You are on page 1of 26

BAB II PEMBAHASAN

1. Embriologi dan Anatomi 1,2


a. Embriologi
Embriologi traktus gastrointestinal (GI) dimulai pada minggu ke-empat masa gestasi. Usus primitif terbentuk dari lapisan endoderm dan dibagi menjadi tiga segmen: foregut, midgut, dan hindgut. Midgut dan hindgut nanti akan membentuk kolon, rektum, dan anus. Midgut akan membentuk usus halus, kolon asenden, dan kolon transversum proksimal, dan menerima suplai darah dari arteri mesenterika superior. Saat minggu ke-enam masa gestasi, midgut bergerak menuju keluar kavitas abdomen, dan berputar 270 berlawanan arah jarum jam disekitar arteri mesenterika superior dan akhirnya akan menempati tempat terakhirnya, yaitu di dalam kavitas abdomen pada minggu kesepuluh masa gestasi. Hindgut akan berkembang menjadi kolon transversus distalis, kolon desenden, rektum, dan anus proksimal, semuanya menerima suplai darah dari arteri mesenterika inferior. Saat minggu keenam masa gestasi, bagian ujung distal hindgut (kloaka) terbagi menjadi septum urorektal pada sinus urogenital dan rektum. Bagian distal kanalis analis terbentuk dari ektoderm dan mendapat suplai darah dari arteri pudenda interna.

Gambar 1. Pada minggu ketiga masa gestasi, usus primitif terbagi menjadi tiga bagian, foregut (F) pada bagian kepala, hindgut (H) pada bagian ekor, dan midgut (M) diantara hindgut dan foregut. Tahap perkembangan midgut: herniasi fisiologis (B), kembali ke abdomen (C), fiksasi (D). Pada minggu keenam masa gestasi, septum urogenital bermigrasi kea arah kaudal ( E) dan memisahkan traktus urogenital dan intestinal (F, G). (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 2.)

b. Anatomi
Kolon berjalan sepanjang katup ileosekal sampai ke anus. Secara anatomis, dibagi menjadi kolon, rektum, dan kanalis analis. Dinding dari kolon dan rektum terdiri dari lima lapisan: mukosa, submukosa, otot sirkular dalam, otot longitudinal luar, dan tunika serosa. Pada kolon, otot longitudinal luarnya terbagi menjadi tiga taeniae coli, yang bertemu dengan apendiks pada ujung proksimal dan rektum pada bagian distal. Pada rektum distal, lapisan otot polos dalam saling menggabung sehingga membentuk sfingter anus internal pada minggu ke duabelas masa gestasi. Kolon intraperitoneal dan sepertiga proksimal rektum terlapisi oleh serosa; sedangkan bagian tengah dan bawah rektum kurang mengandung serosa. c. Posisi Kolon Kolon mulai berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan sepanjang 3 sampai 5 kaki sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat 2

ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli membentuk otot polos longitudinal luar rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang paling lebar (7,5 8,5 cm) dan mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat sekum menjadi rentan terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon asenden bagian posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. White line of Toldt merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior. Bagian yang halus ini membuat pembedah sebagai panduan untuk memobilisasi kolon dan mesenterium dari retroperitoneum. Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon asenden (panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon transversum intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan ligamentum gastrokolika dan mesenterium kolon. Omentum majus menempel pada ujung anterior/superior kolon transversum, hal inilah yang menyebabkan gambaran seperti segitiga pada kolon tranversum ketika dilihat pada kolonoskopi. Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura kolika dan limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan tebal, yang akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden umumnya menempel pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon dengan panjang yang bervariasi (15 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang sempit namun mempunyai pergerakan yang luas. Meskipun kolon sigmoid terletak pada kuadran kiri bawah, akbiat mobilitasnya yang hebat dapat berpindah ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini menjelaskan mengapa volvulus umum ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa penyakit yang mengenai kolon sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai gejala nyeri pada kuadran kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid membuat bagian ini sangat rentan terhadap obstruksi. d. Suplai Vaskular Kolon Suplai arteri pada kolon mempunyai banyak variasi (gambar 2). Singkatnya, arteri mesenterika superior bercabang menjadi arteri ileokolika (sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah ke ileus terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai darah ke kolon asenden, dan arteri kolika media yang menyuplai kolon tranversum. Arteri mesenterika inferior (SMA) bercabang menjadi arteri kolika sinistra yang 3

menyuplai kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid, yang menyuplai kolon sigmoid, dan arteri rektal superior yang menyuplai rektum proksimal. Pengecualian pada vena mesenterika inferior, vena-vena pada kolon mempunyai terminologi yang sama seperti arteri. Vena mesenterika inferior berjalan naik pada retroperitoneum melewati muskulus psoas dan berjalan posterior ke pancreas untuk bergabung dengan vena splenika. Pada kolektomi, vena ini di gerakkan secara independen dan di ligasi pada ujung inferior pankreas. Drainase vena pada kolon transversum proksimal menuju ke vena mesenterika superior yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena porta. Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar rektum terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju vena splenika.

.
Gambar 2. Drainase vena pada kolon. Dan rektum (Sumber: Gordon PH, Nivatvongs S [eds]: Principles and Practice of Surgery for the Colon, Rectum, and Anus, 2nd ed. St. Louis, Quality Medical Publishing, 1999, p 30)

Drainase limfatik juga dinamakan sesuai dengan arterinya. Drainase lmimfatik bermulai dari jaringan-jaringan limfatik dari muskularis mukosa. Pembuluh limfa dan limfonodusnya dinamakan sesuai dengan arteri regional yang ada. Limfonodus 4

epikolik ditemukan pada dinding usus dan pada epiploika. Nodus yang berdekatan pada arteri disebut limfonodus parakolika. Limfonodus intermediet terletak pada cabang utama pembuluh darah besar; limfonodus primer rerletak pada arteri mesenterika superior atau inferior.

Gambar 3. Drainasi limfatik pada kolon (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 21)

e. Suplai Saraf Kolon Kolon terinervasi oleh saraf simpatis (inhibisi) dan saraf parasimpatis (eksitasi/stimulasi), yang keduanya berjalan paralel dengan arteri. Saraf simpatis muncul dari T6 T12 dan preganglion lumbal splanchnikus L1 L3. Inervasi parasimpatis pada bagian kanan dan kolon transversum dan berasal dari nervus vagus dextra (N. X). Sedangkan inervasi parasimpatik untuk kolon bagian kiri bermulai dari nervi erigentes S2 S4. Nervus preganglion parasimpatis bergabung dengan nervus postganglion simpatis yang muncul pada akhir foramina sakralis. Serat-serat saraf ini, melalui pleksus pelvis, mengelilingi dan menginervasi prostat, uretra, vesika semilunaris, vesika urinaria, dan otot dasar panggul. Diseksi rektal dapat mengganggu pleksus pelvis dan subdivisinya, menyebabkan disfungsi neurogenik vesika urinaria dan seksual (sebanyak 45% kasus). Derajat dan tipe disfungsi tergantung pada derajat keparahan cedera neurologinya. Ligasi arteri mesenterika inferior yang menyuplai 5

nervus hipogastrium menyebabkan disfungsi saraf simpatis yang dicirikan sebagai ejakulasi retrograde dan disfungsi vesika urinaria. Cedera pada saraf simpatis dan parasimpatis akan menghasilkan impotensi dan atonia vesika urinaria.

2. Fisiologi Kolon 1,2


Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien, sedangkan dimana fungsi rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan nutrien tergantung pada koloni flora normal, motilitas usus, dan absorpsi dan ekskresi mukosa.

a. Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh tercampu oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian besar nutrien, dan juga beberapa cairan garam empedu yang tersekresi ke lumen. Namun untuk cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit terabsorpsi oleh usus halus akan diabsorpsi oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan energi terlalu banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora normal yang ada. Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri sebanyak 1011 sampai 1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak adalah bakteri anaerob dengan spesies yang terbanuak dari kelas Bacteroides (1011 sampai 1012 organisme/mL). Eschericia coli merupakan bakteri spesies yang paling banyak 108 sampai 1010 organisme/mL). Flora normal ini berguna untuk memecah karbohidrat dan protein serta mempunyai andil dalam metabolism bilirubin, asam empedu, estrogen, dan kolesterol, dan juga vitamin K. Flora normal juga berguna untuk menekan jumlah bakteri patogen, seperti Clostridium difficile. Jumlah bakteri yang tinggi dapat menyebabkan sepsis pada pasien dengan keadaan umum yang buruk dan dapat menyebabkan sepsis inta-abdomen, abses, dan infeksi pada luka post-operasi kolektomi.

b. Urea Recycling
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada manusia dan sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease, namun flora normal bakteri pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi patologis urea yang paling umum adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak mampu menggunakan kembali urea nitrogen yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-brain barrier dan menyebabkan gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma hepatik. 6

c. Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk kedalam kolon perharinya mencapai 1000 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon hanya sekitar 100 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi, yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses hanya tersisa 25 50 mEq/L. Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, n-butirat akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena sel mamalia tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada bakteri lumen untuk memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare. Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari ileus terminalis, sehingga membuat kolon menjadi bagian sirkulasi enterohepatika. Ketika absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas, bakteri akan mengkonjugasi asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi akan mengganggu absorpsi natrium dan air, sehingga menyebabkan diare sekretoris atau diare koleretik. Diare sekretoris dapat dilihat saat setelah hemikolektomi sebagai fenomena transien dan lebih permanen reseksi ileus ekstensif.

d. Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan rektum. Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan sekum sebagai segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon bagian kiri merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit pada kolon diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai kolon melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai kolon akan membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus myenterika (Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa. Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah kanan, gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd sehingga isi dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi dari lumen usus 7

terdorong ke arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga terpisah-pisah menjadi globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic, merupakan gabungan antara gerakan retropulsif dan tonis.

3. Insidens 1
Adenokarsinoma kolon dan rektum merupakan keganasan yang paling umum ditemukan pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan lebih dari 52.000 pasien meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker kolorektal menjadi pembunuh kedua pada penyakit kanker di Amerika. (American Cancer Society, 2009). Insidensinya terbagi rata antara pria dan wanita dan tetap berada pada angka yang konstan selama 20 tahun terakhir. Deteksi dini dengan pengembangan peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu untuk mortalitas kanker kolorektal dala beberapa tahun terakhir.

4. Epidemiologi (Faktor Risiko) 3


Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektar merupakan hal yang penting untuk menentukan program screening dan surveilans pada populasi dengan faktor risiko. a. Usia Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal, dengan insidens yang meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus). Umur ini dijadikan dasar rasionalitas untuk melakukan skrining pada orang dengan gejala yang asimptomatis. Namun kanker kolorektal dapat terjadi pada seluruh usia, maka jika ada gejala seperti perubahan keadaan usus, perdarahan rektum, melena, anemia tanpa sebab yang jelas, atau penurunan berat badan maka diperlukan pemeriksaan yang lebih mendetail. b. Faktor Herediter Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian yang lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis dini. Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan pemeriksaan ini, seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang ada suspek keluarga yang dulunya terkena kanker kolorektal. c. Faktor Diet dan Lingkungan 8

Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi dengan faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga terdapat sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan kanker. Diet yang tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid meningkatkan risiko kanker kolorktal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak meningkatkan risiko. Pada penelitian dengan hewan menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik langsung terhadap mukosa kolon sehingga mungkin dapat menyebabkan perubahan maligna. Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur nampaknya bersifat lebih protektif. Intake kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan fenol dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal. Studi ini menjadi dasar preventif primer untuk mengeradikasi kanker kolorektal dengan cara mengatur diet dan gaya hidup. (Janne PA, 2000 dan Calle EE, 2003). d. Inflammatory Bowel Disease (IBD) Pasien dengan penderita kolitis kronis mempunyai faktor risiko untuk terkena kanker kolorektal (Eaden JA, 2001). Telah ditarik sebuah hipotesis bahwa inflamasi kornis akan membuat perubahan struktur pada mukosa kolon menjadi struktur maligna dan hal ini juga dipengaruhi dengan derajat berat inflamasinya. Pada ulseratif pankolitis, risiko terkena kanker meningkat sebanyak 2% setelah 10 tahun, 8% setelah 20 tahun, dan 18% setelah 30 tahun. Kolitis daerah sebelah sinistra tanpa alasan yang jelas mempunyai risiko yang relatif rendah. Akibatnya, pasien dengan kolitis

direkomendasikan agar diperiksa kolonoskopi dengan biopsy mukosa acak 8 tahun setelah terdiagnosis pankolitis dan 12 15 tahun kemudian pada pasien dengan pankolitis sinistra. e. Faktor Risiko Lain Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama ketika merokok lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga mempunyai peningkatan faktor risiko adenoma maupun karsinoma (Woodhouse CR, 2002). Akromegali, dimana terjadi peningkatan growth hormone dan insulin-like growth factor I, juga menambah faktor risiko.

5. Patogenesis 1,3
a. Defek Genetik Selama dua dekade terakhir, penelitian ilmiah memfokuskan tentang defek genetik dan abnormalitas molekular yang berhubungan dengan progresi dan perkembangan adenoma dan karsinoma kolorektal. Mutasi dapat menyebabkan aktivasi onkogen (Kras) dan/atau aktivasi tumor-suppressor genes [APC, DCC (deleted in colorectal carcinoma), p53]. Karsinoma kolorektal diperkirakan berkembang dari polip adenoma dengan akumulasi mutasi-mutasi ini (gambar 4).

Gambar 4. Sekuens adenoma-karsinoma pada kanker kolorektal. (Sumber: Ivanovich JL, Read TE, Ciske DJ, et al: A practical approach to familial and hereditary colorectal cancer. Am J Med 107:68-77, 1999).

Defek pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) pertama kali ditemukan pada pasien dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Dengan menyelidiki keluarganya, karakteristik mutasi pada gen APC dapat diidentifikasi. APC gen terdeteksi pada 80% penderita kanker kolorektal. Mutasi gen ini hanya ditemukan pada adenoma atau karsinoma saja, tetapi tidak pada jaringan disekitarnya. Hal ini menandakan bahwa mutasinya adalah mutasi somatik. Karena APC adalah gen penekan tumor, pada kehilangan kedua alelnya dapat menghilangkan aktifitas penekan tumornya. Mutasi yang terjadi, disebabkan oleh pembentukan kodon stop yang terlalu awal, yang menghasilkan protein APC yang terpotong. Pada FAP, tempat mutasi berkaitan dengan gambaran klinis penyakit. Contohnya, mutasi pada ujung lengan 3 atau 5 menyebabkan pembentukan bentuk FAP yang lemah, sedangkan pusat mutasi pada gen memperparah penyakit. Sehingga, pengetahuan tentang mutasi

10

spesifik pada keluarga dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan keputusan klinis. Inaktifasi hanya pada APC tidak mampu menyebabkan karsinoma. Mutasi pada APC akan mencetuskan akumulasi kerusakan-kerusakan genetik yang akhirnya

menyebabkan keganasan lewat jalur loss of heterozygosity (LOH). Mutasi tambahan pada jalur ini termasuk aktivasi K-ras onkogen, dan hilangnya tumor-suppressor gene DCC dan p53. K-ras diklasifikasikan sebagai proto-onkogen karena mutasi hanya pada satu alel saja dapat merusak seluruh siklus sel. Gen K-ras merupakan produk protein G yang ikut dalam transduksi sinyal intrasel. Ketika K-ras yang aktif berikatan dengan guanosin triphosphate (GTP); terjadi hidrolisis GTP menjadi guanine diphosphate (GDP) sehingga menonaktifkan protein G. Mutasi pada K-ras akan menyebabkan ketidakmampuan untuk menghidrolisis GTP, sehingga protein G akan terus tetap aktif. Diperkirakan mekanisme inilah yang menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkontrol.
Gen Adenomatous Polyposis (APC) Coli Kromosom 5q Kelas Gen Tumor suppressor Fungsi Adhesi komuikasi interseluler dan Keterangan Mutasi pada FAP, Gardners Turcots syndrome. Deleted Colorectal Carcinoma (DCC) P53 17p Tumor suppressor Transkripsi faktor untuk gen yang mencegah pertumbuhan tumor K-ras 12p Onkogen Transduksi signal 50% kanker kolon mempunyai aktivitas K-ras hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2 2p Mismatch repair Memperbaiki kesalahan replikasi DNA Gen-gen yang Terlibat dalam Kanker Kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181 -202) HNPCC in 18q Onkogen Interaksi adhesi sel dan Pertumbuhan tumor, invasi, dan metastasis >50% kanker dan

kolon mempunyai mutasi p53

11

DCC merupakan tumor-suppressor gene dan jika kehilangan kedua alelnya akan mernyebabkan degenerasi maligna. Peran produk gen DCC berhubungan dengan adhesi sel dan interaksi sel dan matriks, yang mungkin penting untuk mencegah pertumbuhan tumor, invasi, dan metastasis (Jeffrey A., 2000). Fungsi utamanya nampaknya terletak pada system saraf sentral, yang berfungsi dalam migrasi dan diferensiasi akson. Observasi tersebut menimbulkan hipotesis bahwa DCC mungkin terlibat dalam adhesi dan diferensiasi kanker kolorektal, namun teori ini masih belum di buktikan (53). Mutasi pada DCC terlihat pada 70% kasus dan mungkin bisa berdampak negatif pada prognosis. Tumor-suppressor gene p53 berhubungan dengan beberapa keganasan. Protein p53 nampaknya menjadi fakor determinan yang paling penting dalam tomorigenesisi kolorektal. Kebanyakan gen yang teraktifasi oleh P53 dimungkinkan dapat mencegah pertumbuhan. Sehingga, inaktivasi P53 akan menimbulkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol. Mutasi pada P53 dapat ditemukan pada setengah kanker manusia, membuat gen ini menjadi jalur pusat biokimia dalam keganasan manusia. Mutasi gen APC atau hilangnya kromosom 5q (mutasi didapat pada sindroma poliposis adenomatosa) Hiperproliferasi sel kripta dan proliferasi klonal sel batang yang menyebabkan timbulnya adenoma kecil Aktivasi onkogen K-ras dalam adenoma kecil dan proliferasi penggandaan sel yang bermutasi Adenoma intermediet

Hilangnya DCC, sehingga terjadi proliferasi dengan alterasi genetik multipel

Adenoma tingkat akhir dengan displasia

Hilangnya p53 atau mutasi sehingga terjadi proiferasi maligna

Karsinoma invasif

12

Jalur LOH sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181 -202)

b. Jalur Genetik Dua jalur utama inisiasi dan progresi tumor dapat dijelaskan menjadi jalur Lost of Heterozygosity (LOH) dan replication error (RER). Jalur LOH dicirikan dengan delesi kromosom dan aneuploiditas tumor dan sedikitnya ada tujuh buah gen yang terlibat dalam jalur LOH ini. Delapan puluh persen karsinoma muncul dari mutasi pada jalur LOH. Sisanya yang 20% muncul dari jalur RER, yang dicirikan dengan kesalahan dalam perbaikan mismatch (kesalahan pasangan) pada replikasi DNA. Beberapa gen telah terdeteksi dalam kesalahan perbaikan DNA RER, yaitu hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP. Mutasi hanya pada salah satu gen ini, cukup untuk membuat mutasi sel, yang mungkin dapat timbul pada proto-onkogen atau tumor suppressor gen. Mismatch ini membuat terus meningkatnya kesalahan eplikasi, sehingga terjadi instabilitas mikrosatelit (pertumbuhan sel kanker ditempat lain yang berdekatan) dan malfungsi gen. Jika telah terbentuk mikrosatelit yang tidakstabil, maka akan mudahnya terjadi mikrometastasis di tempat lain akibat struktur sel-sel mikrosatelit yang mudah lepas.

13

Mutasi atau mismatch pada gen-gen yang bertugas memperbaiki kerusakan gen

Akumulasi mutasi somatik di dalam mikrosatelit

Gangguan fungsi mikrosatelit

Gangguan fungsi gen yang mengandung atau diregulasi oleh mikosatelit (Gen reseptor TGR-Beta tipe-II)

Akumulasi perubahan-perubahan genetik pada gen-gen yang berhubungan dengan karsinoma

Sekuens adenoma-karsinoma (umumnya tidak melibatkan APC, MCC, K-ras, DCC, p53) Jalur RER sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181 -202)

14

Faktor Genetik

Field effect

Faktor lingkungan

Mutasi Inisial

Meningkatnya kecepatan mutasi

Mutasi (inaktifasi) kedua

Gen APC

Gen MMR

Jalur LOH

Jalur RER

Mutasi somatik atau hilangnya alel K-ras, DCC, p53

Instabilitas mikrosatelit (TGFbeta, dan lainnya)

Pertumbuhan klonal

Karsinoma

Metastasis Faktor-faktor molekular yang berhubungan dengan perkembangan keganasan kolorektal . Faktor Genetik muncul pada saat lahir yang menginisiasi karsinogenesis atau dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang menyebabkan kerusakan genetik dan karsinogenesis. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181 -202)

6. Manifestasi Klinis 3
Presentai timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori umum: onset gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau perforasi akut. Presentasi yang paling sering timbul adalah onset gejala kronis yang asimtomatis (77 92%), diikuti oleh obstruksi (6 - 16%), dan perforasi dengan peritonitis local atau difus (2 7%). 15

a. Gejala Perdarahan pada anus merupakan gejala yang paling umum pada keganasan kolorektal. Namun, pasien dan dokter lebih cenderung berpikir bahwa perdarahan pada anus diakibatkan oleh hemoroid. Perdarahan dapat terjadi secara samar tau dapat terlihat feses yang berwana hitam, merah marun, ungu hitam, atau merah segar tergantung pada lokasi keganasan. Perdarahan samar dapat mempunyai gejala anemia defisiensi besi dan kelelahan. Perubahan buang air besar merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada urutan kedua, dengan pasien yang mengeluh konstipasi atau diare. Konstipasi bisa terjadi pada keganasan yang terletak pada kolon sebelah kiri karena diameter kolon sinsitra lebih kecil dan feses lebih padat ketika mencapai kolon di sebelah kiri daripada di sebelah kanan. Pasien juga mengeluh perubahan yang bertahap pada bentuk feses. Karsinoma pada kolon dextra umumnya tidak ditemukan perubahan buang air besar, namun banyaknya jumlah mukus yang dihasilkan oleh tumor dapat menyebabkan diare, namun jika keganasannya terletak di katup ileosekal dapat menyebabkan obstruksi. Nyeri abdomen juga sering ditemukan sebagaimana pasien mengeluh perubahan buang air besar. Obstruksi pada kolon sinistra dapat menimbulkan gejala nyeri perut, juga nausea dan vomitus, dan mereda dengan gerakan usus. Keganasan pada kolon dextra dapat berupa nyeri perut yang sulit dilokalisasikan. Gejala umum lain yang jarang ditemukan adalah kelelahan, penurunan berat badan, demam, massa pada abdomen, dan gejala-gejala tambahan pada traktus urinarius (frekuensi, penumaturia, dan fekaluria). Jika ditemukan bakteremia dengan Streptococcus bovis berarti sugestif tinggi adanya keganasan kolorektal. b. Tanda Obsrtruksi intestinal akut merupakan tanda yang ditemukan pada 15% dari 23.500 penderita. Pada pemeriksaan fisik, mungkin agak sulit ditemukan adanya massa pada abdomen karena usus yang terdistensi, baik keganasan primer maupun metastasis. Timpani, asites, dan distensi mungkin bisa ditemukan pada pemeriksaan fisik abdomen. Rectal toucher hanya jarang dilakukan untuk mengetahui adanya obstruksi, namun jarang ditemukan. Keganasan kolorektal harus selalu dicurigai pada pasien dengan keluhan obstruksi kolon. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan radiologi abdomen sederhana dapat menunjang diagnosis. Pemeriksaan tambahan lain untuk 16

konfirmasi diagnosis lain adalah barium enema, endoskopi rigid atau flexible, atau CT-scan abdomen atau pelvis. Perforasi merupakan tanda umum ketiga yang sering ditemukan pada keganasan kolorektal. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis lokalis atau difus, dan mampu menimbulkan fistula pada organ terdekat seperti vesika urinaria. Jika perforasi muncul ke proksimal dari obstruksi, dan juga perforasi pada sekum yang terdilatasi proksimal dari karsinoma sigmoid, pasien akan mengeluh peritonitis difus dan sepsis sehingga hal ini menjadi indikasi untuk dilakukannya bedah emergensi. c. Stadium Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang akan dilakukan, dan perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang dianggap invasif berarti harus menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang berada tidak menembus muskularis mukosa tidak dianggap dapat invasif karena tidak adanya linfonodus dan dianggap sebagai carcinoma in situ. Banyak system stadium keganasan kolorektal yang ada, contohnya stadium TNM (tumor/nodus/metastasis) yang diklasifikasikan oleh American College of Surgeons Commission on Cancer.
Stadium Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 TX T0 Tis T1 T2 T3 Kedalaman T1, T2 T3, T4 Seluruh T Seluruh T Status Limfonodus N0 N0 Setiap N (Kecuali N0) Setiap N Metastasis Jauh M0 M0 M0 M1

tumor primer, tidak dapat dinilai tidak ada bukti adanya tumor primer carcinoma in situ tumor menginvasi ke submukosa tumor menginvasi muskularis propria tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau ke perikolika atau ke perirektal

T4a T4b NX N0 N1 N2 N3

perforasi tumor ke peritoneum visceral tumor langsung menginvasi langsung struktur lain limfonodus regional tidak dapat dinilai tidak ada limfonodus regional yang terkena mengenai 1-3 limfonodus perirektal atau perikolik lebih dari 4 limfonodus perirektal atau perikolik terkena limfonodus regional beserta pembuluh darah besar

17

MX M0 M1

adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai tidak ada metastasis jauh metastasis jauh

Stadium karsinoma kolorektal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC). (Sumber: Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science and Business Media LLC, www.springerlink.com).

7. Temuan Laboratorium 3 Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan adanya anemia. Tes fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika sudah terjadi metastasis ke hepar. Jika terjadi metastasis ke hepar maka kadar CEA juga akan ikut meningkat, namun jika tidak ada metastasis, kadar CEA juga akan ikut meningkat.

8. Imaging Studies 1,3


a. Kolonoskopi Dengan pemeriksaan kolonoskopi, dokter mampu menilai ukuran tumor, namun tidak dengan kedalaman invasi tumor, dan juga lokalisasi kolon. Periksaan kolonoskopi bersifat sangat sensitif untuk mendeteksi bahkan polip yang kecil sekalipun (<1 cm) dan mampu mulakukan biopsi, polipektomi, dan kontrol perdarahan. Namun, kolonoskopi membutuhkan persiapan khusus (pasien diperintahkan untuk puasa sebelum dilakukan kolonoskopi) dan adanya ketidak nyamanan pada saat pemeriksaan sehingga terkadang harus di anestesi terlebih dahulu. Hal inilah yang membuat pemeriksaan ini menjadi mahal. Komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan dan perforasi, namun hal tersebut sangat jarang terjadi (0,2 0,3%). b. Evaluasi Radiologi Foto roentgen dada dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya lesi pulmoner sekaligus untuk menentukan status paru dan jantung. CT-scan abdomen dilakukan selektif jika ada pasien dengan hasil SGOT/SGPT yang abnormal, yang dimana kemungkinan telah terjadi metastasis.

18

9. Pendekatan Diagnosis 4

Algoritme diagnosis dan terapeutik kanker kolon.4

10. Diagnosis Banding


a. Ca. rekti 5 Gejala yang umum ditemukan pada ca. rekti mirip dengan kanker kolon, yaitu: perubahan buang air besar, diare atau konstipasi atau perasaan seperti buang air besar yang tidak lampias, ada darah saat buang air besar (umumnya darah segar), feses yang lebih kecil dari keadaan normal, adanya perasaan tidak enak di abdomen seperti 19

kembung, atau terasa penuh, berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, cepat lelah, dan muntah. Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan rectal toucher, barium enema, dan fecal occult blood test (FOBT). Untuk FOBT, pemeriksaan ini tidak terlalu spesifik karena pada kanker kolon juga terdapat perdarahan yang samar. b. Hemorrhoid 3 Pada pasien hemoroid, cenderung memiliki gejala yang mirip dengan karsinoma kolon, kecuali pada hemoroid eksterna yang cenderung mengalami prolapsus, namun bukan rektum, sehingga dapat dilihat pada saat pemeriksaan anus. Penderita hemoroid juga dapat ditemukan perdarahan kronis tanpa nyeri sehingga terjadi anemia. Untuk menyingkirkan diagnosis ini, diperlukan pemeriksaan rectal toucher, barium enema, atau kolonoskopi.

11. Penatalaksanaan 1
a. Prinsip Reseksi Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor primer beserta dengan suplai limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada kolon bersamaan dengan suplai arteri, panjang kolon yang direseksi bergantung pada pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel kanker. Setiap jaringan yang menempel pada sel kanker, seperti omentum, yang telah terinvasi, harus dilakukan reseksi en bloc. Jika seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka terapi paliatif menjadi pilihannya. Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau adanya riwayat keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakanbahwa seluruh kolon berisiko terkena karsinoma (biasanya disebut juga field defect) dan dipertimbangkan dilakukan kolektomi total atau subtotal. Jika terjadi metachronous tumors (tumor kedua daritumor primerkolon) maka dilakukan juga dengan penatalaksanaan yang sama. Jumlah limfonodus yang diambil pada pembedahan mampu menentukan kualitas reseksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebanyak minimal 12 limfonodus yang terangkat memiliki tingkat kesembuhan yang adekuat. Namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa jumlah limfonodus yang terambil tidak menentukan tingakt kesembuhan.

20

Jika ditemukan metastasis tumor pada saat laparotomi, maka reseksi tumor primer tetap dilakukan jika kondisi pasien stabil. Dipertimbangkan agar dilakukan anastomosis primer jika kolon terlihat sehat, tidak terlibat karsinomatosis, dan keadaan pasien stabil.

Gambar panjang reseksi pada karsinoma kolon. A. Karsinoma sekum. B. Karsinoma felksura hepatika. C. Karsinoma kolon transversum. D. Karsinomafleksura splenika. E. Karsinoma kolon desenden. F. Karsinoma kolon sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9 th Edition).

21

b. Stadium 0 (Tis, N0, M0) Polip yang mengandung karsinoma in situ (high-grade dysplasia) tidak berisiko untuk terjadi metastasis limfonodus. Namun adanya high-grade dysplasia, menaikkan adanya risiko karsinoma invasif di dalam polip. Akibat hal ini, polip tersebut harus di eksisi seluruhnya dan batas patologik di sekitar polip harus terbebas dari area displasia. Umumnya polip ini dapat dieksisi dengan endoskopi. Setelah dibedah, pasien harus tetap di followup dengan endoskopi untuk meyakinkan bahwa polipnya tidak akan timbul kembali dan tidak berkembang menjadi karsinoma kolon. Jika polip tidak bias di angkat seluruhnya, maka dapat direkomendasikan unutuk dilakukan eksisi segmental. c. Stadium I: Polip Maligna (T1, N0, M0) Penatalaksanaan polip maligna tergantung pada tempat munculnya polip dan risiko timbulnya metastasis limfonodus. Risiko metastasis limfonodus tergantung pada kedalaman invasi. Karsinoma invasif yang terdapat pada kepala polip tanpa mengenai batangnya memiliki risiko metastasis yang rendah (<1%) dan dapat direseksi secara endoskopi. Namun, invasi limfovaskular, gambaran histologi dengan diferensiasi yang luas, atau tumor dalam batas 1 mm dari tempat reseksi mempunyai faktor risiko rekurensi lokal dan metastasis. Pada keadaan ini merupakan indikasi dilakukannya kolostomi segmental. Karsinoma invasif yang muncul dari polip sessile memanjang ke arah submukosa sehingga dapat dilakukan kolostomi segmental.

22

Gambar letak karsinoma invasif pada polip yang bertangkai dan polip sessile. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs Princip les of Surgery, 9th Edition).

d. Stadium I dan II: Karsinoma Kolon Terlokalisir (T1-T3, N0, M0) Kebanyakan pasien pada karsinoma kolon stadium I dan II dapat disembuhkan dengan reseksi. Hanya beberapa pasien yang kembali timbul kanker setelah dilakukan reseksi, pengobatan kemoterapi ajuvan tidak dapat mengurangi rekurensi kanker ini. Namun sebanyak 46% pasien setelah reseksi komplit stadium II akan meninggal akibat kanker kolon. Akibat hal tersebut, dilakukanlah pengobatan ajuvan pada beberapa pasien dengan karsinoma kolon stadium II (pasien yang masih muda dengan gambaran radiologi dengan displasia yang tinggi). Data yang ada masih kontroversial apakah dengan terapi ajuvan setelah bedah mampu meningkatkan survival rate. e. Stadium III: Metastasis Limfonodus (Seluruh T, N1, M0) Pasien dengan metastasis pada limfonodus berisiko terjadinya metastasis lokal maupun jauh dan kemoterapi ajuvan direkomendasikan pada pasien ini. 5-flurouracil (5-FU) dan levamisole mengurangi angka kematian sampai 33% dengan efek samping yang rendah. Agen kemoteraputik lain seperti capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, and imunoterapi juga menunjukkan efek yang baik. f. Stadium IV: Metastasis Jauh (Seluruh T, Seluruh N, M1) Angka keselamatan pada kanker kolon stadium IV sangat rendah. Namun, tidak seperti keganasan lain, pasien dengan metastase yang dapat direseksi dan terlokalisir, memiliki keuntungan dari reseksi (metastasektomi). Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan 20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan pada pasien ini meningkat (20 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan karsinoma kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi (sekitar 1 2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 40%. Pada pasien karsinoma kolon stadium IV yang tidak dapat direseksi; fokus penatalaksanaan tertuju pada terapi paliatif. Umumnya reseksi pada tumor primer direkomendasikan agar dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan dan obstruksi. Namun, bedah abdomen mayor dapat mengurangi efek kemoterapi. Terlebih lagi, kemoterapi regimen baru mempunyai efek yang signifikan dan pengecilan tumor. 23

Berdasarkan teori ini, beberapa ahli bedah menganjurkan hanya dilakukan kemoterapi tanpa reseksi pada kanker kolon stadium IV. g. Regimen Kemoterapi yang Digunakan pada M.D. Anderson Cancer Centre (MDACC) 4 Pasien dengan kanker kolon stadium II dan III mempunyai risiko terkena mikrometastasis setelah reseksi. Terapi sistemik telah didirikan untuk mencegah komplikasi tersebut. Berikut adalah terapi yang umum digunakan pada MDACC
Kemoterapi Ajuvan

Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 15 tiap 4 minggu. Total 6 minggu. Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu untuk 6 minggu dengan 2 minggu waktu istirahat (tidak minum obat). Total 3 siklus. Capecitabine: 2000 mg/m2 dalam dua dosis dua kali per hariselama 14 hari, 7 hari istirahat. Total 8 siklus. FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari 1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400 mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2, diberika tiap 14 hari. Total 12 siklus. Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 15 tiap 4 minggu. Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu selama 6 minggu dengan 2 minggu waktu istirahat. IFL (Saltz Regimen, Triple Therapy): CPT-11 100125 mg/m2 IV tiap 90 min, 5-FU 500 mg/m2, semua diberikan selama 4 minggu dan 2 minggu waktu istirahat. FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari ke-1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400 mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2 diberikan selama 14 hari. XELIRI: Irinotecan 200250 mg/m2 day 1; capecitabine 7501000 mg/m2 PO dua kali perhari hari ke-114, tiap 21 hari. XELOX: Oxaliplatin 100 mg/m2 hari ke- 1; capecitabine 7501000 mg/m2 PO BID dua kali perhari hari ke-114, tiap 21 hari. Bevacizumab: (Avastin) 5 mg/kg IV tiap 14 hari diselingi dengan 5-FUbased chemotherapy. Cetuximab: (Erbitux) 400 mg/m2 loading dose mencapai 120 menit (minggu ke-1); 250 mg/m2 selama 60 menit per minggu dosis maintenance, dengan irinotecan atau sebagai single agent pada pasien yang tintoleransi irinotecan.

Terapi untuk Metastasis

24

12. Prognosis 1

Tabel stadium karsinoma kolorektal dan angka keselamatan selama 5 tahun. (Sumber: Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science and Business Media LLC, www.springerlink.com)

Pasien dengan stadium I dan II dapat mencapai angka keselamatan yang sangat baik. Adanya metastasis pada limfonodus mengurangi angka keselamatan sebanyak 40%. Angka keselamatan selama 5 tahun pada kanker kolorektum stadium IV menurun drastis sampai 14%.

Tabel stadium kanker menurut AJCC. (Sumber: Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science and Business Media LLC, www.springerlink.com)

13. Komplikasi 1
Komplikasi yang paling timbul pada kanker adalah metastasis kanker ke organ lain. Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan 20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan pada pasien ini meningkat (20 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan karsinoma kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi (sekitar 1 2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 40%.

25

TINJAUAN PUSTAKA

1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition). 2. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 17th ed., Copyright 2004 Elsevier. 3. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000. Springer. 4. MD Anderson Manual of Medical Oncology. 2007. McGraw-Hill Company. 5. University of California San Francisco. Rectal Cancer Diagnosis: Conditions and Treatments. UCSF Medical Centre. http://www.ucsfhealth.org/conditions/rectal_cancer/diagnosis.html

26

You might also like