You are on page 1of 27

Tutorial Klinik ILMU PENYAKIT MATA

Oleh: Gunalan Krishnan Hida Fitriana Rahmawati Putri Elsa Rosalina Dika Ambar Kusuma Indana Zulfa Zakiah Adelia Kartikasari Anisa Prastiwi Pembimbing Dr. Raharjo Kuntoyo, Sp.M G0007513 G9911112076 G9911112061 G9911112053 G9911112080 G9911112003 G9911112017

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2013

BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini banyak sekali ditemukan berbagai macam kelainan yang terjadi pada indra penglihatan kita yaitu mata. Hal ini disebabkan oleh tingkat kehidupan saat ini telah jauh berbeda dengan zaman dahulu. Kebiasaan seperti terlalu banyak menghabiskan waktu di depan TV atau komputer menyebabkan efek yang kurang baik pada mata kita. Sehingga hal ini menyebabkan gangguan kesehatan,seperti timbulnya kelainan refraksi pada mata. Salah satu jenis kelianan tersebut adalah astigmatisma. Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan bermacammacam derajat refraksi pada berbagai macam meridian sehingga sinar sejajar yang datang pada mata akan difokuskan pada berbagai macam fokus pula. Setiap meridian mata memiliki titik fokus tersendiri yang mungkin letaknya teratur (pada astigmatisma regularis) ataupun tak teratur (pada astigmatisma iregularis).

BAB II STATUS PASIEN I. IDENTITAS Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat Tgl pemeriksaan No. RM II. ANAMNESIS A. Keluhan utama : Pandangan kabur pada kedua mata B. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh kedua mata pandangannya kabur. Pandangan kabur ini dirasakan muncul sejak 2 bulan yang lalu. Pandangan kabur ini terjadi terusmenerus sepanjang hari dan dirasakan semakin lama semakin memberat. Pasien juga mengeluh mata sering cepat lelah, jika melihat jauh terasa kabur dan untuk melihat dekat juga tidak nyaman. Seringkali untuk membaca tulisan di kertas, pasien harus menjauhkan kertas supaya tulisan terlihat lebih jelas. Pasien juga mengeluh kurang bisa melihat garis lurus dengan jelas. Pasien mengeluh pusing (+), nrocos (-), blobok (-), mata merah (-), mata mengganjal (-), cekot-cekot (-), melihat bayangan seperti pelangi (-), melihat seperti melalui lubang kunci (-), mual (-), muntah (-). Pasien mengatakan belum pernah memakai kacamata sebelumnya dan belum pernah periksa ke dokter. : Ny. S : 53 tahun : Perempuan : Islam : Petani : Beji tengah RT/RW 02/10 Kemiri, Kebakkramat, Karanganyar : 16 Februari 2013 : 01178761

C. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit serupa Riwayat kencing manis Riwayat hipertensi Riwayat trauma Riwayat mata merah Riwayat operasi mata D. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat hipertensi Riwayat kencing manis Riwayat sakit serupa E. Kesimpulan Anamnesis OD Proses Lokalisasi Perjalanan Komplikasi degenerasi media refrakta kronis belum ditemukan OS degenerasi media refrakta kronis belum ditemukan : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : (-) : (-) : (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK A. Kesan umum Keadaan umum baik E4V5M6, gizi kesan cukup T = 110/80 mmHg N = 82x/1menit Rr = 18x/1menit S= afebril

B. Pemeriksaan subyektif Visus sentralis jauh Pinhole Koreksi Refraksi Visus Perifer Konfrontasi test Proyeksi sinar Persepsi warna C. Pemeriksaan Obyektif 1. Sekitar mata Tanda radang Luka Parut Kelainan warna Kelainan bentuk 2. Supercilium Warna Tumbuhnya Kulit Geraknya 6/10

OD 6/10 maju jadi 6/6 S+1,50 C-0.50 x 90 Add+ 2.25 trial lens dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal

OS maju jadi 6/6 S+1,50 C-0.50 x 90 Add+ 2.25 trial lens dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal

tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

hitam normal sawo matang dalam batas normal

hitam normal sawo matang dalam batas normal

3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita Heteroforia Strabismus tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

Pseudostrabismus Exophtalmus Enophtalmus Anopthalmus 4. Ukuran bola mata Mikrophtalmus Makrophtalmus Ptisis bulbi Atrofi bulbi Buftalmus Megalokornea 5. Gerakan Bola Mata Temporal superior Temporal inferior Temporal Nasal Nasal superior Nasal inferior 6. Kelopak Mata Gerakannya Lebar rima Blefarokalasis Tepi kelopak mata Oedem Margo intermarginalis Hiperemis

tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal

dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal

dalam batas normal 10 mm tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

dalam batas normal 10 mm tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

Entropion Ekstropion 7. Sekitar saccus lakrimalis Oedem Hiperemis

tidak ada tidak ada

tidak ada tidak ada

tidak ada tidak ada

tidak ada tidak ada

8. Sekitar Glandula lakrimalis Odem Hiperemis 9. Tekanan Intra Okuler Palpasi Tonometer Schiotz 10. Konjungtiva Konjungtiva palpebra Oedem Hiperemis Sikatrik Konjungtiva Fornix Oedem Hiperemis Sikatrik Konjungtiva Bulbi Pterigium Oedem tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada kesan normal tidak dilakukan kesan normal tidak dilakukan tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

Hiperemis Sikatrik Injeksi konjungtiva Oedem Hiperemis Sikatrik 11. Sklera Warna Penonjolan 12. Cornea Ukuran Limbus Permukaan Sensibilitas Keratoskop (Placido) Fluoresin Test Arcus senilis 13. Kamera Okuli Anterior Isi Kedalaman 14. Iris Warna jernih

tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

Caruncula dan Plika Semilunaris

putih tidak ada

hiperemis tidak ada

12 mm jernih rata, mengkilat normal tidak dilakukan tidak dilakukan (-)

12 mm rata, mengkilat normal tidak dilakukan tidak dilakukan (-)

jernih dalam

jernih dalam

coklat

coklat

Gambaran Bentuk Sinekia Anterior 15. Pupil Ukuran Bentuk Tempat Reflek direct Reflek indirect Reflek konvergensi

spongious bulat tidak ada

spongious bulat tidak ada

3 mm bulat sentral (+) (+) tidak dilakukan

3 mm bulat sentral (+) (+) tidak dilakukan

16. Lensa Ada/tidak Kejernihan Letak Shadow test 17. Corpus vitreum Kejernihan tidak dilakukan tidak dilakukan ada jernih sentral ada jernih sentral -

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN OD Visus sentralis jauh Pinhole Koreksi 6/10 maju jadi 6/6 S+1,50 C-0.50 x 90 Add+ 2.25 OS 6/10 maju jadi 6/6 S+1,50 C-0.50 x 90 Add+ 2.25

Refraksi Visus sentralis dekat Sekitar mata Supercilium Pasangan bola mata dalam orbita Ukuran bola mata Gerakan bola mata Kelopak mata

trial lens 30/30

trial lens 30/30

dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal kesan normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal tidak dilakukan

Sekitar saccus lakrimalis dalam batas normal Sekitar glandula lakrimalis dalam batas normal Tekanan IntraOkuler Konjunctiva bulbi Sklera Kornea Camera oculi anterior Iris Pupil Lensa Corpus vitreum VI. DIAGNOSIS BANDING Kelainan refraksi o Hipermetropia o Presbiopia o Astigmatisme Katarak kesan normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal tidak dilakukan

Glaukoma Retinopati hipertensi Retinopati diabetes mellitus

VII. DIAGNOSIS ODS Astigmatisme hipermetropia mixtus ODS presbiopia

VIII. PLANNING o Autorefrakter o Keratometer o Slit lamp o NCT o USG mata VII. TERAPI Kacamata bifokus Resep kacamata OD S+1,50 C-0.50 x 90 OS S+1,50 C-0.50 x 90 VIII. PROGNOSIS Ad vitam Ad sanam Ad kosmetikum Ad fungsionam baik baik baik OD baik Add+ 2.25 PD = 63 mm Add+ 2.25 PD = 61 mm OS baik baik baik dubia ad bonam

BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Refraksi Refraksi adalah suatu fenomena fisika berupa penyerapan sinar yang melalui media transparan yang berbeda. Sebagai suatu contoh proses refraksi saat sebuah pensil diletakkan di dalam gelas yang berisi air, maka akan tampak gambaran pensil di udara tidak lurus dengan yang tampak pada air (Peary, 2005). Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata yang tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2004). Analisis statistik distribusi anomali/ kelainan refraksi yang terjadi di masyarakat dalam populasi penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara jari-jari kurvatura kornea, kedalaman bilik mata depan, kekuatan refraksi dari lensa, panjang sumbu bola mata dengan anomali/ kelainan refraksi (Vhaugan, 2009). Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Punctum Proksimum merupakan titik terdekat di mana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Punctum Remotum adalah titik terjauh di mana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat (Ilyas, 2004).

B. Emetropia Pada mata ini daya bias mata adalah normal, di mana sinar jauh difokuskan sempurna di makula lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar sejajar tidak difokuskan pada makula lutea disebut ametropia. Mata emetropia akan mempunyai penglihatan normal atau 6/6 atau 100%. Bila media penglihatan seperti kornea, lensa, dan badan kaca keruh maka sinar tidak dapat diteruskan di makula lutea. Pada keadaan media penglihatan keruh maka penglihatan tidak akan 100% atau 6/6 (Ilyas, 2004). Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat. Panjang bola mata seseorang berbede-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat jatuh ke makula. Keadaan ini disebut ametropia/ anomali refraksi yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma. Kelainan lain pada mata normal adalah gangguan perubahan kencembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga erjadi gangguan akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia (Ilyas, 2004). C. Akomodasi Pada keadaan normal cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina, demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi benda dapat difokuskan pada retina atau makula lutea. Dengan berakomodasi, maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada retina. Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot

siliar. Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa bertambah kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat (Ilyas, 2004) Dikenal beberapa teori akomodasi, seperti: Teori akomodasi Hemholtz: di mana zonula Zinn kendor akibat konteaksi otot siliar sirkuler, mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung dan diameter menjadi kecil Teori akomodasi Thsernig: dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak dapat berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuka adalah bagian lensa yang superfisial atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian depan nukleus akan mencembung (Ilyas, 2004). Mata akan berakomodasi bila bayangan difokuskan di belakang retina. Bila sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan refraksi hipermetropia maka mata tersebut akan berakomodasi terus menerus walaupun letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini diperlukan akomodasi yang baik (Ilyas, 2004). Anak-anak dapat berakomodasi dengan kuat sekali sehingga memberikan kesukaran pada pemeriksaan kelainan refraksi. Daya akomodasi kuat pada anakanak dapat mencapai+12.00 sampai +18.00 D. Akibatnya pada anak-anak yang sedang dilakukan pemeriksaan kelainan refraksinya untuk melihat jauh mungkin terjadi koreksi miopia yang lebih tinggi akibat akomodasi sehingga mata tersebut memerlukan lensa negatif yang berlebihan (koreksi lebih). Untuk pemeriksaan kelainan refraksi anak sebaiknya diberikan sikloplegik untuk melumpuhkan otot akomodasi sehingga pemeriksaan kelainannya murni, dilakukan pada mata yang beristirahat. Biasanya untuk ini diberikan sikloplegik atau sulfat atropin bersifat

parasimpatolitik, yang selain bekerja untuk melumpuhkan otot siliar juga melumpuhkanotot sfingter pupil (Ilyas, 2004). Dengan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia (Ilyas, 2004). D. Ametropia Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda dekat (Ilyas, 2004). Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar atau mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang atau lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak akan terfokus pada makula. Keadaan ini disebut ametropia (anomali refraksi) yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisme. Kelainan system refraksi (pembiasan cahaya) pada mata, menyebabkan sinar-sinar sejajar yang masuk ke dalam mata tidak difokuskan pada retina saat mata tersebut dalam keadaan istirahat (Ilyas, 2004). E. Astigmatisma 1. Pengertian Astigmatisma Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh sebagai suatu fokus-titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian kornea atau lensa kristalina. Astigmatisme merupakan kelainan refraksi dimana pembiasan pada meridian yang berbeda tidak sama. Dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) sinar sejajar yang masuk ke mata

difokuskan pada lebih dari satu titik sengga menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multipel (Vaughan, 2009). Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di kornea Pada mata dengan astigmatisme lengkungan jari-jari pada satu meridian kornea lebih panjang daripada jari-jari meridian yang tegak lurus padanya (Ilyas, 2009). Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu : Epitel Membran Bowman Stroma Membran Descement Endotel Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas, 2009).

2. Pembagian Astigmatisma Pembagian astigmatisma menurut Ilyas (2009) : Astigmatisma lazim (Astigmatisma with the rule), yang berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal. Pada keadaan astigmatisma lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi. Astigmatisma tidak lazim (Astigmatisma againts the rule), suatu keadaan kelainan refraksi astigmatisma dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. 3. Bentuk Astigmatisma Bentuk astigmatisma menurut Ilyas (2009) dibagi menjadi 2, yaitu : Astigmatisma Regular Astigmatisme dikategorikan regular jika meredian meredian utamanya (meredian di mana terdapat daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis bolamata), mempunyai arah yang saling tegak lurus Astigmatisma Iregular Pada bentuk ini didapatkan titik focus yang tidak beraturan/tidak saling tegak lurus. Penyebab tersering adalah kelainan kornea seperti sikatrik kornea, keratokonus. Bisa juga disebabkan kelainan lensa seperti katarak imatur. Kelainan refraksi ini tidak bisa dikoreksi dengan lensa silinder (Vaughan, 2009).

4. Patofisiologi Astigmatisma Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus pembiasan. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain difokuskan di belakang retina. Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5, yaitu : Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh di depan retina Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik jatuh di belakang retina Astigmaticus miopicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan retina dan satunya tepat pada retina Astigmaticus hipermetropicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di belakang retina dan satunya tepat pada retina Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan retina dan belakang retina Mata dengan astigmatisma dapat dibandingkan dengan melihat melalui gelas dengan air yang bening. Bayangan yang terlihat dapat menjadi terlalu besar, kurus, atau terlalu lebar dan kabur (Ilyas et al, 2003). 5. Penyebab Astigmatisma Penyebab tersering dari astigmatism adalah kelainan bentuk kornea. Pada sebagian kecil dapat pula disebabkan kelainan lensa.Pada umumnya astigmatisme bersifat menurun, beberapa orang dilahirkan dengan kelainan bentuk anatomi kornea yang menyebabkan gangguan penglihatan dapat memburuk seiring bertambahnya waktu. Namun astigmatisme juga dapat disebabkan karena trauma pada mata sebelumnya yang menimbulkan jaringan

parut pada kornea, daat juga jaringan parut bekas operasi pada mata sebelumnya atau dapat pula disebabkan oleh keratokonus (Vaughan, 2009). Astigmatisma juga sering disebabkan oleh adanya selaput bening yang tidak teratur dan lengkung kornea yang terlalu besar pada salah satu bidangnya (Guyton et al, 1997). Permukaan lensa yang berbentuk bulat telur pada sisi datangnya cahaya, merupakan contoh dari lensa astigmatis. Derajat kelengkungan bidang yang melalui sumbu panjang telur tidak sama dengan derajat kelengkungan pada bidang yang melalui sumbu pendek. Karena lengkung lensa astigmatis pada suatu bidang lebih kecil daripada lengkung pada bidang yang lain, cahaya yang mengenai bagian perifer lensa pada suatu sisi tidak dibelokkan sama kuatnya dengan cahaya yang mengenai bagian perifer pada bidang yang lain (Ilyas, 2003) Astigmatisma pasca operasi katarak dapat terjadi bila jahitan terlalu erat (James et al, 2003). Selain itu daya akomodasi mata tidak dapat mengkompensasi kelainan astigmatisma karena pada akomodasi, lengkung lensa mata tidak berubah sama kuatnya di semua bidang. Dengan kata lain, kedua bidang memerlukan koreksi derajat akomodasi yang berbeda, sehingga tidak dapat dikoreksi pada saat bersamaan tanpa dibantu kacamata (Ilyas, 2003). 6. Tanda dan Gejala Astigmatisma Pada nilai koreksi astigmatisma kecil, hanya terasa pandangan kabur. Tapi terkadang pada astigmatisma yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau kelelahan mata, dan mengaburkan pandangan ke segala arah. Pada anak-anak, keadaan ini sebagian besar tidak diketahui, oleh karena mereka tidak menyadari dan tidak mau mengeluh tentang kaburnya pandangan mereka (Williams, 1997).

7. Pemeriksaan Astigmatisma a. Refraksi Subyektif Alat : Kartu Snellen. Bingkai percobaan. Sebuah set lensa coba. Kipas astigmat. Astigmat bisa diperiksa dengan cara pengaburan (fogging technique of refraction) yang menggunakan kartu snellen, bingkai percobaan, sebuah set lensa coba, dan kipas astigmat. Pemeriksaan astigmat ini menggunakan teknik sebagai berikut yaitu: Pasien duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter Pada mata dipasang bingkai percobaan Satu mata ditutup Dengan mata yang terbuka pada pasien dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan dengan lensa (+) atau (-) sampai tercapai ketajaman penglihatan terbaik Pada mata tersebut dipasang lensa (+) yang cukup besar (misal S + 3.00) untuk membuat pasien mempunyai kelainan refreksi astigmat miopikus Pasien diminta melihat kartu kipas astigmat Pasien ditanya tentang garis pada kipas yang paling jelas terlihat Bila belum terlihat perbedaan tebal garis kipas astigmat maka lensa S (+3.00) diperlemah sedikit demi sedikit hingga pasien dapat menentukan garis mana yang terjelas dan terkabur

Prosedur :

Lensa silinder (-) diperkuat sedikit demi sedikit dengan sumbu tersebut hingga tampak garis yang tadi mula-mula terkabur menjadi sama jelasnya dengan garis yang terjelas sebelumnya

Bila sudah dapat melihat garis-garis pada kipas astigmat dengan jelas,lakukan tes dengan kartu Snellen Bila penglihatan belum 6/6 sesuai kartu Snellen, maka mungkin lensa (+) yang diberikan terlalu berat,sehingga perlu mengurangi lensa (+) atau menambah lensa (-)

Pasien diminta membaca kartu Snellen pada saat lensa (-) ditambah perlahan-lahan hingga ketajaman penglihatan menjadi 6/6 (Ilyas, 2003) Sedangkan nilainya : Derajat astigmat sama dengan ukuran lensa

silinder (-) yang dipakai sehingga gambar kipas astigmat tampak sama jelas (Ilyas, 2003). b. Refraksi Obyektif Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka dengan mempergunakan keratometer, derajat astigmatisma dapat diketahui. Cara obyektif semua kelainan refraksi, termasuk astigmatisma dapat ditentukan dengan skiaskopi, retinoskopi garis (streak retinoscopy), dan refraktometri (Ilyas et al, 2003). 8. Penatalaksanaan Astigmatisma Astigmatism reguler, diberikan kacamata sesuai kelainan yang didapatkan, yaitu dikoreksi dengan lensa silinder negatif atau positif dengan atau tanpa kombinasi lensa sferis. Astigmatism ireguler, bila ringan bisa dikoreksi dengan lensa kontak keras, tetapi bila berat bisa dilakukan tranplantasi kornea (Ilyas, et al., 2003).

BAB IV PEMBAHASAN Refraksi merupakan suatu fenomena fisika berupa pembiasan sinar melalui media transparan yang berbeda (Peary, 2005). Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea (Ilyas, 2004). Di samping itu, dengan berakomodasi, maka benda pada jarak yang berbedabeda akan terfokus pada retina. Namun dengan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia (Ilyas, 2004). Astigmatisme merupakan jenis kelainan refraksi di mana pembiasan cahaya terjadi pada meridian yang berbeda sehingga mengakibatkan berkas cahaya jatuh sebagai suatu titik fokus yang berbeda pada retina. Pada penderita astigmatisme, dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) sinar sejajar yang masuk ke mata akan difokuskan pada lebih dari satu titik sehingga menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus yang multipel. Astigmatisme ini disebabkan karena kelainan kelengkungan di kornea. Pada mata dengan astigmatisme, kelengkungan jari-jari pada satu meridian kornea lebih panjang daripada jari-jari meridian yang tegak lurus padanya Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan ODS astigmatisme hipermetropia mixtus dan ODS presbiopia. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi, dan pemeriksaan refraksi. Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan utama berupa pandangan kabur pada kedua mata yang berlangsung sejak dua bulan yang lalu. Pandangan kabur ini dirasakan terus-menerus sepanjang hari dan semakin lama semakin memberat. Pasien juga mengeluh matanya sering cepat lelah,

jika melihat jauh terasa kabur dan untuk melihat dekat juga tidak nyaman. Seringkali untuk membaca tulisan di kertas, pasien harus menjauhkan kertas supaya tulisan terlihat lebih jelas. Pasien juga mengeluh kurang bisa melihat garis lurus dengan jelas. Keluhan-keluhan tersebut tidak disertai dengan tanda-tanda inflamasi, seperti mata merah, nrocos, mblobok, mata mengganjal, maupun melihat bayangan seperti pelangi. Di samping itu dari hasil anamnesis tidak ditemukan adanya gejala peningkatan tekanan intraokuler seperti mata cekot-cekot, melihat melalui lubang kunci, mual, dan muntah. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik dan tanda vital dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan oftalmologi tidak ditemukan adanya kelainan pada area sekitar mata, bulbus okuli, pergerakan bola mata maupun lapang pandang. Kemudian dilakukan pemeriksaan refraksi yang meliputi pemeriksaan visus dengan menggunakan Kartu Snellen, pemeriksaan astigmatisme dengan menggunakan Kipas astigmat dan pemeriksaan pinhole. Dari hasil pemeriksaan visus, didapatkan visus pasien 6/10 pada mata kanan dan mata kiri, sedangkan pada pemeriksaan dengan menggunakan kartu astigmat didapatkan pasien melihat garis horizontal lebih tebal daripada garis-garis yang lain. Kemudian dilakukan pemeriksaan pinhole. Dari hasil pemeriksaan pinhole didapatkan visus pasien maju menjadi 6/6. Dengan demikian penurunan visus bukan disebabkan karena kelainan di media refrakta. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan ophatalmologi dan pemeriksaan refraksi tersebut dapat disimpulkan kondisi mata pasien termasuk dalam kategori mata tenang visus turun perlahan. Adapun berbagai macam kelainan yang dapat menyebabkan mata tenang visus turun perlahan di antaranya adalah kelainan refraksi (seperti hipermetropia, astigmatisme, dan presbiopia), glaukoma sudut terbuka, katarak, retinopati hipertensi, retinopati DM dan degenerasi makula senilis. Dari hasil anamnesis tidak didapatkan adanya gejala peningkatan tekanan intraokuler seperti mata cekot-cekot, melihat melalui lubang kunci, mual, dan muntah. Dengan demikian, diagnosis glaukoma simpleks dapat disingkirkan. Dari hasil anamnesis

tidak didapatkan adanya riwayat diabetes melitus (kencing manis) maupun riwayat hipertensi baik pada pasien maupun pada keluarganya. Dengan demikian, kelainan degeneratif pada mata seperti retinopati hipertensi dan retinopati DM dapat disingkirkan. Dari hasil pemeriksaan ophtalmologi didapatkan lensa mata pada kedua mata pasien jernih. Dengan demikian diagnosis banding katarak dapat disingkirkan. Dari hasil pemeriksaan pinhole didapatkan hasil visus pasien maju menjadi 6/6 sehingga kelainan pada media refrakta, seperti katarak, dapat disingkirkan. Dengan demikian, penyebab pandangan kabur pada mata pasien disebabkan oleh karena adanya kelainan refraksi. Kelainan refraksi yang bisa diderita oleh pasien di antaranya adalah miopia, hipermetropia, astigmatisme dan presbiopia. Diagnosis presbiopia dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis mengingat usia pasien yang mencapai 53 tahun. Sedangkan diagnosis astigmatisme dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis mengingat hasil anamnesis yang menunjukkan pasien kurang bisa melihat garis lurus dengan jelas. Pasien dilakukan koreksi visus dengan menggunakan trial lens. Koreksi dilakukan dengan menggunakan lensa spheris konkaf maupun lensa spheris konveks. Karena visus pasien 6/10, maka koreksi dimulai dengan lensa +1.00 D maupun -1.00 D. Pasien dapat mencapai visus 6/6 dengan menggunakan lensa S+1.50 D. Kemudian dilakukan koreksi astigmatisme dengan menggunakan lensa silinder. Pada pasien ini kelainan astigmatisme dikoreksi dengan menggunakan lensa Cyl -0,50 dengan axis 900. Untuk membaca dekat, diberikan tambahan lensa S+ 2,25 D sesuai dengan usia pasien. Pasien ini memiliki prognosis yang baik dari segi ad vitam, ad sanam, maupun ad kosmetikum, sedangkan dari segi ad fungsionam prognosisnya dubia ad bonam. Pemberian kacamata pada pasien dengan ODS astigmatisme hipermetropia mixtus dan ODS presbiopia adalah untuk membantu penglihatan jarak jauh maupun jarak dekat serta untuk mencegah terjadinya perburukan visus. Edukasi perlu diberikan pada pasien ini, di antaranya adalah melakukan kontrol mata setiap 6 bulan sekali serta menghindari kebiasaan buruk yang dapat memperburuk visus. Operasi

perbaikan kornea seperti keratotomi radikal, epikeratofakia, atau foto refraktif keratektomi dilakukan apabila kondisi pasien memungkinkan.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa ODS astigmatisme miop compositus dan penatalaksanaannya adalah dengan pemberian kaca mata sferis silinder negatif. Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan bermacammacam derajat refraksi pada berbagai macam meridian sehingga sinar sejajar yang datang pada mata akan difokuskan pada berbagai macam fokus pula. Terdapat berbagai macam astigmatisma, antara lain simple astigmatisma, mixed astigmatisma dan compound astigmatisma. Terdapat 2 etiologi, yaitu kelainan pada lensa dan kelainan pada kornea. Koreksi dengan lensa silinder akan memperbaiki visus pasien. B. Saran Pemberian KIE kepada masyarakat mengenai kelainan refraksi, penanganan serta pencegahan perlu dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA Guyton,N Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.hal 786-790. Ilyas, Sidarta, 2003. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia Ilyas, S., 2009. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. James,Bruce., Chew, Chris., Brown, Anthony., 2003. Lecture Notes Edisi kesembilan. Jakarta: Erlangga.hal 34-36. Peary, Robert E, 2005. The North Pole: Its Discovery in 1909, 1910. New York: Frederick A. Stokes Co.U.S. Naval Observatory, Nautical Almanac Office. Air Almanac,. Department of the Navy. Vaughan, D.G.,Asbury, T., Riordan-Eva, P., 2004 Kesalahan Refraksi dalam Oftalmologi Umum, 14th ed. Penerbit Widya Medika, Jakarta. Oftalmologi.

You might also like