You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran pencernaan


bagian proksimal dari ligamentum Treitz. Manifestasi klinik dari perdarahan saluran
cerna bagian atas pada umumnya terdiri dari hematemesis dan melena. Hematemesis
adalah muntah darah segar atau hitam yang menunjukkan perdarahan dari saluran
cerna bagian proksimal dari ligamentum Treitz. Melena adalah tinja hitam seperti ter
dan berbau khas biasanya akibat perdarahan saluran cerna bagian atas, meskipun
demikian perdarahan dari usus halus atau kolon bagian kanan, juga dapat
menimbulkan melena.1
Insidensi perdarahan akut saluran cerna bagian atas di negara barat mencapai
100 per 100.000 penduduk per tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita dan
meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Di RS Hasan Sadikin Bandung pada
tahun 1996-1998, pasien yang dirawat karena perdarahan saluran cerna bagian atas
sebesar 2,5%-3,5% dari seluruh pasien yang dirawat dibagian penyakit dalam.1
Perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering dilaporkan adalah ruptur
varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma
Mallory-Weiss dan keganasan. Di Indonesia, perdarahan karena ruptur varises
esofagus merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif 25-30%,
tukak peptik 10-15%, dan sebab lainnya < 5%.1,2
Pada tukak peptik terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif/asam
& pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah, PG), bisa faktor agresif
meningkat atau faktor defensif menurun.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan selain muntah darah dan BAB hitam
yaitu demam, nyeri perut, serta nafsu makan menurun. Pemeriksaan fisik dapat
berupa keadaan umum penderita sakit ringan sampai berat, dapat disertai gangguan
kesadaran, adanya tanda-tanda anemia, adanya gejala syok hipovolemik, dapat juga

ditemukan gejala dan tanda dari penyakit yang mendasari seperti tanda-tanda
hipertensi portal dan sirosis hati. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium adanya
penurunan Hemoglobn dan Hematokrit yang tampak setelah beberapa jam,
leukositosis dan trombositosis pada 2-5 jam setelah perdarahan, dan peningkatan
kadar ureum darah setelah 24-48 jam akibat pemecahan protein darah oleh bakteri
usus.2,3
Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan
pada umumnya yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi.
Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan
perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang. Adapun langkah-langkah praktis
pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas, yaitu antara lain : 1) pemeriksaan
awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik, 2) resusitasi, terutama untuk
stabilisasi hemodinamik, 3) melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan lain yang diperlukan, 4) memastikan perdarahan saluran cerna bagian
atas atau bagian bawah, 5) menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan, 6)
terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan,
mencegah perdarahan ulang.2,3
Pengobatan pada penderita perdarahan saluran cerna bagian atas harus sedini
mungkin, tepat, adekuat, dan sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk prognosis yang
lebih baik.3

BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang pasien Tn. B.S, usia 50 tahun, sudah menikah, suku Minahasa,
pekerjaan sebagai seorang petani, beralamat di Malendeng Lingkungan I, Sulawesi
Utara, masuk rumah sakit pada tanggal 14 November 2013, ruangan Irina C-2 kamar
209 dengan keluhan utama muntah hitam.
Muntah hitam dialami penderita sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Muntah sebanyak 2-3 kali dengan volume 100 cc setiap kali muntah. Dua minggu
sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh muntah-muntah sebanyak 1-2 kali
per hari dengan volume 50-100 cc, berisi ampas makanan dan cairan berwarna
bening, tidak didapatkan darah. Nyeri ulu hati ada dan pusing juga dialami penderita
kadang-kadang, terutama ketika berdiri setelah bangun tidur. Tidak didapatkan panas,
nyeri kepala, batuk, sesak. BAB dan BAK biasa.
Riwayat penyakit hipertensi, DM, ginjal, jantung, dan penyakit paru
disangkal. Tidak ada riwayat minum obat-obatan anti nyeri. Hanya penderita yang
sakit seperti ini di keluarga. Riwayat sosial, penderita merokok sejak 30 tahun yang
lalu, 6-8 batang per hari, dan berhenti 2 minggu yang lalu, minum alkohol sudah 30
tahun dan berhenti 2 minggu yang lalu. Riwayat perdarahan sebelumnya tidak ada.
Riwayat pemakaian obat anti inflamasi non-steroid tidak ada. Penderita sering
mengalami pegal linu dan minum jamu-jamuan untuk menghilangkan pegal tersebut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 98 kali per menit,
respirasi 20 kali per menit, suhu 36,30C, berat badan 60 kg, tinggi badan 168 cm,
indeks masa tubuh (IMT) 21,4 kesan normal. Pada pemeriksaan fisik kepala,
didapatkan konjungtiva anemis dan sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan leher,
kelenjar getah bening tidak teraba, jugular venous pressure (JVP) tidak meningkat.
Pada pemeriksaan paru, inspeksi simetris dalam keadaan statis dan dinamis, palpasi

stem fremitus kiri sama dengan kanan, perkusi sonor di kedua lapang paru, dan pada
auskultasi suara pernapasan vesikular, tidak terdapat ronkhi dan wheezing. Pada
pemeriksaan jantung, inspeksi iktus kordis tidak tampak, palpasi iktus kordis tidak
teraba, perkusi batas kanan jantung pada ruang interkosta IV linea sternalis dextra dan
batas kiri jantung pada ruang interkosta V linea midklavikularis, dan pada auskultasi
suara jantung I-II reguler, tidak terdapat gallop dan murmur. Pada pemeriksaan perut,
inspeksi datar, auskultasi bising usus normal, palpasi lemas, terdapat nyeri tekan regio
epigastrium, hepar dan lien tidak teraba, perkusi timpani, tidak terdapat nyeri ketok
CVA. Pada pemeriksaan ekstremitas, akral hangat dan tidak terdapat oedema. Pada
pemeriksaan rectal toucher, tonus sfingter ani cekat, ampula berisi, massa tidak ada,
dan pada sarung tangan didapatkan feses berwarna hitam.
Pemeriksaan penunjang saat masuk rumah sakit pada tanggal 14 November
2013 : Hb 7,2 g/dL, hematokrit 19,4 %, leukosit 5.300 sel/L, eritrosit 2,13x106
sel/L, trombosit 284x103 sel/L, ureum 66 mg/dL, kreatinin 1,1 mg/dL, GDS 122
mg/dL, natrium 138 mEq/L, kalium 3,9 mEq/L, klorida 102 mEq/L. Pada
pemeriksaan urinalisis didapatkan berat jenis 1.015, pH 5.0, tidak terdapat leukosit,
nitrit, protein, darah, eritrosit, keton, glukosa, serta urobilinogen normal. EKG : sinus
takikardi.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,
pasien didiagnosis dengan Hematemesis et causa Suspect Peptic Ulcer Bleeding,
Anemia et causa GIT Bleeding, dan Prerenal Azotemia.
Terapi yang diberikan infus NaCl 0,9% 14 gtt/menit, injeksi omeprazole 40
mg 2x/hari, sukralfat sirup 4 x 2 sendok makan, transfusi PRC 230 cc per hari
sampai Hb 10 mg/dl. Penderita dipuasakan untuk sementara waktu (12-24 jam).
Rencana pemeriksaan IgG anti H. pylori, CT, BT, SGOT, SGPT, protein total, dan
albumin.
Hari pertama perawatan. Keluhan muntah hitam sudah tidak ada, BAB hitam
ada dengan konsistensi lunak, tidak berlendir, berbau busuk menyengat. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 94 kali/menit, respirasi 20 kali/menit,
4

suhu 36,30C. Pada pemeriksaan fisik kepala, didapatkan konjungtiva anemis. Pada
pemeriksaan abdomen, terdapat nyeri tekan epigastrium. Penderita didiagnosis
dengan Hematemesis Melena et causa Suspect Peptic Ulcer Bleeding, Anemia et
causa GIT Bleeding, dan Prerenal Azotemia. Terapi dilanjutkan. DL I dingin.
Rencana pemeriksaan IgG anti H. pylori namun keluarga menolak. Hasil pemeriksaan
laboratorium: CT 7 menit, BT 3 menit, SGOT 21 /L, SGPT 13 /L, protein total 6,8
g/dL, dan albumin 4,2 g/dL.
Hari kedua perawatan. Keluhan muntah hitam sudah tidak ada, BAB hitam
ada dengan konsistensi lunak, tidak berlendir, berbau busuk menyengat. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 22 kali/menit,
suhu 36,20C. Pada pemeriksaan fisik kepala, didapatkan konjungtiva anemis. Pada
pemeriksaan abdomen, sudah tidak terdapat nyeri tekan epigastrium. Penderita
didiagnosis dengan Hematemesis Melena et causa Suspect Peptic Ulcer Bleeding,
Anemia et causa GIT Bleeding, dan Prerenal Azotemia. Terapi lanjut. Transfusi PRC
230 cc bag kedua. DL I dingin.
Hari ketiga perawatan. Keluhan muntah hitam sudah tidak ada, BAB sudah
kuning dengan konsistensi lunak, tidak berlendir, sudah tidak berbau busuk
menyengat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi
18 kali/menit, suhu 36,00C. Pada pemeriksaan fisik kepala, didapatkan konjungtiva
sudah tidak anemis. Pada pemeriksaan abdomen, sudah tidak terdapat nyeri tekan
epigastrium. Penderita didiagnosis dengan Post Hematemesis Melena et causa
Suspect Peptic Ulcer Bleeding, Anemia et causa GIT Bleeding, dan Prerenal
Azotemia. Terapi lanjut. Rencana pemeriksaan kontrol setelah transfusi PRC 230 cc
bag ketiga. DL II. Hasil pemeriksaan kontrol: Hb 10,4 g/dL, leukosit 7.200 sel/L,
eritrosit 4,56x106 sel/L, trombosit 293x103 sel/L, hematokrit 37,4 %, ureum 33
mg/dL, dan kreatinin 0,7 mg/dL.
Hari keempat perawatan. Keluhan tidak ada. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan
5

darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 18 kali/menit, suhu 36,00C.


Penderita didiagnosis dengan Post Hematemesis Melena et causa Suspect Peptic
Ulcer Bleeding. Terapi yang diberikan aff infus, omeprazole 20 mg tablet 2x/hari,
sukralfat sirup 4 x 2 sendok makan, direncanakan untuk dilakukan endoskopi dan
rawat jalan, serta disarankan kontrol di poliklinik gastroenterologi.

BAB III
PEMBAHASAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan


proksimal dari ligamentum Treitz. Manifestasi klinik dari perdarahan saluran cerna
bagian atas pada umumnya terdiri dari hematemesis dan melena. Hematemesis adalah
muntah darah segar atau hitam yang menunjukkan perdarahan dari saluran cerna
bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz. Melena adalah tinja hitam seperti ter
dan berbau khas biasanya akibat perdarahan saluran cerna bagian atas, meskipun
demikian perdarahan dari usus halus atau kolon bagian kanan, juga dapat
menimbulkan melena.1,2
Insidensi perdarahan akut saluran cerna bagian atas di negara barat mencapai
100 per 100.000 penduduk per tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita dan
meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung pada tahun 1996-1998, pasien yang dirawat karena perdarahan saluran cerna
bagian atas sebesar 2,5%-3,5% dari seluruh pasien yang dirawat dibagian penyakit
dalam. Beberapa faktor risiko yang memudahkan terjadinya tukak peptik pada
penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) adalah umur tua (>60 tahun),
riwayat adanya tukak peptik sebelumnya, dispepsia kronik, intoleransi terhadap
penggunaan OAINS sebelumnya, jenis, dosis, dan lamanya penggunaan OAINS,
penggunaan secara bersamaan dengan kortikosteroid, antikoagulan dan penggunaan 2
jenis OAINS bersamaan, serta adanya penyakit penyerta lainnya yang diderita oleh
pemakai OAINS.2,3 Pada kasus ini, pasien adalah seorang laki-laki, usia 50 tahun,
masuk rumah sakit pada dengan keluhan utama muntah hitam.
Perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering dilaporkan adalah ruptur
varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma
Mallory-Weiss, dan keganasan. Di Indonesia, perdarahan karena ruptur varises
esofagus merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif sekitar
25-30%, tukak peptik sekitar 10-15%, dan sebab lainnya < 5%. Mortalitas secara
7

keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%. Kematian pada penderita ruptur varises
bisa mencapai 60% sedangkan kematian pada perdarahan non-varises sekitar 9-12%.
Sebagian besar penderita perdarahan saluran cerna bagian atas meninggal bukan
karena perdarahannya itu sendiri melainkan karena penyakit lain yang ada secara
bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung, penyakit hati
kronis, pneumonia dan sepsis.2,3,4
Pada tukak peptik terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif/asam
& pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah, PG), bisa faktor agresif
meningkat atau faktor defensif menurun.5,6
1.

Faktor-faktor Agresif
a) Helicobacter pylori
Bila

terjadi

infeksi

H.pylori,

host

akan

memberi

respon

untuk

megeliminasi/memusnahkan bakteri ini melalui mobilisasi sel-sel PMN/limfosit yang


menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan mengeluarkan bermacam-macam
mediator inflamasi atau sitokin, seperti interleukin 8, gamma interferon alfa, TNF,
dan lain-lain, yang bersama-sama dengan reaksi imun yang timbul justru akan
menyebabkan kerusakan sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak
berhasil mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik.
Disamping itu, bakteri ini akan melekat pada permukaan epitel di dalam
lambung terutama terkonsentrasi dalam antrum dengan bantuan adhesin sehingga
dapat lebih efektif merusak epitel mukosa gastroduodenal dengan melepaskan
bermacam-macam sitotoksin, seperti vacuolating cytotoxin yang menyebabkan
vakuolisasi sel-sel epitel, cytotoxin associated gen A. Di samping itu, H.pylori juga
melepaskan bermacam-macam enzim yang dapat merusak sel-sel epitel, seperti
urease, protease, lipase, dan fosfolipase.
Urease memecahkan urea dalam lambung menjadi ammonia yang toksik
terhadap sel-sel epitel, sedangkan protease dan fosfolipase A2 menekan sekresi
mucus menyebabkan daya tahan mukosa menurun, merusak lapisan yang kaya lipid
pada apikal sel epitel dan melalui kerusakan sel-sel ini, asam lambung berdifusi balik
menyebabkan nekrosis yang lebih luas sehingga terbentuk tukak peptik.
8

b) Obat antiinflamasi non-steroid


OAINS merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme yakni: topikal dan
sistemik. Kerusakan mukosa secara topikal terjadi karena OAINS bersifat asam dan
lipofilik, sehingga mempermudah trapping ion hydrogen masuk mukosa dan
menimbulkan kerusakan. Efek sistemik OAINS tampaknya lebih penting yaitu
kerusakan mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun. OAINS secara
bermakna menekan prostaglandin. Seperti diketahui prostaglandin merupakan
substansi sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu
dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa
dan ion bikarbonat dan meningkatkan epithelial defense. Aliran darah mukosa yang
menurun menimbulkan adhesi netrolit pada endotel pembuluh darah mukosa dan
memacu lebih jauh proses imunologis. Radikal bebas dan protease yang dilepaskan
akibat proses imunologis tersebut akan merusak mukosa lambung.1,2,3,4,5,6
2.

Faktor-faktor Defensif4,5,6
Ada 3 faktor pertahanan yang berfungsi memelihara daya tahan mukosa

gastroduodenal, yaitu :
a) Faktor preepitel

Mukus dan bikarbonat yang berguna untuk menahan pengaruh asam


lambung/pepsin.

Mucoid cap, yaitu suatu struktur yang terdiri dari mukus dan fibrin, yang
terbentuk sebagai respons terhadap rangsangan inflamasi.

Active surface phospholipid

yang berperan untuk meningkatkan

hidrofobisitas membrane sel dan meningkatkan viskositas mukus.


b) Faktor epitel

Kecepatan perbaikan mukosa yang rusak, dimana terjadi migrasi sel-sel


yang sehat ke daerah yang rusak untuk perbaikan.

Pertahanan seluler, yaitu kemampuan untuk memelihara electrical


gradient dan mencegah pengasaman sel.

Kemampuan transporter asam-basa untuk mengangkut bikarbonat


kedalam lapisan mukus dan jaringan subepitel dan untuk mendorong asam
keluar jaringan.

Faktor pertumbuhan, prostaglandin dan nitrit oksida.

c) Faktor subepitel

Aliran darah (mikrosirkulasi) yang berperan mengangkut nutrisi, oksigen


dan bikarbonat ke epitel sel.

Prostaglandin endogen menekan perlekatan dan ekstravasi leukosit yang


merangsang reaksi inflamasi jaringan.

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan selain muntah darah dan BAB hitam
yaitu demam, nyeri perut, serta nafsu makan menurun. Pemeriksaan fisik dapat
berupa keadaan umum penderita sakit ringan sampai berat, dapat disertai gangguan
kesadaran, adanya tanda-tanda anemia, adanya gejala syok hipovolemik, gejala dan
tanda dari penyakit yang mendasari. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium
adanya penurunan Hb dan Ht yang tampak setelah beberapa jam, leukositosis dan
trombositosis pada 2-5 jam setelah perdarahan, dan peningkatan kadar ureum darah
setelah 24-48 jam akibat pemecahan protein darah oleh bakteri usus.7
Untuk mendiagnosis penyakit ini, pada anamnesis yang perlu ditekankan
adalah 1) sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar,
2) riwayat perdarahan sebelumnya, 3) riwayat perdarahan dalam keluarga, 4) ada
tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain, 5) penggunaan obat-obatan terutama anti
inflamasi non-steroid dan anti koagulan, 6) kebiasaan minum alkohol, 7) mencari
kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam tifoid, gagal
ginjal kronik, DM, hipertensi, alergi obat-obatan, 8) riwayat transfusi sebelumnya.
Pada kasus ini, pasien minum alkohol sudah 30 tahun. Pasien juga sering
mengalami pegal linu dan minum jamu-jamuan untuk menghilangkan pegal tersebut.6
Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan yaitu keadaan umum penderita,
kesadaran, vital sign, tanda-tanda anemia, gejala syok hipovolemik, tanda-tanda
hipertensi portal dan sirosis hati.7,8 Pada kasus ini, vital sign dalam batas normal, pada

10

pemeriksaan fisik kepala didapatkan konjungtiva anemis dan pada pemeriksaan


abdomen terdapat nyeri tekan epigastrium.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu darah lengkap, BUN, kreatinin
serum, dan elektrolit (Na, K, Cl). Pada kasus ini, dari hasil pemeriksaan laboratorium
terdapat penurunan Hb yaitu 7,2 g/dL, penurunan hematokrit yaitu 9,4 %, dan
peningkatan ureum yaitu 66 mg/dL.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,
pasien didiagnosis dengan Hematemesis et causa Suspect Peptic Ulcer Bleeding,
Anemia et causa GIT Bleeding, dan Prerenal Azotemia.
Stabilisasi hemodinamik pada perdarahan saluran cerna meliputi:
a)

Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat obat yang menimbulkan efek sedatif
seperti morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.

b)

Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila perdarahan


berhenti dapat diberikan makanan cair.

c)

Infus cairan langsung dipasang dan diberikan larutan garam fisiologis NaCl 0,9%
selama belum tersedia darah.

d)

Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila perlu
dipasang CVP monitor.

e)

Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk mengikuti


keadaan perdarahan.

f)

Transfusi

darah

diperlukan untuk

mengganti

darah

yang

hilang

dan mempertahankan kadar hemoglobin 50 70% nilai normal.8


Tegaknya diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan langkah terapi
yang akan diambil. Oleh karena itu, pengobatan saluran cerna bagian atas juga terbagi
berdasarkan penyebab kelainan varises dan non-varises.7,8,9
Terapi non-varises yaitu : 1) injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat
pompa proton, 2) sitoprotektor : sukralfat 3-4 x 1 gram atau teprenon 3 x 1 tablet, 3)
antasida, 4) injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis
hati.7,8

11

Pada kasus ini, terapi yang diberikan infus NaCl 0,9% 14 gtt/menit, injeksi
omeprazole 40 mg 2x/hari, sukralfat sirup 4 x 2 sendok makan, transfusi PRC 230 cc
per hari sampai Hb 10 mg/dl. Penderita dipuasakan untuk sementara waktu (12-24
jam). Rencana pemeriksaan IgG anti H. pylori, CT, BT, SGOT, SGPT, protein total,
dan albumin.
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien Hematemesis Melena adalah syok
hipovolemik (kehilangan volume darah sirkulasi sehingga curah jantung dan tekanan
darah menurun), aspirasi pneumonia (infeksi paru yang terjadi akibat cairan yang
masuk saluran napas), anemia karena perdarahan.9
Pengobatan penderita perdarahan saluran cerna bagian atas harus sedini
mungkin dan sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan
yang teliti dan pertolongan yang lebih baik.6,7

BAB IV
12

PENUTUP

Seorang pasien Tn. B.S, usia 50 tahun, menikah, suku Minahasa, pekerjaan
sebagai seorang petani, beralamat di Malendeng Lingkungan I, Sulawesi Utara,
masuk rumah sakit pada tanggal 14 November 2013, ruangan Irina C-2 kamar 209
dengan keluhan utama muntah hitam.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,
pasien didiagnosis dengan Hematemesis et causa Suspect Peptic Ulcer Bleeding,
Anemia et causa GIT Bleeding, dan Prerenal Azotemia.
Terapi yang diberikan infus NaCl 0,9% 14 gtt/menit, injeksi omeprazole 40
mg 2x/hari, sukralfat sirup 4 x 2 sendok makan, transfusi PRC 230 cc per hari
sampai Hb 10 mg/dl. Penderita dipuasakan untuk sementara waktu (12-24 jam).
Rencana pemeriksaan IgG anti H. pylori, CT, BT, SGOT, SGPT, protein total, dan
albumin. Selama empat hari perawatan penderita mengalami perbaikan secara klinis
dan selanjutnya direncanakan endoskopi dan rawat jalan pada poliklinik
gastroenterologi di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Demikianlah telah dilaporkan sebuah laporan kasus seorang penderita
Hematemesis Melena et causa Suspect Peptic Ulcer Bleeding, Anemia et causa GIT
Bleeding, dan Prerenal Azotemia. yang dirawat di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado.

BAB V

13

DAFTAR PUSTAKA

1.

Adi P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi L, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam. FKUI; 2009. Hal

2.

447-452.
Hematemesis Melena. Dalam: Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP,
Mansjoer A. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit

3.

Dalam. FKUI; 2005. 305-306.


Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gatrointestinal. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi L, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam. FKUI; 2009. Hal

4.

441-446.
Rani AA, Fauzi A. Infeksi Helicobacter pylori dan penyakit gastroduodenal.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit

5.

Dalam. FKUI; 2009. Hal 501-508.


Tarigan P. Tukak gaster. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L, Simadibrata
M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat

6.

Penerbit Ilmu Penyakit Dalam. FKUI; 2009. Hal 513-522.


Akil HAM. Tukak duodenum. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat.

7.

Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam. FKUI; 2009. Hal 523-528.
Hematemesis Melena. Diunduh dari :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31735/6/Abstract.pdf. Diakses 2

8.

Januari 2014.
Djumhana HA. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. Diunduh dari :
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran_

9.

cerna_bagian_atas.pdf. Diakses 2 Januari 2014.


Gastrointestinal Bleeding. Diunduh dari :
http://faculty.ksu.edu.sa/KhalidAlswat/Undergraduate/Gastrointestinal_bleeding341_09_off03.pdf. Diakses 2 Januari 2014.
14

15

You might also like