You are on page 1of 99

BUKU AJAR PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU

Andi Detti Yunianti Musrizal Muin

Diterbitkan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

........................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... A. RUANG LINGKUP ........................................................................ ................................................

1 1 3 4 4

B. BAHAN TUGAS DAN DISKUSI C. LATIHAN

.................................................................................... ............................................................

D. BAHAN PENGAYAAN

BAB II PERTUMBUHAN POHON DAN ONTOGENI SEL

............

11 11 16 19 22 22 34

A. PERTUMBUHAN POHON ............................................................ B. PERTUMBUHAN BATANG DEWASA C. ONTOGENI SEL D. BAHAN DISKUSI ....................................

......................................................................... ......................................................................... ............................................................

E. BAHAN PENGAYAAN C. LATIHAN SOAL

.........................................................................

BAB III KUALITAS KAYU DAN PERLAKUAN SILVIKULTUR A. KUALITAS KAYU

..

35 35 36 42 45 46 50

.......................................................................... .................................................. ..................................................

B. INDIKATOR KUALITAS KAYU C. PERLAKUAN SILVIKULTUR D. BAHAN DISKUSI

......................................................................... ............................................................

E. BAHAN PENGAYAAN C. LATIHAN SOAL

.........................................................................

BAB IV VARIABILITAS KAYU

.............................................................. .................................................. ..................................................

51 52 59 63 63 63

A. VARIASI ARAH HORISONTAL B. VARIASI ARAH VERTIKAL D. BAHAN DISKUSI

......................................................................... ............................................................

E. BAHAN PENGAYAAN C. LATIHAN SOAL

.........................................................................

BAB V SYARAT KUALITAS PRODUK KEHUTANAN ........................... A. PENGENALAN SIFAT-SIFAT KAYU B. SYARAT KUALITAS KAYU .......................................

64 64 65 69 69 70

................................................... .......................................

C. MENENTUKAN KUALITAS PRODUK D. BAHAN DISKUSI

......................................................................... ............................................................

E. BAHAN PENGAYAAN

DAFTAR PUSTAKA

............................................................................

93

ii

KATA PENGANTAR Puji syukur disampikan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan hidayah-Nya sehingga buku ajar mata kuliah Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu ini dapat diselesaikan. Buku ini disusun oleh Tim Pengajar untuk menjadi salah satu sumber belajar bagi mahasiswa di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Sebagai sumber belajar, buku ini disusun dengan menggunakan rumusan bab per bab dengan tujuan khusus masing-masing. Buku ini memuat aspek-aspek pertumbuhan pohon dan ontogeni sel, kualitas kayu dan perlakuan silvikultur, variabilitas kayu, dan syarat kualitas produk kehutanan. Walaupun buku ini hanya menyangkut aspek-aspek umum dari pertumbuhan pohon dan kualitas kayu, penulis berharap buku ajar ini dapat menjadi buku pegangan mahasiswa Program Sarjana dalam menempuh studi dan mengembangkan pengetahuan di Fakultas Kehutanan. Beberapa bahan pengayaan didalam buku ini juga diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan pohon dan kualitas kayu atau dalam mengembangkan ilmu secara spesifik. Dengan selesainya buku ajar ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Fakultas atas bantuan dana yang disediakan.

Penulis

iii

BAB I PENDAHULUAN

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran tentang pentingnya memahami hubungan antara pertumbuhan dan kualitas kayu. Tujuan Khusus: Secara khusus bagian ini bertujuan untuk memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan bahwa penanaman pohon bukan sematamata untuk mengejar kuantitas tetapi juga perlu mempertimbangkan kualitas kayu yang dihasilkan. A. RUANG LINGKUP Pohon tidak berbeda dengan tanaman lain dalam hal bahwa kedua kelompok ini bertambah tinggi dengan pertambahan umurnya. Bedanya adalah bahwa pohon memiliki kemampuan untuk mempertahankan pertumbuhannya dalam jangka waktu bertahun-tahun dan memperbanyak lapisan-lapisan pertumbuhannya dalam arah tinggi dan diameter. Hasil utama dari proses pertumbuhan berupa kayu telah dimanfaatkan dan menjadi bagian dari kebutuhan manusia sejak lama, bahkan sejak hasil hutan tersebut dikenal manusia. Dari kayu, manusia dapat memproduksi berbagai produk untuk bermacam-macam keperluan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam pemanfaatannya, kayu yang diambil dari pohon dapat digunakan langsung sebagaimana adanya. Kayu juga dapat digergaji dan dibentuk untuk menjadi bahan konstruksi. Dari kayu pula dibuat produk-produk panel/ komposit, kertas, dan bahan energi. Apabila besarnya manfaat dan kegunaan kayu tersebut dilihat secara lebih seksama, maka sudah seharusnyalah kalau semua orang yang terlibat dari sejak ditanam hingga digunakan perlu berfikir dan bertindak secara komprehensif. Dengan kata lain, barang siapa dalam aktivitasnya, baik langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam pengurusan pohon dan kayunya harus dapat 1

memahami, menjelaskan, dan menganalisis hubungan antara pertumbuhan dan kualitas kayu. Dengan demikian, usaha-usaha yang dilakukan memiliki arti bagi banyak pihak. Untuk memenuhi tuntutan komprehensif seperti dikemukakan di atas masih memerlukan usaha-usaha mendasar dalam bentuk pengembangan pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan interaksi antara kegiatan penanaman pohon dan pemanfaatan kayu. Apa yang umum terjadi saat ini adalah terjadinya pemisahan antara orang yang bekerja dalam kegiatan seperti penanaman dan pemeliharaan pohon (forester) dengan orang yang bekerja sebagai pembuat berbagai produk kayu (manufacturer). Kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya, forester bekerja bertahun-tahun untuk meningkatkan produksi kayu. Dalam aktivitasnya, berbagai teknik dan usaha dikembangkan agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, membuat suatu kawasan menjadi hijau, dan dapat menghasilkan kayu dalam jumlah yang besar. Pada sisi lain, manufacturer juga secara terus menerus meningkatkan teknologi pengolahan agar kayu-kayu yang dihasilkan dapat diolah dengan baik agar terjadi efisiensi produksi. Dengan demikian sangat disayangkan bahwa pada skala yang luas, setiap orang dari kelompok tersebut hanya bekerja sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan yang diinginkan masing-masing tanpa memperhatikan kepentingan dan keterbatasan satu sama lain. Pihak foresters sangat senang dan puas apabila mereka mampu membuat pertumbuhan tanaman berlangsung dengan baik dan cepat. Demikian pula halnya dengan pihak manufacturers yang sangat bangga dengan kemajuan teknologi pengolahan kayunya. Kedua pihak tersebut jarang atau bahkan tidak memperhatikan kalau pertumbuhan pohon yang baik dan cepat tidak selamanya cocok untuk tujuan penggunaan industri tertentu dan teknologi industri perkayuan yang maju tidak selamanya bermuara pada nilai produksi kayu yang tinggi.

Kondisi seperti dikemukakan di atas tidak jarang membuat produksi kayu yang banyak dari hutan tidak banyak memberikan manfaat karena kayu yang dihasilkan tersebut tidak sesuai dengan keinginan pihak industri. Apa yang terjadi dalam keadaan seperti itu adalah inefisiensi manfaat, baik dari aspek ekologi maupun aspek ekonomi. Pembahasan-pembahasan yang dimuat dalam buku ini diharapkan dapat memberikan dasar-dasar pemahaman kepada mahasiswa program sarjana kehutanan bahwa penanaman bukan semata-mata untuk mengejar kuantitas tetapi juga sangat perlu memperhatikan kualitas hasil. Lebih lanjut, mahasiswa juga diharapkan dapat menganalisis situasi pertumbuhan suatu jenis pohon dalam hubungannya dengan pendugaan kualitas kayu yang dihasilkan. Pada skala yang lebih luas, buku ajar ini dapat dijadikan acuan bagi pemenuhan kepentingan dua pihak (foresters dan manufacturers) dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pengembangan tanaman kehutanan dan diversifikasi produk hasil hutan.

B. BAHAN TUGAS DAN DISKUSI

Pada bagian ini, mahasiswa secara sendiri-sendiri diminta untuk memperhatikan sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kampus Unhas dan mengidentifikasi keadaan pertumbuhan batang dan cabangnya. Pada waktu pertemuan berikutnya, diskusi dalam kelas dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Peserta mata kuliah dibagi atas tiga kelompok 2. Setiap kelompok memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal kelompoknya untuk mengidentifikasi hal-hal atau keadaan yang berhubungan dengan pertumbuhan pohon, produktivitas kayu, dan kualitas kayu yang dihasilkan. 3. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lainnya.
3

4. Setiap mahasiswa membuat tulisan mengenai pentingnya pengetahuan tentang kualitas kayu bagi sarjana kehutanan C. LATIHAN Jelaskan pentingnya pengetahuan tentang kualitas kayu bagi sarjana kehutanan !

D. BAHAN PENGAYAAN Sebagai referensi untuk dapat mengerjakan tugas dan diskusi seperti dikemukakan di atas, berikut diberikan suatu paper yang ditulis oleh Muhdi, Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, tentang PENGARUH ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU (2004 Digitized by USU digital library) I. PENDAHULUAN

Laju pertumbuhan pohon dan macam pohon apa yang tumbuh di suatu lokasi tergantung atas faktor tapak atau tempat tumbuh (Syafii Manan, 1992 dalam Manual Kehutanan). Lebih lanjut disampaikan bahwa tapak adalah sebuah tempat dipandang dari segi faktor-faktor ekologi dalam hubungan kemampuannya untuk menghasilkan hutan atau vegetasi lainnya, atau dengan kata lain gabungan kondisi biotik, iklim dan tanah dari sebuah tempat. Faktor iklim dan keadaan tanah merupakan faktor dominan dalam pertumbuhan tanaman. Iklim terdiri atas unsur-unsur temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin, sedangkan keadaan tanah meliputi sifatsifat fisik tanah, biologi dan kelembaban tanah. Respon tanaman sebagai akibat faktor lingkungan terlihat pada penampilan fisiologi dan morfologi tanaman. Berdasarkan formasi klimatis tipe hutan terdiri dari tipe hutan tropika, hutan musim dan hutan gambut, sedangkan berdasarkan formasi edafis terdiri dari tipe hutan rawa, hutan payau dan hutan pantai.
4

II. KLASIFIKASI TIPE HUTAN BERDASARKAN FORMASI KLIMATIS

1). Hutan Hujan Tropika Tipe hutan ini terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B, jenis tanah didominir oleh jenis litosol, alluvial dan regosol dan berjarak relatif jauh dengan pantai. Terdiri dari : - Hutan hujan tropika bawah (0-1000 m dpl). Hutan ini didominir oleh famili Dipterocarpaceae, terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica, Dryobalanops dan Cotilobium. Jenis lain yang dijumpai adalah dari famili Lauraceae, Myrtaceae, Myristicae dan Ebenaceae. - Hutan hujan tropika tengah (1000-3300 m dpl). Hutan ini umumnya didominir oleh genus Quercus, Catanopsis dan Nothogus. Di Aceh dan Sumatera Utara terdapat Pinus merkusii dan di Jawa Tengah terdapat Albizia motana. Di Sulawesi terdapat kelompok Agathis sp dan Podocarpus dan di Jawa Timur terdapat kelompok Casuarina spp. - Hutan hujan tropika atas (3300-4100 m dpl). Umumnya merupakan kelompok-kelompok yang terpisah-pisah oleh padang rumput dan belukar. Di Irian Jaya terdapat jenis Dacrydium, Libercedrus dan Podocarpus.

2). Hutan Musim Tipe hutan ini dijumpai pada daerah yang memiliki tipe iklim C dan D. - Hutan musim bawah (0-1000 m dpl). Jenis pohon yang merupakan ciri khas hutan ini di Jawa, diantaranya adalah jenis Tectona grandis, Acacia leucoploea, Azideracta indica dan Caesalpinia dugiana. Di kepulauan Nusa Tenggara terdapat Eucalyptus alba, Santalum album, sedangkan di Maluku dan Irian Jaya dijumpai adanya jenis Melaleuca leucadendron, Eucalyptus spp dan Timonius ceppycus.
5

- Hutan musim tengah dan atas (1000-4100 m dpl). Jenis-jenis yang merupakan ciri khas untuk tipe hutan ini adalah di Jawa Tengah dan Jawa Timur Casuarina junghuiana dan Indonesia Timar Eucalyptus spp. Dan di Sumatera Pinus merkusii.

3). Hutan Gambut Hutan ini terletak pada daerah yang mempunyai iklim tipe A dan B dengan jenis tanah organosol yang memiliki gambut setebal 50 cm atau lebih. Di Indonesia terdapat di sepanjang Sungai Barito, Kalimantan Selatan dan Irian Jaya bagian Selatan. Jenis pohon yang mendominasi diantaranya adalah Alstonia spp, Dyera spp, Diospyros serta Myrestica. Di Sumatera Selatan dan di Kalimantan banyak dijumpai je nis Gonystylus spp.

III. KLASIFIKASI TIPE HUTAN BERDASARKAN FORMASI EDAFIS

1). Hutan Rawa Tipe hutan ini dapat dijumpai pada daerah-daerah yang selalu tergenang air, tidak terpengaruh oleh iklim. Pada umumnya terletak di belakang hutan payau dengan jenis tanah alluvial. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon yang mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.

2). Hutan payau Penyebaran hutan ini terdapat pada daerah-daerah pantai yang selalu teratur tergenang oleh air laut dan terpengaruh pasang surut. Jenis pohon utama adalah Avecenia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp dan Bruguera spp.

3). Hutan pantai Terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai, tidak terpengaruh oleh iklim,
6

tanah berpasir dan berbatu-batu dan terletak di garis pasang tertinggi. Jenis pohon yang terdapat diantaranya adalah Barringtonia speciosa, Terminalia cattapa, Callophyllum inophylum, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia dan Pisonia grandis.

IV. POHON YANG BIASA HIDUP DI ELEVASI TINGGI DI TANAM DI ELEVASI RENDAH Seperti telah disinggung di atas bahwa faktor lingkungan berpengaruh terhadap penampilan fisiologis tanaman dan morfologi tanaman. Tanaman yang biasa hidup di daerah elevasi tinggi adalah jenis yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi iklim yang temperaturnya rendah, kelembaban tinggi dan intensitas matahari kurang. Faktor-faktor ini berpengaruh terhadap fotosintesis dan kegiatan fisiologi lainnya. Untuk itu morfologi tanaman juga menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dengan maksud agar proses fisiologi tanaman dapat berjalan dengan optimal. Bentuk morfologi tanaman yang nyata untuk jenis tanaman yang biasa hidup di daerah tinggi adalah bentuk daunnya kecil, batang pohon tinggi dan tajuk berbentuk kerucut. Ciriciri ini identik dengan cirri-ciri jenis pohon konifer atau daun jarum. Untuk itu jenis vegetasi pada daerah elevasi tinggi banyak didominasi oleh jenis daun jarum. Jumlah daun jarum pada suatu pohon jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah daun pada jenis pohon daun lebar. Jumlah daun yang banyak tersebut memungkinkan jumlah klorofil dan luas penampang permukaan daun menjadi banyak, sehingga pohon tersebut mampu memanfaatkan intensitas sinar matahari yang tidak terlalu tinggi untuk kegiatan fotosintesis secara optimal. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang tinggi, akan menyebabkan proses transpirasi (penguapan) terhambat, sedangkan di sisi lain jumlah air yang terserap oleh akar dan digunakan untuk proses metabolisme banyak. Dengan jumlah penampang daun yang

besar tersebut serta bentuk tajuk yang kerucut akan membantu percepatan proses penguapan, sehingga proses penguapan dapat berlangsung dengan baik.

Kondisi lain pada daerah yang memiliki elevasi tinggi adalah jumlah konsentrasi CO2 yang relatif lebih kecil bila dibandingkan pada daerah yang lebih rendah. Padahal CO2 adalah bahan baku dalam proses fotosintesis untuk diubah menjadi karbohidrat. Dengan jumlah klorofil yang banyak, maka dapat dimungkinkan jumlah CO2 yang tertangkap juga lebih banyak, sehingga hasil fotosintesis juga menjadi banyak.

Dengan kondisi tersebut di atas maka jenis konifer mempunyai daerah sebaran hidup berdasarkan ketinggian tempat yang beragam bila dibandingkan dengan jenis daun lebar. Sebagai contoh adalah jenis pohon Agathis spp (damar) yang mampu hidup dengan baik mulai ketinggian 10 m dpl sampai 1650 m dpl.

Berdasarkan uraian dan data pertumbuhan jenis damar pada berbagai elevasi, maka jenis pohon yang biasa hidup di elevasi tinggi ditanam di elevasi yang rendah, pohon tersebut masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan, pada daerah yang rendah temperatur lebih panas, kelembaban lebih rendah dan intensitas sinar matahari lebih besar. Kayu daun jarum akan memanfaatkan intensitas sinar matahari sesuai kebutuhannya, maksudnya bila terlalu lebih maka akan dimanfaatkan sesuai dengan kemampuan klorofil yang dimilikinya.

V. POHON YANG BIASA HIDUP DI ELEVASI RENDAH DITANAM DI ELEVASI TINGGI Tidak demikian halnya bila pohon biasa hidup di elevasi rendah, kemudian ditanam di elevasi tinggi, maka jenis pohon ini pertumbuhannya akan menjadi lambat. Hal ini
8

disebabkan karena pohon yang biasa hidup di daerah elevasi rendah dengan kondisi iklim yang umumnya temperatur tinggi, kelembaban rendah dan intensitas sinar matahari besar, memiliki kepekaan menangkap sinar mat ahari yang lebih rendah. Sehingga bila ditanam pada elevasi tinggi yang memiliki intensitas sinar matahari rendah akan sangat mengganggu kegiatan fotosintesisnya, sehingga pertumbuhannya juga akan lebih lambat.

Dari beberapa data persen kayu teras jenis kayu matoa menurut daerah iklim dan kelas ketinggian tempat yang dikemukakan dapat diketahui bahwa semakin tinggi elevasinya maka jumlah prosentase kayu terasnya semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pembentukan sel baru yang berasal dari pembelahan adalah sangat lambat dan yang lebih banyak terjadi adalah proses penuaan sel. Di dalam kayu teras semua sel-sel penyusunnya adalah sel yang sudah mati dan tidak mengalami penambahan besarnya sel. Lebih lanjut dapatlah diketahui bahwa riap atau pertambahan volume pohon juga kecil atau pertumbuhannya lebih lambat bila dibandingkan pada daerah yang ketinggiannya lebih rendah. Jenis matoa adalah salah satu contoh jenis tanaman daun lebar, yang pada umumnya hidup baik pada daerah yang elevasi rendah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa bila jenis pohon yang biasa hidup di elevasi rendah kemudian ditanam pada daerah yang elevasinya lebih tinggi, maka pertumbuhannya akan menjadi lambat.

VI. KESIMPULAN

1. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap penampilan fisiologis tanaman dan morfologi tanaman. 2. Tanaman yang biasa hidup di daerah elevasi tinggi adalah jenis yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi iklim yang temperaturnya rendah, kelembaban
9

tinggi dan intensitas matahari kurang. Faktor-faktor ini berpengaruh terhadap fotosintesis dan kegiatan fisiologi lainnya. 3. Bila pohon biasa hidup di elevasi rendah, kemudian ditanam di elevasi tinggi, maka jenis pohon ini pertumbuhannya akan menjadi lambat. Hal ini disebabkan karena pohon yang biasa hidup di daerah elevasi rendah dengan kondisi iklim yang umumnya temperatur tinggi, kelembaban rendah dan intensitas sinar matahari besar, memiliki kepekaan menangkap sinar matahari yang lebih rendah.

10

BAB II PERTUMBUHAN POHON DAN ONTOGENI SEL

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana pohon tumbuh dan menyusun sel-selnya. Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus bertujuan untuk memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk menjelaskan dan memerinci tahap-tahap pertumbuhan pohon dan perkembangan sel, termasuk menggambarkan batang yang sedang berkembang.

A. PERTUMBUHAN POHON

Pohon adalah tumbuhan berkayu yang mencapai tinggi sekurang-kurangnya 6 meter pada saat dewasa di lokasi tertentu dan biasanya (tidak selalu) memiliki batang tunggal (Panshin and de Zeeuw, 1980). Sedangkan tumbuhan berkayu adalah tumbuhan yang mempunyai ciri-ciri : (1) Tumbuhan bersaluran (vascular plant) yaitu memiliki jaringan pengangkutan khusus, yang terdiri atas xylem (kayu) dan phloem (kulit), (2) Tumbuhan perennial yaitu tumbuhan yang hidupnya lebih dari dua tahun, (3) Tumbuhan berkayu memiliki batang yang hidup dari tahun ke tahun, (4) Tumbuhan berkayu tertentu, termasuk semua kayu perdagangan, melakukan penebalan sekunder, yaitu menambah besarnya batang dengan menambah besarnya diameter pohon. Dalam pengertian botanis, kayu adalah suatu bahan yang merupakan bahan mentah yang berasal dari proses metabolisme organisme hidup yaitu tumbuhantumbuhan yang berbentuk pohon. Pohon sebagai penghasil kayu dalam sistem botanis diklasifikasikan dalam divisi spermatophyta. Divisi spermatophyta dibagi ke dalam dua sub-divisi, yaitu Gimnospermae dan Angiospermae. Perbedaan utama dari
11

kedua sub-divisi ini adalah terutama dari bijinya. Gimnospermae berbiji telanjang sedangkan Angiospermae berbiji tertutup oleh bakal buah. Pertumbuhan merupakan hasil dari interaksi berbagai proses fisilogis dan untuk mengetahui mengapa pertumbuhan pohon berbeda pada berbagai variasi keadaan lingkungan dan perlakuan diperlukan pengertian bagaimana proses fisiologis dipengaruhi oleh lingkungan (Thojib, 1988). Proses fisiologis adalah fotosintesa, respirasi dan transpirasi. Pada dasarnya, pohon tumbuh melalui dua jalur pertumbuhan yaitu pertumbuhan primer dan pertumbuhan sekunder. Pertumbuhan primer adalah pertumbuhan yang membuat batang menjadi panjang dan membuat cabang karena adanya titik tumbuh apical diujung pohon. Jaringan yang terbentuk oleh titik tumbuh apikal disebut jaringan primer. Pertumbuhan sekunder adalah pertumbuhan yang membuat diameter batang menjadi besar. Penambahan besarnya batang dilakukan melalui kegiatan lapisan tumbuh yang disebut kambium. Kambium terletak di antara bagian luar kayu dan bagian dalam kulit. Kambium membentuk kayu baru dan kulit baru setiap tahun dan berkembang di antara kayu dan kulit yang dibentuk terdahulu. Jaringan yang terbentuk oleh meristem lateral disebut jaringan sekunder. Pertumbuhan sekunder tidak membentuk tipe sel baru dan merubah struktur kayu, karena yang bertanggug jawab pada hal tersebut adalah pertumbuhan primer. Secara lebih rinci bagaimana kayu tumbuh dapat dilihat pada Gambar 1.

12

Gambar 1. Jaringan Pertumbuhan Tanaman (Brown et al, 1949)

Pada irisan pertama (A) dari titik tumbuh apikal terbentuk jaringan promeristem yang bertugas membelah diri secara cepat dengan tanpa mengalami diferensiasi. Metode pembelahan yang dilakukan mengikuti prinsip tunica-corpus dimana tunica (bagian pinggir) membelah dengan cara antiklinal yaitu pembelahan
13

dengan bidang belah tegak lurus pada permukaan, sedangkan corpus (bagian dalam) membelah dengan cara periklinal yaitu pembelahan dengan bidang belah sejajar dengan permukaan. Jaringan dermatogen yang berfungsi sebagai pelapis luar berkembang pada bagian tepi dari jaringan promeristem. Pada irisan kedua (B), sudah terjadi diferensiasi sel hasil pembelahan promeristem. Sisi luar sebagai pelindung masih dilakukan oleh dermatogen, sedangkan bagian tengah terjadi perkembangan, perubahan bentuk, dan ukuran serta isi sehingga diperoleh jaringan pleromo sebagai inti dan periblem disebelah luarnya. Ketiga jaringan merupakan awal perbedaan (induk) dari diferensiasi jaringan dibawahnya walaupun secara phisiologi dan morphologi tidak berbeda. Pada irisan ketiga (C), epidermis yang berkembang dari dermatogen menutupi sisi bagian luar. Bagian dalam (plerome) bertambah dewasa menjadi stele, sedangkan periblem berkembang menjadi cortex. Pada bagian stele mulai berkembang jaringan vaskular yaitu xylem primer (bagian stele) dan phloem primer (bagian cortex). Terdapat kambium diantara xylem primer dan phloem primer. Pada irisan keempat (D), akibat pertumbuhan sekunder telah terjadi pertambahan diameter pohon yang dilakukan oleh kambium dengan membentuk xylem sekunder (bagian dalam) dan phloem sekunder (bagian luar) sehingga jaringan yang melakukan diffrensiasi lebih sempurna. Aktifitas pada bagian stele mulai berkurang bahkan mati, biasanya disebut hati (pith). Setelah pith terdapat xylem primer yang terdesak akibat perkembangan kambium ke arah dalam yang membentuk xylem sekunder. Perkembangan kambium ke arah luar membentuk phloem sekunder, berbatasan dengan cortex terdapat phloem primer. Setelah cortex dibagian luar terdapat epidermis yang telah mengalami perpecahan jaringan akibat pertumbuhan sekunder (pertambahan diameter) dan terbentuk lapisan pengganti yang disebut hypodermis. Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon dimulai dengan mengaktifkan meristem apikal. Selanjutnya, hormon pertumbuhan

14

diproduksi dekat meristem apikal dan didistribusikan melalui sistem vaskular pohon. Hormon tersebut kemudian mengaktifkan kambium dan terjadilah penebalan sekunder (diameter). Karena hormon menyebar dari tajuk ke batang, maka

pertambahan diameter tidak terjadi secara bersamaan dan ada perbedaan konsentrasi hormon dalam penyebarannya. Pada saat diaktifkan, kambium menghasilkan sel-sel kayu dan kulit. Sel-sel kulit bagian dalam disebut phloem, suatu lapisan tipis yang dibentuk berbatasan dengan lapisan luar kambium. Pada saat lapisan kulit baru dibentuk, kulit lama berangsur-angsur mati dan dapat lepas dari pohon. Sel-sel kayu yang disebut xylem dibentuk ke arah dalam dari kambium. Pada saat hormonhormon pertumbuhan diproduksi banyak, sel-sel xylem yang dibentuk akan panjang dengan rongga yang besar dan dinding yang tipis. Pada saat hormon-hormon

pertumbuhan yang diproduksi sedikit, sel-sel xylem yang dibentuk akan pendek, rongga yang kecil dan dinding yang tebal. Secara umum, pembentukan organ-organ tanaman dan pertumbuhannya dapat dikatakan sebagai hasil dari 3 proses, yaitu pembelahan sel (cell division), perpanjangan sel (cell expansion), dan diferensiasi sel (cell differentiation). Semua proses ini dikontrol oleh faktor-faktor internal & eksternal. Arah pertumbuhan dan bentuk organ ditentukan oleh lokasi dan arah pembelahan sel serta perluasan dan arah pembesaran sel. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon yaitu lingkungan dan genetik. Faktor lingkungan secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan melalui proses-prose fisiologis yang terjadi di dalam pohon. Faktor genetik antara lain potensi untuk berproduksi, ketahanan terhadap hama penyakit, daya tahan terhadap kekeringan. Menurut Zobel dan Talbert (1984) pertumbuhan pohon bukan hanya dipengaruhi oleh salah satu dari faktor lingkungan atau genetik tetapi interaksi keduanya. Menurut Thojib (1988) interaksi keduanya melalui proses fisiologi internal dan kondisi pohon, mengontrol kuantita dan kualita pertumbuhan ditunjukkan oleh Kleb yang dikenal dengan konsep Kleb (1913-1918).

15

Konsep Kleb. Potensi keturunan Faktor-faktor lingkungan

Genetik dan bastar

Ekologi, ilmu tanah, meterologi, Entomologi, patologi

Proses fisiologis internal dan kondisi fisiologi pohon

B. PERTUMBUHAN BATANG DEWASA

Gambaran bagaimana batang berkembang dijelaskan oleh oleh Panshin & de Zeeuw (1980). Secara umum dikenal ada dua kelompok pohon komersial, yaitu konifer dan deciduous. Konifer, juga dikenal sebagai evergreen atau softwood atau kayu daun jarum. Sedangkan deciduous disebut juga kayu daun lebar atau hardwood. Kedua jenis ini mempunyai morfologi yang berbeda. Lebih dari itu, kedua kelompok jenis kayu tersebut juga memiliki sifat anatomi, fisik, dan kimia yang berbeda. Dari aspek morfologinya, kayu daun jarum mempunyai bentuk batang lurus (monopodial) sementara kayu daun lebar memiliki sejumlah cabang yang mengarah ke atas dan ke bawah dengan masing-masing mempunyai titik tumbuh apikal. Kayu daun lebar umumnya mempunyai beberapa percabangan dan kecenderungan membentuk kayu reaksi. Kayu daun jarum yang berasal dari kelas Coniferale sub divisi Gymnospermae dan kayu daun lebar yang berasal dari kelas Dicotyledonae sub divisi Spermatophyta. Proses perkembangan batang juga terjadi ke atas dan ke samping. Perpajangan ke atas terjadi karena adanya pertumbuhan primer oleh titik tumbuh apikal (Panshin & de Zeeuw, 1980). Pertambahan diameter batang disebabkan oleh adanya kambium, yaitu lapisan tumbuh antara xylem dan floem. Pertumbuhan

16

lapisan baru oleh kambium terjadi setiap musim tumbuh. Lapisan ke arah dalam membentuk kayu (xylem) dan ke arah luar membentuk kulit (phloem), pembentukan lapisan ini terjadi secara terus menerus menyebabkan diameter pohon bertambah. Di daerah yang beriklim dingin, terdapat hanya satu musim tumbuh dalam setahun, riap pertumbuhan dibentuk hanya sekali dalan setahun. Riap pertumbuhan ini disebut lingkaran tumbuh atau sering disebut lingkaran tahun yang nampak sebagai lingkaran yang konsentris jika kayu dipotong dalam arah melintang (transversal). Di daerah tropis yang mengalami pertumbuhan sepanjang tahun, sehingga lingkaran tahun yang terbentuk tidak nampak dengan jelas. Gambar 2 di bawah ini memperlihatkan skema cara pembentukan batang dewasa.

17


Gambar 2. Skematis yang melukiskan cara pohon koniver berumur 17 tahun menambah diameter batang dan tinggi melalui penambahan riap pertumbuhan ( Panshin & de Zeeuw, 1980)

18

C. PERANAN ONTOGENI SEL DALAM PERTUMBUHAN Sel merupakan struktur dasar dan kesatuan fisiologis pada tumbuhan, terutama tumbuhan tingkat tinggi yang sel-selnya sangat kompleks karena bentuk dan fungsinya sangat beragam. Kumpulan dari sel xylem sekunder yang mendominasi bagian kayu yang mempunyai jenis atau fungsi yang sama disebut jaringan. Jaringan menurut arahnya terbagi menjadi dua yaitu jaringan longitudinal dan jaringan horizontal. Jaringan longitudinal adalah kumpulan sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama tersusun sejajar dengan sumbu batang pohon (misalnya : trakeid, pembuluh dll). Jaringan horizontal adalah kumpulan sel-sel yang arahnya horizontal (misalnya : sel jari-jari). Berdasarkan fungsinya jaringan terbagi menjadi jaringan meristematis dan permanen. Jaringan meristematis adalah kumpulan sel-sel yang berfungsi sebagai pembentuk sel-sel baru. Jaringan permanen adalah kumpulan sel-sel yang sepenuhnya telah mengalami diferensiasi (sel-sel telah dewasa). Pada Gambar 3 jelas terlihat pola pertumbuhan akibat meristem apikal yang berperan terhadap perpanjangan batang, cabang dan akar. Meristem apikal (titik tumbuh apikal) atau meristem primer mampu membelah berkali-kali. Metode pembelahan mengikuti prinsip tunica-corpus di mana bagian pinggir (tunica) membelah dengan cara anticlinal (pembelahan tegak lurus pada permukaan) dan cara periclinal (pembelahan sejajar pada permukaan). Lapisan yang terbentuk sebagai pelindung adalah dermatogen, prokambium sebagai kambium awal dan pith sebagai pusat kayu. Prokambium dan pith berkembang dari plerome. Tahap beikutnya terbentuk protoxylem dan protophloem sebagai awal jaringan pengangkutan kemudian terbentuk metaxylem (xylem primer) dan metaphloem (phloem primer). Cara membentukan xylem dan phloem mengukuti arah sentrifugal dan sentripetal. Pada xylem disebut endarch, sedangkan pada akar disebut exarch (Prayitno, 2007). Setelah xylem primer dan phloem primer terbentuk, jaringan sekunder berupa xylem
19

sekunder dibagian luar xylem primer dan kambium, kemudian phloem sekunder terbentuk disebelah luar kambium mendesak phloem primer. Pertambahan diameter yang terus menerus mengakibatkan epidermis tidak mampu menahan dan kemudian pecah serta diganti dengan hypodermis atau endodermis disamping epidermis baru. Gambar 3 melukiskan secara skematis ontogeni batang muda yang berasal dari pembelahan sel pada titik tumbuh apikal. (a). Memperlihatkan batang muda dimana bagian-bagiannya dapat dilihat dari terluar ke tengah adalah d (epidermis), c (korteks), e (endodermis),pp (phloem primer),sp (phloem sekunder),c (kambium),sx (xylem sekunder),px (xylem primer) dan p (empulur), disebelah atas ada prokambium beruntai. (b). Bagian a-a terdapat promeristem. Sel yang dibentuk pada promeristem mengalami perubahan bentuk dan ukuran yang menunjukkan jenis sel apa yang akan terbentuk. Bagian b-b terdapat tiga lapisan yang berbeda satu dengan lainnya, yaitu d (epidermis), pc (prokambium) dan p (empulur). Bagian c-c prokambium bergabung membentuk selinder. Sel prokambium terluar dan terdalam mulai berdiferensiasi menjadi pp (phloem primer) dan px (xylem primer). Lapisan d (endodermis) mulai tampak dan menutupi bagian batang. Lapisan ini merupakan deretan sel berseri membentuk selubung pelindung di sekeliling daerah vaskular (stele). Ruang antara endodermis dan epidermis ditempati oleh korteks (c) yaitu lapisan jaringan primer yang tebalnya beberapa sel sampai banyak sel.

20

Gambar 3. Skematis yang melukiskan ontogeni batang muda. Kode huruf dalam diagram ini adalah sebagai berikut: c-korteks, d-epidermis, eendodermis, pc-prokambium beruntai, p-empulur, pp-phloem primer, pxxylem primer, sp-phloem sekunder, dan sx-xylem sekunder (Panshin & de Zeeuw, 1980).

21

C. BAHAN DISKUSI 1. Menggambarkan dan menjelaskan pembelahan sel 2. Aplikasi konsep kleb 3. Mengapa lapisan kulit yang terbentuk tidak setebal lapisan kayu.

D. BACAAN PENGAYAAN HOW TREES GROW By Dr. William Chaney, Purdue University In the early 1900s, a German plant physiologist named Klebs proposed a concept that is still very appropriate today. He was the first to note that the only way environmental factors and heredity can affect organism growth is by affecting its internal physiological processes. A tree's physiological processes constitute the mechanism by which genes and environmental factors operate to control growth. Whatever you do with a tree - whether you are selecting a superior individual, planting, fertilizing, watering or pruning - you are ultimately dealing with that tree's physiological processes. For tree farmers to understand why any condition or treatment affects trees, they must know how this factor or treatment affects physiological processes. Tree farmers can use this kind of knowledge as a basis for developing better methods for growing and maintaining trees. CELLS The basic structural unit of trees is cells, millions of which connect and coordinate into a harmonious whole. Mature cells per-form various functions, but are very similar when they are first formed, when they all have the capacity to become a

22

whole tree. Each has a nucleus that contains all the genetic information need-ed to produce a specific free. Cells have several organells in addition to a nucleus. The chloroplasts, the site for photosynthesis, are green because they contain the pigment chlorophyll, which can convert the sun's radiant energy into chemical energy in the form of glucose. This sugar is the basic food and building material for new cells and trees. Another cell organelle - the mitochondria - uses sugar from the chloroplasts and releases the captured solar energy in a form useful to cells. The chloroplasts and mitochondria work in concert- one captures the energy and the other releases it to cells. A less familiar celiorganelle is the dictyosome. Like any organism, trees must dispose of waste products resulting from cell metabolism. The dictyosomes accumulate tannins, phenols and other toxic substances in spherical membranebound structures called vesicles. These are pinched off from the edges of the dictyosomes, migrate to the outer cell membrane, attach themselves to that membrane and belch the material into dead cell walls. This is important to the tree because individual cells are protected from those toxic compounds, which import disease and insect resistance to the tree as a whole. Some of these waste products are dumped into a central envelope inside cells called the vacuole, which contains the cell sap. Here they are isolated from the cell's living contents. The vacuole also keeps cells fully expanded, a condition necessary for peak performance of all the organelles. Leaves on a tree wilt when water in the cell sap is lost. This allows living cytoplasm inside the cell to collapse and fold, slowing down or even stopping organelles from functioning. Hence, the vacuole is a very important part of a cell, although its contents are nonliving.

23

We can begin the fascinating story of tree growth with flowering. All trees have flowers, although many aren't very showy. Their purpose is to be pollinated and fertilized and to develop into seed-bearing fruits or cones. THE SEED Seeds contain an aggregation of cells in an embryo that reflects all the parts of a mature tree. But each cell has all the organelles described above and the genetic capacity to become a whole tree. Some parts of the tree are already recognizable under a microscope. These include cotyledons, the first leaves, where sugars and starch to fuel the growth of the new tree are stored, and the apical meristems, the growing points for the shoot and root that emerge upon germination. Incredibly, all the cells are derived from the single cell that resulted from fertilization. As the embryo develops and becomes a tree, many cells differentiate and specialize to form leaves, roots and other organs. Until the seedling can produce enough leaf area with chloroplasts to support itself through photosynthesis, it uses food stored in the seed. The fascinating growth processes that result in the leaves, stems, wood, bark, roots and other tree tissues are controlled by hormones. HORMONES There are several kinds of naturally occurring hormones - aux-ins, gibberellins, cytokinins, ethylene, and some inhibitors. Each has its special functions. In the 1930s, auxin was discovered. Being the only known hormone, plant physiologists attributed to it the control of almost all growth process-es. As other campounds were discovered, they realized that gibberellin controls cell enlargement, cytokinins influence cell division and specialization, and ethylene affects the

24

degeneration of cells and plant response to wounding. Also, natural inhibitors interact with all of these growth promoters. A hormone is a chemical messenger that in very low concentrations regulates the physiological processes dictated in the genes and influenced by environmental factors. Anything a tree farmer does to a tree influences the production and balance of hormones. When a tree is pruned, for example, the balance of hormones is altered enough to cause a dormant bud to grow, or perhaps a whole new bud to appear. Roots, buds and stems respond differently to a range of concentrations. Extremely low concentrations of auxins promote root growth and do not affect stems. At slightly higher concentration, auxins become an inhibitor of roots, but promote stem activity. Balance and concentration determine if auxins promote or inhibit growth. Vegetation managers employ this dichotomy in controlling plant growth. Some of the most potent herbicides, such as 2, 4-D, are synthetic auxin compounds. Many of the chemicals used to influence tree growth are really hormones that promote or inhibit physiological processes, based on their concentration. Cells are to tipotent, meaning that every living cell in a tree can potentially become any tissue in that tree. This is the basis for tissue culture in which new plants are produced from a few cells taken from a parent. It won't be too long before we know enough about hormonal balance to make tree tissue culture more common. THE ROOT SYSTEM The root system develops from the embryonic root within the seed. As cells in the apicalmeristem of the root divide and elongate, they push the root tip into the soil. Roots lengthen in this manner. The rootcap, whose cells are constantly being sloughed off, protects the tender cells in the apical meristem and lubricates the root
25

as it is rammed into the soil. Expanded root cells differentiate to carry out functions of uptake and transport of water and nutrients to above ground parts of the tree. Lateral roots do not grow from a bud like lateral shoots. They grow from internal root tissue. Some internal root cells, in response to the right balance and mixture of hormones, produce a new root meristem. These cells divide and elongate and are forced between and around cells in the root, rupturing root tissue and emerging us a lateral root. This creates a pathway for easy movement from the soil into roots that avoids entering living cells. If fertilizers or any other chemicals are appliced in close contact with branced roots, or even at the base of a tree, uptake will occur. Fine feeder roots are not essential to have uptake. However, water and nutrients move through soil very slowly and for only short distances. Anything near a stationary root is quickly depleted from the soil around the root. Hence, to be healthy, a tree must have existing and new roots growing in length to explore the soil for water and nutrients. Tree roots are not very deep. Basic tree biology education should convey that most of the root system is quite shallow and can extend far from a tree, even for beyond the drip line. Much of this is genetically controlled, but the principal reason for shallow rooting is the very stressful environment, particularly poor soil conditions. Low oxygen content and soil compaction predispose trees to many other problems. To survive, roots need 3 percent oxygen in the soil. If they are to grow, existing apical meristems require 5-10 percent oxygen. And, for new roots to form, soil oxygen content must be at least 12 percent. Our atmosphere is about 21 percent oxygen. In an undisturbed loom soil six inches below the surface, the percent oxygen is only slightly less than that in the air. A compacted loom will have about 5 percent oxygen 15 inches deep into the soil. Tree roots would survive at this depth, but new roots would be stressed. A clay loom soil at three feet has an insufficient oxygen

26

level to support new root growth. In a sandy soil, even at five feet, the oxygen content is about 15 percent, where roots can survive and grow. THE SHOOT SYSTEM The first shoot of a tree emerges from the seed as the cells of the embryo expand during germination. At its tip, and at the tip of every lateral shoot that develops, is an apical, meristem where in length and height occur. Growth is similar to that in the root only in that cells divide and elongate. Nothing comparable to a root cap exists because the air provides no resistance to growth. The organization of the apical meristem, in shoots is more complex than that of the roots because buds are produced from which lateral branches, leaves and flowers form. As the cells derived from the apical meristem of shoots differentiate to form the various tissues of the shoot system, some specialize to form two lateral meristems: the vascular cambium and the cork cambium. These account, respectively, for increase in girth and bark production. The vascular cambium is located between the wafer conducting xylem tissue to the inside and the food-conducting phloem tissue to the outside. The vascular cambium is the origin, of new cells that become xylem and phloem tissue. .The other secondary meristem, the cork cambium, found just outside the functional phloem, also produces two kinds of cells. These constitute the bark, which, protects and insulates the succulent tissues beneath. THE XYLEM The water-conducting xylem tissue, or wood, consists of only four kinds of cells. But there can be great size and shape differences among those cells as well as differences

27

in their arrangement and proportion. In fact, these characteristics are so singular that a wood anatomist can identify trees just by inspecting the wood. The most primitive type of xylem cell is a tracheid, a norrow tapered cell, usually about 1 mm long, with pits in the sidewalls and closed on both ends. The cells are arranged vertically in the xylem and joined by pit pairs. Water, with its dissolved contents, moves upward in the cells for a short distance before it must move through the pit pairs into an adjacent tracheid. Upward conduction follows a tortuous and inefficient pathway in wood dominated by tracheids. Vessels, an evolutionary advancement for transport of water, have a much bigger diameter than tracheids and still have pits in the side wall. But, most importantly, they have large pores in the end walls. The vessels are arranged end to end in long stacks that in trees such as ashes and oaks, could extend from a root through the trunk and up to a leaf in the tree crown. They can reach 30-40 feet, creating a good system for moving water and nutrients up trees. Fibers, usually shorter and narrower than tracheids, have very thick walls containing few pit pairs and closed ends. They don't conduct water, but instead function in the xylem to provide structural strength. When mature and functional, the tracheids, vessels and fibers are dead, hollow cells. They normally constitute the largest portion of the xylem. The fourth type of xylem cell is the parenchyma, an undifferentiated cell that remains alive in the xylem for several years. These cells are scattered in the xylem and constitute the vascular rays, which provide a pathway for lateral movement across the xylem. Like the other parenchyma cells in the xylem, they the storage sites for carbohydrates essential for the vitality and growth of trees. These living parenchyma cells allow the tree to respond to wounds. The callus that forms around the edges of a wound on the trunk or a pruned branch arises from the totipotent
28

parenchyma cells in the xylem. Parenchyma cells at the bottom of a stem cutting begin to divide and form roots whereas those at the upper end of the cut-ting develop into shoots. The xylem accumulates in annual layers, extending from the shoots in the crown into the roots to form a tapered column of wood. When viewed in cross-section, as on the surface of a cut stump, annual rings of xylem are visible because of the different ways cells develop during a growing season. Active cell division early in the growing season in apical meristems in a tree crown produces auxins that moved downward along the trunk into the cambial zone. The high concentration of auxins promote the development of spring wood with large-diameter, thin-walled xylem cells. In mid-summer when grow-ing conditions are more stressful, shoots slow down or stop grow-ing, and the production of auxins also diminishes. Cells produced by the cambium shrink and develop thicker cell walls, forming sum-mer wood. During the winter the cambium is dormant, but will resume growing the following year with the production of spring wood. It is the transition from summer wood to spring wood that makes the annual xylem ring so apparent. Organization of the cells in they xylem is classified in three categories. based on the kinds and arrangement of cells. Nonporous wood has only tracheids, fibers and parenchyma cells. The rays are, generally narrow, only one or a few cells wide. The wood, which is produced by conifers and other Gymnosperm trees, is very plain. The Angiosperm or hardwood trees are separated into two xylem classes, ring-porous and diffuse-porous. These classes of xylem contain vessels as well as tracheids, fibers and parenchyma cells. Diffuse-porous wood has vessels that, are uniformly distributed in each annual layer of xylem. Ring-porous trees have large-diameter vessels restricted to the spring wood portion of each annual layer of xylem. The vascular rays are often several cells wide and quite visible.

29

Often, the wood in is a lighter color toward the outside and darker in the center. These two areas of xylem are the sapwood and heartwood. The sapwood is the physiologically active portion of the xylem, where tracheids and vessels are used for conduction of water and dissolved nutrients, and the parenchyma cells are alive and function in carbohydrate storage. The heart-wood is nonfunctional and even the parenchyma cells are dead. They may have died because they were buried by accumulating layers of oxygen-limiting xylem. It is more likely that they died because the tree used these cells as a dump site for its own toxic waste - tannins and phenols. The heartwood is particularly decay-resistant because of the accumulation of these compounds, which account for its darker color too. Water that flows through the dead, hollow xylem cells is driven by transpiration - the evaporation of water from the leaves. Continuous columns of water extend from the cells of the leaves through the xylem of the branches and trunk into the roots. The water columns are essentially pulled up the tree along a gradient of decreasing pressure. Because water movement is related to transpiration, environmental factors such as air temperature and relative humidity affect the rate of movement. Understanding this relationship is important in trunk injection applications of systemic pesticides and growth regulators. The weather and its effects on water movement in the xylem influence the speed and ease of injections. The transport of water occurs through dead cells, and the path of least resistance, which, in nonporous wood is the larger-diameter spring wood tracheids. The water conduction pathway in this type of wood is a series of concentric rings of spring wood tracheids in three to four annual layers of xylem. In porous wood, the vessels provide the principal conduit for transport because of their large diameter and open end walls.

30

Diffuse-porous trees conduct water in the vessels scattered throughout two to three annual layers of xylem. Ring-porous wood, in contrast, has a conduction pathway that utilizes the large-diameter vessels of the spring wood in only the current year's xylem layer. To get good uptake and distribution of material injected into the xylem, it is important to inject into the activity conducting portion of the xylem. For ring-porous trees, this is very shallow, since only the new xylem tissue conducts. In diffuseporous and nonporous trees, materials can be injected deeper. THE PHLOEM Although the phloem constitutes only a small portion of a tree's tissues, its function in transporting food and hormones is exceedingly important. Phloem is derived from the vascular cambium, but the phloem does not accumulate in annual layers as does the xylem. Five kinds of cells are found in the phloem. The specialized phloem cells are the sieve cells and sieve tube members. Sieve cells are the most primitive and the counterpart to tracheids in the xylem. Sieve cells have pits in the side and end walls that allow movement between cells. The evolutionary advanced sieve tube member characterizes the phloem of hardwood Angiosperm trees. The sieve tube member also has pits in the side walls but, more importantly, has performation plates with large openings at the ends of the cells. Stacked end to end, they provide efficient con-duits for transport. Two types of phloem cells, the fibers and parenchyma, are exactly like those in the xylem. Scierids or stone cells are small and fiber-like. Every year a new ring of phloem is produced. The fleshy phloem cells are located between the woody xylem and the dead outer bark. The cells of the phloem must be alive with their protoplasm intact. The phloem's fibers and sclerids prevent the active
31

phloem cells from being crushed. The living cells are finally destroyed and the contents reabsorbed or incorporated into the bark and shed from the tree. Thus, phloem does not accumulate like the xylem. Movement in the phloem occurs both upward and downward to allow for distribution of food and hormones to and from sites of production, storage and utilization. Conduction in the phloem results in a positive pressure in the cells. The best evidence of this is the feeding of aphids. The aphid is a clever little insect that can delicately stick its feeding tube into a phloem cell just under the bark. The pressure in the cell forces more sugary solution through its body than it can digest. The resulting overflow, called honeydew, drips on sidewalks and cars beneath infested trees. THE BARK Bark is formed from the other secondary meristem, the cork cambium. The anatomy and development of bark, basically, a protective tissue, is probably the least understood of all the tissues in trees. The variations in bark appearance are enormous and change as individual trees age. However, the characteristics of the bark are frequently so closely associated with each particular kind of tree that they can serve to identify the tree species. At least four types of bark development have been recognized. Smooth bark trees have a single cork cambium that remains with a tree for its entire life. The cork cambium produces a layer of cork cells toward the outside each year. The other kinds of bark are variations of the same theme. Ring bark trees, such as eastern red cedar, produce a new and complete cork cambium each year, resulting in concentric rings of cork cambia and the cells derived from them. These are eventually forced outward by diameter growth, rupture, and cling to trees as long,
32

stringy strips. For scale bark trees such as pines, the first cork cambium does not increase in circumference rapidly enough to avoid being torn apart by increases in diameter of the xylem. Beneath each point of rupture, a new cork cambium is formed. The process is repeated thousands of times. The shape and size of each new cork cambium is reflected in the shape of the scales that cling to the bark for a few years before they are shed. The furrowed bark of trees such as ashes develops similarly to scale bark trees. The difference, however, is that the new cork cambia form in the old phloem and its fibers become incorporated into the bark. Event these tough fibers are finally forced apart by diameter growth. The deep furrows, ridges and diamond-shaped patterns of bark reflect the original orientation of the phloem fibers. Cork cells are so impervious to both water and gasses that they could limit oxygen from reaching the living cells beneath. However, a specialized structure, the lenticel, consists of loosely arranged cells extending across the bark to provide for gas exchange. The short, horizontal lines that often are so apparent on smooth bark species such as Black Cherry, for example, are lenticels. They are an essential part of all bark, just not as obvious when the bark is furrowed and rough. The next time you examine a wine bottle cork, notice the dark lines running perpendicular to the annual rings of cork. These are the lenticels that provided aeration for the cambia and other living cells. The growth of a tree from a single cell in a fertilized flower to a coordinated accumulation of millions of cells with diverse sizes, shapes and functions is a wondrous phenomenon. Tree farmers should be proud to work with trees, realizing that through their care and maintenance practices they are dealing with the physiological processes of immensely complex and massive organisms.

33

E. LATIHAN SOAL-SOAL 1. Jelaskan pengertian dari fotosintesa, respirasi dan transpirasi. 2. Buatlah suatu miniatur pertumbuhan pohon 3. Buatlah daftar tipe sel berdasarkan arah dan fungsi jaringan. 4. Hitung lingkaran tahun (Prayitno, 2007) pohon berumur 62 tahun dengan tinggi 52 kaki 9 inchi dengan pertumbuhan sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. 17 inchi pada akhir umur 3 tahun 9 inchi per tahun selama 9 tahun 1 kaki 4 inchi per tahun selama 12 tahun 15 inchi per tahun selama 5 tahun 11 inchi per tahun selama 7 tahun 7 inchi per tahun selama 17 tahun Pertumbuhan seragam pada umur selanjutnya

Pertanyaan : a. Pada ketinggian tinggi pohon tergambar berapa lingkaran tahun pada irisan transversal. (37) b. Pada ketinggian 1/3 dari ujung pohon berapa irisan tranversal. (28)

34

BAB III KUALITAS KAYU DAN PERLAKUAN SILVIKULTUR

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran peranan tindakan-tindakan silvikultur dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas kayu. Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus bertujuan untuk memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan dan menganalisa hubungan antara tidakan-tindakan silvikultur dengan pertumbuhan pohon dan kualitas kayu. Dalam hal ini, mahasiswa dapat (1) mengidentifikasi kualitas kayu akibat pertumbuhan normal, abnormal dan berbagai perlakuan silvikultur di lapangan, (2) menjelaskan indikator kualitas kayu dan hubungannya berdasarkan penggunaan sebagai konstruksi, serat, komposit dan energi, dan (3) membuat suatu rancangan penanaman dan pemeliharaan di lapangan untuk menghasilkan kayu untuk konstruksi, serat, komposit dan energi.

A. KUALITAS KAYU Kualitas kayu adalah ukuran ketepatan penggunaan kayu atau kesempurnaan setiap bahan kayu untuk keperluan yang diinginkan. Indikator kualitas kayu yang dipengaruhi oleh perlakuan silvikultur di lapangan antara lain kerapatan, keseragaman lingkaran tahun, panjang serat, proporsi kayu teras, persentase pori, persentase kayu juvenil, kayu reaksi, komposisi sellulosa, mata kayu, bentuk batang (selindris), orientasi serat dan komposisi kimia (Goudie 2002). Indikator kualitas kayu akan berbeda tergantung tujuan akhir dari penanaman, sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal perlu telaah yang

35

mendalam tentang kualitas kayu yang bagaimana yang akan dihasilkan. Dengan kata lain, tidak ada ukuran yang absolut untuk pengukuran kualitas kayu karena hal tersebut sangat tergantung pada penggunaan akhir yang diinginkan. Sebagai contoh, penanaman untuk menghasilkan kayu bakar menginginkan jenis mudah tumbuh dengan daur yang pendek, tetapi dengan berat jenis yang tinggi sehingga dapat menghasilkan energi yang besar. Yang lainya, penanaman untuk bahan baku pulp dibutuhkan jenis penghasil serat panjang dengan berat jenis sedang dan mempunyai kandungan sellulosa yang tinggi. Sedangkan penanaman untuk bahan baku konstruksi dibutuhkan kayu yang mempunyai kekuatan menahan beban yang berat serta awet untuk pemakaian yang lama sehingga kayu yang diperlukan adalah kayu dengan berat jenis dan kandungan ekstraktif yang tinggi. Lain halnya dengan bahan baku untuk digunakan sebagai papan komposit yang memerlukan kayu dengan kandungan lignin atau sellulose dan berat jenis yang tinggi. Beberapa ahli kehutanan menyatakan bahwa semua jenis pohon penghasil kayu cepat tumbuh akan menghasilkan kualitas kayu (kelas awet dan kelas kuat) yang lebih rendah dibandingkan dengan pohon dengan umur maksimal. Di sisi lain, beberapa pengusaha kayu menuturkan bahwa masalah kualitas kayu sudah dapat dipecahkan dengan teknologi industri. Sifat mudah diolah dan dibentuk dari pohon cepat tumbuh dapat didifusikan sesuai keinginan pasar. Tingkat kekerasannya pun dapat direkayasa dengan teknik pengovenan. (Irwanto 2006).

B. INDIKATOR KUALITAS KAYU B.1. Kayu Teras Bagian kayu di mana bagian dari xylem masih hidup disebut kayu gubal tetapi pada periode tertentu, protoplasma sel-sel yang hidup dalam xylem mati, bagian ini dinamakan kayu teras (IAWA, 1957 dalam Prawirohatmojo, 2003). Kayu teras mempunyai sifat ketahanan yang tinggi, kadar air rendah dan keawetan yang

36

tinggi, kandungan ekstraktifnya tinggi. Gambara tentang kayu teras (heartwood) dibandingkan dengan kayu gubal (sapwood) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Potongan kayu dengan keadaan kayu teras dan kayu gubal

37

B.2. Kayu Reaksi Kayu reaksi berbeda pada kayu daun jarum dengan pada kayu daun lebar. Pada kayu daun jarum dikenal dengan nama kayu tekan (compression wood) dan pada kayu daun lebar dikenal dengan nama kayu tarik (tension wood). Kayu tekan terbentuk pada bagian bawah dari suatu kemiringan batang pada kayu daun jarum, sedangkan kayu tarik terbentuk pada bagian sisi atas dari bagian yang miring pada kayu daun lebar (Bowyer et al, 2003; Tsoumis, 1991). Karakteristik sel-sel trakeid pada kayu tekan yaitu terdapat ruang-ruang antar sel (intersellular spaces) karena trakeida pada kayu tekan berbentuk bulat. Sifat kayu tekan lainnya adalah lebih pendek (10-40%) dari panjang trakeida kayu normal, kandungan lignin yang tinggi (9%) dan sellulosa yang rendah (10 %) dari kayu normal, memiliki kerapatan (40%) dan penyusutan longitudinal (6-10%) yang tinggi, memiliki sifat mekanis antara lain kekakuan, kekuatan geser yang rendah (Tsoumis, 1991). Pada kayu tarik proporsi serat lebih banyak, pembuluh lebih sedikit dibanding kayu normal, terdapat lapisan gelatinous pada lapisan dinding sekunder (S1, S2 dan S3) dengan sudut mikrofibril yang hamper sejajar dengan sumbu batang, kandungan sellulosa lebih tinggi dan lignin yang rendah dari kayu normal, mempunyai derajat kristalinitas yang tinggi, memiliki kerapatan (2-20%) dan penyusutan ( 1,5%) yang tinggi daripada kayu normal, Papan yang mengandung kayu reaksi bila diserut pada kondisi basah, pada permukaannya akan timbul serat-serat yang halus (woolly grain) sehingga dapat menurunkan kualitas papan yang dihasilkan (Bowyer et al, 2003). Adanya kayu tarik dapat mengakibatkan terjadinya lengkungan dan gelombang pada veneer yang dibuat, menyebabkan kayu collapse pada proses pengeringan, dan apabila diproses secara kimia menyebabkan kesulitan dalam pemasakan (konsumsi kimia tinggi) dan sulit digiling.

38

B.3. Kayu Juvenil Kayu juvenile adalah kayu yang dibentuk oleh kambium pada tahun-tahun pertama pertumbuhan pohon, dimana pembelahan sel-sel kambium membentuk xylem masih dipengaruhi oleh auxin pada tajuk (Panshin and de Zeeuw, 1980). Sifatsifat kayu juvenile antara lain kerapatan rendah, ratio antara lignin dan sellulosa tinggi, panjang trakeid pendek ( < 2 mm ), dinding selnya tipis, menghasilkan kurang dari 3 % holosellulose dan 8 % alfa sellulosa dibanding kayu dewasa, sudut mikrofibrilnya yang lebar mengakibatkan kestabilan dan kekuatannya rendah, mudah pecah, retak dan melengkung. Tetapi disamping kualitas yang jelek, kayu juvenile mempunyai sifat yang cukup bagus untuk kertas tissue dengan metode ground wood pulping (Zobel, 1984 ; Goudie, 2002). Adanya kayu juvenile pada bahan baku yang diolah terbukti dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Keberadaan kayu juvenile sekitar 20 % pada produk furniture akan mempengaruhi kualitas dari produk tersebut (Zobel, 1984). Selain itu, kertas yang diproduksi dari kayu juvenile mempunyai sifat kekuatan sobek yang rendah dan papan yang dihasilkan dari kayu juvenile juga mempunyai sifat penyusutan tinggi, cepat melengkung dan memiliki kekuatan yang rendah.

B.4. Mata Kayu Mata kayu dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu mata kayu padat (tight knots) dan mata kayu lepas (loose knots). Mata kayu padat disebabkan karena adanya cabang hidup yang terbenam dalam batang sedagkan mata kayu lepas diakibatkan oleh cabang yang mati atau mata kayu yang muncul akibat cambium yang terbuka pada batang. Produk kayu dengan mata kayu sehat dan mata kayu lepas dapat dilihat pada Gambar 5.

39

Gambar 5. Mata kayu pada permukaaan produk kayu

Persentase mata kayu yang tinggi akan menghasilkan pulp berkualitas jelek, butuh bahan pemutih (bleaching) yang tinggi dan kertas yang dihasilkan tidak kuat. Kandungan ekstraktif yang tinggi pada mata kayu juga tidak diinginkan karena akan menghasilkan papan dengan kekuatan yang rendah dan kayu lapis yang tidak stabil (Zobel, 1984).

B.5. Bentuk batang Bentuk batang adalah salah satu komponen penentu volume pohon, selain diameter dan tinggi pohon. Bentuk batang diantaranya dapat digambarkan oleh angka bentuk (form factor) dan taper. Bentuk batang dinilai dari pangkal batang sampai tinggi bebas cabang. Diukur panjang batang yang lurus dan silindris dari

40

pangkal batang/permukaan tanah. Taper adalah pengurangan atau semakin mengecilnya diameter batang dari pangkal hingga ke ujung. Chapman dan Meyer (1949) dalam Muhdi (2003) menyatakan bahwa taper merupakan resultante dimensi pohon yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan tinggi dan diameter pohon. Makin besar angka taper suatu batang pohon makin rendah rendemen bila dibuat kayu lapis dan papan gergajian. Bentuk batang ditentukan oleh faktor genetik (inheritance), tetapi dapat mengalami perubahan karena adanya faktor dari luar seperti lingkungan dan perlakuan silvikultur. Lingkungan dan perlakuan silvikultur dapat mempengaruhi fisik, ukuran dan bentuk tajuk pohon.

B.6. Kerapatan

Kerapatan kayu adalah perbandingan antara massa kayu dengan volume kayu pada kondisi tertentu. Kerapatan kayu menggambarkan massa dari dinding sel kayu tersebut pada volume tertentu. Sifat ini dipengaruhi adanya kayu awal dan kayu akhir, zat ekstraktif, laju pertumbuhan dan proporsi dan tipe sel penyusun kayu. Pada kayu daun lebar tata lingkar, kerapatan meningkat seiring dengan laju pertumbuhan, sedangkan pada kayu daun lebar tata baur dan beberapa kayu daun jarum korelasi kerapatan dengan laju pertumbuhan tidak nampak. Pada kayu daun jarum yang mempunyai lingkaran tahun yang jelas, laju pertumbuhan yang meningkatkan akan menurunkan kerapatan, karena keberadaan kayu awal. Kayu dengan kerapatan yang tinggi akan lebih kuat untuk digunakan sebagai kayu konstruksi. Kerapatan tinggi juga akan menghasilkan pulp per satuan massa yang tinggi dibanding kayu yang mempunyai kerapatan yang rendah.

41

B.7. Panjang Serat Pertumbuhan yang dipercepat akan menghasilkan panjang trakeid pada kayu daun jarum menjadi pendek, sebaliknya pada kayu daun lebar, pertumbuhan yang dipercepat akan menghasilkan panjang serat yang panjang. Perlakuan silvikulture di lapangan dan faktor genetik akan mempengaruhi panjang pendeknya serat. Kayu sebagai bahan baku pulp sangat membutuhkan kayu berserat panjang. Semakin panjang serat, sudut mikrofibrilnya makin kecil sehingga kestabilan dari kayu tersebut akan semakin stabil, cocok untuk bahan baku konstruksi.

B.8. Arah Serat Percepatan pertumbuhan dengan perlakuan silvikultur yang intensif (terutama irigasi) cenderung mengurangi terjadinya serat terpilin (Wahyudi, 2009). Pemangkasan di awal periode pertumbuhan juga cenderung menekan terjadinya serat terpilin

C. PERLAKUAN SILVIKULTUR

Silvikultur adalah model untuk menciptakan dan memelihara berbagai tipe hutan dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya secara objektif baik itu sebagai pemilik maupun sebagai pemerintah atau cara penanganan hutan dengan pengetahuan tipe hutan, bagaimana pohon tumbuh, bereproduksi, dan perubahan terhadap lingkungan yang dimodifikasi dalam praktek untuk menghasilkan nilai ekonomi (Daniel et al 1979 ; Smith et al 1997). Peran silvikultur dalam pengelolaan hutan adalah kontrol pembentukan, pertumbuhan, komposisi dan kualitas vegetasi hutan (Daniel et al 1979). Peranan ini sangat penting tergantung dari tujuan akhir

42

pengelolaan suatu tegakan. Perlakuan silvikultur dan pengaruhnya terhadap sifatsifat kayu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan Silvikultur dan Sifat-sifat Kayu yang Dipengaruhi Perlakuan silvikultur Jarak tanam Sifat-sifat kayu yang dipengaruhi berat jenis, kayu juvenile, mata kayu dan taper Penjarangan berat jenis, kayu juvenile, kayu reaksi, mata kayu dan taper. Pemupukan berat jenis, keseragaman lingkaran tahun, kayu jevenil, mata kayu, panjang serat, dan komposisi kimia. Irigasi berat jenis, keseragaman lingkaran tahun, kayu jevenil, mata kayu, panjang serat dan orientasi serat Pemangkasan mata kayu, taper dan orientasi serat.

Jarak tanam yang lebar menghasilkan pohon-pohon yang berdiameter besar, tajuk yang terus menerus tumbuh dan volume per hektar kecil (Goudie 2002 ; DeBell,Curtis 2003) sehingga perlu kombinasi antara jarak tanam yang lebar dengan pemangkasan. Jarak tanam yang rapat akan mencegah pembentukan cabang-cabang besar dan mengurangi besarnya ukuran mata kayu (Chauhan 2006). Sifat mekanika kayu akan berubah dengan perlakuan jarak tanam karena perubahan kerapatan, hasil penelitian Elliss (1998), menunjukkan nilai MOR akan berkurang 16 % dan nilai MOE akan berkurang 12 % (Goudie 2002).

43

Perlakuan penjarangan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan panjang rotasi, meningkatkan ukuran mata kayu akibat dari pengaruh tajuk (Chaucan 2006). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yunianti (2002) penjarangan mempengaruhi diameter serat dan kandungan lignin pada tegakan Acacia mangium setelah 11 bulan dijarangi. Hasil penelitian Heriansyah et al (2007) menunjukkan kerapatan kayu pada tegakan yang tidak dijarangi lebih tinggi dibanding pada tegakan yang dijarangi. Proporsi dari biomassa batang pada tegakan yang dijarangi cenderung konstan selama periode penjarangan dan setelah itu agak meningkat seiring dengan umur sedangkan biomass daun menurun. Pada tegakan yang tidak dijarangi proporsi biomassa batang meningkat seiring dengan umur sedangkan biomassa daun menurun secara drastis ketika terjadi persaingan pada umur muda tetapi relatif menjadi konstan setelah itu. Perlakuan pemupukan akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, berat jenis, perubahan kayu awal ke kayu akhir, kayu juvenile, ukuran dan keberadaan mata kayu, panjang serat dan komposisi kimia (DeBell,Curtis 2003). Pemupukan meningkatkan kecepatan pertumbuhan sehingga meningkatkan pertumbuhan tajuk dan pembentukan cabang yang terus menerus sehingga meningkatkan jumlah kayu reaksi dan jumlah dan ukuran cabang. Adanya irigasi akan mempengaruhi berat jenis, lingkaran tahun, kayu juvenile, mata kayu, panjang serat dan orientasi serat. Perlakuan pemangkasan akan mengurangi jumlah dan ukuran mata kayu, bentuk batang, orientasi serat dan mempercepat perubahan dari kayu juvenile ke kayu dewasa (DeBell et al 2002 ; DeBell,Curtis 2003). Salah satu contoh misalnya kayu jati, dikatakan mempunyai kualitas yang baik jika memiliki kayu yang lurus. Untuk mendapatkan kayu yang lurus adalah dengan pemilihan bibit unggul. Perkembangan teknologi khususnya dalam bidang rekayasa genetik (Pemuliaan Pohon / Tree Improvement) telah menghadirkan jati varietas unggul. Jati yang dihasilkan diharapkan memiliki keunggulan komparatif berdaur pendek ( 15 tahun), sedikit cabang, batang lurus dan silindris. Kenyataan di lapangan

kadangkala 44

tanaman jati dari bibit yang unggul memiliki cabang sehingga untuk memaksimalkan hasil panen nantinya perlu dilakukan penebangan pada cabang-cabang atau ranting tanaman jati tersebut (Anonim 2006). Pemotongan cabang secara berkala dilakukan agar tanaman jati pada usia muda dapat berkembang pada satu batang saja, sehingga pertumbuhan keatas dapat dipercepat sehingga batang yang dihasilkan dapat lurus (tidak bercabang). Beberapa penyebab utama penurunan kualitas kayu akibat percepatan pertumbuhan adalah ukuran dan frekuensi mata kayu, kayu reaksi dan serat terpuntir (Daniel et al 1979) dan meningkatnya periode kayu juvenil. Kayu juvenil umumnya mempunyai kerapatan yang rendah, panjang serat yang pendek, perbandingan antara lignin dan sellulose tinggi, sudut mikrofibril yang besar sehingga sifat mekanikanya yang rendah, papan yang dihasilkan penyusutannya tinggi, melengkung dan rendemen pulp yang dihasilkan rendah (Goudie 2002; DeBell,Curtis 2003 ). Berat jenis merupakan sifat kayu yang sangat penting dalam penggunaan kayu. Pohon-pohon yang pertumbuhannya dipercepat akan mempunyai berat jenis yang berbeda dengan pohon yang tumbuh alami pada jenis dan lokasi yang sama. Tetapi beberapa penelitian terdahulu menyatakan berat jenis tidak dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan (DeBell et al 2002; Koga,Zhang2002 ; Bowyer et al 2003).

D. BAHAN DISKUSI 1. Pengaruh tindakan silvikultur terhadap kualitas kayu 2. Pertumbuhan pohon yang dipengaruhi oleh tindakan silvikultur 3. Indikator kualitas kayu dan hubungannya berdasarkan penggunaan sebagai konstruksi, serat, komposit dan energi.

45

E. BAHAN PENGAYAAN
Effects of Intensive Forest Management on Wood Quality of Loblolly Pine Alexander Clark III and Richard F Daniels
1 2 1 2

Wood Scientist, USDA Forest Service, Southern Research Station, Athens, GA Professor, Warnell School of Forest Resources, University of Georgia, Athens, GA

Intensive forest management practices are being applied to improve growth and profitability of plantation grown southern pines, but minimal attention is being paid to the impact of intensive cultural practices on wood quality. In order for the southern pine industry to maintain its competitive position in the global market it must produced wood from intensively managed plantations with the properties required meet product standards. Young fast growing plantation southern pines contain large volumes of juvenile wood. Juvenile wood is characterized as having low specific gravity, short trachieds, large microfibril angles, and low strength and stiffness compared to mature wood. To determine the effect of intensive forest management on loblolly pine (Pinus teada L.) wood quality the Wood Quality Consortium has sampled replicated silvicultural studies across the south METHODS AND RESULTS The effect of controlling competing vegetation for the first 3 to 5 years after planting on annual growth, specific gravity, and length of juvenility was examined by sampling the Auburn University Silvicultural Herbicide Cooperative COMP study (Miller et al, 1991). The study was sampled at age 15 at 13 locations across the south. Results show that controlling woody plus herbaceous competition did significantly increase growth, did not significantly reduce ring specific gravity and did not significantly affect the proportion of latewood in the annual ring (Clark et.al, 2006). Woody plus herbaceous competition control did significantly increase growth during juvenile wood formation at breast height in years 1 to 5 and thus increased the diameter of the juvenile wood core by an average of 19 percent. The long-term impact of site preparation, competition control,

46

fertilization and competition control plus fertilization at planting was examined at four installations of the Regionwide 7 Study (NCSFNC, 1996). The study was established in 1978 to 1981 by the North Carolina State Forest Nutrition Cooperative and sampled in 2002. Fertilization (49 Kg N per hectare plus 56 Kg P per hectare) was applied at planting and weed control was applied for two years after planting. Results show individual tree volumes were increased up to 33 percent by competition control plus fertilization compared to site preparation only. Competition control for two years after planting plus fertilization at planting did not significantly affect wood specific gravity, proportion of latewood or wood strength or stiffness (Mora, et al, 2006). The effect of intensive site preparation, annual vegetation control, annual high rates of nitrogen fertilization (168 Kg ammonium nitrate/hectare/year) on tree growth and wood properties was examined by sampling a long term monitoring study at age 12. The study was established in 1987 in the Coastal Plain and in 1988 in the Piedmont of Georgia by the University of Georgia Consortium for Accelerated Pine Production (Borders and Bailey 2001). In response to annual intensive cultural treatments, growth increased 270 percent in the Coastal Plain and 158 percent in the Piedmont compared to the intensive mechanical site preparation treatment. Annual ring earlywood specific gravity was not affected by treatments, but annual ring latewood specific gravity was significantly reduced in annually fertilized and herbicide plus annually fertilized trees (Clark et al, 2004). Annual heavy fertilization alone or in combination with vegetation control significantly reduced toughness, strength and stiffness of juvenile wood. To examine the effect of different levels of nitrogen fertilization at mid-rotation on wood properties the North Carolina State Forest Nutrition Cooperative Regionwide 13 Study installation near New Bern, NC was sampled in 2003 (NCSNC, 1997). The study trees were planted in 1970 and thinned in 1983 to 605 TPH and fertilizer treatments were applied in the spring of 1984. The fertilization treatments sampled include: 28 Kg P per hectare (control), 112 Kg N + 28 Kg P per hectare; 224 Kg N + 28 Kg P per hectare, and 336 Kg N + 28 Kg P per hectare. Results show that increased levels of N increased annual growth for 3 to 4 years after treatment. Increased levels of N fertilization did not

47

significantly affect the proportion of latewood in the annual ring but did significantly decrease the specific gravity of the latewood. 112 and 224 kilograms of N fertilizer per hectare did not significantly reduce wood specific gravity, strength or stiffness but 336 Kg of N per hectare at mid-rotation resulted in a significant reduction in wood specific gravity, strength and stiffness in wood formed 2 to 3 years after fertilization. A 20 year old unthinned spacing study was sampled to determine the effect of initial planting density on tree growth and wood properties. The study was established in the Coastal Plain of Georgia in1984 on an excellent site (SI=27 meters base age 25) with loblolly pine family 7-56 seedlings. Seven planting densities (1.8 x 2.4-, 1.8 x 3.0-, 1.8 x 3.7-, 2.4 x 3.0-, 2.4 x 3.7-, 3.0 x 3.7-, 3.7 x 3.7- meters) were sampled. Twenty one trees per spacing were felled, all branches were measured and trees were destructively sampled for wood properties. Tree survival increased with increased spacing and ranged from only 65 percent survival at age 20 for the 1.8 x 2.4 meters spacing to 90 percent survival for the 3.0 x 3.7- and 3.7 x 3.7- meter spacings. Stem taper as measured by Girard form class increased from an average of 75 for the 1.8 x 2.4-meters spacing to 78 for 2.4 x 3.7-meter spacing and then decreased to an average of 76 in the 3.7 x 3.7 feet spacing. Tree average dbh increased with increased spacing and ranged from 24.1 centimeters in the 1.8 x 2.4 meter spacing to 29.7 centimeters in the 3.7 x 3.7 meter spacing. Average total height increased only slightly with increased spacing ranging from 25 meters in the 1.8 x 2.4 meter spacing to 26 meters in the 3.7 x 3.7 meter spacing. However, the height of the sawlog merchantable stem to a 15.2 centimeter dob top increased significantly with increased spacing. Sawlog merchantable height averaged 12 to 13 meters in the 1.8 x 2.4-, 1.8 x 3.0-, 1.8 x 3.7- and 2.4 x 3.0- meter spacings compared to 15- to 16- meters in the 2.4 x 3.7-, 3.0 x 3.7- and 3.7 x 3.7-meter spacings. Total merchantable stem biomass/hectare was highest in the 1.8 x 3.7-, 2.4 x 3.7- and 2.4 x 3.0-meter spacings. Estimated volume of lumber/hectare was highest in the 2.4 x 3.7meter spacing, slightly lower in the 3.0 x 3.7- and 3.7 x 3.7- meter spacings and lowest in the 1.8 x 2.4 meter spacing. Average knot diameter per 4.9 meter sawlog did not increase with increased spacing but average number of knots and average maximum

48

knot diameter per sawlog increased with increased spacing. The diameter of knots on the side of the stem within the row and between rows did not vary significantly. Initial planting density did not significantly affect annual ring specific gravity or the proportion of latewood in the annual ring. Initial spacing did not significantly affect wood strength or stiffness. SUMMARY Based on the studies sampled competition control and competition control plus fertilization at planting can significantly increase growth with no significant effects on wood properties. However, heavy annual fertilization or heavy mid-rotation fertilization with 336 Kg N or more per hectare can significantly reduce latewood specific gravity and thus significantly reduce wood stiffness and strength. Average knot diameter, wood specific gravity, strength or stiffness did not vary significantly with initial planting densities ranging form 1.8 x 2.4- to 3.7 to 3.7- meters on an excellent site in the Coastal Plain. Initial planting densities of 2.4 x 3.7-, 3.0 x 3.7-, 3.7 x 3.7- meters per hectare yielded the highest volume of lumber per hectare at age 20 from unthinned loblolly pine stands . REFERENCES Borders, B.E. and R.L. Bailey. 2001. Pushing the limits of growth. Southern Journal of Applied Forestry. 25(2):69-74. Clark, A., R.F. Daniels, and J. H. Miller. 2006. Effect of controlling herbaceous and woody competing vegetation on wood quality of planted loblolly pine. Forest Products. Journal. 56(2):40-46 Clark, A. and B. Borders, R. F. Daniels 2004 Impact of vegetation control and annual fertilization on wood properties of loblolly pine at age 12. Forest Products Journal 54(12):90-96 Miller, J.H., B.R. Zutter, S.M. Zedaker, M.B. Edwards, and R.A. Newbold. 1991. A regional study on the influence of woody and herbaceous competition on early loblolly pine growth. Southern Journal of Applied Forestry 15(4):169-179.

49

Mora, C. R., H.L. Allen, R. F. Daniels, and A. ClarkIII 2006. Wood properties response to early intensive silviculture in loblolly pine. Canadian Journal, Forest Research (in press) NCSFNC, 1996. Effects of site preparation and early fertilization and weed control on 14-year loblolly pine growth. NCSFNC Report No. 36. North Carolina State Forest Nutrition Cooperative. Department of Forestry. North Carolina State University. Raleigh, NC. 35 p. NCSFNC, 1997. Ten-year growth and folia responses of midrotation loblolly pine plantations to nitrogen and phosphorus fertilization. NCSFNC Report No. 39. North Carolina State Forest Nutrition Cooperative. Department of Forestry. North Carolina State University. Raleigh, NC. 29 p.

F. LATIHAN SOAL-SOAL 1. Buatlah satu definisi kualitas kayu untuk suatu tujuan penggunaan tertentu 2. Buatlah bagan hubungan antara perlakuan silvikultur dengan kualitas kayu 3. Buatlah suatu rancangan penanaman dan pemeliharaan di lapangan untuk menghasilkan kayu bagi tujuan konstruksi, industri serat, papan komposit, dan energi.

50

BAB IV VARIABILITAS SIFAT DASAR KAYU

Tujuan Umum : Secara umum Bab ini bertujuan untuk menjelaskan keragaman sifat-sifat kayu antar pohon, antar pohon dalam satu jenis, dan antar bagian dalam satu pohon serta factor-faktor yang mempengaruhinya. Tujuan Khusus : Secara khusus, Bab ini bertujuan memberikan kemampuan pada mahasiswa untuk menjelaskan variasi sifat dalam arah vertikal dan horizontah kayu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, mahasiswa dapat (1) menghitung dimensi serat dan kerapatan beberapa jenis kayu pada arah horizontal (pith ke kulit) dan arah vertikal (pangkal ke ujung), (2) menguraikan variabilitas yang terjadi dalam hubungannya dengan kondisi pohon, lingkungan dan perlakuan silvikultur yang diberikan.

Kayu berasal dari berbagai macam jenis pohon yang memiliki sifat-sifat yang berbeda. Bahkan dalam satu pohon, kayu memiliki sifat yang berbeda. Perubahan sifat-sifat ini karena adanya aktifitas fisiologis kambium vascular yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (Panshin and de Zeeuw, 1980) : 1. Umur atau perubahan karena umur yang terjadi dalam kambium 2. Faktor genetik yang menyebabkan adanya variasi antar jenis pohon 3. Faktor lingkungan (curah huajn, suhu, kesuburan tanah dan perlakuan silvikultur). Perlakuan silvikultur mempengaruhi persediaan air dan nutrisi pada kambium. Faktor ini mempengaruhi variasi dalam maupun antar pohon yang dapat menimbulkan modifikasi dalam pola-pola dasar variasi kayu secara individual, tetapi masih dalam batas kemampuan genetis pohon.

51

Menurut Tsoumis (1991) ; Chauhan et al (2006) variasi sifat-sifat pada kayu, bervariasi di dalam lingkaran tahun, bervariasi di dalam pohon, antara pohon pada tempat tumbuh yang sama, antara populasi yang sama genotipnya yang tumbuh pada daerah yang berbeda. Secara umum variasi yang terjadi di dalam pohon pada arah horizontal (pith ke kulit) dan arah vertikal (pangkal ke ujung). Variabilitas sifat kayu banyak dipengaruhi antara lain oleh umur kayu. Ada tiga periode yang kita kenal yaitu (1) juvenile or immature, (2) adult or mature dan (3) senescent or overmature. Ketiga periode ini sangat susah didefenisikan karena bervariasi tergantung jenis kayu. Pengaruh umur akan terjadi variasi karena perubahan dari kayu gubal menjadi kayu teras, kayu juvenile ke kayu dewasa. Berikut ini akan diuraikan variasi pada arah horizontal dan vertikal akibat perubahan umur, lingkaran tumbuh, kayu awal dan kayu akhir serta kayu juvenile dan kayu dewasa.

A. VARIASI ARAH HORIZONTAL

Di dalam bagian dari pith ke kulit pada beberapa ketinggian, karakteristik struktur mempunyai pola yang umum. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa struktur lingkaran tumbuh, dimensi sel (panjang, diameter, tebal dinding sel), ultrastruktur (sudut mikrofibril, derajat kristalin), dan kandungan sellulosa dan lignin berubah dengan cepat pada jumlah lingkaran tumbuh tertentu dan pada saat mencapai titik tertentu meningkat atau menurun.

A.1. Dimensi Serat Orang pertama yang melakukan penelitian panjang serat pada arah horizontal adalah Sanio pada tahun 1872 (Tsoumis 1991). Sanio telah menemukan pola panjang trakeid dalam batang, akar dan cabang Pinus sylvestris L. Ia menemukan (Panshin, de Zeeuw, 1980) dalam arah melintang batang dan cabang, panjang trakeid dekat

52

hati adalah terpendek, bertambah dengan cepat pada tahun-tahun permulaan pertumbuhan, akhirnya mencapai panjang maksimum kemudian konstan pada saat pohon menjadi dewasa. Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan panjang trakeid (0,5-1.5 mm) dan panjang serat (0,1-1,0 mm) sangat pendek pada lingkaran tumbuh awal pertumbuhan dan meningkat 3-5 kali lebih panjang pada kayu daun jarum. Pada kayu daun lebar kebanyakan dua kali pada beberapa jenis. Variasi panjang trakeid dalam arah horizontal dapat terjadi antara peralihan dari bagian kayu awal ke kayu akhir dan variasi panjang trakeid dari pith ke beberapa lingkaran tahun ke arah kulit. Variasi panjang serabut/trakeid dari kayu awal ke kayu akhir dipengaruhi oleh sifat peralihan dari kayu awal ke kayu akhir. Pada kayu daun jarum peralihan yang mendadak antara kayu awal ke kayu akhir menghasilkan suatu puncak yang tajam yang disebabkan oleh trakeid yang panjang pada bagian kayu akhir seperti pada Pseudotsuga menziesii (Gambar 6). Peralihan yang berangsur-angsur dari kayu akhir ke kayu awal menghasilkan diagram panjang trakeid yang mirip gigi gergaji bundar. Pola ini antara lain terdapat pada Pinus radiata yang ditanam di Australia.

Gambar 6. Variasi Panjang Trakeid pada peralihan yang mendadak antara kayu awal ke kayu akhir.

53

Variasi panjang trakeid dari pith ke beberapa lingkaran tahun ke arah kulit dapat dilihat pada Gambar 7 (a). Kayu daun lebar yang berpori tata lingkar variasi panjang serat menunjukkan pertambahan panjang yang cepat pada kayu awal ke kayu akhir demikian juga dari pith ke kulit (Gambar 7b). Kayu yang berpori tata baur tidak menunjukkan adanya variasi panjang serat pada peralihan kayu awal ke kayu akhir demikian juga dari pith ke kulit (Gambar 7 c).

Gambar 7. Variasi Panjang Trakeid pada kayu daun jarum (a), panjang serat pada kayu daun lebar tata lingkar (b), kayu daun lebar tata baur (c).

54

Panjang serat yang konstan pada umur dewasa tedapat pada pohon Caryo ovata, Eucalyptus regnans, Picea abies, Pinus densiflora, P. radiata, P. taeda, P. elliottii, P. merkusii dan Sequoia sempervirens, Larix spp (Pandit, 2006). Panjang serat yang terus naik pada umur dewasa antara lain Liriodendron tulipifera, Picea sitchensis, P. ponderosa, P. resinosa, P. strobes, P. taeda dan Thuja plicata. Variasi diameter serat dan tebal dinding sel pada lingkaran tahun dari pith ke kulit dapat dilihat pada Gambar 8. Kecenderungan memperlihat diameter serat dan tebal dinding sel akan meningkat dari pith ke kulit. Kecenderungan ini telah diteliti pada Fraxinus pennsylvanica, Picea sitchensis, Pinus resinosa dan Pinus echinata. Pada umumnya tebal dinding sel kayu awal dari hati ke kulit naik 15 % dalam periode 30 tahun, kecuali P. resinosa kenaikan tebal dinding sel naik 30 % dalam periode 30 tahun.

Gambar 8. Variasi Tebal dan Diameter Dinding Sel pada Lingkaran Tahun

55

Penyebab terjadinya perubahan panjang sel dalam arah radial didasarkan oleh pendewasaan atau perubahan-perubahan umur pada inisial kambium dan sel-sel induk xylem. Kecepatan tumbuh juga mempengaruhi pertambahan panjangnya selsel inisial kambium. Pertumbuhan yang cepat akan menghambat pertambahan pertumbuhan panjang sel-sel inisial kambium pada tahun-tahun permulaan kegiatan kambium dan menunda waktu terbentuknya panjang sel yang maksimum. Perubahan tebal dinding sel pada kayu awal ke kayu akhir adalah tergantung banyaknya hasil fotosintesis yang diterima. Pada awal musim tumbuh persaingan antara pertumbuhan panjang intermodal, produksi daun dan pembentukan sel-sel xylem dan floem sekunder adalah sangat besar, kambium hanya memperoleh sedikit hasil fotosintesis sehingga dinding sel yang terbentuk tipis. Sesudah perkembangan tajuk selesai, jumlah hasil fotosintesis dalam kambium semakin besar sehingga dinding sel yang terbentuk menjadi tebal dan maksimum pada bagian-bagian akhir dari musim tumbuh.

A.2. Kerapatan

Kerapatan dari Araucaria sp dan kayu daun lebar tata baur, memperlihatkan perbedaan kerapatan yang sangat menyolok pada lingkaran tumbuh. Hal ini disebabkan oleh variasi iklim dan pembentukan kayu akhir. Variasi kerapatan pada satu lingkaran tumbuh melebihi variasi kerapatan yang terjadi antar pohon. Sebagai contoh variasi yang sangat ekstrim antara kayu akhir (870 kg/m3) dan kayu awal (170 kg/m3) pada Douglas fir atau kayu akhir (900 kg/m3) dan kayu awal (300 kg/m3) pada Pinus palustris (Panshin and de Zeeuw, 1980 ; Walker, 2006). Variasi kerapatan di dalam lingkaran tahun dan antara lingkaran tahun dapat di lihat pada Gambar 9.

56

Gambar 9. : Variasi kerapatan dasar di dalam dan antar lingkaran tumbuh dengan jarak dari pith ke luar pada Douglas fir.

Variasi kerapatan erat hubungannya oleh interaksi antara tebal dan diameter sel, proporsi dinding sel yang berada pada lapisan S2, jumlah sellulosa di dalam kayu (hubungan dengan umur) dan sudut microfibril pada lapisan S2. Kayu tekan yang mempunyai sudut mikrofibril yang besar, kerapatan meningkat dibandingkan kayu normal pada umur dan ketinggian yang sama. Kerapatan dasar suatu kayu berhubungan dengan jumlah bahan (kayu) kering per unit volume (kondisi basah).

57

Hasil penelitian Wilson dalam (Pandit 2006) memperlihatkan perbandingan antara kerapatan kayu awal dan kayu akhir adalah 4-5 berbanding satu. Perubahan tebal dinding sel kayu awal dan kayu akhir dalam satu riap tidak sebesar diameter sel. Pertambahan ketebalan dinding sel 1-2 kali kayu awal ke kayu akhir adalah normal. A.3. Sudut Mikrofibril Menurut Chauhan et al, (2006) variasi sudut mikrofibril pada lapisan S2. Sudut mikrofibril umumnya besar pada lingkaran tumbuh dekat pith kemudian menurun beberapa lingkaran kearah luar kemudian konstan besarnya pada Pinus radiate (Gambar 10). Mikrofibril berkorelasi negatif dengan panjang trakeid/serat artinya makin panjang sel makin kecil sudut mikrofibrilnya.. Pada kayu daun jarum yang panjang trakeidnya cenderung lebih panjang perubahan sudut mikrofibrilnya lebih besar (550-200) dibanding kayu daun lebar (280-100). Derajat kristalinitas meningkat secara significant pada lingkaran tumbuh hemlock (Tsuga heterophylla) dari pith ke kurang lebih lingkaran tumbuh ke 15, setelah itu meningkat atau menurun secara konstan (Tsoumis, 1991).

Gambar 10. Variasi Sudut Mikrofibril dari Pith pada Pinus radiata

58

A.4. Komponen kimia kayu Kandungan sellulosa pada Douglas-fir dan beberapa jenis dari kayu daun jarum yang diteliti menunjukkan meningkat dari pith ke luar, mengikuti pola secara umum panjang trakeid (Tsoumis 1991). Kandungan lignin berlahan-lahan menurun pada beberapa bagian. Pada lingkaran tumbuh bagian luar pohon yang berumur tua ditemukan kandungan sellulosa yang lebih tinggi dan kandungan lignin yang rendah pada kayu akhir dibandingkan kayu awal pada riap yang sama. Misalnya pada Pinus resinosa kayu awal mempunyai lignin 2-3 % lebih tinggi daripada kayu akhir (Panshin and de Zeeuw, 1980 ; Pandit, 2006). Variasi kandungan holosellulose pada kayu awal berkisar 72,5 % sampai 73,5 % pada kayu awal dan 74,5 % sampai 78 % pada kayu akhir untuk jenis Pseudotsuga menziesii dan Pinus resinosa. Pada beberapa kayu daun jarum, kandungan sellulosa pada kayu akhir tidak hanya lebih tinggi tetapi derajat polimerisasi, kerapatan dan derajat kristalinitasnya juga tinggi (Panshin and de Zeeuw, 1980).

A.5. Kekuatan dan Elastisitas Sifat fisik kayu erat hubungannya dengan dimensi serat, sudut mikrofibril, derajat kristalinitas dan ratio antara lignin dan sellulosa. Pada kayu daun jarum dan daun lebar (Tsoumis, 1991) MOR dan MOE meningkat dari pith ke arah luar sejalan dengan panjang trakeid/serat, berat jenis dan berbanding terbalik dengan sudut mikrofibril.

B. VARIASI ARAH VERTIKAL

Variasi ke arah vertikal dalam satu jenis pohon dapat dilihat dari pangkal menuju ujung pohon. Variasi arah vertikal dapat diketahui dengan jelas karena setiap perbedaan ketinggian akan berbeda struktur pada setiap lingkaran tumbuh. Sehingga variasi pada arah vertikal tidak sesederhana variasi pada arah horizontal.

59

B.1. Dimensi Serat

Panjang trakeid di dalam lingkaran tahun yang sama meningkat dari pangkal ke atas pada jarak tertentu, setelah mencapai maksimum menurun ke arah ujung pohon, dimana panjang trakeid lebih pendek dari pangkal (Gambar 11). Pola ini ditemukan Sanio pada Scots pine. Panjang serat kayu sepanjang riap ke lima puluh jenis Eucalyptus regnans, pada bagian pangkal antara 1-1,1 mm pada ketinggian 50 ft kemudian panjang serat naik sampai mencapai maksimum 1,35 mm, di atas ketinggian 50 ft panjang serat menurun dengan cepat sampai mencapai 0,8 mm pada ujung pohon (Panshin and de Zeeuw, 1980).

Gambar 11. Variasi Panjang Serat Arah Vertikal dan Horizontal pada Eucalyptus regnans

60

B.2 Kerapatan

Variasi kerapatan pada arah vertikal terdapat tiga pola yang umum yaitu : 1. Kerapatan menurun dari pangkal ke puncak, contohnya kayu daun jarum (Pinus), Picea abies, pseudotsuga menziesii, Tsuga heterophylla. Pada kayu daun tidak lasim ditemukan pola ini kecuali pada Acer nigrum dan A. saccharinum. 2. Kerapatan menurun di bagian pangkal kemudian naik di puncak, contohnya kayu daun jarum (P. constanta dan P. strobus) dan kayu daun lebar ( Liriodendron tulipifera dan Tectona grandis) 3. Naik dari pangkal ke ujung dengan pola yang seragam, Pola ini banyak terdapat pada kayu daun lebar dan merupakan modifikasi dari pola yang pertama karena adanya mata kayu. Contoh pada kayu daun lebar (Fagus sylvatica, Farxinus penusylvanica, Nyssa aquatic, Liquidambar styraciflua, Quercus falcate) dan kayu daun jorum (Picea sitchensisi dan Thuja plicata)

Variasi kerapatan dari pangkal ke ujung pada beberapa penelitian menunjukkan pola yang berbeda, misalnya pada Pinus resinosa yang tumbuh di hutan alam,kerapatannya berkurang dari pangkal ke ujung tetapi pada hutan tanaman kerapatannya naik dari pangkal keujung atau berkurang pada bagian pangkal dan naik pada bagian ujung batang (Gambar 12). Variasi ini sangat tergantung pada tipe dan proporsi sel yang menyusun bagian pohon.

61

Gambar 12. Variasi Kerapatan di dalam Pohon Radiata Pine. (a). Kerapatan dasar di atas pada Pohon Tua sama dengan Pohon 10 Tahun, (b) Kerapatan dasar meningkat seiring dengan umur,(c) Kerapatan basah tertinggi di Ujung Batang dimana Kerapatan Dasarnya Terendah

62

C. BAHAN DISKUSI

1. Variasi vertikal sifat-sifat kayu 2. Variasi horizontal sifat-sifat kayu 3. Variasi dan kualitas kayu hubungannya dengan kondisi pohon, lingkungan dan perlakuan silvikultur yang diberikan

D. BAHAN PENGAYAAN Kellomki, S., Ikonen, V.-P., Peltola, H. and Kolstrm, T. 1999. Modelling the structural growth of Scots pine with implications for wood quality. Ecological Modelling 122:117-134. Ikonen, V.-P., Kellomki, S. and Peltola, H. 2003. Linking tree stem properties of Scots pine (Pinus sylvestris L.) to sawn timber properties through simulated sawing. Forest Ecology and Management 174:251-263. Ikonen, V.-P., Kellomki, S., Visnen, H. and Peltola, H. 2006. Modelling the distribution of diameter growth along the stem in Scots pine. Trees 20:391-402.

E. LATIHAN SOAL-SOAL Buatlah suatu grafik variasi sifat kayu pada arah horizontal berdasarkan hasil praktikum laboratorium dengan menghitung dimensi serat dan kerapatan beberapa jenis kayu pada arah horizontal (pith ke kulit) dan arah vertikal (pangkal ke ujung).

63

BAB V SYARAT KUALITAS PRODUK HASIL HUTAN

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran syarat-syarat kualitas untuk berbagai produk hasil hutan. Tujuan Khusus : Secara khusus, Bab ini bertujuan untuk memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk dapat menganalisa persyaratan kualitas kayu untuk berbagai macam produk kehutanan seperti syarat kualitas kayu gergajian, penghasil serat, produk komposit dan penghasil energi.

A. PENGENALAN SIFAT-SIFAT KAYU Penggunaan kayu untuk tujuan tertentu, memerlukan pengetahuan yang mendasar mengenai sifat-sifat kayu tersebut. Sifat-sifat ini sangat penting dalam industri pengolahan hasil hutan, sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk diversifikasi jenis dan produk sehingga tidak hanya dari jenis tertentu yang dipakai tetapi bervariasi mengingat makin langkanya ketersediaan kayu di alam. Sifat-sifat kayu ada yang bersifat makroskopis, mikroskopis, ultrastruktur bahkan dengan kemajuan tehnologi saat ini secara nanostruktur dapat diketahui. Ciri-ciri makroskopis kayu (Panshin, de Zeeuw, 1980) adalah riap pertumbuhan, bidang potongan pada kayu, kayu gubal dan kayu teras, warna dalam kayu, kilap, bau dan rasa, serat dan tekstur, berat kayu, kekerasan, ciri-ciri anatomis kayu yang penting dalam pengenalan dan gambar pada kayu. Sedangkan ciri mikroskopis dan ultrastruktur kayu antara lain adalah dimensi serat, proporsi dan tipe sel penyusun kayu, komponen kimia penyusun dinding sel, sudut mikrofibril dan derajat kristalin pada lapisan S2 dinding sel sekunder. 64

Sifat-sifat kayu, baik makroskopis, mikroskopis maupun ultrastuktur telah banyak dibahas dalam mata kuliah Ilmu Kayu. Pada bagian ini sifat-sifat tersebut perlu diingat kembali, termasuk bagaimana sifat-sifat tersebut dapat bervariasi. Secara umum dapat dijelaskan kembali bahwa pada dasarnya, kayu merupakan biopolimer tiga dimensi yang saling berhubungan satu sama lain, baik secara fisik maupun secara kimia. Dengan demikian kayu yang biasa kita lihat bukanlah benda utuh yang homogen, tetapi tersusun atas sel-sel yang dibentuk secara kimia dengan berbagai sifat, fungsi, dan orientasi. Oleh karenanya, mudah dimengerti bahwa sepotong kayu akan dapat berbeda sifat-sifatnya dengan potongan lainnya seperti dijelaskan pada bab terdahulu. Sifat-sifat tersebutlah yang pada dasarnya sangat menentukan kualitas kayu bagi suatu peruntukan tertentu.

B. SYARAT KUALITAS KAYU Kualitas barang atau produk pada dasarnya mengandung banyak definisi karena sangat ditentukan oleh cara pandang pengguna. Pada Tabel 2 dapat dilihat syarat kualitas kayu untuk sifat tertentu dalam pengolahan kayu dan sifat dasar kayu (Armstrong,2005). Penggunaan kayu secara umum dapat dibagi kedalam empat golongan yaitu penggunaan untuk kayu konstruksi, penggunaan untuk menghasilkan serat, penggunaan untuk papan komposit dan penggunaan kayu untuk energi. Masing-masing tujuan penggunaan memiliki persyaratan tehnis yang berbeda sehingga jenis kayu yang digunakan pun akan berbeda. Dengan demikian diharapkan bahwa pengetahuan akan syarat kualitas kayu dan sifat-sifat penggunaannya perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Pada Tabel 3 dapat dilihat penggunaan kayu untuk tujuan tertentu, dengan persyaratan teknis yang diinginkan oleh pengusaha pengolahan kayu serta jenis kayu yang umumnya dipakai (LitbangDephut, 2008).

65

Tabel 2. Syarat Kualitas Kayu dan Sifat Kayu Wood Property Trait Physical Density/BJ Density/BJ Density/BJ Anatomical microfibril angle cell wall thickness cell wall thickness microfibril angle, cell wall thickness microfibril angle microfibril angle, vessels cell wall thickness Density/BJ cell wall thickness cell wall thickness Density/BJ, growth stress tension wood, cell wall thickness extractives Chemical extractives -

Wood Quality Requirements stiffness Mechanical (strength) strength hardness

distortion

growth stress

lignin

Stability

shrinkage collapse colour

growth stress Density/BJ, growth stress, moisture content sapwood/juvenile wood Density/BJ, heartwood

extractives extractives extractives

Biological durability gluability Manufacturing drying machining stiffness, splits

Log processing

Sumber : www.dpi.qld.gov.au/hardwoodsqld/11872.html

66

Tabel 3. Penggunaan Kayu, Persyaratan Teknis dan Jenis Kayu Tujuan Pemakaian Alat Olah Raga Persyaratan Teknis Kuat. Tidak mudah patah, ringan tekstur halus, serat halus, serat lurus dan panjang, kaku, cukup awet Tekstur halus, berserat lurus, tidak mudah belah, daya resonansi baik Ringan, tekstur halus, warna bersih Berat jenis tinggi Jenis Kayu Agathis, bedaru, melur, merawan, nyatoh, salimuli, sonokeling, teraling Cempaka, merawan, nyatoh, jati, lasi, eboni Jelutung, melur, pulai, pinus Bakau, kesambi, walikukun, cemara, gelam, gofasa, johar, nyirih, rasamala, puspa, simpur Balau, bangkirai, belangeran, cengal,giam, jati, kapur, kempas, keruing, lara, rasamala Kuat, keras, kaku, awet Gathis, benung, jambu, kemiri, sengon, perupuk, pilai, terentang, pinus

Alat Musik

Alat Gambar Arang

Bangunan (Konstruksi)

Kuat, keras, berukuran besar, mempunyai keawetan alam yang tinggi

Bantalan Kereta Api Kuat, keras, kaku, awet Korek Api Kayu bulat berdiameter besar, bulat, bebas cacat, beratnya sedang, cukup kuat (anak korek api), elastic, tidak mudah pecah (kotak) Keras, daya abrasi tinggi, tahan asam, mudah dipaku, cukup kuat Inga, serat lurus, tekstur halur, mudah dikerjakan, mudah dipaku, warna terang, tanpa cacat, dekoratif

Lantai (Parket)

Balau, bangkirai, belangeran, bedaru, bintangur, kempas, ulin Jelutung, pulai, ramin, meranti

Moulding

Patung dan Ukiran Kayu

Serat lurus, keras, tekstur halus, Jati, sonokeling, salimuli, liat, tidak mudah patah dan melur, cempaka, eboni berwarna gelap

67

Pensil

Berat jenis sedang, mudah dikerat, tidak mudah bngkok, warna agak merah, berserat lurus Berat sedang, dimensi stabil, dekoratif, mudah dikerjakan, mudah dipaku. Dibubut, disekrup, dilem dan direkat Tidak mudah pecah, tahan binatang laut Kuat, liat, tidak mudah pecah, tahan binatang laut Kuat, liat, tidak mudah pecah, tahan binatang laut Tidak mudah pecah, Kuat, liat tahan binatang laut Tidak mudah pecah karena getaran mesin,kuat, awet Liat, lunak sehingga tidak merusak logam Kuat menahan angin, ringan, cukup kuat, bentuk lurus Tidak tembus cairan, tidak mengeluarkan bau Kayu bulat berdiameter besar, bulat, bebas cacat, beratnya sedang Kayu bulat berdiameter besar, bulat, bebas cacat, beratnya sedang, dekoratif

Agathis, jelutung, melur, pinus

Perkakas (mebel)

Jati, eboni, kuku, mahoni, rengas, sonokeling, sonokembang, ramin Ulin, kapur Bangkirai, bungur, kapur Bangkirai, bungur, kapur Bangkirai, bungur, meranti merah Ulin, bangkirai, kapur, meranti merah, medang Nangka, bungur, sawo

Perkapalan : Lunas Perkapalan : Gading Perkapalan : Senta Perkapalan : Kulit Perkapalan : Bangunan dan Dudukan Mesin Perkapalan : Pembungkus as baling-baling Tiang Listrik/telepon Tong Kayu (Gentong) Veneer biasa

Balau, giam jati, kulim, lara, merbau, tembesu, ulin Balau, bangkirai, pasang jati,

Meranti merah, meranti putih, nyatoh, ramin, agathis, benuang Jati, eboni, sonokeling, kuku, bongin, dahu, lasi, rengas, sungkai, weru, sonokembang

Veneer mewah

Sumber : Departemen Kehutanan, 2005

68

C. MENENTUKAN KUALITAS PRODUK KAYU Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa kualitas kayu sangat ditentukan oleh tujuan penggunaannya dan oleh karenanya pengadaan produkproduk kayu perlu memperhatikan permintaan konsumen. Dalam hubungan ini, kualitas dapat ditentukan berdasarkan kesesuaiannya yang meliputi kesesuaian spesifikasi, kesesuaian penggunaan, kesesuaian harga, dan kesesuaian pengembangan kebutuhan. Pada kenyataannya, kualitas kayu dapat saja memenuhi satu kesesuaian atau lebih. Dengan demikian, tingkat kualitas kayu dapat dilihat dari pemenuhan satu atau lebih tingkat kesesuaian. Kesesuaian terhadap spesifikasi biasanya ditentukan oleh pengguna. Dalam hal ini, produsen berperan untuk membuat suatu produk yang sesuai dengan lembar spesifikasi yang ditentukan. Kesesuaian spesifikasi ini tidak dapat lahir atau dipenuhi begitu saja tanpa didahului oleh identifikasi kebutuhan pasar dan melakukan langkah-langkah pemenuhannya. Kesesuaian penggunaan dilihat lebih dari sekedar memenuhi lembar spesifikasi. Pada tahap ini, kita sudah mulai melihat apakah produk kayu yang ada, dengan spesifikasi jelas, telah sesuai dengan keperluan penggunaannya. Kesesuaian biaya kemudian harus dilihat dengan membandingkan dua produk yang sama spesifikasinya. Biaya atau harga yang lebih murah tentu saja akan lebih baik. Nilai kualitas produk akan menjadi lebih tinggi lagi apabila produk tersebut mampu memberikan kesempatan inovasi pengembangan dalam penggunaannya. Dengan kata lain, produk tersebut mampu memenuhi kebutuhan konsumen yang tidak diduga sebelumnya.

D. BAHAN DISKUSI 1. Syarat umum kualitas kayu untuk konstruksi 2. Syarat umum kayu untuk menghasilkan serat 69

3. Syarat umum kayu untuk papan komposit 4. Syarat umum kayu untuk energi. E. BAHAN PENGAYAAN Sebagai illustrasi tentang bagaimana kualitas kayu untuk tujuan penggunaan tertentu dipengaruhi oleh tindakan-tindakan silvikultur, berikut adalah salah satu karya ilmiah yang dimuat dalam Jurnal INFO TEKNIS Vol. 5 no. 2 September 2007 (Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan):
1

KAJIAN KONTROL SILVIKULTUR HUTAN TANAMAN TERHADAP KUALITAS KAYU PULP A Study of Plantation Forest Silviculture Control on Quality of Wood for Pulp Aris Sudomo, Pipin Permadi dan Encep Rachman Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
ABSTRACT

The private forest development has a strategic position in solving the unbalance supply and demand of wood as the raw material for pulp. The silviculture technique on several local potential types of wood for pulp isunpopular yet. Therefore, it becomes a handicap in its development. At present, the applied silviculturetechnique is still conventional by orientating only at wood productivity aspect without considering its fiberquality, such as wood physical and chemical characteristics. Therefore, the silviculture research on plantation forest, especially the private forest is very important because of its function in improving the wood productivity and producing high quality wood for pulp. A study on plantation forest silviculture control on quality of wood for pulp becomes a reference in conducting further research and development. By using intensively silviculture technique, the high productivity private forest with appropriate wood quality for pulp and positive effect for environment is highly expected. Keywords : Fiber quality, intensively silviculture, private forest, pulp, tree improvement

70

ABSTRAK Pembangunan hutan rakyat menempati posisi yang strategis dalam upaya mengatasi permasalahan ketimpangan antara supply dan demand kayu sebagai bahan baku pulp. Teknik silvikultur bebeberapa jenis kayu andalan setempat yang berpotensi sebagai bahan baku pulp belum banyak diketahui, sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya. Teknik silvikultur yang diterapkan selama ini masih bersifat konvensional yang berorientasi pada produktivitas/riap kayu tanpa memperhatikan kualitas serat seperti sifat fisik dan kimia kayu. Penelitian silvikultur terhadap hutan tanaman, khususnya hutan rakyat yang dapat meningkatkan produktivitas dan menghasilkan kayu pulp berkualitas sangat penting dilakukan. Kajian kontrol silvikultur hutan tanaman terhadap kualitas kayu pulp menjadi dasar untuk melakukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Dengan teknik silvikultur intensif diharapkan dapat tercapai hutan rakyat berproduktivitas tinggi dengan kulitas kayu sesuai untuk bahan baku pulp dan berdampak positif terhadap lingkungan.

Kata kunci : Hutan rakyat, kualitas serat, pemuliaan pohon, pulp, silvikultur intensif I. PENDAHULUAN Kebutuhan kayu untuk bahan baku pulp yang terus meningkat belum tercukupi dari produksi HTI-pulp di luar Jawa, sementara laju deforestasi hutan alam semakin besar. Seiring dengan kebijakan revitalisasi industri kehutanan, ketersediaan kayu untuk memasok bahan baku industri pulp dan kertas menjadi kebutuhan yang mendesak. Hal ini menjadikan pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu alternatif dalam upaya mengatasi permasalahan ketimpangan antara supply dan demand bahan baku kayu pulp tersebut. Dengan adanya peluang pembangunan hutan rakyat penghasil kayu pulp tersebut diharapkan dapat menjadi alternatif usaha untuk

71

peningkatan kesejahteraan petani hutan rakyat. Ketersediaan alternatif pilihan dalam usaha pembangunan hutan rakyat ini perlu didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam pengembangannya. Oleh karena itu perlu dipelajari dan diteliti tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan pembangunan hutan rakyat penghasil kayu pulp, sehingga dalam pelaksanaan pembangunan hutan rakyat penghasil kayu pulp kedepan selain dapat tercapainya produktivitas hutan yang berkelanjutan dan berkualitas untuk bahan baku pulp tetapi juga tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Terdapat beberapa permasalahan pada kondisi HTI-pulp di luar Jawa yang menyebabkan tidak berjalan sesuai dengan target yang diharapkan. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah dirancang di luar Jawa sejak dekade 1980-an. Progam pembuatan hutan tanaman yang diperkenalkan oleh Pemerintah ini, luasan totalnya akan mencapai 6,2 juta ha, menggunakan spesies cepat tumbuh dan dengan tujuan pokok sebagai penghasil kayu untuk bubur kertas. Apabila target luasan ini dapat terpenuhi dengan perkiraan riap adalah 15 m3/tahun, maka diharapkan tekanan terhadap hutan alam akan banyak berkurang (Soeseno dalam Naiem, 2004). Namun program pembangunan HTI tersebut tidak dapat berjalan dengan mulus karena berbagai kendala, sehingga kualitas tanaman HTI yang dibangun masih jauh dari apa yang diharapkan. Hingga tahun 2000, hutan tanaman yang dibangun di luar Jawa khususnya Sumatera dan Kalimantan diperkirakan seluas 2,5 juta ha (Departemen Kehutanan, 2000). Menurut Hardiyanto (2005) ketidaksesuaian antara jenis dengan tapak (site) dan terjadinya penurunan kesuburan tanah karena teknik budidaya yang rendah, merupakan faktor lain yang menyebabkan kurang optimalnya produktivitas hutan tanaman. Kondisi beberapa jenis tanaman yang dipergunakan sebagai bahan baku pulp sekarang beralih fungsi menjadi bahan baku pertukangan, seperti Acacia mangium sehingga pasokan kayu untuk bahan baku industi pulp menjadi berkurang. Pemanfaatan lahan dengan penanaman spesies tunggal secara terus menerus akan 72

menurunkan produktivitas lahan pada daur berikutnya, contohnya penggunaan lahan gambut dengan jenis A.crassicarpa dan lahan mineral dengan jenis A. mangium di daerah Riau yang secara terus menerus telah menyebabkan produktivitas lahan menurun dan rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Penanaman spesies tunggal menyebabkan basis genetika yang rendah, sehingga tanaman sulit beradaptasi terhadap serangan hama dan penyakit. Untuk mengatasi permasalahan ini maka diperlukan jenis-jenis lain sebagai jenis alternatif dan sekaligus sebagai spesies cadangan (back-up species) dalam pengembangan hutan tanaman pulp di masa mendatang. II. KUALITAS KAYU UNTUK BAHAN BAKU PULP Sifat-sifat kayu yang baik sebagai bahan baku pulp sangat penting untuk menentukan jenis kayu pulp, maupun guna tujuan program silvikultur dan pemuliaan pohon yang berorientasi pada kualitas produksi kayu pulp. Menurut Soenardi (1974), sifat-sifat kayu yang baik untuk bahan baku pulp adalah serat yang lebih panjang dari pada rata-rata jenis, tebal dinding sel memenuhi 2 w/l < 1, berat jenis dasar lebih rendah dari pada rata-rata jenis, persentase serabut lebih besar dari pada pembuluh, jari-jari dan parenkhim, kadar ekstratif rendah, kadar selulosa tinggi dari pada ratarata jenis dan kadar hemiselulosa cukup. Serat panjang menghasilkan kertas kuat dengan kekuatan sobek tinggi dan dalam batas yang lebih rendah memberikan kekuatan tarik, tembus dan lipat yang tinggi. Serat yang semakin rapat maka kandungan lignin dan selulosa tinggi. Selulosa merupakan zat penyusun serat yang dibutuhkan di dalam pembuatan pulp dan kertas, menentukan kekuatan ikatan kertas, sedangkan lignin merupakan zat yang keras, lengket, kaku dan mudah mengalami oksidasi. Menurut Haroen (1997) kandungan lignin diperlukan pada pulp untuk pembuatan kertas mekanik tetapi tidak diperlukan untuk pembuatan kertas kimia. Menurut Simon (1988), mutu dan kualitas bahan baku pembuat kertas pada

73

umumnya ditentukan berdasarkan lima macam indikator, yaitu bilangan runkel (runkel ratio), kekuatan lipat (felting power), bilangan elastisitas (flexibility ratio), koefisien ketegaran (coefficient of rigidity) dan bilangan Muhlsteph (Muhlsteph ratio). Atas dasar lima indikator tersebut ditambah dengan indikator panjang serat, maka suatu jenis kayu dapat ditentukan kelas kualitas seratnya. Klasifikasi kelas kualitas serat kayu didasarkan pada ketentuan-ketentuan seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi kelas kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas Kualitas Keterangan Serat panjang sampai panjang sekali, dinding sel tipis Kelas I sekali dan lumen lebar. Serat akan mudah digiling. Diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik yang tinggi. Serat kayu sedang sampai panjang, mempunyai dinding Kelas II sel tipis dan lumen agak lebar. Serat akan mudah menggepeng waktu digiling dan ikatan seratnya baik. Serat jenis ini diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik cukup tinggi. Serat kayu berukuran pendek sampai sedang, dinding sel Kelas III dan lumen sedang. Dalam lembaran pulp kertas, serat agak menggepeng dan ikatan antar seratnya masih baik. Diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik sedang. Serat kayu pendek, dinding sel tebal dan lumen serat Kelas IV sempit. Serat akan sulit menggepeng waktu digiling. Jenis ini diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik yang rendah. Sumber: Pengantar Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.

74

III. PEMILIHAN JENIS KAYU HUTAN RAKYAT PENGHASIL PULP Jenis yang dipilih tidak hanya berkaitan dengan masalah silvikultur, akan tetapi juga mempertimbangkan program pengelolaan dan pemanfaatan produk akhir. Penentuan jenis masa depan yang merupakan jenis cadangan merupakan jenis prioritas unggulan yang memiliki persyaratan tertentu, yaitu produktivitas (riap) tinggi, bernilai ekonomis tinggi, memiliki sebaran alami luas sehingga memiliki variasi genetik besar, cocok dan tumbuh baik di lokasi pengembangan, dapat dibiakkan baik generatif maupun vegetatif, teknik silvikulturnya mudah dikuasai dan tahan terhadap hama dan penyakit (Naiem, 2004). Hutan rakyat memiliki berbagai jenis tanaman yang belum diketahui teknik budidayanya sehingga belum banyak dikembangkan. Dengan diketahuinya adanya potensi jenis andalan setempat sebagai bahan baku pulp, maka sangat memungkinkan menggunakan jenis tersebut sebagai jenis alternatif penghasil kayu pulp. Jenis kayu tersebut harus mempunyai sifat-sifat kayu yang sesuai dengan syarat-syarat bahan baku industri kayu serat dan persyaratan tempat tumbuh, sehingga hutan tanaman berproduktivitas tinggi dan menghasilkan kayu pulp berkualitas. Kualitas kayu pulp yang dihasilkan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Sifat kualitas kayu lebih banyak dipengaruhi secara genetik. Oleh karena itu, perlu upaya pemuliaan pohon untuk mendapatkan kayu berkualitas sebagai bahan baku pulp. Kayu untuk industri pulp sebaiknya termasuk golongan cepat tumbuh, lurus dan berserat panjang untuk menghasilkan kertas berkualitas tinggi. Hal ini dapat diketahui dengan melakukan uji jenis dan analisis sifat-sifat kayu yang akan dijadikan kandidat jenis pohon penghasil bahan baku pulp. Uji jenis diperlukan 75

untuk membuktikan bahwa suatu jenis kayu mampu membentuk struktur tumbuh yang baik dan menghasilkan kayu yang berkualitas. Cara pemilihan jenis pada aliran eksperimental ini didasarkan pada serangkaian percobaan yang dirancang dengan Rancangan Acak Berblok Lengkap (Randomized Complete Block Design). Dalam percobaan tersebut ulangan dibuat minimal 3 kali, pada setiap blok jenis-jenis yang diuji harus diacak, sehingga masing-masing jenis yang diuji memiliki peluang sama dalam memanfaatkan ruang tumbuh. Apabila terdapat perbedaan dalam hal pertumbuhan pada jenis-jenis yang diuji, perbedaan tersebut bukan disebabkan karena faktor lingkungan. Blok yang dirancang sebaiknya mewakili perbedaan lingkungan areal pertanaman. Blok merupakan unit homogenitas terkecil, sedangkan antar blok kondisi lingkungan berbeda. Uji jenis dapat dilakukan secara multi lokasi sehingga akan tampak jenis yang pertumbuhannya lebih baik dari jenis lain dalam kondisi beberapa lingkungan yang berbeda. Masing-masing jenis ditanam dalam bentuk gross plot misalnya 7 x 7 tanaman, bujur sangkar karena terdapat border trees. Net plot 5 x 5 tanaman didalam gross plot merupakan pohon yang diukur pertumbuhannya. Dalam pemilihan jenis, dapat menggunakan aliran naturalis yang mendasarkan pendapat pada jenis yang telah beradaptasi cukup lama di tempat tumbuhnya, serta dengan kelebihan lain misalnya sifat jenis tersebut sesuai dengan pemanfaatan yang diharapkan sehingga ideal untuk dipilih. Jenis lokal telah lama mampu beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga proses adaptasinya diperkirakan lebih cepat. Oleh karena itu aliran naturalis cenderung memilih jenis-jenis lokal. Aliran naturalis mendasarkan kesesuaian jenis dengan lingkungan tempat tumbuh berdasarkan matrik antara lain curah hujan, lama musim kering pendek, maksimum suhu bulan terkering tiga bulan, topografi sesuai, tanah, hama dan penyakit (Soekotjo, 2004).

76

Berdasarkan pengamatan dan analisis beberapa sifat yang dimiliki oleh beberapa jenis kayu rakyat, maka terdapat beberapa jenis kayu andalan setempat yang potensial untuk dijadikan jenis alternatif dan jenis cadangan (back-up spesies) dalam pengembangan hutan tanaman penghasil pulp. 4 A. Mindi (Melia azedarach) Mindi merupakan jenis pohon yang cepat tumbuh, ditanam di semua negara tropis dan subtropis. Menurut Koorders & Valeton dalam Heyne (1987), mindi tidak tumbuh dengan liar dan dimanfaatkan sebagai pohon peneduh pada tanaman kopi dan teh. Mededeling dalam Heyne (1987) menyatakan bahwa kayu mindi agak ringan dan kasar, berurat lurus dan berwarna coklat merah muda mengkilat dengan sedikit lembayung. Persebaran jenis mindi meliputi seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Kayu mindi dapat digunakan untuk peti teh, papan, panil dan vinir hias. Sortimen kayu mindi yang berat baik digunakan untuk mebel (Departemen Kehutanan, 2000), serta cocok untuk kotak dan batang korek api (Heyne, 1987). Sifat fisik mindi di antaranya memiliki berat jenis 0,53 dengan rentang antara 0,42 0,65 dan kelas kuat III-II, penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur adalah 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial), warna kayu teras merah coklat muda bersemu ungu, gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batang yang jelas dengan kayu teras; tekstur kayu sangat kasar; arah serat lurus atau agak berpadu; permukaan kayu agak licin dan mengkilap indah; pada bidang radial dan tangensial tampak gambaran berupa pita-pita yang berwarna lebih tua, sedangkan untuk sifat kimia mindi disajikan pada Tabel 2.

77

Tabel 2. Sifat kimia kayu mindi Kandungan Kimia Selulosa Lignin Pentosan Abu Silika Kelarutan Alcohol benzena Air dingin Air panas NaOH 1% Sumber: Atlas Kayu Indonesia Tahun 2005 2,8% 1,5% 3,8% 17,2% 51,0% 30,1% 17,6% Persentase Kadar

B. Manglid (Manglieta glauca BI), Manglid merupakan jenis pohon yang dapat mencapai tinggi maksimum 40 m dengan garis tengah 150 cm. Tingkat pertumbuhan tinggi mencapai 4 m - 6 m dalam waktu lima tahun. (Hildebran, 1935, dalam Rimpala, 2001). Jenis ini di Jawa Barat sangat disukai karena kayunya mengkilat, strukturnya padat, halus, ringan dan kuat. Kekuatan kayunya digolongkan dalam kelas III dan keawetannya kelas II. Adapun keuntungannya karena kayunya ringan dengan berat jenis 0,41 sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah, barang-barang hiasan, patung dan ukiran yang banyak ditemukan di daerah Bali (Prosea, 1998 dalam Rimpala, 2001).

78

Penyebaran alami dijumpai di Jawa, Sumatera, Bali-Lombok dan Sulawesi dalam hutan primer pada tanah pasir atau tanah liat. Manglid tumbuh baik pada ketinggian 900 m - 1700 m dpl dalam hutan campuran yang lembab, pada tanah yang subur dan selalu lembab. Selama ini, kayu manglid digunakan sebagai perkakas rumah tangga (meja, kursi, lemari), bangunan rumah, pembangunan jembatan, pelapis kayu dan kayu lapis, serta diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan baku pulp. Manglid di Jawa Barat dikembangkan melalui agroforestry pada program hutan rakyat dan dijadikan komoditas unggulan dalam pengembangan hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala, 2001). 5 C. Tisuk (Hibiscus macrophyllus) Tisuk merupakan jenis pohon cepat tumbuh dengan tinggi 15 m - 25 m dan diameter 15 cm 25 cm, berbatang lurus, tumbuh liar di Jawa Barat dan Jawa Tengah, di bawah ketinggian 800 m dpl dan dapat ditanam hingga 1400 m dpl. Tumbuhan ini mudah dibiakkan dengan biji tetapi tidak dengan cara stek (Heyne, 1987). Penyebaran alami jenis ini terdapat di Jawa, di hutan tanah rendah dan belukar dengan ketinggian hingga 500 m dpl. Jenis tisuk di Indonesia banyak terdapat di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa dan Sumatera. Dalam Mededeling No. 5 (1920) kayu tisuk dilukiskan sangat ringan hingga ringan, sangat lembut, berstruktur padat dan agak halus, berwarna coklat kelabu muda keungu-unguan. Kayu tisuk di Jawa dianggap cocok untuk bangunan rumah, korek api, pembuatan tali dan untuk bahan anyaman tikar, dinding dangau dan lumbung padi. Kulit kayu untuk tali maupun benang pancing harus direndam dalam air selama satu pekan, dikerok dan dikeringkan serta bahan serat ini sangat tahan lama (Heyne, 1987).

79

Pembungaan dan pembuahan terjadi sepanjang tahun. Tegakan pohon yang memenuhi syarat untuk sumber benih belum ditemukan (Anonimous, 1979). Di Jawa Barat seperti di daerah Banjarsari, Panawangan dan Sukadana masih ditemukan tegakan alam tisuk pada areal masyarakat (Dinas Kehutanan Prop. Jawa Barat dalam Syamsuwida dkk., 2003). Menurut Sudrajat dkk. (2002), H. macrophyllus berpotensi dikembangkan untuk hutan tanaman. Secara ekonomi, kayu jenis ini mempunyai nilai yang cukup baik sebagai bahan baku pulp dan kertas, serta dapat digunakan sebagai bahan kontruksi ringan. Jenis ini memiliki tingkat pertumbuhan cukup cepat dengan bentuk batang bulat dan lurus. Namun budidaya jenis ini masih terhambat karena terbatasnya ketersediaan benih/bibit yang berkualitas.

IV. KONTROL TERHADAP KUALITAS KAYU PULP Budidaya jenis kayu andalan setempat yang diduga berpotensi sebagai bahan baku pulp belum banyak diketahui, sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya. Metode yang diterapkan selama ini masih bersifat konvensional yang berorientasi pada produktivitas/riap kayu tanpa memperhatikan kualitas serat seperti sifat fisik dan kimia kayu sebagai bahan baku pulp. Oleh karena itu, diperlukan metode atau cara yang dapat meningkatkan produktivitas/riap dan kualitas kayu sebagai bahan baku pulp. Dalam pengembangan hutan tanaman penghasil bahan baku pulp, disyaratkan terbangunnya tegakan dengan struktur tumbuh baik, seragam, batang lurus dan sedikit percabangan untuk memudahkan kegiatan pemanenan, pengupasan dan pengangkutan. Kualitas kayu sebagai bahan baku pulp sebaiknya mempunyai sifat fisik dan kimia yang sesuai antara lain kandungan selulosa tinggi, kandungan lignin rendah dengan dimensi serat bagus dan berat jenis antara 0,3 - 0,8 (Mindawati, 2007). 80

Berat jenis kayu merupakan nilai perbandingan berat suatu kayu terhadap volume air yang sama dengan kayu tersebut, karena kayu mempunyai rongga-rongga maka berat jenisnya dapat dianalogikan dengan kerapatan kayu. Menurut Daniel dkk. (1995) perlakuan pemupukan mengurangi berat jenis sebesar 5% tetapi menaikkan produktivitas sebesar 35%. Berat jenis merupakan satu di antara karakteristik kualitas kayu yang kuat diwariskan keturunannya dengan kisaran heritabilitas yang luas antara 0,5 dan 0,8 tergantung pada jenisnya (Dadwell dkk.,1961; Einspahr dkk., 1964; Elliott, 1970 dalam Daniel dkk., 1979). Oleh karena itu, upaya pemuliaan pohon untuk memperoleh sifat yang diinginkan akan lebih akurat daripada usaha manipulasi lingkungan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas. Pada daun lebar, kenaikan kecepatan pertumbuhan sesudah perlakuan irigasi dan pemupukan biasanya disertai oleh kenaikan panjang serat (Saucier dan ike, 1972; Einspahr dkk.,1972., dalam Daniel dkk., 1979). Lignin dibutuhkan pada kayu dengan tujuan kontruksi karena dapat meningkatkan kekerasan/kekuatan kayu, tetapi tidak dibutuhkan di dalam industri kertas karena lignin sangat sulit dibuang dan produk kertas menjadi agak coklat/coklat karena sifat aslinya dan pengaruh oksidasi. Karena sulit dihilangkan maka diperlukan zat pemutih/penggelentang yang banyak dan menambah biaya proses produksi. Pada kayu bengkok/condong atau banyak cabang besar, kandungan lignin dalam batang kayu umumnya meningkat hampir 5% (Kasmudjo, 1999). Dengan demikian peran pemuliaan pohon dalam usaha meningkatkan kualitas kayu menjadi penting. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang tindakan-tindakan yang dapat mengontrol kualitas kayu sebagai bahan baku pulp dan sampai sejauh mana karakteristik kualitas kayu dapat dipengaruhi oleh sifat genetis, manipulasi lingkungan dan kecepatan pertumbuhan. Para ahli di bidang hutan dan kehutanan dapat mengubah kulitas kayu dengan beberapa perlakuan antara lain jarak tanam, rasio tajuk aktif dan kecepatan 81

pertumbuhan, serta melalui pemuliaan pohon. Pengaruh kenaikan kecepatan pertumbuhan akibat seleksi, jarak tanam, pemupukan dan irigasi biasanya mengakibatkan pengurangan panjang trakeid, serat kayu, persentase selulosa, diduga persentase kayu akhir dan berat jenis tetapi kenaikan bisa terjadi dalam persentase lignin, lebar lingkaran tahun, volume dan persentase kayu awal. Kontrol tersebut diharapkan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas dengan melakukan tahapantahapan sepanjang pertumbuhan tanaman sejak pemilihan benih hingga akhir daur.

A. Benih Berkualitas Benih berkualitas dapat dihasilkan dari kebun benih, untuk itu diperlukan langkah pemuliaan pohon untuk mendapatkannya. Pemuliaan atau seleksi genetik merupakan langkah yang efektif untuk mendapatkan kayu berkualitas. Hal ini didasarkan pada indikator kualitas kayu seperti berat jenis, sudut mikrofil, panjang serat dan lain sebagainya yang diyakini bersifat diwariskan (inherited) dengan tingkat sedang hingga kuat (Zobel dan Talbert, 1984). Potensi seleksi pohon dalam progam pemuliaan pohon untuk kerapatan kayu yang tinggi maupun rendah hendaknya berdasarkan tujuan yang diinginkan. Berat jenis merupakan satu di antara karakteristik kualitas kayu yang paling dapat diwariskan dengan baik dengan kisaran heritabilitas yang luas antara 0,5 dan 0,8 tergantung pada jenisnya (Elliot, 1970 dalam Daniel dkk., 1979). Dalam Hardiyanto (2004) dilaporkan bahwa heritabilitas individu pohon untuk berat jenis kayu dilaporkan sangat tinggi yaitu 0,81. Heritabilitas untuk panjang trakeid dalam arti luas sekitar 0,7 (Fielding, 1967 dalam Daniel dkk., 1979). Program kegiatan dalam pemuliaan pohon untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas terdiri dari:

82

1. Seleksi pohon plus Zobel dan Talbert (1984) mengemukakan bahwa variabilitas sifat kayu dalam satu spesies dapat terjadi pada: (1) satu individu/pohon; (2) antar pohon; dan (3) antar populasi dari satu spesies yang tumbuh pada daerah yang berbeda. Seleksi individu yang superior berdasarkan sifat-sifat sesuai tujuan peruntukannya merupakan langkah awal dalam pemuliaan pohon. Sifat-sifat yang dipilih disesuaikan dengan tujuan peruntukan pengembangan hutan tanaman penghasil bahan baku pulp berkualitas. Sifat-sifat yang lebih banyak dipengaruhi faktor genetik merupakan parameter yang lebih akurat. Pemilihan pohon berdasarkan indikator sifat fisik dan kimia mempunyai kelebihan karena pada dasarnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik. Fenotip yang diamati selain pertumbuhan pohon adalah sifat fisik dan kimia kayu dari setiap pohon plus sehingga diharapkan mempunyai keunggulan dari segi riap dan kualitas kayu. Sifat-sifat tersebut di antaranya kelurusan batang, sifat fisik kayu (berat jenis, panjang serat) dan sifat kimia kayu (kandungan selulosa, lignin dan ekstraktif). Kelurusan batang dikendalikan lebih kuat oleh faktor genetik daripada sifat tinggi dan diameter. Menurut Smith dan Zobel dalam Soeseno (1985) sifat kelurusan batang pohon sangat kuat diwariskan dan menurut FAO dalam Soeseno (1985) kayu berasal dari batang bengkok bernilai lebih rendah daripada kayu berbatang lurus.

2. Penyilangan pohon-pohon hasil seleksi Materi genetik klon yang berasal dari pohon-pohon plus hasil seleksi ditanam dalam suatu areal yang disebut Clonal Seed Orchad (CSO). Selain untuk pembuatan CSO dapat juga digunakan untuk pembuatan Clonal Fielt Test (CFT). Pohon dalam CSO setelah berbunga dapat terjadi penyerbukan alami sehingga dihasilkan buah dan

83

benih. Hasil persilangan antar pohon plus diharapkan akan menghasilkan tanaman dengan kelebihan sifat-sifat sesuai peruntukannya.

3. Perhutanan Klon Dalam pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika para ahli silvikultur dapat meningkatkan keseragaman kayu dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi dalam karakteristik kualitas kayu (Daniel dkk., 1979). Produksi dari hutan tanaman yang seragam dengan sifat-sifat kayu sesuai dengan peruntukannya dapat diperoleh dengan sistem pengembangan perhutanan klon. Materi vegetatif berupa klon dapat diambil dari pohon plus hasil seleksi yang ditanam dalam suatu kebun klon. Kebun klon atau bank klon adalah tempat menyimpan klon-klon hasil seleksi pohon plus tersebut. Untuk membuktikan apakah klon-klon yang dihasilkan mampu membentuk strukur tumbuh yang bagus dan kualitas kayu yang baik maka dilakukan Clonal Field Test (CFT). Hasil dari CFT ini dapat dijadikan dasar untuk pemilihan klonklon yang akan dikembangkan dalam hutan tanaman. Untuk mengetahui apakah klon terseleksi dapat membentuk struktur tumbuh yang baik dan seragam, maka dilakukan penanaman klon terseleksi. Setiap klon ditempatkan dalam satu blok penanaman, sehingga akan tampak tingkat keseragaman pertumbuhan klon terseleksi tersebut. 7 4. Uji keturunan Uji keturunan merupakan cara untuk membuktikan bahwa pohon-pohon plus mempunyai sifat unggul secara genetik berdasarkan sifat-sifat keturunannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menanam benih yang dihasilkan dari famili-famili dalam CSO dalam suatu rancangan uji keturunan. Hasil dari uji keturunan ini adalah dapat diketahuinya famili-famili di dalam CSO yang mempunyai sifat unggul misal kualitas kayu baik dibanding famili lain berdasarkan keturunannya. Informasi 84

keunggulan

sifat

suatu

famili

digunakan

untuk

melakukan

penjarangan

genetik/roguing pada areal CSO. Famili-famili yang menghasilkan keturunan relatif lebih jelek dijarangi sehingga menyisakan famili-famili yang mempunyai keunggulan secara genetik. Dari famili-famili tersebut akan dihasilkan benih berkualitas sesuai peruntukannya.

5. Kebun benih semai (Seedling Seed Orchard) Pada areal uji keturunan terdapat famili-famili baru hasil persilangan antar pohon plus dari CSO. Famili baru ini bisa mempunyai sifat yang lebih unggul atau yang lebih rendah dari pohon plus induk. Famili-famili yang ada disisakan 25 famili terbaik setelah dilakukan rangking berdasarkan sifat-sifat yang diinginkan. Dari 25 famili terbaik diharapkan dapat dihasilkan benih berkualitas sesuai peruntukannya. Pada dasarnya ada empat golongan benih menurut Matthews dalam Soekotjo (2004) yaitu: 1. Benih tanpa kelas yaitu benih yang kualitas dan asalnya tidak diketahui 2. Benih yang sumbernya diketahui, benih yang berasal dari tegakan pertanaman yang baik dan lokasi dari tegakan terdaftar 3. Benih terseleksi yaitu benih yang dikumpulkan dari pohon superior, di atas reratanya dalam tegakan yang terdaftar 4. Benih dari kebun benih yang terdaftar yaitu benih yang diambil dari Seedling Seed Orchard (SSO) atau Clonal Seed Orchard (CSO)

B. Pengaturan Jarak Tanam Pengaturan jarak tanam memberikan pengaruh langsung tiga parameter kualitas kayu yaitu kelurusan batang, ukuran kayu muda dan ukuran mata kayu. Kontrol jarak 85

tanam terutama mempunyai pengaruh yang baik terhadap kelurusan batang jenis daun lebar dan menyebabkan cabang-cabang bawah mati. Rasio tajuk aktif juga dapat dikontrol langsung oleh pangkasan cabang selain dengan jarak tanam rapat (Daniel dkk., 1979). Menurut Fielding dalam Daniel dkk. (1979) ukuran cabang mempunyai heritabilitas paling rendah yaitu 0,3. Hal ini berarti percabangan sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau ruang yang dipunyai untuk berkembang. Ukuran cabang pada pohon intoleran dapat diminimalkan oleh pengaturan jarak tanam yang rapat. Kontrol jarak tanam rapat terutama mempunyai pengaruh yang baik terhadap kelurusan batang daun lebar yang mempunyai kecenderungan membengkok jika jarak tanam lebar. Jarak tanam rapat akan menyebabkan cabang-cabang bawah mati pada pohon intolerant dan memacu pertumbuhan meninggi karena persaingan perolehan cahaya yang ketat sehingga batang pohon berkompetisi mencapai posisi ketinggian dominan. Lignin biasanya terakumulasi pada titik-titik percabangan maka usaha mengurangi percabangan menjadi hal yang perlu dilakukan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas. Pertumbuhan awal yang cepat karena jarak tanam yang lebar menyebabkan penurunan panjang serat dan berat jenis kayu, menghasilkan mata kayu yang besar dan lebih merata. Berat jenis yang menurun karena pertumbuhan awal cepat disebabkan oleh meningkatnya porsi kayu awal.

C. Singling Penunggalan batang yang tumbuh lebih dari satu (multistem) perlu dilakukan agar dihasilkan tegakan satu batang dengan pertumbuhan dan kualitas kayu lebih bagus. Pertumbuhan tanaman dengan batang lebih dari satu menyebabkan batang-batang tersebut rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Kualitas kayu batang tunggal juga relatif lebih baik karena seluruh energi tersalurkan pada batang tersebut sehingga pertumbuhannya optimal. Pertumbuhan batang lebih dari satu juga lebih banyak memerlukan waktu dalam kegiatan pemanenan sehingga menimbulkan biaya 86

yang lebih besar. Tindakan singling perlu dilakukan sedini mungkin agar tidak terlambat menghasilkan batang tunggal berkualias. Pada kasus A. mangium, tindakan ini dilakukan sebelum tanaman berumur 3 bulan sehingga batang belum tumbuh besar dan kegiatan singling lebih mudah. 8 D. Pruning Menurut Daniel dkk. (1979) tajuk hidup pohon merupakan posisi tempat auksin dan karbohidrat diproduksi, dan keberadaan serta kelimpahan materi ini berpengaruh kuat pada perluasan kayu muda dan proporsi kayu awal terhadap kayu akhir. Pemangkasan cabang menurut para ahli silvikultur merupakan upaya untuk menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu (knot), sehingga meningkatkan kualitas batang. Pemangkasan cabang-cabang yang merupakan tajuk aktif perlu dilakukan untuk mendorong pertumbuhan tinggi sehingga dihasilkan batang lurus. Pemangkasan cabang juga dilakukan agar tidak terjadi pertumbuhan menggarpu (forking). Pada kasus A. mangium, pemangkasan cabang dilakukan sebelum tanaman berumur 6 bulan sehingga belum tinggi, sebab jika tanaman sudah tinggi kegiatan ini memerlukan biaya yang lebih besar. Penghilangan tajuk aktif mempengaruhi fotosintesa sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tajuk aktif yang tersisa sehingga tercapai titik optimal antara kebutuhan fotosintesa dengan beban percabangan untuk pertumbuhan batang. Pada tegakan A. mangium tajuk aktiftinggi pohon yang tersisa sebesar 60%. Jarak tanam yang rapat juga merupakan alternatif untuk meminimalkan percabangan. Dengan pengaturan jarak tanam yang rapat akan terjadi pruning alami pada jenis intoleran tetapi jika rotasi tidak panjang, cabang-cabang mati bagian bawah biasanya tetap melekat pada pohon.

87

E. Pemupukan Menurut Daniel et al., (1979) perlakuan pemupukan mengurangi berat jenis sebesar 5% tetapi menaikkan produktivitas sebesar 35%. Pada jenis daun lebar, respon umum terhadap pemupukan dan penjarangan sedikit menaikkan berat jenis pada jenis yang berpori tersusun melingkar dan tidak berpengaruh sama sekali pada semua jenis berpori tersebar (Mitchel, 1972; Saucier dan Ike, 1972; Daniel et al.,1995). Pada konifer kenaikan kecepatan pertumbuhan setelah penjarangan dan pemupukan terjadi bersama-sama dengan penurunan panjang trakeid dan berkurangnya ketebalan dinding sel, sedangkan pada daun lebar, kenaikan kecepatan pertumbuhan sesudah perlakuan irigasi dan pemupukan biasanya disertai kenaikan panjang serat (Posey 1964; Cown, 1972 dalam Daniel dkk., 1979). Meningkatnya kesuburan tanah akan mengakibatkan kandungan selulosa meningkat, berkurangnya lignin dan berat jenis kayu tanpa menyebutkan secara spesifik jenis daun lebar atau konifer (Haroen, 1997). Pengaruh kenaikan kecepatan pertumbuhan akibat pemupukan biasanya termasuk pengurangan panjang trakeid dan serat kayu, persentase selulosa, kayu akhir dan berat jenis. Kenaikan bisa terjadi dalam persentase lignin, lebar lingkaran tahun, volume dan persentase kayu awal sehingga menurunkan berat jenis. Kenaikan volume produksi akibat kecepatan pertumbuhan biasanya lebih besar daripada mengimbangi setiap kemungkinan perubahan yang tak diinginkan dalam karakteristik kualitas kayu yan diproduksi. Menurut Wright dalam Soeseno (1985), kebanyakan sifat-sifat pohon dikendalikan oleh gen dan lingkungan. Menurut Soerianegara (1970), pertumbuhan diameter sebenarnya lebih kuat dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor genetik karena pertumbuhan diameter tanaman merupakan fungsi dari ruang tumbuh. Pertumbuhan tinggi tanaman sering dianggap sebagai fungsi kesuburan tanah (Daniel et al.,1979). Karakteristik kualitas kayu lebih efektif diperoleh dengan progam pemuliaan pohon dengan cara menyeleksi sifat yang dapat diturunkan dengan baik, seperti berat jenis, panjang trakeid, sudut 88

percabangan dan serat terpuntir serta pohon-pohon yang cepat tumbuh. Dalam pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika para ahli silvikultur dapat meningkatkan keseragaman dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi dalam karakteristik kualitas kayu (Daniel dkk, 1979).

F. Penjarangan Penjarangan adalah salah satu tindakan silvikultur untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih baik pada pohonpohon terpilih, dan menghilangkan individu pohon yang tidak terpilih/cacat. Menurut Soekotjo (2004) pengaruh yang ditimbulkan akibat tindakan penjarangan adalah (1) memacu pertumbuhan diameter pada individu tegakan tinggal, (2) pada saat dilakukan penjarangan, total luas bidang dasar tegakan per satuan luas akan menurun, disusul oleh pertumbuhan berikutnya, (3) hasil akhir penjarangan, yaitu pada akhir rotasi, akan dihasilkan rerata diameter tegakan tinggal yang lebih besar daripada bila tidak dilakukan penjarangan, (4) menghambat atau mengurangi penularan hama dan penyakit, dan (5) mengurangi kematian pohon secara alami. Jika ruang tumbuh sangat lebar maka akan memacu tumbuhnya percabangan berukuran besar, ukuran mata kayu (knot) juga menjadi besar yang akan berpengaruh terhadap kualitas kayu, sehingga perlu pekerjaan pemangkasan cabang. Dengan semakin cepatnya pertumbuhan diameter, kecenderungan munculnya jaringan kayu muda lebih besar, berarti akan menurunkan kualitas kayu. Penjarangan sebaiknya ditunda sampai setelah jangka waktu pembentukan kayu juvenil selesai. Dengan cara ini diharapkan akan terhindar dari inti juvenil yang besar sehingga didapatkan kayu dewasa yang rapat dan seragam. Pada jenis A. mangium yang dikembangkan di HTIpulp tidak terdapat kegiatan penjarangan, kecuali konversi fungsi menjadi kayu pertukangan.

89

G. Penentuan Daur Optimal Pengaruh umur pohon terhadap kualitas kayu menjadi dasar dalam penentuan daur optimal untuk menghasilkan bahan baku pulp berkualitas. Penentuan daur optimal di mana kualitas kayu yang dihasilkan sudah mencapai titik maksimal dan tidak mengalami peningkatan lagi menjadi hal penting untuk penentuan daur ekonomis. Menurut Haroen dkk.,(1997) semakin tua umur tanaman terlihat dari kecenderungan meningkatnya kadar -selulosa, kadar ekstraktif dan lignin. Pada jenis A. mangium, serat dengan bilangan runkel terbaik diperoleh dari tanaman berumur 5 dan 7 tahun. Menurut Muliah (1976) makin tua umur pohon, berat jenis makin besar. Hal ini disebabkan makin tua umur kayu, susunan serat makin rapat. Anonimous dalam Siarudin (2005) menjelaskan bahwa pada kayu lunak berlingkaran jelas (distinct ring softwood) yang berumur sama namun tumbuh dengan kecepatan berbeda menunjukkan kerapatan yang relatif seragam. Sebaliknya pada diameter sama yang dihasilkan dari pohon dengan umur berbeda didapatkan kerapatan lebih rendah pada umur yang lebih muda sebagai akibat porsi juvenil tinggi. Menurut Arifin et.al. (2005) kayu dari fast growing spesies sesuai untuk pembuatan pulp karena selalu mempunyai dinding sel yang tipis dan lumen yang lebar.

V. PENUTUP IPTEK yang berkaitan dengan kayu pulp, industri pulp dan kertas di antaranya teknik silvikultur, pemuliaan pohon, teknik kimia, ekonomi, biologi, teknologi hasil hutan, teknik lingkungan dan lain-lain, sangat diperlukan untuk menghasilkan penelitian yang komprehensif sehingga bisa menjadi dasar kebijakan dalam pengembangan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat pulp. Dengan dukungan IPTEK tersebut diharapkan hutan rakyat menghasilkan kayu pulp dengan produktivitas tinggi dan berkualitas sehingga mampu berkompetisi dalam pasar dalam negeri maupun ekspor. 90

Kajian silvikultur hutan rakyat penghasil pulp ini dapat dijadikan dasar dalam penelitian dan pengembangan untuk menyediakan alternatif pilihan bagi petani dalam usaha di bidang hutan rakyat penghasil pulp. DAFTAR PUSTAKA Arifin. Z, Irawan W. Kusuma, Agus S. Budi, Sipon Muladi and Edi Sukaton, 2005 The Morphologies of Pulp Fiber from Four Hardwood Species in Realation to Paper Strength.Tropical Wood Properties and Utilization. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Daniel, T.W., J.A. Helms dan F.S Baker, 1979. Prinsip-prinsip Silvikultur. Terjemahan Joko Marsono dan Oemi Haniin. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Departemen Kehutanan, 2000. Statistik Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Tahun 1999/2000. Jakarta. Haroen,W.K, Uzair dan Nursyamsu Bahar, 1997. Kualitas Pulp Kertas Acacia mangium Berbagai Umur Tanaman. Berita Selulosa Vol XXXIII, No. 4. Bandung. Heyne. K, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Hardiyanto, E.B, 2005. Beberapa Isu Silvikultur dalam Pengembangan Hutan Tanaman. Makalah Seminar Peningkatan Produktivitas Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Kasmudjo, 1999. Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Martawijaya A., Iding Kartasudjana., Y.I. Mandang., Soewanda Among Prawira dan Kosasi Kadir, 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Departemen Kehutanan Bogor. Mindawati, N., 2007. UKP Silvikultur Hutan Tanaman Kayu Pulp. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Muliah, 1976. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Jenis Kayu. Berita Selulosa, Vol XII No 1.Bandung.

91

Naiem, M., 2004. Pengembangan Spesies Non-Acacia mangium Untuk Hutan Tanaman Buku Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Editor Eko Bhakti Hardiyanto dan Hardjono Arisman. PT. Musi Hutan Persada. 10 Rimpala, 2001. Penyebaran Pohon Manglid (Manglietia glauca BI.) Di Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak. Laporan Ekspedisi Manglid. WWW.Rimpala.Com. Bogor. Sudrajat, DJ, Asep Rohandi dan Naning Yuniarti, 2002. Pengaruh Media Semai dan Dosis Penyemprotan Regent 50 SC Terhadap Pertumbuhan Semai Tisuk (Hibiscus macrophyllus). Buletin Teknologi Perbenihan, Bogor. Syamsuwida, D. Naning Yuniarti, Rina Kurniaty dan Zaenal Abidin, 2003. Teknik Penanganan Benih Ortodok. Buku 1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Bogor. Soeseno. O.H., 1985. Diktat Pemuliaan Pohon Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Soekotjo, 2004 Silvikultur Hutan Tanaman : Prinsip-Prinsip Dasar. Buku Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Pengalaman di PT. MHP Sumatra Selatan. Simon, H., 1988. Pengantar Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Siarudin, M., 2005. Praktek Silvikultur dan Pengaruhnya pada Kualitas Kayu. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Rakyat di Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Soenardi, 1974. Hubungan Antara Sifat-Sifat Kayu dan Kualitas Kertas. Berita Selulosa Vol X, No. 3. Bandung Soerianegara, I., 1970 Pemuliaan Hutan. Laporan No 104. Lembaga Penelitian Hutan Bogor. Zobel, J.B and Talbert, 1984. Applied Forest Tree Improvement. Wood and Tree Improvement. John Willey & Sons. New York. Pp. 376-413.

92

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, M., 2005. Wood Quality Evaluation in Hardwoods. The State of Queensland (Departement of Primary Industries and Fisheries). Queensland Government. [Diakses 28 Juni 2005]. www.dpi.qld.gov.au/hardwoodsqld/11872.html Anonim. 2006. Pemotongan Cabang Secara Berkala. www.let-mebe.comwwwsk2httpdjatiindex.cfmaction=artdetails&articleid=26&cfid=2373 0240&cftoken=84803859.htm [Diakses tanggal 11 Januari 2009] Brown, H.P., A.J.Panshin and C.C.Forsaith. 1949. Textbook of Wood Technology. Vol.I. Structure, Identification, Defects and Uses of the Commercials Woods of the United States. Mc Graw Hill Book Company Inc. Newyork. Bowyer, J.L., Rubin, S, and John G.H., 2003. Forest Products and Wood Science. An Introduction. Fourth Edition. IOWA State Press. The United States of Amerika. Chauhan, S., R. Donnelly., Huang, C.L., Nakada, R., Yafang Y., Walker, J. 2006. Chapter 5. Wood Quality : In Context. Di dalam Walker, J.C.F., Primary Wood Processing. Principles and Practice. Ed. 2. Springer. The Netherlands. Departemen Kehutanan. 2005. Sifat-Sifat Kayu dan Penggunaannya. [Diakses 5 Desember 2005] www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/INFO _V02/ VII_ V02. HTM Daniel, T.W., J.A. Helms and F.S. Baker. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Edisi Kedua. Diterjemakan oleh Dr. Ir. Djoko Marsono. Editor oleh Ir. Oemi Haniin Soeseno. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. DeBell, D.S., R. Singleton, C. A. Harrington and B.L. Gartner. 2002. Wood Density and Fiber Length in Young Populus Stems ; Relation to Clone, Age, Growth Rate and Prunning. Wood and Fiber Science. Journal of The Society of Wood Science and Technology. Vol. 34 (34) Pp. 537. DeBell, D.S., R.O.Curtis. 2003. Silvikultural Research and The Evolution of Forest Practices in The Douglas-Fir Region. General Technical Report PNWGTR-696. Chapter 10 : Silvikultur Influences on Wood Quality.

93

Goudie, J., 2002. Effects of Silviculture on Wood Quality of Western Hemlock. BC Ministry of Forest Research Branch. Http:// www.For.Prodres.gov.bc.ca [8 Oktober 2008].
Heriansyah, I., Miyakuni, K., Kato, T., Kiyono, Y., Kanazawa, Y., 2007. Growth Characteristics and Biomass Accumulations of Acacia mangium Under Different Management Practices in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science 19 (4) pp. 226-235.

Irwanto,

2006.

Usaha

Pengembangan

Jati

(Tectona

grandis

L.f).

www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&channel=s&rls=org.mozilla%3AenUS%3Aofficial&q=%22Bentuk+Pohon+dan+Kualitas+Kayu%22&btnG=Telusuri&meta= [Diakses tanggal 10 Januari 2009]

Koga, S, and S.Y. Zhang. 2002. Relationships between Wood Density and Annual Growth Rate Component in Balsam Fir (Abies Balsamea). Wood and Fiber Science. Vo. 34 (1). Pp. 147.
Muhdin. 2003. Dimensi Pohon dan Perkembangan Metode Pendugaan Volume Pohon. www. tumoutou.net702_07134muhdin.htm.htm [Diakses tanggal 10 Januari 2009]

Prayitno, T.A., 2007. Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu. Program Studi Ilmu Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pandit, I.K.N. 2006. Variabilitas Sifat Dasar Kayu. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Panshin, A.J. and Carl de Zeeuw, 1980. Textbook of Wood Technology. Vol. I. McGraw Hill Book Co. N.Y., London Prawirohatmojo, S., 2003. Pembentukan Kayu Teras. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Smith, D.M., B.C. Larson, M.J. Kelty and P.M.S. Ashton. 1997. The Practice of Silviculture : Applied Forest Ecology. Ninth Edition. John Wiley & Sons. Inc. New York. Schimleck, L.R., Robert, E., P.David, J., Daniels, R,F., Peter, G.F., and Clark, A., 2005. Estimation of Microfibril Angle an Stiffness by Near Infrared Samples Set Having Limited Wood Density Variation. IAWA Journal, The Nederlands. Vol. 26 (2) Pp. 175-187.

94

Thojib, A., 1988. Fisiologi Pohon Terapan. Kerjasama Fakultas Kehutanan Gadjah Mada dengan Proyek Pendidikan dan Latihan dalam Rangka Peng-Indonesiaan Tenaga Kerja Pengusahaan Hutan. Yogyakarta. Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood. Structure, Properties, Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York. Wahyudi, I. 2009. Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu. Bahan ajar Sekolah Pascasarjana, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yunianti, A.D., 2003. Pengaruh Penjarangan terhadap Sifat Dasar Kayu Acacia mangium. Prosiding Seminar Nasional Mapeki V. Bogor. ISBN; 97996348-2-2. Pp. 36-39. Zobel, B., 1984. The Changing Quality of The World Wood Supply. Wood Science and Technology. Springer-Verlag18. Pp 1-17

95

You might also like