You are on page 1of 26

Analisa Resep VAGINOSIS BAKTERIALIS Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Farmasi Kedokteran

Oleh : Hana Christiani E. Sembiring I1A006002

Pembimbing Dra. Sulistianingtyas, Apt

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS KEDOKTERAN BAGIAN FARMAKOLOGI BANJARBARU 2010

BAB I PENDAHULUAN

Dalam dunia medis saat ini, prosedur penatalaksanaan seorang pasien dilakukan secara simultan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Setelah melalui prosedur tersebut, seorang dokter sebagai praktisi medis akan menentukan diagnosis yang tepat. Selanjutnya akan dilakukan upaya penyembuhan terhadap diagnosis yang telah ditegakkan baik secara medikamentosa maupun non medikamentosa. Namun secara umum, terapi awal dilakukan dengan menggunakan obat.1 Semakin bertambahnya jenis obat tunggal dan kombinasi, membuat para dokter mengalami kesulitan dalam memilih obat yang tepat untuk suatu keadaan penyakit tertentu. Hal ini tidak dirasakan saat para dokter masih sering meramu obat sendiri dari obat tunggal yang telah jelas diketahui khasiatnya. Saat ini pabrik obat telah memasarkan obat-obat tunggal baru dengan khasiat yang baru, dan juga obat-obat kombinasi yang jarang dibuktikan manfaatnya serta tidak selalu mudah untuk menyesuaikan dosisnya kepada setiap pasien.2 Obat yang diberikan kepada pasien harus dipesankan dengan

menggunakan resep. Satu resep umumnya hanya diperuntukkan bagi satu penderita. Resep selain permintaan tertulis kepada apoteker juga merupakan perwujudan akhir dari kompetensi, pengetahuan keahlian dokter dalam menerapkan pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Selain sifatsifat obat yang diberikan dan dikaitkan dengan variabel dari penderita, maka

dokter yang menulis resep idealnya perlu pula mengetahui penyerapan dan nasib obat dalam tubuh, ekskresi obat, toksikologi serta penentuan dosis regimen yang rasional bagi setiap penderita secara individual. Resep juga perwujudan hubungan profesi antara dokter, apoteker dan penderita.1,3

1.1. 1.1.1.

Definisi, Arti dan Fungsi Resep Definisi Menurut SK. Mes. Kes. No. 922/Men.Kes/ l.h menyebutkan bahwa resep

adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat serta memberikan informasi mengenai obat yang akan diberikan kepada penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku4. Huruf R/ merupakan kepanjangan dari recipe, yang berasal dari bahasa Latin, yang berarti ambillah. Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk tertentu dan menyerahkannya kepada penderita2. 1.1.2 Arti Resep Sebuah resep mempunyai arti sebagai berikut:1 1. Dari definisi tersebut maka resep bisa diartikan/merupakan sarana komunikasi profesional antara dokter (penulis resep), APA (apoteker penyedia/pembuat obat), dan penderita (yang menggunakan obat).

2.

Resep ditulis dalam rangka memesan obat untuk pengobatan penderita, maka isi resep merupakan refleksi/pengejawantahan proses pengobatan. Agar pengobatan berhasil, resepnya harus benar dan rasional .

1.1.3

Fungsi Resep Sebuah resep mempunyai beberapa fungsi 4 :

1.

Sebagai perwujudan cara terapi Artinya terapi seorang dokter itu rasional atau tidak, dapat dilihat dari resep yang dituliskan. Karena bila seorang dokter memberikan suatu terapi, pasti dia akan menuliskan sebuah resep, baik itu pasien rawat jalan ataupun rawat inap. Dari obat-obat yang diberikan akan memberikan gambaran terapi yang diberikan oleh dokter tersebut4.

2.

Merupakan dokumen legal Sebuah resep merupakan dokumen yang diakui keabsahannya untuk mendapatkan obat-obat yang diinginkan oleh dokter. Baik obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, narkotik maupun psikotropik. Jadi seorang pasien akan dengan mudah mendapatkan obat-obatan tersebut dengan resep. Karena begitu pentingnya sebuah resep sebagai dokumen legal maka diharapkan seorang dokter tidak meletakkan blanko resep secara sembarangan karena dikhawatirkan dipergunakan oleh orang untuk mendapatkan obat yang seharusnya dia tidak gunakan4.

3.

Sebagai catatan terapi Seorang dokter hendaknya menuliskan resep rangkap dua, dimana yang pertama diberikan kepada pasien untuk menebus obat di apotek, sedangkan yang kedua sebagai arsip dan catatan bahwa pasien tersebut telah mendapatkan terapi dengan obat-obat yang ada di arsip tersebut4.

4.

Merupakan media komunikasi Sebuah resep merupakan sarana komunikasi antara dokter-apotekerpasien. Apoteker akan tahu seorang pasien akan diberi obat apa saja, berapa jumlahnya, apa bentuk sediaannya, berapa kali sehari dan kapan harus meminumkannya4.

1.2

Pedoman Penulisan Resep Resep dituliskan di atas suatu kertas resep. Ukuran yang ideal ialah lebar

10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Untuk dokumentasi, pemberian obat kepada penderita memang seharusnya dengan resep; permintaan obat melalui telepon hendaknya dihindarkan3. Blanko kertas resep hendaknya oleh dokter disimpan di tempat yang aman untuk menghindarkan dicuri atau disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat bius
3

. Kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor

urut pembuatan serta disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Setelah lewat tiga tahun, resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan dengan membuat

berita

acara

pemusnahan

seperti

diatur

dalam

SK.Menkes

RI

no.270/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotek3. Dalam menulis resep harus jelas dan dapat dibaca supaya apoteker dapat membaca isi resep dengan mudah. Bila ditulis dengan tulisan yang tidak jelas, maka ada kemungkinan apotekter tidak dapat membaca atau malah ada kemungkinan apoteker salah dalam membaca resep tersebut.3 Dalam penulisan singkatan dalam resep harus menggunakan bahasa Latin dengan singkatan yang sudah baku karena ada kemungkinan orang lain tidak paham dengan singkatan yang dituliskan bila tidak menggunakan singkatan baku. Misalnya, kalau perlu bahasa Latinnya pro renata, biasa disingkat prn, tetapi kadang-kadang ada dokter yang menuliskan kp (singkatan dari kalau perlu). Jadi, dalam menuliskan singkatan tidak boleh dituliskan dalam singkatan bahasa Indonesia.3 Alasan penggunaan bahasa Latin dalam penulisan resep adalah sebagai berikut:3 1. Bahasa Latin merupakan bahasa yang mati Bahasa Latin merupakan bahasa yang tidak akan berkembang lgi karena merupakan bahasa mati. Lain halnya, dengan bahasa Indonesia yang setiap saat selalu berkembang dan selalu ada kosa kata yang baru, ayng orang Indonesia sendiri pun belum tentu mengetahui kosa kata tersebut. 2. Bahasa internasional dalam dunia kedokteran dan kefarmasian Di dalam dunia kedokteran dan kefarmasian, bahasa Latin biasa digunakan sebagai bahasa internasional. Jadi dimanapun berada, apabila

menggunsksn bahasa Latin dengan dokter dan apoteker, mereka pasti mengerti. Bila sebuah resep dituliskan dengan menggunakan bahasa Latin, pasien dapat menebus obatnya dimana saja baik di Asia, Afrika, apalagi di Indonesia, pasti akan dilayani, keculi untuk obat narkotika dan psikotropika. 3. Menghindari dualisme Karena bahasa Latin merupakan bahasa yang mati maka suatu kata tidak akan berkembang dan tidak mempunyai arti ganda. Lain dengan bahasa lain, contohnya bahasa daerah kita antara satu daerah dengan daerah yang lain mempunyai arti berbeda, bahkan kadang-kadang ada bahasa yang biasa digunakan di suatu daerah, tetapi bila digunakan di daerah lain mempunyai arti tabu.

1.3

Kelengkapan Resep Resep harus ditulis dengan lengkap, supaya dapat memenuhi syarat untuk

dibuatkan obatnya di Apotek. Adapun resep yang lengkap terdiri atas :4 1. Superscriptio, yang terdiri : Nama dan alamat dokter serta nomor surat izin praktek, dan dapat pula dilengkapi dengan nomor telepon, jam, dan hari praktek. oleh dokter. Nama kota serta tanggal resep itu ditulis

harap diambil. 2. Inscriptio

Tanda R/, singkatan dari recipe yang berarti

Nama setiap jenis atau bahan obat yang diberikan serta jumlahnya 1. Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari : A. Remedium cardinale atau obat pokok yang mutlak harus ada. Obat pokok ini dapat berupa bahan tunggal, tetapi juga dapat terdiri dari beberapa bahan. B. Remedium adjuvans, yaitu bahan yang membantu kerja obat pokok; adjuvans tidak mutlak perlu ada dalam tiap resep. C. Corrigens, hanya kalau diperlukan untuk memperbaiki rasa, warna atau bau obat (corrigens saporis, coloris dan odoris) D. Constituens atau vehikulum, seringkali perlu, terutama kalau resep berupa komposisi dokter sendiri dan bukan obat jadi. Misalnya konstituens obat minum air. 2. Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam suatu berat untuk bahan padat (mikrogram, miligram, gram) dan satuan isi untuk cairan (tetes, milimeter, liter). Perlu diingat bahwa dengan menuliskan angka tanpa keterangan lain, yang dimaksud ialah gram 3. Subscriptio

Subscriptio biasanya berisi cara pembuatan obat dan bentuk sediaan obat yang akan dibuat. Biasanya subscripto hanya ada pada resep formula magistralis. 4. Signatura/transcriptio Signatura berisi petunjuk cara penggunaan obat, seperti: Berapa kali sehari dipakai, Kapan obat tersebut digunakan, Bagaimana cara menggunakannya, Apakah obat tersebut harus diminum sampai habis atau kalau perlu saja, dan sebagainya. 5. Identitas Pasien Identitas penderita harus dituliskan secara lengkap meliputi nama penderita, alamat, umur, dan berat badan. Terutaa untuk pasien anak, harus ada keterangan umur dan berat badan anak, yang berguna untuk mencek kembali dosis yang diberikan. Alamat pasien harusnya juga dituliskan lengkap karena ada kemungkinan di apotek ada dua nama yang sama sehingga jika ada alamat maka kemungkinan resep tertukar akan kecil sekali terjadi. 6. Keabsahan resep Sebuah resep minimal harus ada paraf dokter di masing-masing resep yang ditulis setelah garis pemisah antar resep. Khusus untuk Resep obat narkotika dan psikotropika, harus dibubuhi tanda tangan lengkap oleh

dokter/dokter gigi/dokter hewan yang menulis resep, dan tidak cukup dengan paraf saja.

7.

Resep yang Tepat dan Rasional Penulisan resep adalah tindakan terakhir dari dokter untuk penderitanya,

yaitu setelah menentukan anamnesis, diagnosis dan prognosis serta terapi yang akan diberikan; terapi dapat profilaktik, simptomatik atau kausal. Penulisan resep yang tepat dan rasional merupakan penerapan berbagai ilmu, karena begitu banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat dan kemungkinan kombinasi obat, ataupun variabel penderitanya secara individual1. Resep yang tepat, aman, dan rasional adalah resep yang memenuhi lima tepat, ialah sebagai berikut 5: 1. Tepat obat; obat dipilih dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko, rasio antara manfaat dan harga, dan rasio terapi. 2. Tepat dosis; dosis ditentukan oleh faktor obat (sifat kimia, fisika, dan toksisitas), cara pemberian obat (oral, parenteral, rectal, local), factor penderita (umur, berat badan, jenis kelamin, ras, toleransi, obesitas, sensitivitas individu dan patofisiologi). 3. Tepat bentuk sediaan obat; menentukan bentuk sediaan berdasarkan efek terapi maksimal, efek samping minimal, aman dan cocok, mudah, praktis, dan harga murah.

4.

Tepat cara dan waktu penggunaan obat; obat dipilih berdasarkan daya kerja obat, bioavaibilitas, serta pola hidup pasien (pola makan, tidur, defekasi, dan lain-lain).

5.

Tepat penderita; obat disesuaikan dengan keadaan penderita yaitu bayi, anak-anak, dewasa dan orang tua, ibu menyusui, obesitas, malnutrisi, penderita kelainan fungsi ginjal atau hati. Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah yang kadang-

kadang terjadi karena maksud baik dan perhatian dokter. Peresepan irasional dapat dikelompokkan menjadi 3,4: 1. Peresepan mewah, yaitu pemberian obat baru dan mahal, padahal tersedia obat tua yang lebih murah yang sama efektifnya dan sama amannya, pengobatan simptomatik untuk keluhan yang remeh sehingga dana untuk penyakit yang berat tersedot, atau penggunaan obat dengan nama dagang walaupun tersedia obat generik yang sama baiknya. 2. Peresepan berlebihan, yaitu yang mengandung obat yang tidak diperlukan, dosis terlalu tingi, pengobatan terlalu lama, atau jumlah yang diberikan lebih dari yang diperlukan. 3. Peresepan salah, yaitu obat yang diberikan untuk diagnosis yang keliru, obat yang dipilih untuk suatu indikasi tertentu tidak tepat, penyediaan salah, atau tidak disesuaikan dengan kondisi medis, genetik, lingkungan, dan faktor lain yang ada saat itu. 4. Polifarmasi, yaitu penggunaan dua atau lebih obat padahal satu obat sudah mencukupi atau pengobatan setiap gejala secara terpisah padahal

pengobatan terhadap penyakit primernya sudah dapat mengatasi semua gejala. 5. Peresepan kurang, yaitu tidak memberikan obat yang diperlukan, dosis tidak mencukupi, atau pengobatan yang terlalu singkat.

Penulisan resep yang tidak rasional juga meliputi 3: 1. Memberikan shotgun prescription yaitu (6-10) obat dalam satu resep. Kemungkinan interaksi antar obat akan besar, bila n jenis obat diberikan sekaligus. 2. Jumlah obat terlalu banyak, kecuali untuk penyakit yang kronis (misalnya untuk tuberculosis). 3. Untuk obat jenis antibiotika penderita jangan menghentikan minum obat lebih awal karena penderita merasa sudah sembuh. 4. Memperhatikan keadaan ekonomi penderita kalau memberikan obat paten yang mahal sehingga dia tidak dapat menebus resepnya. 5. Obat paten berupa komposisi. Sebaiknya dokter mengetahui

komposisinya serta efek dari tiap komponennya; jangan sampai salah satu komponen merupakan kontraindikasi untuk penyakitnya. Kekurangan pengetahuan dari ilmu mengenai obat dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :3 Bertambahnya toksisitas obat yang diberikan

Terjadi interaksi antara obat satu dengan obat lain Tidak tercapai efektivitas obat yang dikehendaki Meningkatnya ongkos pengobatan bagi penderita yang sebetulnya dapat dihindarkan.

BAB II ANALISA RESEP

2.1

Resep Berikut adalah contoh resep dari poliklinik Obstetri dan Ginekologi

(Gamabr 2.1).

Gambar 2.1

Contoh salah satu resep dari poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUD Ulin Banjarmasin.

Keterangan Resep Klinik Tanggal Nama Pasien Umur Pendidikan Status No. RMK Alamat Keluhan Utama : Obstetri dan Ginekologi : 5 Juli 2010 : Nn. Qiyamah : 18 tahun : SMA : Belum menikah : 0-76-51-51 : Jln. Lingkar Dalam, Banjarmasin : Keputihan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Os mengalami keputihan sejak enam tahun yang lalu. Cairan berwarna putih kekuningan, tidak berbau, dan tidak gatal. Sejak 3 tahun terakhir, cairan keputihan berwarna kuning kecoklatan, berbau dan keluar setiap hari baik sebelum dan sesudah menstruasi. Siklus haid teratur. Menarche HPHT : 13 tahun : 15 Juni 2010 Siklus Lama haid : 35-45 hari : 9 hari

Objektif TD N BB TB Diagnosa Pengobatan

: = 120/70 mmHg = 82 x/menit = 57 kg = 171 cm : Flour albus : Clindamicin 300 mg 2x1 Metronidazol 500 mg 3x1 T RR = 36.5 0C = 20 x/menit

2.2 2.2.1

Analisa Resep Penulisan Resep

Pada resep ini ukuran kertas yang digunakan lebarnya 12 cm dan panjangnya 19 cm.Ukuran kertas resep yang ideal adalah lebar 10-12 cm dan panjang 15-18 cm.2 Berdasarkan ketentuan tersebut, ukuran kertas yang digunakan pada resep ini, lebarnya sudah ideal tapi masih terlalu panjang, yaitu kelebihan 1 cm. Dalam penulisan resep tersebut, sebagin beesar tulisan sudah ditulis dengan cukup jelas sehingga dapat terbaca. Pada penulisan resep yang benar tulisan harus dapat dibaca dengan jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat. Penulisan resep juga sudah menggunakan singkatan baku dalam bahasa Latin misalnya 2.d.d (bis de die), yang artinya berikan dalam dua kali sehari. 2.2.2 1. Kelengkapan Resep Identitas dokter Identitas dokter sudah lengkap. Dalam resep ini sudah tercantum nama dokter dan alamatnya menggunakan institusi RSUD Ulin Banjarmasin sebagai tempatnya bekerja. 2. Nama kota serta tanggal resep ditulis Nama kota sebagai keterangan tempat penulisan resep menggunakan keterangan tempat instansi RSUD Ulin Banjarmasin (tersirat). Tanggal penulisan resep juga sudah ditulis oleh dokternya. 3. Superscriptio

Tanda R/ sudah tercantum pada resep ini. 4. Inscriptio a) Jenis/bahan obat dalam resep ini terdiri dari : Remedium Cardinale atau obat pokok yang digunakan adalah Klindamisin dan Metronidazole Tidak terdapat sediaan Remedium Adjuvans atau obat tambahan yang digunakan dalam resep ini. Tidak terdapat sediaan berupa Corrigens dan Constituens atau vehikulum pada resep ini. b) Urutan penulisan jenis obat dimulai dengan obat pokok (kausatif) tanpa obat tambahan (simptomatik). c) Dosis kedua obat telah dituliskan pada resep ini tetapi satuan obat tidak dicantumkan. Penulian dosis obat tanpa mencatumkan satuan dapat diartikan dalam gram. Bentuk sediaan obat yang diinginkan tidak ditulis. d) Signatura/Transcriptio Tanda signa ( ) sudah dicantumkan dalam penulisan kedua obat. Pada resep ini tidak berisi petunjuk cara penggunaan obat secar lengkap. Frekuensi pemberian dan jumlah obat setiap kali pemberian sudah ditulis, walaupun dalam penulisaannya masih kurang lengkap karena tidak mencantumkan jenis sediaan obat. Waktu pemberian (sebelum, saat atau sesudah makan) juga tidak ditulis, padahal hal ini mempengaruhi keefektifan absorbsi obat dan berpengaruh terhadap

efek terapeutik yang diharapkan agar diperoleh hasil terapeutik yang optimal. Keterangan untuk diminum sampai habis atau kalau perlu saja serta keterangan lainnya yang dianggap perlu berhubungan dengan petunjuk cara penggunaan obat juga tidak ditulis. Pada tiap akhir penulisan resep, sudah terdapat garis pemeisah antar resep dan sudah ditanda tangani atau di paraf oleh dokter yang bersangkutan.

6.

Identitas pasien Identitas pasien tidak ditulis secara lengkap. Resep ini hanya

mencantumkan nama pasien, sedangkan umur dan alamat tidak ditulis. Seharusnya identitas penderita ditulis lengkap agar resep tidak tertukar saat pengambilan dan mudah menelusuri bila terjadi sesuatu kesalahan dengan pemberian obat pada penderita. 7. Keabsahan resep Pada resep ini, sudah terdapat tanda tangan dokter pada kop resep dan pada masing-masing garis pemisah antar resep sehingga menjadikan resep tersebut otentik. 8. Tanda penutup

Tidak terdapat tanda penutup untuk menghindari penambahan obat sudah ada.

2.2.3

Keabsahan Resep Kertas resep yang digunakan disini adalah resep dokter rumah

sakit/poliklinik dan pada resep ini sudah dicantumkan nama dokter, tanda tangan/paraf dokter dan bagian/unit di Rumah Sakit. Dari penjelasan di atas maka resep ini bisa dikatakan sah.

2.2.4

Dosis Obat, Frekuensi, Waktu dan Lama Pemberian

2.2.4.1 Klindamisin 2.2.4.2 Metronidazole Dosis obat yang diberikan sebanyak 500mg walaupun tidak begitu jelas. Dosis dewasa oral untuk vaginitis bakkterial dianjurkan 500 mg selama 7-10 hari.5 Frekuensi obat yang diberikan tidak rasional, yaitu 3 kali sehari (dosis 500 mg). Metronidazole diberikan dengan frekuensi 2 kali sehari (dosis 500 mg).5 Waktu pemberian obat tidak ditulis. Seharusnya waktu pemberian obat ditulis, obat ini diberikan pada saat makan.5

Lama pemberian obat 5 hari. Aturan pemberian, obat ini diberikan selama 710 hari. 5

2.2.5

Bentuk Sediaan Bentuk sediaan yang diberikan dalam bentuk tablet, sudah sesuai karena

pasien dewasa dan tidak ada gangguan menelan. Bentuk sediaan klindamisin tablet 300 mg dan trikodazole 500 mg.4

2.2.6

Interaksi Obat

2.2.6.1 Klindamisin

2.2.6.2 Metronidazole Indikasinya untuk amubiasis, trikomoniasis dan infeksi bakteri anaerob Jika diberikan bersama simetidin dapat meningkatkan kadar metronidazole Lithium: Metronidazole meningkatkan level toksisitas lithium Phenytoin, phenobarbital dapat meningkatkan metabolisme metronidazol sehingga menurunkan efek kerja Warfarin jika diberikan bersama Metronidazole akan mengakibatkan P-T memanjang

2.2.6.

Efek Samping Obat

2.2.7.1 Klindamisin

2.2.7.2 Metronidazole Efek samping SSP berupa sakit kepala, pusing, ganguan penglihatan (reversibel). Jarang depresi dan halusinasi; kardiovaskular berupa takikardia, braikardia, denyut ventrikuler prematur, AV blok; gastrointestinal berupa konstipasi, diare, mual, muntah dan nyeri abdomen; hati berupa hepatitis, kerusakkan hepatoseluler atau hepatokanalikular atau keduanya dengan atau tanpa jaundice; hematologi berupa perubahan hitung jenis darah (leukopenia, trombositopenia) reversibel. Jarang: agranulositosis atau pansitopenia kadang dengan hipoplasia sumsum atau aplasia; dermatologik berupa ruam kulit, pruritus, flushing, eritema moltiformis ringan; muskuloskeletal berupa atralgia, mialgia ringan, parestesia ekstremitas; reaksi lain berupa reaksi hipersensitivitas termasuk nyeri dada, bronkospasme, demam, ruam kulit, anafilaksis, urtikaria,

angioneurotik, edema, hipotensi.

2.2.8

Analisa Diagnosis Leukorea (white discharge, fluor albus, keputihan) adalah nama gejala

yang diberikan kepada cairan yang dikeluarkan dari alat-alat genital yang tidak berupa darah. Mungkin leukorea merupakan gejala ginekologik yang paling

banyak dijumpai, adanya gejala ini diketahui penderita karena mengotori celananya. 9 Dapat dibedakan leukorea fisiologik dan yang patologik. Leukorea

fisiologik terdiri atas cairan yang kadang-kadang berupa mukus yang

mengandung epitel dengan leukosit yang jarang, sedang pada leukorea patologik terdapat banyak leukosit. 9 Leukorea fisiologik ditemukan pada 9: 1. Bayi yang baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari, disini penyebabnya ialah hormon estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin. 2. Waktu di sekitar menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen; leukorea disini hilang sendiri, akan tetapi dapat menimbulkan keresahan pada orang tuanya 3. Wanita dewasa apabila dirangsang sebelum dan pada waktu koitus, disebabkan loleh pengeluaran transudasi dari dinding vagina. 4. Waktu disekitar ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri menjadi lebih encer. 5. Pengeluaran sekret daari kelenjar-kelenjar serviks uteri juga

bertambahpada wanita dengan penyakit menahun, dengan neurosis dan pada wanita dengan ektropion porsionis uteri. Penyebab utama leukorea patologik adalah infeksi. Disini cairan banyak mengadung leukosit dan warnanya agak kekuning-kuningan sampai hijaum sering kali lebih kental dan berbau. Radang vulva, vagina dan servik dan kavum uteri dapat menyebabkan leukorea patologik; pada adneksitis gejala tersebut dpat pula timbul. Selanjutnya leukorea dapat ditemukan pada neoplasma jinak atau ganas. 9 Vaginitis bakterial adalah sindrom klinik akibat pergantian Lactobacillus spp penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi ( Bacteroides Spp. Mobiluncus Spp) Gardnerella

vaginalis dan Mycoplasma hominis. Penyebab vaginosis bakterial bukan organisme tunggal. Pada satu analisis dari data flora normal vagina

memperlihatkan bahwa ada 4 kategori dari bakteri vagina yang berhubungan dengan vaginosis bakterial yaitu: Gardnerella vaginalis, Bacteroides Spp, Mobiluncus Spp dan Mycoplasma hominis. 10 2.2.8.1 Gambaran Klinis Wanita dengan vaginosis bakterial dapat tanpa gejala atau mempunyai bau vagina yang khas yaitu bau amis terutama waktu berhubungan seksual. Bau tersebut disebabkan adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar wanita dapat asimtomatik. 10 Pada pemeriksaan terdapat sekret yang homogen, tipis dan cair. Berbeda dengan sekret normal vagina yang lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan ngambaran berkelompok atau menggumpal. vaginosis bakterial berwarna putih atau keabu-abuan. Sekret

Sekret yang berwarna

kuning kehijauan atau hijau purulen erat hubungannya dengan trikomoniasis atau servisitis, tetapi tidak dengan vaginosis bakterial. Pada penderita dengan

vaginosis bakterial tidak ditemukan inflamasi pada vagina dan vulva. 10

Dalam mengdiagnosis vaginosis bakterial tidak cukup hanya dengan gejala klinis saja. Amsel dkk merekomendasikan diagnosis klinis vaginosis bakterial berdasarkan pada adanya tiga dari empat tanda-tanda berikut 10: 1. cairan vagina homogen, putih dan keabu-abuan, melekat pada dinding vagina 2. 3. PH vagina lebih besar dari 4,5 sekret vagin aberbau amis, sebelum atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test) 4. clue cell pada pemeriksaan makroskopik

2.2.8.2 Penatalaksanaan Prinsp terapi adalah menghilangkan gejala dan tanda-tanda vagina. Karenanya, hanya wanita dengan vaginosis bakterial simtomatik yang membutuhkan pengobatan. Perjalanan penyakit vaginosis bakterial belum

dipelajari secara luas, tetapi perbaikan spontan telah dilaporkan pada 1/3 kasus. Wanita yang hanya mengandung G. Vaginalis(diidentifikasi melalui kultur) tidak perlu diberikan terapi kecuali mereka menderita vaginosis bakterial simtomatik. Rejimen terapi yang dianjurkan adalah metronidazole 500mg, 2 kali sehari selama 7 hari. Merupakan obat yang paling efektif saat ini dengan

kesembuhan 95%. Rejimen alternatifnya adalah : Metronidazole oral 2g dosis tunggal. Kurang efektif dibandingkan

dengan rejimen 7 hari dengan kesembuhan 84%. Mempunyai aktifitas

sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi anaerob. Klindamisin krim 2% intravaginal, aplikator penuh (5 g), dipakai saat akan tidur selama 7 hari. Metronidazole gel 0,75% intravaginal, aplikator penuh (5 g) 2 kali sehari selama 5 hari Klindamisin 300 mg 22 kali sehari selama 7 hari Augmentin oral (500 mg amoksisilin + 125 mg asam clavulanat) 3 kali sehari selama 7 hari Sefaleksin 500 mg 4 kali sehari selama 7 hari.

Dengan terapi yang adekuat vaginosis bakterial mudah disembuhkan, walaupun kekambuhan sering terjadi. Pada kasus ini, dilihat dari keluhan yang paling dominan adalah keputihan yang berlangsung selama 1 minggu. Terdapat beberapa penyakit

kelamin yang ditandai dengan keputihan beberapa diantaranya yaitu candidiasis vulvovaginal, vaginosis bakterialis, gonoroe dan trikomoniasis. Tabel 1. Karakteristik tiga penyebab utama infeksi vulvovagina11

Keputihan berbau dan tidak gatal dapat diklasifikasikan sebagai vaginitis bakterial. Obat yang diresepkan sesuai dengan penyakit tersebut yaitu kombinasi siprofloksasin dan metronidazole. Indikasi pemberian kedua jenis obat ini berbeda, siprofloksasin merupakan antibiotik yang digunakan untuk uretritis, servisitis gonore, beberapa kuman yang disebabkan oleh stapilokokus dan streptokokus sedangkan metronidazole diindikasikan untuk trikomoniasis dan bakteri anaerob. Dari indikasi tersebur penulis lebih menyarankan untuk menggunakan satu jenis antibiotik yaitu tablet oral untuk mengatasi infeksi tersebut

You might also like