You are on page 1of 28

PRESENTASI KASUS KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

Disusun Oleh : PRIEZA NOOR AMALIA 1102009217

Preceptor : Dr. Hj. Helida Abbas, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS OBSTETRI GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA RSU DR SLAMET GARUT 2013

BAB I ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS Nama Pasien : Ny. A Umur Pendidikan Pekerjaan Agama Alamat Masuk RS No. CM : 31 tahun : SMP : IRT : Islam : Caringin : 2 April 2013 : 01591259

Nama Suami : Bpk. O Umur Pendidikan Pekerjaan Agama : tidak diketahui : SD : Pedagang : Islam

ANAMNESIS

Keluhan Utama Nyeri perut

Anamnesa Khusus G4P3A0 merasa hamil 3 minggu mengeluh nyeri perut sejak kurang lebih 3 hari SMRS, keluhan disertai perdarahan dari jalan lahir berupa bercak. Ada nyeri ulu hati, mual, dan muntah. Riwayat keluar gumpalan atau jaringan disangkal. Riwayat keluar gelembung seperti telur ikan disangkal. Riwayat panas badan disangkal. Riwayat minum obat-obatan dan jamujamuan disangkal. Riwayat adanya trauma disangkal.

Riwayat Obstetri 1. Rumah, paraji, aterm, spontan, 2500 gram, perempuan, 14 tahun, hidup. 2. Rumah, paraji, aterm, spontan, 2700 gram, laki-laki, 9 tahun, hidup.

3. Rumah, paraji, aterm, spontan, 2800 gram, laki-laki, 3 tahun, hidup. 4. Hamil ini.

Riwayat Perkawinan Status Usia saat menikah : menikah kedua kali : istri : 16 tahun Suami : tidak diketahui

Haid HPHT Siklus Lama Banyaknya darah Nyeri haid Menarche usia : 16 Maret 2013 : teratur : 7 hari : biasa : tidak ada : 13 tahun

Kontrasepsi Terakhir Suntik 3 bulan Akseptor KB sejak tahun 1999 sampai dengan 2012 Alasan berhenti KB karena ingin punya anak lagi

Prenatal Care Ke dokter umum. Jumlah kunjungan PNC 3 kali. Terakhir PNC 1 minggu yang lalu.

Keluhan selama Kehamilan Tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada.

PEMERIKSAAN FISIK KU : Compos mentis

Tensi : 90/60 mmHg

Nadi RR

: 92x/menit : 26x/menit

Suhu : afebris Kepala : conjunctiva anemis Sklera tidak ikterik Leher : tiroid : tidak ada kelainan KGB : tidak ada kelainan Thorak : Cor : BJ murni reguler Pulmo : Sonor, VBS kanan=kiri Abdomen : distensi, tegang, DM (+), PS/PP (-), NT (+) bagian seluruh perut bawah Hepar : tidak teraba Lien : tidak teraba Ekstremitas : edema dan varises tidak ada pada kedua kaki

STATUS OBSTETRIK Pemeriksaan Luar TFU / Lingkar Perut : tidak teraba Letak Anak His DJJ :::-

USG Cairan bebas

: Endometrial Line (+) : (+)

Pemeriksaan Dalam Vulva Vagina OUE Cavum uteri Adneksa kanan kiri Cavum Douglas Serviks : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tertutup : agak membesar : menonjol, nyeri tekan (+) : menonjol, nyeri tekan (+) : nyeri goyang serviks

DIAGNOSIS (ASSESMENT) Kehamilan ektopik terganggu

RENCANA PENGELOLAAN / TINDAKAN -Infus, cross match sedia darah -O2 2-3 L/menit -Resusitasi cairan 1 L -Rencana laparotomi eksplorasi -Observasi keadaan umum dan tanda vital

PEMERIKSAAN PENUNJANG (LABORATORIUM)

Tanggal 2 April 2013 (16.44 WIB) 1. HEMATOLOGI Darah Rutin Hemoglobin Hematokrit Lekosit Trombosit Eritrosit : 7,5 g/dL (12-16) : 23% (35-47) : 12.900/mm3 (3.800-10.600) : 307.000/mm3 (150.000-440.000) : 2.46 juta/mm3 (3,6-5,8)

2. IMUNOSEROLOGI HBsAg : Negatif

3. URINE Tes Kehamilan : POSITIF

Tanggal 3 April 2013 (06.00 WIB) 1. HEMATOLOGI Darah Rutin Hemoglobin Hematokrit Lekosit Trombosit : 7,5 g/dL (12-16) : 23% (35-47) : 10.400/mm3 (3.800-10.600) : 235.000/mm3 (150.000-440.000)

Eritrosit

: 2.45 juta/mm3 (3,6-5,8)

Tanggal 3 April 2013 (22.34 WIB) 1. HEMATOLOGI Darah Rutin Hemoglobin Hematokrit Lekosit Trombosit Eritrosit : 8,7 g/dL (12-16) : 25% (35-47) : 8.400/mm3 (3.800-10.600) : 217.000/mm3 (150.000-440.000) : 2,71 juta/mm3 (3,6-5,8)

FOLLOW UP DOKTER

TANGGAL 2 April 2013 (POD 0)

CATATAN S: tidak ada keluhan O : KU : Compos Mentis Tensi : 90/60 mmHg Nadi :100x/menit RR : 20x/menit Suhu : afebris Abdomen : datar lembut DM (-) PS/PP (-) NT (-) Perdarahan pervaginam : (-) lochia rubra Diuresis : 100cc/jam A : abortus tuba pars ampularis dextra

INSTRUKSI -IVFD RL : D5 2:1 30 gtt/menit -Cefotaxime 2x1gram IV -Metronidazole 3x500g IV -Ketoprofen 2x1supp -Puasa s/d BU (+) -Transfusi PRC 2 labu -Periksa Hb pasca transfusi 2 labu -Observasi KU

3 April 2013 (POD 1)

S : nyeri perut bagian bawah O : KU : Compos Mentis Tensi : 100/60 mmHg Nadi : 80x/menit RR : 20x/menit Suhu : afebris Abdomen : datar lembut DM (-) PS/PP (-) NT (+) BU (-) Perdarahan pervaginam (-) Lochia rubra A : abortus tuba pars ampularis dextra LO : tertutup verband BAK/BAB : (+)/(-)

-Transfusi s/d Hb 8g/dL -1 labu lagi cek Hb -Terapi injeksi teruskan -Test feeding -Observasi

4 April 2013 (POD 2)

S : tidak ada keluhan O : KU : Compos Mentis Tensi : 110/70 mmHg Nadi : 84x/menit RR : 20x/menit Suhu : afebris Abdomen : datar lembut NT (-), DM (-), PS/PP (-) Perdarahan pervaginam : (-) Lochia rubra LO : tertutup verband BU : (+) A : abortus tuba pars ampularis dextra

-IV line lepas -Obat ganti oral -Cefadroxil 2x500mg -Asam Mefenamat 3x500mg -Metronidazole 3x500mg -Mobilisasi

5 April 2013 (POD 3)

S : tidak ada keluhan O : KU : Compos Mentis Tensi : 120/80 mmHg Nadi : 80x/menit RR : 20x/menit Suhu : afebris Abdomen : datar lembut NT (-), DM (-), PS/PP (-) Perdarahan pervaginam : (-) LO : kering terawat BAK/BAB : (+)/(+) A : abortus tuba pars ampularis dextra

-Cefadroxil 2x500mg -Asam Mefenamat 3x500mg -Metronidazole 3x500 mg -Boleh pulang

LAPORAN OPERASI

Tanggal 2 April 2013 Operator Asisten 1 Ahli Anestesi Asisten Anestesi Jenis Anestesi Diagnosa Pra Bedah Diagnosa Pasca Bedah Jenis Operasi/Tindakan Kategori Operasi Desinfeksi Kulit Laporan Operasi Lengkap : Dr. Arry : Meta : dr. Hj. Hayati, Sp.An : Asty : NU : Kehamilan Ektopik Terganggu : Abortus tuba pars ampularis dextra : Salphingectomy dextra : Besar : Povidone Iodine 10% :

Dilakukan tindakan a dan antiseptik pada abdomen dan sekitarnya Insisi mediana inferior 10 cm Setelah peritoneum dibuka, tampak banyak darah dan bekuan darah sebanyak 800cc mengisi rongga abdomen. Pada eksplorasi selanjutnya tampak tuba pars ampularis dextra membesar dengan ukuran 6x5x4cm dengan ostium tuba pars ampularis dextra pars abdominalis masih aktif mengeluarkan darah

Kesan : Abortus tuba pars ampularis dextra Diputuskan untuk melakukan salphingectomy dextra Pangkal tuba kanan dan mesosalphy kanan diklem, dipotong, dan diikat Rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah Fascia dengan PGA no 1 kulit subkutikuler Perdarahan saat operasi 100cc Diuresis 100cc

Prognosis Quo ad Vitam Quo ad Functionam Quo ad Sanasionam : bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

PERMASALAHAN 1. Apakah diagnosa kehamilan ektopik terganggu pada pasien ini sudah benar? 2. Bagaimana pengelolaan yang seharusnya pada pasien ini? 3. Bagaimana prognosis pada pasien ini?

PEMBAHASAN 1. Pasien wanita usia 31 tahun datang dengan nyeri perut bagian bawah disertai keluhan keluar darah (spotting) dari jalan lahir sejak 3 hari SMRS. Berdasarkan keluhan utama pasien dapat dipikirkan beberapa diagnosis diferensial diantaranya trauma, apendisitis, keguguran/abortus, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dan mola hidatidosa. Riwayat trauma pada daerah genitalia dan abdomen disangkal oleh pasien, sehingga kemungkinan perdarahan akibat trauma dapat disingkirkan. Pada pasien juga tidak terdapat demam sehingga diagnosis banding apendisitis dan salpingitis dalam disingkirkan. Pasien memiliki faktor resiko yang menunjang ke arah diagnosis kehamilan ektopik terganggu yaitu memiliki riwayat koitus dibawah usia 18 tahun karena pasien menikah saat usia 16 tahun. Hal tersebut termasuk faktor resiko ringan untuk kehamilan ektopik. Walaupun pasien memiliki faktor resiko yang mendukung ke arah kehamilan ektopik namun kemungkinan lain seperti abortus/keguguran dan mola hidatidosa belum dapat disingkirkan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital pasien dalam keadaan stabil, hal tersebut menunjukkan bahwa pasien kemungkinan tidak/belum masuk dalam keadaan syok walaupun tekanan darah masih normal namun dibatas bawah sehingga patut dicurigai terjadi adanya kemungkinan gangguan perfusi. Pada palpasi abdomen ditemukan tanda-tanda akut abdomen, seperti nyeri tekan dan deffance muscular hal tersebut menunjukkan mungkin telah terjadi perdarahan yang banyak ke rongga abdomen yang menyebabkan rangsangan peritoneum. Pada pemeriksaan ginekologi, pada pemeriksaan dalam didapatkan ostium yang tertutup serta tidak didapatkan riwayat adanya jaringan yang keluar dari jalan

lahir sehingga diagnosis banding abortus insipiens dan inkompletus dapat disingkirkan. Porsio tebal lunak, yang merupakan tanda kehamilan. Pada vaginal toucher, didapatkan masa pada adneksa kanan dan kiri menonjol, terdapat nyeri goyang serviks, daerah adneksa dan kavum Douglas menonjol yang merupakan tanda khas dari kehamilan ektopik terganggu. Pada pemeriksaan PP yang positif menandakan bahwa pasien benar hamil dan saat di USG, tampak terdapat endometrial line dan cairan keluar sehingga kesan kesimpulan USG adalah kehamilan ektopik. Pada pasien juga terdapat kadar hemoglobin yang rendah yaitu 7,5 g/dL dan Ht 23% oleh karena itu kemungkinan pasien menderita anemia akibat kehilangan darah yang dicurigai dari darah yang keluar dari rupturnya kehamilan ektopik. Kemudian, dibuktikan secara pasti pada laporan operasi ditemukan ruptur tuba pars ampularis dextra dengan adanya bekuan darah di dalam rongga abdomen (penyebab tanda nyeri akut abdomen).

2. Pada pasien ini telah dikelola dengan baik sesuai dengan indikasinya, terutama dengan dilakukannya laparotomi eksplorasi segera (cito) dikarenakan adanya tanda nyeri akut abdomen, tekanan darah normal namun dibatas bawah dan Hb yang rendah, sehingga dikhawatirkan perdarahan masih aktif yang harus di evakuasi segera dan dihentikan. Sebelum dilakukan operasi, assessment awal di UGD sudah dilakukan tindakan yang tepat dengan dilakukan resusitasi cairan dan pemberian oksigen agar tidak terjadi gangguan perfusi lebih lanjut yaitu syok hipovolemik. Rencana penyiapan transfusi sebanyak 2 labu PRC juga dilakukan untuk menambah darah yang telah hilang agar Hb dapat naik, sehingga saat pascaoperasi darah tidak makin banyak berkurang. Jenis operasi yang juga telah dilakukan adalah salpingektomi atau reseksi tuba karena telah terjadi ruptur, perdarahan banyak, dan hasil konsepsi berdiameter > 2 cm, sedangkan jika melakukan salpingostomi biasanya dilakukan untuk membuang hasil konsepsi yang memiliki diameter kurang dari 2 cm dan terletak di sepertiga distal tuba. Pasca operasi pasien diberikan antibiotik Cefotaxime dan Metronidazole karena telah dilakukan operasi invasif agar tidak terjadi infeksi pascaoperasi, dan ketoprofen supp serta asam mefenamat sebagai analgetik.

3. Prognosis quo ad vitam pada pasien ini bonam, karena keadaan umum dan tanda vital pasien sebelum dan sesudah pasien operasi baik. Prognosis quo ad functionam dubia ad bonam, karena dilakukan salpingektomi pada tuba kanan pasien, sehingga hanya ada satu tuba yang berfungsi sehingga kemungkinan pasien untuk hamil lagi menjadi berkurang, namun karena satu tuba masih bisa berfungsi maka masih ada peluang untuk hamil lagi. Prognosis quo ad sananctionam dubia ad bonam, karena berdasarkan tinjauan pustaka didapatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik akan meningkat apabila pasien pernah mengalami kehamilan ektopik sebelumnya.

BAB II PEMBAHASAN UMUM

Pendahuluan Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang berhubungan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan yang gawat ini terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang dapat dihadapi oleh setiap dokter, karena sangat beragamnya gambaran klinik ektopik terganggu. Hal yang perlu diingat ialah, bahwa pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah, perlu dipikirkan kehamilan ektopik terganggu.

Definisi Kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang berimplantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars interstisialis tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampullaris tuba, dan kehamilan infundibulum tuba. Kehamilan di luar tuba adalah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan abdominal yang bisa primer atau sekunder. Kehamilan intrauterine dapat ditemukan bersamaan dengan kehamilan ekstrauterin. Dalam hal ini dibedakan dua jenis, yaitu combined ectopic pregnancy di mana kehamilan intrauterin terdapat pada waktu yang sama dengan kehamilan ekstrauterin dan compound ectopic pregnancy yang merupakan kehamilan intrauterin pada wanita dengan kehamilan ekstrauterin lebih dahulu dengan janin sudah mati dan menjadi litopedion

Etiologi Sebagian besar dari penyebab kehamilan ektopik belum banyak diketahui. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kehamilan ektopik adalah saat telur mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih di tuba atau nidasinya di tuba dipermudah. Faktorfaktor yang mempengaruhinya adalah :

1. Faktor dalam lumen tuba a. Endosalpingitis. Endosalpingitis dapat menyebabkan perlekatan endosalping sehingga lumen tuba akan menyempit atau membentuk kantung buntu yang menyebabkan telur terhambat di dalam lumen tuba b. Hipoplasia uteri. Pada hipoplasia uteri lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk dan hal ini juga sering disertai gangguan fungsi silia endosalping c. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna dapat menyebabkan lumen menyampit. 2. Faktor pada dinding tuba a. Endometriosis tuba. Pada endometriosis tuba, tuba menjadi tempat yang kondusif untuk implantasi telur yang dibuahi. b. Divertikel tuba kongenital dapat menahan telur yang dibuahi di tempat tersebut. 3. Faktor di luar dinding tuba a. Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan telur. b. Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba 4. Faktor lain a. Migrasi luar ovum b. Fertilisasi in vitro.

Patologi Proses implantasi ovum yang dibuahi pada dasarnya sama halnya dengan di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Pada nidasi kolumner, telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya terbatas oleh karena kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan kemudian diresorbsi. Sedangkan pada nidasi interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping dan kemudian membentuk pseudokapsularis, dimana telur terpisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupa desidua. Pembentukan desidua tersebut tidak sempurna bahkan terkadang tidak tampak, dengan mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.

Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek; endometrium dapat berubah pula menjadi desidua. Pada sebagian kehamilan ektopik dapat ditemukan perubahan-perubahan pada endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella, dimana sel epitel membesar dengan inti hipertrofik, hiperkromatik, lobuler dan berbentuk tak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubanglubang atau berbusa, dan kadang ditemukan mitosis. Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping atau pun dilepaskan secara utuh. Perdarahan yang dijumpai berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang degeneratif. Tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, maka tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Oleh karena itu nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan 6-10 minggu. 1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi Terjadi pada implantasi secara kolumner. Dalam keadaan ini penderita tidak ada keluhan, hanya haid yang terlambat selama beberapa hari.

2. Abortus ke dalam lumen tuba Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh darah oleh villi korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan janin dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Keadaan ini lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh villi koriales ke arah peritoneum biasa terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars ampullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan dengan bagian ismus dengan lumen yang sempit. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tak sempurna, perdarahan akan terus berlangsung dari sedikit demi sedikit oleh darah hingga berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (hematosalping), dan selanjutnya darah akan mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba, berkumpul di kavum Douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina.

3. Ruptur dinding tuba Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah penembusan villi korialis ke dalam lapisan muskularis tuba lalu ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, yang jika banyak dapat sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila pseusokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen tuba. Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, dapat terjadi ruptur sekunder. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Terkadang ruptur terjadi di arah ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan ligamentum tersebut. Jika janin tetap hidup, terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Jika penderita dapat bertahan tanpa operasi, nasib janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati masih kecil dapat diresorbsi seluruhnya, namun bila besar akan berubah menjadi litopedion. Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan plasenta masih utuh dapat terus tumbuh dalam rongga perut, sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus.

Gambaran Klinik Gejala klinis pada kehamilan ektopik sangat menyerupai kehamilan normal. Pada kehamilan ektopik yang muda dan tidak terganggu terdapat gejala seperti yang didapatkan pada kehamilan yaitu amenorea, mual sampai muntah. Kadang terdapat rasa nyeri pada perut kiri atau kanan bawah yang disebabkan oleh adanya regangan peritoneum karena tuba yang membesar karena kehamilan ektopik. Uterus juga dijumpai membesar dan lembek seperti pada kehamilan normal. Biasanya, kehamilan ektopik terdeteksi ketika sudah mengalami ruptur, oleh karena itu, sebelum adanya ruptur atau gangguan lain, sangat dibutuhkan keterampilan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik.

Gejala yang paling sering dijumpai pada kehamilan ektopik adalah nyeri abdomen dan pelvis (95%) dan amenorea dengan sedikit spotting atau bercak darah (60 80%). Nyeri biasanya terjadi pada abdomen bagian bawah dan akan terasa seperti kram. Nyeri dapat menjalar ke bahu. Nyeri terjadi karena regangan peritoneum oleh tuba yang berisi gravid (pada kehamilan tuba). Apabila terjadi ruptur, nyeri dapat terjadi di seluruh abdomen. Perdarahan pervaginam dapat juga muncul. Biasanya terjadi setelah kematian janin. Perdarahan ini merupakan efek dari menurunnya kadar estrogen. Perdarahan biasanya berwarna coklat tua dan mirip seperti perdarahan pada menstruasi. Hal ini sering mengecoh pasien karena mirip dengan menstruasi normal. Terdapat juga perubahan dari uterus. Uterus pada kehamilan ektopik dapat terdorong ke satu sisi karena adanya penekanan dari massa ektopik. Pergeseran ini dapat juga disebabkan oleh otot atau ligamen yang berisi darah. Pada 25% kasus, uterus membesar karena stimulasi hormon saat kehamilan. Derajat perubahan endometrium uterus menjadi desidua sangat bervariasi. Adapun penemuan dari desidua uterus tanpa trofoblas dapat menjadi dasar diagnosis dari kehamilan ektopik walapun tidak selalu, dan tidak adanya desidua pada uterus belum berarti bisa menyingkirkan kehamilan ektopik. Sebelum terjadi ruptur, tekanan darah dan tanda vital ibu normal. apabila terjadi perdarahan respon yang terjadi mulai dari perubahan tanda vital hingga kenaikan tekanan darah yang sangat tinggi, atau bisa juga terjadi respon vasovagal disertai dengan bradikardia dan hipotensi. Birkhan dkk (2003) menyatakan bahwa dari 25 orang wanita yang mengalami ruptur kehamilan ektopik, mayoritas memiliki denyut nadi kurang dari 100 kali per menit dan tekanan darah sistolik diatas 100 mmHg. Tekanan akan meningkat dan pulsasi juga akan meningkat hanya jika perdarahan terus berlangsung. Pada pemeriksaan bimanual, akan ditemukan massa pada pelvis. Ukurannya beragam mula dari 5 15 cm, massa ini dapat dipalpasi pada 20% wanita yang mengalami kehamilan ektopik. Kebanyakan massa dapat dipalpasi posterior atau lateral dari uterus, dan bersifat lembut dan kenyal bila diraba. Dengan adanya infiltrasi darah pada dinding tuba, kadang massa terasa keras. Pemeriksaan bimanual harus hati-hati mengingat dapat terjadinya ruptur iatrogenik. Apabila terjadi abortus tuba dapat timbul perdarahan dari uterus, rasa nyeri, dan uterus terasa keras. Ditemukan juga adanya nyeri tekan. Penderita bisa mengalami anemia jika darah yang keluar cukup banyak. Suhu badan meningkat, di tempat terjadinya hematosalping, perut akan terasa nyeri pada palpasi dan kadang dapat terasa adanya massa di tempat itu.

Ruptur tuba biasanya terjadi secara tiba-tiba dan keadaan pasien lebih parah dibandingkan pada abortus tuba. Pasien biasanya tampak anemis, kadang dalam keadaan syok, suhu badan menurun, nadi cepat, tekanan darah menurun, dan akral terasa dingin. Perut agak membesar dengan adanya nyeri tekan pada palpasi. Kadang ditemukan cairan bebas dalam rongga perut.

Diagnosis Kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak mengalami kesukaran, tetapi pada jenis menahun dan atipik bisa sulit sekali. Untuk mempertajam diagnosis maka pada tiap perempuan dalam masa reproduksi dengan keluhan nyeri perut bagian bawah atau kelainan haid, kemungkinan kehamilan ektopik harus dipikirkan. Pada umumnya dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang cermat diagnosis dapat ditegakkan, walaupun biasanya alat bantu diagnostik seperti kuldosentesis, ultrasonografi, dan laparoskopi masih diperlukan anamnesis. Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat beberapa gejala subyektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dapat dinyatakan. Perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perut bagian bawah. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan jarak satu jam selama 3 kali berturut-turut. Bila ada penurunan hemoglobin dan hamtokrit, dapat menudukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus jenis tidak mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam. Perhitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukositosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya menunjukkan pada keadaan infeksi pelvik. Tes kehamilan berguna apabila hasil positif. Akan tetapi tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas mengakibatkan produksi human chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu sering keliru dengan abortus insipiens atau abortus inkompletus yang kemudian dilakukan kuretase. Bila hasil kuretase meragukan jumlah hasil konsepsinya, maka kita perlu curiga terjadinya kehamilan ektopik terganggu

yang gejala dan tandanya tidak khas. Pada umumnya dilatasi dan kerokan untuk menunjang diagnosis kehamilan ektopik tidak dianjurkan. Berbagai alasan dapat dikemukakan: Kemungkinan adanya kehamilan dalam uterus bersama kehamilan ektopik; Hanya 12-19% kerokan pada kehamilan ektopik menujukkan reaksi desidua; Perubahan endometrium yang berupa reaksi Arias-Stella tidak khas untuk kehamilan ektopik. Namun, jika jaringan yang dikeluarkan bersama dengan perdarahan terdiri atas desidua tanpa vili korialis, hal itu dapat memperkuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Doulgasi ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu diagnosis kehamilan ektopik terganggu teknik kuldosisntesis dapat dilaksanakan dengan urutan berikut. Penderita dibaringkandengan posis litotomi Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam serviks, dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak. Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum Douglas dan dengan semprit 10 ml dilakukan pengisapan. Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan: o o Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku; darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk. Darah tua berwarna cokelat tua sampai hitam yang tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil, darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Laparaoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas, dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit visualisasi organ kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi.

Ringkasan Diagnosis 1. Keluhan nyeri perut bagian bawah atau kelainan haid (dalam masa reproduksi)

2. Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu 3. Beberapa gejala subyektif kehamilan muda 4. Nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus 5. Perdarahan pervaginam setelah nyeri perut bagian bawah Pemeriksaan laboratorium 1. Dilakukan secara serial dengan jarak satu jam selama 3 kali berturut-turut terjadi penurunan hemoglobin dan hematokrit (penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam) 2. Perhitungan leukosit membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik leukosit yang melebihi 20.000 menujuk pada infeksi pelvik 3. Tes kehamilan berguna apabila hasil positif Kuldosentesis Darah tua berwarna cokelat tua sampai hitam yang tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil; darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina.

Penatalaksanaan A. Pembedahan Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Ada dua kemungkinan prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. salpingotomi linier, atau 2. reseksi segmental. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba.

1. Salpingotomi linier Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan pada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur ini dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier kemudian dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Insisi kemudian diperlebar melalui dinding antimesenterika hingga memasuki ke dalam lumen dari tuba yang meregang. Tekanan yang hati-hati diusahakan dilakukan pada sisi yang berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan hati-hati dari dalam lumen. Biasanya terjadi

pemisahan trofoblas dalam jumlah yang cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran produk kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-hati dengan menggunakan sedotan atau dengan menggunakan gigi forsep dapat digunakan bila perlu, hindari jangan sampai terjadi trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa.

Gambar 1. Salpingotomi Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa jangan ada sisa material benang yang tertinggal pada permukaan mukosa, karena sedikit saja dapat menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang diikuti dengan terjadinya perlengketan.

2. Reseksi segmental Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi, jadi prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang terjadi berikutnya. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini baik dilakukan dengan mengunakan loupe magnification atau mikroskop. Penting sekali jangan sampai terjadi trauma pada pembuluh darah tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi

dan dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan mikroskop/loupe. Dengan benang absorbable 6-0 atau 7-0, dan lapisan serosa ditunjang dengan jahitan terputus tambahan.

3. Salpingektomi Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi. Hemoperitonium yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang serius.

Gambar 2. Salpingektomi

Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan, dan tuba yang meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu uteri, hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan benang absorben 0 digunakan untuk menutup myometrium pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan menggunakan benang absorben. Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah terjadinya hematom pada ligamentum latum.

B. Terapi farmakologi Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan ultrasonografi transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan medisinalis memiliki keuntungan yaitu kurang invasif, menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu penyembuhan. Obat yang utama digunakan pada kehamilan ektopik adalah methotrexate (MTX). Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis DNA dan

multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini adalah (1) kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah (2) diameter kantong gestasi 4 cm; (3) perdarahan dalam ronga perut 100 ml; (4) tanda vital baik dan stabil. Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi lokal dengan panduan USG atau laparoskopi.. Kooi and Kock (1992) melaporkan beberapa efek samping dari methotrexate. Penyakit yang paling sering dijumpai adalah liver involvement (12 %), stomatitis (6 %), and gastroenteritis (1 %). Dosis yang tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia (Buster and Pisarska, 1999), dermatitis, eumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang sementara. Pemberian MTX biasanya disertai pemberian asam folat (leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat namun tidak tergantung pada enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian asam folat ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada sel-sel tersebut.
2

Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis tungal MTX 50 mg/m luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita diperiksa dulu kadar hCG, fungsi hepar, kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX kadar hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4 maka MTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari
2

ke-4 atau menetap selama interval setiap minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m kedua. Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB. Berdasarkan American College of Obstetricians and Gynecologists (1998), kontraindikasi pemberian MTX adalah menyusui, immunodeficiency, alkoholik, adanya penyakit ginjal atau hepar yang aktif, penyakit aktif pulmoner, ulkus peptikum.

Prognosis Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971) melaporkan 1 kematian di antara 826 kasus, dan Willson dkk., (1971) 1 di antara 591. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus, sedangkan Tarjamin dkk., (1973) 4 dari 138 kehamilan ektopik. Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi steril, setelah mengalami kehamilan ektopik, atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Penderita mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah sekitar 50%. Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomia bilateralis. Dengan sendirinya hal ini perlu disetujui suami istri sebelumnya.

Klasifikasi pembagian tempat-tempat kehamilan ektopik : a) Kehamilan Tuba Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan halnya di kavum uteri. Karena tuba bukan tempat yang normal bagi kehamilan maka sebagian besar kehamilan akan terganggu pada umur 6-10 minggu.

Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan : Mati kemudian diresorbsi Terjadi abortus tuba (65 %), perdarahannya bisa sedikit atau banyak.

Hasil konsepsi atau perdarahan bisa keluar kearah kavum uteri dan dikeluarkan pervaginam, atau dari kavum abdominal sehingga bertumpuk dibelakang rahim disebut hematoma retrouterina atau masa pelvis (pelvic mass). Terjadi ruptur tuba (35 %) bila robekan kecil maka hasil konsepsi tetap tinggal dalam tuba, sedangkan dari robekan terjadi perdarahan yang banyak Bila robekan besar hasil konsepsi keluar dan masuk dalam rongga perut, nasib konsepsinya yaitu : o Mati dan bersama darah berkumpul di retroteurina o Bila janin agak besar dan mati akan menjadi litopedion dalam rongga perut

o Janin keluar dari tuba diselubungi kantong amnion dan plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut dan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Selanjutnya janin dapat tumbuh besar bahkan sampai aterm.

Kehamilan Intramuralis (Intertisial) Karena dinding agak tebal, dapat menahan kehamilan sampai 4 bulan atau lebih, kadang kala sampai aterm. Kalau pecah dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan keluarnya janin dalam rongga perut.

Kehamilan Isthmus Dinding tuba disini lebih tipis, biasanya pada kehamilan 2-3 bulan sudah pecah.

Kehamilan Ampula dan Fimbria Dapat terjadi abortus atau ruptur pada kehamilan 1-2 bulan dan nasib hasil konsepsi sama dengan intertisial

Perubahan pada Uterus Hormon-hormon kehamilan akan memberikan reaksi pada uterus seperti pada kehamilan biasa dan tetap ditemui uterus yang bertambah besar dari biasa, melunak, suplai darah yang bertambah, dan terbentuknya desidua. Bila hasil konsepsi dalam tuba mati, maka desidua mengalami degenerasi, terkelupas, berdarah kemudian keluar pervaginam disebut desidual cast. Bila tidak ada gejala sering diduga keguguran sehingga dilakukan kuretase.

b) Combined ectopic pregnancy Sangat jarang kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan kehamilan intrauterin. Keadaan ini disebut combined ectopic pregnancy. Frekuensi combined ectopic pregnancy berkisar 1 di antara 10.000 sampai 1 di antara 30.000 persalinan. Di Indonesia dilaporkan 5 kasus. Pada umumnya diagnosis kehamilan tersebut dibuat pada waktu operasi kehamilan ektopik yang terganggu. Pada laparotomi ditemukan selain kehamilan ektopik juga kehamilan intrauterin dan didapati 2 korpus luteum. Pengamatan lebih lanjut adanya kehamilan intrauterin menjadi lebih jelas.

c) Kehamilan ovarial Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Perdarahan terjadi bukan saja karena pecahnya kehamilan ovarium tetapi juga oleh ruptur kista korpus luteum, torsi dan endometriosis. Gejala-gejalanya sama dengan kehamilan tuba. Stux membagi kehamilan ini menjadi : Intra Folikular (nidasi pada folikel) Superfisial (implantasi pada permukaan ovarium) Intertisial ( pada pars interstitialis ovarium) Diagnosis kehamilan tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriteria dari Spiegelberg, yakni: (1) tuba pada sisi kehamilan harus normal; (2) kantong janin harus berlokasi pada ovarium; (3) kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovarii propium; (4) jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin. Kriteria-kriteria tersebut sebenarnya sukar dipenuhi karena kerusakan jaringan ovarium, pertumbuhan trofoblas yang luas, dan perdarahan menyebabkan topografi kabur, sehingga pengenalan implantasi permukaan ovum sukar ditentukan dengan pasti. Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil, dikelilingi oleh jaringan ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan ovarial biasanya terjadi ruptur pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan dalam perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya, sehingga tidak terjadi ruptur; ditemukan benjolan dengan berbagai ukuran, yang terjadi atas jaringan ovarium yang mengandung darah, villi koriales, dan mungkin juga selaput mudigah.

d) Kehamilan Abdominal Menurut cara terjadinya dibagi menjadi: 1. Primer Implantasi terjadi sesudah dibuahi, langsung pada peritonium atau kavum abdominal 2. Sekunder Bila embrio yang masih hidup dari tempat primer, misalnya karena abortus tuba atau ruptur tuba, tumbuhlagi dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal dapat mencapai aterm dan anak hidup, hanya sering menjadi cacat tubuh. Biasanya fetus sudah meninggal sebelum cukup bulan kemudian mengalami degenerasi dan maserasi, infiltrasi lemak, menjadi lithopedion ( membantu) atau menjadi fetus papyraceus.

Terapi Setelah diagnosa ditegakkan sedini mungkin harus dilakukan laparotomi. Anak dikeluarkan dan tali pusat dipotong sependek mungkin, placenta dibiarkan berada dalam rongga perut karena untuk mencegah perdarahan. Bila selamat biasanya akan diabsorbsi dalam waktu beberapa bulan. Tampak uterus terdorong kebelakang dan implantasi

plasenta sebagian besar pada dinding depan rahim.

e) Kehamilan servikal Kehamilan servikal pun sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi dalam kanalis servikalis, makan akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil konsepsi per vaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk menghentikan perdarahan diperlukan hiseterektomi totalis.

Rubin (1911) mengajukan kriteria kehamilan servikal sebagai berikut: 1. Kelenjar serviks harus ditemukan di seberang tempat implantasi plasenta; 2. Tempat implantasi plasenta harus di bawah arteria uterine atau di bawah peritoneum viserale uterus; 3. Janin/mudigah tidak boleh terdapat di daerah korpus uterus; 4. Implantasi plasenta di serviks harus kuat. Kesulitan dalam penilaian kriteria Rubin ialah bahwa harus dilakukan histerektomi atau biopsi jaringan yang adekuat. Oleh seban itu Paalaman dan McElin (1959) membuat kriteria klinis sebagai berikut: 1. Ostium uteri internum tertutup; 2. Ostium uteri eksternum terbuka sebagian; 3. Seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoserviks; 4. Perdarahan uterus setelah fase amenorrhea tanpa disertai rasa nyeri; 5. Serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uterus, sehingga terbentuk hour-glass uterus.

DAFTAR PUSTAKA

Baziad Ali. Amenorea. Dalam: Baziad Ali. Endokrinologi Ginekologi edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2009. Hlm 55. Ectopic Pregnancy. In: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD, editors. Williams obstetrics. 22th online edition. Mc-Graw-Hill. 2007. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Gangguan bersangkutan dengan konsepsi. Dalam: Wiknjosastro H, editor. Ilmu Kandungan. Edisi kedua. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. h. 250-260. Tubal pregnancy. In: Hanretty K. Obstetric illustrated. 6th online edition. Churchill Livingston. 2003.

You might also like