You are on page 1of 32

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Sabun merupakan komoditi hasil olahan minyak kelapa sawit yang populer yang berfungsi sebagai zat yang mampu membersihkan dan mengangkat benda asing. Reaksi yang terjadi pada saat pembuatan sabun dari minyak kelapa sawit disebut saponifikasi. Saponifikasi dilakukan dengan mereaksikan minyak kelapa sawit (triglisrida) dengan alkali (biasanya menggunakan NaOH atau KOH) sehingga menghasilkan gliserol dan garam alkali Na (sabun). Saponifikasi juga dapat dilakukan dengan mereaksikan asam lemak dengan alkali sehingga Sabun biasanya berbentuk padatan tercetak yang disebut batang karena sejarah dan bentuk umumnya. Sabun yang telah berkembangs ejak zaman Mesir kuno berfungsi sebagai alat pembersih. Alat pembersih ini kemudian diproduksi secara massal dengan cara mendirikan pabrik sabun. Industri sabun mempunyai prospek masa depan yang cerah karena semakin hari setiap orang semakin peduli akan perawatan kesehatanya, mulai dari menjaga kebersihan badan dengan cara membersihkan badan dengan sabun mandi. Sabun mandi akan membersihkan dan mengangkat kotoran-kotoran yang menempel pada kulit tubuh sehingga badan terlindungi dari kuman dan bakteri yang memicu penyakit berbahaya. Sampai saat ini industri sabun telah mempunyai berbagai macam varian mulai dari sabun bubuk, sabun cair,sabun gel, sabun transparan dan sabun kesehatan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. 1.2 Tujuan Untuk mengetahui proses dan pembuatan sabun batang dalam skala industri 1.3 Manfaat Dari makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang proses dan pembuatan sabun batang dalam skala industri menghasilkan sabun dan air.

BAB I1 INDUSTRI SABUN 2.1 Sejarah Sabun Pada waktu dahulu kala di tahun 600 SM masyarakat Funisia di mulut Sungai Rhone sudah membuat sabun dari lemak kambing dan abu kayu khusus. Mereka juga membarterkannya dalam berdagang dengan bangsa Kelt, yang sudah bisa membuat sendiri sabun dari bahan serupa. Pembuatan sabun menjadi kerajinan yang mapan di Eropa pada abad ke 7. Berbagai perkumpulan para pembuat sabun menjaga rapat rahasia mereka. Minyak atau lemak binatang dan nabati digunakan bersama dengan abu tumbuhtumbuhan, dengan diberi pewangi. Secara bertahap berbagai jenis sabun diciptakan untuk bercukur dan keramas, mandi serta mencuci. 2.2 Sabun Sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asamasam lemak. Sabun mengandung garam C16 dan C18, namun dapat juga mengandung beberapa karboksilat dengan bobot atom lebh rendah. Sekali penyabunan itu telah lengkap, lapisan air yang mengandung gliserol dipisahkan, dan gliserol dipulihkan dengan penyulingan. Gliserol digunakan sebagai pelembab dalam tembakau, industri farmasi dan kosmetik. Sifat melembabkan timbul dari gugus-gugus hidroksil yang dapat berikatan hidrogen dengan air dan mencegah penguapan air itu. Sabun dimurnikan dengan mendidihkannya dalam air bersih untuk membuang lindi yang berlebih, NaCl dan gliserol. Zat tambahan (aditif) seperti batu apung, zat warna dan parfum kemudian ditambahkan. Sabun padat itu dilelehkan dan dituang kedalam suatu cetakan. Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang plus ion. Bagian hidrokarbon dari molekul itu bersifat hidrofobik dan larut dalam zatzat non polar. Sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun secara keseluruhan tidaklah b enar-benar larut dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel (micelles), yakni segerombol (50 - 150) molekul yang rantai

hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung-ujung ionnya yang menghadap ke air. 2.2.1 Sifat sifat Sabun 1. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa. CH3(CH2)16COONa + H2O CH3(CH2)16COOH + OH2. Jika larutan sabun dalam air diaduk, maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap. CH3(CH2)16COONa + CaSO4 Ca(CH3(CH2)16COO)2 3. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non polar. Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat organik sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air. Non polar : CH3(CH2)16 (larut dalam minyak, hidrofobik dan juga memisahkan kotoran non polar). Polar : COONa+ (larut dalam air, hidrofilik dan juga memisahkan kotoran polar). 2.2.2 Kegunaan Sabun Sabun berkemampuan untuk mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun : 1. Rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun bersifat nonpolar sehingga larut dalam zat non polar, seperti tetesan-tetesan minyak. 2. Ujung anion molekul sabun, yang tertarik dari air, ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak menolak antara tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung tetapi tersuspensi. Na2SO4 +

2.2.3 Cara Kerja Sabun Sebagai Penghilang Kotoran Kebanyakan kotoran pada pakaian atau kulit melekat sebagai lapisan tipis minyak. Jika lapisan minyak ini disingkirkan, berarti partikel kotoran dapat dicuci. Molekul sabun terdiri atas rantai seperti hidrokarbon yang panjang, terdiri atas atom karbon dengan gugus yang sangat polar atau ionik pada satu ujungnya. Bila sabun dikocok dengan air akan membentuk dispersi koloid, bukannya larutan sejati, larutan sabun ini mengandung agregat molekul sabun yang disebut misel (micelle). Rantai karbon nonpolar, atau lipofilik, mengarah kebagian pusat misel. Ujung molekul yang polar, atau hidrofilik membentuk permukaan misel yang berhadapan dengan air. Pada sabun biasa, bagian luar
dari setiap misel bermuatan negatif, dan ion natrium yang positif berkumpul di dekat keliling setiap misel. Dalam kerjanya untuk menyingkirkan kotoran, molekul sabun mengelilingi dan mengemulsi butiran minyak atau lemak. Ekor lipofilik dari molekul sabun melarutkan minyak. Ujung hidrofilik dari butiran minyak menjulur ke arah air. Dengan cara ini, butiran minyak terstabilkan dalam larutan air sebab muatan permukaan yang negatif dari butiran minyak mencegah penggabungan (koalesensi). (Hard Harold, 1984). Secara singkat cara kerja sabun sebagai penghilang kotoran dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sabun didalam air menghasilkan busa yang akan menurunkan tegangan permukaan sehingga kain menjadi bersih dan meresap lebih cepat kepermukaan kain. 2. Molekul sabun akan mengelilingi kotoran dengan ekornya dan mengikat molekul kotoran. Proses ini disebut emulsifikasi karena antara molekul kotoran dan molekul sabun membentuk suatu emulsi. 3. Sedangkan bagian kepala molekul sabun didalam air pada saat pembilasan menarik molekul kotoran keluar dari kain sehingga kain menjadi bersih. 2.2.4 Metode - metode Pembuatan Sabun Pada proses pembuatan sabun ini digunakan metode-metode untuk menghasilkan sabun yang berkualitas dan bagus. Untuk menghasilkan sabun

itu digunakanlah metode-metode, yang mana metode-metode ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing masing. 2.2.4.1 Metode Batch Pada proses batch, lemak atau minyak dipanaskan dengan alkali (NaOH atau KOH) berlebih dalam sebuah ketel. Jika penyabunan telah selesai, garamgaram ditambahkan untuk mengendapkan sabun. Lapisan air yang mengandung garam, gliserol dan kelebihan alkali dikeluarkan dan gliserol diperoleh lagi dari proses penyulingan. Endapan sabun gubal yang bercampur dengan garam, alkali dan gliserol kemudian dimurnikan dengan air dan diendapkan dengan garam berkali-kali. Akhirnya endapan direbus dengan air secukupnya untuk mendapatkan campuran halus yang lama-kelamaan membentuk lapisan yang homogen dan mengapung. Sabun ini dapat dijual langsung tanpa pengolahan lebih lanjut, yaitu sebagai sabun industri yang murah. Beberapa bahan pengisi ditambahkan, seperti pasir atau batu apung dalam pembuatan sabun gosok. Beberapa perlakuan diperlukan untuk mengubah sabun gubal menjadi sabun mandi, sabun bubuk, sabun obat, sabun wangi, sabun cuci, sabun cair dan sabun apung (dengan melarutkan udara di dalamnya). 2.2.4.2 Metode Kontiniu Metoda kontiniu biasa dilakukan pada zaman sekarang, lemak atau minyak hidrolisis dengan air pada suhu dan tekanan tinggi. Lemak atau minyak dimasukkan secara kontiniu dari salah satu ujung reaktor besar. Asam lemak dan gliserol yang terbentuk dikeluarkan dari ujung yang berlawanan dengan cara penyulingan. Asam-asam ini kemudian dinetralkan dengan alkali untuk menjadi sabun. Proses ini dilakukan dengan jalan mereaksikan trigliserida (lemak/minyak) dengan kaustik soda secara langsung untuk menghasilkan sabun. Proses saponifikasi ini hampir sama dengan proses menggunakan ketel, hanya saja proses ini dilakukan secara kontiniu sementara proses dengan ketel memakai sistem batch.

Langkah pertama dari proses saponifikasi adalah pembentukan sabun dimana trigliserida (lemak/minyak), kaustik soda, larutan elektrolit berupa garam natrium dan alkali dari natrium hiroksida (NaOH) di dalam autoklaf, dipanaskan dan diaduk pada suhu 1200C dan tekanan 2 Atm. Lebih dari 99.5% lemak berhasil disaponifikasi pada proses ini. Hasil reaksi kemudian dimasukkan dalam sebuah pendingin berpengaduk dengan suhu 85-900C. Disini hasil saponifikasi disempurnakan sehingga terbentuk 2 fase produknya yaitu sabun dan lye. Sebanyak 1,2-1,4% NaCl ditambahkan kedalam sabun untuk mengontrol viskositas larutan. Larutan garam NaCl adalah elektrolit yang biasa digunakan untuk mempertahankan agar viskositas sabun tetap rendah. Kemudian komponen ini diumpan ke turbidisper. Turbidisper, mikser, pompa untuk sirkulasi dan tangki netralisai merupakan bagian terpenting pada proses ini. Asam lemak dan kaustik soda dicampur dalam turbidisper yang dilengkapi dengan pengaduk. Dari turbidisper, campuran sabun, asam lemak, dan kaustik soda dialirkan dalam mixer yang dilengkapi dengan jeket pendingin melalui bagian bawah mixer. Hasil pencampuran berupa asam lemak dan kaustik soda yang tidak bereaksi akan dikeluarkan lagi dari saluran dibagian samping mixer untuk diumpan kembali ke turbidisper dengan bantuan pompa sirkulasi. Sabun yang masuk ke mixer diteruskan ke holding mixer kemudian sabun yang telah terbentuk dikeringkan. Kandungan air pada sabun dikurangi dari 30-35% pada sabun murni menjadi 8-18% pada sabun butiran atau lempengan. 2.2.4.3 Metode Neat Soap Dalam metode ini turunan trigliserida murni dipanaskan pada mixer dengan jacket panas. Separuh dari jumlah total alkali yang digunakan diumpankan secara perlahan-lahan dengan laju alir volume sekitar 200 ml/1520 menit. Sisanya kemudian ditambahkan bersamaan dengan EDTA (ethylene diamine tetra acetat) dan natrium klorida. Natrium klorida ditambahkan untuk mengurangi viskositas dari neat soap. EDTA digunakan sebagai zat anti oksidan dan juga sebagai pencegah kontaminasi logam dalam neat soap. Dalam

reaksi netralisasi asam lemak untuk menghasilkan sabun, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu : 1. Suhu Operasi. Suhu yang tinggi akan mempercepat terjadinya reaksi tetapi dengan pengadukan yang lambat. Selain itu, juga dapat meningkatkan selektivitas. Biasanya, suhu operasi antara 80-950C. 2. Tekanan Operasi. Peningkatan tekanan akan meningkatkan kinetika reaksi tetapi menurunkan selektivitas. 3. Pengadukan. Meningkatkan kecepatan pengadukan akan dapat meningkatkan kecepatan reaksi dan penurunan selektivitas yang besar. 4. Katalis. Penambahan katalis dapat meningkatkan kinetika reaksi dan sedikit memperkecil selektivitas. Neat soap yang dihasilkan mengandung 60% total fatty matter (TFM), diperoleh melalui beberapa tahapan proses sebagai berikut : 1. Pengeringan. Neat soap dikeringkan untuk mengurangi kandungan airnya sebesar 10-15 %. Jika kandungan air terlalu tinggi maka proses terlalu padat sehingga proses berjalan lambat. 2. Pemurnian . Sabun Neat soap yang sudah dikeringkan akan dimurnikan dengan menggunakan roll mill, plodder atau kombinasi keduanya. Dalam tahapan ini, neat soap dimanipulasi kedalam bentuk yang diinginkan, dihomogenkan agar terbentuk struktur sabun yang kristal. Kemudian sabun dipadatkan dengan plodder. 3. Pemotongan dan pembungkusan. Proses selanjutnya adalah pemotongan sabun kedalam bentuk noodle-noodle soap untuk selanjutnya dibungkus atau diolah ke tahapan berikutnya. 4. Pengolahan Noodle Soap. Perusahaan sabun biasanya membeli bahan baku sabun dalam bentuk noodle soap dan kemudian diolah oleh perusahaan tersebut ke tahapan pengolahan berikutnya, seperti pemberian warna, pengharum, dan komponen lain yang dapat menjadikan sabun sebagai merk dagang. Yang pertama dilakukan dalam memproduksi noodle soap untuk memenuhi kebutuhan perusahaan sabun adalah sabun dipadatkan dan dibuat berbentuk silinder padat dan kemudian dibungkus. Spesifikasi noodle soap yang diproduksi biasanya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan perusahaan

sabun yang akan menggunakannya sebagai bahan baku, bentuknya pun dibuat sedemikian rupa agar kelihatan bagus seperti toilet soap, laundry soap, translucent soap dan lain-lain.

Gambar 1. Contoh Soap Noodle 2.2.5 Tahap-tahap Pembuatan Sabun dalam Industri 2.2.5.1 Saponifikasi (Penyabunan Minyak atau Lemak) Proses reaksi saponifikasi adalah proses mereaksikan minyak dan NaOH pada reaktor pada suhu 1250C dengan bantuan pemanas steam. Komposisi antara minyak dan NaOH dengan perbandingan 3 : 1, jika tidak maka akan didapati reaksi yang tidak setimbang sehingga akan didapat sabun yang kurang sempurna. Reaksi dilakukan selama 10 menit dengan bantuan agitator dan recycle pompa ke reaktor. Minyak dan NaOH yang berada dalam storage tank (tangki penyimpanan) diumpankan ke reaktor lalu diinjeksikan steam sebesar 2 bar, selanjutnya ditambahkan larutan garam NaCl (brine) 22%. Hal ini dilakukan guna memperkaya elektrolit sehingga hasil reaksi antara minyak dan NaOH mudah dipisahkan pada proses selanjutnya. Minyak yang direaksikan adalah campuran dari beberapa minyak (dalam satuan %b/%b) yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun yaitu palm oil, palm stearine, dan palm kernel oil dengan perbandingan yang berbeda-beda sesuai dengan formulasi yang telah ditetapkan untuk sabun yang akan diproduksi. Setelah reaksi sempurna maka sabun dipompakan ke static separator untuk memisahkan antara sabun dan gliserol. Gliserol yang didapat hasil proses saponifikasi ini yang dijadikan sebagai bahan baku untuk proses

pembuatan gliserin yang disebut dengan spent lye dengan kemurnian gliserin 20-30%. Dalam static separator ini sabun akan terpisah dengan spent lye dan kemudian dilanjutkan atau dimasukkan ke washing coloumn sambil diumpankan fresh lye, untuk memisahkan sabun, half spent lye, magnesium, dan logam-logam lain yang terkandung di dalamnya. Half spent lye yang dihasilkan diumpankan kembali ke reaktor. Fresh lye (larutan pencuci) yang akan dimasukkan (dicampurkan) ke dalam washing coloumn ini terdiri dari larutan NaOH 48%, larutan NaCl 22%, dan air atau H2O. Pada proses saponifikasi trigliserida dengan suatu alkali, kedua reaktan tidak mudah bercampur. Reaksi saponifikasi dapat mengkatalisis dengan sendirinya pada kondisi tertentu dimana pembentukan produk sabun mempengaruhi proses emulsi kedua reaktan tadi, menyebabkan suatu percepatan pada kecepatan reaksi.

Reaksi saponifikasi dari Tallow, yang diwakili oleh asam stearat, dan palm stearine yang diwakili oleh asam palmitat, seperti halnya hasil teori dari sabun dan gliserol dapat dengan baik dijelaskan dengan persamaan kimia di bawah ini :

Asam palmitat hasil gliserol nya lebih tinggi ( 11.41% ) dibandingkan dengan

asam stearat ( 10.33%). Oleh karena itu, palm sterine akan menghasilkan jumlah gliserol lebih tinggi daripada tallow, karena kandungan asam stearat yang lebih tinggi dalam molekulnya. Minyak dan lemak mempunyai sifat yang berbeda selama proses pembuatan sabun seperti laju penyabunan, jumlah alkali yang dibutuhkan untuk saponifikasi dan kekuatan elektrolit untuk penggaraman. Keduanya juga mempunyai hasil sabun setengah jadi dan gliserin yang bervariasi. 2.2.5.2 Netralisasi Neat Soap (Sabun Hasil Saponifikasi) Setelah sabun telah dipisahkan di washing coloumn selanjutnya dimasukkan ke Centrifuge (Cf). Didalam centrifuge ini sabun ini juga dipisahkan antara lye dan neat soapnya. Lye yang telah dipisahkan dikembalikan lagi ke washing coloumn sedangkan sabunnya dilanjutkan ke Neutralizer. Didalam neutralizer ini aditif yang dicampur adalah Palm Kernel Oil (PKO) dan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetate). PKO ditambahkan dengan tujuan untuk memastikan kandungan kadar NaOH dalam neat soap sebesar 0,025% - 0,045%. dan selanjutnya di transfer ke Crutcher. Didalam crutcher ini neat soap masih dicampur aditif yaitu EDTA dan Turpinal, kemudian diaduk agar homogen kemudian dilanjutkan ke Feed Tank. 2.2.5.3 Pengeringan Sabun Setelah feed tank telah terisi maka neat soap direcycle untuk tahap pengeringan (drying) dan kemudian direcycle dengan cara dipanaskan melalui Heat Exchanger (HE) dengan speed VLS 50% dan dengan speed feed tanknya 42% dengan tekanan 1,5 bar. Disetting secara perlahan-lahan. Setelah semuanya dalam kondisi yang telah disetting maka saatnya diumpankan (feeding) ke atomizer dengan menjaga tekanan dan temperatur agar jangan sampai drop. Sabun yang sudah dikeringkan dan didinginkan tersimpan pada dinding ruang vakum dan dipindahkan dengan alat pengerik sehingga jatuh di plodder, yang mengubah sabun ke bentuk lonjong panjang atau butiran yang kemudian disimpan dalam suatu wadah penyimpanan soap noodle dikenal dengan nama Silo. Sabun banyak diperoleh setelah penyelesaian saponifikasi (sabun murni) yang umumnya dikeringkan dengan vakum spray dryer. Kandungan air pada

10

sabun dikurangi dari 30-35% pada sabun murni menjadi 8-18% pada sabun butiran atau lempengan. Jenis jenis vakum spray dryer, dari sistem tunggal hingga multi sistem, semuanya dapat digunakan pada berbagai proses pembuatan sabun. Operasi vakum spray dryer sistem tunggal meliputi pemompaan sabun murni melalui pipa heat exchanger dimana sabun dipanaskan dengan uap yang mengalir pada bagian luar pipa. Dryer dengan mulai memperkenalkan proses pengeringan sabun yang lebih luas dan lebih efisien dari pada dryer sistem tunggal. 2.2.5.4 Penyempurnaan Sabun Dalam pembuatan produk sabun batangan, sabun butiran dicampurkan dengan zat pewarna, parfum, dan zat aditif lainnya kedalam mixer (analgamator). Campuran sabun ini klemudian diteruskan untuk dimixing untuk mengubah campuran tersebur menjadi suatu produk yang homogen. Produk tersebut kemudian dilanjutkan ke tahap pemotongan. Sebuah alat pemotong dengan mata pisau memotong sabun tersebut menjadi potongan potongan terpisah yang dicetak melalui proses penekanan menjadi sabun batangan sesuai dengan ukuran dan bentuk yang diinginkan. Proses pembungkusan, pengemasan, dan penyusunan sabun batangan merupakan tahap akhir. 2.2.6 Flow Chart Pembuatan Sabun (Soap Noodle) dalam Industri

11

2.2.7 Flow Chart Pembuatan Sabun Secara Umum Dibawah ini adalah proses saponifikasi yang biasanya digunakan untuk pembuatan sabun:

12

Minyak atau lemak tumbuhan /hewan Fuller's Earth Pemurnian ( Perlakuan awal ) Caustic Soda Proses Penyabunan Natrium Chlorida Pemisahan Sabun Dadih Glycerine Mentah Fitting Pemurnian Neat Soap Glycerine Murni Pengeringan, Pemotongan Aditif /Pengisi Powdered Laundry Soap Sabun Cuci Sabun Mandi 2.3 Bahan Pembuatan Sabun 2.3.1 Bahan Baku 2.3.1.1 Minyak atau Lemak

13

Minyak atau lemak merupakan senyawa lipid yang memiliki struktur berupa ester dari gliserol. Pada proses pembuatan sabun, jenis minyak atau lemak yang digunakan adalah minyak nabati atau lemak hewan. Perbedaan antara minyak dan lemak adalah wujud keduanya dalam keadaan ruang. Minyak akan berwujud cair pada temperatur ruang ( 28C), sedangkan lemak akan berwujud padat. Minyak tumbuhan maupun lemak hewan merupakan senyawa trigliserida. Trigliserida yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun memiliki asam lemak dengan panjang rantai karbon antara 12 sampai 18. Asam lemak dengan panjang rantai karbon kurang dari 12 akan menimbulkan iritasi pada kulit, sedangkan rantai karbon lebih dari 18 akan membuat sabun menjadi keras dan sulit terlarut dalam air. Kandungan asam lemak tak jenuh, seperti oleat, linoleat, dan linolenat yang terlalu banyak akan menyebabkan sabun mudah teroksidasi pada keadaan atmosferik sehingga sabun menjadi tengik. Asam lemak tak jenuh memiliki ikatan rangkap sehingga titik lelehnya lebih rendah daripada asam lemak jenuh yang tak memiliki ikatan rangkap, sehingga sabun yang dihasilkan juga akan lebih lembek dan mudah meleleh pada temperatur tinggi. 2.3.1.2 Jenis-jenis Minyak atau Lemak Jumlah minyak atau lemak yang digunakan dalam proses pembuatan sabun harus dibatasi karena berbagai alasan, seperti : kelayakan ekonomi, spesifikasi produk (sabun tidak mudah teroksidasi, mudah berbusa, dan mudah larut), dan lain-lain. Beberapa jenis minyak atau lemak yang biasa dipakai dalam proses pembuatan sabun di antaranya : 1. Tallow ( Lemak Sapi ) Tallow adalah lemak sapi atau domba yang dihasilkan oleh industri pengolahan daging sebagai hasil samping. Kualitas dari tallow ditentukan dari warna, titer (temperatur solidifikasi dari asam lemak), kandungan FFA, bilangan saponifikasi, dan bilangan iodine. Tallow dengan kualitas baik biasanya digunakan dalam pembuatan sabun mandi dan tallow dengan kualitas rendah digunakan dalam pembuatan sabun cuci. Oleat dan stearat adalah asam lemak yang paling banyak terdapat dalam tallow. Jumlah FFA dari tallow berkisar antara 0,75-7,0 %. Titer point pada

14

tallow umumnya di atas 40C. Tallow dengan titer point di bawah 40C dikenal dengan nama grease. Kandungan utama dari tallow yaitu : asam oleat 40-45%, asam palmitat 24-37%, asam stearat 14-19%, asam miristat 2-8%, asam linoleat 3-4%, dan asam laurat 0,2%. 2. Lard ( Lemak Babi ) Lard merupakan minyak babi yang masih banyak mengandung asam lemak tak jenuh seperti asam oleat (60 ~ 65%) dan asam lemak jenuh seperti asam stearat (35 ~ 40%). Jika digunakan sebagai pengganti tallow, lard harus dihidrogenasi parsial terlebih dahulu untuk mengurangi ketidakjenuhannya. Sabun yang dihasilkan dari lard berwarna putih dan mudah berbusa. 3. Palm Oil ( Minyak Sawit ) Minyak umumnya digunakan sebagai pengganti tallow. Minyak sawit dapat diperoleh dari pemasakan buah sawit. Minyak sawit berwarna jingga kemerahan karena adanya kandungan zat warna karotenoid sehingga jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun harus dipucatkan terlebih dahulu. Sabun yang terbuat dari 100% minyak sawit akan bersifat keras dan sulit berbusa. Maka dari itu, jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun, minyak sawit harus dicampur dengan bahan lainnya. Kandungan asam lemaknya yaitu asam palmitat 42-44%, asam oleat 35-40%, asam linoleat 10%, asam linolenat 0,3%, asam arachidonat 0,3%, asam laurat 0,3%, dan asam miristat 0,5-1%. 4. Coconut Oil ( Minyak Kelapa ) Minyak kelapa merupakan minyak nabati yang sering digunakan dalam industri pembuatan sabun. Minyak kelapa berwarna kuning pucat dan diperoleh melalui ekstraksi daging buah yang dikeringkan (kopra). Minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak jenuh yang tinggi, terutama asam laurat sekitar 44-52%, sehingga minyak kelapa tahan terhadap oksidasi yang menimbulkan bau tengik. Minyak kelapa juga memiliki kandungan asam lemak miristat 13-19%, asam palmitat 8-11%, asam kaprat 6-10%, asam kaprilat 5-9%, asam oleat 5-8%, asam stearat 1-3%, dan asam linoleat 2%. 5. Palm Kernel Oil ( Minyak Inti Sawit ) Minyak inti sawit diperoleh dari biji buah sawit. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak yang mirip dengan minyak kelapa sehingga dapat digunakan sebagai

15

pengganti minyak kelapa. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi dan asam lemak rantai pendek lebih rendah daripada minyak kelapa. Kandungan asam lemak yang terdapat pada palm kernel oil yaitu : asam laurat 40-52%, asam miristat 14-18%, asam oleat 11-19%, asam palmitat 7-9%, asam kaprat 3-7%, asam kaprilat 3-5%, asam stearat 1-3%, dan asam linoleat 2%. 6. Palm Oil Stearine ( Minyak Sawit Stearin ) Minyak sawit stearin adalah minyak yang dihasilkan dari ekstraksi asam-asam lemak dari minyak sawit dengan pelarut aseton dan heksana. Kandungan asam lemak terbesar dalam minyak ini adalah asam palmitat 52-58% dan asam oleat 27-32%. Selain itu juga terdapat asam linoleat 6,6-8,2%, asam stearat 4,8-5,3%, asam miristat 1,2-1,3%, asam laurat 0,1- 0,4%. 7. Marine Oil Marine oil berasal dari mamalia laut (paus) dan ikan laut. Marine oil memiliki kandungan asam lemak tak jenuh (asam oleat) yang cukup tinggi, sehingga harus dihidrogenasi parsial terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan baku. 8. Castor Oil ( Minyak Jarak ) Biji tanaman jarak terdiri dari 75% daging biji, dan 25% kulit. Daging biji jarak ini bisa memberikan rendemen 54% minyak. Minyak yang dihasilkan dari biji tanaman jarak dikenal sebagai minyak jarak. Minyak jarak berwarna bening dan dapat dimanfaatkan sebagai kosmetika, bahan baku pembuatan biodisel dan sabun. Minyak jarak mempunyai massa jenis 0,957-0,963 kg/liter, bilangan iodium 82-88 g I2/100 g, bilangan penyabunan 176-181 mg KOH/g. Minyak jarak mengandung komponen gliserida atau dikenal sebagai senyawa ester. Gliserida tersebut tersusun dari asam lemak dan gliserol. Asam lemak yang terdapat pada gliserida maupun asam lemak bebas bisa dibuat menjadi sabun bila direaksikan dengan kaustik dan reaksi tersebut dikenal dengan saponifikasi. Komposisi asam lemak minyak jarak terdiri dari asam riccinoleat sebanyak 86%, asam oleat 8,5%, asam linoleat 3,5%, asam stearat 0,5-2,0%, asam dihidroksi stearat 1-2%. 9. Olive Oil ( Minyak Zaitun ) Minyak zaitun berasal dari ekstraksi buah zaitun. Minyak zaitun dengan kualitas tinggi memiliki warna kekuningan.

16

Sabun yang berasal dari minyak zaitun memiliki sifat yang keras tapi lembut bagi kulit. Zaitun secara alami mengandung beberapa senyawa yang tak tersabunkan seperti fenol, tokoferol, sterol, pigmen, dan squalen. Minyak zaitun juga mengandung triasilgliserol yang sebagian besar di antaranya berupa asam lemak tidak jenuh tunggal jenis oleat. Kandungan asam oleat tersebut dapat mencapai 55-83 persen dari total asam lemak dalam minyak zaitun. 10. Campuran Minyak dan Lemak Industri pembuat sabun umumnya membuat sabun yang berasal dari campuran minyak dan lemak yang berbeda. Minyak kelapa sering dicampur dengan tallow karena memiliki sifat yang saling melengkapi. Minyak kelapa memiliki kandungan asam laurat dan miristat yang tinggi dan dapat membuat sabun mudah larut dan berbusa. Kandungan

2.3.1.3 Alkali Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH, KOH, Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines (sinonim : 2Aminoethanol, monoethanolamine, dengan rumus kimia C2H7NO, dan

17

formulasi kimia NH2CH2CH2OH). NaOH, atau yang biasa dikenal dengan soda kaustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling banyak digunakan dalam pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam pembuatan sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu soda/natrium karbonat) merupakan alkali yang murah dan dapat menyabunkan asam lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan trigliserida (minyak atau lemak). Ethanolamines merupakan golongan senyawa amin alkohol. Senyawa tersebut dapat digunakan untuk membuat sabun dari asam lemak. Sabun yang dihasilkan sangat mudah larut dalam air, mudah berbusa, dan mampu menurunkan kesadahan air. Sabun yang terbuat dari ethanolamines dan minyak kelapa menunjukkan sifat mudah berbusa tetapi sabun tersebut lebih umum digunakan sebagai sabun industri dan deterjen, bukan sebagai sabun rumah tangga. Pencampuran alkali yang berbeda sering dilakukan oleh industri sabun dengan tujuan untuk mendapatkan sabun dengan keunggulan tertentu. 2.3.2 Bahan Pendukung Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses penyempurnaan sabun hasil saponifikasi (pegendapan sabun dan pengambilan gliserin) sampai sabun menjadi produk yang siap dipasarkan. Bahan-bahan tersebut adalah NaCl (garam) dan bahan-bahan aditif. 2.3.2.1 Garam ( NaCl ) NaCl merupakan komponen kunci dalam proses pembuatan sabun. Kandungan NaCl pada produk akhir sangat kecil karena kandungan NaCl yang terlalu tinggi di dalam sabun dapat memperkeras struktur sabun. NaCl yang digunakan umumnya berbentuk air garam (brine) atau padatan (kristal). NaCl digunakan untuk memisahkan produk sabun dan gliserin. Gliserin tidak mengalami pengendapan dalam brine karena kelarutannya yang tinggi, sedangkan sabun akan mengendap. NaCl harus bebas dari besi, kalsium, dan magnesium agar diperoleh sabun yang berkualitas. 2.3.2.2 Bahan Aditif Bahan aditif merupakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam sabun yang bertujuan untuk mempertinggi kualitas produk sabun sehingga menarik

18

konsumen. Bahan-bahan aditif tersebut antara lain : builders, fillers inert, antioksidan, pewarna,dan parfum. 2.3.2.2.1 Builders (Bahan Pembentuk/Penguat) Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral mineral yang terlarut pada air, sehingga bahan bahan lain yang berfungsi untuk mengikat lemak dan membasahi permukaan dapat berkonsentrasi pada fungsi utamanya. Builder juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Umumnya yang sering digunakan sebagai builder adalah senyawa senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat atau zeolit. 2.3.2.2.2 Filler ( Bahan Pengisi ) Selain itu, perlu ditambahkan zat pengisi (filler) untuk menekan biaya supaya lebih murah. Adanya perbedaan komposisi pada lemak dan minyak menyebabkan sifat fisik berbeda dan hasil lemak serta sabun berbeda pula. Untuk memperoleh sabun yang memperoleh sabun yang , berwarna putih, gravity spesifik 4,17, tidak larut dalam air panas dan dingin. TiO2 ada dalam tiga kristal : anatase, brookit, dan rutile. Biasanya diperoleh secara sintetik. Rutile adalah bentuk yang stabil terhadap perubahan suhu apabila diperoleh secara luas sebagai monokristal yang transparan. Titanium dioksida digunakan dalam elektrolit, plastic dan industri keramik karena sifat listriknya. Selain itu, ia sangat stabil terhadap perubahan suhu dan resisten terhadap serangan kimia. Ia tereduksi sebagian ole hidrogen dan karbon monoksida. Titanium oksida murni dipreparasi dari titanium tetraklorida yang dimurnikan dengan destilasi ulang. Kegunaan titanium oksida antara lain dalam vitreus enamel, industri elektronik, katalis dan pigmen zat warna. TiO2 adalah zat warna putih yang dominan di usaha karena mempunyai sifat : indeks refraksi tinggi dan non toksik. 2.3.2.2.3 Bahan Antioksidan EDTA (ethylene diamine tetra acetate) ditambahkan dalam sabun untuk membentuk kompleks (pengkelat) ion besi yang mengkatalis proses degradasi

19

oksidatif. Degradasi oksidatif akan memutuskan ikatan rangkap pada asam lemak membentuk rantai lebih pendek, aldehid dan keton yang berbau tidak enak. EDTA adalah reagen yang bagus, selain membentuk kelat dengan semua kation, kelat ini juga cukup stabil untuk metode titriametil. 2.3.2.2.4 Bahan Pewarna (Coloring Agent) Bahan ini berfungsi untuk memberikan warna kepada sabun. Ini ditujukan agar memberikan efek yang menarik bagi konsumen untuk mencoba sabun ataupun membeli sabun dengan warna yang menarik. Biasanya warna warna sabun itu terdiri dari warna merah, putih, hijau maupun orange. 2.3.2.2.5 Bahan Pewangi (fragrances) Parfum termasuk bahan pendukung. Keberadaaan parfum memegang peranan besar dalam hal keterkaitan konsumen akan produk sabun. Artinya, walaupun secara kualitas sabun yang ditawarkan bagus, tetapi bila salah memberi parfum akan berakibat fatal dalam penjualannya. Parfum untuk sabun berbentuk cairan berwarna kekuning kuningan dengan berat jenis 0,9 g/ml. Dalam perhitungan, berat parfum dalam gram (g) dapat dikonversikan ke mililiter. Sebagai patokan 1 g parfum = 1,1 ml. Pada dasarnya, jenis parfum untuk sabun dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu parfum umum dan parfum ekslusif. Parfum umum mempunyai aroma yang sudah dikenal umum di masyarakat seperti aroma mawar dan aroma kenanga. Pada umumnya, produsen sabun menggunakan jenis parfum yang ekslusif. Artinya, aroma dari parfum tersebut sangat khas dan tidak ada produsen lain yang menggunakannya. Kekhasan parfum ekslusif ini diimbangi dengan harganya yang lebih mahal dari jenis parfum umum. Beberapa nama parfum yang digunakan dalam pembuatan sabun diantaranya bouquct deep water, alpine, dan spring flower. 2.4 Kriteria Pemilihan Lemak dan Minyak Dalam Pembuatan Sabun 2.4.1 Ketersediaan Bahan Baku Produksi sabun tahunan dunia adalah lebih dari 6 juta ton. Jika dirataratakan 60% asam lemak diasumsikan dalam pembuatan sabun. Di bawah ini adalah jumlah asam lemak yang dibutuhkan :

20

C16 dan C18 rantai panjang Asam laurat Total asam lemak =

= =

3.009.600 ton 752.000 ton

--------------------------------------------- 3.761.600 ton Sumber utama asam lemak C16 dan C18 yang murah dan tersedia adalah tallow dan palm stearine. Saat ini Malaysia mengekspor lebih dari 40.000 ton palm stearine tiap bulan dan jumlah eksport ini diharapkan meningkat pada tahun ini. Keberadaan palm stearine juga digunakan sebagai shortening (minyak sayur) dan campuran dalam produk lain. Tetapi sebagian besar akan digunakan dalam pembuatan sabun. Perbandingan Harga dari Palm Stearine : Mengenai faktor biaya, palm stearin lebih murah dibandingkan palm oil, dan harganya rendah dibandingkan dengan edible tallow. Ketersediaan palm stearine dan biaya yang lebih rendah, tidak sulit untuk menyatakan bahwa palm stearine akan memainkan peranan penting dalam pasar bahan baku sabun yang akan datang. Tabel 2.3 menjelaskan perbandingan harga palm stearine dan edible tallow.

2.4.2 Stabilitas dan Perlakuan Awal Mengenai stabilitas dan perlakuan awal, pada stearine mengandung sedikit asam lemak tak jenuh seperti asam oleic ( oleat ) daripada tallow dan bebas dari zat lemas. Oleh sebab itu perlakuan awal yang dibutuhkan sederhana. Palm stearine juga bebas dari bau tidak sedap.

21

2.4.3 Karakteristik Teknis Analisis Di bawah ini adalah parameter analisis yang digunakan oleh pembuatan sabun dalam memilih minyak dan lemak. - Bilangan Penyabunan (Saponification Value, SV) Bilangan penyabunan adalah jumlah alkali ( basa ) yang dibutuhkan untuk menyabunkan tiap gram lemak atau minyak. Bilangan iodine menyatakan ukuran keberadaan ketidakjenuhan, terutama asam oleat dan linoleat. Asam lemak tak jenuh menghasilkan sabun yang lebih lembut dan lebih larut. Sedangkan minyak laurat mengandung asam lemak rantai pendek, membuat sabun keras dan mudah larut. Pada tujuan praktiknya, sebuah unit dikombinasikan dengan menggunakan faktor I.N.S (Iodine Number and Saponification). Yaitu ditentukan dengan cara bilangan penyabunan dikurang dengan bilangan iodine. Dengan meningkatnya faktor I.N.S, maka diperoleh : - Bilangan Iodine (Iodine Value, IV) 1. Sabun lebih keras 2. Mengurangi kelarutan sabun * 3. Lebih berbusa * 4. Kemampuan untuk mengurangi pemakaian bahan ( material ) pengisi 5. Mengurangi ketengikan sabun setelah beberapa lama Dalam hal memberikan sifat sabun yang optimum, faktor I.N.S biasanya berada diantara 130 165. Dengan mencampur minyak yang mempunyai faktor I.N.S yang tinggi seperti coconut oil ataupun palm kernel oil (minyak inti sawit), dengan palm stearine atau tallow dan dengan minyak yang faktor I.N.S nya rendah seperti kacang tanah. Minyak seperti palm stearine atau tallow dianjurkan cocok sebagai dasar pembuatan sabun laundry ( sabun cuci ). * Asam laurat ( lauric acid ) seperti minyak kelapa ( coconut oil ) dan minyak inti sawit adalah pengecualian. - Titik Beku (Titer Point) Beberapa pembuat sabun menggunakan parameter titer point untuk mengontrol kekerasan sabun dari beberapa bahan pengisi minyak atau lemak. Angka titer untuk sabun laundry adalah 38 40, dan untuk sabun mandi diantara 40 44.

22

Perbandingan daya larut terutama digunakan untuk mengatur jumlah palm stearine atau tallow dalam komposisi minyak atau lemak. Perbandingan daya larut campuran minyak atau lemak dihitung dengan membagi faktor I.N.S dari pengisi minyak dengan jumlah faktor I.N.S dari beberapa minyak yang ada dalam campuran yang mempunyai faktor I.N.S lebih tinggi dari 130 ( diluar minyak inti sawit dan coconut oil ). Jika sangat larut, kecepatan membusa sabun dibutuhkan jumlah palm stearine atau tallow yang sedikit, jika tidak dibutuhkan jumlah yang tinggi. - Perbandingan Daya Larut (Solubility Ratio, SR) 2.4.4 Kualitas Sabun yang Diinginkan Sebelum proses pembuatan sabun, kualitas dari sabun yang dibuat harus secara jelas ditentukan atau diputuskan. Dengan mencampur minyak minyak atau lemak yang berbeda memungkinkan untuk memperoleh sebuah sabun akhir dengan kualitas yang diharapkan. Parameter mutu yang biasanya diperhatikan adalah : Tampilan umum (meliputi kepadatan sabun/compact, bercahaya, kesat), kelarutan yang baik, pembusaan yang baik dan stabil, daya membersihkan tinggi, berbuih, tahan terhadap ketengikan, baik dalam air lunak, stabilitas baik (berhubungan dengan warna) Perbedaan minyak dan lemak menghasilkan sabun dengan mutu yang berbeda pula, misalnya warna, konsistensi pembusaan dan daya membersihkan. Tabel 2.4 menunjukkan karakterisasi sabun yang dihasilkan dari beberapa minyak dan lemak yang penting.

23

Untuk penggunaan yang spesifik, mutu dievaluasi dan lemak-lemak dipilih secara sesuai. Sebagaimana yang dianjurkan pada tabel 2.4, sabun yang terbuat dari palm stearine dan tallow mempunyai persamaan dan kedua komponenkomponennya dapat ditukar dalam bahan pengisi lemak. Satu alasan hasil sabunnya mempunyai sifat yang sama yaitu sifat kimianya.

2.5 Formula yang Dianjurkan Untuk Sabun Mandi Sejauh ini kekerasan sabun sangat dikaitkan, secara ilmiah memungkinkan untuk mengontrolnya dengan penggunaan faktor I.N.S dan titer point (titik beku). Sifat dari kelarutan dan kekuatan penyabunan (pembusaan) dikontrol dengan perbandingan kelarutan (Solubility Ratio, S.R). Dengan tingginya S.R mengindikasikan pembusaan dan daya larut yang baik. Penggunaan I.N.S, titer, dan S.R memungkinkan sipembuat sabun untuk menjaga keseragaman produk nya dengan mencampur dengan lemak-lemak yang berbeda. Untuk sabun cuci, S.R 1,5 2,5 pada umumnya direkomenndasikan, sementara untuk sabun mandi S.R 2,0 3,0 dan faktor I.N.S 150 179 adalah dianjurkan. ( Lihat Tabel 2.6 ).

24

Walaupun pengisi lemak/minyak berbeda, namun I.N.S, titer point (titik beku), dan nilai S.R berada dalam cakupan spesifik, di semua hal sabun yang dihasilkan akan sama kualitasnya. Apapun lemak yang digunakan, asalkan konstanta seperti I.N.S, titer point (titik beku), dan nilai S.R berada dalam cakupan spesifik, maka sabun dihasilkan akan dapat diterima mutunya.

2.6 Parameter Kunci Dalam Penentuan Kualitas Sabun 2.6.1 Bilangan Penyabunan Bilangan penyabunan adalah jumlah milligram alkali (potassium hidroksida) yang dibutuhkan untuk menyabunkan tiap gram lemak atau minyak. Suatu ukuran berat molekul rata-rata dari asam lemak yang ada. Bilangan penyabunan ini dapat digunakan untuk semua minyak dan lemak. (AOCS Official Methods Cd 3-25) Tabel 2.7. Bilangan Penyabunan dari Berbagai Jenis Minyak

2.6.2 Bilangan Iodine ( Iodine Value, IV )

25

Bilangan iodine menyatakan ukuran keberadaan ketidakjenuhan, terutama asam oleat dan linoleat. Asam lemak tak jenuh menghasilkan sabun yang lebih lembut dan lebih larut. Sedangkan minyak laurat mengandung asam lemak rantai pendek, me mbuat sabun keras dan mudah larut. Tabel 2.8. Bilangan Iodine dari Berbagai Jenis Minyak

Sabun yang dibuat dari asam miristat ( C14 asam lemak jenuh ) mempunyai sifat optimum. Karena tidak ada minyak alam tunggal yang mengandung banyak C14. Lemak harus diblending atau dicampur menurut mutu akhir produk yang diharapkan. Sabun yang banyak mengandung asam lemak laurat mempunyai sifat keras, cepat berbusa, dan cepat larut dalam air. Sabun dari lemak dengan rantai karbon panjang dan ketidakjenuhan yang tinggi adalah lebih lunak, tetapi mempunyai daya membersihkan yang baik dalam air hangat. Lemak seperti tallow dan palm stearine yang mengandung persentase tertinggi asam lemak jenuh menghasilkan sabun yang teksturnya keras, kurang larut, dan sedikit berbusa.

26

Alkali tanah digunakan untuk penyabunan juga sangat penting dalam pembuatan sabun. Seperti sabun yang berasal dari garam natrium, biasanya lebih keras daripada sabun yang berasal dari garam kalium. 2.6.2.1 Titrasi Iodometri Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2. I2 yang terbentuk secara kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka titrasi iodometri adalah dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali. Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika direaksikan dengan oksidator kuat. Senyawaan iodida umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada larutan oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah equivalent dengan jumlah oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2 dengan larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan indikator amilum jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum I2 sampai warna ini tepat hilang. Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut : IO3- + 5 I- + 6H+ 3I2 + H2O I2 + 2S2O32- 2I- + S4O62S2O32- + 2H+ H2SO3 + S 2.6.2.2 Standarisasi Larutan Tiosulfat Tiosulfat yang dipakai dalam titrasi iodometri dapat distandarisasi dengan menggunakan senyawa oksidator yang memiliki kemurnian tinggi (analytical grade) seperti K2Cr2O7, KIO3, KBrO3, atau senyawaan tembaga(II). Sejumlah zat padat digunakan sebagai standar primer untuk larutan tiosulfat. Iodium murni merupakan standard yang paling nyata, tetapi jarang digunakan karena kesukaran dalam penanganan dan penimbangan. Lebih sering digunakan pereaksi oksidasi yang kuat yang membebaskan iodium dari iodida. Kalium Dikromat. Senyawa ini dapat diperoleh dalam derajat kemurnian yang tinggi. Bobot ekuivalennya cukup tinggi, tak-higroskopis, dan zat padat

27

serta larutannya sangat stabil. Reaksi dengan iodida dilaksanakan dalam asam sekitar 0,2 - 0,4 M. didiamkan 5 sampai 10 menit : Cr2O72- + 6I- + 14H+ 2Cr3+ + 3I2 + 7H2O Bobot ekuivalen kalium dikromat adalah seperenam bobot molekularnya atau 49,03g/mol, pada konsentrasi asam lebih tinggi dari 0,4M, oksidasi kalium iodida oleh udara. Agar diperoleh hasil sebaik-baiknya 2.6.2.3 Penetapan Dengan Titrasi Iod Tak-Langsung Terdapat banyak penerapan proses iodometri dalam kimia analitik. Beberapa dipaparkan dalam tabel. Penerapan iodometri tembaga digunakan dengan meluas baik untuk bijih maupun aliase. Metode itu memberikan hasil yang baik sekali dan lebih cepat daripada penetapan tembaga secara elektrolisis. Biasanya bijih tembaga mengandung besi, arsen dan stibium. Unsur-unsur ini dalam keadaan oksidasi mereka yang tinggi (biasanya demikian dari proses pelarutannya) akan mengoksidasi iodida dan dengan demikian mengganggu.

Gangguan besi dapat dicegah dengan penambahan amonium bifluorida, NH4HF2, yang mengubah ion besi(III) menjadi kompleks FeF63- yang stabil. Seperti disebut di atas, stibium dan arsen tidak akan mengoksidasi ion iodida kecuali dalam larutan berkeasaman tinggi. Dengan menyesuaikan pH menjadi sekitar 3,5 dengan suhu buffer, gangguan dari kedua unsur ini dapat
28

dihilangkan. Park menyarankan penggunaan buffer ftalat untuk maksud ini. Tetapi, penyelidikan lebih baru, menunjukkan bahwa suatu larutan ion bifluorida, HF-, yang ditambahkan kepada besi kompleks, memberikan suatu bufer yang kira-kira ber-pH seperti diinginkan sehingga tak diperlukan buffer tambahan. 2.6.2.4 Indikator Kanji (Amilum) Warna larutan iod 0,1 N cukup kuat sehingga iodium dapat bertindak sebagai indikator sendiri. Iodium juga memberikan warna ungu atau merah lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut seperti karbon tetraklorida atau kloroform, dan kadang-kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir reaksi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloid) kanji, dari warna biru tua kompleks pati-iodium berperan sebagai uji kepekaan terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan sedikit sekali asam daripada dalam larutan netral dan lebih adanya ion iodida. Mekanisme yang tepat dari pembentukan kompleks itu belum diketahui. Tetapi diduga bahwa molekul iodium diikat pada permukaan -amilosa, suatu konstituen-konstituen kanji lain, -amilosa, atau amilopektin, membentuk kompleks kemerahan dimana warna mana tak-mudah dihilangkan. Oleh karena itu, kanji yang mengandung amilopektin sebaiknya tak digunakan. Produk komersial, kanji larut terdiri terutama -amilosa. Larutan kanji mudah terurai oleh bakteri, suatu proses yang dapat dihambat dengan jalan sterilisasi atau dengan penambahan suatu zat pengawet. Hasil peruraiannya memakai iodium dan berubah menjadi kemerahan-merahan. Merkurium(II) iodida, asam borat atau asam furoat dapat digunakan sebagai pengawet. Kondisi yang menimbulkan hidrolisis atau koagulasi kanji hendaklah dihindari. Kepekaan indikator berkurang dengan naiknya temperatur dan oleh beberapa zat organik, seperti metil dan etil alkohol. 2.6.2.5 Natrium Tiosulfat Larutan Natrium tiosulfat tidak stabil dalam waktu lama. Bakteri yang memakai belerang akhirnya masuk ke larutan itu, dan proses metaboliknya akan mengakibatkan pembentukan SO32-, SO42- dan belerang koloidal. Belerang ini akan menyebabkan kekeruhan, bila timbul kekeruhan larutan

29

harus dibuang. Biasanya air yang digunakan untuk menyiapkan larutan tiosulfat dididihkan agar steril, dan sering ditambahkan boraks atau natrium karbonat sebagai pengawet. Oksidasi tiosulfat oleh udara berlangsung lambat. Tetapi runutan tembaga sering kadang-kadang terdapat dalam air suling akan mengkatalisis oksidasi oleh udara. Tiosulfat diuraikan dalam larutan asam dengan membentuk belerang sebagai endapan mirip susu. S2O32- + 2H+ H2S2O3 H2S2O3 + S(s) Tetapi reaksi lambat dan tak terjadi bila tiosulfat dititrasikan ke dalam larutan iod yang asam, jika larutan diaduk dengan baik. Reaksi antara iod dan tiosulfat jauh lebih cepat daripada reaksi penguraian. Iod mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat : 4I2 + S2O32- + 5H2O 8I- + 2SO42- + 10H+ Dalam larutan netral atau sedikit sekali basa, oksidasi menjadi sulfat itu tidak terjadi, jika digunakan iod sebagai titran. Banyak zat pengoksid kuat, seperti pereaksi dichromat, permanganat dan garam serium(IV), mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat, namun reaksinya tidak kuantitatif. 2.6.2.6 Kalium Dikromat Senyawa ini dapat diperoleh dalam derajat kemurnian yang tinggi. Bobot ekuivalennya cukup tinggi, tak-higroskopis, dan zat padat serta larutannya sangat stabil. Reaksi dengan iodida dilaksanakan dalam asam sekitar 0,2 - 0,4 M. didiamkan 5 sampai 10 menit : Cr2O72- + 6I- + 14H+ 2Cr3+ + 3I2 + 7H2O Bobot ekuivalen kalium dikromat adalah seperenam bobot molekularnya atau 49,03g/mol, pada konsentrasi asam lebih tinggi dari 0,4M, oksidasi kalium iodida oleh udara. Agar diperoleh hasil sebaik-baiknya, sedikit natrium bikarbonat atau karbon berbentuk padat ditambahkan dalam labu titrasi. Karbon dioksidasi yang dihasilkan akan mengusir setelah itu campuran dibiarkan sampai reaksi sempurna. 2.7. Penentuan Kapasitas Prarancangan pembuatan noodle soap dari asam palmitat dan natrium hidroksida dengan proses netralisasi direncanakan berproduksi pada tahun 2015 dengan kapasitas produksi 5000 ton/tahun

30

BAB III KESIMPULAN Sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asamasam lemak. Sabun berfungsi untuk mengemulsi kotoran kotoran berupa minyak ataupun zat pengotor lainnya. Sabun dibuat melalui proses saponifikasi lemak minyak dengan larutan alkali. Tahap-tahap pembuatan sabun dalam skala industri meliputi saponifikasi lemak netral, pengeringan sabun, netralisasi asam lemak, penyempurnaan sabun. Bahan untuk membuat sabun meliputi minyak atau lemak, alkali (KOH, NaOH), bahan pendukung meliputi NaCl, zat aditif seperti pewarna, pewangi, builder, filler. Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses penyempurnaan sabun hasil saponifikasi (pegendapan sabun dan pengambilan gliserin) sampai sabun menjadi produk yang siap dipasarkan. Industri sabun juga menetapkan parameter kualitas sabun untuk selalu menjaga kualitas produknya (uji bilangan penyabunan dan angka iod)

31

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Iftikhar, 1980, Pembuatan Sabun dan Deterjen, Erlangga, Jakarta Fessenden, 1992, Kimia Organik, Erlangga, Jakarta http://kimiaanalisa.web.id/115, diakses pada 10 April 2013 http://www.scribd.com/doc/23977749/pembuatan-sabun, diakses pada 10 April 2013 Spitz L., 1996, Soap and Detergents : A Theoretical and Practical, AOCS Press, Champaign, Illinois Underwood, 1986, Quantitative Analysis,. 5th edition, Prentice Hall

32

You might also like