You are on page 1of 23

BAB II

2.1. Definisi
Keloid merupakan jaringan parut akibat luka atau trauma yang

berkembang

berlebihan, menimbul dan melebihi ukuran luka atau trauma yang terjadi.8Keloid
merupakan tumor jaringan ikat kulit yang umumnya timbul akibat trauma dan bakat.9
Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan proliferatif)
diatas permukaan kulit yang disebabkan oleh trauma atau luka dan bekas operasi karena
sintesis dan deposisi yang tidak terkontrol dari jaringan kolagen pada dermis.23, 24

Gambar. Keloid
Luka pada kulit seperti luka bakar, insisi pembedahan, ulkus dan lain-lain diperbaiki
melalui deposisi dari komponen yang akan membentuk kulit baru. Komponen tersebut
meliputi pembuluh darah, saraf, serat elastin (memberelastisitas kulit), serat kolagen
(memberi ketegangan kulit), dan gliko-saminoglikan yang membentuk matriks di mana
serat-serat struktural, saraf dan pembuluh darah berada. 23, 24
Pada beberapa orang, jaringan parut yang terbentuk akibat proses penyembuhan luka
tumbuh secara abnormal menghasilkan jaringan parut hipertrofik atau keloid. Jaringan parut

abnormal tersebut dapat menyebabkan gangguan psikis dan fungsional pada pasien dan
penatalaksanaannya relatif sulit. 23, 24

2.2. Anatomi dan Fisiologi


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan
hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan.
Kulit merupakan organ yang paling esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan
kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim,
umur, seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Pembagian kulit secara garis besar
tersusun atas tiga lapisan utama,10 yaitu :
1.

Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri atas : stratum korneum, stratum lusidum,stratum
granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (terdiri atas dua jenis sel :sel-sel
kolumner dan sel pembentuk melanin).

2.

Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar dibagi menjadidua
bagian, yakni : pars papillare dan pars retikulare.

3.

Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan


ikatlonggar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian

atasdermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda).


Pleksusyang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang
disubkutis dan di pars papillare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluhdarah
berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat salurangetah
bening.10

Ada tujuh fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung terhadap cedera
fisik,kekeringan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi), absorpsi, ekskresi, persepsi (faal
perasa dan peraba yang dijalankan oleh ujung saraf sensoris Vater paccini, Meisner,Krause,
dan Ruffini yang terdapat di dermis), pengatura suhu tubuh (termoregulasiakibat adanya
jaringan kapiler yang luas di dermis, adanya lemak subkutan, dankelenjar keringat),
pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dankeratinisasi).10

Gb. Tiga Lapisan Kulit.11

2.3. Etiologi
Faktor-faktoryangmemainkanperan

utamadalam

pembentukan

keloid

adalah

predisposisi genetic dan beberapa bentuk trauma kulit. Kulit atau luka akan menimbulkan
ketegangandan menjadi penyebab penting dalam pembentukan bekas luka hipertrofik dan
keloid. Scar yang melalui sendi atau lipatan kulitdi sudut kanan cenderung untuk

membentuk bekas luka hipertrofik, karena kekuatan disebabkan oleh ketegangan konstan
yang terjadi. Meskipun keloid dapat terjadi pada semua usia, namun cenderung dialami pada
usia pubertas. Bahwa individu yang lebih muda lebih sering mengalami traumadan kulit
mereka lebih elastic dibandingkan kulit seseorang yang usianya lebih tua.
Kebanyakan keloid dialami seseorang yang berkulit hitam dan itu disebabkan oleh
faktor genetik. Terbentuknya keloid terutama terjadi padabagian tubuh dengan konsentrasi
melanosit yang tinggi, dan sangat

jarang pada telapak kakidan telapak tangan.

Terbentuknya keloid juga telah dikait kandengan factor endokrin. Menopause juga
mendorong resesi keloid, sedangkan wanita melaporkan pembesaran onset keloid selama
kehamilan 12

Gbr: Keloid linier kuping anterior sinistra.13

Gambar: Keloid linear lateral leher dekstra.13

2.4.Patogenesis
Pemahaman tentang penyembuhan luka normal sangat penting dalam upaya
memahami mekanisme pembentukan keloid. Secara klasik, penyembuhan luka terbagi
dalam tiga fase, yaitu: inflamasi, fibroblastik dan maturasi.2
Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada individu yang
beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu bulan sampai satu tahun setelah
trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada dermis retikuler atau lapisan kulit lebih dalam lagi
cenderung berpotensi menjadi skar hipertrofik dan keloid. Beberapa penyebab keloid yang
sering dilaporkan adalah: akne, folikulitis, varicella, vaksinasi, tindik telinga, luka robek
dan luka operasi. Luka kecil sekalipun, bahkan bintil bekas gigitan serangga dapat menjadi
keloid. Injeksi menggunakan jarum ukuran kecil, seperti injeksi anestesi lokal, biasanya
tidak menimbulkan keloid. Keloid dapat terjadi pada injeksi yang memprovokasi inflamasi,
seperti vaksinasi. Penelitian di Taiwan mendapatkan bahwa 10% remaja mendapat keloid
pada tempat bekas injeksi vaksin Bacil Calmette Guerin (BCG).1
Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi platelet, aktifasi
faktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan pembentukan bekuan fibrin untuk
hemostasis. Bekuan ini selanjutnya berperan sebagai rangka untuk penyembuhan luka.
Degranulasi platelet menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin poten termasuk
transforming growth factor- (TGF-), epidermal growth factor (EGF), insulin like growth
factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived growth factor (PDGF). Growth factor berfungsi
merekrut dan mengaktifkan sel netrofil, epitel, endotel makrofag, sel mast dan fibroblas.2
Pembentukan jaringan granulasi dan maturasi skar membutuhkan keseimbangan
antara biosintesis kolagen dan degradasi matriks hingga dicapai penyembuhan luka optimal.

Makrofag, fibroblas dan pembuluh darah bergerak ke tempat luka untuk mengembalikan
integritas dermal yang rusak. Makrofag merupakan sumber sitokin yang berfungsi untuk
stimulasi fibroplasia dan angiogenesis. Fibroblas berfungsi membangun komponen matriks
ekstraseluler baru, memulai sintesis kolagen dan menciptakan regangan tepi luka melalui
protein yang kontraktil seperti aktin dan desmin. Pembuluh darah menyuplai oksigen dan
nutrisi untuk mempertahankan pertumbuhan sel. Degradasi matrik dikoordinasikan melalui
aksi kolagenase, proteoglikanase, metalloproteinase dan protease.14
Seiring dengan proses diatas, faktor antifibrotik juga dilepaskan, termasuk interferon dan interferon- yang diproduksi oleh leukosit dan fibroblas, sedangkan interferon-
diproduksi oleh limfosit T. Interferon berfungsi menghambat sintesis kolagen dan
fibronektin oleh fibroblas. Interferon juga menghambat diferensiasi fibroblas. Maturasi skar
berakhir dengan dengan regresi stimulasi sitokin dan stimuli angiogenik, menghasilkan skar
yang hiperemis dan contracted. Scar remodelling terjadi pada 6-12 bulan selanjutnya,
dengan skar yang terbentuk mendekati 70-80% tensile strength kulit normal. Fase inflamasi
yang memanjang mengakibatkan peningkatan aktifitas sitokin. Resiko pembentukan keloid
meningkat seiring dengan aktifitas sitokin yang berkepanjangan.15
Penelitian lain tentang patogenesis keloid mendapatkan bahwa pada keloid terjadi
down-regulation gen yang terkait apoptosis. Selain itu pada biakan fibroblas keloid
didapatkan produksi kolagen dan matriks metalloproteinase lebih besar dibandingkan
fibroblas dermal normal.16

2.5. Gejala Klinis


Manifestasi klinis keloid berupa plak atau nodul kenyal, berwarna merah atau merah
muda (sering disertai telangiektasis), biasanya gatal dan nyeri, yang tidak dapat pulih secara
spontan dan ukurannya makin lebar seiring dengan waktu.17 Tanda karakteristik keloid
adalah skar tebal berwarna merah di area sternal.18 Lee dkk melaporkan bahwa dari 28
pasien keloid; 86% mengeluh gatal dan 46% mengeluh nyeri, gatal terutama pada tepi lesi
sedangkan nyeri pada bagian tengah lesi.19

Gambar: Dua buah keloid di regio presternal, lokasi yang sering


terkena.17
Karena sebab yang belum jelas, keloid sering terjadi pada dada, bahu, punggung atas,
leher belakang dan lobus telinga. Beberapa peneliti berpendapat bahwa keloid terjadi secara
primer pada area kulit dengan high skin tension. Peneliti lain tidak sependapat dengan
pendapat tersebut karena keloid jarang dijumpai pada telapak tangan atau kaki, daerah
dengan skin tension cukup tinggi. Selain itu keloid juga sering terjadi pada lobus telinga,
daerah dengan skin tension minimal. Beberapa penulis juga melaporkan kejadian keloid di
genital, dan sudah ada 70 kasus keloid pada kornea yang dilaporkan.1

Keloid pada wajah

Keloid pada lengan atas

A. Histopatolgi
Karakteristik histologis keloid adalah peningkatan kolagen dan glikosaminoglikan.
Terdapat banyak serabut kolagen berhyalin tebal yang tersusun secara tidak teratur, disebut
sebagai keloidal collagen.1 Susunan kolagen yang tidak beraturan ini berbeda dari serabut
kolagen normal yang tersusun secara paralel terhadap epidermis. Selain itu pada keloid
terdapat beberapa gambaran histologis, diantaranya: tidak adanya pembuluh darah yang
tersusun vertikal, adanya gambaran seperti ujung lidah di bawah epidermis dan papiler
dermis yang tampak normal, gambaran horizontal fibrous band dan fascia like band di
dermis retikuler bagian atas.20

Gambar. Pewarnaan hematoksilin eosin pada paraffin sections jaringan


keloid. Tampak penebalan epidermis dan gambaran seperti ujung lidah di bawah
epidermis dan papiler dermis yang tampak normal. E, epidermis; D, dermis.20

2.6. Penatalaksanaan
Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada saat ini, terdapat tiga
pendekatan terapi yang dapat digunakan: manipulasi terhadap aspek mekanis penyembuhan
luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen, dan
perubahan respon imun/inflamasi.2
Penanganan keloid merupakan masalah yang sulit, karena rendahnya respon
penyembuhan terhadap berbagai terapi dan cenderung kambuh. Keloid yang hanya diterapi
dengan pembedahan memiliki angka kekambuhan sampai 80%.1
Pada ukuran dan jumlah lesi keloid harus diukur untuk merencanakan penanganan
keloid. Penggolongan ini penting karena lesi yang kecil (dini) dapat diterapi secara radikal
dengan cara pembedahan dan terapi ajuvan. Terapi laser sebagai monoterapi juga efektif
untuk terapi radikal keloid dini. Terapi konservatif non bedah, tidak efektif jika digunakan
sebagai monoterapi.21
Pasien dengan keloid berukuran besar biasanya disertai infeksi dan nyeri, sehingga
pengurangan ukuran masa keloid dan terapi simtomatik dengan berbagai modalitas terapi
harus dipertimbangkan kasus per kasus.21
Penanganan keloid yang paling sering digunakan dan paling sering dilaporkan
efikasinya adalah injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi, cryotherapy, laser, radiasi
dan silicone gel sheeting. Beberapa metode penanganan keloid lain lebih jarang digunakan

namun secara efikasi cukup efektif adalah: imiquimod topikal dan antimetabolit (5fluorouracil dan bleomisin).
1.

Injeksi Kortikosteroid Intralesi


Injeksi kortikosteroid intralesi (KIL) merupakan metoda penanganan keloid
yang paling banyak dilakukan karena mudah dikerjakan, dapat diterima dengan baik
dan efektif mengurangi gejala. (Hochman dkk, 2008) Triamsinolon asetonid dengan
konsentrasi 10-40 mg/ml, merupakan jenis steroid yang sering digunakan.15 Secara
in vitro triamsinolon asetonid bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan
fibroblas. Efek negatif terhadap mitogenesis fibroblas dan sintesis kolagen mungkin
disebabkan oleh penurunan produksi TGF-1 dan peningkatan produksi beta
fibroblast growth factor (bFGF) yang terjadi pada fibroblas yang diterapi dengan
triamsinolon asetonid. Efek antimitotik kortikosteroid terhadap keratinosit dan
fibroblas mengakibatkan perlambatan proses re-epitelialisasi dan pembentukan
kolagen baru. Kortikosteroid juga menekan inflamasi dengan menghambat migrasi
leukosit, monosit dan fagositosis.
Dosis triamsinolon asetonid yang diperlukan untuk terapi keloid lebih tinggi
daripada untuk penyakit lain. Robles menganjurkan dosis awal sebesar 40 mg/ml.
Injeksi dapat diulang tiap 4-6 pekan tergantung respons keloid. Injeksi KIL
menyebabkan keloid jadi mendatar, lebih lunak dan meringankan gejala nyeri dan
gatal. Namun injeksi KIL jarang sekali menghasilkan perbaikan komplit dan
bertahan lama.1
Komplikasi yang dapat terjadi akibat KIL adalah telangiektasis, atrofi kulit
dan hipo atau hiperpigmentasi. Selain itu tindakan injeksi KIL sendiri merupakan

10

tindakan yang cukup menyakitkan bagi pasien. Untuk mengurangi nyeri saat injeksi
KIL, sebelum injeksi digunakan salap anestetik eutectic mixture of local anesthetics
(EMLA), dapat juga dengan cara triamsinolon diencerkan dengan lidokain, atau
anestesi dengan cara infiltrasi menggunakan lidokain. Cara yang terakhir
disebutkan lebih efektif dalam mengurangi nyeri saat injeksi KIL. Karena nyeri saat
injeksi dan kekhawatiran terhadap penggunaan kortikosteroid dosis tinggi secara
berulang maka injeksi KIL sulit digunakan untuk keloid yang berukuran besar atau
berjumlah banyak.22

2.

Bedah Eksisi
Bedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang pertama kali
dikenal. Pertama kali dilakukan oleh Druit di tahun 1844 dan disempurnakan
oleh De Costa pada tahun 1903. Secara umum pembedahan diperlukan
sebagai terapi lini kedua untuk lesi yang tidak berespon terhadap terapi lain.
11

Selain itu bedah eksisi juga dilakukan pada lesi keloid yang luas sehingga
membutuhkan debulking lebih dahulu sebelum terapi lain dilakukan.2
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan pada bedah eksisi keloid.
Semua sumber yang dapat menyebabkan inflamasi, termasuk folikel rambut
yang terperangkap, kista epitelial dan sinus tract harus dibuang, karena hal
tersebut dapat berpotensi menjadi sumber fibrogenic growthstimuli.
Rekonstruksi bedah sedapat mungkin didesain untuk mengurangi trauma
jaringan dan wound tension, serta mencegah terjadinya dead space, hematom
dan infeksi. Reorientasi skar harus sejajar dengan garis skin tension.2
Jika kulit sekitar eksisi tidak dalam kondisi tension yang berlebihan,
keloid berukuran kecil dapat dieksisi dan luka ditutup secara primer. Namun
jika penutupan primer tidak mungkin dilakukan dan memerlukan tandur kulit,
maka dilakukan eksisi keloid dengan meninggalkan daerah berbentuk elips
yang akan ditanamkan tandur kulit. Daerah berbentuk elips ini berfungsi
untuk menurunkan central tensile forces, dan diharapkan dapat menurunkan
kemungkinan untuk kambuh. Tandur kulit full thickness lebih baik dibanding
tandur kulit split thickness, karena memungkinkan penutupan luka lebih baik
dan menyediakan struktur mikrovaskuler yang cukup untuk meyakinkan
terjadi anastomosis dengan struktur mikrovaskuler host sehingga mengurangi
angiogenesis dan proliferasi fibroblast.2
Bedah eksisi pada kebanyakan kasus keloid bukanlah tindakan kuratif.
Rekurensi setelah tindakan berkisar antara 45% sampai 100%. Karena
rekurensi yang tinggi ini, bedah eksisi saja tanpa terapi tambahan bukanlah

12

terapi terbaik. Eksisi sering menyebabkan skar yang lebih panjang dari keloid
asalnya dan bila kambuh dapat terjadi keloid yang lebih besar lagi. Injeksi
kortikosteroid intralesi untuk menurunkan angka rekurensi dapat dilakukan
intraoperatif atau pasca eksisi. Umumnya digunakan triamsinolon asetonid
intralesi, dimulai dua minggu setelah eksisi, dilanjutkan sampai satu tahun
atau sampai wound bed tetap sejajar dengan kulit sekitar selama. Alternatif
monoterapi tambahan lain adalah imiquimod topikal dan terapi radiasi.21
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa wound tension yang berlebihan
mungkin menyebabkan pembentukan keloid, oleh karena itu disarankan
penyatuan tepi luka didesain untuk meminimalisir wound tension. Perawatan
seksama harus dilakukan untuk menjaga wound tension di garis luka supaya
tetap relaks, hal ini dicapai

dengan teknik aseptik dan dengan

mempertahankan wound eversion secara optimal.21


3.

Radiasi
Mekanisme terapi radiasi dalam mencegah keloid masih sangat kurang
dimengerti. Radiasi diduga mengontrol sintesis kolagen dengan cara
mengeliminasi fibroblas abnormal dan meningkatkan fibroblas normal yang
telah ada. Radioterapi juga dihubungkan dengan penghambatan pembentukan
neovascular buds dan proliferating young fibroblasts sehingga menurunkan
produksi kolagen pada fase awal penyembuhan luka. Analisis in vitro terapi
radiasi terhadap fibroblas keloid menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
apoptosis sel tersebut akibat radiasi. Kombinasi pembedahan dengan radiasi
pascaoperasi merupakan metoda yang lebih efektif untuk mengatasi keloid

13

dibandingkan dengan terapi radiasi saja. Tingkat keberhasilan kombinasi ini


bervariasi antara 67 sampai 98% dengan angka rekurensi turun sampai
dibawah 20%. Radiasi biasanya dimulai segera setelah pembedahan dengan
dosis total tidak lebih dari 20 Gy selama beberapa kali pemberian. Guix dkk
menyimpulkan bahwa terapi radiasi dengan menggunakan high-dose-rate
brachyterapy

lebih efektif dibanding superficial x-ray atau low-energy

electron beam.23
Efek samping yang sering terjadi adalah transient erythema dan
hiperpigmentasi. Terapi radiasi memiliki resiko karsinogenesis, sehingga
walaupun resiko ini kemungkinan kecil terjadi pada keloid, pasien harus tetap
diberitahu agar waspada karena secara teori hal itu mungkin terjadi.1
4.

Cryotherapy
Cryotherapy menggunakan refrigerant, sebagai terapi tunggal atau
dikombinasi dengan injeksi KIL telah lama digunakan sebagai terapi keloid.
Metoda aplikasi cryotherapy adalah dengan cara ditempelkan, disemprotkan,
dan disuntikkan intralesi. Dalam sebuah penelitian randomized clinical trial,
Layton dkk mendapatkan bahwa lesi vaskuler dini berespon lebih baik secara
signifikan dibanding lesi yang lebih besar, sehingga disimpulkan cara ini
efektif untuk keloid berukuran kecil.15
Bahwa kerusakan sel dan mikrovaskuler yang diakibatkan oleh
cryotherapy, secara langsung menyebabkan stasis dan pembentukan trombus
sehingga terjadi nekrosis serta perlunakan dan pendataran keloid. Secara in
vitro, cryotherapy mampu mengubah sintesis kolagen dan differensiasi

14

keloidal collagen menjadi normal. Kelemahan cryotherapy adalah nyeri yang


ditimbulkan cukup berat dan waktu penyembuhan yang lama, sehingga pasien
sering tidak datang kembali. Metoda ini memerlukan kombinasi dengan cara
pengobatan lain. Pada pasien dengan warna kulit gelap dapat terjadi efek
hipopigmentasi, yang dapat menimbulkan masalah baru.24,1

5.

Laser
Mekanisme yang mendasari efek terapi laser pada keloid, masih belum
jelas sepenuhnya. Coagulation necrosis pembuluh darah akibat efek selective
photothermolysis dan efek panas yang dihasilkan oleh energi laser
menyebabkan penghancuran kolagen, perbaikan susunan serat kolagen,
sintesis kolagen baru dan pelepasan histamin. Nekrosis pembuluh darah juga
menyebabkan penurunan aliran darah kapiler di papila dermis. Kolagen yang
baru terbentuk, bukanlah keloidal collagen melainkan kolagen normal.25
15

Laser karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis laser yang


pertama kali digunakan untuk terapi keloid. Pada tahun 1982 continous wave
CO2 laser sukses dalam eksisi keloid. Keuntungan laser adalah bersifat non
traumatik dan memiliki efek anti inflamasi. Namun selanjutnya didapat bahwa
eksisi keloid menggunakan continous wave CO2 laser yang dilanjutkan
dengan penyembuhan luka sekunder, gagal menekan pertumbuhan dan
mencegah rekurensi keloid. Saat ini laser CO2 digunakan untuk debulking
keloid berukuran besar, sebelum terapi lain dimulai.2
6.

Silicone gel sheeting


Penggunaan silicone gel sheet merupakan suatu kemajuan baru dalam
penatalaksanaan keloid dan jaringan skar hipertrofik. Silicone gel sheet
tersebut berupa gel like transparent, flexible, inert sheet dengan ketebalan 3,5
mm yang digunakan untuk terapi dan pencegahan keloid ataupun jaringan skar
hipertrofik. Lapisan tersebut terbuat dari medical-grade silicone (polimer
polydimethylsiloxane)dan

diperkuat

dengan

silicon

membranebacking.

Lapisan tersebut dapat melekat dengan mudah pada jaringan skar atau
direkatkan dengan plester. Lapisan dapat dicuci setiap hari dan dipakai
kembali, maksimal sampai 12 hari. Silicone gel sheet didesain untuk
digunakan pada kulit yang intak. Lapisan membran tersebut sebaiknya tidak
digunakan pada luka terbuka atau pada kulit dengan kelainan dermatologi
yang mengintervensi kontinuitas kulit. Idealnya, silicone sheet diaplikasikan
pada stadium awal ketika jaringan skar mulai menunjukkan tanda ke arah
berkembangnya jaringan skar hipertrofik (kemerahan, membesar). Pasien

16

berisiko tinggi untuk menderita jaringan skar abnormal, seperti pasien


berumur di bawah 40 tahun, riwayat skar hipertrofik atau keloid sebelumnya,
atau kulit gelap dapat dianjurkan untuk menggunakan silicone sheet segera
setelah luka telah menyembuh (setelah pengangkatan jahitan pada luka).1
Pembalutan dengan gel silikon efektif untuk keloid bila digunakan
setelah bedah eksisi, hal ini bertujuan untuk mencegah kambuhnya keloid.
Gel sheets dilaporkan dapat melembutkan skar dan menurunkan ukuran skar,
mengurangi eritem dan gejala gatal dan nyeri. Silicone gel sheeting sebaiknya
diaplikasikan segera setelah eksisi dan dilanjutkan selama 12 jam per hari
untuk 1 bulan. Lamanya pemakaian membutuhkan tingkat kepatuhan pasien
yang baik.15
Sebuah penelitian yang membandingkan penggunaan silicone gel
sheeting dengan non silicone gel sheets mendapatkan efektifitas yang sama
antara keduanya dalam mengurangi ukuran skar, mengurangi indurasi dan
mengurangi gejala. Hal ini menyiratkan bahwa efek yang menguntungkan dari
metoda ini sebenarnya adalah sifat oklusif dari lapisan gel yang dipercaya
meningkatkan hidrasi keloid, bukanlah materi silikonnya.24
7.

5-Fluorouracil
5-Fluorouracil (5-FU), merupakan analog pirimidin yang banyak
digunakan dalam pengobatan kanker dan glaukoma. Dalam sel 5-FU
dikonversikan menjadi substrat aktif yang menghambat sintesis DNA dengan
cara kompetitif terhadap penggabungan urasil. Penelitian terbaru mendapatkan
bahwa 5-FU memiliki efikasi yang baik untuk menangani keloid. Kemampuan

17

5-FU untuk untuk mengganggu TGF-b signaling merupakan dasar


penggunaan 5-FU untuk menghambat pembentukan keloid. Teknik yang
digunakan dalam penelitian efikasi 5-FU terhadap keloid adalah dengan
injeksi intralesi atau menempatkan kain yang sebelumnya direndam dengan 5FU selama 5 menit sebelum luka ditutup.
Efek samping yang sering terjadi adalah nyeri di lokasi injeksi,
ulserasi dan rasa terbakar.1
Beberapa terapi baru yang potensi aladalah:
1. Panjang gelombang ultraviolet A (340-400 nm, UVA1), dapat
membantu mencegah kekambuhan setelah eksisi keloid melalui
kemampuannya untuk mengurangi sel mast.
2. Quercetin, flavonol, telah berhasil ditemukan untuk menghambat
proliferasi dan kontraksi fibroblast dari bekas luka yang berlebihan.
3. Sedangkan Prostaglandin E2 (Dinoprostone) berfungsi untuk
mengembalikan perbaikan lukayang normal.
4. Sebuah sel mast inhibitor ampuh karena sel mast tidak hanya
meningkat pada keloid, tetapi juga memiliki hubungan yang kuat
dengan fibroblast diantara inflamasi dan stabil keloid. Daerah regresi
contral dari keloid tidak memiliki keintiman sel fibroblast-mast.
5. Terapi gen.26
Krioterapi

digunakan

nitroge

liquid

yang

mempengaruhi

mikrovaskularisasi dan menyebabkan kerusakan sel melalui kristal intrasel


yang mengakibatkan anoksia sel. Penggunaan krioterapi tanpa modalitas tanpa

18

modalitas terapi yang lain menghasilkan resolusi tanpa rekurensi pada 51 74%
pasien setelah 30 bulan observasi. Eksisi Rekurensi dapat terjadi sekitar 45100% pada pasien dengan terapi eksisi tanpamodalitas terapi lain seperti
radioterapi atau injeksi kortikosteroid post eksisi.
Terapi laser dapat digunakan laser karbon dioksida, laser argon atau
YAG laser. Dengan laser karbon dioksida, lesi dapat terpotong dan terbakar
dengan trauma jaringan yangminimal.

2.7. Pencegahan
Pencegahan pembentukan keloid merupakan faktor penting yang harus diperhatikan
dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada terhadap faktor resiko keloid, termasuk
riwayat keloid, riwayat keloid dalam keluarga, tension di lokasi trauma dan warna kulit
gelap. Keloid timbul jika sebelumnya terjadi cedera kulit walaupun cedera tersebut ringan
sekali. Keloid juga dapat berasal dari proses inflamasi yang lemah, termasuk akne dan
injeksi. Perhatian khusus harus diberikan ketika mengobati pasien dengan riwayat keloid.
Faktor yang dapat dikelola untuk mencegah terjadinya keloid adalah daya mekanik luka
(stretching tension), pencegahan infeksi luka dan reaksi benda asing.21
Beberapa hal penting untuk mencegah keloid adalah:
1.

Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka

2.

Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat.

3.

Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya gesekan dan garukan)

4.

Gunakan gel sheeting dan plester perekat.

19

5.

Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal ketika tidur,
untuk mencegah gesekan.

6.

Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan pakaian dalam ketat
untuk mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat payudara.

7.

Untuk pasien dengan luka di supra pubik, dianjurkan untuk memakai korset.

8.

Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap bersih
dengan cara melakukan irrigasi dan mengoleskan obat

antibakteri atau

antijamur.
9.

Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka
(termasuk lubang tindik telinga) dengan benda asing.27,21

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Robles, D.T., Berg, D. 2007. Abnormal wound healing: keloids. Clinics in Dermatology
25:26-32.
2. Urioste, S.S., Arndt, K.A., Dover, J.S. 1999. Keloids and hypertrophic scars: Review and
treatment strategies. Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery 18(2):159-71
3. Sjamsoe Daili. E,dkk. 2005. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Jakarta: PT Medical
Multimedia Indonesia.
4. Siregar, RS, Dr. SpKK . 2005. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. EGC.
Jakarta.
5. Moore, KL. 2002. Anataomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates
6. Tedd woods. 2012. www.skinlayer.net/3-layers-of-skin
7. DOLORES WOLFRAM, MD, .2009.Hypertrophic Scars and KeloidsFA Review of Their
Pathophysiology,

Risk

Factors,

and

Therapeutic

Management

www.theaaams.com/wp.../12/Kelloids-rx.pdf
8. Paul

A.K

2004.

Medical

and

surgical

therapies

for

keloids.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
9. Ulrich, D., Ulrich, F., Unglaub, F., Piatkowski, A., Pallua, N. 2010. Matrix
metalloproteinases and tissue inhibitors of metalloproteinases in patients with different
types of scars and keloids. Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic Surgery
63:1015-21
10. Butler, P.D., Longaker, M.T., Yang, G.P. 2008. Current progress in keloid research and
treatment. J Am Coll Surg 206:731-41.

21

11. Steifert, O., Mrowietz, U. 2009. Keloid scarring: bench and bedside. Arch Dermatol Res
301:259-72
12. Harting, M., Hicks, M.J., Levy, M.L. 2008. Dermal hypertrophies. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fizpatricks
Dermatology in General Medicine. 7thed. New York: The McGraw-Hill Companies, 5534
13. Shelley, B.W., Shelley, E.D. 1992. Scar. Dalam: Advanced dermatologic diagnosis. 1st
ed. Philadelphia:WB Saunders Company, 1153-6
14. Lee, S., Yosipovitch, G., Chan, Y., Goh, C. 2004. Pruritus, pain, and small nerve fiber
function in keloids: A controlled study. J Am Acad Dermatol 51:1002-6.
15. Ong, C.T., Khoo, Y.T., Mukhopadhyay, A., Masilamani, J., Do, D.V., Lim, J., dkk. 2010.
Comparative proteomic analysis between normal skin and keloid scar. British Journal of
Dermatology 162:1302-15.
16. Ogawa, R. 2010. The most current algorithms for the treatment and prevention of
hypertrophic scars and keloids. Plast Reconstr Surg 125:557-68.
17. Hochman, B.,

Locali R.F., Matsuoka, P.K., Ferreira, L.M. 2008. Intralesional

Triamcinolone Acetonide for Keloid Treatment:A Systematic Review. Aesth Plast Surg
32:705-9
18. Speranza, G., Sultanem, K., Muanza, T. 2008. Descriptive study of patients receiving
excision and radiotherapy for keloids. Int J Radiation Oncology Biol Phys 71:1465-9
19. Berman, B., Villa A.M., Ramirez, C.C. 2005. Novel opportunities in the treatment and
prevention of scarring. J Cutan Med Surg 32-6

22

20. Cho, S.B., Lee, J.H., Lee, S.H., Lee, S.J., Bang, D., Oh S.H. 2010. Efficacy and safety
of 1064-nm Q-switched Nd:YAG laser with low fluence for keloids and hypertrophic
scars. JEADV24:1070-4
21. Staff pengajar Bagian Ilmu bedah FK UI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Bina
Rupa Aksara.
22. Kelly, A.P. 2009. Update on the management of the keloids. Semin Cutan Med Surg.
28:71-6.
23. Hartyng M, Hicks MJ, Levy ML. Dermal hypertrophies. In: Wolff K, et al, editor.
th

Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7 Edition. New York: Mc. Graw Hill,
2008. h. 553-4
24. Thompson. Lester. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.

23

You might also like