yang menjadi tempat lintasan sel - sel imun dan antigen menuju aliran kelenjar limf dimana respon imun yang didapat lebih banyak terjadi. Sel mast ditemukan dalam konjungtiva, koroid dan saraf mata serta mukosa konjungtiva yang merupakan komponen mata. Vitreus dan kornea avaskular dan tidak dimasuki sel mast. Uvea yang terdiri dari iris, badan siliaris dan choroid adalah jaringan mata yang paling ekstensif vaskularisasinya. Uvea terlibat primer dalam hipersensitivitas selular dan penyakit kompleks imun, sedangkan konjungtiva dilibatkan primer dalam hipersensitivitas cepat dan alergi. Kornea avaskular dan tidak terdapat sel mast, jadi pada keadaan normal tidak mengalami reaksi alergi akut, kornea juga disokong oleh sel sel dendritik seperti dikonjungtiva, sel -sel dendritik pada epitel kornea juga disebut sel - sel langerhans. Kornea turut berpartisipasi dalam reaksi imun melalui jalur humoral dan komponen komponen sel imun yang masuk dari periper melalui pembuluh darah limbus. . * Gambaran imunologi di konjungtiva Konjungtiva memberikan banyak gambaran tipikal. Mukosa tersebut terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan epitel dan lapisan konektif (subtansia propia). Konjungtiva memiliki vaskularisasi dan drainase limfatik yang baik menuju kelenjar preaurikular dan submandibula. Jaringan tersebut penuh dengan sel Langerhans (SL), sel dendritik (SD), dan makrofag yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC). Folikel- folikel konjungtiva bisa membesar setelah infeksi atau inflamasi tertentu pada permukaan okular, ditandai dengan kumpulan limfosit T, limfosit B, dan APC. Jika diamati fungsinya seperti peyer patch pada usus halus, dimana folikel menunjukkan adanya proses antigen oleh imun lokal yang menyebar melalui epitel tipis yang kemudian diproses oleh limfosit T dan limfosit B secara lokal pada folikel konjungtiva, terutama subtansia propia, diinfiltrasi penuh oleh sel efektor potensial, yang dapat didominasi oleh sel mast. Seluruh isotipe antibody dijumpai, dan merupakan produksi lokal saat terjadi kebocoran pasif. IgA merupakan antibodi yang utama pada tear film. Molekul yang terlarut pada sistim imun bawaan juga diproduksi, misalnya komplemen. Konjungtiva menyokong respons efektor imun didapat dan bawaan, terutama respons yang diperantarai antibodi dan limfosit, meskipun degranulasi sel mast yang diperantai IgE adalah yang paling sering dan penting. * Sistem imunoregulator Sistem imunoregulator terpenting pada konjungtiva adalah jaringan limfoid yang berhubungan dengan mukosa yaitu mucosa associated lymphoid tissue (MALT). Konsep MALT merupakan jaringan interkoneksi dengan mukosa (susunan epitel traktus respiratorik, usus, dan traktus urogenital dan permukaan okular serta adneksanya) yang mempunyai gambaran imunologi spesifik : - terdapat APC 17

Annisa Rahim_012106082
- struktur tertentu untuk memperoses antigen yang terlokalisir (payer?s pactch dan tonsil) - sel efektor unik (misal; limfosit T intraepitel dan sejumlah sel mast) Namun, aspek MALT yang paling nyata adalah distribusi dan penempatan efektor limfosit T dan B yang diinduksi oleh imunisasi pada satu sisi mukosa, tetapi untuk semua MALT karena adanya persamaan ekspresi molekul adhesi sel yang spesifik pada venula-venula post kapiler dari pembuluh darah mukosa. Respons imun MALT merangsang T helper 2 (Th2) yang menyebabkan produksi antibodi IgA dan IgE. Imunisasi antigen terlarut melalui MALT, terutama pada usus sering menimbulkan toleransi oral, terutama oleh karena aktivasi limfosit T regulator mirip T2 yang mensupresi sel efektor hipersensitivitas tipe lambat Th I. Contoh klinis Respon imun terhadap konjungtivitis viral. Konjungtivitis yang disebabkan oleh infeksi adenovinus merupakan infeksi okular yang sering. Meskipun penjelasan tentang respon imun setelah infeksi adenovirus pada konjungtiva belum diketahui, hal tersebut dapat diketahui melalui penelitian tentang infeksi virus pada mukosa lain, yang diujikan pada hewan. Setelah infeksi dengan adenovirus, sel -sel epitel mulai bermatian dalam waktu 36 jam. Mekanisme imun bawaan dapat membatasi infeksi aktif segera setelah infeksi. Misalnya, sel yang terinfeksi memproduksi sitokin berupa interferon yang membatasi penyebaran infeksi virus dan menarik sel efektor nonspesifik seperti makrofag dan neutrofil. Namun, respons imun didapat dianggap lebih penting dalam pemberantasan virus. Respons didapat primer dimulai ketika makrofag dan sel dendritik terinfeksi atau mengambil serpihanserpihan sel dan antigen virus Baik APC maupun antigen ekstrasel dibawa ke kelenjar preaurikular dan submandibular sepanjang limfatik, dimana respons limfosit T helper dan antibody diaktivasi, sehingga timbul limfadenopati. Proses imun lokal dapat terjadi pada folikel jika virus menyerang kapsul epitel. Selama fase efektor awal dari respons limfosit B - primer, antibodi IgM dilepaskan ke dalam darah yang tidak begitu efektif untuk mengontrol infeksi permukaan, meskipun dapat mencegah terjadinya hiperemis yang luas. Namun, limfosit B yang mengandung IgM menginfiltrasi stroma konjungtiva dan dapat melepas antibodi secara lokal pada konjungtiva. Lebih lanjut, respons effektor primer, pengaktifan IgA atau IgG yang berperan sebagai media respon efektor lokal, seperti netralisasi atau lisis sel terinfeksi yang di mediasi komplemen. Sel effektor paling aktif memberikan respons terhadap infeksi viral akut yang berasal dari sel natural killer dan citotoksic T lymphocyte (CTL) CD8, yang membasmi epitel terinfeksi. Namun, virus mencegah ekspresi major histocompatibility complex (MHC) kelas I pada sel yang terinfeksi dan menghindar pembasmiannya oleh CTL. Imunitas didapat, mengaktifkan makrofag melalui mekanisme hipersensitivitas antiviral tipe lambat (delayed hypersensitivity atau DH) selama terinfeksi. Respons DH terhadap antigen virus diduga berpengaruh terhadap perkembangan infiltrat kornea subepitel yang muncul pada beberapa pasien dengan infeksi adenovirus. Respon sekunder dari konjungtiva, oleh karena paparan primer sebelumnya terhadap virus yang sama pada daerah mukosa lain, terdapat perbedaan mekanisme efektor yang di mediasi oleh antibodi. Karena MALT, antivirus IgA tidak hanya terdapat pada darah tetapi juga pada air mata sebagai hasil dari diferensiasi limfosit B pengekresi IgA pada gladula lakrimalis, substansia propia dan folikel. Dalam hal ini, infeksi berulang sering dicegah dengan adanya antibodi penetral yang tersebar pada air mata dan folikel, mengikuti infeksi primer. 18

Annisa Rahim_012106082
Namun, inokulasi virus berulang menghasilkan sawar antibodi ini, atau jika virus telah memutasi glikoprotein permukaannya yang telah dikenali oleh antibodi, kemudian infeksi terjadi. Proses imun tambahan dapat muncul dalam folikel dan aliran kelenjar. Efektor CTL memori spesifik efektif menghilangkan infeksi dalam beberapa hari. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3504/3/09E01374.pdf.txt

No lymphatic vessels drain the anterior chamber, vitreous cavity or subretinal space, although lymph drainage for the CONJUNCTIVA, sclera and choriocapillaris exists. Aqueous humor from the anterior chamber drains through the trabecular meshwork into the CANAL OF SCHLEMM, which enters directly into the venous circulation that serves the conjunctiva, iris, ciliary body, sclera and choriocapillaris. A separate venous network drains the neural retina, which also lacks lymphatics. http://www.nature.com/nri/journal/v3/n11/fig_tab/nri1224_F2.html Mata merupakan bagian tubuh yang unik yang dapat memberikan petanda dari proses imun aktif langsung. Mata memiliki mekanisme perlindungan yang bersifat non imundan imun secara alamiah.4, 5, 7, 8 A. PROTEKSI NON IMUN (BARIER ANATOMIK) : 19

Annisa Rahim_012106082
Mekanisme perlindungan yang bersifat non imun secara alamiah antara lain : Palpebra, yang melindungi mata dari paparan dengan lingkungan luar. Palpebra melindungi permukaan okuler terhadap organisme yang tersebar di udara, benda asing dan trauma minor. 2. Bulu mata, mampu mendeteksi adanya benda asing dan segera memicu kedipan mata. 3. Air mata, mempunyai efek mengencerkan dan membilas. Memegang peranan dalam menjaga integritas dari epitel konjungtiva dan kornea yang berfungsi sebagai barier anatomi. Pembilasan yang terus menerus pada permukaan okuler mencegah melekatnya mikroorganisme pada mata. 5, 7 Integrasi antara palpebra, silia, air mata dan permukaan okuler merupakan sebuah mekanisme proteksi awal terhadap benda asing. Epitel kornea adalah epitel skuamosa non keratin yang terdiri hingga lima lapis sehingga akan menyulitkan mikroorganisme untuk menembus lapisan-lapisan tersebut. Selain itu kornea juga diinervasi oleh ujung serabut saraf tidak bermielin sehingga akan memberikan peringatan awal yang sangat cepat bagi mata terhadap trauma dikarenakan oleh sensitifitasnya.5, 7 1. B. PROTEKSI IMUN : SISTEM LAKRIMALIS Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk permukaan okuler adalah Mucosa-Associated Lymphoid Tissue (MALT) . MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah mukosa yang memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu terdapat banyak APC, struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (tonsil) dan sel efektor (sel T intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan mukosa. 5, 7, 9, 12 Jaringan limfoid difus pada permukaan glandula lakrimal, duktus lakrimal, konjungtiva (conjunctival associated lymphoid tissue atau CALT) dan berlanjut sampai kanalikulus serta sistem drainase lakrimal (lacrimal drainadeassociated lymphoid tissue atau LDALT) secara keseluruhan disebut Eye-Associated Lymphoid Tissue (EALT). EALT merupakan kumpulan sel-sel limfoid yang terletak pada epitel permukaan mukosa. Sel-sel ini menghasilkan antigen dan mampu menginduksi terjadinya respon imun seluler maupun humoral. Kelenjar lakrimalis merupakan penghasil IgA terbesar bila dibandingkan dengan jaringan okuler lainnya.12,13 TEAR FILM Air mata mengandung berbagai mediator seperti histamin, triptase, leukotrin dan prostaglandin yang berhubungan dengan alergi pada mata. Mediator-mediator itu berasal dari sel mast. Semuanyadapat menimbulkan rasa gatal, kemerahan, air mata dan mukus yang berhubungan dengan penyakit alergi akut dan kronis. Pengerahan komponen seluler lokal melibatkan molekul adhesi sepertiIntercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) di epitel konjungtiva yang meningkatkan adhesi leukosit ke epitel dan endotel. Ekspresi molekul adhesi diatur oleh banyak komponen ekstraseluler dan intraseluler seperti sitokin proinflamasi, matriks protein ekstraseluler dan infeksi virus. 5, 7 Pada lapisan mukus yang diproduksi oleh sel goblet dan sel epitel konjungtiva, glikocalyx yang disintesis epitel kornea membantu perlekatan lapisan mukus sehingga berhubungan dengan imunoglobulin pada lapisan akuos. Pada lapisan akuos sendiri, banyak mengandung faktor-faktor terlarut yang berperan sebagai antimikroba. Seperti laktoferin, lisozim, dan -lisin. Laktoferin berfungsi utama dalam mengikat besi yang dibutuhkan oleh pertumbuhan bakteri, sehingga bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Lisozim efektif dalam menghancurkan 20

1.

2.

Annisa Rahim_012106082
dinding sel bakteri gram positif. -lisin memiliki kemampuan dalam merusak dinding sel mikroorganisme. Selain faktor terlarut tersebut, lapisan akuos juga mengandung banyak IgA yang sangat efektif dalam mengikat mikroba, lalu melakukan opsonisasi, inaktivasi enzim dan toksin dari bakteri, serta berperan langsung sebagai efektor melalui Antigen Dependent Cell Cytotoxycity (tanpa berinteraksi dengan komplemen).7, 8, 9 KONJUNGTIVA Konjungtiva terdiri dari dua lapisan : lapisan epitel dan lapisan jaringan ikat yang disebut substansia propria. Konjungtiva tervaskularisasi dengan baik dan memiliki sistem drainase limfe yang baik ke limfonodi preaurikularis dan submandibularis. Jaringan ini mengandung banyak sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang potensial. Folikel pada konjungtiva yang membesar setelah infeksi ataupun inflamasi pada ocular surface menunjukkan adanya kumpulan sel T, sel B dan APC. Folikel ini merupakan daerah untuk terjadinya respon imun terlokalisir terhadap antigen oleh sel B dan sel T secara lokal di dalam folikel.5, 7,13

3.

Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk ocular adalah Mucosa-Associated Lymphoid Tissue.MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah mukosa yang memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu banyak terdapat APC, struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (Peyers patches atau tonsil) dan sel efektor (sel T intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan mukosa.5, 7, 9 Substansia propria kaya akan sel-sel imun dari bone marrow yang akan membentuk sistem imun mukosa pada konjungtiva yang dikenal dengan Conjunctiva Associated Limphoied Tissue (CALT) yang merupakan salah satu bagian dari MALT. CALT merupakan sistem imunoregulasi yang utama bagi konjungtiva. Pada substansia propria terdapat neutrofil, limfosit, IgA, IgG, sel dendrite dan sel mast. Eosinofil dan basofil tidak ditemukan pada konjungtiva yang sehat. Konjungtiva mengandung banyak sel mast. IgA merupakan antibodi yang paling banyak dalam lapisan air mata. IgA menyerang 21

Annisa Rahim_012106082
bakteri dengan cara membungkusnya sehingga mencegah terjadinya perlekatan antara bakteri dengan sel epitel. Molekul terlarut yang banyak adalah komplemen. Respon imun yang terjadi pada konjungtiva sebagian besar merupakan respon imun yang dimediasi oleh antibodi dan limfosit, namun juga terdapat respon imun yang dimediasi oleh IgE terhadap sel mast pada reaksi alergi. 5, 7, 9 SKLERA Sklera sebagian besar terdiri atas jaringan ikat kolagen. Hal ini menyebabkan sklera bersifat relatif lebih avaskuler dibandingkan dengan konjungtiva. Karenanya pada sklera hanya terdapat sedikit sel imun jika dibandingkan dengan konjungtiva. Dalam keadaan normal sklera hanya sedikit mengandung sel-sel limfosit, makrofag dan neutrofil. Namun sebagai respon imun saat terjadi inflamasi pada sklera sel-sel imun tersebut memasuki sklera melalui pembuluh darah episklera dan pembuluh darah koroid Pada saat istirahat IgG ditemukan dalam jumlah yang cukup besar. 5, 7, 15 KORNEA Kornea unik karena bagian perifer dan sentral jaringan menunjukkan lingkungan mikro imunologis yang jelas berbeda. Hanya bagian limbus yang tervaskularisasi. Limbus banyak mengandung sel Langerhans, namun bagian perifer, parasentral dan sentral dari kornea dalam keadaan normal sama sekali tidak mengandung APC. Namun demikian, berbagai stimulus dapat membuat sitokin tertentu (seperti IL-1) menarik APC ke sentral kornea. Komplemen, IgM dan IgG ada dalam konsentrasi sedang di daerah perifer, namun hanya terdapat IgG dengan level yang rendah pada daerah sentral. 5, 7, 16 Sel kornea juga terlihat mensintesis berbagai protein imunoregulasi dan antimikrobial. Sel efektor tidak ada atau hanya sedikit terdapat pada kornea normal, namun PMN, monosit dan limfosit siap siaga bermigrasi melalui stroma jika stimulus kemotaktik teraktivasi. Limfosit, monosit dan PMN dapat pula melekat pada permukaan endotel selama inflamasi, memberikan gambaran keratik presipitat ataupun garis Khodadoust pada rejeksi endotel implan kornea. Proses lokalisasi dari suatu respon imun tidak terjadi pada kornea, tidak seperti halnya pada konjungtiva. 5, 7, 16 Kornea juga menunjukkan suatu keistimewaan imun (Immune Privilege) yang berbeda dengan uvea. Keistimewaan imun dari kornea bersifat multifaktorial. Faktor utama adalah struktur anatomi limbus yang normal, dan lebih khusus lagi kepada keseimbangan dalam mempertahankan avaskularitas dan tidak adanya APC pada daerah sentral kornea. Ditambah oleh tidak adanya pembuluh limfe pada daerah sentral, menyebabkan lambatnya fase pengenalan pada daerah sentral. Meski demikian, sel-sel efektor dan molekul-molekul lainnya dapat menginfiltrasi kornea yang avaskuler melalui stroma. Faktor lain adalah adanya sistem imunoregulasi yang intak dari bilik mata depan, dimana mengadakan kontak langsung dengan endotel kornea. 5, 7, 16 BILIK MATA DEPAN, UVEA ANTERIOR DAN VITREUS Bilik mata depan merupakan rongga berisi cairan humor akuos yang bersirkulasi menyediakan medium yang unik untuk komunikasi interseluler antara sitokin, sel imun dan sel pejamu dari iris, badan siliar dan endotel kornea. Meskipun humor akuos relatif tidak mengandung protein jika dibandingkan dengan serum (sekitar 0,1 1,0 % dari total protein serum), namun humor akuos mengandung campuran kompleks dari faktor-faktor biologis, seperti sitokin, neuropeptida, dan inhibitor komplemen yang mampu mempengaruhi peristiwa imunologis dalam mata. Terdapat blood aquous barrier yakniTight junction antara epitel nonpigmen memberikan barier yang lebih eksklusif yang dapat mencegah makromolekul interstisiel menembus secara langsung melalui badan silier ke humor akuos. Meski demikian, sejumlah kecil makromolekul plasma melintasi barier epitel nonpigmen ini dan dapat meresap dengan difusi ke anterior melalui uvea memasuki bilik mata depan melalui permukaan iris anterior. 5, 7 22

4.

5.

6.

Annisa Rahim_012106082
Intraokuler tidak mengandung pembuluh limfe. Pengaliran sangat tergantung pada saluran aliran humor akuos untuk membersihkan substansi terlarut dan pada endositosis oleh sel endotelial trabekula meshwork atau makrofag untuk pembersihan partikel-partikel.5, 7 Traktus uvea merupakan bagian yang penting dalam sudut pandang imunologi.Uvea banyak mengandung komponen seluler dari sistem imun termasuk makrofag, sel mast, limfosit dan sel plasma.Iris dan badan siliar mengandung banyak makrofag dan sel dendritik yang berperan sebagai APC ataupun sebagai sel efektor. Proses imun tidak mungkin terjadi secara terlokalisasi, namun APC meninggalkan mata melalui trabekula meshwork bergerak ke lien tempat terjadinya proses imun seluler, berupa aktivasi sel T supresor CD8+. Konsentrasi IgG, komplemen dan kalikrein sangat rendah didapat pada bilik mata depan yang normal.5, 7 Uvea anterior memiliki sistem imunoregulasi yang telah digambarkan sebagai immune privilege (keistimewaan imun). Konsep modern mengenai immune privilege ini mengacu pada pengamatan bahwa implan tumor atau allograft dengan tidak diharapkan dapat bertahan lebih baik dalam regio ini, sedangkan implan atau graft yang sama mengalami penolakan lebih cepat pada daerah tanpa keistimewaan imun. Daerah immune privilege lain yaitu ruang subretina, otak dan testis. Meskipun sifat dasar dari antigen yang terlibat mungkin penting, immune privilege dari uvea anterior telah diamati dengan banyak antigen, meliputi antigen transplantasi, tumor, hapten, protein terlarut, autoantigen, bakteri dan virus.5, 7 Immune privilege dimediasi oleh pengaruh fase aferen dan efektor dari lintasan respon imun. Imunisasi dengan menggunakan segmen anterior sebagai fase aferen dari respon imun primer berakibat dihasilkannya efektor imunologis yang unik. Imunisasi seperti dengan protein lensa atau autoantigen lain melalui bilik mata depan tidak menyebabkan terjadinya pola imunitas sistemik yang sama seperti yang ditimbulkan oleh imunisasi pada kulit. Imunisasi oleh injeksi bilik mata depan pada hewan coba menyebabkan terjadinya perubahan bentuk imunitas sistemik terhadap antigen yang disebut Anterior Chamber-Associated Immune Deviation (ACAID).5, 7, 13 Pada vitreus tidak ditemukan kekhususan tertentu. Gel vitreus dapat mengikat protein dan berfungsi sebagai depot antigen. Gel vitreus secara elektrostatik dapat mengikat substansi protein bermuatan dan mungkin kemudian berperan sebagai depot antigen dan substrat untuk adhesi sel leukosit. Karena vitreus mengandung kolagen tipe II, ia dapat berperan sebagai depot autoantigen potensial pada beberapa bentuk uveitis terkait arthritis.5, 7, 12 RETINA DAN KOROID Sirkulasi retina menunjukkan adanya blood retinal barrier pada tight junction antara sel endotel pembuluh darah. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabel terhadap makromolekul, memungkinkan terjadinya transudasi sebagian besar makromolekul plasma ke ruang ekstravaskular dari koroid dan koriokapiler. Tight junction antar sel RPE menyediakan barier fisiologis antara koroid dan retina. Pembuluh limfe tidak didapatkan pada retina dan koroid, namun APC ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Mikroglia (derifat monosit) pada retina memiliki peran dalam menerima stimulus antigenik, dapat mengadakan perubahan fisik dan bermigrasi sebagai respon terhadap berbagai stimuli.5, 7, 12 RPE dapat diinduksi untuk mengekspresikan molekul MHC kelas II, yang menunjukkan bahwa RPE juga dapat berinteraksi dengan sel T. Namun pada keadaan normal, segmen posterior tidak mengandung sel limfosit. Perisit yang berada pada pembuluh darah retina dapat mensintesis berbagai sitokin yang berbeda (seperti TGF-)yang dapat mengubah respon imun yang terjadi setelahnya. Proses imun yang terlokaliser juga tidak terjadi pada segmen posterior ini. 5, 7, 13 1. IMMUNE PRIVILEGE (KEISTIMEWAAN IMUNITAS) 23

7.

Annisa Rahim_012106082
Immune privilege menggambarkan beberapa organ tubuh yang memiliki kemampuan toleransi pengenalan antigen tanpa menyebabkan terjadinya inflamasi sebagai respon imun. Beberapa organ yang memiliki immune previlegeadalah otak, mata, uterus dan testis. Immune previlege dapat dikatakan sebagai evolusi dari adaptasi tubuh untuk melindungi fungsi organ vital dari respon imun yang dapat menimbulkan kerusakan. Inflamasi pada otak atau mata dapat menyebabkan hilangnya fungsi organ tersebut.10, 17 Keberadaan immune previlege pada mata diketahui pada akhir abad 19 oleh Medawar. Mata merupakan struktur dengan keistimewaan imunitas, terlindungi dari sistem imun oleh berbagai mekanisme. Perlu ditekankan bahwa keistimewaan imunitas bukan berarti ketidakmampuan host memicu respon imun, namun merupakan kemampuan menghindarkan diri dari konsekuensi berat yang terjadi akibat adanya proses inflamasi. Pada tahap dimana terjadi gangguan dari mekanisme ini, akan menyebabkan inflamasi yang lebih berat yang bias mengancam penglihatan. Baik dari faktor infeksi maupun mekanisme imun, sangat berpengaruh dalam memicu kelemahan mekanisme keistimewaan imunitas mata.5, 7, 10 Faktor-faktor yang mempengaruhi keistimewaan imunitas pada mata: Adanya Blood Ocular Barrier Tidak terdapatnya drainase limfatik pada mata Adanya faktor-faktor imunomodulator pada humor akuous Adanya ligand imunomodulator pada permukaan sel-sel parenkim okular Adanya kemampuan toleransi imun pada bilik mata depan dan bilik mata belakang (Anterior Chamber Associated Immune Deviation / ACAID). 5, 7, 10, 17

1. 2. 3. 4. 5.

2. INFLAMASI Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap cidera. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran vaskulatur mikro dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Sel fagosit diperlukan untuk menyingkirkan bahan-bahan asing dan mati di jaringan yang cidera. Mediator inflamasi yang dilepas fagosit seperti enzim, radikal bebas anion superoksid dan oksida nitrit berperan untuk menghancurkan makromolekul dalam cairan eksudat. Namun respon inflamasi merupakan resiko yang harus diperhatikan pejamu. Bila terjadi rangsangan yang menyimpang dan menetap atau bahkan ditingkatkan. Reaksi dapat berlanjut yang menimbulkan kerusakan jaringan pejamu dan penyakit.4, 5, 7 Pada inflamasi akut terjadi reaksi yang cepat terhadap benda asing, dapat beberapa jam sampai hari. Gejala inflamasi dini ditandai dengan lepasnya berbagai mediator sel mast seperti histamin dan bradikinin, yang diikuti oleh aktivasi komplemen dan sistem koagulasi. Sel endotel dan sel inflamasi akan melepas mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas. Netrofil yang dikerahkan ke lokasi cidera akan melepas produk toksik. Bila penyebab inflamasi tidak dapat disingkirkan atau terjadi pajanan berulang-ulang dengan antigen, akan terjadi inflamasi kronik yang dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi sama sekali.4,5, 7 Bila inflamasi terkontrol, neutrofil tidak lagi dikerahkan dan berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, makrofag, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran inflamasi kronik. Dalam inflamasi kronik ini, monosit-makrofag memiliki 2 peran yaitu 24

Annisa Rahim_012106082
memakan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi serta modulasi respon imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin. Monosit-makrofag juga mempunyai fungsi dalam penyembuhan luka dan memperbaiki parenkim dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin. 4, 5, 7 Inflamasi yang terjadi pada praktek sehari-hari biasanya berfungsi secara fisiologis pada level subklinis tanpa manifestasi yang jelas. Misalnya, pada sebagian besar individu, paparan alergen permukaan okular yang terjadi tiap hari pada semua manusia atau kontaminasi bakteri selama operasi katarak yang terjadi pada sebagian besar mata biasanya dibersihkan oleh mekanisme respon imun bawaan atau adaptif tanpa inflamasi yang jelas. 4, 5, 7 3. REAKSI HIPERSENSITIVITAS Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya berfungsi protektif, namunrespon imun juga dapat menimbulkan akibat buruk.Hal ini disebut dengan penyakit hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. 7 Reaksi hipersensitivitas secara umum dibagi menurut mekanismenya oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell pada tahun 1963. Lalu klasifikasi ini ditambahkan menjadi 5 Tipe. 4, 6, 7 Hipersensitivitas Tipe I : Alergi Hipersensitivitas tipe I terdiri atas tiga fase. a. alergen menyebabkan produksi IgE pada paparan pertama yang disebut fase sensitasi. IgE kemudian kontak dengan sel mast dan basofil. b. Fase kedua terjadi pada paparan kedua oleh antigen yang sama, dimana akan diproduksi lebih banyak IgE dan terjadi degranulasi sel mast sehingga menghasilkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin dan bradikin.4, 5, 6, 7, 18 c. Fase ketiga adalah terjadinya reaksi sebagai efek dari mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast dengan aktivitas farmakologik. Manifestasi okuler adalah konjungtivitis alergi, konjungtivitis papil raksasa, 4, 5, 6, 7, 18 keratokonjungtivitis atopik dan keratokonjungtivitis vernal. Hipersensitivitas Tipe II : Sitotoksik Tipe ini melibatkan antibodi IgG dan IgM, yang dapat menyebabkan lisis seluler akibat dari adanya dan teraktivasinya sel inflamasi yang berinteraksi dengan komplemen. Antibodi akan mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc -R, dimana salah satunya adalah sel NK. Sel NK akan menyebabkan lisisnya sel yang terpapar antigen melalui Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC) (tanpa interaksi dengan komplemen). Manifestasi okuler : Ulkus Mooren dan Sikatriks Pemfigoid, Dermatitis Herpetiformis.4, 5, 6, 7, 18 Hipersensitivitas Tipe III : Kompleks Antigen-Antibodi Hipersensitivitas tipe III terjadi akibat penimbunan kompleks antigen-antibodi. Normalnya, kompleks imun akan disingkirkan oleh fagosit, namun bila terdapat kompleks imun yang persisten akan mengaktifkan komplemen sehingga sel inflamasi memasuki deposit kompleks imun. 4, 5, 6, 7

25

Annisa Rahim_012106082
Karena pembuluh darah lebih mudah untuk menjadi tempat deposit kompleks imun, maka badan siliar merupakan bagian yang mudah mengalami reaksi tipe ini. Manifestasi okuler : Uveitis, Sindroma Behcet dan Sindroma Sjgren.4, 5, 6, 7 Hipersensitivitas Tipe IV : Tipe Lambat Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe ini diawali oleh adanya peptida antigen yang dipresentasikan oleh APC ke sel T. Sel T ini akan bermigrasi ke jalan masuk antigen dan melepaskan mediator inflamasi seperti TNF. Reaksi ini terdiri dari 2 tipe yaitu Delayed Type Hypersensitivity (DTH) dan T Cell Mediated Cytolisis (TMC). Pada DTH, sel CD4+ Th 1 melepas sitokin IFN- yang mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai sel efektor. Pada DTH terdapat 2 fase yaitu fase sensitasi (pengenalan) dan fase peningkatan respon imun. Pada TMC, sel CD8+ yang langsung membunuh sel sasaran (efektor).Manifestasi okuler : Simpatetik oftalmia, Uveitis idiopatik, alergi okuler, reaksi penolakan transplantasi kornea 4, 5, 6, 7, 18

Hipersensitivitas Tipe V : Stimulasi Merupakan kategori yang baru dimana autoantibodi terikat pada reseptor hormon yang menyerupai hormon itu sendiri. Hal ini mengakibatkan stimulasi terhadap sel target. Contoh reaksi ini adalah pada tirotoksikosis.7

26

Annisa Rahim_012106082

27

Annisa Rahim_012106082

http://wenliang.myweb.uga.edu/mystudy/immunology/ScienceOfImmunology/Hypersensiti vitydiseases.html GATAL MEKANISME RASA GATAL Sampai saat ini neurofisiologi rasa gatal masih belum jelas. Terdapat 3 teori yang diajukan untuk menerangkan mekanisme rasa gatal, yaitu : 1. Teori Spesifisitas Teori ini menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok sel saraf sensoris yang hanya memberikan respon terhadap stimuli pruritogenik. Teori ini didukung oleh bukti-bukti adanya serabut saraf C spesifik untuk rasa gatal yang menghantarkan rangsang rasa gatal dari perifer ke sentral dan terdapatnya sel saraf yang sensitif terhadap histamin pada traktus spinotalamikus. Eksperimen pada awal 1980 mendapatkan bahwa peningkatan intensitas rasa gatal menginduksi rasa gatal yang lebih hebat tetapi

28

Annisa Rahim_012106082
tidak menyebabkan nyeri. Hal ini memperkuat teori bahwa rasa gatal dan nyeri adalah sensasi yang terpisah yang disalurkan melalui jaras yang berbeda 2. Teori Intensitas Teori ini mengatakan bahwa perbedaan intensitas stimulus berperan penting pada aktivasi serabut saraf. Intensitas stimulus yang rendah akan mengaktivasi serabut saraf rasa gatal, sedangkan peningkatan intensitas stimulus akan mengaktivasi serabut saraf nyeri. Kelemahan teori ini adalah perangsangan dengan stimulus noksius (termal dan mekanik) pada dosis ambang rangsang tidak menimbulkan rasa gatal. Pemeriksaan mikroneurografi juga tidak dapat membuktikan kebenaran teori ini. Pengobatan yang menghambat nyeri tidak dapat menghambat rasa gatal melainkan malah sebaliknya, menyebabkan rasa gatal. 3. Teori Selektivitas Teori ini menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok nosiseptor aferen yang secara selektif memberikan respon terhadap stimulus pruritogenik. Kelompok nosiseptor ini memiliki hubungan sentral yang berbeda dan mengaktifkan sel saraf sentral yang berbeda pula. Teori ini didukung oleh penemuan yang mendapatkan bahwa stimulus mekanik, termal dan kimia noksius dengan memakai bradikinin lebih nyata menginduksi rasa gatal daripada nyeri pada penderita gatal kronis. 4.Sensitisasi Rasa gatal kronis memiliki banyak persamaan dengan nyeri kronis, keduanya diduga melalui mekanisme perifer dan sentral. Mediator inflamasi klasik, antara lain prostaglandin, bradikinin, leukotrien, serotonin, pH yang rendah dan substansi P, dapat mensensitisasi nosiseptor secara kimiawi. Mediator inflamasi tersebut menurunkan ambang rangsang reseptor terhadap mediator lain seperti histamin dan capsaicin, sebagai akibatnya terjadi induksi baik pada nyeri maupun rasa gatal. 4.1. Sensitisasi perifer Pada penderita gatal kronis, dermatitis atopik dan dermatitis kontak terdapat peningkatan mediator neurotropin 4 (NT-4) serta ekspresi serum nerve growth factor (NGF).5,7,8 NGF dan NT-4 juga dapat mensensitasi nosiseptor. Peningkatan mediator tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat perifer terjadi mekanisme sensitisasi yang sama antara nyeri dan rasa gatal sehingga sampai sekarang belum dapat dibedakan antara nosiseptor dan pruriseptor.5,7 4.2. Sensitisasi sentral Ada banyak persamaan mekanisme sensitisasi sentral pada nyeri dan rasa gatal.5,7,8 Aktivitas nosiseptor kimia pada penderita gatal kronis menimbulkan sensitisasi sentral sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap rasa gatal. Terdapat dua tipe peningkatan sensitivitas terhadap rasa gatal, yang pertama adalah aloknesis yang analog dengan alodinia terhadap rangsang nyeri. Alodinia artinya rabaan atau tekanan ringan yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri oleh penderita dirasakan nyeri, sedangkan aloknesis adalah rabaan atau tekanan ringan yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa gatal oleh penderita dirasakan gatal. Aloknesis sering dijumpai, bahkan pada penderita dermatitis atopik aloknesis merupakan gejala utama. 29

Annisa Rahim_012106082
Aloknesis dapat menerangkan keluhan rasa gatal yang berhubungan dengan berkeringat, perubahan suhu mendadak, serta memakaidan melepas pakaian. Seperti halnya alodinia, fenomena ini memerlukan aktivitas sel saraf yang terus berlangsung (ongoing activity). Tipe kedua adalah hiperknesis punktat yang analog dengan hiperalgesia. Pada hiperalgesia, suatu rangsang nyeri berupa tusukan ringan (pinprick) dipersepsi sebagai nyeri yang lebih hebat di sekitar daerah inflamasi, sedangkan hiperknesis punctat merupakan peningkatan sensitivitas pada rasa gatal dimana suatu rangsang berupa tusukan ringan yang menginduksi rasa gatal dipersepsi sebagai rasa gatal yang lebih hebat di daerah sekitar lesi kulit. Fenomena ini tidak memerlukan aktivitas nosiseptor primer yang terus berjalan sehingga dapat berlangsung lebih lama. Hiperalgesia dapat menetap berjam-jam setelah trauma. Gambar 1 menjelaskan bahwa pada keadaan normal serat saraf C dan A menghambat rasa gatal. Sensitisasi yang terus menerus pada pruriseptor dapat mengubah interaksi (garis putus-putus), sehingga rangsangan nyeri yang dihantarkan oleh serat saraf C dan A dipersepsi sebagai rasa gatal (hiperknesis punktat).

30

Annisa Rahim_012106082

http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_185Hubunganrasagatal.pdf 2. Kenapa sakitnya berulang ulang factor pncetus?? Krna sel mast mmpunyai memori trhap alergi trsbut

3. Hub makan udang dan kerang dg keluhan? Faktor endogen dan eksogen dr kerang dan udang yg mnyebabkan alergi Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan ensim proteolitik. http://www.thevets.net/download/hypoallergenic.pdf

31

Annisa Rahim_012106082

http://books.google.co.id/books?id=1TPqFao7XYMC&pg=PA332&lpg=PA332&dq=molecular +weight+protein+shrimp+dalton+allergy&source=bl&ots=G3UZ7w0Pfu&sig=TOmTyBQQjjlqD JIDL_VMwMYf18&hl=en&sa=X&ei=2YueUYL1D4iNrQf2loHIAg&redir_esc=y#v=onepage&q=molec ular%20weight%20protein%20shrimp%20dalton%20allergy&f=false IgE and Anti-IgE Therapy in Asthma and Allergic Disease edited by Robert Fick

Salah satu penyakit parasiter yang sering menyerang udang windu adalah zoothamniosis yang disebabkan oleh Zoothamnium panaei dari kelas Ciliata. Bila penyakit ini menyerang insang dan permukaan tubuh udang, maka akan menyebabkan udang sulit bernafas, sulit ganti kulit (moulting), dan terjadi peradangan pada kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein membran imunogenik Zoothamnium penaei yang dapat diisolasi dan diidentifikasi dari udang windu asal pantai Utara adalah protein membran dengan berat molekul 106.4 kDa, 46.1 kDa dan 41.5 kDa. Sedangkan yang dari pantai Selatan Jawa Timur dengan berat molekul 118.3 kDa, 71.6 kDa, 68 kDa, 38.8 kDa dan 18 kDa. http://repo.unair.ac.id/data/richfiles/abstrak%20EKSAK%2006-10%20_upload_(109).pdf

A. DEFINISI Antigen molekul asing yang dapat menimbulkan respon imun spesifik dari limfosit pada manusia dan hewan. Antigen meliputi molekul yang dimilki virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing parasit. Molekul antigenic juga ditemukan pada permukaan zat-zat asing seperti serbuk sari dan jaringan 32

Annisa Rahim_012106082
yang dicangkokkan. Sel B dan sel T terspesialisasi bagi jenis antigen yang berlainan dan melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling melengkapi (Baratawidjaja 1991: 13; Campbell,dkk 2000: 77). B. KARAKTERISTIK Karakteristik antigen yang sangat menentukan imunogenitas respon imun adalah sebagai berikut: 1. Asing (berbeda dari self ) Pada umumnya, molekul yang dikenal sebagai self tidak bersifat imunogenik, jadi untuk menimbulkan respon imun, molekul harus dikenal sebagai nonself. 2. Ukuran molekul Imunogen yang paling poten biasanya merupakan protein berukuran besar. Molekul dengan berat molekul kurang dari 10.000 kurang bersifat imunogenik dan yang berukuran sangat kecil seperti asam amino tidak bersifat imunogenik. 3. Kompleksitas kimiawi dan struktural Jumah tertentu kompleksitas kimiawi sangat diperlukan, misalnya homopolimer asam amino kurang bersifat imunogenik dibandingkan dengan heteropolimer yang mengandung dua atau tiga asam amino yang berbeda. 4. Determinan antigenic (epitop) Unit terkecil dari antigen kompleks yang dapat dikat antibody disebut dengan determinan antigenic atau epitop. Antigen dapat mempunyai satu atau lebih determinan. Suatu determinan mempunyai ukuran lima asam amino atau gula. 5. Tatanan genetic penjamu Dua strain binatang dari spesies yang sama dapat merespon secara berbeda terhadap antigen yang sama karena perbedaan komposisi gen respon imun. 6. Dosis, cara dan waktu pemberian antigen Respon imun tergantung kepada banyaknya antigen yang diberikan, maka respon imun tersebut dapat dioptmalkan dengan cara menentukan dosis antigen dengan cermat (termasuk jumlah dosis), cara pemberian dan waktu pemberian (termasuk interval diantara dosis yang diberikan) (buku mik kedok hlm 177178). C. PEMBAGIAN ANTIGEN 1. PEMBAGIAN ANTIGEN MENURUT EPITOP Menurut epitop, antigen dapat dibagi sebagai berikut: a. Unideterminan, univalen Yaitu hanya satu jenis determinan atau epitop pada satu molekul. b. Unideterminan, multivalen Yaitu hanya satu determinan tetapi dua atau lebih determian tersebut ditemukan pada satu molekul. c. Multideterminan, univalen Yaitu banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein). d. Multideterminan, multivalen Yaitu banyak macam determinan dan banyak dari setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang tinggi dan kompleks secara kimiawi). (Baratawidjaja 1991: 14). 2. PEMBAGIAN ANTIGEN MENURUT SPESIFISITAS Menurut spesifisitas, antigen dapat dibagi sebagai berikut: a. Heteroantigen, yaitu antigen yang terdapat pada jaringan dari spesies yang berbeda. 33

Annisa Rahim_012106082
b. Xenoantigen yaitu antigen yang hanya dimiliki spesies tertentu. c. Alloantigen (isoantigen) yaitu antigen yang spesifik untuk individu dalam satu spesies. d. Antigen organ spesifik, yaitu antigen yang dimilki oleh organ yang sama dari spesies yang berbeda. e. Autoantigen, yaitu antigen yang dimiliki oleh alat tubuh sendiri (Baratawidjaja 1991: 14-15; Sell : 910). 3. PEMBAGIAN ANTIGEN MENURUT KETERGANTUNGAN TERHADAP SEL T Menurut ketergantungan terhadap sel T, antigen dapat dibagi sebagai berikut: a. T dependent yaitu antigen yang memerlukan pengenalan oleh sel T dan sel B untuk dapat menimbulkan respons antibodi. Sebagai contoh adalah antigen protein. b. T independent yaitu antigen yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel Tuntuk membentuk antibodi. Antigen tersebut berupa molekul besar polimerik yang dipecah di dalam badan secara perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida, ficoll, dekstran, levan, dan flagelin polimerik bakteri. (Baratawidjaja 1991: 15). 4. PEMBAGIAN ANTIGEN MENURUT SIFAT KIMIAWI Menurut sifat kimiawi, antigen dapat dibagi sebagai berikut: a. Hidrat arang (polisakarida) Hidrat arang pada umumnya imunogenik. Glikoprotein dapat menimbulkan respon imun terutama pembentukan antibodi. Respon imun yang ditimbulkan golongan darah ABO, mempunyai sifat antigen dan spesifisitas imun yang berasal dari polisakarida pada permukaan sel darah merah. b. Lipid Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat oleh protein carrier. Lipid dianggap sebagai hapten, sebagai contoh adalah sphingolipid. c. Asam nukleat Asam nukleat tdak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat oleh protein carrier. DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respon imun terhadap DNA terjadi pada penderita dengan SLE. d. Protein Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umunya multideterminan univalent. (Baratawidjaja 1991: 15) Antigen juga dibagi menjadi antigen lengkap dan antigen tidak lengkap. Antigen lengkap merupakan salah satu dari antigen yang dapat menginduksi respon imun dan bereaksi dengan produknya sebagai respo tersebut. Antigen lengkap meliputi imunogen dan antigen. Antigen tidak lengkap (hapten) adalah substansi kimia aktif yang mempunyai berat molekul kecil yang tidak dapat menginduksi respon imun oleh dirinya sendiri tetapi dapat bergabung dengan molekul yang lebih besar (carrier atau Schlepper) menjadi bersifat imunogenik dan dapat mengikat antibodi. Contoh hapten adalah berbagai golongan antibiotik dan obat lainnya dengan berat molekul yang rendah. Hapten biasanya dikenal oleh sel B sedangkan carrier oleh sel T. Carrier sering digabungkan dengan hapten dalam usaha imunisasi (Baratawidjaja 1991: 13; Sell : 2). KARAKTERISTIK ANTIGEN Karakteristik antigen meliputi bentuk, ukuran, rigiditas, lokasi determinan dan struktur tersier. a. Ukuran Antigen lengkap (imunogen) biasanya mempunyai berat molekul yang besar. Tetapi molekul kecil dapat bergabung dengan protein inang sehingga dapat bersifat imunogen dengan membentukkompleks molekul kecil (hapten) dan protein inang (carrier). 34

Annisa Rahim_012106082
b. Bentuk Bentuk determinan sangat penting sebagai komponen utama, seperti DNP dalam DNP-L-lisin yang memberi bentuk molekul yang tidak dapat ditemukan dalam homolog primer. Kopolimer dari dua asam amino bersifat imunogenik untuk beberapa spesies, yang mana polimer dari tiga atau empat asam amino yang merupakan syarat yang penting untuk spesies lain. Lokasi dari struktur dalam determinan juga sangat penting. c. Rigiditas Gelatin, yang mempunyai berat molekul yang sangat besar, hampir semuanya non imunogenik. Kespesifitasanya dari produksi antigen secara langsung diangkut ke gelatin. d. Lokasi determinan Bagian protein yang terdenaturasi mengindikasikan determinan antigen yang penting yang dapat dimasukkan oleh molekul besar. e. Struktur tersier Struktur tersier dari protein (spatial folding) penting dalam mendeterminasi kespesifikan dari respon suatu antibody. Produksi antibody rantai A dari insulin tidak bereaksi dengan molekul alami. Reduksi dan reoksidasi dari ribonuklease di bawah kondisi kontrol diproduksi dari campuran molekul protein yang berbeda hanya dalam struktur tiga dimensi. Jika katabolisme terjadi, struktur tersier dari imunogen akan dihancurkan (Sell : 34). APC (Antigen-presenting cell) Sel-sel yang menghancurkan antigen meliputi sel B dan makrofaga. Kelompok sel tersebut bertindak sebagai sel penyaji antigen (antigen-presenting cell) atau APC yang mensiagakan system kekebalan, melalui sel T helper, bahwa ada antigen asing dalam tubuh. Makrofag atau sel B memproses dan menyajikan antigen kepada sel T. Sel T yang teraktivasi tersebut kemudian berinteraksi denagn sel B. Sel B yang membawa imunoglkoblin permukaan yang cock dengan antigen, dirangsang untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membnetuk protein antibody spesifik atau berdiferensiasi menjadi sel memori yang hidup dalam jangka waktu lama. Sel plasma tersebut mensintesis imunoglobulin dengan spesifisitas yang sama dengan yang dibawa oleh sel B. (Brooks, dkk2001: 179).

Perbedaan itu bisa terletak pada salah satu dari tiga jenis imunitas yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang. a. imunitas natural ada di dalam tubuh kita sejak kita lahir. bisa dipengaruhi genetic.

35

Annisa Rahim_012106082

http://omim.org/entry/147050

b. imunitas adaptif, adalah imunitas yang berkembang seumur hidup kita karena tubuh kita terkena serangan penyakit atau mendapat vaksinasi. c. Imunitas pasif adalah jenis yang ketiga. Dinamai pasif karena "dipinjam" dari sumber lain dan bertahan untuk waktu singkat. Misalnya ASI.

4. Kenapa alergi dimata tdk di organ lain??

36

Annisa Rahim_012106082

37

Annisa Rahim_012106082
http://www.nature.com/nri/journal/v8/n6/fig_tab/nri2327_F1.html

5. Kenapa ada injeksi konjungtiva dan sifat dr injeksi tsb?? Injeksi Konjungtiva Asal Memperdari Lokalisasi Warna Arah aliran/lebar Konjungtiva digerakkan Dengan epinefrin Penyakit Sekret Visus A. Konjungtiva posterior Konjungtiva Bulbi Konjungtiva Merah Ke perifer Ikut Menciut Konjungtiva + Normal

38

Annisa Rahim_012106082

Sifat2: mudah digerakkan knpa? a.conjuntiva post terikat longgar.

6. Bagaimana terjadinya cobble stone?histologinya Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang interstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemi dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone. 39

Annisa Rahim_012106082
Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik

Fase vascular dan selular dini akan segeradiikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase,peningkatan vaskularisasi yang lebihmencolok, serta reduksi sel radang secarakeseluruhan. Deposisi kolagen dan substansidasar maupun seluler mengakibatkanterbentuknya deposit stone yang terlihatsecara nyata pada pemeriksaan klinis. Hiperplasi jaringan ikat meluas ke atasmembentuk giant papil bertangkai dengandasar perlekatan yang luas. Horner- Trantas dots yangterdapat di daerah ini sebagianbesar terdiri dari eosinofil, debris selular yangterdeskuamasi, namun masih ada sel PMNdan limfosit.

40

Annisa Rahim_012106082

http://books.google.co.id/books?id=JZoTjdNSlpQC&pg=PA493&lpg=PA493&dq=conjunctiva+ tarsal+function+secretion&source=bl&ots=Uj5MmQE_yk&sig=-C5kUkF63kU9REsUTXqDO74-uA&hl=en&sa=X&ei=jJ6eUeqJ4W3rAefkYCQDg&redir_esc=y#v=onepage&q=conjunctiva%20tarsal%20function%20secre tion&f=false DiFiore's Atlas of Histology With Functional Correlations By Victor P. Eroschenko Glandula tarsal sel asini mucus. 41

Annisa Rahim_012106082

7. Kenapa keluhan sudah 5hr tp tdk membaik juga?? Two effector phases of type I hypersensivity reactions Type I hypersensitivity has two phases: immediate phase: The early response occurs within minutes of allergen exposure and primarily involves histamine, leukotrienes (LTC4), and prostaglandin (PGD2). The effects of these mediators lead to bronchoconstriction, vasodilation, and some buildup of mucus. late phase: The late response occurs hours later and involves additional mediators, including IL-4, IL-5, IL- 16,TNF-, eosinophil chemotactic factor (ECF), and plateletactivating factor (PAF). The overall effects of these mediators is to increase

42

Annisa Rahim_012106082
endothelial cell adhesion as well as to recruit inflammatory cells, including eosinophils and neutrophils, into the bronchial tissue.

8. Cara kerja dr obat tetes mata dan obat minum pd scenario dan kemungkinan obat itu apa??

43

Annisa Rahim_012106082

http://secure.medicalletter.org/doc_allergies

9. Dd

44

Annisa Rahim_012106082

45

Annisa Rahim_012106082

Oftalmologi Ed. 9

http://books.google.co.id/books?id=X8pF13DaFYC&pg=PA65&lpg=PA65&dq=patofisiologi+cobblestone+konjungtiva&source=bl&ots=X1ze2DKK x5&sig=PDGeSCTZC1h3adZr1UaNL3NEW9M&hl=en&sa=X&ei=YJyeUavSOMjDrAe6_4Ao&redir_e

46

Annisa Rahim_012106082
sc=y#v=onepage&q=patofisiologi%20cobblestone%20konjungtiva&f=false

47

Annisa Rahim_012106082

KONJUNGTIVITIS VERNAL Konjungtivitis vernalis merupakan salah satu bentuk proses inflamasi kronik dan berulang pada mata, umumnya bilateral. Pasien dengan atopi mempunyai risiko lebih besar untuk menderita

48

Annisa Rahim_012106082
KV. Konjungtivitis Vernalis dibedakan atas 3 tipe yaitu tipe palpebra, tipe limbus atau campuran keduanya. Etiologi KV sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor penyebab diduga adalah alergen serbuk sari, debu, tungau debu rumah, bulu kucing, makanan, faktor fisik berupa panas sinar matahari atau angin. Reaksi alergi yang terjadi dapat disebabkan oleh satu atau lebih alergen atau bersama-sama dengan faktorfaktor lain. Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi terutama dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata. Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan dasar utama terjadinya proses inflamasi pada KV. Pemeriksaan histopatologik dari lesi dikonjungtiva menunjukkan peningkatan sel mast, eosinofil dan limfosit pada subepitel dan epitel. Dalam perjalanan penyakitnya, infiltrasi sel dan penumpukan kolagen akan membentuk papil raksasa. Penemuan ini menjelaskan bahwa KV bukan murni disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat, melainkan merupakan kombinasi tipe I dan IV. Bonini dkk, menemukan bahwa hiperreaktivitas non spesifik juga mempunyai peran dalam KV. Faktor lain yang berperan adalah aktivitasmediator non Ig E oleh sel mast. Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifikterhadap antigen bila seseorang terpapar pada antigen tersebut. Antibodi IgE berperan sebagai homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan sel basofil. Ikatan antigen dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan basofil akan menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya mediator-mediator kimia seperti histamin, slow reacting substance of anaphylaxis, bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic factor, dan faktor-faktor agregasi trombosit. Histamin adalah mediator yang berperan penting, yang mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi pada mata. Keadaan ini ditandai dengan gejala seperti mata gatal,merah, edema, berair, rasa seperti terbakar dan terdapat sekret yg bersifat mukoid. Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigen dengan IgE pada permukaan sel mast, maka mediator kimia yang terbentuk kemudian akan dilepaskan seperti histamin, leukotrien C4 dan derivat-derivat eosinofil yang dapat menyebabkan inflamasi di jaringan konjungtiva. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel limfosit T yang telah tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen tertentu, sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi infiltrasi limfosit dan monosit (makrofag) serta menimbulkan indurasi jaringan pada daerah tersebut. Setelah paparan dengan alergen, jaringan konjungtiva akan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, eosinofil dan basofil. Bila penyakit semakin berat, banyak sel limfosit akan terakumulasi dan terjadi sintesis kolagen baru sehingga timbul nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal. Aktivasi sel mast tidak hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan oleh sel limfosit. Selanjutnya mediator tersebut dapat secara langsung mengaktivasi sel mast tanpa melalui ikatan alergen IgE. Reaksi hiperreaktivitas

49

Annisa Rahim_012106082
konjungtiva selain disebabkan oleh rangsangan spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik, missal rangsangan panas sinar matahari, angin. Gejala klinis utama adalah rasa gatal yang terus menerus pada mata, mata sering berair, rasa terbakar atau seperti ada benda asing di mata. Gejala lainnya fotofobia, ptosis, sekret mata berbentuk mukus seperti benang tebal berwarna hijau atau kuning tua. KV dapat terjadi pada konjungtiva tarsalis atau limbus, atau terjadi bersamaan dengan dominasi pada salah satu tempat tersebut. Pada konjungtiva tarsalis superior dapat dijumpai gambaran papil cobblestone yang menyerupai gambaran mozaik atau hipertrofi papil. Sedangkan pada limbus dijumpai satu atau lebih papil berwarna putih yang disebut sebagai trantas dots, yaitu terdiri dari tumpukan sel-sel eosinofil. Apabila penyakit meluaS sampai kornea, disebut sebagai keratokonjungtivitis vernalis (KKV) dan digolongkan ke dalam penyakit yang lebih berat, karena dapat menyebabkan penurunan visus.

Sari Pediatri, Vol. 5, No. 4, Maret 2004

http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#showall http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3164156/#!po=8.92857

50

You might also like