You are on page 1of 11

BAB I KONSEP DASAR MEDIS

A.

Definisi Eritema nodosum merupakan penyakit akut, noduler, erupsi eritematoua yang biasanya terbatas pada bagian extensor kaki.

B.

Etiologi EN jarang kronik dan rekuren tapi bisa saja terjadi. EN dianggap sebagai reaksi hipersensitivitas dan bisa terjadi oleh karena beberapa penyakit sistemik atau karena terapi obat, atau mungkin saja idiopatik. Wanita lebih sering terkena dibandingkan dengan pria dengan rasio 4:1. EN bisa terjadi pada anak-anak dan pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun, tapi lebih sering terjadi pada dewasa muda yaitu pada usia 18-34 tahun.

C.

Patofisiologi ENL merupakan masalah yang serius karena sering terjadi berulang, menyebabkan komplikasi yang tidak ringan, mempengaruhi rutinitas dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan, sehingga merupakan salah satu kendala dalam eliminasi penyakit kusta. ENL merupakan kelaziman dalam perjalanan maupun pengobatan penyakit kusta terutama tipe LL, kadang-kadang bisa terjadi pada tipe BL. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya ENL diantaranya infeksi, stres fisik maupun psikis, kehamilan, operasi, dan beberapa obat-obatan. Terjadinya ENL merupakan peran dari kompleks imun humoral yang melibatkan antigen load yang tinggi dari M. Lepra, antibodi titer tinggi, dan komplemen (C3,C4) serta sekresi Tumor Necroting Factor (TNF).

D.

Gejala Klinik Fase erupsi EN dimulai dengan flulike symptoms dengan demam dan nyeri seluruh badan. Artralgia bisa terjadi dan mendahului erupsi atau muncul selama fase erupsi. Lesi yang timbul oleh karena infeksi akibat EN banyak yang sembuh dalam 7 minggu, tapi bentuk aktif mungkin bisa sampai 18 minggu. Namun, pada 30 % EN yang idiopatik bisa bertahan sampai lebih dari 6 bulan. Demam dengan penemuan kelainan kulit seperti tiba-tiba sakit dengan demam yang diikuti dengan rasa nyeri selama 1-2 hari. Pada penemuan fisik, kelainan kulit didapatkan terbatas pada kulit dan sendi. Lesi mulai dengan bentuk nodul merah yang nyeri tekan. Batas lesi sulit ditentukan, dan berukuran 2-6 cm. Selama

minggu pertama lesi menjadi keras, tegang, dan nyeri, pada minggu kedua, lesi menjadi fluktuan seperti pada abses, tapi tidak bersifat supuratif atau ulseratif. Lesi ada selama hampir 2 minggu, tapi kadang, lesi baru selanjutnya muncul selama 3-6 minggu. Sakit pada kaki dan bengkak pada pergelangan kaki bisa berlangsung selama berminggu-minggu. Distribusi lesi kulit: lesi muncul pada kaki bagian anterior, walapun demikian, lesi tersebut juga bisa muncul pada tempat lain. Lesi berubah warna pada minggu kedua dari merah terang menjadi biru pucat. Lesi akan menghilang pada 1 atau 2 minggu karena deskuamasi kulit. Adenopati hiler bisa berkembang karena reaksi hipersensitifitas EN. Limfadenopati hiler bilateral berhubungan dengan sarkoidosis, dengan perubahan unilateral bisa terjadi dengan infeksi dan keganasan. Artralgia terjadi pada lebih dari 50 % pasien dan mulai selama fase erupsi atau mendahului erupsi selama 2-4 minggu. Eritema, bengkak dan nyeri terjadi pada sendi, kadang dengan efusi. Nyeri sendi dan kaku pada pagi hari dapat terjadi. Beberapa sendi dapat terlibat, namun pergelangan kaki, lutut, dan pergelangan tangan adalah sendi yang paling sering terlibat.

E.

Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang 1. 2. 3. 4. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan radiology Tes-tes lainnya: skin test epidermal Histopatologi: gembaran klasik EN yaitu penniculitis septal dengan infiltrate inflammatory limfositik perivaskuler superfisial tipis dan dalam.

F.

Komplikasi Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

G.

Penatalaksanaan Pada banyak pasien, EN merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri dan hanya membutuhkan terapi simptomatik dengan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), kompres dingin, elevasi dan tirah baring. Konsultasi dan kerjasama mungkin diperlukan antara: Ahli penyakit kulit dan kelamin untuk evaluasi penyebab EN Ahli penyakit dalam untuk evaluasi penyebab EN.

BAB II KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A.

Pengkajian 1. Kaji biodata pasien untuk melengkapi rekanmedis pasien dan untuk memudahkan dalam melakukan asuhan keperawatan. Usia dan jenis kelamin merupakan data dasar yang penting. Tempat tinggal pasien sangat penting karena kusta paling sering terjadi daerah dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah dan insidennya meningkat pada daerah tropis / sub tropis. Kaji pula secara lengkap jenis pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat sosial-ekonomi, resiko trauma pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita kusta. 2. Keluhan utama. Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan adanya bercak putih yang tidak terasa, atau datang dengan keluhan kontraktur pada jari-jari 3. Riwayat penyakit sekarang. Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan timbulnya, dan bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan lainnya. Pada beberapa kasus ditemukan keluhan lainnya gatal, nyeri, panas, atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah mengalami pemeriksaan laboratorium. Ini penting untuk mengetahui apakah klien pernah mengalami penyakit tertentu sebelumnya. Pernahkah klien memakai obat kulit yang dioles atau diminum? Pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat menimbulkan perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga ditanyakan apakah keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika sudah pernah obat apa yang pernah diminum?Teratur atau tidak? 4. Riwayat penyakit dahulu. Salah satu faktor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan tubuh yang menurun. Akibatnya M. Leprae dapat masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau penyakit lain . 5. Riwayat penyakit keluarga. Penyakit kusta bukan penyakit turunan, tetapi jika anggota keluarga atau tetangga menderita penyakit kusta. Resiko tinggi kusta bisa terjadi. Kaji juga apakah ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan yang sama? Baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal. 6. Riwayat psikososial, kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan. Oleh karena itu perlu dikaji juga konsep diri serta respon masyarakat terhadap klien. 7. Kebiasaan sehari hari. Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari hari.perawat perlu mengkaji status gizi pola makan / nutrisi klien karena mempengaruhi sistem imun. Jika sudah ada deformitas atau kecacatan, maka aktivitas akan terganggu. Kaji juga terhadap adanya dampak

anastesi. 8. Pemeriksaan fisik, harus diperiksa kelenjar regional karena dapat ditemukannya pembesaran dari beberapa limfe.

Inspeksi Kaji adanya ruam, hipopigmentasi atau hiperpigmentasi serta eritematosa.dengan permukaan yang kasar atau licin dengan batas yang kurang jelas. Pada tipe tuberkuloid dapat ditemukan gangguan saraf kulit. Yang disertai dengan penebalan syaraf, adanya nyeri tekan akibat adanya jaringan fibrosa, anhidrisi, dan kerontokan rambut. Pada tipe lepromatus , dijumpai hidung pelana dan wajah singa. Selain itu kaji juga adanya kelainan otot berupa artrofi disuse otot yang ditandai dengan kelumpuhan otot. Diikuti adanya kekakuan sendi atau kontraktur sehingga terjadi clow hand, drop foot, dan drop hand. Kaji juga adanya osteomilitis serta pemendekan kerusakan tulang. Kaji pula kelainan mata akibat kelumpuhan. Inspeksi mata kering kereatitis ulkus kornea iritis iridoksiklitik dan berakhir dengan kebutaan. Kaji adanya ginekomastia.

Palpasi Temukan adanya penebalan serabut syaraf, makula anastetika, pada tipe T, dan makula non anastetika pada tipe L. Serta permukaan yang kering dan kasar. Lakukan pemeriksaan sederhana, untuk menunjang kepastian diagnosis penyakit kusta serta untuk mengetahui adanya anastesia pada lesi. a. Uji kulit. Uji ini paling sering dilakukan dan cara mudahnya sehingga semua petugas dapat melakukannya,penggunaan jarum untuk untuk mengetahui adanya rasa sakit dilakukan dengan meminta pasien menyebutkan area yang lebih terasa nyeri. Serta kaji adanya rasa pada kulit dengan adanya rasa jika disentuh kapas atau bulu ayam. Jika tidak bisa, gunakan juga reaksi suhu, b. Uji keringat, biasanya akan ditemukan anhidrosis karena rusaknya kelenjar keringat, uji ini dilakukan dengan menggores lesi dengan pensil tinta mulai dari beberapa cm dari arah dalam keluar. Hasilnya akan terjadi perubahan warna ungu sedangkan di area lesi tidak. c. Uji lepromin, untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi penyakit kusta. Tipe 1,T dan BT: uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL: uji lepromin negatif. Diagnosis dan intervensi. Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul adalah: Gangguan citra tubuh berhubungan dengan lesi pada kulit, perubahan bentuk wajah, kerontokan rambut. Resiko cedera berhubungan dengan

anastesia

atau

hilang

rasa

akibat

neuritis.

Penatalaksanaan

program

terapetik:

ketidakefektifan berhubungan dengan rumitnya program pengobatan. Gangguan persepsi pengelihatan berhubungan dengan dengan kelumpuhan m.orbicularis, Gangguan peran

berhubungan dengan terbatasnya aktivitas sebagai dampak dari mutilasi ansorpsi tulang dan otot.

B.

Diagnosa 1. 2. 3. 4. 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi. Resiko injuri berhubungan dengan anastesi atau hilang rasa sakit akibat neuritis. Perubahan gangguan persepsi visual berhubungan dengan penurunan penglihatan. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan penampilan fisik. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.

C.

Rencana/Intervensi Keperawatan 1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi. Kriteria hasil: Lesi tidak menyebar dan pasien merasa nyaman Intervensi:

Kaji/catat ukuran warna, kedalaman luka, perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka. Rasional: Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penanaman kulit dan kemungkinan petunjuk tentang sirkulasi pada area graft.

Berikan perawatan luka yang tepat dan tindakan kontrol infeksi. Rasional: Menyiapkan jaringan untuk penanaman dan menurunkan resiko infeksi.

Evaluasi warna sisi luka, perhatikan ada atau tidak adanya penyembuhan. Rasional: Mengevaluasi keefektifan sirkulasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

Lakukan advis dokter untuk memberikan obat sesuai dosis Rasional: Terapi dibutuhkan pasien dalam proses penyembuhan.

Lakukan kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi TKTP. Rasional: Diet TKTP dapat membantu dalam proses pembentukan jaringan dan sel baru.

Ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan luka, serta cara mencegah penularan. Rasional: Membantu mempermudah dan mengarahkan keluarga dan pasien dalam perawatan luka, serta terjadinya penularan ke jaringan lain atau pada keluarga

2.

Resiko injuri berhubungan dengan anastesi atau hilang rasa sakit akibat neuritis.

Kriteria hasil: Klien dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan

resiko

cedera pada dirinya dan klien dapat menjelaskan tujuan tindakan keamanan untuk mencegah cedera. Intervensi: Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang tentang penyebab ansietas atau hilang rasa serta akibat yang ditimbulkan. Kaji faktor penyebab atau pendukung terjadinya cedera. Kurangi atau hilangkan faktor penyebab jika mungkin. Ajari cara pencegahan: 1) Gunakan selalu alas kaki. 2) Jika merokok, gunakan pipa rokok dan jangan merokok sambil tiduran 3) Kaji suhu air mandi.jika menggunakan air hangat gunakan termometer mandi. 4) Gunakan pelindung tangan saat mengangkat kompor,. 5) Jangan gunakan baju panjang ketika sedang memasak. 6) Hati-hati dan waspada selalu jika beraktifitas di dapur. Diskusikan dengan keluarga tentang cara pencegahan di rumah.

3.

Perubahan gangguan persepsi visual berhubungan dengan penurunan penglihatan. Kriteria hasil: Klien berpartisipasi dalam program pengobatan, mempertahankan penglihatan kehilangan lebih lanjut, klien bisa mengenal gangguan sensori dan

berkompensasi terhadap perubahan, serta klien bisa mengidentifikasi atau memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan. Intervensi: Temukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat. Rasional: Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi, bila bilateral, tiap mata dapat berlanjut pada laju yang berbeda.

Pastikan derajat atau tipe kehilangan penglihatan klien. Rasional: Mempengaruhi harapan masa depan pasien dan pilihan intervensi.

Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan tentang kehilangan/kemungkinan kehilangan penglihatan. Rasional: Sementara intervensi dini mencegah kebutaan, pasien menghadapi kemungkinan atau mengalami pengalaman kehilangan penglihatan sebagian atau total. Meskipun kehilangan penglihatan telah terjadi tak dapat diperbaiki (mencegah dengan pengobatan), kehilangan

lanjut dapat dicegah. Tunjukan cara pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, mengikuti jadwal. Rasional: Memberi peningkatan kenyamanan dan kekeluargaan, menurunkan cemas. Orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf orang lain disekitarnya. Rasional: Terbangun dalam lingkungan yang yang tidak dikenal dan mengalami keterbatasan penglihatan dapat mengakibatkan bingung, menurunkan resiko jatuh pada saat terbangun. Observasi tanda-tanda dan gejala-gejala disorientasi: pertahankan pagar tempat tidur. Rasional: Memungkinan pasien menggapai objek yang lebih mudah dan memudahkan panggilan untuk pertolongan bila pasien membutuhakan sesuatu.

4.

Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan penampilan fisik. Kriteria hasil: Klien mengatakan dan menunjukkan penerimaan atas penampilannya, menunjukkan keinginan dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri, klien dapat mengidentifikasi aspek positif diri, klien menilai keadaan dirinya terhadap halhal yang realistic tanpa menyimpang. Intervensi: Bina hubungan saling percaya antara perawat dan klien. Rasional: Untuk menjalin rasa percaya. Dorong klien untuk menyajikan pertanyaan mengenai masalah kesehatan, pengobatan, dan kemajuan pengobatan dan kemungkinan hasilnya. Rasional: Agar pasien merasa ada harapan yang kuat untuk sembuh. Dorong klien untuk menyatakan perasaannya, terutama tentang cara ia merasakan, berfikir dan memandang dirinya. Hindari mengkritik. Rasional: Supaya pasien tidak terbebani sendiri dengan keadaan yang dialaminya. Jaga privasi dan lingkungan individu. Rasional: Agar pasien tidak minder sewaktu bersosilisasi. Tingkatkan interaksi sosial klien Rasional: Agar pasien merasa nyaman. Berikan informasi yang dapat dipercaya dan kejelasan informasi. Rasional: Agar pasien merasa nyaman ketika berhubungan sosial dengan orang lain. Dorong klien dan keluarga untuk menerima keadaan. Rasional: Agar klien mengerti tindakan untuk menanggulangi masalah kesehatannya dan pasien merasa nyaman dan tidak terbebani karena masalah kesehatannya.

5.

Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi. Kriteria hasil: Klien menyatakan pemahaman akan penyakit yang dideritanya dan klien mampu melakukan perubahan pola hidup. Intervensi:

Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya. Rasional: Memudahkan dalam pemberian pemahaman tentang kusta dengan tingkat pengetahuannya.

Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit yang dideritanya. Rasional: Dengan memberi penjelasan tentang penyakitnya pasien dapat mengerti dan menghindari segala pantangan penyakitnya.

Anjurkan klien dan keluarganya untuk melapor jika terjadi gejala seperti perdarahan. Rasional: Untuk penanganan cepat dan tepat jika terjadi gejala-gejala tersebut.

Melibatkan klien dan keluarga dalam perawatan dan pengobatan. Rasional: Keterlibatan klien menambah pengetahuan dan mempercepat penyembuhan.

PENYIMPANGAN KDM

Mycobacterium Leprae

Morbus Hansen

TT

BT

BL

BB

LL

Reaksi Antigen-Antibodi Tipe II

ENL

Saraf otonom

saraf tepi

kulit

Anastesi dan Kelemahan otot

hipopigmentasi

Resiko Injuri

Kerusakan Integritas kulit

N. Facialis

N.Ulnaris

N.Radialis

N. Mediaus

N.Tibialis

N. Poplitea

Lagoftalmus

anastesi Ujung jari

anastesi dorsum Manus

jari telunjuk tdk dpt adduksi

anastesi telapak kaki

foot drop

Iridiosinkliti Keratitis Perubahan Persepsi sensori Penglihatan kurang informasi Resiko injuri

kontraktur

Claw toes

Gangguan Citra Tubuh

Kurang informasi Kurang pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA Kelas Santa Teresa, Diakses dari MAKALAH ASKEP MORBUS HANSEN, http://www.scribd.com/doc/39580226/askep-morbus-hensen pada tanggal 08 Oktober 2011, pukul 21.20 Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Integumen Cet. 1. EGC: Jakarta RAKEL, 4 Maret 2009. Diakses dari http://yazid88.blogspot.com/2009/03/kegawatdaruratanpada-kulit.html pada tanggal 03 Oktober 2011, pukul 21.15 Sjamsoe Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta.

You might also like