You are on page 1of 9

Penilaian morfologi sperma menurut kriteria WHO dan strict criteria: perbandingan metode dan variabilitas intra-laboratorium

Andre ipak1*, Patrik Stani1, Koraljka uri2, Tihana Serdar3, Ernest Suchanek4. Biochemia Medica 2009; 19(1):87-94.http://dx.doi.org/10.11613/BM.2009.009
1 2

Departemen Kandungan dan Kebidanan, Rumah Sakit Universitas Zagreb, Zagreb, Kroasia. Laboratorium Medis Biokimia, Poliklinik Sunce, Zagreb, Kroasia. 3 Departemen Laboratorium Medis, Rumah Sakit Universitas Dubrava, Zagreb, Kroasia. 4 Klinik Fertilitas, Rumah Sakit Tawam, John Hopkins Medicine, Al Ain, Abu Dhabi, U.A.E. Penulis korespondensi*: andrea.cipak@gmail.com

ABSTRAK Latar belakang: Penilaian morfologi sperma adalah salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi pihak pria pada kasus pasangan yang infertil. Adanya variasi inter- maupun intra- laboratorium yang bermakna dapat menyebabkan kesulitan maupun kesalahan interpretasi. Usaha meminimalkan variasi-variasi ini diperlukan untuk mengurangi kesalahan yang bermakna dan memastikan reproduksibilitas intra- dan inter-laboratorium. Materi dan metode: Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang mendatangi laboratorium andrologi secara berturutan untuk evaluasi fertilitas. Dua kriteria penilaian morfologi sperma dibandingkan, yaitu: 1) apusan semen dengan pewarnaan Giemsa yang dinilai dengan kriteria World Health Organization (WHO); dan 2) apusan semen dengan pewarnaan Spermac dan dinilai dengan strict criteria. Perbandingan pemeriksaan morfologi juga dilakukan. Hasil: Diagnosis teratozoospermia dengan kriteria WHO maupun strict criteria tampak setara dalam 45 dari 49 kasus. Kesetaraan pengamatan tampak sama untuk kriteria WHO maupun strict criteria (kappa: 0.700 berbanding 0.715). Kesimpulan: Penilaian morfologi dengan kriteria WHO dan strict criteria tidak jauh berbeda dalam mendiagnosis teratozoospermia dan kesesuaian antar pengamat dapat diperoleh dengan pelatihan yang tepat, pemeriksaan apusan yang cermat dan penyesuaian sistem klasifikasi. Kata kunci: spermatozoa; infertilitas; pria; variasi pengamat

Pendahuluan Penilaian morfologi sperma sebagai komponan dari prosedur analisis semen merupakan salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi pihak pria dari pasangan yang infertil. World Health Organization (WHO) telah menerbitkan beberapa panduan untuk menyamaratakan prosedur analisis semen; dan kriteria WHO tersebut telah diterima secara luas di berbagai laboratorium andrologi di seluruh penjuru dunia. Menkveld dkk. pada tahun 1990 memperkenalkan penilaian morfologi sperma dengan kriteria yang lebih ketat, kriteria yang dikenal sebagai kriteria Tygerberg atau strict criteria (kriteria ketat) ini meningkatkan objektivitas dan memperkecil variabilitas intra-laboratorium. Perbedaan sistem klasifikasi memunculkan variasi inter- dan intra-laboratorium yang bermakna sebagai akibat dari berbagai faktor seperti perbedaan teknik pembuatan apusan, pengalaman analis dan interpretasi. Variasi-variasi seperti ini dapat menyebabkan kesulitan interpretasi hingga kesalahan diagnosis. Minimalisasi dari variasi-variasi ini diperlukan untuk mengeliminasi kesalahan yang bermakna dan memastikan reproduksibilitas intra- dan inter-laboratorium. Tujuan dari penelitian adalah untuk membandingkan dua kriteria penilaian morfologi sperma, yaitu: 1) apusan semen dengan Giemsa yang dinilai dengan kriteria WHO; dan 2) apusan semen dengan Spermac yang dinilai dengan strict criteria. Variasi intra-laboratorium untuk pemeriksaan morfologi juga dibandingkan. Artikel ini merupakan laporan pertama mengenai perbandingan metode dan variasi intra-laboratorium di Kroasia.

Materi dan metode Pasien Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang datang secara berturutan dalam batas usia 18 hingga 50 tahun. Pasien-pasien mendatangi laboratorium andrologi Departemen Kandungan dan Kebidanan Rumah Sakit Pusat Universitas Zagreb untuk pemeriksaan fertilitas dalam rentang periode Mei hingga Juli 2007. Semua subjek diminta untuk tidak berhubungan seksual sekurang-kurangnya 2 hari sebelum pemeriksaan.

Kriteria Normozoospermia menurut kriteria WHO adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma > 20 x 106 spermatozoa/mL, motilitas sperma progresif > 50%, atau sekurang-kurangnya 25% spermatozoa dengan motilitas progresif linier dan 30% spermatozoa memiliki morfologi normal. Kriteria ini hanya dapat diterapkan bila analisis sperma dilakukan pada suhu 37oC. Motilitas sperma sangat dipengaruhi oleh suhu dan penilaian harus dilakukan dengan suhu yang terjaga. Analisis motilitas pada laboratorium andrologi dilakukan pada suhu ruang (22 oC) sehingga dilakukan penyesuaian terhadap kriteria motilitas sperma. Diagnosis

astenozoospermia menurut kriteria yang telah dimodifikasi ini dapat ditegakkan bila ditemukan < 40% spermatozoa dengan motilitas progresif dalam sampel semen. Teratozoospermia didiagnosa bila ditemukan < 30% morfologi spermatozoa normal dalam sampel semen menurut kriteria WHO atau < 15% menurut strict criteria. Oligozoospermia adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma < 20 x 106 spermatozoa/mL. Oligoastenozoospermia adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi dan motilitas sperma rendah.

Penilaian motilitas dan konsentrasi sperma Evaluasi motilitas dan konsentrasi sperma dilakukan dengan menggunakan Autosperm dari Amsaten Corp. (De Pinte, Belgia) untuk analisis ejakulasi. Sepuluh L semen yang sudah diencerkan lalu diteteskan ke kaca preparat dan ditutup dengan kaca penutup (ukuran 22 x 22 mm). Analisis dilakukan pada suhu ruang dengan perbesaran 500x. Motilitas dinilai dari persentase spermatozoa yang motil: a) Spermatozoa dengan motilitas linear dan progresif (kecepatan linear 22 m/detik); b) Spermatozoa dengan motilitas linear atau nonlinear lambat (kecepatan linear < 22 m/detik dan 5 m/detik); c) Lambat; dan d) Spermatozoa tidak bergerak.

Penilaian morfologi sperma dengan kriteria WHO Sepuluh L semen yang sudah diencerkan kemudian diapuskan ke kaca preparat dan dikeringanginkan pada suhu ruang. Apusan kemudian dicat dengan pewarnaan Giemsa dan morfologi sperma dinilai dengan kriteria WHO. Dua pemeriksa yang berbeda menghitung hingga 200 sel untuk setiap preparat menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran hingga 1000x dan minyak emersi. Sebuah spermatozoon menurut kriteria WHO dianggap berbentuk normal bila memiliki bentuk kepala oval dan akrosom menutupi 40-70% area kepala. Spermatozoon normal tidak memiliki leher, midpiece, kelainan ekor maupun cytoplasmic droplets yang besarnya melebihi separuh dari ukuran kepala sperma.

Perhitungan leukosit dan sel spermatozoa imatur Leukosit dan sel spermatozoa imatur (spermatid bulat, spermatosit, dan spermatogonia) dinilai dengan pengecatan Giemsa dan dihitung menggunakan Autosperm, produk dari Amsaten Corp. (De Pinte, Belgia) untuk analisis ejakulasi.

Penilaian morfologi sperma dengan strict criteria Sejumlah cairan semen yang telah diencerkan dicuci terlebih dahulu sebelum pengecatan dengan medium pencucian sperma Quinn, produk dari SAGE (Amerika Serikat) dan disentrifugasi dengan kecepatan 300 g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan 0.5 mL medium Quinn ditambahkan ke endapan. Sepuluh L semen yang sudah dicuci diapuskan ke kaca preparat, difiksasi dan dikering-anginkan. Apusan dicuci dengan akuades dan dicat dengan pewarnaan Spermac, produk dari FertiPro (Beernem, Belgia). Apusan dicuci dengan akuades setelah pengecatan. Dua pemeriksa yang berbeda menghitung hingga 200 sel untuk masing-masing preparat menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran hingga 1000x dan minyak emersi. Strict criteria diterapkan untuk evaluasi, dimana spermatozoon dinyatakan normal bila memiliki kepala oval, panjang 4.0-5.0 m dan lebar 2.5-3.5 m, diukur dengan mikrometer okuler. Rasio panjang:lebar harus berada di antara 1.50-1.75. Spermatozoon normal memiliki akrosom utuh yang menutupi 40-70% area kepala. Midpiece tipis, lebar kurang dari 1 m, dengan panjang sekitar 1.5x kepala. Cytoplasmic droplets, bila ada, tidak boleh melebihi setengah dari lebar kepala. Ekor tipis, seragam, tidak melingkar, panjang sekitar 45 m. Semua bentuk yang meragukan dianggap abnormal dalam sistem klasifikasi ini.
4

Indeks teratozoospermia Indeks teratozoospermia (TZI) didefinisikan sebagai jumlah kelainan yang ditemui dari setiap spermatozoon abnormal. Semua spermatozoa abnormal dapat memiliki satu hingga empat kelainan yaitu kelainan kepala, leher/midpiece dan ekor atau cytoplasmic droplets. Klasifikasi spermatozoa untuk TZI dilakukan di laboratorium. Spermatozoa dicatat dalam kategori normal atau abnormal dan dibagi dalam kelompok yang lebih spesifik (kelompok kelainan kepala, leher/midpiece dan ekor atau cytoplasmic droplet). Kelainan tersebut dijumlah lalu dibagi dengan jumlah spermatozoa yang abnormal.

Tes eosin Vitalitas dianalisis dengan pengecatan apusan menggunakan eosin. Sperma vital memiliki membran sel utuh yang tidak akan terwarnai dan tetap putih dalam apusan, sementara eosin berdifusi melalui membran sel yang rusak dari sperma yang sudah tidak vital. Apusan dikering-anginkan dan evaluasi dilakukan dengan menghitung spermatozoa yang tercat merah dan yang tidak tercat dengan optik medan terang dan pembesaran maksimal 400x. Seratus sel dihitung sekurang-kurangnya. Hasil ditampilkan dalam bentuk persentase (%) dari sperma eosin negatif (tidak tercat).

Analisis statistik Hasil digambarkan dengan nilai rerata dan standar deviasi. Semua sampel semen dinilai oleh satu pemeriksa. Perbedaan antara parameter semen dalam penilaian dengan kriteria WHO dan strict criteria diuji dengan uji-t. Perbedaan parameter semen dalam subgrup

(normozoospermia, astenozoospermia, oligozoospermia, dan oligoastenozoospermia) dinilai dengan ANOVA. Kesetaraan pengamatan mengenai evaluasi morfologi sperma dengan kriteria WHO dan strict criteria diperiksa. Nilai Kappa dihitung sebagai ukuran kesetaraan pengamatan. Hasil dianalisis dengan program SPSS, produk dari SPSS Inc. (Chicago, Amerika Serikat).

Hasil Parameter semen ditampilkan dalam Tabel 1, beserta usia dan jumlah hari abstinensia seksual. Pasien dibagi menjadi 4 kelompok sebagai berikut: normozoospermia, astenozoospermia, oligozoospermia, dan oligoastenozoospermia. Perbedaan statistik yang bermakna dari usia atau jumlah hari abstinensia seksual tidak ditemui dari keempat kelompok. Perbedaan yang bermakna dari keempat kelompok tersebut ditemui dalam konsentrasi sperma, jumlah total sperma, motilitas dan vitalitas (p < 0.001 untuk setiap parameter). Volume semen dan sel spermatozoa imatur dari setiap kelompok juga berbeda secara bermakna (p = 0.029 dan 0.024, berurutan).
Tabel 1. Parameter pasien dan cairan semen Pasien
Usia (tahun) Hari abstinensia seksual (hari) Volume cairan semen (mL) pH cairan semen Sel spermatozoa imatur (x 106 /mL) Leukosit dalam cairan semen (x 106 /mL) Konsentrasi sperma (x 106 /mL) Jumlah sperma terhitung (x 106) Motilitas sperma (tingkat a+b) (%) Vitalitas sperma (%)

N (N = 15)
34 6 41 4.07 1.25 7.90 0.21 2.36 1.40 0.16 0.13 67.60 28.11 268.92 134.37 53.60 6.51 76.40 4.74

A (N = 13)
33 6 42 3.73 1.09 7.92 0.24 2.00 2.30 0.16 0.26 35.04 15.80 130.70 63.74 21.53 11.70 53.23 18.58

O (N = 7)
37 6 21 2.24 0.82 8.11 0.38 0.71 0.82 0.61 1.36 14.11 4.45 32.47 17.23 49.42 8.69 70.00 5.03

OA (N = 14)
33 7 42 3.22 1.77 7.97 0.31 0.85 0.50 0.40 0.57 9.56 4.69 30.91 21.57 17.78 10.78 46.42 16.49

P
0.413 0.258 0.029 0.380 0.024 0.316 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001

N normozoospermia; A astenozoospermia; O oligozoospermia; OA - oligoastenozoospermia

Hasil penilaian morfologi sperma dan TZI ditampilkan dalam Tabel 2. Morfologi sperma normal ditemukan sebanyak 18 dari 49 pria dengan kriteria WHO dan sebanyak 16 dari 49 pria dengan strict criteria. Diagnosis teratozoospermia baik dengan kriteria WHO maupun strict criteria sama-sama berjumlah 45 dari 49 kasus.

Tabel 2. Hasil penilaian morfologi sperma


Pasien
Morfologi Normal (%) Kelainan kepala (%) Kelainan leher dan midpiece (%) Kelainan ekor (%) Cytoplasmic droplets (%) Indeks Teratozoospermia WHO
29 8 74 4

N (N = 15) SC
16 6 71 4

P
0.001 0.001

WHO
24 9 68 4

A (N = 13) SC
11 4 66 4 15 3 18 3 11 1.47 0.09

P
0.001 0.020

WHO
26 9 69 2

O (N =7) SC
14 73 66 4

P
0.018 0.088

OA (N = 14) WHO SC
13 7 65 7 64 637

P
0.001 0.031

Kategori kelainan sperma dalam sampel cairan semen

12 3

12 4

0.551

15 3

0.964

14 2

15 2

0.752

14 3

16 3

0.005

12 3 21

15 2 21

0.002 1.000

15 3 21

0.005 0.527

15 2 22

17 41 21

0.236 0.655

19 4 22

19 4 21

0.313 0.132

1.16 0.42

1.27 0.32

0.040

1.44 0.09

0.278

1.27 0.81

1.46 0.07

0.352

1.50 0.13

1.46 0.42

0.451

WHO kriteria WHO; SC strict criteria N normozoospermia; A astenozoospermia; O oligozoospermia; OA - oligoastenozoospermia

Nilai rerata persentase kelainan kepala sperma tampak lebih tinggi pada kelompok normozoospermia, astenozoospermia dan oligoastenozoospermia dengan penilaian morfologi sperma berdasarkan kriteria WHO bila dibandingkan dengan strict criteria (p = 0.001, 0.020 dan 0.031, berurutan). Nilai rerata persentase kelainan leher dan midpiece sperma pada kelompok oligoastenozoospermia (p = 0.005) dan nilai rerata persentase kelainan ekor sperma pada kelompok normozoospermia dan astenozoospermia secara bermakna lebih tinggi dengan penilaian menggunakan strict criteria dibandingkan dengan kriteria WHO (p = 0.002 dan 0.005, berurutan). TZI tampak lebih tinggi (p = 0.040) pada kelompok normozoospermia pada penilaian morfologi dengan strict criteria dibandingkan dengan kriteria WHO. Kesetaraan pengamatan untuk kedua kriteria penilaian morfologi sperma tampak pada penelitian ini. Kesetaraan pengamatan tampak sama baik untuk kriteria WHO maupun strict criteria (kappa 0.700 berbanding 0.715).

Diskusi Temuan kunci dari penelitian ini adalah perbandingan antara penilaian morfologi sperma menurut kriteria WHO dan strict criteria yang menunjukkan kesetaraan maksimal dalam mendiagnosis teratozoospermia. Kesetaraan pengamatan juga ditemukan untuk kedua kriteria dalam perbandingan variasi intra-laboratorium dari penilaian morfologi.
7

Banyak penulis yang telah mempelajari efek dari perbedaan teknik pembuatan preparat dan kriteria penelitian terhadap objektivitas penilaian morfologi dan variasi intra-laboratorium. Perbedaan rancangan penelitian nampaknya menjadi penyebab sulitnya membandingkan hasilhasil yang sudah diterbitkan dalam literatur. Meschede dkk. pada tahun 1993 mempelajari efek dari tiga teknik pembuatan preparat yang berbeda yaitu Papanicolaou, pengecatan Shorr, dan protokol preparat basah; terhadap hasil penilaian morfologi sperma. Studi ini menunjukkan korelasi yang sangat rendah di antara ketiga teknik tersebut; sehingga direkomendasikan penggunaan satu saja metode pada seluruh laboratorium untuk dapat membandingkan hasil dari setiap laboratorium. Peneliti lain menemukan adanya korelasi kuat antara teknik-teknik pewarnaan yang digunakan dalam penelitian mereka. Perbaikan dalam standarisasi penilaian morfologi sperma dan juga perbaikan kendali mutu dari analisis semen dalam 15 tahun terakhir ini mungkin menyebabkan inkonsistensi dari hasil penelitian ini. Hasil ini menyerupai hasil penelitian terakhir yang membuktikan bahwa kesetaraan dapat dicapai bila klasifikasi sistem disesuaikan dengan teknik pengecatan. Pengecatan Giemsa yang rutin digunakan di laboratorium menghasilkan persentase nilai rerata yang lebih tinggi dalam kelainan kepala pada kelompok normozoospermia, astenozoospermia, dan oligoastenozoospermia dengan penilaian morfologi berdasarkan kriteria WHO dibandingkan dengan strict criteria. Hal ini dikarenakan oleh proses pengecatan seperti sampel yang tidak dicuci dan pewarnaan serupa dari bagian sperma yang berbeda. Berbagai bagian sperma memberikan warna yang berbeda pada pengecatan dengan Spermac, yang juga memberikan persepsi visual yang lebih baik akan kelainan sperma. TZI juga secara bermakna dapat dipengaruhi oleh metode pembuatan preparat. TZI nampaknya tidak dipengaruhi metode pembuatan preparat dalam penelitian ini. Perbandingan dari penilaian morfologi sperma dengan kedua kriteria tampak paling konsisten dalam mendiagnosis teratozoospermia, sedangkan inkonsistensi terbesar ditemukan pada kelompok normozoospermia.

Perbandingan variasi intra-laboratorium dalam penelitian ini menunjukkan kesesuaian antar kedua pemeriksa yang baik. Penelitian terhadap 54 sampel semen dari delapan pria fertil dan 46 pasien subfertil menggunakan sampel yang diencerkan dan dicuci lalu diwarnai dengan Diff-Quick dan pewarnaan Papanicolaou menghasilkan kesesuaian yang baik (variabilitas antar pemeriksa untuk sampel yang sudah diencerkan dan dicuci adalah 0.82 dan 0.93, berurutan). Pemeriksa terdiri dari seorang peneliti terlatih dengan pengalaman lebih dari 5 tahun dan peneliti dengan pengalaman kurang dari 2 tahun. Pengalaman praktik dan penyesuaian dengan metode yang direkomendasikan sangatlah penting dalam mendiagnosis teratozoospermia dan memberikan efek yang sangat besar pada hasil penilaian morfologi sperma. Salah satu pemeriksa baru mempelajari penilaian morfologi sperma. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kesesuaian dalam penilaian. Hal ini menunjukkan bagaimana pelatihan yang tepat, pemeriksaan apusan yang cermat dan penyesuaian dengan sistem klasifikasi; akan memberikan hasil yang sama dengan mereka yang sudah terlatih. Banyak peneliti menyertakan hasil perbandingan intra-/inter-pemeriksa dan/atau intra-/inter-laboratorium. Hasil-hasil ini sayangnya sulit dibandingkan dikarenakan perbedaan besar dalam rancangan penelitian dan pengukuran variabilitas. Penelitian ini menjelaskan bahwa penilaian morfologi menggunakan kriteria WHO dan strict criteria tidak jauh berbeda dalam mendiagnosis teratozoospermia dan kesesuaian dapat diperoleh bila semua persiapan yang diperlukan dari praktik laboratorium yang baik telah dipertimbangkan sebelum melakukan evaluasi morfologi. Morfologi sperma merupakan salah satu parameter semen yang paling berhubungan dengan kemampuan pembuahan in vivo dan in vitro. Perdebatan mengenai tingkat kepercayaan dari hasil analisis semen saat ini menjadi bahan perdebatan. Hal ini mengacu pada perlunya standarisasi dan pemantauan kualitas berkesinambungan. Penelitian ini diharapkan akan merangsang laboratorium andrologi lain di Kroasia untuk menyelidiki kesesuaian antar pengamat. Hal ini dapat menjadi rangsangan yang baik untuk standarisasi penilaian morfologi sperma pada tingkat nasional.

You might also like