You are on page 1of 6

FARINGITIS A.

DEFINISI DAN ETIOLOGI Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang faring. Radang ini bisa disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, dan jamur: EBV, Streptococcus beta hemolitikus, Mycoplasma pneumoniae. Selain itu, faringitis juga dapat terjadi karena menghirup bahan-bahan kimia yang secara langsung menyebabkan iritasi pada tenggorokan, faringitis juga dapat terjadi karena refluk asam lambung. Faringitis banyak dialami oleh orang yang tinggal atau bekerja di tempat yang berdebu, atau lingkungan yang sangat kering, penggunaan suara yang berlebihan, makanan yang dapat mengiritasi tenggorokan misal mengonsumsi alkohol, atau batuk yang menetap, atau alergi. B. PATOGENESIS Penularan biasanya terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila jaringan epitel terkikis, maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Selain itu, infeksi/peradangan ditandai oleh pelepasan dan invasi toksin ekstraseluler lokal dan protease. Klasifikasi Faringitis Faringitis Akut a. Faringitis Viral b. Faringitis Bakterial c. Faringitis Fungal Faringitis Kronik a. Faringitis Kronik Hiperplastik b. Faringitis Kronik Atrofi C. TERAPI DAN MEKANISME OBAT

Jika penyebabnya diduga infeksi virus, pasien cukup diberikan analgetik dan tablet isap saja. Antibiotika diberikan untuk faringitis yang disebabkan oleh bakteri gram positif ditambah dengan analgetik dan kumur dengan air hangat. Penicillin dapat diberikan karena kemanjurannya telah terbukti, aman dan murah harganya. Antibiotik penicillin dapat diberikan secara sistemik dengan dosis 250 mg sebanyak 2 atau 3 kali sehari untuk anak-anak, dan 250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari untuk dewasa, selama 10 hari. Apabila pasien alergi dengan penisilin, dapat diganti dengan eritromisin. D. CONTOH KASUS Seorang anak usia 10 tahun datang dengan keluhan tenggorokan gatal dan terasa kering sejak 3 hari yang lalu. Keluhan disertai demam sejak 3 hari yang lalu. Problem : tenggorokan gatal dan kering demam E. CONTOH RESEP R/ Amoxicilin mg 250 Dexamethason mg 0,25 Paracetamol mg 250 mfla pulv dtd S 3 dd pulv I Pro: An A (10 tahun)

No. XII

URTIKARIA A. DEFINISI Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, yang biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo, dengan keluhan subjektif berupa gatal, rasa tersengat, atau tertusuk.

B. ETIOLOGI Sekitar 80% urtikaria tidak diketahui penyebabnya. Penyebab urtikaria bermacam-macam, seperti: obat, makanan, gigitan/sengatan serangga, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi dan infestasi parasit, psikis, genetik, dan penyakit sistemik. C. PATOGENESIS Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator, misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau sel basofil. Selain itu, terjadi inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik, misalnya kalikrein, tripsin, plasmin, dan hemotripsin di dalam sel mast. D. TERAPI DAN MEKANISME OBAT Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen. Intoleransi terhadap makanan dan obat yang tidak diperantarai IgE harus dipertmbangkan sebgai urtikaria kronik yang tidak memberikan respon yang baik dengan pemberian antihistamin. Terdapat tiga jenis obat yang cukup baik untuk mengontrol gejala pada urtikaria, yakni agen simpatomimetik, antihistamin, dan kortikosteroid. 1. Agen simpatomimetik, seperti epinefrin dan efedrin, mempunyai efek yang berlawanan dengan histamin, yaitu menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah kulit superfisial dan permukaan mukosa. Umumnya obat ini digunakan untuk urtikaria akut dan dapat dikombinasi dengan histamin. 2. Antihistamin, yang diklasifikasikan menjadi H1, H2, dan H3 berdasarkan kemampuan menghambat aksi spesifik reseptor histamin dalam jaringan. Hampir pada semua urtikaria, terutama urtikaria kronik yang penyebabnya sulit diketahui, pemberian antihistamin H1 merupakan pilihan pertama. Antihistamin golongan pertama diklasifikasikan dalam 6 kelompok

berdasarkan struktur kimianya. Antihistamin H1 generasi pertama memiliki efek samping sedasi. Efek depresi terhadap susunan saraf pusat dapat terjadi bila antihistamin AH1 ditelan bersama dengan alkohol. Efek pada saluran pencernaan meliputi anoreksia, mual, muntah, epigastric distress dan diare. Beberapa AH1 mempunyai efek antikolinergik berupa membran mukosa kering, sulit buang air kecil, retensi urin atau sering kencing, dan impotensi. Saat ini telah dikembangkan antihistamin generasi kedua yang efek sedasinya rendah. Derivat terfenadin (fexofenadine), astemizole, cetirizine, dan loratadine sudah mulai sering digunakan dalam pengobatan urtikaria. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (terfenadin), sedangkan astemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral. Apabila penggunaan satu obat tidak efektif, obat lain dari kelas farmakologikal yang berbeda dapat digunakan. Apabila masih gagal, kombinasi 2 obat dari kelas farmakologikal yang berbeda dapat digunakan, kombinasi AH1 dan AH2 mungkin dapat memberikan hasil yang lebih baik pada kasus pasien yang sulit. Antagonis H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri, karena efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh obat antihistamin H2 adalah cimetidin, ranitidin, nizatadin, dan famotidin. 3. Kortikosteroid Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang dalam pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi. Contoh obat kortikosteroid adalah prednisone, prednisolone, methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi prednisolone untuk menghasilkan efek,

dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis. Pada urtikaria, agen terapetik yang diberikan antara lain: 1. Antihistamin penghambat H1: hydroxyzine hydrochloride 10-50 mg setiap 4-8 jam, atau astemizole 10 mg 2-3 kali per oral (PO) dalam keadaan lambung kosong, atau terfenadine 60 mg PO setiap 12 jam; atau cetirizine 10 mg PO/hari. Jika pengobatan ini tidak dapat mengendalikan urtikaria, pertimbangkan untuk menambahkan penghambat H1 dari golongan kimia lainnya, misalnya: clemastine fumarate 1,34 mg atau 2,68 mg, tidak melebihi 8,04 mg/hari atau lebih dari tiga tablet 2,68 mg tiga kali sehari; cyproheptadine hydrochloride 4 mg PO setiap 8 jam; timeprazine tartrate spansul 5 mg, 1 setiap 12 jam, atau tablet 2,5 mg empat kali sehari; chlorpheniramine maleat 4 mg tiga kali sehari 2. Antihistamin penghambat H2: cimetidine 300 mg 4 kali sehari, atau ranitidine 150 mg 2 kali sehari. 3. Kortikosteroid: prednisone 0,5-1,0 mg/kg/hari, dikurangi setiap 10-15 hari untuk mengendalikan kasus yang tidak memberikan respon terhadap antihistamin pada urtikaria akut. Kortikosteroid oral tidak diindikasikan pada penanganan urtikaria kronik. E. CONTOH KASUS Seorang pasien Tn. S usia 25 tahun datang dengan keluhan kulit terasa gatal setelah makan makanan laut 3 jam yang lalu. Kulit terasa gatal dan terlihat kemerahan. Problem : kulit gatal, kemerahan F. CONTOH RESEP R/ Cetirizine tab mg 10 S 1 dd tab I Prednison tab mg 5 S 3-0-2 No. VI No. XXV

Pro: Tn. S (25 tahun)

You might also like