You are on page 1of 28

1

TINJAUAN PUSTAKA

Luka Terbuka Akibat Gigitan Anjing Liar dan
Mengeluarkan Nanah
Gusna Ridha
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Skenario
Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun tiba-tiba digigit anjing liar saat sedang bermain di
luar rumah hingga mengalami luka terbuka pada kaki kanannya. Sang ibu segera membersihkan
luka anaknya dengan antiseptic tetapi keesokan harinya anak tersebut bermain di kubangan air.
Beberapa hari kemudian luka tersebut mengeluarkan nanah.
Pendahuluan
Dewasa ini perawatan luka telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama
dalam dua dekade terakhir ini. Namun penanganan luka sendiri punya cara yang berbeda beda
tergantung dari jenis luka tersebut, seperti dalam scenario diatas tentang luka terbuka yang
sebelumnya bekan digigit oleh hewan liar merupakan salah satu jenis luka yang harus mendapat
perawatan yang tidak biasa. Kondisi tersebut biasanya sering menyertai kekompleksan suatu luka
dimana penanganan yang tepat diperlukan agar proses penyembuhan bisa tercapai dengan
optimal. Selain dari penanganan luka itu sendiri, kita sebagai petugas kesehatan juga harus
mampu untuk melihat resiko resiko kedepan yang dapat disebabkan oleh luka ini, terutama
resiko yang disebabkan oleh gigitan hewan liar itu sendiri (rabies). Makalah ini saya buat dengan
tujuan untuk menambah pengetahuan kita mengenai Rabies. Dengan adanya makalah ini
diharapkan pembaca dapat memahami mengenai etiologi, patofisiologi, gejala klinis,
pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, penyembuhan dan juga pencegahan yang dapat kita lakukan
dalam menangani kasus ini. Sekaligus untuk memenuhi tugas PBL yang diberikan dan
membuktikan mengenai hipotesa yang telah dibuat.
Alamat Korespondensi : Gusna Ridha, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jl.Arjuna Utara no
6. Jakarta Barat, E-mail: gusna.ridha@yahoo.com
2

Vulnera (luka)
Vulnera atau luka adalah kondisi dimana terdapat gangguan kontinuitas suatu jaringan ,
sehingga terjadi pemisahan jaringan yang semula normal. Secara umum luka dapat dibagi
menjadi dua, yaitu Luka simplek jika hanya melibatkan kulit, dan luka komplikatum bila
melibatkan kulit dan jaringan dibawahnya.
1


Etiologi luka
Luka dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
1. Trauma mekanis : yang disebabkan karena tergesek, terpotong, terpukul, tertusuk, tergigit,
terbentur, dan terjepit.
1

2. Trauma elektris : dengan penyebab cidera adalah listrik dam petir.
1

3. Trauma termis : karena pengaruh suhu yang panas atau dingin.
1

4. Trauma kimia : disebabkan zat kimia yang bersifat asam atau basa, serta zat iritatif dan
korosif lainnya.
1


Jenis Jenis luka
Jenis jenis luka dibagi menjadi dua bagian yaitu luka tertutup (closed wound ) dan luka terbuka
(open wound).
1

Luka tertutup: yaitu luka dimana tidak terjadi hubungan antara luka dengan dunia luar.
Contohnya luka memar (vulnus contusum), vulnus traumaticum. Sedangkan Luka terbuka : yaitu
luka dimana terjadi hubungan anatara luka dengan dunia luar. Contohnya: s vulnus excoratio
(luka lecet), vulnus scissum / incisivum (luka sayat), vulnus laceratum (luka robek), vulnus
punctum (luka tusuk), vulnus caesum (luka potong), vulnus sclopetorum (luka tembak), vulnus
morsum (luka gigit), vulnus contussum (luka memar).
1

Selain luka pada kulit, pembuluh darah subkutan juga dapat rusak, sehingga terjadi
hematom. Bila hematom kecil, maka ia akan diserab oleh jaringan sekitarnya, tapi, bila hematom
besar , maka penyembuhan akan berjalan lambat. Vulnus morsum (luka gigit) biasanya
disebabkan oleh gigitan binatang. Kemungkinan infeksi lebih besar, dan bentuk luka tergantung
dari bentuk gigi penggigit.
1

3

Pengobatan definitive

Untuk Luka tertutup umumnya tak diperlukan tindakan bedah. Bila terjadi ruptura
(robekan) otot atau ligamentum, maka barulah diperlukan tindakan bedah.
1
Sedangkan untuk
Luka terbuka, pda prinsipnya adalah mengubah luka terkontaminasi menjadi luka bedah yang
bersih . pemeriksaan luka dilakukan dengan menarik tepi luka dan menbukanya lebar lebar,
kemudian dilihat organ dibawahnya apakah ada yang terpotong seperti otot, tendon, pembuluh
darah. Periksa juga keadaan luka tersebut apakah luka tersebut dalam keaadaan bersih, kotor,
terkontaminasi, ada benda asing. Apakah masih terdapat pendarahan. Bila terdapat pendarahan
dapat dihentikan dengan pembalut tekan, tampon dengan obat vasokonstriksi, di klem atau
diligasi atau diathermi / koagulasi (menggunakan alat khusus).
1,2


Faktor yang Mempengaruhi Penanganan Luka
Ada empat faktor yang dapat memepengaruhi penanganan suatu luka yaitu :
1. Lama luka : Golden period (masa emas) : merupakan saat kita menganggap suatu luka
dapat ditangani secara sempurna. Golden period suatu luka lebih kurang 6 jam. Masa ini
tidak berlaku untuk luka kotor dan jelas terkontaminasi. Bila luka masih berada dalam
masa golden period, maka dapat diperoleh clean surgical wound (luka bedah yang
bersih) dengan jalan menghentikan pendarahan; toilet luka . lakukan debridemen
(pembersihan luka ) : jaringan kotor dibunga, benda asing dibuang, bentuk luka yang
tidak teratur dirapikan, penutupan luka dengan dijahit secara primer; dibiarkan terbuka
(tidak dijahit), tetapi ditutup dengan kasa steril yang sudah dibubuhi obat. Tindakan
selanjutnya tergantung atas situasi dan kondisi luka, dan perawatan selanjutnya.
1,2

2. Bentuk anatomi luka : luka luka sederhana cukup dibersihkan dan diberi obat. Sedangkan
luka luka dengan bentuk yang tak teratur haus didebridemen kemudian dilakukan
tindakan selanjutnya.
1,2

3. Bersih tidaknya luka: luka ayang kotor harus dicuci bersih. Jangan biarkan corpus
alienum (benda asing) tertinggal dalam luka. Bila luka kotor, maka penyembuhan sulit
terjadi, kalaupun sembuh, akan memberikan hasil kosmetik yang buruk. Harus diyakini
suatu luka telah bersih, sehingga dapat dilakukan tindakan selanjutnya.
1,2

4

4. Lokalisasi luka : hasil penyembuhan juga dapat dilihat dari lokalisasi luka dan
penanganannya pada lokasi itu. biasanya luka yang terjadi pada daerah daerah
ekstremitas, ataupun di sendi, harus ditanganni secara benar, sebab bila salah dapat
menyebabkan kontraktur (kekakuan) .
1,2


Penyembuhan luka
Menurut cara penyembuhannya dapat dibagi atas : penyembuhan primer, penyembuhan
sekunder, dan penyembuhan tersier.
1,2

1. Penyembuhan primer ()primary healing): luka luka yang bersih sembuh dengan cara ini ,
misalnya luka operasi, luka kecil yang bersih.
1
Penyembuhannya tanpa komplikasi,
penyembuhan dengan cara ini berjalan cepat dan hasilnya secra kosmetis baik. Fase fase
penyembuhan luka :
a. Fase perlekatan luka terjadi karena adanya fibrinogen dan limfosit, dan terjadi dalam
waktu 24 jam pertama
b. Fase aseptik peradangan : terjadi rubor, calor, tumor, dolor, functio laesa pembuluh
darah melebar dan leukosit serum melebar sehingga terjadi edema. Terjadi setelah 24
jam.
c. Fase pembersihan (initial phase), karena edema leukosit banyak keluar untuk
memfagositosit / membershkan jaringan yang telah mati.
d. Fase proliferasi , pada hari ketiga, fibroblas dan kapiler menutup luka bersamaan
jaringan kolagen dan makrofag. Semua ini membentuk jaringan granulasi. Terjadi
penutupan luka, kemudian terjadi epitelisasi . pada hari ketujuh, penyembuhan telah
bagus. Berdasarkan hal ini pada luka bersih , (kecuali pada daerah yang banyak
bergerak) jahitan dibuka minimum pada hari ketujuh.
2.
Penyembuhan sekunder (secondary healing):penyembuhan pada luka terbuka adalah
melalui jaringan granulasi dan sel epitel yang bermigrasi. Luka luka yang lebar dan
terinfeksi, luka yang tak dijahit, luka bakar, sembuh dengan cara ini. Setelah luka sembuh
akan timbul jaringan parut.
1,2
3. Penyembuhan tersier (tertiary healing): disebut pula dengan delayed primary closure.
Terjadi pada luka yang dibiarkan terbuka karena adanya kontaminasi, kemudian setelah
5

tidak ada tanda tanda infeksi dan granulasi telah baik, baru dilakukan jahitan sekunder
(secondary suture), yang dilakukan setelah hari ke empat , bila tanda tanda infeksi telah
menghilang.
1


Infeksi dan Radang pada luka
Infeksi
Terdapat dua jenis infeksi pada luka, yaitu infeksi primer dan infeksi sekunder. Infeksi
primer terjadi segera setelah luka , akan terjadi kontaminasi kuman. Ini disebabkan karena benda
yang menyebabkan luka mengandung mikroorganisme pathogen. dan Infeksi sekunder tumbul
beberapa waktu setelah terjadinya luka. keadaan ini disebabkan oleh kuman yang berasal dari
luar luka.
1
Stadium infeksi:
1. Stadium kontaminasi: infeksi terjadi saat kuman masuk kedalam luka.
2. Stadium inkubasi : yaitu stadium dimana kuman berkembang biak. Misalnya kuman
pyogenik, (penyebab nanah, misalnya streptokokus, stafilokokus) masa inkubasinya 8 12
jam, kelompok kuman yang membentuk gas ganggren mempunyai masa inkubasi 2-4 hari.
3. Stadium klinis: tanda tanda klinisnya muncul setelah 6 jam. Kalor (demam) timbul karena
bertambahnya vaskularisasi, jadi semakin banyak darah yang mengalir kedaerah luka, rubor
(merah) karema hiperemia, dolor (sakit) terjadi karena toksin kuman dan eksudat (cairan
radang) yang merangsang saraf disekitar luka. Tumor (bengkak) terjadi karena keluarnya
leukosit dan terjadi migrasi sel sel makrofag, functio laesa (gangguan fungsi) terjadi karena
rasa nyeri yang timbul.
Macam-acam infeksi.
1

a. Infeksi putridae : infeksi ini bersifat spesifik karena baunya yang busuk. Etiologinya adalah
escherichia coli. Dijumpai pada luka luka besar dan banyak jaringan yang hancur dan tidak
dijumpai nanah.
b. Infeksi anaerob: misalnya tetanus dan infeksi kelompok gas ganggren
c. Infeksi spesifik: karena kuman TBC, sifilis, dan difteri
d. Infeksi piogenik / bernanah : penyebabnya adalah streptococcus, stafilikokus .

6

Infeksi Staphylococcus
Staphylococcus adalah bakteria yang ada dimana-mana, tidak membentuk spora, dan
tahan berada di dalam udara. Biasanya resisten terhadap panas dan kering dan dapat bertahan
selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Bakteri ini tergolong bakteri gram positif dan
tumbuh dalam kelompol-kelompok secara aerob atau anaerob fakultatif.
3

Staphylococcus aureus
Merupakan penyakit penyebab infeksi piogenik kulit yang paling sering. Bisa
menyebabkan furunkel, karbunkel, infeksi luka, abses, penumonia, empiema, endokarditis,
perikarditis, dan meningitis.
3

Infeksi Streptococcus
Bakteri jenis coccus gram positif yang tersusun secara berpasangan dan berbentuk rantai.
Bersifat anaerob fakultatif dan memiliki kekhususan yaitu memerlukan media yang kaya akan
kadungan darah. Untuk menemukannya diambil apusan darah dari tempat infeksi (tenggorok dan
luka) dan dikultur untuk dilihat lebih lanjut.
4

Pada infeksi ini terjadi pembentukan pus (nanah) dan infiltrat. Pada luka atau bagian
tubuh yang mengalami infeksi sering kali muncul nanah, nanah umumnya berwana kuning agak
pudar. Nanah terkadang juga menimbulkan bau tidak sedap, dan membuat luka nampak
menakutkan. Nanah pada luka terbentuk karena reaksi "pertempuran" antara antibody dengan
antigen. Pada luka yang diinvasi oleh antigen (bakteri, virus, jamur, atau varasit) akan direspon
oleh tubuh dengan mengelurkan antibody untuk memerangi antigen tersebut. Ketika antibody
dan antigen "bertempur" mereka akan menghasilkan reaksi "jasad" dari antigen dan antibody
yang "tewas" saat pertempuran terjadi. Reaksi "jasad" inilah yang menjadi nanah.
4

Dari warna nanah biasanya bisa diketahui jenis antigen yang menginfeksi luka tersebut,
warna nanah kuning agak kehijauan biasanya disebabkan oleh bakteri. Intinya, jika terdapat
nanah pada luka berarti luka tersebut mengalami infeksi. Inilah proses terbentuknya nanah pada
luka. Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik
antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya
kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui
7

komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat
melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole,
dan doxycycline.
4

Hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan
menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif.
Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses, selain bahwa
antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.
4


Radang
Radang merupakan respons fisiologi local terhadap cedera jaringan. Radang bukan suatu
penyakit, melainkan suatu manifestasi suatu penyakit. Radang dapat mempunyai pengaruh yang
menguntungkan seperti penghancuran mikto-organisme yang masuk dan mencegah penyebaran
infeksi. Secara seimbang, radang juga memproduksi penyakit, misalnya, abses otak akan
bertindak sebagai lesi ruangan yang menekan banginan vital sekitarnya. Radang bisa
diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadiannya,
2
sebagai:
a. Radang akut, reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam waktu yang tidak lama,
terhadap cedera jaringan.
2

b. Radang kronis, reaksi jaringan selanjutnya yang diperlama mengikuti respons awal.
2

Dua jenis utama radang tersebut juga ditandai dengan jenis sel yang berbeda yang
merupakan bagian respons radang. Radang akut merupakan reaksi segera jaringan terhadap
berbagai macam agen penyebab yang merugikan, dan dapat berakhir dalam beberapa jam sampai
beberapa hari. Respons dari radang akut adalah sama, apa pun yang menjadi agen penyebabnya.
2

Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah infeksi
microbial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri
melepaslan eksotoksin yang spesifik, suatu sintesis kimiawi yang secara spesifik mengawali
proses radang, atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.
Disamping itu, beberapa macam organisme.
2

Radang Akut
1. Tahap Vaskular
8

Bila terjadi cedera pada jaringan, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh-pembuluh
yang sangat kecil di daerah yang terjadi trauma. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya
kebocoran protein. Pada awalnya terjadi vasokonstriksi pembuluh untuk mengurangi aliran
darah. Proses ini diikuti oleh pergeseran keseimbangan osmotik, dan air keluar bersama
protein akibat dilatasi arteriol, menimbulkan pembengkakan jaringan. Dilatasi arteriol yang
menimbulkan hiperemia lokal dan kemerahan juga menimbulkan peningkatan tekanan
intravaskular lokal karena pembuluh darah membengkak. Aksi ini juga meningkatkan
pergeseran cairan. Namun, faktor utama adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah
terhadap protein.
2

Pada pembuluh darah kecil yang normal, sel-sel yang melapisi endotel saling berikatan
dengan erat. Di antara sel-sel endotel kapiler, terdapat molekul-molekul besar yang biasanya
tidak dapat melewati sel-sel endotel yang rapat. Namun, jika terjadi reaksi peradangan lokal,
timbul pemisahan yang sebenarnya di antara sel-sel endotel sehingga molekul-molekul besar
(protein) keluar dari dalam sel-sel endotel. Pada sebagian besar keadaan, kebocoran terjadi
pada ujung venul mikrosirkulasi, bukannya di kapiler sejatinya.
2

2. Tahap Selular
Dilatasi arteriol menyebabkan cairan keluar dari mikrosirkulasi dan terjadi peningkatan
permeabilitas, unsur-unsur darah dalam jumlah banyak (eritrosit, trombosit,
leukosit)bertambah banyak sehingga viskositas meningkat. Sirkulasi di daerah yang cedera
mengalami perlambatan menyebabkan beberapa akibat penting. Secara normal, aliran darah
kurang lebih lancar. Dan unsur-unsur darah tidak sama sekali menyentuh dinding pembuluh.
Ketika viskositas meningkat dan aliran darah melambat, leukosit mulai mengalami
marginasi, yaitu bergerak ke bagian perifer dari arus, di sepanjang lapisan pembuluh darah.
Semakin lama, leukosit yang bermarginasi mulai melekat pada endotel, menimbulkan
gambaran yang seperti jalan yang berbatu, inilah yang disebut sebagi pavemneting.
Marginasi dan pavementing memulai emigrasi leukosit dari pembuluh darah ke jaringan di
sekelilingnya.
2


9

Leukosit bergerak secara ameboid,
karena leukosit memiliki pseudopod untuk
bergerak ke dalam ruang yang ada di antara 2
sel endotel yang terbuka secara bertahap
mendorong dan muncul di sisi lainnya.
Proses ini disebut sebagai diapedesis atau
emigrasi. Akibatnya, banyak leukosit ( yang
pertama adalah neutrofil, baru monosit /
makrofag dan limfosit ) yang dikirimkan ke
dalam daerah peradangan dan leukosit
tersebut keluar melalui pembuluh venula masuk ke dalam daerah peradangan. Dalam waktu
yang cukup singkat, leukosit sudah memenuhi daerah tempat terjadinya peradangan dan
memenuhi bagian yang mengalami radang tersebut.
2

Pergerakan dari leukosit ke dalam jaringan yang meradang tidak sepenuhnya akibat
sinyal kimia dari bagian yang terekspos ke dunia luar tubuh. Terjadi suatu proses kemotaksis
dimana beberapa agen memberikan sinyal kemotaktik seperti agen-agen infeksius, jaringan
rusak, dan zat-zat yang diaktifkan di dalam fraksi plasma yang bocor di aliran darah.
Sehingga dengan pengiriman sinyal-sinyal tersebut serta perubahan yang terjadi di dalam
darah dan juga kedatangan leukosit ke daerah peradangan menyebabkan akumulasi cepat
komponen leukosit yang signifikan masuk ke dalam eksudat.
2

3. Jenis dan Fungsi Leukosit
Leukosit dalam sirkulasi darah dan yang beremigrasi ke dalam eksudat peradangan
berasal dari sumsum tulang, tempat eritrosirt dan trombosit juga dihasilkan secara terus
menerus. Dalam keadaan normal, di dalam sumsum tulang belakang banyak ditemukan
berbagai jenis leukosit imatur dan kumpulan leukosit matur disimpan sebagai cadangan
untuk dilepaskan ke sirkulasi darah. Jumlah tiap jenis leukosit dalam sirkulasi darah perifer
sangat sangat terbatas tetapi berubah sesuai kebutuhan jika timbul peradangan. Dengan
dimulainya proses peradangan, sinyal umpan balik pada sumsum tulang mengubah laju
produksi dan perlepasan satu jenis leukosit atau lebih ke dalam aliran darah.
2

10

a. Granulosit
Terdiri atas neutrofil, eosinofi, dan basofil, diberi nama demikian karena adanya
granula di dalam sitoplasma yang terlihat setelah diberi warna zat tertentu. Sel yang
pertama kali timbul pada aal peradangan adalah neutrofil. Inti sel ini memiliki lobus yang
tidak teratur atau polimorf. Oleh karena itu, sel-sel ini disebut neutrofil polinuklear,
PMN, atau poli. Sel ini memerlukan waktu 2 minggu untuk mencapai bentuk
dewasanya. Neutr
2
ofil memiliki waktu paruh yang cukup pendek di dalam tubuh, yaitu 6
jam.
Ketika dilepas ke dalam aliran darah, PMN biasanya tidak mampu untuk
melakukan pembelahan atau menyintesis enzim-enzim selular yang signifikan. Di dalam
neutrofil terlihat granula yang merupakan paket-pake enzim (lisosom) yang mengandung
berbagai jenis enzim hidrolase, termasuk protease, lipase, dan fosfatase. Selain itu,
granula juga mengandung zat antimikroba.
2

PMN mampu bergerak aktif seperti amoeba dan memiliki sifat fagositosis.
Neutrofil akan mendekati partikel yang akan difagosit, mengalirkan sitoplasmanya ke
sekeliling partikel tersebut, dan akhirnya memasukkannya ke dalam sitoplasma dalam
bentuk terbungkus yang membentuk vakuola fagositik atau fagosom. Ada zat-zat tertentu
yang dapat membantu pemasukkan partikel tersebut (fagosit) ke dalam leukosit disebut
opsonin, termasuk immunoglobulin dan komponen sistem komplemen.
2

Partikel yang masuk akan dibunuh, jika merupakan agen mikroba hidup, dan
dicerna. Agen hidup dimatikan dengan cara mengubah pH intraseluler, melepas dan
menghasilkan zat-zat antibakteri ke vakuola fagositik seperti hidrogen perksida yang
reaktif. Partikel-partikel yang difagosit umumnya dicerna dan sekarang diaktivasi di
dalam fagolisosom ini, mengakibatkan pencernaan enzimatik objek tersebut.
2,5

Eosinofil, merupaka jenis leukosit granulosa yang juga bisa ditemukan pada
proses peradangan walaupun dalam jumlah yang sedikit. Memiliki inti regular yang mirip
dengan neutrofil tapi granlosa sitoplasmanya bewarna merah. Eosinofil memiliki banyak
fungsi yaitu berespons pada rangsang kemotaktik, memfagositosis berbagai jenis partikel,
dan membunuh mikroorganisme tertentu. Yang paling membedakan fungsi eosinofil
dengan jenis leukosit lainnya adalah eosinofil berespons terhadap rangsang kemotaktik
khas tertentu yang timbul selama proses alergi dimana eosinofil akan bersifat toksik pada
11

at-zat tertentu dan juga zat-zat yang memediasi terjadinya peradangan. Eosinofil akan
berkumpul di tempat yang siginifikan bila terjadi peradangan ataupun reaks alergi.
2

Basofil, leukosit granulosa dengan sitoplasmanya sipenuhi granula besar yang
bewarna tua. Basofil memiliki gambaran yang mirip dengan sel mast atao basofil
jaringan. Kedua jenis sel itu menghasilkan enzim, heparin, dan histamin. Basofil di darah
akan berespons pada sinyal kemotaktik yang dilepaskan dalam reaksi imunologiktertentu
yang biasanya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil dalam eksudat radang.
2


b. Monosit dan Makrofag
Memiliki sitoplasma yang relatif agranular. Memiliki waktu paruh 3-4 kali lebih
panjang dibandingkan neutrofil. Jumlah monosit pada awal proses peradangan ada dalam
jumlah sedikit dikarenakan kecepatannya yang lambat untuk mencapai tempat terjadinya
peradangan. Selain monosit, juga ada makrofag yang juga mirip dengan monosit.
Makrofag juga ada di seluruh tubuh, walaupun tidak terjadi trauma, dalam jumlah yang
sedikit di dalam jaringan. Makrofag ini disebut sebagai histiosit.
2

Makrofag sendiri memiliki fungsi yang sama dengan PMN dimana akan
merespons aktif pada rangsangan kemotaktik. Tetapi terdapat perbedaan penting antara
PMN dengan makrofag:
2

- Makrofag dapat bertahan berminggu-minggu atau berbulan-bulan di dalam jaringan,
sedangkan PMN memiliki umur yang pendek
- Ketika makrofag keluar dari sumsum tulang belum sepenuhnya dalam bentuk
dewasanya, sedangkan PMN sudah dalam bentuk yang dewasa
- PMN tidak mampu melakukan pembelahan lebih lanjut dan sintesisenzim ketika
keluar dari sumsum, sedangkan makrofag masih mampu menyintesis enzim
intraseluler
Dalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut sebagai sistem retikuloendotelial
(RES), atau sistem monosit-makrofag, yang digunakan untuk menunjukkan sel-sel
mononuklear yang juga memiliki sifat fagosit yang sama.
2,5
Sistem ini memiliki fungsi
aktivitas fagosit yang kuat pada sel-sel komponennya, Sel-sel ini membersihkan darah,
limf, dan ruang-ruang intersisial dari benda asing sehingga merupakan pertahanan yang
penting. Fungsi seari-hari juga yang penting adalah untuk memproses perombakan
12

hemoglobin yang sudah mencapai akhir dari siklus hidupnya. Makrofag akan
menangkap dan mendaur ulang dengan dibagi menjadi 2 bagian yaitu bagian yang
mengandung besi dan bagian yang tidak mengandung besi. Bagian yang mengandung
besi aka dibawa kembali ke sumsum tulang agar digunakan untuk pembentukan sel
darah merah yang baru. Sedangkan bagian yang tidak mengandung besi akan didaur
ulang dan membebaskan suatu zat yang disebut bilirubin. Bilirubin dibawa ke hati dan
diekstrak oleh heoatosit dan diekskresikan sebagai bagian empedu.
2

c. Limfosit
Satu jenis leukosit yang terdapat di dalam eksudat namun dalam jumlah yang
sangat sedikit. Akan bertambah semakin banyak bila proses peradangan berlangsung
lebih lama, yaitu menjadi peradangan kronis.
2


4. Eksudat
Dalam proses peradangan terbentuk jenis eksudat berbeda, yang paling menjadi
petunjuk sifat proses peradangan itu. Suatu eksudat cairan atau bahan yang terkumpul dalam
suatu rongga atau ruang jaringan. Eksudat sendiri dibagi menjadi 2 macam yaitu eksudat
nonselular dan eksudat selular. Pada eksudat nonselulear dibagi menjadi eksudat serosa,
eksudat fibrinosa, dan eksudat musinosa. Sedangkan untuk eksudat selular dibagi menjadi
eksudat neurofilik ( eksudat purulen dan surpuratif ) dan eksudat campuran (fibrinopurulen
dan serofibrinosa.
2,5

13

Eksudat Nonselular
a. Eksudat Serosa
Jenis eksudat paling sederhana yang pada dasarnya terdiri atas protein yang bocor
dari pembuluh darah yang permeabel di daerah peradangan bersama dengan cairan yang
menyertainya. Kadang-kadang di dalam tubuh bisa terjadi pengumpulan cairan dalam
rongga tubuh tapi bukan karena peradangan melainkan karena peningkatan tekanan
hidrostatik atau penurunan kadar protein plasma. Pengumpulan yang bukan karena radang
disebut transudat.
2,5

b. Eksudat Fibronosa
Terbentuk saat protein yang keluar dari tubuh di daerah peradangan mengandung
banyak fibrinogen dimana fibrinogen ini akan diubah menjadi fibrin.
2,5

c. Eksudat Musinosa
Hanya dapat terbentuk di atas permukaan mukosa, tempat sel-sel penyekresi
musin. Eksudat ini berbeda dari eksudat yang lainnya karena merupaka hasil eksudat yang
disekresikan sel bukan berasal dari aliran darah. Contoh : pilek.
2,5


Eksudat Selular
a. Eksudat Neutrofilik
Eksudat ini terdiri dari pus atau nanah yang dihasilkan di tempat terjadinya
peradangan. Biasanya eksudat ini muncul ketika adanya infeksi bakteri yang
menyebabkan konsentrasi PMN sangat tinggi dan tertimbun di dalam jaringan. Setelah itu
sel-sel ini mati dan mengeluarkan enzim hidrolitik ke sekitarnya lalu mencerna jaringan
dibawahnya dan mencairkannya. Kombinasi dari agregasi neutrofil dan pencairan jaringan
di bawahnya adalah surpurasi. Maka disebut sebagai eksudat surpuratif. Eksudat jenis
lainnya dari eksudat neutrofilik adalah eksudat purulen.
2,5

Eksudat purulen merupakan proses eksudat surpuratif namun tidak diikuti proses
nekrosis liquefaktif. Hasil kasat mata dari eksudat ini adalah berupa pus. Pus terdiri atas
PMN yang hidup, mati, dan yang hancur. Selain itu jaringan yang mencair dan tercerna,
pada eksudatif surpuratif, cairan eksudat pada proses peradangan, seiring dengan bakteri-
bakteri penyebab radang tersebut. Bila terjadi surpurasi pada jaringan padat disebut
sebagai abses yang secara harafiah merupakan lubang yang berisi nanah di dalam jaringan
14

yang terkena. Furunkel (bisul) merupakan peradangan surpuratif yang membentuk abses
di kutaneus di dalam folikel rambut akibat bakteri. Karbunkel adalah abses kutaneus yang
lebih lebar dan dalam dibandingkan dengan furunkel. Selulitis adalah peradangan purulen
yang meluas secara difus melalui jaringan. Proses perluasannya disebut flegmonus.
2,5

Bergantung pada sumber peradangan, eksudat itu bermacam-macam, lihat table


Vulnus Morsum (Luka Gigit)
Rabies Karena Gigitan Anjing
Yang paling ditakutkan dari gigitan anjing selain infeksi adalah penyakit rabies. Rabies
merupakan penyakit virus akut pada susunan saraf pusat yang menyebabkan disfungsi yang
hebat dan tercatat hanya sedikit sekali yang menderita rabies yang dapat bertahan hidup. Semua
mamalia, terutama karnivora dapat terserang penyakit ini, contoknya saja anjing. Penyakit ini
bersifat endemi dimana mana.
6

Etiologi
Penyebab rabies adalah virus rabies yang termasuk famili Rhadovirus. Bentuk virus
menyerupai peluru, berukuran 180 nm dengan diameter 75 nm, dan pada permukaannya terlihat
bentuk paku dengan panajng 9 nm. Virus ini tersusun dari protein, lemak, RNA, dan
15

karbohidrat. Sifat virus adalah peka terhadap panas namun dapat mati bila berada pada suhu
50
0
C selama 15 menit. Ada dua macam antigen yaitu antigen glikoprotein da antigen
nukleoprotein. Virus ini akan mati oleh sinar matahari dan ultraviolet serta mudah dilarutkan
dengan detergen.
1,6
Penyakit ini berkembang secara sporadic.
1

Infeksi biasanya terjadi melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,
kelelawar dan ditularkan pada manusia melalui gigitan, kontak virus (saliva binatang) atau
muntahan yang mengandung virus rabies dengan luka pada host dan ataupun melalui membrane
mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Infeksi rabies pada
manusia terjadi dengan masuknya vius lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau
mukosa.
6,7

Masa inkubasinya 10 hari hingga beberapa bulan kemudian, namun beberapa literature
menyebutkan 30-60 hari. Masa inkubasi di pengaruhi oleh lokasi tempat gigitan hewan menular.
Makin jauh tempat gigitan dari kepala, makin panjang perjalanan penyakitnya. Karena itu,
gigitan pada leher lebih cepat menunjukkan manifestasi klinis daripada gigitan pada tungkai.
6

Setiap manusia yang berhunumgam dengan binatang yang menderita rabies harus diobservasi
lebih kurang 10 hari (tanda tandanya : gelisah, agresif, tidak mau makan dan minum, hidrofobia).
1,6,7

Patofisiologi
Cara bagaimana virus rabies berjalan dari luka ke otak hanya sebagian yang dimengerti.
Karena virus melekat pada dan menembus sel dengan cepat secara in vitro adalah mungkin
bahwa virus tetap tidak aktif dalam luka untuk masa waktu yang lama. Walaupun, virus terbukti
naik ke akso dari perifer ke medula spinalis, kecepatan penyebaran (3mm/jam) adalah jauh
sangan cepat untuk menjelaskan masa inkubasi penyakit yang lama.
3

Virus mula-mula bermultipilikasi dalam sel otor serat lintang, yag padanya melekat
melaluo beberapa reseptor, mungkin termasuk reseptor asetilkolin nikotinat. Dapat
dihipotesiskan bahwa antibodi, interferon dan faktor hospes lain kemudian bekerja pada virus
ketika ia meninggalkan otot serat lintang, jika faktor-faktor ini tifak cukup protektif, virus
akhirnya melekat pada saraf. Selanjutnya rabies mungkin tidak dapat dihindarkan. Kemungkinan
bahwa virus harus mengatasi perintang lain dalam perjalanan dari neuron yang terinfeksi pertama
16

sampai ke neuron lain ditunjukan oleh pemeriksaan mikroskop elektron, yang memperagakan
lewatnya virus dari sel ke sel yang berdekatan.
3,8

Lesi dasar dalam otak adalah penghancuran neuron dalam batang otak dan medulla.
Korteks serebri biasanya normal bila tidak ada anoksia yang lama sebelum meninggal.
Hipokampus, talamus, dan ganglia basalis sering menunjukan penghancuran neuronal dan
infiltrat glia. Patologi yang paling berat adalah nyata di pons dan serambi ventrikel ke empat.
Spasme otot inspirasi yang menyebabkan kenaikan gejal hidrofobia mungkin karena
penghancuran hambatan neuron batang otak samapi neuron nukleus ambiguus, yang
mengendalikan inspirasi. Hidrofobia tidak terjadi pada penyakit lain karena hanya rabies yang
menggabung ensefalitis batang otak dengan teks utuh dan mempertahankan kesadaran.
8
Benda negri, panjang, tanda patologis rabies, merupakan inklusi sitoplasmasik yang
terdapat dalam neuron, ia terdiri dari nukleokaspsid virus yang tergumpal. Tidak adanya Benda
Negri tidak mengesampingkan rabies; pewarnaan antibodi fluoresen potongan-potongan otak
atau pulasan mungkin positif bila tidak ada.
3,8
Secara patofisiologi, setelah virus masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus
menetap pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya. Virus berkembang biak atau
langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menunjukan perubahan-perubaha
fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran plasma dan protein ribonukleus dan
memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin post-sinaptik
pada neuromuscular juncton di susunan sarap pusa (SSP). Dari saraf perifer virus menyebar
secara sentripel melalui endometrium sel-sel Shwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai
ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebat
dengan kecepatan 3 mm/jam ke susunan saraf pusat (medula spinalis dan otak) melalui cairan
serebrospinal. Di otak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian
neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun
saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk serabut saraf otonom,
saraf otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal, mata, pankreas. Pada tahap
berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus
juga tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan
medula spinalis pada rabies tipe furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik.
17

Perubahan patologi berupa degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskular,
neuronofagia, dan pembentukan nodul pada glia pada otak dan medula spinalis. Dijumpai Negri
bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein ribonuklear dan
fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian
otak, terutama pada korteks serebri, batang otak, hipotlamus, sel purkinje serebelum, ganglia
dorsalis medulla spinalis. Pada 20% kaus rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya
miokarditis menerangkan ternjadinya aritmia pada pasien rabies.
3

Gejala Klinis
Rabies merupakan penyakit primer pada hewan tingkat rendah dan menyebar ke manusia
melalui gigitan atau kontak dengan saliva hewan yang terinfeksi rabies. Penyakit ini adalah
esenfalitis yang akut, fulminan, dan fatal. Masa inkubasi pada manusia khasnya 1-2 bulan, tetapi
dapat hanya 1 minggu hingga beberapa tahun 9sampai 19 tahun). Masa inkubasi biasanya lebih
pendek pada anak daripada orang dewasa.
3
Spektrum klinis dapat di bagi menjadi tiga fase:
1. Fase prodromal yang singkat, fase neurologis akut, dan koma. Fase prodromal,
berlangsung selama 2-10 hari, dapat menunjukkan salah satu gejala nonspesifik : malaise,
anoreksia, nyeri kepala, fotofobia, mual dan muntah, nyeri tenggorok, serak, pembesaran
kelenjar limfe regional, dan demam. Biasanya terdapat abnormal di sekitar tempat luka.
1

2. Fase neurologi akut, yang berlangsung 2-7 hari, Stadium ini ditandai dengan adanya
kecemasan, berkeringat, gelisah oleh suara atau cahaya terang, salvias, insomnia,
nervousness, spasme otot kerongkongan , tercekit, sukar menelan cairan ludah, kejang
kejang, tingkah laku aneh, berubah. Terlihat hiperaktivitas simpatis umum, berupa
lakrimilasi, dilatasi pupil dan peningkatan salvias serta perspirasi. Sebagian besar pasien
akan menunjukkan hidrofobia (takut terhadap air).
1

3. Fase stadium koma, disebut juga fase kelumpuhan. Kelumpuhan terjadi akibat
kelumpuhan sel saraf. Penderita menjadi kebingungan, sering kejang kejang ,
inkontinensia urinae maupun alvi, stupor, koma, kelumpuhan otot otot, kematian.
1

Komplikasi
Selain dapat menyebabkan kekhawatiran mengenai kontaminasi luka yang disebabkan oleh
masuknya flora normal kulit, luka gigitan juga menimbulkan kekhawatiran mengenai timbulnya
infeksi yang disebabkan oleh masuknya ora oral ke dalam luka.
2
Jaringan yang tertusuk dan
18

terkoyak merupakan media kultur yang baik. Organisme utama yang harus dipertimbangkan
dalam menunjukkan adanya infeksi yang berasal dari flora normal kulit adalah Staphylococcus
aureus dan Streprococcus grup A. Apabila pasien yang terluka berenang di air asin, maka
mikroba Vibrio harus dipertimbangkan sebagai penyebab infeksi tersebut. Akan tetapi, flora
normal oral merupakan penyebab utama infeksi, dan penting untuk mengetahui organisme mana
yang menginltrasi luka tergantung dari jenis binatang. Walaupun beberapa ratus spesies bakteri
dapat ditemukan dalam mulut binatang, tetapi hanya spesies tertentu yang paling umum
menyebabkan infeksi.
6,9

Infeksi pada luka gigitan anjing melibatkan bakteri dalam spektrum yang lebih luas.
Biasanya dijumpai infeksi campuran serta dapat melibatkan kombinasi bakteri aerob dan
anaerob. Organisme aerobik yang paling banyak terlibat dalam luka gigitan anjing adalah
Staphylococcus aureus, Staphylococcus intermedius, Micrococcus sp, koagulase negatif,
Staphylococcus non group A (terutama Streptococcus alpha hemolyticus), dan Eikenella
corrodens. Bakteri anaerob yang penting adalah Bacteroides sp, Peptostreptococcus,
Fusobacterium sp dan Streptococcus anaerob.
6,9

Pejamu yang memiliki imunitas lemah mendapat perhatian khusus. Organisme dengan
virulensi rendah pada pejamu yang normal dapat menyebabkan infeksi yang hebat pada anak
dengan leukemia atau imunodefisiensi primer. Jaringan mati merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Gigitan anjing biasanya menimbulkan beberapa luka tusuk serta robeknya
jaringan di sekitar gigitan. Lubang gigitan anjing dapat mencapai tekanan 150 pound per inci
persegi.
6,9

Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdovir idea dan genus
Lysavirus. Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas
negatif RNA yang tidak bersegmen. Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan
sebagai perantara penularan. Spesies hewan perantara bervariasi pada berbagai letak geografis.
Hewan-hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara lain rakun (Procyon lotor)
dan sigung (Memphitis memphitis) di Amerika Utara, rubah merah (Vulpes vulpes) di Eropa,
dan anjing di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Afrika, Asia, dan Amerika Latin memiliki tingkat
rabies yang masih tinggi.
6
Hewan perantara menginfeksi inang yang bisa berupa hewan lain atau
manusia melalui gigitan. Infeksi juga dapat terjadi melalui jilatan hewan perantara
pada kulit yang terluka. Setelah infeksi, virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke sumsum
19

tulang belakang dan otak dan bereplikasi di sana. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui
saraf ke jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. Hewan yang
terinfeksi bisa mengalami rabies buas/ ganas ataupun rabies jinak/ tenang. Pada rabies buas/
ganas, hewan yang terinfeksi tampak galak, agresif, menggigit dan menelan segala macam
barang, air liur terus menetes, meraung-raung gelisah kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada
rabies jinak/tenang, hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan lokal atau kelumpuhan total,
suka bersembunyi di tempat gelap, mengalami kejang dan sulit bernapas, serta menunjukkan
kegalakan.
8
Gejala rabies biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi. Masa
inkubasi virus hingga munculnya penyakit adalah 10-14 hari pada anjing tetapi bisa mencapai 9
bulan pada manusia. Bila disebabkan oleh gigitan anjing, luka yang memiliki risiko tinggi
meliputi infeksi pada mukosa, luka di atas daerah bahu (kepala, muka, leher), luka
pada jari tangan atau kaki, luka pada kelamin, luka yang lebar atau dalam, dan luka yang banyak.
Sedangkan luka dengan risiko rendah meliputi jilatan pada kulit yang luka, garukan atau lecet,
serta luka kecil di sekitar tangan, badan, dan kaki.
6,8


Pemeriksaan
Anamnesis
Anamnesis yaitu suatu proses wawancara dua arah antara dokter dengan pasiennya untuk
menadapatkan informasi mengenai : Data binatang: spesies (anjing, kucing, tupai, dan lain-lain),
jinak atau liar, diprovokasi atau tidak diprovokasi, status imunisasi (terutama imunisasi rabies);
Informasi pasien: riwayat imunisasi (tetanus, rabies); Status imun (diabetes, asplenia, respons
imun lemah yang lain yang dapat meningkatkan risiko timbulnya infeksi).
10
Adapun macam
pertanyaan yang dapat ditanyakan adalah:
Kapan terjadinya kontak atau jilatan atau gigitan dari anjing liar tersebut?
Apakah hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies?
Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies?
Penderita luka gigitan pernah di VAR, kapan?
20

Hewan yang menggigit pernah di VAR , kapan?
Lain-lain :
- Temuan pada waktu observasi hewan
- Hasil pemeriksaan spesimen dari hewan
- Petunjuk WHO

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik difokuskan pada luka dan daerah di sekitar luka dan kelenjar limfe
regional. Pada pemeriksaan luka perlu diperhatikan luas dan dalamnya luka, lokasi luka pada
tubuh (tangan, wajah, proksimal terhadap sendi), waktu yang telah dilewati setelah luka, dan
tanda infeksi lokal (eritema, edema, cairan purulen). Tanda-tanda infeksi daerah di sekitar luka
dan kelenjar limfe regional juga perlu diperhatikan.
10

a. Inspeksi : Amati bentuk dada pasien, bagaimana gerak pernapasan,
frekuensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Interkostal.
Apakah ada gangguan nervus cranial.
b. Palpasi : Apakah ada kaku kuduk atau tidak.
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen.
Adakah pembesaran lien dan hepar.
c. Perkusi : Apakah ada distensi abdomen
d. Auskultasi : Adakah suara napas tambahan.
Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya,
Adakah bunyi tambahan, Adakah bradicardi atau tachicardia.
Peristaltik usus.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit rabies tidak spesifik.pada awal dari penyakit,
hemoglobin normal dan sedikit menurun pada perjalanan penyakit. Leukosit antara 8000-
13.000/mm
3
dengan 6-8% monosit yang atipik, namun leukositas 20.000-30.000/mm
3
sering
dijumpai trombosit biasanya normal. Pada urinalisis di jumpai albuminuria dengan peningkatan
21

sel leukosit pada sedimen. Pada cairan serebrospinal (CSS) dapat dijumpai gambaran ensefalitis,
peningkatan leukosit 70/mm
3
tekanan CCS dapat normal dan meningkat, protein dan glukosa
normal.
10

Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bhan yang berasal dari
saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsy kulit/otak, cairan serebrospinal, dan
kadang-kadang urin. Pewarnaan antibody fluoresensi untuk rabies dalam otak atau jaringan SSP
lain dari host binatang yang dicurigai.
9

Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit tersebut,
yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir basofilik
didalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsy jaringan otak
penderita.post-mortem dan jaringan otak hewan yang diinokulasi dengan virus rabies.
1
Pemeriksaan khusus. Apabila tidak ditemukan Jisim intrasitoplasma dalam neuron (badan badan
Negri) patognommonik, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis rabies.
7,9

Diagnosis dan Diagnosis Pembanding
Diagnosis pada manusia ditegakkan dengan tes antibody netralisasi rabies yang positif
dan gejala klinisnya . Sedang diagnosis pada hewan ditegakkan dengan pemeriksaan otak secara
otopsi. Pada otopsi otak, akan ditemukan badan inklusi virus (negris bodies) di dalam sel saraf.
Bila penderita mempunyai riwayat telah tergigit oleh binatang, parestesia pada luka, dan
hidrofobia, maka diagnosis klinis rabies tidak sukar. Setiap penyakit dimana ada ensefalitis
kadang kadang dapat menyebabpkan kerancuan, seperti mereka yang disebabkan oleh arbovirus,
enterovirus, dan herpes simpleks. Namun jika kita mendapatkan tanda tanda keterlibatan batang
otak pada penderita yang sensorinya pada dasarnya jernih dan yang tidak mempunyai tanda
tanda lesi yang menempati ruang, diagnosis lain biasanya dapar dikesampingkan.
7

Rabies paralitik mungkin salah didiagnosis sebagai sindrom Guillain Barre ,
poliomyelitis, atau ensefalomietis vaksin postrabies. Pemerikasaan neurologis yang cermat dan
analisis cairan serebrospinal akan sering membantu mengesampingkan diagnosis ini.
7

Spasme tetanus dapat menyebabkan kerancuan diagnostic sebentar, tetapi trismus tidak
ditemuan pada rabies, dan hidrofobia tidak ditemukan pada tetanus. Botulisme (luka atau
22

penelanan) akan menyebabkan paralisis. Tetapi tidak adanya perubahan sensoris harus
mengesampingkan rabies.
7

Diagnosis laboratorium sekarang dimungkinkan sebelum mati. Virus mungkin
diperagakan dengan pewarnaan antibody fluoresen pulasan sel epitel kornea atau potongan lkulit
leher pada grasi garis perbatasan rambut. Uji ini positif karena virus migrasi kebawah sarafnya
dari otak; baik kornea maupun folikel rambut sangat terinnervasi. Pemeriksaan autopsy otak
penderita dengan ensefalitis yang mematikan harus mencakup uji antibody fluoresen untuk
rabies.
7

Penatalaksanaan
Bila terinfeksi rabies, segera cari pertolongan medis. Rabies dapat diobati, namun harus
dilakukan sedini mungkin sebelum menginfeksi otak dan menimbulkan gejala. Bila gejala mulai
terlihat, tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan penyakit ini. Pemberian serum dan vaksin
pada luka akibat gigitan hewan liar:
7

Tanpa lesi : observasi
Goresan : serum + vaksin
Gigitan dangkal: serum + vaksin
Serangan berat : serum + vaksin

a. Penatalaksanaan pada binatangnya: Bila binatang tertangkap, diobservasi selama dala 10
hari. Bila dala 10 hari tersebut, menunjukkan gejala gejala rabien, maka binatang tersebut
dibunuh, lalu jaringan otaknya dikirim dan diperiksa di laboratorium, periksalah antigen
rabies dengan cara imunoflurosensi.
7

b. Penatalaksanaan pada manusia: Kematian biasanya terjadi beberapa hari setelah terjadinya
gejala pertama. Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies atau
berpotensi rabies segera cuci luka dengan sabun atau pelarut lemak lain di
bawah air mengalir secara berulang ulang selama 10-15 menit lalu
beri antiseptik alkohol 70% atau betadin. Bila perlu lakukan tindakan debridement, jangan
melakukan tindakan anastesi infiltrasi lokal, tetapi anastesi dengan cara blok atau umum.
Balut luka secara longgar, dan observasi luka minimal 2 x sehari.
1,7
Orang-orang yang belum
23

diimunisasi selama 10 tahun terakhir akan diberikan suntikan tetanus. Bila pengobatan
antirabies merupakan indikasi, Rabies Immune- Globulin (RIG) dan vaksin lebih disenangi
human diploid cell vaccine, (HDCV) harus diberikan tanpa memperhatikan interval waktu
dan dari kontak.
7

Pemberian HDCV lima dosis 1mg intra muscular; dosis pertama diberikan dengan RIG
kecuali untuk orang yang titer antibody yang adekuat sebelumnya. Mulai dengan RIG,
diberikan sesegera mungkin setelah terjadinya kontak. Dosis HDVC diberikan pada hari ke -
3, 7, 14, 30, dan 90. Serum untuk antibody rabies harus diambil pada hari ke 90, atau 2-3
minggu setelah dosis terakhir. Bila HDCV tidak tersedia, gunakan Duck Embryo Vaccine
(DEV) lokal; rash terhadap DEV sering terjadi dan tidak merupakan kontraindikasi untuk
pengobatan.. Bila terdapat tanda tanda klinik, tempatkan penderita dalam ICU, gunakan obat
seperti curare untuk mengatasi spasme otot. Dan mungkin diperlukan trakeostomi. Bila tidak
ditemukan antibody, laporkan kepada Pusat Pengendalian Penyakit (Rabies) dan berikan
booster; 2-3 minggu kemudia ambil contoh bahan lagi.
9

RIG hanya diberikan satu kali pada permulaan profilaksis pasca kontak. Dapat
diberikan sampai 8 hari setelah vaksin dosis pertama. Dianjurkan dosis 20 mg/ kg intravena.
Infiltrasi setengah dosis kedalam luka dan berikan sisanya secara intramuscular. DEV
digunakan bila tidak tersedia HDCV. Dan antri serum rabies (ARS) kuda hanya digunakan
bila RIG tidak tersedia, dosis yang diberikan adalah 40 mg/kg intra vena dengan cara yang
sama seprti RIG. Tes sensitifitas pada penderita sebelum pengobatan dimulai.
9


Reaksi yang tak diharapkan .
Reaksi lokal HDCV seperti nyeri, pembengkakan, eritema terjadi pada kira kira 25%
penderita. Dan Gejala gejala ringan seperti malaise, demam, sakit perut terjadi pada 20%
penderita. RIG menyebabkan nyeri lokal dan demam ringan. Sedangkan ARS yang berasal dari
kuda menyebabkan gejala gejala dan tanda tanda pada 40% orang dewasa; reaksi anafilaksis
bisa terjadi.
9

Peringatan
Hindari obat obatan kortikosteroid dan imunosupresif selama pengobatan karena
mengkin mempengaruhi produksi antibody dan menjadi predisposisi penderita terhadap
24

penyakit. Dan sebelum melakukan tidakan sebaiknya melakukan pemeriksaan respon anti bodi
dalam serum. Kehamilan bukanlah merupakan kontraindikasi untuk profilaksis pasca kontak.
Penderita yang hipersensitif harus berhati hati pada pemberian vaksin rabies, dengan
menyediakan epinefrin dan antihistamin guna mengobati reaksi.
9

Prognosis
Dengan profilaksis pasca kontak yang agresif menmggunakan HDCV dan RIG, penyakit
jarang timbul secara klinik. Dan bila tanda tanda klinik muncul, prognosis buruk; hanya sedikit
sekali penderita yang pernah bertahan hidup bila menderita rabies secara klinik.
7,9
Pencegahan
Vaksinasi
Karena masa inkubasi rabies yang bisa lama, imun aktif dicapai melalui 14 x suntikan
setiap hari dengan DEV (Tissue Emulsion Duck Embryo Vaccine) 10%, dengan dosis sebesar 1
ml/kali selama 14 hari atau 2 ml/ suntikan selama 7 hari. Suntikan dilakukan persubkutan.
Imunisasi aktif diberikan setelah 24 jam pemberian serum anti rabies. Daerah suntikan adalah di
abdomen, bokong, paha bagian lateral. Booster diberikan pada hari ke 10, 20, 30 paska vaksinasi.
Pengobatan vaksinasi harus dihentikan bila penderita menunjukkan gejala neurologis seperti
ensefalitis pasca vaksinasi. Serum Hiperimun. Merupakan inunisasi pasif. Dosis yang diberikan
adalah 1000 IU / 40 Kg BB, per IM. Sebelum diberikan harus dilakukan ters sensitivitas.
8

Pencegahan rabies
Profilaksis pra-pemajanan. Vaksinasi anjing anjing domestic dan pelenyapan hewan
nyasar telah mengakibatkan pemberantasan rabies didunia dari berbagai daerah. Jika
pengendalian anjing dipraktekkan dengan tepat, rabies dapat ditekan pada banyak daerah
didunia.
8

Mereka yang diharapkan beresiko, seperti dokter hewan, pekerja laboratorium, dan anak
yang pergi ke daerah enzootic rabies, dapat diimunisasi sebelumnya. Vaksin biakan sel (lihat
nanti) sebenarnya akan menghasilkan respon 100% dengan tiga dosis diberikan pada 0, 7 dan 28
hari. Titer 0,5 IU telah dianggap sebagai protektif.
8,9
25

Profilaksis pasca pemajanan. Pertama, keputusan harus dibuat apakah profilaksis rabies
diperlukan. Pada banyak daerah di amerika serikat, rabies pada mamalia telah diketahui selama
bertahun tahun. Namun gigitan binatang termasuk pada spesies yang diketahui merupakan
hosper rabies, seperti sigung (semacam kera), serigala, rakkoon, kelelawar, atau anjing hutan.
Rodensia amat jarang mengidap rabies di amerika serikat. Informasi epidemiologi rabies lokal
adalah sangat penting pada dokter yang menangani pemajanan manusia. Gigitan yang tidak
beralasan oleh kelelawar atau binatang buas lain hampir selalu memerlukan vaksinasi; keputusan
berkenaan dengan gigitan dari binatang domestic atau binatang kesayangan harus dibuat sesudah
pembahasan dengan dokter hewan kesehatan masyarakat.
8,9

Jika binatang domestic seperti anjing atau kucing adalah penyerangnya, pertimbangan
harus diberikan pada pertanyaan provokasi, gambaran klinis binatang jika dilihat, dan status
vaksinasi rabies binatang tersebut. Kesukaran dalam membuat keputusan muncul bila biunatang
penggigit telah lari sesudah serangan yang agaknya tidak beralasan. Apakah binatang gila atau
hanya berwatak jelek sering tidak mungkin diputuskan. Bila binatang ada dalam pengamatan,
pengobatan rabies dapat ditunda sampai binatang bertindak abnormal, pada saat ini harus
dikorbankan dan diuji untuk rabies. Namun, binatang buas harus segera dibunuh untuk diuji
dengan teknik antibody fluoresen.
9

Jika profilaksis rabies harus diberikan sesudah pemajanan, pencegahan tergantung pada
tiga cara pengurangan risiko yang saling melengkapi. Pengbatan lokal (lihat nanti) dirancang
untuk membunuh virus dengan aksi mekanik dengan virusid. Antibody pasif (lihat nanti)
kemudian member penyekatan perlekatan virus segera pada ujung saraf. Namun, antibody pasif
akhirnya hilang dan harus diganti dengan rspon aktif yang diberikan oleh vaksin. Vaksin tidak
boleh hanya memberikan respon antibody primer tetapi harus mengatasi pengaruh depresi
antibody pasif pada respon imun.
8,9
Antibody pasif
Imunisasi pasif haus diberikan untuk memproteksi penderita sampai vaksinasi
menghasilkan antibody. Antibody pasif tersedia dibeberapa Negara dalam bentuk globulin imun
kuda atau globulin imun rabies manusia yang keduan menghindari reaksi penyakit serum
terhadap protein kuda, yang terjadi pada sekitar 1% resipien produk binatang. Dosis globulin
26

imun rabies manusia adalah 20 IU/kg. sampai setengah dosis harus di infiltrasiakan secra
subkutan pada tempat gigitan atau goresan; sisanya diinjeksikan pada lengan atau pantat. Dosis
globulin imun kuda adalah 40 IU/kg diberikan dengan cara yang sama.
9

Imunisasi pasif harus dilakukan tanpa memandang interval antara pemajanan rabies dan
pengobatan. Namun, jika vaksin dimulai sebelumnya adalah tidak perlu untuk member imunisasi
pasif bila 8 hari yang telah terlewati. Anafilaksis merupakan kemungkinan yang jarang timbul
dengan produk kuda, tetapi uji untuk hipersensitifitas harus dilakukan ndengan cara biasa (paket
konsultasi terselip). Steroid harus dihindari jika mungkin dalam pengobatan reaksi (anaafilaksis)
karena mereka mennyebabkan aktivasi virus rabies pada binatang percobaan.
8,9

Imunisasi aktif. Vaksin rabies awal yang dipersiapkan pasa system saraf sentral binatang.
Antigenisitasnya buruk dan diperlukan injeksi berkali kali. Akibat ensefalitis pasca vaksinasi
adalah masalah yang sering. Vaksin jaringan saraf binatang masih digunakan dibanyak tempat
didunia, terutama, vaksin otak tikus umur menyusui, member reaksi neurologis lebih sedikit
daripada vaksin otak kambing karena vaksin yang pertama mengandung kurang myelin.
8,9

Namun, kemajuan utama dalam vaksin rabies adalah perkembangan teknologi biakan sel
yang memungkinkan produksi vaksin konsentrat dengan potensi antiogenik tinggi dan
kontaminasi dengan protein sel rendah. Dengan demikian imunogenisitas diperbaiki,
memungkinkan mengirangi jumlah donogenisitas diperbaiki, memungkinkan mengurangi jumlah
dosis dan reaksi dikurangi. Vaksin sel biakan yang pertama yang tersedia secara luas dihasilkan
dalam sel diploid manusia (humandiploid cell [HDCV]). Vaksin ini, dan satu lagi yang
dihasilkan pada sel diploid janin rhesus (RNA), adalah hanya dua ini yang sekarang tersedia di
Amerika Serikat, vaksin dihasilkan dalam vero (gijal kera berkelanjutan), embrio ayam, emkbrio
bebak, dan sel biakan lain juga digunakan.
8,9

Bagan yang dianjurkan untuk imunisasi pasca pemajanan adalah lima dosis yang
diberikan secara intramusculer dalam deltoid pada hari 0, 3 , 7 , 14 dan 28. Dosis ini untuk anak,
tidak dikurangi. Respon imun terhadap bagan pasca pemajanan terhadap rabies, adalah wajib
memberikan imunisasi p[asif seperti diuraikan sebelumnya.
8,9

Beberapa individu mungkin terpajan pada rabies karena profesi atau berwisata dalam
enzootic rabies. Untuk imunisasi pra pemajanan. Diikuti bagan tiga dosis, terdiri atas dosis
27

intramuskuler (0,1 mL) atau hati hati memberikan vaksin dalam otot bukannya dalam jaringan
subkutan. Titer antibody post vaksinasi biasanya tidak diperlukan kecuali kalau subjek adalah
imunosupresi atau sedang mendapat terapi antimalaria, yang dapar menekan respon.
8,9

Angka reaksi terhadap vaksin biakan sel adalah rendah, dan reaksi neurologis jarang
karena tidak ada jaringan saraf dalam biakan sel yang digunakan untuk menumbuhkan virus .
reaksi alergi terjadi pada kurang dari 0,1% sesudah vaksinasi primer dengan HDCV dan gejala
sistemik seperti malaise dan demam hanya pada 5-15%. Meskipun demikian, pemberian booster
menimbilkan angka reaksi 6&; karenanya booster tidak lagi dianjurkan secara rutin, kecuali
pasca pemajanan rabies, bila dua dosis diberikan pada interval 3 hari. Vaksin RVA mungkin
berguna pada mereka yang mengalami reaksi pada HDCV. walaupun tidak ada penelitian
terkontrol yang telah dilakukan, kemanjuran vaksinasi rabies jelas tinggi, menilai dari insiden
penyakit yang telah diketahui sesudah gigitan oleh binatang terinfeksi yang tidak diobati (sekitar
15 %) dan pengurangan kegagalan vaksin. Bila dilihat, kegagalan vaksin biasanya disertai
regimen profilaktik yang tidak sempurna.
8,9

Kesimpulan

Dari isi tinjauan pustaka yang telah dibahas diatas, kita tahu bahwa Rabies merupakan
penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang dapat mengenai mamalia dan ditularkan oleh
sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Virus rabies ini sangat fatal apabila terpapar, karena
prognosisnya berujung pada kematian. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan
binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran
mukosa. Selain virusnya sendiri, dalam gigitan anjing, juga terdapat mikroorganisme yang dapat
memperburuk kondisi gigitan. mikroorganisme ini juga banyak terdapat pada kubangan air,
yaitu Staphylococcus dan Streptococcus yang Pada luka atau bagian tubuh yang mengalami
infeksi sering kali muncul pus (nanah) dan infiltrat. Setelah tergigit oleh binatang yang tercurigai
rabies, kita dapat memberikan suntikan ATS, Rabies immune Globulin (RIG), dan vaksin HDVC
dengan dosis dan waktu pemakain yang telah ditentukan untuk meminimalisir resiko untuk
sementara waktu. Untuk luka terbukanya sendiri, tidak cukup hanya dengan memberikan
antiseptic saja, luka harus dibersihkan dengan air dan sabun secara berulang ulang. Irigasi
28

dengan larutan betadine. Bila perlu lakukan tindakan debridement, balut luka secara longgar,
dan observasi luka minimal 2 x sehari. Berikan ATS atau HTIG. Bila luka gigitan berat, berikan
suntikan infiltrasi serum anti rabies di sekitar luka. Pencegahan dapat dilakukan pada hewan dan
manusia yang berupa vaksinasi maupun pemusnahan hewan yang terkena rabies. Dapat juga kita
melakukan pencegahan terhadap virus rabies melalui control terhadap vaksinasi dan terhadap
hewan liar yang berkeliaran disekitar lingkungan kita. Dengan demikian, hipotesis yang telah
dibuat pada awal pembuatan makalah ini yaitu luka bernanah disebabkan oleh gigitan anjing liar
dan bermain dikubangan dapat diterima. Semoga tinjauan pustaka ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, dan mohon maaf apabila masih terdapat banyak kekurangan. Terima kasih.

Daftar Pustaka
1. Karakata S, Bachsinar B. Bedah minor. Jakarta : Hipokrates, 2008. h. 1-25, 32-3, 109-12.
2. Morison M J. Manajemen Luka. Jakarta. EGC: 2003.h.10-1
3. Widoyono. Penyakit tropis, epidemologi, penularan, pencegahan & pemberantasannya.
Jakarta : Erlangga, 2008. h. 243-53
4. Price SA. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC,
2006. h. 57-77
5. Brook, Geo F. Mikrobiologi kedokteran. Jawetz, Melnick,& Adelberg. Edisi 23. Jakarta :
EGC, 200. h. 112-8
6. Harijanto P N, Gunawan carta A. Rabies. Ilmu penyakit dalam. Jilid III. Jakarta: FKUI,
2006. h.2924-30
7. Behrman RE, Kleigman RM, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Jakarta:
EGC, 2000. h.917-29, 1145-48
8. Akoso BT. Pencegahan dan pengendalian rabies. Jakarta: Kanisius, 2007.h.1-20
9. Saputra L, Margaretha L M. Kapita selekta kedokteran klinik. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009. h. 241-44
10. Halim-Mubin, A. Panduan praktis ilmu penyakit dalam : diagnosis dan terapi. Jakarta :
EGC, 2001. H. 323-7

You might also like