You are on page 1of 9

DETEKSI DAN KLASIFIKASI PENYAKIT ANEMIA (DEFISIENSI BESI, HEMOLITIK DAN HEMOGLOBINOPATI) BERDASARKAN STRUKTUR FISIS SEL DARAH

MERAH MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL


Anemie Classification And Detection (iron deficiency,hemolitic and hemoglobinopaty) based on Physical Structure of Erytrocyte Using Digital Image Processing
1

Marlina Eva Riyanti


1,2,3

Koredianto Usman, ST, MSc.

Achmad Rizal, ST, MT.

Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Telkom Jl. Telekomunikasi, Dayeuh Kolot Bandung 40257 Indonesia 1 2 3 marlina_st3@yahoo.co.id kru@stttelkom.ac.id arz@stttelkom.ac.id ABSTRAK Perkembangan teknologi dunia medis saat ini menuntut kita untuk menciptakan suatu inovasi, demikian halnya dengan metode pendeteksian suatu penyakit. Analisis yang dilakukan oleh dokter berdasarkan preparat darah tidak selalu sama antara dokter yang satu dengan dokter yang lain. Ketelitian dan konsentrasi dokter sangat menentukan hasil analisis. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu alat bantu yang dapat mendeteksi suatu penyakit pada suatu citra secara cepat dan otomatis, sehingga diperoleh analisis dan bukti yang akurat. Pada Tugas Akhir ini dibuat suatu program simulasi pendeteksian dan pengklasifikasian penyakit anemia dengan menggunakan software Matlab 7.6. Metode ini dibuat berdasarkan dua parameter penting yaitu analisis warna dan bentuk sel. Proses pengolahan citra dimulai dari akuisisi data citra, pemrosesan dan pengujian. Pada Tugas Akhir ini, citra diakuisisi dengan menggunakan webcam dimana lensa webcam dihadapkan pada lensa okuler dari mikroskop optik. Citra yang di tangkap oleh webcam di-capture oleh komputer dengan bantuan software Matlab. Citra hasil capture inilah yang kemudian diproses. Sistem simulasi ini diujikan pada 32 citra dari 3 kelas/jenis yang berbeda diantaranya anemia defisiensi besi, anemia hemolitik dan anemia hemoglobinopati dengan menggunakan deteksi bentuk dan deteksi warna dan menggunakan 20 citra latih. Analisis citra dilakukan dengan cara membaca informasi warna sel tiap layer dari citra sel darah merah dan bentuk selnya, kemudian hasilnya dibandingkan dengan deteksi manual dan diperoleh rata-rata tingkat akurasi sebesar 83.6%. Dengan hasil yang diperoleh maka dapat dikatakan bahwa program simulasi ini cukup baik untuk mendeteksi dan mengklasifikasikan penyakit anemia secara otomatis. Kata kunci : Citra sel darah, Analisa warna dan bentuk, Pengolahan citra digital. ABSTRACT The development of medical technology of the world at this time require us to create an innovation, as well as a method disease detection. Analysis done by the doctor based on the preparation of blood is not always the same between one doctors with another doctor. Accuracy and determine the concentration of physicians analyzes the results. Therefore, the need to create a tool that can detect a disease in an image quickly and automatically, so that analysis and the evidence is accurate. In this Final Research created a detection and classification simulation of anemie disease by using the Matlab software version 7.6 . This method is based on two important parameters, namely the analysis of color and form of cells. The process begins processing the image data from image acquisition, processing and testing. In This Final Research, the image is acquired by using the webcam lens webcam ocular lens in the face of the optical microscope. The image of the webcam is catches with the help of Matlab software. This is the result of image capture which is then processed. System simulation is tested on 32 images of 3 types of class / type of anemia among the different iron deficiency, hemolytic anemie and hemoglobinopaty anemie using color detection and form of cell and used 20 training images. Image analysis is done with the information how to read the color value from each layer of red blood cells and form of cell, and the results compared with manual detection and obtained an average accuracy level of 83.6%. With the results obtained it can be said that the simulation program is good enough to detect and classify the disease anemie automatically. Keywords 1. : Blood Cells image, color and shape analysis, digital image processing. yang begitu pesat memungkinkan untuk melakukan inovasi baru di berbagai bidang, tidak terkecuali bidang medis. Selama ini analisis bentuk sel darah sampai penentuan jenis penyakit dilakukan dengan cara manual dengan melihat bentuk sel darah di mana sampel darah

Pendahuluan Kebutuhan akan kemudahan, kepraktisan dan keakuratan pada masa sekarang ini merupakan sesuatu yang dianggap penting dan menjadi kebutuhan utama. Disamping itu, perkembangan teknologi dan informasi

yang akan diteliti diletakkan di atas preparat dilihat melalui mikroskop optik pada setiap bidang pandang. Proses secara keseluruhannya sampai akhirnya diputuskan jenis penyakit yang diderita memakan waktu 3 hari. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Indonesia menunjukkan prosentasi penderita anemia pada ibu hamil sekitar 40,1% (tahun 2001), pada balita 39% dan 24% anak usia 511 tahun (SKRT 2004) [12]. Berdasarkan data hasil survei tersebut dapat diketahui bahwa penderita penyakit anemia di Indonesia cukup banyak 2. Dasar Teori 2.1 Pengertian Darah Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit[10]. Sel Darah Merah (Erytrocytes) Merupakan sel yang paling banyak dibandingkan dengan dua sel darah lainnya. Berfungsi membawa oksigen kejaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Dalam keadaan normal sel darah merah mencapai hampir separuh dari volume darah yaitu sekitar 4-6 juta/mm3, dengan ukuran diameter biasanya antara 6,67,5 m. Sel darah merah tidak memiliki inti sel (nukleus). Sel darah merah mengandung hemoglobin, yang menyebabkan warnanya merah. Dengan bentuk normal berbentuk bikonkaf atau seperti lensa cembung[11] Anemia Anemia merupakan keadaan dimana jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada dibawah normal sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh [7]. Beberapa jenis penyakit anemia : 1. Anemia defisiensi besi, disebabkan kekurangan zat besi (Fe) untuk sintesa protein dalam darah yang pada akhirnya menyebabkan kadar hemoglobin menurun. Di Indonesia, penyakit ini banyak disebabkan karena investasi cacing tambang, terkadang juga disebabkan malnutrisi dan malabsorbsi. Biasanya penderita anemia defisiensi besi ini memiliki kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%, dengan ciri bentuk pensil sel yang banyak ditemukan pada pemeriksaan preparat di atas mikroskopnya. 2. Anemia Hemolitik, merupakan kondisi dimana masa hidup eritrosit memendek. Masa hidup eritrosit yang normal adalah berkisar antara 80-120 hari. Perpendekan masa hidup eritrosit ini dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor intrinsik disebabkan adanya kelainan pada eritrosit karena kekurangan bahan pembuat eritrosit ataupun karena ketidaknormalan dari enzim 2.1.2 2.1.1

3.

dalam eritrosit. Sementara Faktor ekstrinsik lebih disebabkan oleh bahan kimia atau obatobatan, bakteri ataupun autoimun yaitu kondisi eritrosit yang diselimuti oleh antibodi yang dihasilkan oleh tubuh sendiri. Jenis anemia ini biasanya ditandai dengan adanya sel eritrosit muda yang cukup banyak dalam darahnya Anemia Hemoglobinopati/Ovalositosis, terjadi apabila terdapat kelainan pada molekul globin dari hemoglobin yang normal sehingga terbentuk hemoglobin abnormal yang menimbulkan suatu kelainan. Jenis anemia ini ditandai dengan ditemukan banyak eritrosit yang berbentuk oval dalam darahnya

2.2 Citra Digital[4] Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetik. Citra digital merupakan suatu larik dua dimensi atau suatu matriks yang elemen-elemennya menyatakan tingkat keabuan dari elemen gambar. Jadi informasi yang terkandung bersifat diskret. Citra digital tidak selalu merupakan hasil langsung data rekaman suatu sistem. 2.2.1 Pengolahan Citra Digital[3] Pengolahan citra adalah pemrosesan citra khususnya dengan menggunakan komputer agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau mesin, dimana pengolahan citra diterapkan biasanya untuk perbaikan atau modifikasi citra, penggabungan citra dengan citra lainnya, bisa juga digunakan jika suatu citra perlu dikelompokkan, kecocokkan atau diukur dan masih banyak lagi. 2.2.1.1 Pengolahan warna A. Citra RGB[1] Sebuah warna didefinisikan dengan jumlah dari intensitas ketiga warna pokok RGB yang diperlukan untuk membentuk suatu warna. Kekuatan intensitas tiap komponen warna dapat berkisar antara 0% sampai 100% dan untuk menampilkan tingkat kekuatan intensitas ketiga warna tersebut maka digunakan satuan bit yang jumlah gabungannya menggambarkan jumlah warna yang ditampilkan pada layar monitor. Kekuatan intensitas 0% untuk ketiga warna RGB berarti ketiadaan suatu warna maupun kecerahan pada suatu piksel sehingga tampak sebagai titik hitam pada monitor, sedangkan bila nilai intensitas RGB penuh 100% maka komponen warna akan saling menetralkan pada suatu piksel sehingga tampak suatu titik putih pada layar monitor. B. Derajat Keabuan Citra (Greyscale image) [1] Derajat Keabuan Citra adalah representasi citra dengan hanya menggunakan satu warna grey (abu-abu) yang berbeda intensitasnya. Citra abu-abu dapat dihasilkan dari citra warna RGB dengan mengalikan ketiga komponen warna pokok merah, hijau dan biru dengan suatu koefisien yang jumlahnya satu [1].

Y = a R + bG + c B

( 2. 1)

C. Citra Biner Citra biner adalah representasi citra dengan hanya dua intensitas warna pada tiap pixelnya yaitu 0 dan 1, dimana nilai 0 mewakili warna hitam dan nilai 1 mewakili warna putih. Citra biner merupakan tingkat abu-abu terendah yang dicapai dalam pembentukan citra 2.2.1.2 Perbaikan Kualitas Citra (Enhancement) A.Median Filter [4] Sebuah citra biasanya mengandung noise (derau) dalam hal ini berupa variasi intensitas warna yang acak. Filter merupakan salah satu solusi untuk mengatasinya, dimana dalam tugas akhir ini penulis menggunakan filter median. Pada filter median, suatu jendela (windows) memuat sejumlah pixel (ganjil). Jendela digeser titik demi titik pada seluruh daerah citra. Pada setiap pergeseran dibuat jendela baru. Dimana titik tengah dari jendela ini diubah dengan nilai median dari jendela tersebut. 2.2.1.3 Segmentasi Citra[2] Segmentasi citra (image segmentation) merupakan langkah awal pada proses analisis citra yang bertujuan untuk mengambil informasi yang terdapat di dalam suatu citra. Dalam tugas akhir ini segmentasi citra merupakan pemisahan latar depan (obyek/foreground) dan latar belakang (background) pada suatu citra dan pemisahan objek yang berupa sel dara merah dan sel darah putih. 2.2.1.4 Pelabelan Komponen Pelabelan (labelling) merupakan algoritma untuk menemukan komponen terkoneksi dalam sebuah citra dan menandainya. Operasi ini diperlukan untuk citra biner yang mempunyai banyak obyek. Jika pada suatu citra mengandung sejumlah P obyek yang akan ditandai, maka bila diasumsikan obyek yang akan ditandai memiliki nilai 1 dan latar belakang memiliki nilai 0, scanning kita mulai dari sisi kiri atas baris pertama citra menuju arah kanan, kemudian pindah ke baris selanjutnya dan seterusnya. Piksel obyek pertama yang ditemukan akan diberi label 1, jika piksel selanjutnya yang berada di sebelah kanan mempunyai nilai intensitas yang sama maka akan diberi label 1 juga dan begitu seterusnya. Bila piksel selanjutnya pada baris ini ternyata bernilai 0 maka tidak akan diberi label karena merupakan latar belakang dan piksel selanjutnya setelah latar belakang yang bernilai 1 akan diberi label 2 sebagai tanda obyek kedua dan begitu seterusnya. 2.2.1.5 Operasi Morfologi [1] Gagasan yang mendasari morfologi digital adalah kenyataan bahwa citra mengandung serangkaian piksel piksel yang membentuk sekumpulan data dua dimensi. Persamaan matematika tertentu pada serangkaian piksel piksel dapat digunakan untuk meningkatkan aspek khusus dari bentuk (struktur) sehingga dapat lebih mudah untuk dikenali.

A. Dilasi Dilasi merupakan proses penggabungan titiktitik latar (0) menjadi bagian dari objek (1), berdasarkan structuring element ( S ) yang digunakan. dengan A adalah citra biner yang dikenakan operasi (dan mengalami perubahan bentuk pada obyeknya) dan B adalah citra yang melakukan operasi (dan tidak mengalami perubahan bentuk). B. Erosi Erosi merupakan operasi kebalikan dari dilasi, digunakan untuk menghapus atau mengurangi piksel piksel obyek, atau untuk memperkecil ukuran obyek. Pada kasus citra biner, erosi akan menghapus piksel piksel pada lapisan terluar obyek. 2.2.1.6 Deteksi Tepi Tepi adalah perubahan nilai intensitas derajat keabuan yang mendadak (besar) dalam jarak yang singkat.Perbedaan intensitas inilah yang memperlihatkan rincian pada gambar. a) Operator Sobel Tinjau pengaturan pixel di sekitar pixel (x,y) :

Operator Sobel adalah magnitudo dari gradien yang dihitung dengan


(2.2)

yang dalam hal ini, turunan parsial dihitung dengan


(2.3)

dengan konstanta c = 2. Dalam bentuk mask, s dan s dapat dinyatakan sebagai


y

dan Arah tepi dihitung dengan persamaan :


(2.4)

b) Operator Prewitt Persamaan gradien pada operator Prewitt sama seperti operator Sobel, tetapi menggunakan nilai c = 1 : dan c)

(2.5)

Operator Roberts Operator Roberts sering disebut juga operator silang. Gradien Roberts dalam arah-x dan arah-y dihitung dengan rumus :
(2.6)

Operator R (x,y) adalah hampiran turunan


+

berarah dalah arah 45 , sedangkan R adalah hampiran turunan berarah dengan sudut berkisar 135 . Dalam bentuk mask konvolusi, operator Roberts adalah :
0

dan (2.7) d) Operator Canny Berdasarkan wikipedia, operator Canny merupakan deteksi tepi yang optimal. Operator Canny menggunakan Gaussian Derivative Kernel untuk menyaring kegaduhan dari citra awal untuk mendapatkan hasil deteksi tepi yang halus. 3.Pemodelan dan Simulasi Sistem 3.1Tahap Akuisisi Tahapan akuisisi bertujuan untuk memperoleh gambar, dimana data yang diperoleh merupakan data aktual yang diperoleh dari hasil capture preparat langsung diatas mikroskop. Tahapan akuisisi ini meliputi persiapan peralatan preparat, mikroskop, webcam dan komputer, pengaktifan webcam sampai dengan peng-capture-an gambar. Preparat yang telah diletakkan diatas kaca, dilihat dengan mikroskop, dimana perbesaran pada mikroskop diatur pada 100 kali lensa objektif dan 10 kali pada lensa okuler . Kemudian pada lensa okuler dari mikroskop diletakkan webcam dengan sumbu optic sejajar dengan sumbu optic mikroskop. Dudukan webcam ditopang penyangga kaki tiga (tripod) agar stabil. Selanjutnya webcam dihubungkan ke komputer dengan menggunakan port USB. Prose pengaktifan webcam, video streaming dan penangkapan gambar atau frame capture dikendalikan oleh Matlab dengan interface (antarmuka) ke operator berupa suatu tampilan GUI. Gambar 3. 1 Skema tahapan akuisisi 3.1.2 Tahap Pemprosesan Gambar 3. 2 Skema tahap pemrosesan 3.1.2.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahap awal yaitu pembacaan citra. Pembacaan citra meliputi penangkapan citra RGB dengan menggunakan webcam yang dikendalikan menggunakan GUI di MATLAB. 3.1.2.2 Pemrosesan awal Tahap ini meliputi proses pemisahan leukosit(sel darah putih), konversi ke grayscale, proses cropping, proses penghilangan noise, deteksi bentuk dan deteksi warna. Gambar memperlihatkan skema tahapan pemrosesan awal.

Pada tahap ini dilakukan proses deteksi bentuk untuk selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan jenis penyakit anemia yang memenuhi (anemia defisiensi besi dan anemia hemoglobinopati). Sebelum melakukan proses deteksi, terlebih dahulu dilakukan penghilangan noise dengan median filter kemudian melakukan pemilihan jenis deteksi tepi dan menentukan nilai threshold untuk proses deteksi tepi, setelah dilakukan deteksi tepi, dilakukan proses penghilangan noise yang kecil berupa bintik-bintik menggunakan median filter dengan ukuran kernel 2x2. Selanjutnya dilakukan proses penebalan titik-titik objek sebelum, penebalan dilakukan menggunakan operasi dilasi dengan ukuran struktur element (SE=2) kemudian dilanjutkan dengan membersihan batas tepi (clear border) menggunakan hubungan antar piksel sebesar 8, kemudian dilakukan penebalan kembali terhadap titik-titik piksel objek untuk kemudian dilakukan pengisian lubang (filling holes). Kemudian dilakukan penipisan objek untuk mengembalikan objek ke ukuran semula. Selanjutnya tiap sel diperiksa apakah mencukupi nilai threshold yang ditetapkan atau tidak, dalam hal ini nilai treshold yang dipilih adalah 250. Untuk luas sel yang tidak memenuhi nilai treshold akan dihilangkan. Sedangkan untuk sel yang memenuhi dilakukan tahapan berikutnya yaitu deteksi bentuk berdasarkan nilai aspek rasio dan luas dari tiap-tiap sel yang terdeteksi. Adapun nilai aspek rasio dibedakan menjadi : 1. Aspek Rasio lebih besar sama dengan dari 0.6 dan aspek rasio lebih kecil dari 1.2 (0.6 AR <1.2) dikategorikan sel normal. 2. Aspek Rasio lebih besar sama dengan 1.2 dan lebih kecil dari 1.6 (1.2 AR <1.6) dikategorikan sel anemia hemoglobinopati. 3. Aspek Rasio lebih besar sama dengan 1.6 dan lebih kecil dari 2.6 (1.6 AR <2.6) dikategorikan sel anemia defisiensi besi. 4. Aspek Rasio lebih besar sama dengan 2.6 atau lebih kecil dari 0.6 (AR 2.6 atau AR < 0.6) dikategorikan sel kelainan. Sedangkan nilai luas dibedakan menjadi : 1. Luas sel lebih besar sama dengan dari 200 dan lebih kecil dari 500 (200 Lsel <500) dikategorikan sel anemia defisiensi besi. 2. Luas sel lebih besar sama dengan 500 dan lebih kecil dari 800(500 Lsel <800) dikategorikan sel normal. 3. Luas sel lebih besar sama dengan 800 dan lebih kecil dari 1200 (1200 Lsel <800) dikategorikan sel anemia hemoglobinopati. 4. Luas sel > 1200 dikategorikan sel yang mengalami kelainan. Selanjutnya dilakukan klasifikasi berdasarkan nilai aspek rasio dan luas yang terdeteksi. Untuk lebih jelasnya, berikut digambarkan pada blok diagram pada gambar 3.11.

Gambar 3. 3 Skema Pemrosesan awal 2.1.1.1 Deteksi dan Klasifikasi 3.1.2.3.1 Deteksi Bentuk

objek dengan operasi dilasi kemudian dicek luas masing-masing objek apakah memenuhi nilai threshold luas yang telah ditentukan sebelumnya. Jika luas objek memenuhi nilai threshold maka di definisikan sebagai anemia hemolitik. Sementara untuk sel yang tidak memenuhi syarat threshold luas akan dihilangkan dan menampilkan output gambar awal sebelum proses deteksi warna.

Gambar 3. 4 Flowchart proses deteksi bentuk 3.1.2.3.2 Deteksi Warna Pada Tahap ini dilakukan proses deteksi warna untuk data yang memiliki bagian dengan intensitas yang lebih mencolok dibanding bagian lain. Untuk inputan proses ini diperoleh dari hasil output pada tahapan buang leukosit. Kemudian deteksi warna dari tiap layer pada objek, dimana sebelumnya telah diambil nilai threshold dari tiap-tiap layer (R, G dan B) dari sel yang normal yaitu dengan R= 164, G= 153, dan B=107 dengan nilai toleransi masing-masing sebesar 10. Nilai tiap layer ini dijadian pedoman untuk mendeteksi sel normal. Selanjutnya dilakukan proses penebalan objek menggunakan operasi morfologi dilasi, fungsinya untuk menebalkan titik-titik objek yang telah terdeteksi. Tahapan berikutnya adalah membuang objek-objek kecil yang mengganggu di sekelilingnya menggunakan median filter dengan orde 3. Kemudian dilakukan proses pembuangan batas tepi yang diikuti dengan penebalan objek dan penipisan piksel objek menggunakan operasi morfologi. Setelah itu dilakukan proses labelling dan memeriksa luas masing-masing objek apakah lebih besar dari nilai treshold yang ditentukan atau tidak (treshold=20000). Jika luas objek memenuhi nilai treshold maka objek terdefinisi sebagai sel normal sebaliknya jika luas objek tidak memenuhi nilai treshold maka dikategorikan terdeteksi anemia dan dilakukan pemrosesan tahap berikutnya. Tahapan berikutnya adalah memeriksa nilai tiap layer R, G dan B dari objek apakah sesuai dengan nilai R, G dan B dari sel anemia hemolitik. Jika memenuhi maka dilakukan proses penebalan piksel objek dan membuang bintik-bintik noise menggunakan median filter dengan nilai orde median yang telah dipilih di awal proses untuk selanjutnya dilakukan proses labelling dan penebalan

Gambar 3. 5 Flowchart proses deteksi warna 3.1.3 Pengujian Sistem Setelah program simulasi selesai maka tahap selanjutnya menguji kehandalan program yang dibuat, dalam tugas akhir ini dilakukan pengujian dengan melakukan beberapa kali perubahan terhadap orde filter median pada tahapan denoising yaitu orde lima, sepuluh dan lima belas. Selain itu juga dilakukan beberapa kali perubahan pada nilai threshold begitupun dengan jenis deteksi tepi yang dilakukan dalam pengujian, dilakukan perubahan jenis deteksi tepi yaitu sobel, prewitt, canny dan robert. Dan tahap selanjutnya adalah mengambil data-data yang diperlukan untuk menghitung tingkat akurasi sistem yang telah dibuat. 3.2 Perancangan GUI

4. Analisis Hasil Simulasi 4. 1 Pengujian sistem Pada tugas akhir ini dilakukan pengujian yang bertujuan untuk mengetahui kehandalan sistem berdasarkan deteksi bentuk maupun deteksi warna . Pada deteksi bentuk dilakukan pengujian menggunakan

orde filter median, nilai threshold dari deteksi tepi maupun jenis deteksi tepi yang berbeda-beda. Sementara untuk deteksi warna, pengujian dilakukan hanya menggunakan orde median filter dan nilai threshold luas yang berbeda-beda. 4.1.1 Deteksi Warna 4.1.1.1 Pengujian Sistem dengan median yang berbeda-beda

Orde Filter Gambar 4. 2 Grafik pengujian untuk nilai threshold luas yang berbeda 4.1.2 Deteksi Bentuk 4.1.2.1 Pengujian sistem dengan Orde Median Filter yang berbeda-beda Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh orde median filter terhadap akurasi untuk masing-masing sample citra. Jumlah sampel citra yang digunakan sebanyak 32 citra sel darah merah.

Gambar 4. 1 Grafik pengujian untuk orde median filter yang berbeda Grafik di atas menunjukkan hasil pengujian terhadap nilai orde median filter yang berbeda-beda. Orde median filter yang diujikan adalah 5, 10, 15 dan 20 untuk 18 jumlah sampel yang diujikan. Grafik di atas menunjukkan rata-rata tingkat akurasi terhadap orde median filter, dimana orde 5 median filter memiliki rata-rata tingkat akurasi sebesar 88%, sementara orde median filter 10 memiliki rata-rata tingkat akurasi sebesar 86%, orde median filter 15 memiliki rata-rata tingkat akurasi sebesar 81% dan yang terendah adalah orde 20 dengan rata-rata tingkat akurasi sebesar 80%. Dari hasil pengujian tersebut diperoleh orde median filter yang terbaik adalah orde 5 dengan rata-rata tingkat akurasi sebesar 88%. Median filter dalam hal ini difungsikan untuk menghilangkan noise atau bintik-bintik kecil. Sehingga untuk orde median filter yang semakin tinggi, noise atau bintikbintik kecil akan semakin banyak hilang, akan tetapi ada kemungkinan objek juga ikut hilang sehingga menyebabkan terjadinya kesalahan pada saat pendeteksian. 4.1.1.2 Pengujian Sistem dengan Nilai Threshold Luas yang berbeda-beda Pengujian sistem yang dilakukan tidak hanya menggunakan orde median filter yang berbeda-beda tetapi juga menggunakan nilai threshold luas yang berbeda-beda. Pada pengujian kali ini, sistem diujikan pada 8 nilai threshold yaitu 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700 dan 800. Pengujian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana pengaruh nilai threshold terhadap keakuratan hasil pengujian. Pengujian dilakukan pada masing-masing sampel uji sebanyak 32 sampel citra sel darah merah. Selain menggunakan treshold luas, pengujian ini juga menggunakan nilai treshold warna tiap layer untuk mendeteksi sel normal. Untuk pengujian sel normal dilakukan di awal proses deteksi warna, dimana nilai treshold maksimum yang digunakan untuk mendeteksi sel normal yaitu untuk layer R, G dan B masing-masing 164, 153 dan 107. Akan tetapi pada analisa ini di fokuskan pada pengaruh perubahan nilai treshold luas dari sel jenis anemia hemolitik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik nilai threshold terhadap rata-rata akurasi di bawah ini.

Gambar 4. 3 Grafik pengujian untuk orde median filter yang berbeda Grafik di atas menunjukkan hasil pengujian terhadap nilai orde median filter yang berbeda-beda. Orde median filter yang diujikan adalah 5, 10, 15 dan 20 untuk tiap sampel yang diujikan. Grafik di atas menunjukkan rata-rata tingkat akurasi terhadap orde median filter, dimana orde 5 median filter memiliki ratarata tingkat akurasi sebesar 71%, selanjutnya orde median filter 10 dengan rata-rata tingkat akurasi sebesar 60%, kemudian orde 15 dengan rata-rata tingkat akurasi sebesar 43% dan orde 20 dengan rata-rata tingkat akurasi sebesar 27%. Dari hasil pengujian tersebut diperoleh orde median filter yang terbaik adalah orde 5 dengan rata-rata tingkat akurasi sebesar 71%. Median filter berfungsi untuk menghilangkan noise atau bintikbintik kecil disekeliling objek. 4.1.2.2 Pengujian sistem dengan Nilai Threshold yang berbeda-beda Pengujian sistem kali ini juga dilakukan untuk melihat pengaruh nilai treshold terhadap akurasi. Nilai threshold yang dimaksud dalam hal ini adalah nilai threshold untuk proses segmentasi yaitu untuk pendeteksian tepi. Pada pengujian kali ini, sistem diujikan pada nilai threshold mulai dari 0.001-0.01 akan tetapi setelah dilakukan pengujian beberapa kali dipilih 3 nilai sampel yang memiliki selisih 1% yaitu 0.009, 0.019 dan 0.029. Pengujian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana pengaruh nilai threshold terhadap keakuratan hasil pengujian. Pengujian dilakukan pada masing-masing sampel uji sebanyak 32 sampel uji citra sel darah merah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik nilai threshold terhadap rata-rata akurasi di bawah ini.

Gambar 4. 4 Grafik pengujian untuk nilai threshold yang berbeda Pada Grafik di atas diperoleh nilai threshold dengan akurasi yang paling baik adalah threshold 0.019 dengan rata-rata akurasi sebesar 71%. Sementara threshold 0.009 dan 0.029 memiliki rata-rata akurasi sebesar 57% dan 37%. Pengujian ini dilakukan untuk nilai orde filter dan jenis deteksi tepi yang sama. Nilai threshold yang berbeda akan mempengaruhi proses pemisahan sel, dimana semakin besar nilai threshold maka semakin besar kemungkinan sel objek untuk dapat terdeteksi. Akan tetapi jika nilai threshold terlalu besar ataupun terlalu kecil maka pemisahan sel yang dilakukan tidak akan maksimal. 4.1.2.3 Pengujian sistem dengan Jenis Operator Deteksi Tepi yang berbeda-beda

Gambar 4. 6 Grafik pengujian untuk jenis anemia Hemolitik

Gambar 4. 5 Grafik pengujian untuk jenis deteksi tepi yang berbeda Pada Grafik di atas diperoleh jenis operator deteksi tepi dengan akurasi yang paling baik adalah sobel dengan rata-rata akurasi sebesar 71%. Sementara operator deteksi tepi prewitt, robert dan canny memiliki rata-rata akurasi masing-masing sebesar 67%, 51% dan 35%. Pengujian ini dilakukan untuk nilai orde filter dan nilai threshold yang sama. Jenis operator deteksi tepi sobel memiliki kemampuan mendeteksi cukup baik dibandingkan dengan jenis deteksi yang lain karena jumlah sel yang mampu terdeteksi pada saat pengujian lebih banyak dibanding menggunakan jenis operator deteksi tepi yang lain, dengan demikian hasil pengujian dapat lebih akurat. 4.1.3 Pengujian sistem untuk Klasifikasi Jenis Anemia. Pada jenis anemia hemolitik, pengklasifikasian dilakukan berdasarkan deteksi warna, dimana sistem akan mendeteksi nilai tiap layer dari citra RGB hasil dari proses buang leukosit, pada tahap pemprosesan awal dideteksi apakah nilai tiap layer R, G dan B memenuhi nilai treshold sel normal, jika tidak memenuhi maka diperiksa untuk nilai threshold R, G dan B sel anemia hemolitik. Pengujian ini bertujuan untuk melihat hasil pengklasifikasian sistem terhadap klasifikasi manual.

Gambar 4. 7 Grafik perbandingan jumlah deteksi manual dengan deteksi otomatis Grafik 4.6 memperlihatkan tingkat akurasi dari pengklasifikasian jenis anemia pada tiap-tiap sampel citra uji. Dari 32 citra sel darah merah terdapat 3 citra yang memiliki tingkat akurasi yang sangat rendah, hal ini disebabkan kesalahan pada saat pendeteksian nilai RGB dari tiap-tiap layer dimana nilai threshold untuk layer R, G dan B memenuhi pada area tepian objek disamping itu orde median filter dan nilai threshold luas objek yang dideteksi memenuhi nilai threshold luas yang telah di tentukan. Dalam hal ini, nilai threshold layer RGB yaitu R= 58, G= 43, B= 65 dengan toleransi masing-masing sebesar 10. Orde median filter dan nilai threshold luas yang digunakan pada pengujian merupakan orde dan nilai threshold yang terbaik yaitu 5 dan 600. Grafik 4.7 memperlihatkan jumlah sel yang terdeteksi dan terklasifikasi secara benar pada pengujian manual dengan pengujian otomatis sistem. Pengujian ini dilakukan pada orde median filter dan nilai threshold yang terbaik yaitu median orde 5 dan nilai threshold 600. Tabel berikut menunjukkan hasil pengujian jenis anemia dengan deteksi warna, dimana pada pengujian ini dilakukan pada semua sample citra sel darah untuk mendeteksi jenis anemia hemolitik, untuk 27 citra yang secara manual tidak terdefinisi anemia hemolitik terdapat 3 citra yang salah mengklasifikasikan secara sistem, dimana 17 citra secara manual seharusnya tidak terdeteksi anemia hemolitik, tetapi secara sistem 2 citra didefinisikan sebagai anemia hemolitik, kemudian 10 citra secara manual terdefinisi sebagai sel normal, akan tetapi secara sistem ada 1 citra yang didefinisikan hemolitik. Dan untuk citra yang telah terdefinisi anemia hemolitik secara manual yaitu sebanyak 5 citra, secara sistem tidak terdapat salah secara pengkalsifikasian sistem hanya saja tingkat akurasinya ada yang berada dibawah 100% yaitu 33% dan 75% pada citra 14 dan 15.

Tabel 4. 1 Tabel Pengujian klasifikasi jenis anemia hemolitik dengan deteksi warna Sementara untuk jenis anemia defisiensi besi dan hemoglobinopati, pengklasifikasian dilakukan berdasarkan nilai aspek rasio dan luas dari masingmasing sel darah merah yang telah terdeteksi, dimana jumlah sel yang terdeteksi sangat tergantung pada pemilihan orde median filter pada proses penghilangan noise, nilai threshold maupun jenis operator deteksi tepi yang digunakan. Pada pengujian klasifikasi ini digunakan orde filter, nilai threshold dan jenis operator deteksi tepi terbaik yang diperoleh pada pengujian sebelumnya.

sel yang terdeteksi benar secara manual dengan secara otomatis menggunakan sistem. Pada Tabel 4.2 dibawah menunjukkan hasil pengujian jenis anemia dengan deteksi bentuk, dimana pada pengujian ini dilakukan pada semua sample citra sel darah untuk mendeteksi dan mengklasifikasikan jenis anemia hemoglobinopati dan defisiensi besi, untuk 5 citra yang secara manual tidak terdefinisi anemia hemoglobinopati maupun anemia defisiensi besi terdapat kesalahan dari sistem dalam mengklasifikasikan citra sel darah merah tersebut karena seharusnya citra tersebut diklasifikasikan dalam anemia hemolitik bukan anemia hemoglobinopati. Dan untuk citra yang telah terdefinisi anemia hemoglobinopati dan defisiensi besi secara manual yaitu sebanyak 12 citra untuk anemia hemoglobinopati dan 5 citra untuk defisiensi besi, secara sistem hanya terdapat satu kesalahan pengklasifikasian yaitu pada citra 13, dimana secara pengklasifikasian sistem terdefinisi sebagai anemia hemoglobinopati akan tetapi secara manual terdefinisi sebagai anemia defisiensi besi. Selain citra yang terdefinisi anemia, terdapat pula citra yang terdefinisi secara manual sebagai sel normal yaitu 10 citra akan tetapi secara sistem yang terdeteksi secara benar ada 9 citra, dimana 1 citra tidak terdefinisi karena tidak ada sel yang terdeteksi.

Gambar 4. 8 Grafik pengujian untuk jenis anemia besi dan oval

Tabel 4. 2 Tabel Pengujian klasifikasi jenis anemia defisiensi besi dan hemoglobinopati dengan deteksi Bentuk 4.1.4 Perbandingan Sistem Keseluruhan Pengujian secara keseluruhan dilakukan dengan membandingkan hasil deteksi pada data latih dengan hasil deteksi data uji untuk masing-masing jenis penyakit. Pengujian pada data latih menggunakan 20 citra sampel darah merah dan pada data uji menggunakan 32 citra sampel sel darah merah. Dari hasil pengujian sistem secara keseluruhan diperoleh rata-rata tingkat akurasi data uji sebesar 83.6% dan ratarata akurasi untuk data latih sebesar 93.3%. Ini berarti sistem ini cukup baik dalam mendeteksi dan mengklasifikasikan penyakit anemia (defisiensi besi, hemolitik dan hemoglobinopati). Seperti ditunjukkan pada tabel 4.3 dibawah ini.

Gambar 4. 9 Grafik perbandingan jumlah deteksi manual dengan deteksi otomatis Sama halnya dengan deteksi warna, grafik diatas juga memperlihatkan tingkat akurasi dari masing-masing sampel uji citra sel darah merah sebanyak 32 buah citra. Pengujian ini menggunkan orde median filter, nilai threshold dan jenis operator deteksi tepi yang terbaik yaitu median orde 5, dengan nilai threshold 0.019 dan jenis operator deteksi tepi sobel. Grafik 4.9 menunjukkan perbandingan jumlah

Tabel 4. 3 Tabel perbandingan sistem keseluruhan 5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan Dari pengujian dan analisa sistem yang telah dilakukan terhadap proses deteksi dan klasifikasi penyakit anemia maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Program simulasi pendeteksian dan pengklasifikasian penyakit ini menggunakan deteksi warna untuk mendefinisikan penyakit anemia hemolitik dan menggunakan deteksi bentuk untuk mendefinisikan penyakit anemia hemoglobinopati dan defisiensi besi. 2. Program simulasi pendeteksian dan pengklasifikasian penyakit anemia ini sudah dapat direalisasikan dengan rata-rata prosentase tingkat akurasi sistem sebesar 83.6%. 3. Tingkat akurasi untuk masing-masing jenis penyakit yaitu a. Anemia Hemolitik = 82% b. Anemia Hemoglobinopati = 84% c. Anemia Defisiensi besi = 85% 4. Orde filter median mempengaruhi proses pendeteksian dan pengklasifikasian, dimana orde terbaik untuk ketiga jenis penyakit anemia (defisiensi besi, hemoglobinopati dan hemolitik) adalah median filter orde 5. 5. Jenis operator deteksi tepi dan nilai threshold mempengaruhi dalam proses deteksi dan klasifikasi anemia defisiensi besi dan hemoglobinopati, dengan jenis operator deteksi tepi yang terbaik adalah sobel dengan nilai threshold terbaik 0.019. 6. Nilai threshold luas juga berpengaruh pada proses deteksi anemia hemolitik, dengan nilai treshold terbaik adalah 600. 7. Nilai treshold optimum untuk deteksi warna pada masing-masing layer yaitu 164 untuk layer R, 153 untuk layer G dan 107 untuk layer B dan nilai treshold minimum untuk deteksi warna yaitu 58, 43 dan 65 masingmasing untuk layer R, G dan B. 8. Karakteristik dari masing-masing sel pada program simulasi ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengklasifikasikan sel penyakit anemia tersebut, dimana pada simulasi ini karakteristik yang dipakai pada deteksi bentuk adalah nilai aspek rasio dan luas dari masing-masing sel sementara pada deteksi warna digunakan nilai masing-masing layer R, G dan B . 9. Kesalahan deteksi dan klasifikasi sebagian besar disebabkan karena ketidakhomogenan dari kontras dan resolusi dari citra webcam untuk setiap citra input.

5.2 Saran 1. Dibutuhkan kalibrasi kontras di awal proses untuk citra dengan kontras yang tidak homogen. 2. Dalam satu pengujian sistem sebaiknya menggunakan citra inputan dengan kontras dan resolusi yang sama (homogen). 3. Untuk separasi sel yang gandeng ataupun bertumpuk membutuhkan metode yang lebih tepat lagi. 4. Dibutuhkan jumlah citra uji yang lebih banyak lagi sehingga diperoleh tingkat akurasi yang lebih tinggi 5. Untuk sistem pengklasifikasian dapat menggunakan karakteristik/ciri lain dari masing-masing jenis sel yang terdeteksi.

DAFTAR PUSTAKA [1] Ahmad, Usman, Pengolahan Citra Digital & Teknik Pemrogramannya, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2005. [2] Away, Gunaidi Abdia. The Shortcut of Matlab programming, Informatika. Bandung, Juni 2006. [3] Gonzalez, Rafael C. and Woods, Richard E., Digital Image Processing, Prentice Hall. New Jersey, 2002. [4] Munir, A, Pengantar Pengolahan Citra, PT. Elek Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta,1992. [5] Munir, Rinaldi., Pengolahan Citra Digital dengan Pendekatan Algoritmik, Informatika. Bandung, 2004. [6] Sugiharto, Aris. Pemrograman GUI dengan Matlab, Andi. Yogyakarta, Januari 2006. [7] Supandiman, Iman. Hematologi Klinik Edisi Revisi, Alumni. Jakarta, 2004. [8] Usman, Koredianto. Perhitungan Sel Darah Merah Bertumpuk Berbasis Pengolahan Citra Digital Dengan Operasi Morfologi, Seminar Nasional Informatika 2008 (semnasIF 2008). Yogyakarta, Mei 2008. [9] Wijaya, Marvin Ch & Agus Prijono. Pengolahan Citra Digital Menggunakan Matlab Image Processing Toolbox, Informatika. Bandung, November 2007. [10] World Health Organization, Iron deficiency anemia assessment, prevention and control. A guide for programme managers.2001. [11] http://id.wikipedia.org/wiki/Anemia [12] http://www.koransindo.com/kesehatan.html

You might also like