You are on page 1of 19

1

PERCOBAAN 7
BRINE SHRIMPS LETHALITY TEST (BSLT)

1. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui efek toksisitas dari
hewan uji yaitu larva udang laut (Artemia Salina L) berdasarkan metode Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT).

2. Tinjauan Pustaka
Kanker bukanlah istilah yang asing lagi tetapi sering menjadi momok
dan sangat menakutkan bagi masyarakat. Kanker merupakan suatu penyakit
yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal dan
tak terkontrol. Sel-sel tersebut terbentuk karena terjadinya mutasi gen sehingga
mengalami perubahan baik bentuk,ukuran, maupun fungsi dari sel tubuh yang
asli. Mutasi gen ini dipicu oleh keberadaan suatu bahan asing yang masuk
kedalam tubuh diantaranya zat bahan tambahan makanan, radioaktif, oksidan,
atau karsinogenik yang dihasilkan oleh tubuh sendiri secara alamiah
(Griffiths,1993).

Kanker dapat menyerang semua bagian tubuh. Berdasarkan organ-organ
tubuh yang terserang, dikenal berbagai jenis kanker seperti kanker payudara,
kanker mulut rahim, kanker otak, kanker hati, kanker paru-paru, kanker prostat,
kanker kulit dan kanker usus (Mangan, 2003).

Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap
tubuh dan sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena
efek terapeutis obat berhubungan erat dengan efek toksisnya. Pada hakikatnya
setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai racun dan
2

merusak organisme (Sola dosis facit venenum: hanya dosis membuat racun,
Paracelsus) (Tjay, 2002).

Untuk obat yang struktur kimianya belum diketahui dan untuk sediaan tak
murni atau campuran dari beberapa zat aktif , metode spektrofotometer
ultraviolet/ infrared, dan polarograf tidak dapat dilakukan. Obat-obat ini diukur
dengan metode biologis, yaitu dengan bio-assay, dimana aktivitas ditentukan
oleh organisme hidup (hewan, kuman) dengan membandingkan efek obat
tersebut dengan efek suatu standar internasional (Tjay, 2002).

Bila ditemukan suatu aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat,
maka senyawa yang lolos penyaringan ini akan diteliti lebih lanjut (Gunawan,
2007).

Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan
waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, dan
efek toksisnya pada hewan coba. Dalam studi farmakokinetik ini tercakup juga
pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa tersebut dan
metabolitnya dalam cairan biologik. Semuanya ini diperlukan untuk
memperkirakan dosis efektif dan memperkecil resiko penelitian pada manusia
(Gunawan, 2007).

Ada beberapa kemungkinan untuk menggolongkan toksikologi diantaranya
(Mustchler, 1991) :
Efek toksis akut, yang langsung berhubungan dengan pengambilan zat
toksik.
Efek toksik kronik, yang pada umumnya zat dalam jumlah sedikit
diterima tubuh dalam jangka waktu yang lama sehingga akan
terakumulasi mencapai konsentrasi toksik dan dengan demikian
menyebabkan terjadinya gejala keracunan.

3

Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan
ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelsus pada tahun 1564 telah
meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis
menetukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum).
Sekarang dikenal banyak faktor yang menentukan apakah suatu zat kimia bersifat
racun, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang terpenting. Untuk setiap
zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama
sekali, atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan
kematian. Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang adekuat dapat
menimbulkan efek farmakoterapeutik (Gunawan, 2007).

Efek toksik, atau toksisitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui
pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi, untuk
obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang
diberikan. Untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik sempit, seperti
antibiotika aminoglikosida dan antikonvulsi, batas terapeutik dipantau dengan
ketat. Jika kadar obat melebihi batas terapeutik, maka efek toksik kemungkinan
besar akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan obat (Kee, 1996).

Brine Shimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode uji
toksisitas yang banyak digunakan dalam penelusuran senyawa bioaktif yang
toksik dari bahn alam. Metode ini menunjukkan aktifasi farmakologis yang luas,
tidak spesifik dan dimanifestasikan sebagai toksisitas senyawa terhadap larva
udang (Artemia SalinaLeach) (Anonim,2011).

Metode ini dapat dilakukan dengan cepat, murah, mudah dan cukup
reproduksibel sehingga dapat digunakan sebagai bioassay Guided Isolation yaitu
isolasi komponen kimia berdasarkan aktifitas yang ditunjukkan oleh bioessay
tersebut. Dengan mengetahui aktifitas dari suatu kelompok komponen kimia
(fraksi), dapat dilakukan isolasi senyawa sehingga diperoleh senyawa tunggal
aktif (Anonim,2011).
4

Toksisitas adalah efek berbahaya dari suatu bahan obat pada organ target.
Uji toksisitas dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan zat yang akan di uji.
Adapun sumber zat toksik dapat berasal dari bahan alam maupun sintesis
(Anonim,2011).

Toksisitas diukur dengan mengamati kematian pada hewan coba. Kematian
hewan coba dianggap sebagai respon dengan menggunakan kematian sebagai
jawaban toksik adalah titik awal untuk mempelajari toksisitas (Anonim,2011).\

Median Lethal Dosis (LD
50
)adalah dosis dari sample yang diuji yang
mematikan 50% dari hewan coba, sedangkan Median Lethal Concentration
LC
50
adalah konsentrasi sample yang diuji yang dapat mematikan 50% dari hewan
coba (Anonim,2011).

Angka kematian hewan coba dihitung sebagai Median Lethal Dose (LD50)
atau Median Lathal Concentration (LC50). Penggunaan LC50 dimaksudkan untuk
pengujian ketoksikan dengan perlakuan terhadap hewan coba secara inhalasi atau
menggunakan media air. Kematian pada hewan percobaan digunakan sebagai
pedoman untuk memperkirakan dosis kematian pada manusia (Cassaret, 1975).

Belakangan ini telah banyak pengujian tentang toksisitas yang
dikembangkan untuk pencarian produk alam yang potensial sebagai bahan
antineoplastik. Metode pengujian tersebut antara lain Simple Brench-Top Bioassay
(terdiri dari Brine Shrimp Lethality Test, Lemma Minor Bioassay dan Crown-Gall
Potato Disc Bioassay) dan pengujian pada sel telur bulu babi (Anonim, 2012) :
1. Dengan berdasarkan pada pemikiran bahwa efek farmakologi adalah
toksikologi sederhana pada dosis yang rendah dan sebagian besar senyawa
anti tumor adalah sitotoksik, maka Brine Shrimp Lethality Test dapat
digunakan sebagai uji pendahuluan senyawa anti tumor. Senyawa yang
mempunyai kemampuan membunuh larva udang diperkirakan juga
mempunyai kemampuan membunuh sel kanker dalam kultur sel. Pengujian ini
5

adalah pengujian letalitas yang sederhana dan tidak spesifik untuk aktifitas
tumor, tetapi merupakan indicator toksisitas yang baik dan menunjukkan
korelasi yang kuat dengan pengujian antitumor lainnya seperti uji sitotoksitas
dan uji leukemia tikus. Karena kesederhanaan prosedur pengerjaan, biaya
yang rendah serta korelasinya terhadap pengujian toksisitas dan pengujian
antitumor menjadikan Brine Shimp Lethality Test sebagai uji hayati
pendahuluan untuk aktivitas tumor yang sesuai dan dapat dilakukan secara
rutin di Laboratorium dengan fasilitas sederhana.
2. Metode BSLT juga digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa toksik
dalam proses isolasi senyawa dari bahan alam yang berefek sitotoksik dengan
menentukan harga LC
50
dari senyawa aktif. Metode BSLT dapat digunakan
dari berbagai system uji seperti uji pestisida, mitotoksin, polutan, anastetik,
komponen seperti morfin, karsinogenik, dan ketoksikan dari hewan dan
tumbuhan laut serta senyawa racun dari tumbuhan darat.
3. Lemma Minor Bioassay terutama digunakan sebagai uji pendahuluan terhadap
bahan yang dapat menghambat dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Dengan pengujian ini dapat diamati bahwa senyawa anti tumor alami juga
dapat menghambat pertumbuhan lemma, walaupun korelasinya dengan
pengujian anti tumor lainnya kurang baik. Oleh karena pengujian ini lebih
diarahkan untuk mencari herbisida dan stimulant pertumbuhan tanaman baru.
4. Crown-Gall Potato Disc Bioassay merupakan metode pengujian toksisitas
yang relatif cepat pengerjaannya, tidak mahal, tidak memerlukan hewan
percobaan serta menunjukkan korelasi yang sangat baik dengan uji antitumor
lainnya.
5. Pengujian pembelahan sel telur bulu babi dilakukan dengan mengamati
pengamatan penghambatan pembelahan sel telur oleh suatu senyawa, diamati
secara normal pembelahan sel telur tersebut terjadi dengan cepat. Keuntungan
dari metode ini adalah pengerjannya yang relative cepat, tidak memerlukan
kultur sel serta peralatan dengan metode khusus. Seperti sel kanker, embrio
Bulu Babi juga mempunyai sensitivitas selektif terhadap obat sehingga
6

pengujian dengan cara ini menjadi metode yang layak bagi penentuan bahan
yang akan dievaluasi lebih lanjut.

Walaupun semua sel bereproduksi selama embriogenesis, hanya sel sel
tertentu yang terus melakukannya setelah beberapa bulan kelahiran bayi. Sel sel
yang bereproduksi, seperti sel hati, kulit dan gastrointestinal, menduplikasi secara
persis DNA mereka dan kemudian membelah menjadi dua sel anak. Sele
bereproduksi melalui sebuah proses, yang disebut siklus sel. Sel sel yang tidak
bereproduksi setelah lahir, misalnya sel otot skeletela, tidak menjalani siklus sel
ini. Perjalanan siklus sel ini secara ketat dikontrol dan dapat dihentikan atau
dimulai bergantung pada kondisi sel dan sinyal yang diterimanya, yang sebagian
bahasannya diuraikan berikut ini. Sel sel yang bereproduksi biasanya melalui
siklus sel dengan kecepatan yang sudah semestinya kecepatannya dapat
ditambahkan atau dikurangi. Sel yang bereproduksi secara lambat, atau tidak sama
sekali, menghabiskan sebagian besar waktu mereka pada stadium interfase tahap
gap (G1 atau G2) (Corwin, 2009).

Siklus sel dikontrol oleh konstribusi berbagai gen yang bererspon terhadap
tanda pemadatan sel, cedera jaringan, dan kebutuhan untuk tumbuh. Secara
umum, sel menjalani siklusnya jika distimulasi oleh faktor hormon dan
pertumbuhan yang diekskresi oleh sel sel yang jauh, oleh faktor pertumbuhan
yang diproduksi secara lokal, dan oleh isyarat kimia yang dilepaskan dari sel
sekitarnya, termasuk sitokinin yang dihasilkan oleh sel imun dan sel radang.
Isyarat eksternal ini bertindak mengikat reseptor spesifik yang ada di membran
plasma sel target. Setelah terikat, kompleks reseptor mengaktifkan sistem
penghantar kedua (Second Massenger system), yang mengirimkan sinyal
pertumbuhan ke inti sel. Ketika sinyal mencapai inti sel. Protein tertentu yang ada
di inti sel, yang disebut faktor transkripsi, mengaktifkan atau menginaktifkan gen
khusus yang pada akhirnya menghasilkan protein yang mengontrol proliferasi sel.
Gen yang diaktifkan jugan menghasilkan protein yang memberikan umpan balik
7

terhadap setia tahap sinyal dan stimulasi penghantar untuk memperkuat untuk
meminimalkan efek stimulasi awal (Corwin, 2009).

Berikutnya akan diuraikan isyarat eksternal yang mengontrol pertumbuhan
sel dan menyajikan contoh sistem penghantar kedua yang penting. Akhirnya akan
disajikan dua kategori besar gen yang produksi akhirnya mengontrol siklus sel,
yaitu gen supresor/penekan tumor dan proto onkogen. Proto onkogen adalah
gen yang ditemukan di sel, yang ketika diaktifkan, merangsang sel untuk
menjalani siklus sel untuk menjalani siklus sel sehingga menghasilkan
pertumbuhan dan proliferasi sel. Gen ini dapat merangsang terjadinya siklus sel
disemua tingkatan, termasuk :
Menghasilkan produksi yang membentuk reseptor membran untuk
mengikat hormon dan bahan kimia perangsang pertumbuhan.
Meningkatkan pertumbuhan protein penghantar kedua, termasuk protein
ras, yang mentransfer sinyal pertumbuhan ke inti sel, dan
Menghasilkan faktor transkripsi yang mengaktifkan gen vital yang
mendorong pertumbuhan an sel (mis., keluarga gen myc) (Corwin, 2009).

DIFERENSIASI SEL

Selama perkembangan, sel normal akan ber diferensiasi. Diferensiasi sel
berarti bahwa suatu sel menjadi khusus dalam struktur dan fungsinya, dan
berkumpul dengan sel selyang berdiferensiasi serupa. Sebagai contoh, sebagian
sel embrionik ditakdirkan untuk menjadi sel retina, selain yang lain ditakdirkan
untuk menjadi sel kulit atau jantung. Semakin tinggi diferensiasi sebuah sel,
semakin jarang sel tersebut masuk ke siklus sel untuk bereproduksi, dan
membelah. Sel sel saraf, yang tidak mengalami reproduksi, adalah sel yang
berdiferensiasi tinggi. Sel yang jarang atau tidak pernah mengalami siklus sel
tidak mungkin menjadi sel kanker, sedangkan sel yang sering menjalani siklus sel
lebih mungkin cenderung mengalami kanker. Diferensiasi tampaknya terjadi
akibat supresi selektif gen tertentu pada beberapa sel, sedangkan pada sel lain, gen
8

yang sama tetap aktif. Diferensiasi setiap sel dan jaringan tampaknya
mempengaruhi diferensiasi sel dan jaringan disekitarnya. Sel melepaskan faktor
pertumbuhan khusus yang menuntun diferensiasi sel sekitar (Corwin, 2009).
9

3. Alat dan Bahan
a) Alat
Pipet tetes
Vial 3 buah
Hair dryer
Pipet mikro

b) Bahan
Tissue
Air laut
Sampel 10 g/ml
Larva udang

4. Prosedur kerja
Siap vial 3 buah yang telah dicuci bersih sebelumnya.
Kalibrasi masing-masing vial 5 ml
Keringkan vial dengan menggunakan tissue
Setelah kering, masukan sampel ke dalam masing-masing vial sebanyak
0,5 ml
Kemudian uapkan dengan menggunakan hair dryer sampai sampelnya
benar-benar kering.
Setelah kering, masukan larva udang (Artemia salina) sebanyak 10 larva
ke masing-masing vial.
Amati kematian larva selama 24 jam.







10

5. Hasil dan Pembahasan
a) Hasil

% Kematian kelompok 3 :
% Kematian =

x 100%
=

x 100%
= 13,3%
Kurva Log C vs Nilai Probit kelompok 1-3

Kelompok Konsentrasi larutan induk Konsentrasi larutan sampel Jumlah larva mati Jumlah larva %Kematian Nilai probit Log konsentrasi
8
8
8
2
3
4
1
2
1
4
5
7
10
10
10
3
3
3
1000 g/ml 100 g/ml 10 80% 5,842 2
1
3 10 g/ml 1 g/ml 10 13,30% 3,874 0
2 100 g/ml 10 g/ml 10 30% 4,476
1
2
5 100 g/ml 10 g/ml 10 100% 8,0902 1
4 1000 g/ml 100 g/ml 10 53,33% 5,075
10 30% 4,476 0 6 10 g/ml 1 g/ml
11

Y = 0,984x + 3,7467 LC50 = antilog 1,2736
5 = 0,984x + 3,7467 = 18,7758 g/ml
5 3,7467 = 0,984x
1,2533 = 0,984x
X = 1,2736

Kurva Log C vs Nilai Probit kelompok 4-6

Y = 0,2995x + 5,5809 LC50 = antilog -1,9395
5 = 0,2995x + 5,5809 = 0,0114 g/ml
5 5,5809 = 0,2995x
-0,5809 = 0,2995x
X = -1,9395

b) Pembahasan
Pada praktikum kali ini kami menggunakan larva udang (Artemia salina
L.) dengan tujuan mengetahui efek toksisitas dari hewan uji yaitu larva
udang laut (Artemia Salina L) berdasarkan metode Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT).
Uji toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut
dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat,
12

yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya
dengan menentukan nilai LC50 dari aktivitas komponen aktif tanaman
terhadap larva Artemia salina Leach. Suatu ekstrak dikatakan toksik
berdasarkan metode BSLT jika harga LC < 1000 g/ml.

LC50 adalah konsentrasi dari suatus senyawa kimia di udara atau dalam
air yang dapat menyebabkan 50% kematian pada suatu populasi hewan uji
atau makhluk hidup tertentu. Penggunaan LC50 dimaksudkan untuk
pengujian ketoksikan dengan perlakuan terhadap hewan uji secara
berkelompok yaitu pada saat hewan uji dipaparkan suatu bahan kimia
melalui udara maka hewan uji tersebut akan menghirupnya atau percobaan
toksisitas dengan media air. Nilai LC50 dapat digunakan untuk menentukan
tingkat efek toksik suatu senyawa sehingga dapat juga untuk memprediksi
potensinya sebagai antikanker.

Percobaan Brine Shrimps Lethality Test ini kami menggunakan larva
udang sebagai hewan percobaan. Larva udang ini masing-masing kelompok
diambil 10 dan dimasukkan ke dalam vial dengan konsentrasi sampel.

Pada kelompok kami, dengan konsentrasi sampel 1 g/ml dari larutan
induk 10 g/ml diuapkan dengan menggunakan hair dryer, guna diuapkan
adalah untuk menghilangkan sisa pelarut dari larutan induk.

Pada percobaan kali ini, kematian 100% terjadi pada konsentrasi larutan
induk yang 100 g/ml. Seharusnya, konsentrasi sampel yang tinggi akan
menghasilkan % kematian yang tinggi, bukan seperti yang kami dapatkan.
Mungkin ini diakibatkan oleh vial yang diuapkan dengan hair dryer belum
kering betul, ketidak telitian di dalam menghitung larva yang mati,
kesalahan praktikan dalam melakukan pengerjaannya, atau mungkin juga
ketika mengadkan air lautnya lebih dari 5 ml, sehingga hasil yang didapat
tidak seperti yang diharapkan.
13


Seperti yang kita ketahui Artemia merupakan kelompok udang-udangan
dari phylum Arthropoda yang hidup di danau-danau garam (berair asin).
Artemia ini toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas. Jika kadar
garam tempat hidupnya kurang dari 6% maka telur artemia akan tenggelam
dan tidak menetas, sedangkan apabila kadar garam lebih dari 25% telur
dapat tetap menetas. Cahaya yang minimal sangat dibutuhkan dalam proses
penetasan dan akan menguntungkan bagi pertumbuhannya. Selain itu suplai
oksigen juga harus tetap dijaga agar naupli dapat tetap hidup dan
berkembang.

Artemia salina Leach adalah udang tingkat rendah yang hidup sebagai
zooplankton. Artemia pada tahun 1778 diber i nama cancer salinus,yang kemudian
diubah menjadi Artemia salina pada tahun 1819 oleh Leach

Klasifikasi Artemia pada dunia hewan adalah sebagai berikut :
Divisi : Animal
Phylum : Arthropoda
Kelas : Crustaceae
Subkelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Familia : Arthemidae
Genus : Artemia
Species : Artemia salina Leach
Morfologi Artemia salina, Leach

Artemia salina, Leach diperdagangkan dalam bentuk telur istirahat yang dinamakan
kista. Kista ini bentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan dengan
diameter berkisar 200-300 m (Mudjiman,1995). Kista berkualitas baik, apabila
diinkubasi dalam air berkadar garam 5-70 permil akan menetas sekitar 18-24 jam.
Artemia yang baru menetas disebut nauplius, berwarna orange, berbentuk bulat
lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 0,002 mg.
14

Nauplius berangsur angsur mengalami perkembangan dan perubahan morfologis
dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Pada setiap pergantian
kulit dis ebut instar (Mujiman, 1995). Ada beberapa tahap penetasan Artemia yaitu
tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran.
Tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk
kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif bermetabolisme. Tahap selanjutnya
adalah tahap pecah cangkang dan disusul dengan tahap payung yang terjadi
beberapa saat sebelum nauplius keluar dari cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty,
1995). Tahap penetasan Artemia seperti pada gambar 1.













Gambar 1. Tahap penetasan telur Artemia
Artemia dewasa biasanya berukuran panjang 1-2 cm yang ditandai adanya tangkai
mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian kepala, antena sebagai alat sensori,
saluran pencernaan yang terlihat jelas, dan 11 pasang thorakopoda. Pada Artemia
jantan, antena berubah menjadi alat penjepit, sepasang penis terdapat dibagian
belakang tubuh, sedangkan pada Artemia betina antena mengalami penyusutan.
Sepasang indung telur atau ovarium terdapat di kedua sisi saluran pencernaan,
dibelakang thorakopoda (Mujiman,1995). Gambar 2 merupakan gambar morfologi
nauplius Artemia salina Leach.
15



Gambar 2. Morfologi nauplius Artemia salina
Lingkungan hidup
Artemia salina hidup planktonik di perairan berkadar garam tinggi antara
15-30 permil, suhu yang dikehendaki berkisar antara 25C-30C, oksigen
terlarut sekitar 3 mg/L dan pH antara 7,3-8,4. Artemia salina, Leach tidak
dapat mempertahankan diri dari pemangsa musuh- musuhnya karena tidak
mempunyai alat atau cara untuk membela diri, salah satu cara untuk
menghindarkan diri dari pemangsa hewan lain dengan berpindah kekondisi
alam berupa lingkungan hidup berkadar garam tinggi. Pada umumnya
pemangsa tidak dapat hidup lagi pada kondisi itu (Mudjiman,1995).
Makanan Artemia salina terdiri atas ganggang renik, bakteri dan cendawan.
Dalam pemeliharaan makanan yang diberikan adalah katul padi, tepung
terigu, tepung kedelai, dan ragi (Mudjiman,1995).
Perkembangbiakan dan siklus hidup
Perkembangbiakannya yaitu jenis biseksual dan jenis partenogenenetik
Keduanya dapat terjadi ovovivipar atau ovipar. Pada ovovivipar keluar dari
induknya sudah berupa anak yang dinamakan nauplius, sedangkan pada
ovipar anak keluar dari induknya berupa telur, bercangkang tebal yang
dinamakan siste. Perkembangbiakan jenis biseksual harus melalui proses
perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pada jenis
16

parthenogenesis tidak ada perkawinan karena memang tidak pernah ada
jantannya. Jadi, betina akan beranak dengan sendirinya tanpa perkawinan
(Mudjiman,1995). Siklus hidup Artemia salina seperti pada gambar 3.


Gambar 3. Siklus Hidup Artemia salina Leach (Mudjiman,1995)
Penetasan telur Artemia salina Leach
Telur yang siap menetas berwarna coklat keabu-abuan. Untuk media
penetasan dapat digunakan air laut biasa (kadar garam 30 permil). Tapi
untuk mencapai hasil penetasan yang lebih baik, kita perlu menggunakan air
berkadar garam 5 permil. Ini dapat dibuat dengan mengencerkan air laut
dengan air tawar. Sebelum ditetaskan telur-telur tersebut perlu dicuci
terlebih dahulu, yakni dengan direndam di dalam air tawar selama 1 jam,
baru kemudian dimasukan dalam wadah penetasan. Suhu air yang baik
selama proses penetasan adalah antara 25-30 C. Sedangkan kadar
oksigennya harus lebih dari 2 mg/L. Untuk merangsang proses
penetasannya media penetasan tersebut perlu disinari dengan lampu yang
dipasang di samping wadah. Dalam waktu 24-36 jam setelah pemasukan
telur, biasanya telur-telur itu sudah menetas menjadi anak Artemia yang
dinamakan nauplius (Mudjiman,1995).

17

Penggunaan Artemia salina Leach dalam penelitian
Suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk skrining dalam
menentukan toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif dengan menggunakan
hewan uji Artemia salina Leach. Artemia sebe lumnya telah digunakan
dalam bermacammacam uji hayati seperti uji pestisida, polutan, mikotoksin,
anestetik, komponen seperti morfin, kekarsinogenikan dan toksikan dalam
air laut. Uji dengan organisme ini sesuai untuk aktifitas farmakologi dalam
ekstrak tanaman yang bersifat toksik. Penelitian menggunakan Artemia
salina memiliki beberapa keuntungan antara lain cepat, mudah, murah dan
sederhana. Penelitian dengan larva Artemia salina Leach telah digunakan
oleh Pusat Kanker Purdue, Universitas Purdue di Lafayette untuk senyawa
aktif tanaman secara umum dan tidak spesifik untuk zat anti kanker. Namun
demikian hubungan yang signifikan dari sampel yang bersifat toksik
terhadap larva Artemia salina Leach ternyata juga mempunyai aktifitas
sitotoksik. Berdasarkan hal tersebut maka larva Artemia salina Leach dapat
digunakan untuk uji toksisitas (Meyer et al., cit Wahyuni,S.,2002).










18

6. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan :
Uji BSLT digunakan sebagai uji permulaan untuk mengetahui aktivitas
dari suatu zat atau senyawa yang terkandung dalam suatu ekstrak atau
suatu isolat murni.
Pada perbenihan larva udang Artemia salina digunakan air laut buatan
yang dibuat dengan menggunakan garam yang tidak mengandung
iodium karena bila menggunakan garam yang mengandung iodium
maka larva udang akan tumbuh lebih besar dan akan mengaburkan data
dari BSLT yang didapat.
Pada uji BSLT digunakan larva udang Artemia salina yang telah
berumur 48 jam. Pada saat penetasan setelah 24 jam larva udang yang
telah menetas di pindahkan ketempat lain hal ini bertujuan agar umur
dari larva udang yang digunakan sama. Ditakutkan bila tidak
dipindahkan ada larva udang yang baru menetas setelah 24 jam. Dan
terbawa dalam percobaan sehingga usia dari larva udang tidak seragam.
Pada pengujian BSLT dibuat larutan dengan konsentrsi yang berbeda-
beda mulau dari 1000, 100, dan 10g/ml. Ini bertujuan untuk melihat
pengaruh konsentrasi dari ektrak terhadap aktivitasnya (LC50).
LC50 adalah konsentrasi dari suatus senyawa kimia di udara atau dalam
air yang dapat menyebabkan 50% kematian pada suatu populasi hewan
uji atau makhluk hidup tertentu.
Suatu ekstrak dikatakan toksik berdasarkan metode BSLT jika harga
LC < 1000 g/ml.
Dari praktikum yang telah dilakukan LC50 yang didapat adalah :
Kelompok 1-3 : 18,7758 g/ml
Kelompok 4-6 : 0,0114 g/ml
Ini berarti bahwa ekstrak ini benar-benar toksik terhadap kematian larva
udang (Artemia salina L.)


19

7. Daftar Pustaka

Soedibyo, Mooryati. 1998. Alam Sumber Kesehatan Manfaat dan
Kegunaan. Jakarta. Balai Pustaka

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1978. Materia Medika
Indonesia II. Jakarta. Departemen Kesehatan

World Health Organization. 1998. Quality Control Method for Medicinal
Plant Materials. Geneva

Hariana H. Arief, Drs. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya ed. III. Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia
edisi IV. Jakarta.

Petunjuk Praktikum Teknologi Bahan Alam. 2010

Anonimous. 1994. Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida
Nabati. Prosiding Seminar di Bogor 1 2 Desember 1993. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.

You might also like