You are on page 1of 6

wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 57-62

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA KEHAMILAN Oleh Harry Kurniawan Gondo

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Peserta PPDS Bagian Obstetri&Ginekologi Fakultas Kedokteran Univ.Udayana Bali ABSTRAK Penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi ataupun profilaksis. Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan pada ibu hamil seharusnya didasarkan atas uji kepekaan di laboratorium untuk menentukan secara tepat jenis antibotika yang diperlukan dengan mempertimbangkan pula efek toksik terhadap ibu maupun efek teratogenik terhadap janin dalam rahim. Selain itu penentuan dosis antibiotika juga harus mempertimbangkan perubahan farmakokinetik yang sesuai dengan perubahan fisiologik pada ibu hamil. Kondisi fisiologik ibu hamil akan sangat menentukan apakah sebaiknya obat yang diberikan peroral atau parenteral dan dosis yang diberikan lebih tinggi atau sama dengan ibu yang tidak hamil. Barier plasenta merupakan salah satu perlindungan agar janin seminimal mungkin mendapatkan efek samping obat. Dalam hal ini harus dipertimbangkan usia hamil saat mendapatkan antibiotika, oleh karena pada fase embrio (2-8 minggu) barier plasenta ini sangat lemah (masa kritis) dan meningkat sampai pada puncaknya pada waktu janin usia 21-28 minggu, setelah itu akan menurun lagi sampai aterm. Kata kunci : Antibiotika, Kehamilan, farmakologi

Pendahuluan Sering ditemui selama kehamilan seorang wanita terpaksa harus mengkonsumsi obat-obat antibiotika oleh karena infeksi yang diderita. Tahun 1987, CDC meneliti kasus-kasus ibu hamil di NewYork State, ternyata sebagian besar mendapatkan rata-rata 3,8 resep obat yang bukan vitamin. Ditemukan juga bahwa sebagian lagi obat-obat tersebut dikonsumsi oleh ibu hamil tanpa resep dokter. Pertanyaan yang selalu timbul pada peristiwa tersebut adalah apakah obat-obat tersebut menyebabkan kecacatan atau tidak terhadap janin janin dalam rahim. Setiap obat yang punya efek sistemik hampir selalu bisa menembus barier plasenta dalam jumlah yang sangat bervariasi. Sebagian besar obat tersebut memang belum semuanya terbukti mempunyai pengaruh jelek terhadap janin. Semua jenis obat antibiotika yang diberikan pada ibu hamil baik untuk tujuan pengobatan pada ibu maupun janin tak terkecuali akan dapat memasuki unit janin. Pada umumnya obat-obat antibiotika ini merupakan benda asing (Xenobiotic) terhadap sel yang hidup. Obat antibiotika yang

mekanisme kerjanya menghambat atau membunuh mikroorganisme, tidak sedikit yang menimbulkan efek toksik atau teratogenik terhadap ibu atau janin didalam rahim. Oleh karena itu setiap pemberian obat antibiotika ini perlu dipertimbangkan risikonya terhadap kesehatan ibu maupun hasil konsepsi didalam rahim. Teratologi pada manusia Aspek yang paling penting dalam masalah ini adalah pengaruh obat-obat pada saat tertentu selama pembuahan sampai dengan kehamilan. Periode pertumbuhan hasil konsepsi dibagi menjadi : 1. Periode ovum, yakni sejak saat fertilisasi sampai dengan implantasi. 2. Periode embrionik, yakni sejak minggu kedua sampai dengan minggu kedelapan setelah fertilisasi. 3. Periode fetal (janin), yakni setelah 8 minggu sampai dengan aterm. Periode embrionik adalah periode yang paling kritis oleh karena saat ini sedang dalam fase pembentukan organ-organ (organogenesis). Pada periode fetal atau janin, terutama trimester III, pengaruh antibiotika

wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 57-62

yang diberikan pada ibu hamil tidak akan mempengaruhi pembentukan organ (malformasi/dismorfogenik). Pengaruh obatobatan terhadap janin berkaitan dengan jumlah bahan didalam peredaran darah (serum), absorbsi dalam usus, metabolisme, ikatan dengan protein (protein binding), penyimpanan dalam sel, uuran molekul dan kelarutan bahan tersebut dalam lemak yang merupakan faktor yang menentukan kemampuan obat untuk menembus barier plasenta. Beberapa jenis obat memang telah diketahui memberikan efek teratogenik pada dosis yang relatif rendah pada saat yang tepat misalnya alkohol, thalidomide, antagonis asam folat dan lain-lainnya, akan tetapi yang penting diketahui adalah bahwa pemakaian obat-obat tersebut meskipun mempunyai efek teratogenik bila diberikan setelah periode yang kritis tersebut tidak lagi memberikan kelainan-kelainanyang bersifat struktural. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebagai bahan teratogenik antara lain : 1 Telah terbukti bahwa kelainan yang terjadi pada janin berhubungan dengan pemberian obat tertentu selama masa perkembangan perinatal. 2 Temuan-temuan yang konsisten oleh dua atau lebih penelitian epidemiologik yang berbobot, kuat uji dan risiko relatif yang memadai (RR. 6 atau lebih ). 3 Batasan klinis untuk menentukan kelainan bawaan atau gejala-gejala yang spesifik. 4 Paparan yang jarang berhubungan dengan kejadian kecacatan yang jarang pula. 5 Hubungan tersebut harus dapat dijelaskan melalui patofisiologi yang benar. Klasifkasi FDA tentang obat yang mempunyai efek terhadap janin. Pada tahun 1979, FDA merekomendasikan 5 kategori obat yang memerlukan perhatian khusus terhadap kemungkinan efek terhadap janin. A. Obat yang sudah pernah diujikan pada manusia hamil dan terbukti tidak ada risiko terhadap janin dalam rahim. Obat golongan

ini aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil (vitamin) B. Obat yang sudah diujikan pada binatang dan terbukti ada atau tidak ada efek terhadap janin dalam rahim akan tetapi belum pernah terbukti pada manusia. Obat golongan ini bila diperlukan dapat diberikan pada ibu hamil (Penicillin). C. Obat yang pernah diujikan pada binatang atau manusia akan tetapi dengan hasil yang kurang memadai. Meskipun sudah dujikan pada binatang terbukti ada efek terhadap janin akan tetapi pada manusia belum ada bukti yang kuat. Obat golongan ini boleh diberikan pada ibu hamil apabila keuntungannya lebih besar dibanding efeknya terhadap janin (Kloramfenicol, Rifampisin, PAS, INH). D. Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin manusia. Obat golongan ini tidak dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil. Terpaksa diberikan apabila dipertimbangkan untuk menyelamatkan jiwa ibu (Streptomisin, Tetrasiklin, Kanamisin). X. Obat yang sudah jelas terbukti ada risiko pada janin manusia dan kerugian dari obat ini jauh lebih besar daripada manfaatnya bila diberikan pada ibu hamil, sehingga tidak dibenarkan untuk diberikan pada ibu hamil atau yang tersangka hamil Mekanisme kerja obat anti infeksi Mekanisme kerja obat anti infeksi terhadap mikroorganisme dapat berupa : 1. Menghambat sintesa metabolit-metabolit yang esensial, protein dan asam nukleat. 2. Menghambat sintesa dinding sel atau membran plasma. 3. Merusak dinding sel atau membran plasma. Dilihat dari mekanisme kerjanya maka antibiotika ini dapat mempunyai efek : A Bactericidal, bila menyebabkan sel mikroorganisme tersebut mati oleh karena efek obat yang merubah, menghambat atau merusak sel mikroorganisme. Bacteriostatic, bila menyebabkan

wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 57-62

pertumbuhan mikroorganisme terhenti oleh karena ada hambatan terhadap metabolisme mikroorganisme. Obat-obat ini sebagian dalam bentuk terikat dengan protein (protein binding) atau mengalami proses metabolisme sehingga terbentuk metabolit-metabolit yang tidak dapat menembus barier plasenta. Sebagian lagi dalam bentuk bebas tidak terikat dengan protein dan tidak mengalami metabolisme, bentuk ini yang mampu menembus barier plasenta. Farmakokinetik obat-obat anti infeksi pada kehamilan Famakokinetik obat-obat saat hamil jelas tidak sama dengan tidak hamil, oleh karena adanya perubahan fisiologik pada saat hamil. Perubahan-perubahan farmakokinetik saat hamil antara lain : 1 Volume darah dan cairan tubuh meningkat sehingga kadar obat dalam plasma darah akan menurun. 2 Kadar protein dalam plasma relatif rendah, akibatnya ikatan obat dengan protein akan menurun sehingga kadar obat bebas dalam darah akan meningkat. 3 Aliran darah ke ginjal meningkat sehingga filtrasi glumerolus akan meningkat dan ekskresi obat melalui ginjal juga meningkat sehingga masa aksi kerja obat dalam tubuh akan lebih singkat. 4 Kadar progesteron saat hamil meningkat, sehingga metabolisme di hepar akan meningkat pula , hal ini mengakibatkan kadar obat bebas dalam darah akan menurun. 5 Peristaltik menurun sehingga absorpsi melalui usus akan menurun, dengan demikian kadar obat per oral dalam serum ibu hamil akan lebih rendah dibanding dengan ibu yang tidak hamil. Oleh karena itu dosis obat per oral yang diberikan pada ibu hamil relatif harus lebih tinggi dibanding ibu tidak hamil untuk mendapatkan dosis terapeutik dalam darah yang sama. Kondisi seperti diatas menjadi masalah yang

harus dipertimbangkan dalam pemberian obat pada ibu hamil, oleh karena setiap obat yang diberikan pada ibu hamil hampir selalu ada sebagian yang mampu menembus barier plasenta dan masuk kedalam unit janin dalam rahim. Sebagai contoh Sulfonamide yang diberikan pada ibu, sebanyak < 1% akan menembus barier plasenta kedalam unit janin. Jumlah obat Xenobiotic yang mampu menembus barier plasenta tergantung pada : a. Jenis obat. Oleh karena jumlah obat yang terikat pada protein dan mengalami metabolisme sangat tergantung pada jenis antibiotika yang dipakai. b. Dosis obat. Makin tinggi dosis yang diberikan, akan makin tinggi pula kadar Xenobiotic yang masuk kedalam unit janin. c. Kondisi plasenta. Pada umumnya kondisi plasenta berkaitan erat dengan usia hamil. Proses pertumbuhan plasenta akan sempurna pada usia hamil 16-20 minggu. Pada usia hamil 21-28 minggu barier plasenta akan lebih kuat dibanding dengan usia hamil diatas 28 minggu. Xenobiotic yang beredar dalam unit janin seharusnya mencapai kadar terkecil yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Minimal Inhibitory Consentration/MIC) atau kadar terkecil yang mampu membunuh mikroorganisme (Minimal Bactericidal Consentration/MBC) tanpa menimbulkan risiko terhadap janin atau hasil konsepsi. Akan tetapi hal ini yang sangat sulit dilaksanakan oleh karena menentukan dosis terapeutik obat dalam tubuh janin dalam rahim belum dilaksanakan secara rutin sedangkan MIC dan MBC ditentukan berdasarkan atas uji kepekaan di laboratorium. Alasan lainnya adalah bahwa kemampuan obat yang diberikan pada ibu hamil tergantung pada kondisi patologik dari jaringan yang terinfeksi. Sebagai contoh misalnya mikroorganisme dalam kantung abses lebih sulit dicapai oleh obat anti infeksi. Dikatakan bahwa efek toksik atau teratogenik obat antibiotika pada janin selalu dikaitkan dengan pemakaian obat pada usia hamil yang muda (trimester I). Setiap pemakaian obat

wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 57-62

pada kehamilan, tanpa memandang usia hamil kemungkinan dapat menimbulkan kelainan pada janin baik fisik maupun mental dlam tingkat ringan sampai berat. Aminoglikosida akan menembus barier plasenta dan akan memberikan efek toksik rata-rata 3-11% pada janin. Kelainan pada janin ini dapat langsung dipantau dalam rahim, atau bahkan tidak jarang pula baru bisa diketahui setelah lahir atau timbul pada masa anak-anak atau remaja.
Tabel 1. Klasifikasi (FDA) untuk antibiotika dan risikonya terhadap janin

Iodine

nB Clotrimazol e Griseofulvi n Miconazole Nystatin

B C B B

Tabel 2. Mekanisme kerja obat anti infeksi.


Mekanisme kerja Menghambat sintesa metabolit esensial Menghambat pembentukan protein

Golongan Klasifik (Nama generik) asi Gol. Penisilin Gol. Sefalosporin Moxalactam B B C

Golongan (Nama generic) Gol. Anti Virus Gol. Anti TBC Ethambuto l PAS INH Rifampisin Gol. Anti malaria Chloroquin e Primaquine Pyrimetha min Quinine Gol. Sulfa Sulfasalazi ne Sulfonamid a Gol. Urinary Germicide Cinoxasin Mandelic Acid Methenami ne Nalidixic Acid Nitrofurant oin

Klasifik asi C B C C C C C C D/X

Menghambat pembentukan nukleat Menghambat pembentukan sel

asam

dinding

Gol. Aminoglikosida Amikasin Gentamisin Neomisin Kanamisin Streptomisin Tobramisin Gol. Tetrasiklin

C C C D D D D

Merusak membran sel

Nama generik obat anti infeksi Sulfonamide Trimethoprim PAS INH Streptomisin Tobramisin Erithromisin Clindamisin Neomisin Amikasin Axithromisin Kloramfenikol Kanamisin Netilmisin Clarithromisin Tetrasiklin Gentamisin Spectinomisin Lincomisin Rifampisin Cinoxasin Ofloxasin Ciprofoxasin Nalidixic acid Actinomisin D Norfloxasin Enoxasin Penisilin Carbapenem Amoxilin-Clav Vancomisin Sefalosporin Piperasilin Ticarcilin- Clav Tazobactam Sefamisin AmpisilinSulbact Polimixin B Colistin Amfoterasin B Nistatin

Tabel 3. Kadar antibiotika dalam serum ibu hamil dibanding dengan tidak hamil.
Kadar dalam serum ibu Lebih rendah pada kehamilan Diduga lebih rendah pada kehamilan Nama generik obat Ampisilin Piperasilin Methisilin Sefalexin Sefalothin Sefazolin Sefoxitin Sefamandole Sefotetan Seftriaxone Sefotaxime Moxalactam Pivmesilinam Clindamisin Sefaloridine Penisilin V Sefoperazone Amoxilin-Clav Ticarsilin-Clav Ampisilin-Sulb PiperasilinTazobact Gentamisin Kanamisin Amikasin Tobramisin Nitrofurantoin Seftizoxime Thiamfenicol Sulfamethoxas ole

B/D B/D

Lain-lain Basitrasin Kloramfenikol Clindamisin Colistimethate Eritromisin Furazolidone Lincomisin Novobiosin Oleondomisin Polymyxin B Spectinomisin Trimetoprim Troleandomisi n Vancomisin Gol. Anti Amuba Carbarzone Iodoquinol Metronidazol Gol. Antiseptic Kulit

C C B B B C B C C B B C C C D C B C

B C C B B

Kemungkinan tidak berbeda

Gol. Anti Scabies Lindane Pyrethrins Gol. Anti Jamur Amfoterasi

C C B

Penggunaan klinis dan pemilihan jenis antibiotika pada kehamilan Penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi, akan tetapi bisa juga

wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 57-62

dengan tujuan profilaksis. Untuk tujuan terapi sering dipakai pada kasus kehamilan dengan tanda klinis adanya infeksi baik lokal maupun sistemik misalnya kehamilan yang disertai dengan penyakit infeksi sistemik misalnya typhoid, tuberkulose dan lain sebagainya. Sedangkan infeksi lokal misalnya adanya tanda infeksi genetalia, vaginosis bakteri, infeksi jamur atau infeksi intrauterin sebagai akibat suatu persalinan yang lama (partus kasep) akan tetapi bisa juga pada kasus dengan tanda persalinan preterm yang membakat yang diduga disebabkan oleh infeksi genetalia. Sedangkan untuk tujuan profilaksis sering digunakan pada kasus kehamilan dengan kelainan katub jantung, ketuban pecah dini. perdarahan pada kehamilan dan eklamsia. Pada keadaan ini sebenarnya belum tampak adanya gejala infeksi, akan tetapi kondisi ibu seperti ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya infeksi yang membahayakan ibu dan atau janin didalam rahim. Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan pada ibu hamil seharusnya didasarkan atas uji kepekaan di laboratorium untuk menentukan secara tepat jenis antibotika yang diperlukan. Dengan menggunakan tehnik kultur yang saat ini dikerjakan, hal ini memerlukan waktu yang relatif lama sedangkan kita harus mengejar waktu untuk segera memberikan terapi antibiotika. Pada akhirnya seorang dokter di suatu rumah sakit harus memahami peta mikroorganisme setempat untuk menentukan pilihan antibiotika pada ibu hamil maupun bersalin yang memerlukan. Akan tetapi menurut beberapa peneliti dari negara maju sebenarnya lebih banyak jenis kuman yang bisa ditemukan pada ibu hamil atau bersalin yang mengalami infeksi. Dikemukakan sebagian besar kuman Anaerob seperti Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealithicum, Bacteroides dan Gardnerella vaginalis yang memerlukan tehnik kultur yang khusus sangat berperan pada infeksi dibidang kebidanan. Berdasarkan kenyataan tersebut maka saat ini penggunaan antibiotika terutama penggunaan kombinasi lebih dari satu jenis obat makin meningkat.

Ditinjau dari bidang farmakologis maka penggunaan antibiotika kombinasi ini mempunyai beberapa keuntungan maupun kerugian. A Keuntungan 1.Mengurangi resistensi terhadap antibiotika oleh karena dengan menggunakan kombinasi yang sinergistik akan meningkatkan daya kemampuan untuk membunuh mikroorganisme. 2.Mengurangi efek toksik. Hal ini berkaitan dengan dosis obat. Semakin rendah dosis tiap jenis antibiotika akan makin rendah pula efek toksik obat. Efek sinergistik ini akan bisa menurunkan masing-masing dosis obat kombinasi yang diberikan. B Kerugian 1.Biaya yang diperlukan akan lebih banyak. 2.Efek antagonis dari 2 obat atau lebih yang mempunyai mekanisme dan titik tangkap kerja yang sama akan sangat merugikan karena mengurangi manfaat utama dari obat. 3. Meningkatkan risiko reaksi allergi
Tabel 4. Efek toksik antibiotika terhadap ibu dan janin dalam rahim. Jenis antibiotika Efek toksik Pada ibu Pada janin Kontraindikasi Kloramfenicol Depresi Bone Marrow Sindroma Grey Tetrasiklin (Tr. I) Hepatotoksik Pewarnaan Pankreatitis abnormal Haemorragie Dysplasia gigi Gagal ginjal Erithromycin Hepatotoksik Estolate Quinolone Artropati janin hewan Pertimbangkan Aminoglikosida Ototoksik, Toksik N. VII Nefrotoksik Clindamisin Alergi Colitis pseudomembran Nitrofurantoin Neuropatia Hemolitik Metronidazole Blood dyscrasia TrimethoprimVaskulitis Antagonis asam Sulfamethox folat Sulfonamide Alergi Kern ikterus Isoniazid Hepatotoksik Aztrenon Alergi Aman

wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 57-62


Penisilin Sefalosporin Erythromycin base Erythromycin Ethinylsuccinate Spectinomisin Alergi Alergi Alergi Alergi Alergi -

DAFTAR PUSTAKA
100th Edition MIMS Indonesia 2005, Prenancy Safety Index P:A10-17; Summary Table Of Antibiotic Groups P:209. CMP United Business Media, Jakarta, 2005. Berek J And Adashi E, Novaks Gynecology 12th Edition, P:534-618. William And Wilkins, USA 1996. Buku Ilmu Kandungan, Hal 272 313. , Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1997. Buku Panduan Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal Hal:M90-M95, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002. Callahan T, Caughey A and Heffner L, USMLE Blueprint In Obstetrics And Gynaecology, P 97-105; 109-112. Blackwell Science, United Of State, 1998. Cherney A and Penon L, Current Obstetric And Gynaecology Diagnosis And Treatament, P:200-8, 209-10. Mc-GrawHill Company, China 2000. Current Obstetric And Gynaecology Diagnosis Treatment 9th International Edition,P: 716-66. Mc-Grwahill, India, 2003. Drife J and Magowan B, Clinical Obstetric And Gynecology P:193-207. Saunders, United of Kingdom, 2004. Duff P and Edward R, Obstetrics And Gynaecology Just The Fact, International Edition. Mc-GrawHill, Singapore, 2005. Folley M and Strong T, Obstetric Intensive Care A Practical Manual, P:129-140. WB Saunders Company, United State Of America, 1997. Friedman E, Burter M and Chapin D, Seri Skema Diagnosis Dan Penatalaksanaan Ginekologi Edisi 2 Hal 112 121, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1998. Havker N and Moore J, Essentials Of Obstetrics And Gynaecology 3rd Edition, P:234-262. W.B Saunders Company, United State of America, 1998.

Impey L, Obstetri And Gynaecology, P:131-35. Blackwell Science Ltd, Oxford London, 1999. James D, Steer P, And Wemer C, High Risk Pregnancy Management Options, P: 509-550. WB Saunders Company LTD, British 1994. Kucers A and Bennet N, The Use Of Antibiotic A Comphrahensive Review With Clinical Emphasis 4th Edition. JB Lippincott Company, Philadelphia, 1987. Ling F and Duff P, Obstetrics & Gynaecology Principles For Prcatice. McGraw-Hill Medical Publishng Division, United State Of America, 2001. MIMS Indonesia 2005, Antibiotic Guide. CMP United Business Media, Jakarta, 2005.

You might also like