You are on page 1of 35

Case Report

WANITA 41 TAHUN DENGAN STRUMA

Disusun oleh: Yunita Permatasari, S.Ked. J 5000 90009

Pembimbing: Dr. Bambang Suhartanto, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD DR. HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

TUGAS REFERAT

WANITA 41 TAHUN DENGAN STRUMA

Yang Diajukan Oleh: Yunita Permatasari, S.Ked. J 5000 90009

Telah disetujui dan disyahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Senin, 17 Februari 2014.

Pembimbing dr. Bambang Suhartanto, Sp.B ( )

Dipresentasikan dihadapan dr. Bambang Suhartanto, Sp.B ( )

Kabag. Profesi Dokter dr. D. Dewi Nirlawati ( )

BAB I STATUS PASIEN

A. IDENTITAS Nama Pasien Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Agama Suku Tanggal masuk RS Tanggal pemeriksaan : Ny. J : 41 tahun : wanita : Tegalombo, Pacitan : IRT : Islam : Jawa : 3 Februari 2014 : 3 Februari 2014

B. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan pada tanggal 3 Februari 2014 secara auoanamnesis. 1. Keluhan Utama Terdapat benjolan di leher.

2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RSUD Dr. Harjono Ponorogo dengan keluhan ada benjolan di leher sejak lebih dari 20 tahun yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Benjolan dirasakan semakin membesar dan tidak sakit. Tidak ada gangguan menelan maupun bernafas, namun benjolan dirasakan mengganjal. Suara pasien tidak serak, nafsu makan biasa namun porsi sedikit. Pasien menyangkal sering berdebar debar ataupun mudah berkeringat. Pasien mengaku jarang gelisah, berat badannya sukar naik. Pasien juga mengaku tinggal didaerah pengunungan dengan cukup mengkonsumsi garam dan pasien mengetahui garamnya beriodium. Di

sekitar rumah pasien serta keluarganya juga ada yang terkena sakit seperti ini. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Hipertensi Riwayat DM Riwayat Penyakit Jantung Riwayat Penyakit Ginjal Riwayat Asma Riwayat Alergi Riwayat Operasi Riwayat Radiasi : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

4. Riwayat Keluarga Riwayat Penyakit serupa Riwayat DM Riwayat Hipertensi Riwayat Tumor Riwayat Stroke : diakui : disangkal : disangkal : diakui : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan mulai dilakukan pada tanggal 3 Februari 2014 secara rutin di bangsal Flamboyan RSUD Dr.Harjono Ponorogo. 1. Keadaan Umum Kondisi Umum : Baik Kesadaran : Commpos Mentis GCS : E4V5M6 2. Vital Sign Tekanan Darah Nadi Pernafasan Suhu 3. Status Generalis : 110/70mmHg : 80x/menit, regular, kuat : 20x/menit : 36,1C

a. Kepala Conjunctiva Anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-) Pupil isokor 4mm Nafas cupping hidung (-) Sianosis (-) b. Leher Deviasi trakea (-) Struma (+) bilateral Peningkatan JVP (-) Pembesaran Kelenjar Limfe (-) c. Thoraks Pulmo Inspeksi: simetris, gerak dada kanan kiri sama, retraksi (-/-) Palpasi: fremitus (+/+), simetris Perkusi: sonor dikedua lapang paru Auskultasi: suara dasar vesikuler(+/+), rhonki(-/-), wheezing (-/-) Cor Inspeksi: tak tampak pulsasi ictus cordis Palpasi: iktus kordis kuat angkat Perkusi: redup, dengan batas jantung kanan atas di SIC II parasternal dextra, kanan bawah di SIC IV parasternal dextra, kiri atas di SIC II parasternal sinistra, kiri bawah di SIC V midclavikula sinistra. Auskultasi: bunyi jantung I-II regular, bissing jantung (-) d. Abdomen Inspeksi: bentuk abdomen simetris, ukuran lebih rendah dari dinding dada, tak tampak darm contour. Auskultasi: peristaltic normal. Palpasi: supel, dalam batas normal Perkusi: timpani

e. Genetalia Eksterna Dalam batas normal

f. Ekstremitas Tak tampak deformitas, akral hangat, tak tampak oedem, CRT < 2 detik 4. Status Lokalis Regio Colli Anterior Inspeksi : tampak benjolan ukuran 8 x 6 cm, benjolan

ikut bergerak ketika menelan, batas tegas, perubahan warna kulit (-), ulkus (-) Palpasi : Nyeri Tekan (-), permukaan rata, konsistensi

lunak, dapat digerakkan (mobile), pembesaran limfe (-)

5. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Darah Lengkap (4 Februari 2014) Pemeriksaan GDA Leukosit Lymph Mid # Gran # Lymph % Mid % Gran % Hgb Rbc Hct MCV MCH Hasil 94 7.4 103 2.2 103 0.6 103 6.5 103 23.8 % 6.1 % 70.1 % 11.7 4.23 106 33.5% 83.1 28.2 Satuan mg/dl L L L L L L L g/dl L % Fl Pg Nilai Normal <140 4.0 10.0 0.8 - 4.0 103 0.1 - 0.9 2.0 7.0 20 40 39 50 70 11 16 3.5 5.5 37 50 82 95 27 31

MCHC Plt CT BT

33.1 % 285 103 7 menit 2 menit

% L

32 36 100 300 5 11 menit 1 5 menit

b. Pemeriksaan Fungsi Tiroid Pemeriksaan T-3 T-4 TSH Hasil 0,92 4,23 0, 613 Satuan mg/dl g/dl uIU/ml Nilai Normal 0,58 1,59 4,87 11,72 0,350 4,94

c. Pemeriksaan Radiologi Foto Thoraks dalam batas normal, tak tampak deviasi trakea.

D. DIAGNOSIS BANDING Carsinoma tiroid, Limfadenopati, carcinoma laring.

E. ASSESMENT Struma

F. PLANNING Planning Terapi Operatif Medikamentosa Cefotaxime 2x1 Planning Monitoring Observasi Klinik Edukasi Istirahat yang cukup, puasa persiapan pre operasi Makan tinggi protein post operasi : Subtotal Tiroidektomi : Infus RL:D5% 1:2 (16tpm), Antibiotik (Injeksi

G. FOLLOW UP Tgl. 3Feb14 Subyek Obyek Assesment PreOP Tiroidektomi Planning Infus RL 16tpm Cek lengkap Darah

Pasien tak ada KU: baik keluhan Kedasaran: CM

apapun, hanya TD: 110/70mmHg ada benjolan di N: 80x/menit leher yang RR: 20x/menit S: 36,1C ada KU: baik Kedasaran: CM TD: 110/70mmHg N: 80x/menit RR: 20x/menit S: 36,1C 5Feb14 Kondisi umum KU: baik baik Kedasaran: CM TD: 110/70mmHg N: 80x/menit RR: 20x/menit S: 36,1C 6Feb14 Pasien tak ada KU: baik keluhan Kedasaran: CM Subtotal Tiroidektomi PreOP Tiroidektomi PreOP Tiroidektomi

mengganjal 4Feb14 Tak keluhan

Infus RL 16tpm

Infus RL 16tpm Pasang DK Inj.Ceftriaxon 2x500g Pasien 12jam Infus RL:D5%=1:2 16tpm Inj.Ceftriaxon 2x500g Inj.Ketorolac 2x1 amp Inj.Transamin 3x1amp Cek Drain puasa

apapun, hanya TD: 110/70mmHg ada benjolan d N: 80x/menit leher yang RR: 20x/menit S: 36,1C

mengganjal

7Feb14

Observasi Recovery Room

di KU: baik Kedasaran: CM TD: 110/70mmHg N: 80x/menit RR: 20x/menit S: 36,1C Drain berisi darah merah kehitaman Luka kering post OP

Post OP H+1

Infus RL:D5%=1:2 16tpm Inj.Ceftriaxon 2x500g Inj.Ketorolac 2x1 amp Inj.Transamin 3x1amp Cek Drain

tertutup

perban terawat 8Feb14 Suara leher luka parau, KU: baik gatal, Kedasaran: CM operasi TD: 110/70mmHg N: 80x/menit RR: 20x/menit S: 36,1C Drain berisi darah merah Luka kering post OP Post OP H+2 Infus RL:D5%=1:2 16tpm Inj.Ceftriaxon 2x500g Inj.Ketorolac 2x1 amp Inj.Transamin 3x1amp Cek Drain

terasa sakit

tertutup

perban terawatt 9Feb14 Suara luka sakit serak, KU: baik operasi Kedasaran: CM TD: 110/70mmHg N: 80x/menit RR: 20x/menit S: 36,1C Luka kering, Post OP Post OP H+3 Infus RL:D5%=1:2 16tpm Inj.Ceftriaxon 2x500g Inj.Ketorolac 2x1 amp Inj.Transamin

rembesan

darah (-), nanah(-) tertutup perban 10Feb14 Tak ada KU: baik Post OP H+4

3x1amp Cek Drain Infus RL:D5%=1:2 16tpm Inj.Ceftriaxon 2x500g Inj.Ketorolac

keluhan, suara Kedasaran: CM mulai nyaman TD: 110/70mmHg N: 80x/menit RR: 20x/menit S: 36,1C Luka kering, Post OP

2x1 amp Inj.Transamin 3x1amp

rembesan

darah (-), nanah(-) tertutup perban 11Feb14 Pasien pulang KU: baik Kedasaran: CM TD: 110/70mmHg N: 80x/menit RR: 20x/menit S: 36,1C Luka kering, Post OP Post OP H+5

Infus RL:D5%=1:2 16tpm Inj.Ceftriaxon 2x500g Inj.Ketorolac 2x1 amp Inj.Transamin 3x1amp Cek Drain

rembesan

darah (-), nanah(-) tertutup perban Drain dilepas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Struma Kelainan glandula tyroid yang dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotoksikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong & Syamsuhidayat, 2003). B. Embriologi Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus pertama dan kedua, pada garis tengah.Tempat pembentukan kelenjar tiroid ini menjadi foramen sekum di pangkal lidah.Jaringan endodermal ini turun ke leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dual lobi.Saluran pada struktur endodermal ini tetap ada dan menjadi duktus tiroglosus atau lebih sering mengalami obliterasi menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid.Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterine (De Jong & Syamsuhidayat, 2003). C. Anatomi Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran.Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 2003). Normal ukuran kelenjar tiroid, masing-masing panjang sekitar 2,5-4 cm dan lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm.Pada orang dewasa beratnya 10-20 gram. Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan 3.Acapkali masih teraba lobus piramidalis yang menjorok ke atas dari istmus.Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fascia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan

terangkatnya kelenjar kearah kranial.Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak.Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia) serta a. Tiroid ima berasal dari a. Brakiosefalik, salah satu cabang arkus aorta. Adapun system venanya terdiri atas v. Tiroidea superior berjalan bersama arterinya; v. Tiroidea media berada di lateral, berdekatan dengan a. Tiroidea inferior, dan v. Tiroidea inferior, yang berada dalam satu arah dengan a. Tiroidea ima (jika ada). Terdapat dua saraf yang mensarafi laring dengan pita suara, yaitu n. Rekurens, dan cabang dari n. Laringeus superior. Dengan adanya ligamentum suspensorium Berry kelenjar thyroidea ditambatkan ke cartilage cricoidea dari facies posteromedial kelenjar.Jumlah ligamentum ini 1 di kiri dan kanan.Fungsinya sebagai ayunan/ gendongan kelenjar ke larynx dan mencegah jatuh/ turunnya kelenjar dari larynx, terutama bila terjadi pembesaran kelenjar (Djokomoeljanto, 2009).

Gbr 1. Anatomi Tiroid (Syaifudin,2006) D. Fisiologi Sel sel sekretorik utama tersusun dari gelembung berongga yang membentuk unit fungsional yang disebut sel folikel. Bagian dalam sel ini berisi koloid, yaitu suatu bahan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan hormon hormon tiroid. Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang dikenal sebagai tiroglobulin yang berisi hormon hormon tiroid dalam berbagai tahapan pembentukannya. Sel sel folikel menghasilkan dua hormon

yang mengandung iodium, yang berasal dari asam amino tirosin : tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3), ke dua hormon tersebut adalah hormon tiroid (Sherwood, 2002). Bahan dasar untuk hormon tiroid adalah tirosin dan iodium, yang keduanya harus diserap oleh sel sel folikel. Tirosin disintesis dalam jumlah cukup oleh tubuh, tetapi iodium yang berguna untuk sintesis hormon harus diperoleh dari makanan. Di dalam koloid, iodium dengan cepat melekat pada tirosin menghasilkan monoiodotirosin (MIT) yaitu sebuah iodium yangmelekat pada sebuah tirosin dan diiodotirosin (DIT) yaitu dua buah iodium yang melekat pada tirosin. Gabungan dua DIT menghasilkan T4, sedangkan gabungan DIT dengan MIT menghasilkan T3. Dengan rangsangan yang sesuai hormon hormon tersebut akan disekresikan, tetapi MIT dan DIT yang belum melekat tidak memiliki nilai endokrin sehingga sel sel folikel memiliki enzim yang dapat mengeluarkan iodium dari MIT dan DIT, sehingga iodium yang dibebaskan dapat di daur ulang lagi (Sherwood, 2002). Sekitar 90 % produk sekretorik adalah dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas biologis empat kali lebih poten daripada T4. Namun sebagian besar T4 diubah menjadi T3, melalui proses pengeluaran satu iodium dari hati dan ginjal (Sherwood, 2002). Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrothropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus. Hormon tiroid mempunyai pengaruh yang sangat bervariasi terhadap jaringan atau organ tubuh yang pada umunya berhubungan dengan metabolisme sel (De Jong & Syamsuhidayat, 2003) . Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang (De Jong & Syamsuhidayat, 2003).

Gbr 2. Jaringan Tiroid (Mulinda, 2005) E. Fungsi Hormon Hormon Tiroid 1. Efek pada laju metabolisme Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh, sebagai regulator terpenting bagi tingkat konsumsi O2 dan pengeluaran energi tubuh pada waktu istirahat. 2. Efek kalorigenik Sebagi penghasil panas, peningkatan laju metabolisme menyebabkan peningkatan produksi panas. 3. Efek pada metabolisme perantara Sebagai metabolisme bahan bakar, yaitu mempengaruhi sintesis dan penguraian karbohidrat,lemak dan protein. Hipersekresi tiroid akan lebih menimbulkan efek peningkatan konsumsi bahan bakar dibandingkan dengan efek penyimpanan bahan bakar. 4. Efek simpatomimetik Yaitu memiliki efek serupa dengan sistem saraf simpatis. Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran terhadap katekolamin (epinefrin dan norepinefrin), zat perantara kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis. Hormon tiroid diperkirakan memiliki efek permisif dengan menyebabkan proliferasi reseptor spesifik katekolamin di sel sasaran, sehingga menimbulkan efek yang menyertai peningkatan aktivitas saraf simpatis. 5. Efek pada sistem kardiovaskuler

Melalui efeknya terhadap katekolamin, hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi jantung, sehingga curah jantung meningkat. Selain itu respon terhadap beban panas terjadi vasodilatasi perifer untuk menyalurkan kelebihan panas tersebut ke permukaan tubuh untuk di eliminasi lingkungan. 6. Efek pada pertumbuhan dan sistem saraf Hormon tiroid merangsang sekresi hormon pertumbuhan dan juga mendorong efek hormon pertumbuhan pada seintesis protein struktural baru dan pada pertumbuhan rangka. Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf, terutama SSP, yang bila mengalami defisiensi sejak lahir menyebabkan gannguan pada anak. kecepata saraf Selain itu

perifer dalam menghantarkan impuls berkaitan secara

langsung dengan ketersediaan hormon tiroid (Sherwood, 2002) F. Diagnosis Fisik Pemeriksaan fisik kelenjar tiroid merupakan bagian dari pemeriksaan umum seorang penderita. Dalam memeriksa leher seseorang, struktur leher lainpun harus diperhatikan. Pemeriksaan fisik sistemik juga diperlukan, sebab dampak yang di timbulkan oleh gangguan fungsi kelenjar sistemik melibatkan hampir seluruh organ tubuh (Djokomoeldjanto, 2005). Pemeriksaan lokal meliputi : 1. Inspeksi Inspeksi dilakukan dari depan dengan dagu diangkat ke atas, untuk menilai : kontur, tekstur kulit maupun benjolan. Juga diperhatikan apakah ada bekas luka operasi atau teleangiektasia yang merupakan tanda penyinaran sebelumnya. Kelenjar tiroid normal biasanya tidak terlihat, kecuali pada orang yang amat kurus. Adanya deviasi trachea atau dilatasi vena maka harus curiga adanya pembesaran kelenjar tiroid. Untuk melihat gambaran lebih jelas pasien diminta untuk membuat gerakan menelan, manuver ini cukup diagnostik untuk memisahkan struktur leher tertentu berhubungan atau tidak dengan tiroid. Bila struktur kelenjar tidak ikut bergerak sewaktu menelan sering disebabkan

perlekatan dengan jaringan sekitarnya, sehingga dipikirkan kemungkinan radang kronik atau keganasan tiroid(Djokomoeldjanto, 2005). 2. Palpasi Sebagian besar pemeriksaan dilakukan dari belakang. Untuk lebih memudahkan, untuk memeriksa tiroid kiri pasien diminta menengok kekiri begitu juga sebaliknya untuk memeriksa tiroid kanan pasien diminta menengok kekanan, hal tersebut bertujuan untuk memberi relaksasi otot

sternokleidomastoideus sehingga tiroid mudah teraba. Gunakan ujung jari 2,3 dan 4 dan mintalah pasien untuk melakukan gerakan menelan untuk memastikan ukuran, konsistensi, nyeri tekan dan simetri. Gradasi pembesaran kelenjar tiroid untuk keperluan epidemiologik dapat dinilai menggunakan klasifikasi sebagai berikut : Derajat IA : Subjek dengan gondok teraba membesar tetapi tidak terlihat meskipun leher sudah di tengadahkan maksimal. Derajat IB : Subjek dengan gondok teraba membesar tetapi terlihat dengan sikap kepala biasa, artinya leher tidak di tengadahkan. o Untuk menyatakan bahwa gondok membesar, apabila lobus lateral tiroid sama atau lebih besar dari falang akhir ibu jari tangan

pasien(Djokomoeldjanto, 2005). Dalam sistem ini temuan khusus perlu dilaporkan, antara lain : 1. Bentuk kista : Struma kistik Bentuk hemisferik Konsistensi kenyal dengan permukaan halus 2. Bentuk Noduler : Struma nodosa Ditemukan nodul pada lobus kelenjar tiroid, batas jelas Konsistensi kenyal sampai keras Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea 3. Bentuk diffusa : Struma diffusa Batas tidak jelas Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek 4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa

Tampak pembuluh darah Berdenyut Pada auskultasi terdengan bruit(Djokomoeldjanto, 2005). 3. Perkusi dan Auskultasi Tidak banyak informasi yang dapat disumbangkan oleh dua langkah tersebut kecuali auskultasi untuk mendengarkan bising pembuluh didaerah gondok (bruit) yang paling banyak ditemukan pada struma toksik (Djokomoeldjanto, 2005). Tanda Status Generalis (Gleadle, 2003) : Gejala dan tanda hipotiroid : intoleransi dingin (lebih suka udara panas), keringat berkurang, berat badan bertambah, paresetsia, kulit dingin, kering dan kasar, sembab periorbita, gerakan lambat, suara serak, pendengaran terganggu, konstipasi. Gejala dan tanda hipertiroid : lebih suka udara dingin, keringat berlebihan, penurunan berat badan, selera makan bertambah, palpitasi, dipsnea, kelelahan, tremor jari, eksoftalmos, hiperkinesis, diare. G. Diagnosis dengan Alat Bantu 1. Pemeriksaan Rontgen Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya kalsifikasi kelenjar tiroid, pembesaran tiroid, pendesakan tiroid pada trachea, dan adanya kelanjutan (ekstensi) masa gondok di retrosternal atau torakal, mediastinum anterior atau posterior. 2. CT scan dan MRI CT scan mampu memvisualisasi lebih baik hubungan antara kelenjar tiroid dengan masa disekitarnya seperti pembuluh darah, trachea, esofagus, serta ekstensinya ke retrosternal. Dapat digunakan mengukur volume, ukuran kelenjar serta kepadatan jaringan. Kadang dibutuhkan CT scan menggunakan kontras untuk diagnosis dan visualisasi pembuluh darah, seperti adanya sindrom vena cava superior karena desakan tiroid. Dalam tiroidologi manfaat MRI, hampir sama dengan CT scan. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan mana lesi ganas dan mana yang tidak ganas.

3. Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ini dapat menunjukkan perbedaan karakteristik struktur tiroid, intratiroid dan sekitar tiroid. Selain itu juga dapat membedakan benda solid atau cystic, dapat memastikan lokasi nodul dan mampu menuntun dalam melakukan biopsi jarum halus. Tetapi pemeriksaan ini tidak dapat membedakan pakah lesi benigna atau maligna. Selain itu juga tidak dapat menilai gondok substernal karena gambaran akan kacau disebabkan banyaknya interferensi tulang dipermukaan. 4. Sidik Kelenjar Tiroid Hasil pemeriksaan dengan radioisotop dapat dibedakan 3 bentuk: (1)Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah. (2)Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih. (3)Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain. Dari hasil pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dibedakan apakah yang kita hadapi itu suatu keganasan atau sesuatu yang jinak.Keganasan biasanya terekam sebagai nodul dingin dan soliter tetapi tidak berarti bahwa semua nodul dingin adalah keganasan. Selain itu pemeriksaan ini juga untuk menentukan apakah masa yang di curigai berasal dari kelenjar tiroid, menentukan bentuk dan ukuran kelenjar tiroidserta dapt mendeteksi staging karsinoma tiroid 5. Biopsi Kelenjar Tiroid Diagnosis karsinoma tiroid tidak mungkin di tegakkan tanpa

mendapatkan spesimen histologik atau sitologik. Keduanya di dapat hanya dengan cara prosedur invasif. Cara yang akan digunakan tergantung dari pemeriksaan yang akan dilakukan, core biopsy (aspirasi jarum besar) dan FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) atau yang lebih di kenal sebgai aspirasi jarum halus. Karena core biopsy memiliki banyak kerugian maka sekarang lebih banyak digunakan prosedur FNAB. Kegunaan lain cara ini

adalah untuk menilai adanya limfoma, ataupun kecurigaan carcinoma anaplastik yang invasif(Djokomoeldjanto, 2005). H. Klasifikasi Struma Dari faalnya struma dibedakan menjadi : 1. Eutiroid 2. Hipotiroid 3. Hipertiroid Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi : 1. Nontoksik 2. Toksik Berdasarkan faal: 1. Eutiroidisme Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea (Rismadi, 2010). 2. Hipotiroidisme Hipotiroidisme adalah keadaan yang disebabkan oleh defisiensi hormone tiroid pada jaringan target. Tanda dan gejala klinis bervariasa tergantung kadar defisiensi hormone tiroid dan selang waktu berlangsungnya penyakit, bisa bersifat akut atau kronis. Umumnya pasien detang dalam kondisi kronis, sehingga gejala bertahap dan dapat diadaptasi oleh pasien sehingga tidak atau belum menunjukkan keluhan klinis nyata. Manifesatasi tersebut dijumpai pada hipotiroidisme primer, bila gejala hipotiroidisme primer bersamaan dengan defisiensi endokrin lainnya seperti hipogonadisme atau insufisiensi adrenal disebut hipotiroidisme sentral (Sumual & Langi, 2007). Tiroiditis autoimun kronis (tiroiditis hashimoto) merupakan penyebab hipotiroidisme primer tersering, kemudian hipotiroidisme autoimun reversible seperti pada tiroiditis post partum, dan tiroiditis akibat induksi

obat.Defisiensi

yodium

dan

yodium

berlebih

dapat

menimbulkan

hipotiroidisme. Peningkatan yodium pada hipotiroidisme dikenal sebagai iodine induced myxedema, terjadi ambilan yodium anorganik yang melebihi batas kebutuhan sehari hari (500 1000 ug) sehingga menginhibisi organifikasi yodium (efek wolff-chaikoff). Diet kaya yodium, kontras radiografis dan amiodarone merupakan penyebabnya.Hipotiroid ini terutama terjadi pada orang (terutama wanita) yang telah memiliki antibody sebelumnya.Sedangkan defisiensi yodium yang menyebabkan hipotiroid lazim disebut struma endemik (Sumual & Langi, 2007). Hipotiroidisme sentral disebabkan oleh tumor seperti makroedema hipofisis yang menekan hipofisis sehingga mengganggu aliran hipotalamus _ hipofisis, sehingga menghambat TSH ke hipofisis.Selain itu pendarahan dan terapi radiasi dapat menyebabkan hipotiroidisme (Sumual & Langi, 2007). Hipotiroidisme lebih dominan pada wanita.Dibedakan hipotiroidisme klinik dan subklinik. Hipotitoidisme klinik ditandai dengan kadar TSH tinggi dan kadar fT4 rendah, sedangkan pada hipotiroidisme subklinik ditandai dengan TSH tinggi dan kadar fT4 normal, tanpa gejala atau ada gejala sangat minimal (Rismadi, 2010). 3. Hipertiroidisme Pasien hipertiroidisme mengalami peningkatan laju metabolisme basal.Hipertiroidisme dapat terjadi pada struma toksik diffus (penyakit Graves),, pengobatan berlebihan dengan tiroksin, permulaan tiroiditis, struma ovarium (jarang), dan pada metastase ekstensif karsinoma tiroid berdiferensiasi baik (De Jong & Syamsuhidayat, 2003). Penyakit graves merupakan penyakit autoimun yang memproduksi tyroid stimulating imunoglobulin (TSI) yang memiliki kerja serupa dengan TSH, tetapi TSI kerjanya tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan balik hormon tiroid, sehingga produksinya terus menerus. Yang lebih jarang, hipertiroidisme disebabkan oleh produksi TRH atau TSH yang berlebihan atau yang terkait tumor tiroid hipersekretorik (Sherwood, 2002).

Index Wayne Gejala Subyektif Angka Gejala Obyektif Ada Tida k Dispnneu Palpitasi Capai/lelah Senang panas Senang dingin Keringat berlebih Nervous Tangan basah Tangan panas Nafsu makan naik Nafsu makanturun Berat badan naik Berat badan turun Fibrilasi Atrium Jumlah +4 -3 +3 <11 hipotiroid 11-18 normal >19 hipertiroid -3 > 90 x/menit +3 +2 +1 -1 +3 Tangan Panas Nadi 80 x/menit 81-90 x/menit +2 -2 +1 +2 +2 -5 +5 +3 Tiroid teraba Bruit di atas sistol Eksoftalmus Lid Retraksi Lid Lag Hiperkenesis +3 +2 +2 +2 +1 +4 -3 -2 -2

Berdasarkan klinis: 1. Struma Nontoksik Struma Non toksik disebut juga struma simplek, adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid atau tidak dalam keadaan tirotoksikosis dan tidak berdasarkan proses otoimun ataupun peradangan (Syahbuddin, 2005). Struma non toksik dibagi menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik.Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut

sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang kurang sekali mengandung yodium dan

goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia (Rismadi, 2010). Tetapi dalam banyak kasus penyebabnya masih belum di ketahui, tetapi terdapat bukti peran faktor genetik terjadinya struma ini baik di daerah endemik maupun non endemik. Lokasi gen pada kromosom 14 dan kromosom X terkait dengan kejadian struma sporadis, walaupun diperkirakan gen pada lokasi tersebut tidak berperan utama dalam terjadinya patogenesisi struma (Syahbuddin, 2005). Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodusa.Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan (Rismadi, 2010). Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu kompresi pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. Pendarahan pada nodul mungkin mengarah pada pembengkaan leher yang akut dan mungkin

menghasilkan atau memacu gejala komopresi (Wartofsky, 2000). Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin (Rismadi, 2010). Stroma sporadik muncul pada daerah non endemic sebagai akibat dari factor yang tidak mempengaruhi populasi secara umum.karena istilah ini gagal untuk mendefinisikan penyebab, struma ini tidak disebabkan oleh proses inflamasi atau neoplastik yang awalnya tidak berhubungan dengan tirotoksikosis atau miksedema (Wartofsky, 2000). Diagnosis penyakit ini adalah dengan pemeriksaankadar TSH,

merupakan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya tirotoksikosis atau

hipotiroidisme. Apabila kadar TSH rendah, pemeriksaan FT4 dapat menetapkan adanya tirotoksikosis subklinik (FT4 normal) atau klinik (FT4 tinggi). Apabila kadar TSH dan FT4 serum keduanya rendah maka dilakukan pemeriksaan FT3 (yang tinggi) akan menetapkan adanya T3tirotoksikosis. Apabila kadar TSH meninggi perlu dipikirkan adanya hipotiroidisme karena tiroiditis autuimun kronik atau karena memakan senyawa antitoriid ().Kadar TSH merupakan indeks yang terbaik untuk eutiroidisme.Tirotoksikosis subklinis merupakan akibat sekunder dari struma autoimun yang menyebabkan penurunan respon TSH dan respon TSH basal terhadap TRH (Wartofsky, 2000). 2. Struma toksik Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik) (Rismadi, 2010). Struma multinoduler toksik adalah penyakit tiroid otonom yang sering di temukan selain adenoma toksik.Dalam kondisi otonom, hiperfungsi kelenjar bukan disebabkan oleh rangsangan TSH, juga bukan karena pengaruh autoantibodi-receptor TSH melainkan adanya mutasi genetik.Pada struma multinoduler toksik yang disebut juga penyakit plummer ada kaitannya dengan polimorfisme dan adanya mutasi genetic terkait keluarga, mutasi somatic ini didahului oleh paparan stress oksidatif. Sedangkan adenoma toksik ada kaitannya dengan mutasi somatic pada TSHR(ikatan TSH dengan reseptor TSH) yang menyebabkan dan fungsi sel berlebihan yang memicu nodul otonom. Gambaran klinik tiroid otonom dibagi ke dalam gejala dan tanda tirotoksikosis dan penemuan nodul ( USG dan khususnya scintigrafi) dengan atau tanpa struma. Tirotoksikosis subklinik (kadar plasma free tiroksin normal, kadar TSH rendah atau tersupresi), meliputi tanda klasik pada dewasa ( usia< 50 tahun) : nervositas, berat badan menurun, nafsu

makan meningkat, palpitasi, tremor dan tidak tahan udara panas. Sedangkan tanda pada usia lanjut : atrial fibrilasi dan anoreksia (Pemayun & Djokomoeljanto, 2007). Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (hipertiroidisme autoimun/ exophthalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya (Rismadi, 2010). Penyakit graves merupakan peristiwa imunologik ditandai adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid yaitu TSAb (Thyroid stimulating antibody) . Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif (Djokomoeljanto, 2007) Manifestasi penyakit ini adalah terjadi kelainan tiroid, system limfatik, serta kelainan kulit dan jaringan ikat dapat dianggap spesifik untuk penyakit graves.Kelainan tiroid merupakan keluhan umum yang di tandai dengan hipertiroidisme.Manifestasi pada mata dibagi menjadi 2, yaitu tirotoksikosis maupun overaktivitas simoatis yang ditandai dengan tanda joffroy (waktu melirik ke atas tidak terlihat kerut kulit dahi), mata melotot dan jarang berkedip. Menifestasi berikutnya adalah akibat proses khusus di mata yaitu diplopia, udematous konjungtiva bulbi, pembesaran kelenjar lakrimalis serta pembengkaan rektus lateral dan palpebra. Manifestasi pada system limfatik terjadi pembesaran kelenjar inguinal leher dan mungkin adanya

splenomegali. Manifestasi kulit yang khas pada penyakit ini adalah ditemukan miksedema peritibial yaitu benjolan infiltrative yang tidak pitting di atas sendi engkel agak ke lateral dan thyroid acropachy yaitu

ditemukannya jari tabuh dan osteoartropaty. Jari tabuh di sini perluu dibedakan pada penyakit paru kronis yaitu mengenai distal tulang, jaringan keras, pucat dan bersuhu normal (Djokomoeljanto, 2007).Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Kelainan ini tidak dapat di duga sebelumnya

selain itu juga tidak ada tolok ukur kelainan biokimiawi (kadar hormone tiroid, hormone epinefrin maupun antibody tidak berbeda dengan yang tidak mengalami krisis tiroid) sehingga diagnosis didasarkan pada dugaan dan kelainan klinis. Dugaan didasarkan atas TRIAD : (1) menghebatnya gejala dan tanda tirotoksikosis, (2) hipertermi dan (3) penurunan kesadaran. Setelah triad terlihat barulah menggunakan skor Burch_Wartofsky : Kriteria diagnosis krisis tiroid Disfungsi pengeturan panas Suhu 0C 99-99.0 100-100,9 101-101,9 102-102,9 103-103,9 >104,9 Efek pada susunan saraf pusat Tidak ada Ringan (agitasi) Sedang (delirium, psikosis, letargi berat) Berat (koma, kejang) Disfungsi gastrointestinal-hepar Tidak ada Ringan perut) Berat (icterus tanpa sebab yang jelas) (diare, 0 0 5 10 15 20 25 >140 30 Gagal Jantung Tidak ada 0 5 10 15 Disfungsi kardiovaskuler Takikardi 99 109 110-119 120-129 120-139 5 10 15 20 25

10 Ringan (udem kaki) 20 Sedang (ronchi basal) 30 Berat (udem paru) Fibrilasi atrium Tidak ada

0 10

nausea/muntah/nyeri 10 Ada 20 Riwayat pencetus Negatif Positif

0 10

Apabila ragu apakah suatu keadaan disebabkan karena tirotoksikosis atau penyakit lain, pilihlah angka tertinggi. Intepretasi : sangat mungkin >60, mungkin 45-60, impending 25-44 dan mungkin bukan <25. Perubahan jaringan dan bentuk kelenjar juga dapat di temukan pada tiroiditis ataupun karsinoma.

Tiroiditis mermpunyai ruang lingkup yang sangat luas, yang secara umum dapat diartikan sebgai proses inflamasi pada kelenjar tiroid. Klasifikasi tiroiditis berdasarkan penyebabnya adalah : a. Tiroiditis infeksi Kejadian ini sangat jarang mengingat tiroid adalah kelenjar yang resisten terhadap infeksi karena memiliki kapsul pencegah infeksi, banyak mengandung iodium yang bakterisidal serta kaya akan pembuluh darah. Sehingga infeksi kemungkinan terjadi akibat tindakan untuk kebutuhan diagnostic ataupun operatif.Infeksi dapat disebabkan bakteri, jamur ataupun parasite.Diagnostic pasti perlu dilakukan aspirasi jarum halus dan pewarnaan gram dan bila perlu dilakukan pemeriksaan sensitivitas kuman terkait dengan pemilihan antibiotik. b. Tiroiditis pasca persalinan Tiroiditis ini terjadi setelah persalinan biasanya tanpa disertai nyeri.Gambaran klasik terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap tirotoksikosis, tahap hipotiroidisme dan berakhir eutiroid.Seluruh perjalanan penyakit mencakup selama satu tahun pasca persalinan. Tiroiditis pasca persalinan perlu di bedakan dengan hipertiroisime graves yaitu dengan pemeriksaan I123 dimana ambilan pada tiroiditis pasca persalinan rendah. c. Tiroiditis autoimun hashimoto Merupakan tiroiditis yang paling sering ditemukan, ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid difus disertai peningkatan kadar TSHs yang tinggi. Pemeriksaan antitiroid peroksidase (anti-TPO) yang memberikan hasil positif pada 90 95 % kasus Penyakit ini merupakan gangguan autoimun yang bisa ditemukan bersamaan dengan pemyakit autoimun lainnnya seperti rheumatoid artritis, lupus eritematosa, penyakit Addison bahkan diabetes mellitus tipe 1.bentuk klasik penyakit ini dibagi menjadi 3 tahap : tirotoksikosis ringan, eutiroid dan akhirnya hipotiroid. Kebanyakan pasien baru,l ditemukan dalam keadaan hipotiroid. Tanda klasik tiroiditis hashimoto adalah pembengkaan kelenjar tiroid yang menyebabkan rasa tertekan pada leher dan suara parau (Adam,

2007).Pembengkaan jaringan disini disebabkan infilrasi limfosit dan sel plasma, produksi antibody yang merangsang pertumbuhan tiroid dan sekresi TSH yang berlebihan (Sumual & Langi, 2007). d. Tiroiditis subakut nyeri Tiroiditis inii dikenal sebagai tiroiditis de Quervain.Diduga karena infeksi virus, biasanya diawali gejala prodromal seperti lemah badan, faringitis, panas serta pembengkaan kelenjar disertai nyeri.Pemeriksaan laboratorium adalah peningkatan laju endap darah, FT4 yang tinggi, TSHs rendah pada wal penyakit, dan ambilan I123 yang rendah. e. Tiroiditis fibrosa riedel Tiroiditis riedel adalah akibat dari fibrosis jaringan tiroid san dapat menyebar pada jaringan sekitarnya.Perabaan keras, tidak nyeri serta tanda penekanan pada trachea atau bila berat sampi pada penekanan esophagus.Tidak ada kelainan laboratorium yang khas dan tidak ditemukan kelainan berupa tirotoksikosis ataupun hipotiroidisme. f. Tiroiditis akibat obat Disebutkan amiodaron, interferon alfa merupakan penyebab tiroiditis akibat obat (Adam, 2007). Terapi IL -2 atau interferon alfa pada pasien tumor maligna atau hepatitis B maupun C dapat menginduksi antibody TPO dan timbulnya gangguan fungsi tiroid (Adam, 2007). Karsinoma tiroid merupakan keganasan endokrin yang paling sering. Karsinoma tiroid terkait dengan kelainan gen, yang dapat berupa hilangnya tumor suppressor gen, aktivasi suatu onkogen, kerusakan pada mekanisme repair DNA atau kombinasi ke tiga factor tersebut (Masjhur, 2007). Terdapat tipe karsinoma tiroid, yaitu : a. Adenokarsinoma papiler Merupkan keganasan tiroid berdifernsiasi baik yang paling sering ditemukan (50 - 60 %).Sebagian besar disertai pembesaran kelenjar getah bening regional.Karsinoma ini bersifat kronis, tumbuh lambat dan mempunyai prognosis paling baik diantara karsinoma tiroid

lainnya.Tumor ini akan ikut bergerak bila pasien menelan, tetapi bila tumor sudah terfiksasi sering kali tidak ikut gerakan menelan. b. Adenokarsinoma folikuler Tumor ini meliputi sekitar 25 % karsinoma tiroid, ditemukan terutama pada wanita setengah baya.Tumor ini sering tidak ditemukan karena ukurannya yang kecil dan tidak bergejala.Bersamaan dengan tumor ini terkadang ditemukan tumor soliter pada tulang tengkorak atau femur. c. Adenokarsinoma meduler Tumor ini meliputi sekitar 5 - 10 % karsinoma tiroid.Berasal dari sel parafolikuler (sel C).tumor ini berbatas tegas dan keras pada perabaan. Pada sindrom sipple (Men IIa) ditemukan kombinasi dengan

feokromositoma dan hiperparatiroid, sedangkan pada Men IIb disertai juga neuroma submukosa. d. Adenokarsinoma anaplastic Merupakan karsinoma tiroid yang jarang ditemukan. Tumor ini sangat ganas, terdapat pada usia tua dan wanita. Awalnya merupakan struma nodusa yang lama kemudian membesar dengan cepat.Tumor ini serin disertai nyeri dan nyeri alih bagian telinga serta suara serak (De Jong & Syamsuhidayat, 2003).

I. Penatalaksanaan Tujuanpengobatan hipotiroidisme adalah menghilangkan gejala dan keluhan serta normalisasi sekresi TSH dan FT4.Pemberian hormon tiroid merupakan pilihan utama untuk hipotiroidisme.Preparat yang banyak digunakan adalah levotiroksin. Dosis levotiroksin 1,6 1,8 g/kg/BB (umumnya untuk wanita 75 112 g/hari dan untuk pria 125 200 g/hari). Menurut Toft dosis permulaan dimulai 50g/hari kemudian ditingkatkan menjadi 100g/hari sesudah 3-4 minggu, kemudian serum T4 dan TSH yang diperiksa 2 bulan sesudah pengobatan, kemudian dosis disesuaikan hasil laboratorium dan gejala klinik, sebagai berikut :

Bila TSH normal, T4 normal atau meningkat, T3 normal, gejala klinik tidak ada, maka terapi diteruskan Bila TSH normal, T4 normal atau meningkat, T3 normal, gejala klinik ada, maka dosis tiroksin ditingkatkan 25-50g/hari sampai TSH menurun, tetapi T3 masih normal. Bila TSH <0,05 mU/l, T4 normal atau meningkat, T3 normal, gejala klinik tidak ada, maka dosis tetap Bila TSH <0,05 mU/l, T4 normal atau meningkat, T3 normal, gejala klinik ada, maka dosis tiroksin diturunkan 25-50 g/hari sampai TSH normal Bila TSH <0,05 mU/l, T4 normal atau meningkat, T3 normal tinggi atau meningkat, gejala klinik ada (atrial fibrilasi, densitas tulang menurun), maka dosis tiroksin diturunkan 25-50 g/hari sampai T3 normal. Pada lansia dengan penyakit jantung iskemik dosis permulaan 25g/hari kemudian dinaikkan 25 g/hari setiap 3 -4 minggu. Pada pasien hipotiroid setelah tiroidektomi total pada karsinoma tiroid, maka langsung diberikan dosis penuh 100 150 g/hari (Sumual & Langi,2007). Untuk gejala hipertiroid khususnya krisis tiroid harus tepat, yaitu diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit serta kalori (glukosa), vitamin, oksigen kalau perlu obat sedatif dan kompres es. Untuk mengkoreksi hipertiroidisme diberikan PTU dosis besar 600 1000 mg diikuti dosis 200 -250 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000 1500 mg. OAT diberikan sejam sebelum logol diberikan. Lugol (sol lugol)diberikan 10 tetes setiap 6 8 jam).Untuk menghambat konversi perifer perifer dari T4 T3 dengan beta bloker (propranolol) dengan dosis 20 40 mgtiap 6 jam. Respon pasien akan terlihat dalam 12 24 jam, meskipun ada yang berlanjut hingga seminggu. Tolok ukur perbaikan dilihat dari tingkat kesadaran pasien (Djikomoeljanto, 2007). Pada penyakit graves pengobatan di tujukan untuk memodulasi konsentrasi tiroid. Pemberian tirostatika (obat anti tiroid /OAT), dengan propitiourasil 50 mg, 100 mg. OAT dapat menghambat ekspresi HLA-DR di sel folikel, sehingga dapt memperbaiki imunologis. Tujuan pengobatan ini adalah supaya terjadi

remisi pada episode pengobatan graves. Selain itu juga dapat diberikan OAT lain seperti Methimazol10, 30 mg. yang perlu diperhatikan adalah efek samping OAT, yaitu adalah efek serius : agranulositosis, hepatitis, trombositopenia, anemia aplastic. Serta efek minor : gatal, urtikaria, demam serta keluhan gastrointestinal. Tiroidektomi juga bias sebagai solusi terapi. Prinsip umum pembedahan adalah pasien dalam keadaan eutiroid dan diberikan sol lugol(3dd. 5 tts) 7 10 hari preoperative untuk menginduksi involusi kelenjar dan mengurangi vaskularisasi tiroid. Dapat dilakukan tiroidektomi subtotal dupleks dengan menyisakan jaringan sebesar ibu jari atau lobektomi total sebelah termasuk ismus dan tiroidektomi subtotal lain. Post operasi harus selalu dipantau apakah terjadi remisi, hipotiroidisme ataupun kambuh toksik. Selain itu terapi lainnya dapat diberikan yodium radioaktif. Prinsipnya adalah sama, yaitu pasien dalam kondisi eutiroid, dengan preradiasi OAT dihentikan 3 hari sebelumnya dan tiroksin beberapa minggu sebelumnya. Rancangan dosis yang diberikan adalah cara bertahap yaitu membuat eutiroid tanpa hipotiroid, cara ini membutuhkan waktu lama. Cara lain adalah pemberian dosis besar untuk membuat hipotiroid, kemudian hipotiroid disubstitusi dengan tiroksin (selama hidup). Kontraindikasi radioaktif hanya pada pasien hamil, dan tidak ada bukti menyebabkan karsinoma ataupun leukimia (Djokomoeljanto, 2007). Penatalaksanaan struma non toksik lebih ditekankan bila adanya penekanan pada esofafus, trachea atau obstruksi vena. Ada 3 pilihan utama pengobatan struma non toksik, yaitu : 1. Tiroidektomi Dapat dilakukan tiroidektomi subtotal dengan pengangkatan semua jaringan abnormal, tetapi ada pula yang mengatakan lebih baik melakukan reseksi yang lebih luas, yaitu tiroidektomi subtotal atau bahkan total. 2. Radioiodine Pengobatan ini dapat mengurangi volume kelenjar sampai 90 %.Besarnya volume penurunan kelenjar tiroid berbanding lurus dengan dosis radioiodine yang diberikan. Beberapa komplikasi dapat terjadi, seperti : hipertiroidisme autoimun (graves), tirotoksikosis dan hipotiroidisme. Selain itu kekambuhan

yang ditandai pembesaran lagi klenjar tiroid juga dapat ditemukan, sehingga dibutuhkan radioiodine ulangan.Radioiodine kontra indikasi pada pasien tua, karena meningkatkan insidensi Ca tiroid ataupun Ca ekstra tiroid. 3. Tiroksin Dapat diberikan T4, berdasarkan hipotesis bahwa jaringan struma tregantung pada TSH, oleh karena itu penekanan dengan TSH dengan T4 akan mengurangi ukuran struma atau paling tidak mencegah pembesaran selanjutnya.Terapi ini membutuhkan waktu yang panjang karena struma dapat terjadi pembesaran lagi setelah beberapa saat penghentian terapi (Syahbuddin, 2007). Untuk terapi karsinoma tiroid sebelumnya dinilai dulu kondisi pasien dengan menggunkan skor AMES.Skor ini digunakan sebagai risiko prognostic untuk dilakukan pembedahan. Skor AMES (Age, Metastases, Extent of primary cancer, Tumor size) Low Risk / High Risk Age : males <41 y, female <51 y / males > 40 y, female > 50 y Metastases : no distant metastases / distant metastases Extent : intrathyroidal papillary or follicular with minor capsul invasion / extrathyroidal papillary or follicular with major invasion Size : 5 cm / > 5 cm Low risk patients are (1) any low risk age group without metastases or (2) high risk age without metastases with low risk extent and size High risk patients are (1) any patient with metastases or (2) high risk age with either high risk extent or size Sehingga untuk terapi adenokarsinoma tiroid dengan skor prognosis baik, dapat dilakukan istmolobektomi (hemitiroidektomi).Jika skor buruk maka dianjurkan untuk tiroidektomi total. Jika ditemukan telah terjadi pembesaran kelenjar limfe leher harus dilakukan tiroidektomi total dengan diseksi kelenjar limfe leher sisi sama.Diseksi leher merupakan pengangkatan semua kelenjar limfe leher dan pleksus limfatikusnya.Bila tidak ada infiltrasi struktur di luar kelenjar getah bening, diseksi hanya dibatasi pada kelenjar limfe dan pleksusnya

saja, artinya m. sternokleidomastoideus, n asesorius dan v jugularis interna tidak ikut diangkat.Penyulit tiroidektomi adalah n. laringeus inferior dan n. laringeus superior, sehingga selama tiroid pembedahan pada keganasan, harus dipisahkan dam

dilindungi.Pembedahan

sekurang

kurangnya

pertahankan satu kelenjar paratiroid beserta vaskularisasinya.Adenokarsinoma papiler dapat dilakukan tiroidektomi total, post operatif diberikan yodium radioaktif. Yodium radioaktif ini akan ditangkap oleh sell anak sebar karsinoma papiler sehingga sangat bermanfaat. Adenokarsinoma folikuler diberikan terapi bedah tiroidektomi total.Bila masih ada metastasis dan tumor yang tersisa dilakukan pemberian yodium radioaktif.Adenokarsinoma medulare dilakukan tiroidektomi total.Pemeberian yodium radioaktif tidak memeberikan hasil karena tumor ini bukan berasal dari sel folikuler sehingga tidak menyerap yodium radioaktif. Untuk adenokarsinoma anaplastic pembedahan sudah tidak mungkin lagi sehingga satu satunya terapi yang bias diberikan adalah radiasi eksternal dengan atau tanpa pemberian khemoterapi antikanker (doksorubisin). Prognosis karsinoma anaplastic adalah buruk, dan penderita biasanya meninggal enam bulan sampai satu tahun setelah diagnosis (De Jong & Syamsuhidayat, 2003).

BAB III KESIMPULAN 1. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma. 2. Diagnosis struma lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan lainnya, yaitu morfologi (berdasarkan gambaran makroskopis) dan faal struma. 3. Berdasarkan faalnya, struma dibagi menjadi 3, yaitu : eutiroidisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Sedangkan berdasarkan istilah klinis, dibedakan menjadi : nontoksik dan toksik. 4. Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroiid tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme. 5. Struma difusa non toksik disebabkan oleh interferensiantarahormonTRH-TSH tiroidyang akan mengaibatkan perubahandalam fungsidan

strukturkelenjartiroid. 6. Struma toksik nodosa adalah kelenjar tiroid yang mengandung fungsi otonom nodul tiroid yang mengakibatkan hipertiroidisme. 7. Struma toksik difusa adalah grave disease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya. 8. Pada umumnya, struma dapat diterapi dengan obat-obatan anti tiroid, yodium radioaktif, dan operasi (tiroidektomi). 9. Diagnosis berdasar anamnesis (Sejak kapan benjolan timbul, Rasa nyeri spontan atau tidak spontan ,berpindah atau tetap ,Cara membesarnya,Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja,Riwayat keluarga,Riwayat penyinaran daerah pada waktu kecil/muda,Perubahan suara,Gangguan menelan,sesak

nafas,Penurunan berat badan), Pemeriksaan fisik (Umum,Lokal: Nodul tunggal atau majemuk, atau difus, Nyeri tekan,Konsistensi,Permukaan,Perlekatan pada jaringan sekitarnya, Pendesakan atau pendorongan trakea, Pembesaran kelenjar getah bening regional).

Daftar Pustaka

Davis,

Anu

Bhalla.2005.Goiter,

Toxic

Nodular.,

eMedicine.,

http://www.emedicine.com/med/topic920.htm De Jong. W, Sjamsuhidajat. R. 2003.Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC. Djokomoeljanto. 2009. Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI. Mulinda, James R. 2005.Goiter., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2003.Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Marijata.1991. Pola Distribusi Penderita Benjolan Tiroid di RSU Wonosari Gunung Kidul. Yogyakarta: Berita kedokteran masyarakat (2). Syaifuddin, H. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa, Edisi 3. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pranoto,A. 2005. The Role of Medical Treatment in Goiter. Surabaya. Universitas Airlangga Rismadi, K. 2010. Karakteristik Penderita Struma Rawat Inap Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2005-2009. Medan. Universitas Sumatera Utara Guth S, Theune U ,et al,. 2009.Very high prevalence of thyroid nodules detected by high frequency (13 MHz) USG. http://emedicine.medscape.com/ Sherwood, L. 2002, Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem (Ed.2), EGC. Jakarta. Djokomoeljanto. 2007. Evaluasi Pasien dengan Kelainan Tiroid Secara Menyeluruh Dalam Buku Ajar Tiroidologi Klinik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Gleadle, J. 2002. At a Glance : Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik, Erlangga Medical Series. Jakarta. Sumual, A, R. Langi, Y. 2007. Hipotiroidisme Dalam Buku Ajar Tiroidologi Klinik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Syahbuddin, S. 2007. Struma Non Toksik (Difus dan Noduler) Dalam Buku Ajar Tiroidologi Klinik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Wartofsky, L. 2000. Penyakit Tiroid Dalam Harrison Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 5( Ed 13). Asdie, H., A., (Alih Bahasa), EGC, Jakarta. Adam, J, M. 2007. Tiroiditis Dalam Buku Ajar Tiroidologi Klinik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Masjhur, J, S. 2007. Karsinoma Tiroid Dalam Buku Ajar Tiroidologi Klinik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

You might also like