You are on page 1of 24

1

BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis merupakan peradangan mukosa hidung yang ditandai dengan gejala
kompleks yang terdiri dari kombinasi satu atau lebih gejala berikut: bersin-bersin,
udem mukosa hidung, rinore dan gatal pada hidung. Pada beberapa kasus, rinitis
alergi juga disertai dengan gejala pada mata, telinga, sinus, dan tenggorokan.
Penyebab tersering terjadinya rinitis adalah rinitis alergi. Rinitis alergi adalah
peradangan atau inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopik
yang sebelumnya telah tersensitisasi dengan alergen yang sama. Pada pasien
atopik, terjadi pelepasan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan
alergen spesifik tersebut. Angka kejadian rinitis alergi cukup sering terjadi, baik di
Indonesia maupun luar negeri. Rinitis alergi biasanya disebabkan adanya paparan
alergen tertentu secara spesifik. Rinitis alergi diawali oleh sensitisasi dan
selanjutnya diikuti oleh reaksi alergi.
1,2,3


Gambaran klinik rinitis alergi meliputi empat gejala klasik, yaitu bersin, hidung
gatal, rinore, dan kongesti hidung, serta gejala-gejala lainnya, baik nasal maupun
non-nasal. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan utama pasien dan
gejala-gejala yang menunjang diagnosis utama. Pada pemeriksaan fisik dilakukan
pemeriksaan rinoskopi anterior dan nasoendoskopi apabila fasilitas tersedia. Pada
pemeriksaan penunjang, dilakukan uji sensitivitas alergi yang meliputi uji in vitro
dan uji in vivo. Rinitis alergi memiliki beberapa diagnosis banding, yakni Rinitis
Non Alergi, Irritative-Toxic (Occupational) Rinitis, Rinitis Hormonal, Rinitis
Terinduksi Obat, Rinitis Idiopatik (Vasomotor), dan Rinitis Non Alergi dengan
Eosinofilia.
1,2,9


Prinsip manajemen rinitis alergi adalah mencegah kejadian rinitis dan
menghilangkan gejala serta penyebab rinitis alergi. Dalam hal mencegah kejadian
rinitis, penderita diberikan terapi non-farmakologis berupa saran untuk menjaga
kondisi tubuh dengan baik serta sebisa mungkin menjauhkan diri dari faktor
2

pencetus ataupun penyebab penyakit. Terapi farmakologis diberikan untuk
mengatasi gejala yang ditimbulkan rinitis alergi, dapat berupa antihistamin,
dekongestan, dan lain-lain. Tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.
1,2,10




























3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut Von Pirquet (1986) rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersentisisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan spesifik tersebut. Sedangkan
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) pada tahun 2001
mendefinisikan rinitis alergi sebagai kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
1

2.2 Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang menyerang
setidaknya 10 sampai 25% dari populasi, dan merupakan penyakit saluran
nafas kronis yang mempengaruhi kualitas hidup, produktivitas, serta kondisi
komorbid seperti asma dan sinusitis.
11
Survei yang dilakukan oleh badan
layanan kesehatan masyarakat Amerika Serikat menunjukkan bahwa rinitis
merupakan salah satu penyakit kronik yang paling sering terjadi. Pada survei
tahun 2001, diperkirakan 58 juta orang menderita rinitis alergi (RA) dan 19
juta orang menderita rinitis nonalergi. Statistik ini menunjukkan bahwa rinitis
alergi menjadi beban yang berat bagi masyarakat. Rerata usia pasien rinitis
alergi yang terdiagnosis berada pada rentang usia 9 sampai 11 tahun.
Meskipun penyakit ini sering didiagnosis sebelum usia 6 tahun, gejala yang
muncul sering pada usia 10 sampai 40 tahun. Angka insiden rinitis alergi pada
anak-anak diperkirakan akan meningkat tajam dalam 10 tahun mendatang.
2

2.3 Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari bagian luar atau piramid hidung serta rongga hidung
dengan vaskularisasi dan persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah berturut-turut adalah pangkal
4

hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang
hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh tulang keras dan tulang
rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka
tulang keras terdiri dari tulang hidung (os. nasalis), prosesus frontalis dari os.
maksilaris, dan prosesus nasalis dari os. frontalis. Sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), beberapa pasang
kartilago alar minor, dan tepi anterior kartilago septum.
4,5

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kavum nasi kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian
depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
3
Bagian dari
kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi (tepat di belakang nares
anterior) disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut- rambut panjang yang
disebut vibrise.
4

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang keras dan tulang rawan. Bagian tulang keras
terdiri atas lamina perpendikularis os. etmoid, vomer, krista nasalis os.
maksilaris, dan krista nasalis os. palatin. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuandrangularis), dan kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang
keras, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan
dinding lateral hidung licin (disebut ager nasi) dan di belakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
4,5

5

Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Konka inferior adalah yang
terbesar dan terletak paling bawah, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media, yang lebih kecil lagi ialah konka superior sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini merupakan organ rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os. maksilaris
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.
4

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, meatus dibagi menjadi tiga yaitu,
meatus superior, meatus medial dan meatus inferior. Meatus inferior terletak
di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid yang membentuk kompleks ostiomeatal
(KOM). KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drainase sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
4,5

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os.
maksilaris dan os. palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit
dan dibentuk oleh lamina kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak
dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari
arteri etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri
oftalmika, sedangkan arteri oftalmika berasal dari arteri karotis interna.
5

2.4 Fisiologi Hidung
Hidung memiliki dua fungsi fisiologik, yakni sebagai penghantar udara yang
nantinya akan dilembabkan sebelum menuju sistem pernapasan bagian bawah
serta sebagai penghantar partikel-partikel menuju saraf olfaktorius untuk
6

aktivasi sensoris indera pembau. Pada kondisi inflamasi hidung, baik akut
maupun kronis, fungsi-fungsi fisiologik akan terganggu. Berbagai kondisi
seperti rinitis alergi dan non-alergi akan mengurangi fungsi inspirasi dan
olfaktori.
2

2.5 Etiologi
Rinitis alergi biasanya disebabkan adanya paparan alergen tertentu.
Berdasarkan cara masuknya, alergen dapat dibagi menjadi :
1,3
1. Alergen inhalan, yaitu alergen yang masuk bersama dengan udara
pernapasan, misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B.
tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing),
rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan, yaitu alergen yang masuk ke saluran cerna berupa
makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan
kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yaitu alergen yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yaitu alergen yang masuk melalui kontak kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, dan perhiasan.

2.6 Patofisiologi
Rinitis alergi diawali oleh sensitisasi dan selanjutnya diikuti oleh reaksi
alergi. Reaksi alergi terdiri atas dua fase, yaitu Immediate Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan Late Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL). RAFC berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya, sedangkan RAFL
berlangsung 2-4 jam setelah kontak dengan alergen, dengan puncak 6-8 jam
(fase hiper-reaktifitas) setelah kontak dan dapat berlangsung sampai 24-48
jam.
1

Pada kontak pertama dengan alergen, makrofag atau monosit yang berperan
sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell atau APC) akan
7

menangkap alergen yang menempel pada mukosa hidung. Setelah itu sel
penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan sel T helper (Th-0) untuk berproliferasi menjadi Th-1 dan Th-2.
Th-2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-4 dan IL-13 yang akan
diikat oleh reseptornya pada permukaan sel limfosit B sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE akan beredar dalam darah dan
memasuki jaringan, kemudian diikat di permukaan sel mastosit dan basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini aktif. Bila mukosa yang telah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pelepasan granula) sel
mastosit dan basofil. Akibatnya, terjadi pelepasan mediator-mediator kimia
yang telah terbentuk, terutama histamin.
1
Terlepasnya histamin inilah yang
menyebabkan terjadinya bersin-bersin dan rasa gatal akibat rangsangan
histamin pada reseptor H-1 pada nervus vidianus. Selain itu histamin juga
akan menyebabkan hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet ditambah
dengan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore. Gejala
hidung tersumbat diakibatkan oleh adanya vasodilatasi sinusoid.
1
Pada
RAFL, sel mastosit juga melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan epitel target. Respon ini
berlanjut hingga mencapai puncak 6-8 jam setelah kontak. RAFL ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin (IL-
3, IL-4, IL-5), Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor
(GMCSF) dan ICAM-1 pada sekret hidung.
1
8


Gambar 1. Mekanisme Imunologis pada Pasien Rinitis Alergi.

2.6 Gambaran Klinis
Rinitis alergi ditandai dengan adanya empat gejala klasik, yaitu bersin,
hidung gatal, rinore, dan kongesti hidung. Terdapat juga tanda-tanda lainnya
yang tidak berkaitan dengan hidung seperti iritasi konjungtiva, gatal pada
palatum, dan epifora. Pasien mungkin akan mengeluhkan juga nyeri kepala
bagian frontal dan periorbital, indra penciuman berkurang, serta telinga yang
terasa penuh dan tertekan. Pada pasien rinitis alergi musiman, puncak
terjadinya alergi terjadi ketika terbentuknya polen pada musim itu. Pada
pasien ini sering dikeluhkan gejala-gejala iritatif seperti bersin dan gatal pada
hidung. Pada pasien rinitis alergi pereneal/menetap, gejala akan persisten
sepanjang tahun. Keluhan pada pasien ini biasanya obstruksi nasi dan rinore.
Gejala-gejala tambahan lain yang dapat ditemukan pada pasien alergi antara
lain seperti kelelahan (fatigue), malaise, kesulitan dalam konsentrasi,
kewaspadaan berkurang, dan psikomotor yang terganggu.
6,7


9

2.7 Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi diklasifikasikan menjadi dua berdasar sifat
berlangsungnya, yaitu:
1,8

1. Musiman (seasonal): terjadi di negara 4 musim. Alergen penyebab
spesifik yakni tepung sari (pollen) dan jamur.
2. Sepanjang tahun (perennial): gejala penyakit dapat timbul intermiten atau
persisten tanpa ada variasi musim sehingga dapat dijumpai sepanjang
tahun.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA tahun 2001, yakni berdasarkan sifat berlangsungnya,
dibagi menjadi:
1,8

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala muncul kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten (menetap): bila gejala muncul lebih dari 4 hari/minggu dan lebih
dari 4 minggu.
Sedangkan menurut berat ringannya penyakit, dibagi menjadi:
1,8

1. Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas sehari-
hari, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Berat: bila ditemukan satu atau lebih gangguan di atas.

2.8 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis rinitis alergi. Dari
anamnesis yang baik dan cermat, 50% diagnosis telah dapat ditegakkan.
Onset rinitis alergi muncul pada anak-anak, biasanya pada usia sekitar 10
tahun. Biasanya keluhan rinitis alergi terkait dengan riwayat penyakit atopi
sebelumnya. Pada anamnesis ditanyakan tentang keluhan pasien dan
riwayat penyakit yang berdasar pada basic four dan sacred seven. Gejala
rinitis alergi yang khas adalah terdapat serangan bersin yang berulang
diikuti gejalan-gejala lainnya, yaitu keluar ingus (rinore) yang encer dan
10

banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, dan kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata yang keluar (lakrimasi).
1,2,9

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi, dilakukan pemeriksaan
rinoskopi anterior dan nasoendoskopi bila fasilitas tersedia. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior untuk pasien rinitis alergi akan tampak
mukosa hidung edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior akan
tampak hipertropi.
2,9
Pada anak-anak terdapat tanda-tanda yang khas:
1

1. Allergic shiner: bayangan gelap di daerah bawah mata, karena stasis
vena akibat obstruksi hidung.
2. Allergic salute: anak tampak menggosok-gosok hidung dengan
punggung tangan karena gatal
3. Allergic crease: tampak garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah karena terlalu sering menggosok
4. Facies adenoid: mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
tinggi, sehingga akan mengganggu pertumbuhan gigi geligi.
5. Cobblestone appearance: dinding posterior faring tampak granuler dan
edema
6. Geographic tongue: lidah tampak seperti gambaran peta.

3. Nasoendoskopi
Pemeriksaan hidung dan nasofaring dengan endoskopi fiberoptik telah
rutin digunakan untuk melakukan diagnosis pada pasien dengan keluhan
hidung dan sinus. Di Indonesia, tes endoskopi dapat dilakukan pada
beberapa rumah sakit yang memiliki fasilitas yang lengkap. Endoskopi
hidung akan menunjukkan bagian posterior dari kavum nasi dan
nasofaring yang tidak dapat dilihat melalui rinoskopi anterior.
1,9


11

4. Uji Sensitivitas Alergi
Jika kita mencurigai adanya rinitis alergi, uji spesifik untuk sensitivitas
alergi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan, baik untuk memastikan
diagnosis maupun menentukan rencana pengobatan. Pada prinsipnya uji
sensitivitas alergi dilakukan dengan 2 cara yaitu in vivo dan in vitro yang
dapat dilakukan pada anak-anak maupun orang dewasa. Metode yang
paling sering digunakan untuk menilai alergi adalah satu atau beberapa
pendekatan skin testing.
a. Uji Sensitivitas Kulit
Skin prick testing digunakan dengan memaparkan sejumlah kecil
antigen yang dicurigai ke epidermis pasien, baik melalui pungsi
kecil menuju kulit atau dengan mencukit kulit dan memaparkan
antigen pada permukaan yang terangkat. Pada pasien yang alergi
akan didapatkan eritema dan indurasi pada daerah sekitar tempat
paparan.
2
b. Sitologi Hidung
Pada metode ini, dilakukan pengumpulan mukus dari hidung
melalui teknik swab atau scrap dan sampelnya akan diperiksa
secara mikroskopis untuk mengetahui apakah ada eosinofil atau sel
inflamasi lainnya. Jumlah eosinofil dan sel inflamasi yang
meningkat secara signifikan mengindikasikan suatu rinitis alergi.
2
c. Uji Provokasi Hidung
Metode ini merupakan metode tambahan untuk uji sensitivitas
alergi pada pasien dengan kecurigaan rinitis melalui pemaparan
alergen langsung ke hidung. Pada pendekatan ini, alergen yang
dicurigai dipaparkan langsung menuju mukosa hidung melalui
kontak langsung dengan polen atau polen yang dinebulasi
menggunakan spray.
9

2.9 Diagnosis Banding
Rinitis Non Alergi
Irritative-Toxic (Occupational) Rinitis
12

Rinitis Hormonal
Rinitis Terinduksi Obat
Rinitis Idiopatik (Vasomotor)
Rinitis Non Alergi dengan Eosinofilia

2.10 Komplikasi
1. Polip
Polip antrokoanal terisolasi sebenarnya sering disebabkan oleh infeksi,
namun sekitar sepertiga kejadian polip berkaitan dengan alergi akibat
inhalan. Pasien dengan polip seharusnya dilakukan skrining untuk alergi.
10
2. Sinusitis
Kebanyakan kasus sinusitis rekuren berkaitan dengan obstruksi kompleks
osteomeatal, termasuk didalamnya dikarenakan alergi. Reaksi alergi yang
berulang menyebabkan rinosinusitis hiperplasia kronis yang menyebabkan
sinusitis.
2,10
3. Otitis Media
Beberapa faktor terlibat dalam otitis media rekuren dan efusi persisten,
termasuk obstruksi tuba eustasius fungsional oleh karena infeksi atau
alergi.
2

2.11 Tatalaksana
1. Menghindari Alergen
Terapi yang paling ideal untuk rinitis alergi adalah dengan menghindari
kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Farmakoterapi
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang
bertindak sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target,
dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai
sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat
dikombinasi dengan dekongestan secara peroral atau tanpa
kombinasi.
1
13

b. Dekongestan
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin topikal. Obat ini menyebabkan kontraksi
jaringan erektil vena di hidung. Penggunaan dekongestan topical
diperbolehkan antara 3 sampai dengan 5 hari saja, karena dapat
menyebabkan rinitis medikamentosa atau rebound congestion.
1,2
c. Stabiliser Sel Mastosit
Sodium kromoglikat tersedia sebagai obat untuk rinitis alergi dari
golongan obat stabilisasi sel mastosit. Obat ini akan menstabilkan
membrane sel mastosit pada mukosa hidung, menurunkan
potensinya untuk degranulasi dan melepaskan histamin ke mukosa.
Penggunaan obat ini sebaiknya sebelum terkena paparan alergen
karena obat ini tidak efektif setelah sel mastosit terdegranulasi.
2
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain. Preparat yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal.
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein
sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktivitas limfosit, dan
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung
tidak merespon terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon
fase cepat dan lambat).
1
e. Anti Leukotrien
Obat-obatan anti leukotrien atau leukotriene receptor antagonists
(LTRAs) merupakan salah satu pengobatan yang baru untuk rinitis
alergi. Obat ini berguna untuk mengurangi keluhan baik nasal
maupun non nasal dari rinitis alergi. Leukotrien merupakan
mediator penting pada respon alergi fase lambat dan dengan
dihambatnya leukotrien respon alergi pada pasien diharapkan akan
menurun.
2
14

f. Antikolinergik Topikal
Preparat antikolinergik topikal yang paling sering digunakan yaitu
ipatropium bromide nasal spray. Obat ini bekerja dengan
menghambat jalur saraf otonom parasimpatetik pada mukosa
hidung. Efek utamanya adalah menurunkan rinore.
2
g. Anti-IgE
Anti-IgE merupakan salah satu obat baru untuk mengobati rinitis
alergi. Obat ini diadministrasikan secara subkutan dan secara
dramatis menurunkan jumlah IgE bebas sehingga dapat mengatasi
reaksi alergi.
2
3. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada pasien alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta apabila cara pengobatan
lainnya tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi
adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.
Imunoterapi dilakukan dengan cara mengadministrasikan sejumlah kecil
antigen secara subkutan untuk menurunkan responsivitas terhadap antigen.
Manfaat yang didapat tidak didapat secara cepat tetapi dalam beberapa
bulan pengobatan. Lama pengobatan yang dianjurkan untuk dapat
memperoleh manfaat yang diharapkan yaitu antara 3 sampai 5 tahun.
2,10
4. Pembedahan
Pembedahan yang dilakukan pada pasien dengan rinitis alergi bukan untuk
mengeliminasi penyebab tetapi untuk mengatasi komplikasi yang
ditimbulkan oleh rinitis alergi seperti polip hidung, sinusitis, otitis media,
dan hipertropi konka. Contoh pembedahan yaitu tindakan konkotomi
parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti, inferior
turbinoplasty, dan polipektomi.
2,10
15


Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative
ARIA 2001 (Dewasa)
11
















16

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : I N W
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Bangsa : Indonesia
Pendidikan : Tamat Sekolah Dasar
Pekerjaan : Perajin Kayu
Alamat : Banjar Batu Madeg, Tista, Abang.
Nomor RM : 01.58.60.40
Tanggal Pemeriksaan : 18 April 2013 pukul 08.45

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Bersin-bersin

Keluhan Tambahan:
Keluar ingus / lendir dari hidung dan hidung tersumbat.

Perjalanan Penyakit :
Pasien datang ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah pada tanggal 18 April
2013 untuk kontrol sehubungan dengan penyakit dan program imunoterapi
yang tengah dijalaninya. Sebelumnya, pada tanggal 10 September 2012 yang
lalu, pasien datang ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah dengan keluhan
pilek dan bersin berulang sejak 3 bulan sebelumnya. Bersin dikatakan
terutama kambuh jika pasien menghirup debu. Keluhan juga disertai dengan
keluarnya banyak ingus/lendir yang encer dan bening dari kedua hidung
pasien serta hidung tersumbat. Pasien memiliki riwayat alergi terhadap debu.
Keluhan panas badan, batuk, sakit tenggorokan, rasa tidak enak atau nyeri di
17

daerah wajah disangkal. Pasien juga menyangkal riwayat sakit gigi
sebelumnya. Kemudian pasien menjalani tes alergi di Poliklinik THT-KL
RSUP Sanglah pada tanggal 15 September 2012 dan didiagnosis dengan
rinitis alergi. Pasien pun mendapatkan program imunoterapi sejak saat itu dan
kini keluhan dirasakan telah hilang dan pasien tetap melanjutkan program
imunoterapinya.

Riwayat pengobatan:
Sebelum berobat ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah, pasien sempat
berobat ke dokter spesialis THT dan mendapatkan obat, namun keluhan yang
dirasakan tidak kunjung membaik.

Riwayat penyakit sebelumnya:
Pasien belum pernah mengalami sakit yang sama sebelumnya. Keluhan
penyakit berat / metabolik disangkal.

Riwayat Alergi:
Pasien memiliki riwayat alergi debu. Pasien mengatakan bahwa ia sering
bersin-bersin dan hidungnya sering tersumbat serta mengeluarkan ingus
bening encer ketika menghirup debu.

Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama.

Anamnesis Tambahan
Telinga
Keluhan Kanan Kiri
Sekret
Tuli
Tumor
Tinnitus
Sakit
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
18

Corpus alienum
Vertigo
-
-
-
-

Hidung
Keluhan Kanan Kiri
Sekret
Tersumbat
Tumor
Pilek
Sakit
Corpus alienum
Bersin
-
+
-
+
-
-
+
-
+
-
+
-
-
+

Tenggorokan
Riak : -
Gangguan : -
Suara : Normal
Tumor : -
Batuk : -
Sakit : -
Corpus alienum : -
Sesak nafas : -

III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present :
Keadaan Umum : Compos Mentis (GCS E
4
V
5
M
6
)
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 kali/menit, kuat, reguler
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu Aksila : 36C

19

Status General :
Mata : Anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) diameter
3/3 mm isokor.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Cor : S
1
S
2
tunggal, reguler, murmur (-), besar : normal.
Pulmo : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Hepar/lien : Tidak teraba.

Status Lokalis THT :
Telinga
Status Kanan Kiri
Daun Telinga Normal Normal
Liang Telinga Lapang Lapang
Discharge - -
Membran Timpani
Intak, refleks cahaya (+),
hiperemi (-)
Intak, refleks cahaya (+),
hiperemi (-)
Tumor - -
Mastoid Normal Normal
Tes Pendengaran
Weber Tidak dievaluasi
Schwabach Tidak dievaluasi
Rinne Tidak dievaluasi

Hidung
Status Kanan Kiri
Hidung Luar Normal Normal
Kavum Nasi Menyempit Menyempit
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Discharge - -
Mukosa Pucat Pucat
Tumor - -
20

Konka Kongesti Kongesti
Sinus Normal Normal
Koana Normal Normal

Tenggorokan
Status Kanan Kiri
Tonsil T1 T1
Mukosa Merah muda
Dispneu -
Sianosis -
Stridor -
Suara Normal
Dinding belakang Post-nasal drip (-)

Laring
Status Kanan Kiri
Epiglotis Tidak dievaluasi
Plika Vokalis Tidak dievaluasi
Aritenoid Tidak dievaluasi
Plika Ventrikularis Tidak dievaluasi
Rimaglotis Tidak dievaluasi

IV. DIAGNOSIS
Rinitis Alergi

V. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Diagnostik:
Usulan pemeriksaan penunjang berupa Tes Alergi (Skin Prick Test),
sudah dilakukan dengan hasil sebagai berikut:


21

No Alergen Hasil No Alergen Hasil
1 Houst Dust
500%
+++ 1 Bandeng -
2 Human Dander
200%
+++ 2 Udang ++
3 Mite Culture 3% +++ 3 Kakap -
4 Cat Dander 2% - 4 Kepiting ++++
5 Dog Dander 2% +++ 5 Putih Telur +
6 Chicken Dander
2%
_ 6 Kuning Telur -
7 Kecoa ++ 7 Ayam +

Penatalaksanaan Terapeutik:
Non Farmakologik:
o KIE kepada pasien untuk menjauhi faktor pencetus alergi yang
dalam hal ini adalah debu. Berhubung pasien bekerja sebagai
perajin kayu, diharapkan pasien senantiasa memakai masker ketika
bekerja. Jaga kebersihan rumah dan lingkungan kerja agar
senantiasa bersih dan bebas dari debu.
o KIE mengenai tes alergi, program imunoterapi, dan program
kontrol selanjutnya ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah.
Imunoterapi:
o Karena pengobatan secara medikamentosa (ketika pasien berobat
ke dokter spesialis THT sebelumnya) tidak memberikan hasil yang
memuaskan bagi pasien, maka dilaksanakan program imunoterapi

VI. PROGNOSIS
Dubius ad bonam




22

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada laporan kasus kali ini, seorang pasien laki-laki berusia 36 tahun, beragama
Hindu, dan bekerja sebagai perajin kayu datang kontrol sehubungan dengan
program imunoterapi yang sedang dijalaninya. Sebelumnya pasien mengeluhkan
pilek dan bersin-bersin. Keluhan pilek dan bersin-bersin ini dirasakan sejak
kurang lebih 3 bulan sebelum pasien pertama kali datang, terutama ketika pasien
menghirup debu. Keluhan juga disertai dengan keluarnya banyak ingus/lendir
yang encer dan bening dari kedua hidung pasien serta hidung tersumbat. Pasien
memiliki riwayat alergi terhadap debu. Keluhan panas badan, batuk, sakit
tenggorokan, rasa tidak enak atau nyeri di daerah wajah disangkal. Pasien juga
menyangkal riwayat sakit gigi sebelumnya. Ketika datang kontrol, pasien
mengatakan keluhannya telah hilang dan pasien tetap melanjutkan program
imunoterapinya.

Sebelumnya pasien sempat berobat ke dokter spesialis THT dan mendapatkan
obat, namun keluhan yang dirasakan tidak kunjung membaik. Pasien memiliki
riwayat alergi debu. Pasien mengatakan bahwa ia sering bersin-bersin dan
hidungnya sering tersumbat serta mengeluarkan ingus bening encer ketika
menghirup debu. Gejala-gejala yang dialami pasien mengarah ke rinitis alergi dan
tampak bahwa pada kasus ini penanganan secara medikamentosa kurang efektif.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini meliputi pemeriksaan tanda
vital, status general dan THT. Pada pemeriksaan fisik tidak terdapat
keabnormalan pada tanda vital dan status general pasien. Pada status THT, hasil
pemeriksaan telinga dalam batas normal. Pemeriksaan hidung ditemukan konka
yang mengalami kongesti di kedua sisi (terutama pada rongga hidung sebelah
kanan) serta mukosa hidung yang tampak pucat. Pada pemeriksaan tenggorok
didapatkan mukosa yang merah muda tanpa disertai pembesaran tonsil. Hasil
pemeriksaan fisik yang didapatkan memperkuat diagnosis rinitis alergi.

23

Pada kasus ini, pasien sebelumnya telah mendapatkan terapi medikamentosa dari
dokter spesialis THT, namun gejalanya tidak kunjung membaik sehingga pasien
datang ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah. Kemudian, setelah mendapatkan
KIE sebelumnya, pada pasien ini dilaksanakan pemeriksaan penunjang berupa tes
alergi sehingga didapatkan diagnosis pasti rinitis alergi. Pasien pun kemudian di-
KIE untuk menjalani program imunoterapi dan sejak saat itu pasien menjalani
program imunoterapi dan pada saat kontrol terakhir, pasien mengatakan bahwa
gejalanya telah hilang.

Dalam penatalaksanaan pasien dengan rinitis alergi diperlukan pendekatan yang
komprehensif dalam meninjau permasalahan yang dialami oleh pasien. Selain
mencari tanda-tanda dan gejala penyakit yang diderita, diperlukan juga
penelusuran dan pemahaman terhadap kehidupan pribadi pasien seperti kondisi
tempat tinggal dan lingkungan kerja berhubung pasien bekerja sebagai perajin
kayu. Dalam kasus ini, selain kondisi rumah yang kurang bersih, debu-debu yang
berasal dari kayu yang dihirup ketika pasien bekerja bukan tidak mungkin
merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya reaksi alergi pada pasien
sehingga komunikasi, informasi, dan edukasi pada pasien mengenai penyakitnya
dan faktor-faktor pencetusnya disini sangatlah penting. Pasien dihimbau untuk
menjauhi faktor pencetus alergi yang dalam hal ini adalah debu. Berhubung
pasien bekerja sebagai perajin kayu, diharapkan pasien senantiasa memakai
masker ketika bekerja. Pasien juga diedukasi untuk senantiasa menjaga kebersihan
rumah dan lingkungan kerja agar senantiasa bersih dan bebas dari debu. Pasien
juga harus menjaga perilaku hidup sehat seperti rajin berolahraga, makan
makanan bergizi, dan istirahat yang cukup. Sehubungan dengan program
imunoterapi yang tengah dijalaninya, pasien juga wajib menjalani terapi dan
kontrol secara berkala ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah sesuai dengan jadwal
program imunoterapi yang telah dibuat.

Prognosis dari pasien ini adalah dubius ad bonam atau baik.


24

BAB V
SIMPULAN

Rinitis alergi adalah peradangan atau inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopik yang sebelumnya telah tersensitisasi dengan alergen yang
sama. Rinitis alergi merupakan kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Pada pasien atopik, terjadi pelepasan suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut. Angka kejadian
rinitis alergi cukup sering terjadi, baik di Indonesia maupun luar negeri.
Gambaran klinik rinitis alergi meliputi empat gejala klasik, yaitu bersin, hidung
gatal, rinore, dan kongesti hidung, serta gejala-gejala lainnya, baik nasal maupun
non-nasal. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Prinsip manajemen rinitis alergi adalah
mencegah kejadian rinitis dan menghilangkan gejala serta penyebab rinitis alergi.
Terapi non-farmakologis dapat berupa saran untuk menjaga kondisi tubuh dengan
baik serta sebisa mungkin menjauhkan diri dari faktor pencetus ataupun penyebab
penyakit. Terapi farmakologis diberikan untuk mengatasi gejala yang ditimbulkan
rinitis alergi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi yang terjadi.

You might also like