You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.

Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut apendix atau apendisitis acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah. Apendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan. Apendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia sekolah. 1,2 Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang dari satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1. Sekitar 7 % dari populasi akan mendapatkan apendisitis dalam Insiden apendisitis tertinggi pada kelompok umur 10-30 tahun. Apendisitis akut adalah kasus bedah akut abdomen yang merupakan indikasi paling sering untuk segera dilakukan tindakan bedah dimana lebih dari 250.000 pasien dioperasi dengan suspek apendisitis di United State setiap tahun.1 Semua kasus apendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan syok. 2,3 Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari apendisitis akut yang terjadi bila Apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Appendisitis adalah peradangan pada appendisits verniformis atau peradangan infeksi pada usus buntu (apendiks) yang terletak di perut kuadran kanan bawah 1. Apendisitis akut merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.2 2.2 Anatomi, Fisiologi, Dan Embriologi Appendix Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat padaminggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plicaileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia tersebut.2,3 Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren. Gambaran histologi Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid. Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa.1,2,3

Gambar 2.1. Appendix vermicularis 1

AnatomiAppendiks merupakan organ yang berbentuk tabung. Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar 2. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%.2,3

Gambar 2.2. Variasi lokasi Appendix vermicularis. 1

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.3

2.3 Epidemiologi Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang dari satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1. Sekitar 7 % dari populasi akan mendapatkan apendisitis dalam Insiden apendisitis tertinggi pada kelompok umur 10-30 tahun. Apendisitis merupakan kedaruratan bedah paling sering di Negara- Negara Barat. Namun dalam tiga- empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis akut adalah kasus bedah akut abdomen yang merupakan indikasi paling sering untuk segera dilakukan tindakan bedah dimana lebih dari 250.000 pasien dioperasi dengan suspek apendisitis di United State setiap tahun. 1,2 2.4 Etiologi dan patofisilogi. 2.4.1 Obstruksi Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Apendisitis akut. Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendik, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Apendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendik. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering
4

pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Apendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, sepertimeasles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Apendisitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya Apendisitis. 3,4 Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus Apendisitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus Apendisitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Apendisitis acuta gangrenosa dengan perforasi.4 Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium.3,4 Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah,dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.4 Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah
5

dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas ante mesenterik. Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan

gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Apendisitis, khususnya pada anak-anak. 3 Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul didermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut,dapat dipikirkan diagnosis lain. Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi perkembang biakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran system vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena

iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik McBurneys. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. 1,2,3 Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietal sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi Apendisitis dapat menyebabkan nyeri saat
6

berkemih,atau nyeri seperti terjadi retensi urine. Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6 C, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat

tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.3,4 Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering di-

jumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.3 2.4.2 Bakteriologi Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Apendisitis didapatkan bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Apendisitis acuta ke Apendisitis gangrenosa dan Apendisitis perforata. Apendisitis

merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.3,4 Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix, Apendisitis acuta dan Apendisitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes

fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.3,4

Tabel 2.1. Organisme yang ditemukan pada Apendisitis acuta.2 Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

Batang Gram (-) Eschericia coli Pseudomonas aeruginosa Klebsiella sp. Coccus Gr (+) Streptococcus anginosus Streptococcus sp. Enteococcus sp.

Batang Gram (-) Bacteroides fragilis Basteroides sp. Fusobacterium sp. Batang gram (-) Clostridium sp. Coccus gram (+) Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Apendisitis perforata dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, sering kali pasien telah mengalami perbaikan. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat obatan atau penyakit lain dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Apendisitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Apendisitis non perforata. Pada Apendisitis perforata, antibiotik diberikan 7- 10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal masih kontroversi.2,3 2.4.3 Peranan lingkungan: diet dan higiene Pada tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan kondisi tertentu pada pencernaan. Apendisitis, penyakit Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara orang yang memakan
8

makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.2,3 2.5 Klasifikasi Apendisitis 2,3 Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni : Apendisitis akut Apendisitis kronik

Klasifikasi apendisitis berdasarkan klinikopatologis antara lain: 2.5.1. Apendisitis Akut. a. Apendisitis akut sederhana (cataral apendisitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa. b.Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif danpasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
9

c. Apendisitis akut gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen. 2.5.2. Apendisitis Infiltrat Apendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya. 2.5.3. Apendisitis Abses Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic. 2.5.4. Apendisitis Perforasi Apendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik. 2.5.5.Apendisitis Kronis Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik danmikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

10

2.6. Manifestasi klinis 1,2,3 Apendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala Apendisitis akut antara lain: a. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau dikuadran kanan bawah atau merupakan gejala-gejala pertama. Gejala ini ditemui pada hampir semua (100%) penderita. Rasa sakit ini samar-samar, ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang kemudian beralih kekuadran bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak. b. Gejala muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan, hal ini terjadi pada 59.3% penderita. Gejala rasa mual pula terjadi pada 46.7 % penderita. c. Anoreksia terjadi pada 56.2% penderita. d. Demam tidak tinggi (kurang dari 38C) juga ditemui pada 21.8% penderita, kekakuan otot, dan konstipasi. e. Apendisitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya. f. Nyeri tekan di daerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal. Suatu studi yang dilakukan rumah sakit umum Buckinghamshire, United Kingdom telah membutikan bahwa nyeri perut yang bertambah sewaktu melalui speed bumps dalam perjalanan ke rumah sakit juga dapat mengarah ke diagnosis apendisitis akut. Nyeri sewaktu melalui speed bumps dalam perjalanan, membantu dalam diagnosa apendisitis akut dengan nilai sensitivitas 97%, namun spesifisitasnya rendah yaitu 30%. Menifestasi klinis ini dikatakan mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan menifestasi klinis lain yang digunakan untuk menbuat diagnosa apendisitis akut. Perbandingan antara menifestasi klinis adalah seperti yang ditunjukkan di table 2.
11

Table 2.2 Kinerja diagnostik (dengan CI 95%) rasa sakit atas speed bumps gundukan kecepatan dibandingkan dengan variabel lainnya dalam diagnostik klinis untuk apensitis akut.2

2.7 Diagnosis 4,5,6 Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan untuk menyinkirkan diagnosis lain. 2.7.1 Pemeriksaan Fisik 1) Inspeksi : Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Apendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah. 2) Auskultasi : peristaltik usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. 3) Palpasi : nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang fixed

12

dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka massa dapat diraba pada RT (Rectal Touche) sebagai massa yang hangat. 4) Perkusi : perkusi di bagian abdomen didapatkan nyeri ketot positif. Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasanya ditemukan distensi perut. Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostic. a) Rovsings sign: dikatakan positif jika tekanan yang diberikan pada perut kuadran kiri (LLQ) abdomen menghasilkan sakit disebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik. b) Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abses. c) Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian digerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada caraini menunjukan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. d) Blumbergs sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ) e) Wahls sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun. f) Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk g) Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis. h) Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher. i) Dunphy sign: nyeri ketika batuk.

13

2.7.2 Skor Alvarado Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor Alvarado. Sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis. Tabel 2.3 Skor Alvarado. The Modified Alvarado Score Perpindahan nyeri dari ulu hati ke perut kanan bawah Mual-Muntah Anoreksia Nyeri di perut kanan bawah Nyeri lepas Demam diatas 37,5 C Leukositosis Hitung jenis leukosit shift to the left Total Interpretasi dari Modified Alvarado Score: 1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis akut 5-7 : sangat mungkin apendisitis akut 8-10 : pasti apendisitis akut Skor 1 1 1 2 1 1 2 1 10

Gejala

Tanda

Pemeriksaan Lab

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan. 2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut. Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrophil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Hintung Leukosit
14

Hintung leukosit adalah menghintung jumlah leukosit per milimeterkubik atau microliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari sistem pertahanan tubuh, terhadap benda asing, mikroosganisme atau jaringan asing, sehingga hintung jumlah leukosit merupakan indikator yang baik untuk mengetahui respon tubuh terhadap infeksi. Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal dan lain-lain. Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000 30.000/ul. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara 13.00038.000 /ul. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada umur 21 tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500-11.000/ul. Pada keadaan basal jumlah leukosit pada orang dewasa antara 5000-10.000/ul. Jumlah leukosit meningkat setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang, tetapi jarang lebih dari 11.000/ul. Bila jumlah leukosit lebih dari nilai rujukan, maka keadaan tersebut disebut leukositosis. Leukositosis dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik. Leukositosis yang fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat, gangguan emosi, kejang, takikardi paroksismal, partus dan haid. Leukositosis patologik pula dijumpai pada proses infeksi atau radang akut. Peningkatan leukosit juga bisa disebabkan oleh obat-obatan, misalnya : aspirin, prokainmid, allopurinol, kalium yodida, sulfonamide, heparin, digitalis, epinefrin, dan antibiotika terutama ampicillin, eritromisin, tetracycline, vancomisin dan streptomisin. Pada penderita dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya leukositosis 11.000-14.000/mm3 dengan pemeriksaan hinting jenis menunjukan pergeseran ke kiri hamper 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.00/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Kombinasi antara kenaikan angka leukosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnose apendisitis akut. Tes laboratorium untuk apendisitis bersifat kurang spesifik, sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konformasi penegakan diagnosa. Jumlah leukosit untuk apendisitis akut adalah

>10.000/mm, sehingga gambaran leukositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk apendisitis akut. Kontrovesinya adalah beberapa
15

penderita dengan apendisitis akut, memiliki jumlah leukosit dan granulosit tetap normal.

2.7.4 pemeriksaan radiologis a) Foto polos abdomen - dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. perselubungan mungkin terlihat ileal atau caecal ileus gambaran garis permukaan air-udara disekum atau ileum. Patognomonik bila terlihat gambar fekalit. b) USG abdomen- USG abdomen mempunyai peran definitive dalam mendiagnosa apendisitis akut dan mengurangi angka kejadian laparotomy negatif. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan ukuran apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm) dan memberi gambaran target sign. Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel desease, diverticulitis cecal, diverticulum meckels, endometriosis dan pelvic Inflammatory Disease(PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG. Secara keseluruhan USG abdomen mempunyai spesifisitas 88.09% dan sensitivitas 91.37% dalam mendiagnosa apendisitis. 3) CT Scan - Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG. Selain dapat mengidentifikasi apendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6mm) juga dapat melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik. Pasienpasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CTscan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostic. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran halo. Walaupun CT scan dapat membatu mendiagnosa apendisitis lebih akurat dari USG dan mengurangi kejadian apendektomy negative, pada anak-anak dan dewasa muda, paparan radiasi CT scan menjadi perhatian khusus. Menurut suatu studi yang dilakukan di Korea pada tahun 2011, membuktikan bahwa pengunaan CT scan Low Dose dosis rendah yaitu 116 mGy.cm setanding kepentingannya dengan Standar Dose dosis standar yaitu 521 mGy.cm. Didapatkan hasil appendektomi negative pada penggunaan CT scan dosis
16

rendah adalah 3.5% dan CT scan dosis standar adalah 3.2 %. Maka penggunaan CT scan dosis rendah sebagai pemeriksaan radiologis lini pertama pada penderita suspek apendisitis dapat berguna dalam mengurangi appendektomi negatif dan juga mengurangi jumlah paparan radiasi. 4) Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy - merupakan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma colon. Tetapi untuk apendisitis akut pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture apendiks. 5) Laparoskopi dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai alat diagnostic dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi diagnostic biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi.

Gambar 2.3: inflamasi apendik dengan apendik target sign.6

Gambar 2.4: Pembesaran tubular.6

Gambar 2.5: Perforasi apendik.6

17

Tabel 2.4. Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut.6


Pemeriksaan Foto polos Kriteria Diagnostik Tidak ada Evidence tidak ada peran dalam diagnosis apendisitis akut, namun dapat menunjukkan adanya fekolit pada beberapa kasus. dengan sensitivity 86% : spesifisiti 81%

Ultrasonografi

Aperistaltik dan stuktur non-compressible dengan diameter >6mm

Computed Tomography Scanning

Indentifikasi apendik yang dengan sensitivity 94% dan spesifisiti 95% abnormal atau apendikolit yang dalam diagnosis apendisitis akut. terkalsifikasi bersamaan inflamasi periappendiceal

Magnetic Resonance Imaging

Belum dikonfirmasi

disarankan pada kasus yang bermasalah dalam penggunaan alat yang beradiasi seperti ibu hamil.

2.8. Diagnosa Banding7,8 Diagnosis banding dari Apendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis kelamin. a) Pada anak-anak balita - intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Apendisitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan Apendisitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan apendisitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. b) Pada anak-anak usia sekolah - gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan apendisitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga
18

dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai apendisitis. Pada infark omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah c) Pada pria dewasa muda - Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohns disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya. d) Pada wanita usia muda - Diagnosis banding apendisitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi. e) Pada usia lanjut - Apendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada apendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan apendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium. Selain dari itu beberapa diagnosis banding apendisitis akut yang perlu dipikirkan, antara lain: Kolitis ditandai dengan feses bercampur darah, nyeri tajam pada perut bagian bawah, demam dan tenesmus. Obstruksi usus biasanya nyeri timbul perlahanlahan di daerah epigastrium. Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan distensi abdomen dan timpani, terdengar metalic sound pada auskultasi. Kelainan bidang urologi seperti batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

19

2.9. Penatalaksanaan Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas omentum dan gulungan usus halus, kemudian akan dilapisi oleh jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat membentuk suatu pertahanan maka penderita dapat mengalami peritonitis umum, masa yang terbentuk tadi akan terisi nanah yang semula berjumlah sedikit akan tetapi dengan segera menjadi abses yang jelas batasnya.7,8 Apabila penderita ditemukan lewat sekitar 48 jam, maka segera dilakukan appendektomi untuk membuang apendiks yang mungkin gangren akan tetapi mempunyai perlekatan yang longar pada massa periapendikular, bila massa periapendikular telah menjadi lebih terfiksasi dan vaskular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.8 Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.9 Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan

pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.8,9 Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan
20

terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukanakan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.8 Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau puntanpa peritonitis umum.8 Ada laporan sesekali pengobatan konservatif dilakukan dengan antibiotik pada apendisitis akut. Pengobatan dengan antibiotik mengakibatkan rasa sakit berkurang secara signifikan dibandingkan dengan pada yang dilakukan tindakan apendektomi. Namun, ada risiko kekambuhan dalam kasus apendisitis akut. Pengamatan aktif telah menghasilkan tingkat apendektomi negatif yang rendah secara kosisten tanpa kenaikan tingkat perforasi. Terapi konservatif dikatakan berhasil dalam 82,3% kasus, gagal dalam 11,4 kasus, dan dimana kekambuhannya 7,3%.8,9 Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat antara lain:9 a. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi b. Diet lunak bubur saring c. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.7,8,9 Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka
21

harus dipertimbangkan appendiktomi. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.8,9 Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang:8,9 a. LED b. Jumlah lekosit c. Massa periapendikular Massa Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila : a. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen b. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal dan aksiler) 2) Sudah tidak terdapat tanda tanda apendisitis. 3) Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil dibanding semula. 4) Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat : a. Bila LED telah menurun kurang dari 40 b. Tidak didapatkan leukositosis c. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil lagi. Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa: a. Apakah penderita sudah bed rest total
22

b. Pemberian makanan penderita c. Pemakaian antibiotik penderita Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase. Tabel 2.5. Durasi pemberian antibiotik dan analgesic.8

2.10. Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal atau pun suatu peritonitis generalisata. 9,10 Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 9,10 a. Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh. b. Suhu tubuh naik tinggi sekali. c. Nadi semakin cepat. d. Defance Muskular yang menyeluruh e. Bising usus berkurang f. Perut distended
23

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya : a. Pelvic Abscess b. Subphrenic absess c. Intra peritoneal abses lokal. Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian. 2.11. Prognosis Mortalitas adalah 0.1% jika apendisitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada orang tua. Kematian biasanya berasal dari sepsis emboli paru atau aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik.9,10 Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.9,10 Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. 9,10

24

BAB III PENUTUP Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan. Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Apendisitis akut, ini diikuti oleh penyebab lain seperti infeksi, diet dan hygiene. Apendisitis akut dibagikan kepada tiga jenis yaitu apendisitis akut sederhana, apendisitis akut supurative, dan apendisitis akut gangrenosa. Apendisitis infiltrate, abses, perforasi dan apendisitis kronis dapat terdadi akibat fase lanjutan dari apendisitis akut. Gejala apendisitis yang ditemui pada semua penderita adalah rasa nyeri pada abdomen atau kuadran bawah kanan, gejala lain yang sering ditemui adalah mual, muntah, anoreksia dan demam yang tidak tinggi. Ada studi yang membuktikan bahwa nyeri perut yang bertambah sewaktu melalui speed bumps dalam perjalanan ke rumah sakit juga dapat mengarah ke diagnosis apendisitis akut. Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan untuk menyinkirkan diagnosis lain. Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik seperti Rovsings sign, Psoas sign, obturator sign, Blumbergs sign dan nyeri pada pemeriksaan rektal toocher. Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor Alvarado. Sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis. Interpretasi dari Modified Alvarado Score adalah, 1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis akut, 5-7 : sangat mungkin apendisitis akut, 8-10 : pasti apendisitis akut. Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrophil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Pemeriksaan radiologis, USG abdomen mempunyai peran definitive dalam mendiagnosa apendisitis akut dan mengurangi angka kejadian laparotomy negative. Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG. Bagi Penatalaksanaan apendisitis akut pula, pembedahan diindikasikan bila diagnose apendisitis telah ditegakkan. Penundaan apendektomi yang lama dengan memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses dan
25

perforasi. Namun ada studi mengatakan bagi apendisitis non komplikata, terapi konservatif memberikan hasil yang baik. Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal atau pun suatu peritonitis generalisata. Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. D J Humes and J Simpson, Acute appendicitis, Clinical review , BMJ Vol 333 2008, Pg 530-534, Nottingham.UK. 2. Williams B A, Schizas A M P, Management of Complex Appendicitis. Elsevier. 2010. Surgery 28:11. p544-548. 3. Appendicitis [updated September 2010; cited April 2011]. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Appendicitis. (accessed : 2013, March 14). 4. H F Ashdown, N D Souza, R J Stevens, Pain over speed bumps in diagnosis of acute appendicitis: diagnostic accuracy study, BMJ 2012 : 345, Pg 1-7, UK. 5. Y H Kim, S Y Kim, Y J Lee, K P Kim. Low-Dose Abdominal Ct For Evaluating Suspected Appendicitis. The New England Journal of Medicine. April 26, 2012. 6. B R. Toorenvliet, F Wiersma, R F R. Bakker, P J. Breslau, Routine Ultrasound and Limited Computed Tomography for the Diagnosis of Acute Appendicitis, World J Surg (2010) 34:22782285 7. L F Premanand, P S Aithala, C George, H B Suresh, D Acharya, Ultrasonography Is Still A Useful Diagnostic Tool In Acute Appendicitis. Journal Of Clinical And Diagnostic Research,2009 October [cited: 2009 October 5]; 3:1731-1736. 8. G R Paudel, C S Agrawal, R regmi. Conservative Treatment in Acute Appendicitis. JNMA, Vol 49, No.4, October December 2010. Nepal. 9. J T. Hamdi Is There a Place for Conservative Treatment of Acute Appendicitis? Vol. 17 No. 1, pp: 11-17 (2010 A.D. / 1431 A.H.) 10. A Saber, A Mohammad, G M. Ellabban, Patient Safety in Delayed Diagnosis of Acute Appendicitis, Surgical Science, 2011, 2, 318-321August 2011, Ismailia, Egypt.

27

You might also like