You are on page 1of 6

BAB II Tinjauan Pustaka

Menurut Salim (1987) kata adopsi berasal dari kata adopt dalam bahasa inggris yang berarti memungut dan mengambil. Kemudian kata ini mengalami perluasan menjadi adoption atau adopsi dalam Bahasa Indonesia. Istilah adopsi yang berarti mengambil, memakai atau memungut sesuatu, dewasa ini sering didefinisikan tersendiri bila dikaitkan dengan masalah anak (mengambil, memungut anak). Definisi pertama adalah pengertian adopsi anak yang paling sederhana yaitu, pengangkatan anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri berdasarkan proses hukum (Salim, 1991). Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa istilah adopsi anak identik dengan prosedur hukum yang sah, sehingga seorang anak dapat dikatakan sebagai anak adopsi bila proses pengadopsiannya dilakukan dengan proses hukum yang berlaku. Istilah adopsi menurut budaya di masyarakat kita identik dengan pemberian status sebagai anak kandung atau tidak, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa, dalam adopsi anak secara budaya, ada pihakpihak yang mengambil anak bukan untuk diberi status sebagai anak kandung secara sah menurut hukum yang ada, namun mereka mengambil anak hanya untuk dipelihara dan ditanggung kesejahteraan hidupnya, sedangkan status anak kandung tetap murni menjadi milik orangtua kandung anak yang bersangkutan, namun ada pula yang memberikan status anak kandung terhadap anak yang diadopsinya. Menurut pendapat beberapa ahli sosial dan psikologi, praktek adopsi anak rentan sekali memunculkan permasalahan dalam keluarga (baik keluarga kandung maupun keluarga angkat) dan yang paling utama adalah bagi diri anak adopsi itu sendiri. Mengadopsi anak itu bukan keputusan yang mudah, sebab yang harus dipikirkan pasangan yang akan mengadopsi anak adalah pandangan jauh ke depan, ke 15 sampai 20 tahun yang akan datang (Anglingsari & Selamihardja, 2000).

Selama ini tindakan mengadopsi dilakukan lebih karena mempertimbangkan kepentingan orangtua. Berhubungan dengan hal ini, Gosita (2004) mengemukakan bahwa dalam praktek adopsi anak, anak dikorbankan untuk memenuhi kepentingan tertentu dari orangtua angkat dan orangtuanya sendiri serta juga dimanfaatkan oleh pihakpihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengadopsian anak. Akibatnya, timbul kesan bahwa pengadopsian anak itu selalu merugikan anak yang diadopsi. Hal ini tentunya tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Kita tidak boleh menutup mata akan adanya kasus pengadopsian anak yang dalam batasbatas tertentu merupakan suatu keberhasilan peningkatan kesejahteraan anak. Anak adopsi berbeda dengan anak kandung, karena suatu ketika anak adopsi akan dikagetkan dengan kenyataan bahwa dirinya ternyata hanyalah seorang anak adopsi. Konflik yang dirasakannya adalah, mengapa dirinya diberikan pada orang lain? Pada umumnya anak adopsi tidak pernah bisa mengerti alasan apapun yang membuat dirinya diberikan pada orang lain. Bila anak sudah diliputi oleh perasaan demikian, maka tibatiba dirinya akan merasa menjadi individu yang tanpa identitas. Padahal identitas diperlukan manusia dalam mengembangkan sikap dan perilaku untuk penyesuaian diri. Akibatnya anak yang dalam kondisi demikian akan mengalami gangguan sulit beradaptasi, berekspresi atau memiliki gangguan emosional. Bila hal ini terjadi, baik buruk nasibnya hanya tergantung pada sikap orangtua dan saudarasaudara angkatnya. Bila mendukung, maka anak adopsi bisa diselamatkan, namun bila sebaliknya maka anak adopsi akan makin terperosok. Menurut Martosedono (1990) pelaksanaan adopsi memang kurang sempurna, banyak resiko yang akan dihadapi secara psikologis. Hal ini terkait dengan: 1. Bahwa tidak selalu mudah bagi orang tua angkat menganggap anak orang lain yang bukan anaknya seperti anaknya sendiri. 2. Tidak selalu mudah bagi orangtua kandung dari anak adopsi melupakan anak kandungnya sendiri Selain itu menurut Martosedono pula, permasalahanpermasalahan yang mungkin muncul selama pengadopsian adalah:

1. Muncul penyesalan dari orangtua kandung karena sudah memberikan anaknya pada orang lain. 2. Muncul penyesalan dari orangtua angkat, karena adopsi yang dilakukannya tidak membawa kebahagiaan bagi hidupnya 3. Adanya rasa tidak terima atau tidak suka dari anak adopsi atas dilakukannya pengadopsian terhadap dirinya.. Menurut Hurlock (1990), terdapat empat sumber perselisihan potensial dalam keluarga yang mempunyai anak adopsi, yaitu: 1. Permasalahan ditimbulkan dari sikap anak adopsi terhadap orangtua Jika dengan bertambahnya usia, anak mengetahui bahwa mereka diadopsi. Akibatnya, mereka mungkin akan mengembangkan suatu keinginan untuk mengetahui siapa orangtua mereka yang sebenarnya dan menyatakan keinginan untuk tinggal dengan orangtua kandung. Orangtua angkat sering tidak menyukai hal ini, yang pada akhirnya sikap ini akan membahayakan hubungan orangtua angkat dengan anak adopsi. 2. Permasalahan terjadi bila anak kandung lebih cemerlang dari anak adopsi. Bila ketika mengadopsi anak, orangtua angkat telah memiliki anak kangdung, maka akan menjadi suatu permasalahan bila anak kandung ternyata lebih cemerlang daripada anak adopsi dalam hal penampilan, prestasi, dan kasih sayang yang ditujukan pada orangtua angkat. Akibatnya, orangtua angkat mungkin akan menyesal dengan keputusannya untuk mengadopsi anak. Secara tidak langsung, perasaan ini akan dicerminkan dalam sikap penolakan terhadap anak adopsi. 3. Permasalahan muncul dari sikap anak kandung terhadap anak yang diadopsi. Walaupun hubungan antar saudara kandung tidak seluruhnya harmonis, namun hubungan saudara yang diwarnai perselisihan banyak terjadi antara anak kandung dengan anak adopsi. Banyak anak kandung merasa bahwa anak yang diadopsi bukanlah termasuk keluarga mereka. Akibatnya, mereka memperlakukan anak adopsi tersebut dengan cara yang berbeda dengan ketika mereka memperlakukan saudara kandung atau keluarga sendiri.

4. Permasalahan muncul dari sikap sanak saudara (kerabat) dan orang di luar keluarga angkat terhadap anak adopsi. Hal ini terjadi bila kerabat tidak menyetujui dilakukannya pengadopsian karena tidak menyukai anak adopsi berasal dari ras, agama, keturunan atau status sosial yang tidak sama. Orangtua tidak berhenti membantu anaknya, meski sulit masalahnya atau betapapun kecewanya orangtua terhadap perbuatan sang anak di masa lalu. Hal ini disebut Rogers (dalam Hall & Lindzey, 1993) dengan kondisi unconditional love (cinta tanpa syarat) dari orangtua pada anaknya. Berbeda dengan cinta orangtua pada anak angkat atau anak orang lain yang dapat lenyap atau berkurang, terutama bila anak melakukan halhal yang mengecewakan orangtua (Hawady, 2001). Kondisi ini disebut Rogers dengan conditional love (cinta bersyarat) dari orangtua kepada anaknya. Disamping itu, ada pula orangtua angkat, setelah sekian lama tidak juga bisa mencintai anaknya, sehingga kemudian mengembalikan anak tersebut yang akan semakin berdampak fatal bagi kondisi psikis anak tersebut. Anak sudah cukup merasa kehilangan kasih sayang dari orangtua kandungnya dengan pelaksanaan adopsi terhadap dirinya. Ditambah lagi dirinya harus merasakan kehilangan kasih sayang yang kedua dari keluarga angkatnya. Dapat dibayangkan pengaruhnya yang begitu sangat mengkhawatirkan bagi kondisi psikis anak angkat. Menurut Hawady, setiap anak dalam sekali tanggapannya terhadap hilangnya kasih sayang memiliki reaksi yang sangat drastis. Anakanak tersebut dapat berubah menjadi anak yang tidak lagi sama dengan anakanak nakal biasa, yang berbuat kenakalan dengan tujuan tertentu, anak pun dapat juga menjadi seorang yang sangat penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu (Karso dkk., dalam Yusuf, 2004). Lain lagi, bila keadaan berbalik menjadi; anak kandung tidak mampu menunjukkan potensi yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi mampu. Yang akan terjadi adalah permasalahan baru, karena bagaimanapun cinta orangtua akan lebih besar terhadap anak kandungnya sendiri daripada kepada anak adopsi yang bukan berasal dari rahimnya sendiri (seperti pendapat Hawady)

Secara umum anak adopsi memang mempunyai beban psikologis yang khas. Berbagai kondisi bisa menjadi faktor yang mempengaruhi kekhasan kondisi psikologis mereka, antara lain : 1. Cara pelepasan anak itu kepada orang tua asuhnya. Semakin dramatik proses pelepasan anak oleh orang tua kandung, semakin tinggi potensi beban psikologis yang akan dialami anak di masa depan. Anak yang diserahkan langsung oleh orang tua kandung dan masih memiliki kesempatan bertemu dengan sang anak setelah adopsi, tentu akan memiliki beban psikologis yang berbeda dengan beban psikologis anak adopsi yang ditelantarkan oleh ibunya begitu saja, misalnya dibuang di jalan atau ditelantarkan atau ditinggalkan begitu saja. 2. Bagaimana sikap orangtua asuh itu saat merawat si anak adopsi, apakah ada perbedaan perlakuan antara anak adopsi dengan anak kandung. 3. Bagaikan pepatah Jawa tentang bibit-bebet-bobot. Ada sifat-sifat bawaan anak yang dibawa dari orang tua kandung yang perlu dipertimbangkan orang tua. Bila anak adopsi mempunyai kecenderungan untuk aktif, tapi orangtua asuhnya lebih suka pasif, pasti ini akan menimbulkan persoalan. Orang tua anak adopsi perlu menyesuaikan diri dengan karakter bawaan anak. 4. Sebagaimana anak lainnya, proses tumbuh kembang anak adopsi memerlukan nutrisi psikologis berupa stimulasi disiplin dan kasih sayang, disamping hubungan dan komunikasi yang berkualitas, disamping nutrisi fisik.

Literaturnya http://www.psikologmalang.com/2013/01/permasalahan-keluarga-dengan-anak.html

You might also like