You are on page 1of 13

AQIDAH

PENGERTIAN
Aqidah ( ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-aqdu ( ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu( ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu ( ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah ( ) yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut istilah (terminologi): aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Jadi, Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan ke-wajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikatNya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apaapa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qathi (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma Salafush Shalih. "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa':69)

Nama lain Ilmu Aqidah


a. Ilmu Tauhid

Artinya tauhid adalah percaya kepad tuhan Yang Maha Esa (meng-esakan tuhan) dan tidak ada sekutu-Nya, dinamakan ilmu tauhid karena tujauanny adalah menetapkan ke-Esaan Allah dalam dzat dan perbuatan-Nya dalam menjadikan alam semesta dan hanya Allah lah yang menjadi tempat tujuan tempat terahir ala mini. perinsip inilah yang menjadi tujuan utama pada ajaran Nabi Muhammad Saw. b. Ilmu Kalam

Ilmu kalam artinya ilmu pembicaraan, karena dengan membicarakan pengetahuan-pengetahuan akan menjadi jelas dan dengan pembicaraan yang tepat menurut undang-undang berarti membicarakan kepercayaan yang benar dan dapat ditanamkan kedalam hati manusia. Disebut ilmu kalam sebab dalam ilmu tauhid yaitu pembahasannya yang paling berat dan paling banyak menjadi bahan diskusi dan musyawarah ialah masalah sifat kalam Allah swt. c. Ilmu Usuluddin

Ilmu usuluddin ialah ilmu yang membahas tentang pokok-pokok agama Islam. Dinamakan demikian karena soal kepercayaan itu betul-betul menjadi pokok dari soal-soal yang lain dalam agama.

d. Ilmu Hakikat Ilmu hakikat adalah ilmu sejati, karena ilmu ini menjelaskan hakekat segala sesuatusehingga dapat meyakini kepercayaan yang benar. e. Ilmu Marifat Disebut ilmu marifat karena pengetahuan ini dapat mengetahui benar-benar akan Allah dan sifatsifat-Nya dan dengan keyakinan yang teguh. f. Fikih Akbar, munculnya pemahaman ini bahwa tafqquh fiddin yang diperintahkan Allah SWT, dalamsurah At-Taubah ayat 122.

Pembagian Aqidah
Walaupun masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang mereka itu senantiasa rnenempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha' dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama: 1. Tauhid Al-Uluhiyyah, ialah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata. 2. Tauhid Ar-Rububiyyah, ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang Mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini. 3. Tauhid Al-Asma' was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya. Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. dalam dzat, asma maupun sifat. Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata: "Qadar adalah kekuasaan Allah". Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40. [Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas]

Perkembangan Aqidah
Setelah wafatnya Baginda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, di mana Daulah Islamiyyah semakin meluas di bawah pimpinan para khalifah, maka banyak umat manusia dari seluruh dunia memasuki agama Islam berbondong-bondong. Masyarakat Islam pada ketika itu mempunyai latar belakang agama dan pegangan yang berbeda-beda. Bahkan, mereka juga mempunyai femahaman terhadap kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang diajarkan oleh Islam. Bahkan, sebagian mereka ada dari kalangan orang-orang Ajam (bukan Arab) yang mengalami kesukaran untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al-Quran secara langsung. Berdasarkan banyak faktor-faktor , maka risalah aqidah Islam dan tauhid murni ini semakin menantang untuk dijelaskan kepada masyarakat yang baru memeluk Islam. Sebagian dari mereka sudah terbiasa dengan pegangan dan konsep ketuhanan yang salah sehingga mencoba memahami aqidah murni Islam dengan kerangka yang salah. Oleh sebab itulah, timbul isu aqidah yang beragam seperti isu taqdir yang merupakan isu yang paling awal dibahas dalam masyarakat Islam,tentunya dalam bidang aqidah. Ini adalah suatu tantangan baru dalam masyarakat Islam, di mana dahulu, iman adalah suatu yang dihayati dan terealisasi dalam segenap kehidupan, namun dengan munculnya generasi baru yang mempunyai pelbagai latar belakang pendidikan, keilmuan, pegangan, kepercayaan, bahasa dan sebagainya, membuat pendekatan untuk menjelaskan tentang tauhid murni Islam perlu dikembangkan. Pada awal perkembangan ilmu aqidah (suatu nama yang tidak di gunakan dalam zaman awal salaf, lalu berkembang menjadi nama khusus untuk ilmu tauhid), para ulama tidak menumpukan sepenuh perhatian terhadap isu-isunya karena mereka lebih menumpukan sudut mengembangkan ilmu-ilmu berkaitan femahaman terhadap hukum-hakam syariat Islam. Namun Apabila timbul isu-isu melibatkan aqidah, maka para ulama hanya menghadapi individuindividu yang terlibat dengan perdebatan ilmiah yang ringkas. Ini bisa dilihat sebagai suatu asas bagi perkembangan ilmu Jidal (ilmu perdebatan) yang seterusnya membawa kepada pengkonsepan ilmu Kalam Sunni, yaitu suatu perkembangan ilmu Jidal para ulama Sunnah khusus dalam bidang aqidah Islam. di Antara para ulama Salaf yang masyhur yang terlibat dalam perdebatan secara Kalamiyyah (ilmu Kalam atau ilmu Jidal) ini adalah Imam Abu Hanifah r.a. (w 150 H), Imam As-Syafie r.a. (w: 204 H) [rujuk Manaqib As-Syafie oleh Al-Baihaqi: 1/457] dan sebagainya. Pada masa seperti ini, perkembangan ilmu tauhid ajaran Islam mula dibahas secara teori sematamata tanpa berkaitan dengan penghayatan terhadap tauhid itu sendiri. Muncul individu-individu yang sibuk membahas tentang sifat-sifat ketuhanan, perkara-perkara ghaib dan sebagainya tanpa menghayati tauhid murni dalam hati mereka. Seolah-olah, ilmu tauhid adalah suatu ilmu untuk dibahas tanpa mempunyai penghayatan dan rasa manisnya dalam diri manusia. Ini adalah hasil perkembangan perbahasan ilmu agama tanpa nilai ketaqwaan dalam sebagian ahli ilmu dan masyarakat awam. Tidak dapat dinafikan bahwa, para ulama yang terlibat dalam memberi penjelasan terhadap aqidah Islam dalam masyarakat Islam adalah terdiri daripada para ulama sufi juga, yang pada ketika itu lebih dikenali sebagai golongan Az-Zuhhad (ahli zuhud). Tokoh-tokoh besar seperti Imam Hasan AlBashri (w: 110 H) dan Imam Harith Al-Muhasibi (w: 243 H) adalah antara tokoh-tokoh sufi awal yang

terlibat membahaskan ilmu berkenaan dengan aqidah. Namun, pembahasan tauhid mereka berbeda dengan pembahasan tauhid nazhori (secara teori) karana mereka membahas tentang penyucian jiwa, tarbiah kerohanian dan sebagainya sebagai usaha merealisasikan ilmu tauhid kepada bentuk penghayatan rohani.

Ini berbeda dengan perkembangan ilmu Tauhid Nazhori yang melibatkan perdebatan-perdebatan secara istilah dan sebagainya. Sedangkan, ilmu aqidah atau ilmu tauhid yang dikembangkan oleh sebagian ulama sufi menekankan konsep keterpaduan antara tauhid dengan akhlak (tauhid amali syuhudi) yang mana itu suatu warisan tauhid generasi awal Islam yang masih dipelihara. Ilmu Tauhid yang mereka bahas bukan sekadar berbentuk teori, tetapi diterjemahkan dalam bentuk hubungan kehambaan dengan Allah s.w.t. melalui konsep Suhbah dan Tarbiah yang didasari oleh kaedah Qudwah (contoh) sebagaimana yang telah disebutkan. Kaedah Qudwah yang mereka gunakan itu sendiri mempunyai silsilahnya yang bersambung kepada Saidina Rasulullahshollallahu alaihi wasallam karana para ulama sufi mengambil qudwah daripada para ulama tabiin yang mengambilnya daripada para sahabat r.a. yang mana mereka mengambilnya daripada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Ketika perkembangan ilmu tauhid amali sedang marak dalam golongan sufi khususnya, muncul beberapa individu yang terus tenggelam dalam pembahasan tauhid berbentuk teori (Ilmu Tauhid Nazhori/kalam), lalu timbul perdebatan hangat tentang masalah-masalah ketuhanan dan sebagainya, berdasarkan banyak faktor. Antaranya adalah berlebihan dalam menggunakan akal untuk berinteraksi dengan masalah-masalah aqidah dan kelemahan dalam menguasai ilmu bahasa Arab yang sempurna sehingga salah faham dalam memahami nas-nas mutasyabihat yang melibatkan masalah-masalah aqidah. Di Antara mereka yang terlibat dengan kesesatan dalam masalah aqidah adalah seperti Washil bin Atho (w: 130 H) yang merupakan murid Imam Hasan Al-Bashri yang akhirnya keluar dari majlis Imam Al-Bashri lalu membuat majlis ilmu sendiri karena mempunyai femahaman yang berbeda daripada Imam Hasan Al-Bashri khususnya dalam beberapa masalah aqidah. Akhirnya, faham Washil bin Atho dikenal sebagai Mutazilah. Femahaman ini juga dikembangkan oleh Amr bin Ubaid (80-142 H) dan kemudian dikembangkan oleh Abu Hudhail Al-Allaf (w: 268 H), Mabad bin Ubbad Al-Silmi (w: 220 H) dan seterusnya oleh Abu Ali Al-Jubbaie (w: 330 H). Di samping itu juga, sebelum munculnya golongan Mutazilah, muncul individu yang menimbulkan kekeliruan dalam masalah aqidah seperti Mabad Al-Juhani Al-Bashri (w: 80 H) dan Ghailan AdDimasyqi (w: 105 H). Femahaman kedua individu ini dikenal sebagai Qadariyyah., masalah Taqdir atau Qadar adalah di antara masalah baru yang paling awal diperbincangkan oleh golongan sesat pada masa salaf. Begitu juga dengan munculnya individu bernama Jahm bin Safwan (w: 128 H) yang terlibat dengan faham Jabbariyyah. Faham ini berbeda dengan faham Qadariyyah walaupun kedua-duanya masih berkaitan dengan masalah qadar. Namun, kedua-golongan ini terpeleset dari tauhid murni Islam.

Golongan Mujassimah juga termasuk di antara golongan yang menyeleweng dalam masalah aqidah. Mereka memahami nas-nas mutasyabihat dengan femahaman bahasa yang maknanya dibatasi dengan penggunaannya kepada makhluk. Lalu, mereka menjisimkan Allah s.w.t. apakah secara jelas atau secara tidak langsung. Di Antara golongan Mujassimah adalah golongan Hisyamiyyah yang dipelopori oleh Hisyam bin AlHakam (w: 190 H) dan Al-Mughiriyyah yang dipelopori oleh Al-Mughirah bin bin Said (w: 119 H) dari kalangan Syiah. Begitu juga golongan Muqotiliyyah yang dipelopori oleh Muqotil bin Sulaiman (w: 150 H) dan dan golongan Al-Karramiyyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Al-Karram (atau AlKiram, w: 255 H) dari kalangan ahli hadith. Adapun femahaman golongan Mujassimah ini masih mempunyai pengaruh yang kuat hingga hari ini walaupun kebanyakan mereka berlindung di sebalik nama-nama indah yang mengelabui para penuntut ilmu dan masyarakat awam. Ketika perkembangan ini muncul ,maka ilmu tauhid atau aqidah lebih dibahas secara teori di bandingkan dengan sebelum ini,yang dikembangkan dalam masyarakat secara praktikal dengan tarbiah kerohanian (tauhid amali syuhudi). Namun, ini tidak menafikan peranan penting para ulama sufi yang masih menjaga manhaj tarbiah ummah dan penyucian jiwa yang menjadi aspek terpenting dalam mengembangkan tauhid amali yang diwarisi secara murni daripada para sahabat r.a. dan tabiin yang sudah mencapai tahap ihsan.

Tiga Hukum Akal dalam Ilmu Aqidah


Iman kepada Allah swt yang dipelajari intinya adalah mengenal semua perkara yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah. Dan juga iman kepada semua perkara yang wajib diimani, seperti para rosul dan malaikat. Adapun lebih rincinya sebagai berikut : a. Wajib Aqli Adapun wajib aqli ialah penolakanterhadap ketiadaan sesuatu yang tidak dapat diterima akal ketiadaannya itu, misalnya: tidak ada sesuatu yang ada kecuali ada yang mengadakan. Tidak mungkin adanya barang apa saja tanpa ada yang menciptakan. Adanya bangku tidak mungkin timbul begitu saja, pasti ada yang membuat. Begitu pula dengan dunia ini pasti ada yang menciptakan. b. Mustahil Aqli Adapun mustahil aqli adalah penolakan kepada sesuatu. Sesuatu yang tidak dapat diterima adanya oleh akal itu disebut mustahil. Contoh dua adalah separuh dari tiga, dan bersekutunya Allah. Masalah dua separuhnya tiga dan anggapan bersekutunya bagi Allah, pencipta alam raya adalah mustahil aqli. yang pertama disebut mustahil badihiy karena mudah dimengerti tanpa bukti. sedangkan yang kedua adalah mustahil nadhori karena membeutuhkan pembuktian. c. Jaiz Aqli Adapun jaiz adalah penerimaan tyerhadap keberadaan dan ketiadaan sesuatu.. sesuatu yang dapat diterima oleh akal adanya dan diterima pula ketiadaannya, itu disebut jaiz. Kepergian kita dari tempat satu ketempat lain dan perubahan batu menjadi emas dengan kekuasaan Allah adalah jaiz aqli. peristiwa kita dari satu tempat ke tempat lain merupakan suatu hal yang wajar dan tidak aneh bagi akal hal itu disebut jaiz badihiy atau jaiz adi. Sedangkan yang kedua, yaitu berubahnya batu

menjadi emas disebut jaiz ghoiru adi (tidak biasa), artinya peristiwa itu jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi menurut kebiasaan. Oleh karana itu, akal pada mulanya menganggap aneh, tetapi ketika hal itu dikaji dengan bukti-bukti, ternyata hal itu mungkin terjadi dan tidak mustahil adanya. Seperti berubahnya tongkatnya nabi Musa menjadi ular, api tidak dapat membakar jasadnya manusia, terbelahnya lautan dan lain sebaginya. Semua itu, walaupun tidak biasa terjadi tapi bila dibahas dengan dalil atau bukti, ternyata hal itu bisa tejadi, mungkin terjadi dan masuk dalam kekuasaan Pencipta alam.

Pokok Sumber Aqidah


Salah satu ciri manhaj (jalan) yang lurus adalah manhaj yang memiliki kesamaan mashdar (sumber) pengambilan dalil dalam masalah agama, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah. Hal ini berlaku kapan dan di mana pun kaidah tersebut digunakan. Tidak ada kesimpangsiuran pemahaman akidah pada setiap zaman dalam manhaj tersebut. Dari zaman Rasululloh sholallahu alaihi wassalam hingga zaman sekarang dan sampai kapan pun, prinsip akidah yang benar tidak pernah berubah. Jika ada perubahan dalam hal akidah, tentu agama ini belumlah sempurna. Prinsip inilah yang digunakan oleh para ulama dalam memahami dan menjaga syariat Islam. Jika kita menelaah tulisan para ulama dalam menjelaskan akidah, maka akan didapati 2 sumber pengambilan dalil penting. Dua sumber tersebut meliputi : 1. Dalil asas dan inti yang mencakup Al Quran, As Sunnah dan Ijma para ulama 2. Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat manusia dan fitrah kehidupan yang telah diberikan oleh Alloh azza wa jalla Al-Quran Sebagai Sumber Akidah

Al Quran adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Rasululloh sholallahu alaihi wassalam melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia merupakan petunjuk bagi orangorang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah ditemui kekurangan dan celaan di dalam Al Quran, sebagaimana dalam firman-Nya Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al Anam:115) Al Imam Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu yang dibutuhkan manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan di atas pundaknya, termasuk di dalamnya perkara akidah. Allah menurunkan Al Quran sebagai sumber hukum akidah karena Dia tahu kebutuhan manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati, akan ditemui banyak ayat dalam Al Quran yang menjelaskan tentang akidah, baik secara tersurat maupun

secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami akidah yang bersumber dari Al Quran karena kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan masa. As Sunnah: Sumber Kedua

Seperti halnya Al Quran, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Alloh subhanahu wataala walaupun lafadznya bukan dari Alloh tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah Dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan (Q.S An Najm : 3-4) Rasulullah shalallahu alaihi wassalam juga bersabda: Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali kebenaran sambil menunjuk ke lidahnya. (Riwayat Abu Dawud) Yang menjadi persoalan kemudian adalah kebingungan yang terjadi di tengah umat karena begitu banyaknya hadits lemah yang dianggap kuat dan sebaliknya, hadits yang shohih terkadang diabaikan, bahkan tidak jarang beberapa kata mutiara yang bukan berasal dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dinisbatkan kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-musuh Alloh untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah yang telah menjaga kemurnian As Sunnah hingga akhir zaman melalui para ulama ahli ilmu. Allah menjaga kemurnian As Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih dalam menjaga dan membela sunnah-sunnah Rasululloh sholallahu alaihi wassalam dari usaha-usaha penyimpangan. Ini tampak dari ulama-ulama generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga sunnah dengan menghafalnya dan mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam meriwayatkannya. Para ulama inilah yang disebut sebagai para ulama Ahlusunah. Oleh karena itu, perlu kiranya jika kita menuntut dan belajar ilmu dari mereka agar tidak terseret dalam jurang penyimpangan. Selain melakukan penjagaan terhadap Sunah, Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum dalam agama. Kekuatan As Sunnah dalam menetapkan syariat-termasuk perkara akidah-ditegaskan dalam banyak ayat Al Quran, diantaranya firman Allah yang artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang ia larang maka tinggalkanlah (Q.S Al Hasyr:7) Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk juga mengambil sumber-sumber hukum akidah dari As Sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnul Qoyyim juga pernah berkata Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya sholallohu alaihi wassalam dengan mengulangi kata kerja (taatilah) yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independent tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu dengan Al Quran, jika beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Quran dan Sunnah.

Ijma Para Ulama

Ijma adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad sholallohu alaihi wassalam setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang sekedar tahu tentang masalah ilmu tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan Ijma, Allah subhanahu wataala berfirman yang artinya Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalannya orang-orang yang beriman, maka Kami akan biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (Q.S An Nisaa:115) Imam Syafii menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariatkannya ijma, yaitu diambil dari kalimat jalannya orang-orang yang beriman yang berarti ijma. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syari yang wajib untuk diikuti karena Alloh menyebutkannya secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rasul. Di dalam pengambilan ijma terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma dalam masalah akidah harus bersandarkan kepada dalil dari Al Quran dan Sunnah yang shahih karena perkara akidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi ijma adalah menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzoni sehingga menjadi qothai. Akal Sehat Manusia

Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa. Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkan cahaya iman dan Al Quran ia seperti mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika ia berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan. Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang memungkinkan pancaindera untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat tersentuh oleh pancaindera maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu baik dari Al Quran dan As Sunnah yang shahih. Al Quran dan As Sunnah menjelaskan kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena tidak bisa

diketahui melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang berasal dari Al Quran dan As Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus meyakininya. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam Al Quran, As Sunnah, dan Ijma yang menyelisihi akal sehat karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan tidak ada kebatilan dalam Quran, Sunnah dan Ijma, tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang batil. Fitrah Kehidupan

Dalam sebuah hadits Rasululloh sholallohu alaihi wassalam bersabda Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuat ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi (H.R Muslim) Dari hadits ini dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk menghamba kepada Allah. Akan tetapi, bukan berarti bahwa setiap bayi yang lahir telah mengetahui rincian agama Islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa, tetapi setiap manusia memiliki fitrah untuk sejalan dengan Islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua pencipta alam yang memiliki sifat dan kemampuan yang sama. Bahkan, ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeru kepada Alloh seperti dijelaskan dalam firman-Nya. Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling, dan manusia adalah sangat kufur (Q.S Al Israa:67)

Cara memahami aqidah


Metode Para Shahabat dalam Memahami Aqidah Aqidah merupakan pokok agama yang wajib diketahui oleh setiap orang. Dalam memahami aqidah ini, haruslah kita mengacu kepada kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw serta dengan ijma (kesepakatan) Salafus shalih dalam memahaminya. Oleh karena itu ada beberapa kaidah penting dalam memahami hal ini, di antanya: 1. Apabila terjadi perselisihan dalam memahami nash-nash yang telah ada, maka pemahaman salaf (shahabat, tabiin dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka) merupakan hujjah yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk memahami nash-nash tersebut. Dikarenakan Rasulullah saw telah menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik umat dan manusia yang paling paham dengan agama Allah. Tidak cukup itu saja, bahkan Allah SWT dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk meniti jalan mereka, mengembalikan pemahaman sesuai dengan pemahaman mereka dan juga telah memberikan ancaman bagi siapa saja yang menyelisihi jalan mereka. 2. Salafus shalih mendasari metode mereka dalam memahami aqidah dengan bimbingan wahyu yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Oelh karena itu pemahaman mereka adalah

3.

4.

5.

6.

pemahaman yang paling didasari dengan ilmu, paling selamat dan paling bijaksana dalam memahaminya. Aqidah adalah perkara tauqifiyyah yang dilarang mengotak-atiknya tanpa ada bimbingan wahyu dari Allah SWT. Karena perkara aqidah adalah perkara yang ghoib yang akal pikiran manusia tidak akan sanggup untuk menjangkaunya. Siapa saja yang menetapkan dan memahami permasalahan aqidah tanpa berlandaskan dengan dalil-dalil syarI, maka dia telah berdusta atas nama Allah seerta berkata tanpa dasar ilmu. Aqidah dibangun di atas dasar ikhlas kepada Allah dan ittiba (mengikuti) petunjuk Rasulullah saw. imam Az-Zuhri berkata: Dari Allahlah datangnya risalah (Al-Quran dan As-Sunnah), kewajiban Rasulullah untuk menyampaikan dan kewajiban Rasulullah untuk menyampaikan dan kewajiban kita untuk menerimanya dengan ikhlas. Para sahabat, imam-imam tabiin dan yang mengikuti mereka seerta ulama-ulama sunnah (salafus shalil) semuanya berada di atas bimbingan petunjuk Rasulullah dan jalan mereka adalah jalannya kaum muslimin, atsar-atsar mereka merupakan bimbingan dan jalan yang lurus. Imam Al-AuzaI berkata: Wajib atasmu untuk berpegang teguh dengan atsar orangorang sebelummu (salafus shalih) walaupun manusia tidak mempedulikanmu. Jauhilah pemikiran-pemikiran yang menyimpang walaupun mereka menghiasinya dengan ucapanucapan yang manis.

Kaidah Aqidah
Untuk lebih memahami bagaimana fitrah dan akal berperan dalam menerima masalah aqidah, berikut adalah uraian secara ringkas beberapa kaidah aqidah yang diambil dari buku Tarif Am bi Dinil Islam, fasal Qaqaaidul Aqaid dari Syeikh Ali Thanthawi: 1. Semua hal yang ditangkap oleh alat indra kita, kita yakini keberadaannya atau kebenarannya. Kecuali bila akal kita menafsirkan sebaliknya berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah kita dapatkan mengenai kebenaran hal itu. Contohnya, saat kita melihat pohon-pohon dari jendela kereta yang berjalan maka seolah-olah pohon-pohon di luar kereta bergerak. Hal ini karena otak kita menafsirkan demikian. Namun, setelah kita mengetahui bahwa yang bergerak adalah kereta dan bukan pohon-pohon diluar maka selanjutnya otak kita akan menafsirkan bahwa pohon-pohon tidk bergerak. 2. Keyakinan juga dapat diperoleh dari berita yang dibawa oleh si pembawa berita yang diyakini akan kejujurannya. Banyak hal yang kita ketahui hanya berdasarkan cerita orang lain tanpa kita harus mengalaminya sendiri. Contoh kita dapat mengetahui bahwa kutub utara itu dingin dan bersalju hanya dengan membaca, melihat foto, dan menonton video tanpa harus datang langsung mengalami ke kutub utara. Begitu cerit-cerita sejarah jaman dahulu. Kita dapat mengetahuinya hanya dari cerita-cerita sejarawan yang kita yakini kredibelitasnya dalam ilmu sejarah. 3. Sesorang tidak berhak memungkiri wujud sesuatu, hanya karena alat inderanya tidak dapat menjangkaunya.

Contoh, kita tidak berhak memungkiri bahwa di permukaan kulit kita hidup banyak bakteri. Mata kita tidak dapat melihanya secara langsung. Harus menggunakan alat bantu berupa mikroskop. Nah, kita tidak berhak memungkiri bahwa tidak ada bakteri di kulit kita saat kita melihatnya dengan mata telanjang. 4. Seseorang hanya bisa mengkhayalkan tentang sesuatu hal yang sudah pernah dijangkau oleh alat inderanya. Manusia tidak akan bisa mengkhayal sesuatu yang belum pernah dilihat/didengar/diransakannya. Walaupun khayalan fiktif, pasti khayalan itu terbentuk dari unsur-unsur yang pernah dilihat/didengarkan/dirasakan sebelumnya. Contoh ketika kita membayangkan kecantikan seseorang pasti kita menggabungkan hal-hal yang bersifat cantik yang pernah kita lihat. 5. Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang dan waktu. Akal hanya bisa menjelaskan kapan dan dimana terjadinya suatu peristiwa hanya jika peristiwa itu terjadi terlebih dahulu. 6. Iman adalah fitrah setiap manusia. Pada saat seseorang, sorang atheis pun, dalam keadaan kritis dalam menghadapi permasalahan hidup, fitrahnya akan menuntun dia untuk meminta pertolongan kepada suatu Zat Yang Masa Besar, Tuhan. 7. Kepuasan material di dunia sangat terbatas. Manusia tidak akan pernah puas dengan materi. Jika sudah punya sepeda, ingin sepeda motor, Jika sudah punya sepeda motor ingin mobil. Begitu seterusnya. 8. Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi logis dari keyakinan tentang adanya Allah Allah Maha Adil. Semua perbuatan manusia pasti akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah. Kalau tidak ada hari akhir (akhirat), bisakah kita merasa keadilan Allah terlaksana hanya di dunia?

Hukum mempelajari Ilmu Aqidah


Mempelajari ilmu aqidah atau tauhid adalah fardzu ain bagi setiap orang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan meskipun dengan dalil secara global. Adapun mempelajari ilmu tauhid dengan dalil secara terperinci itu hukumnya fardzu kifayah, artinya apabila salahsatu umat ada yang melaksanakannya, maka kewajiban kepada orang lain gugur. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum taqlid kepada imam, ada enam pendapat tetang hukum taklid ; Tidak sah imannya orang yang taklid (dihukumi kafir menurut Imam Sanusi dalam kitab Al Kubro) Imannya orang taklid sah tapi berdosa secara mutlak sebab bertaklid Imannya orang taklid sah berdosa bagi ahli nadhri (terdidik) dan tidak berdosa bagi orang yang bukan ahli nadhri

Bila taklidnya kepada Al quran dan As sunnah maka imannya sah dan tidak berdosa Imannya sah dan tidak berdosa secara mutlak Imannya orang ahli nadhri sah tapi haram

Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Seorang yang mamiliki aqidah yang kuat, pasti akan melakukan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermuamalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. peranan yang sangat besar dalam hidupnya antara lain: Menopang seluruh prilaku, membentuk dan memberi corak dan warna kehidupannya dalam hubungannya dengan makhluk lain dan hubungannya dengan Tuhan. Aqidah/ keyakinan akan memberikan ketenangan dan ketentraman dalam pengabdian dan penyerahan dirinya secara utuh kepada Zat yang Maha Besar Iman memberikan daya dorong utama untuk bergaul dan berbuat baik sesama manusia tanpa pamrih. Dengan iman seorang muslim akan senantiasa menghadirkan dirinya dalam pengawasan Allah semata. Aqidah sebagai filter, penyaring budaya-budaya non Islami (sekuler).

Penyimpangan Aqidah
Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya : 1. Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar. 2. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."

3. Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat. 4. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr." 5. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka. 6. Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan yang artinya : "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR: Bukhari).Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya. 7. Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara besar-besaran. Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa' 69 yang artinya : "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersamasama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

You might also like