Professional Documents
Culture Documents
http://farensapetanisukses.blogspot.com/2012/02/ciri-ciri-petani-rasional.html
justru
mengemukakan
rasional.
nasibnya,
Artinya,
dengan
mereka
mencari
memilih
peluang-
(agak)
karena
lamban menerima
disebabkan
karena
inovasi,
fatalistik,
itu
tetapi
Popkin
(1979),
mengemukakan
ciri-ciri
usahatani
mencari atau memburu inovasi demi perubahan demi peningkatan produksi dan produktivitasnya serta perbaikan efisiensi
Usahatani komersiil menyukai perubahan, sebab perubahan
bukanlah
ancaman,
melainkan
justru
dinilainya
sebagai
usahatani
komersial
selalu
berusaha
untuk
membutuh-kan
pasar
sebagai
tempat
menjual
input
dibutuhkan,
(sarana
produksi)
serta sebagai
dan
peralatan
sumber informasi/inovasi
yang
yang
komersial
yang
teknologinya
masih
sangat
"usahatani
mandiri
pra
industri"
(pre-industrial
keinginan-keinginan,
dam kemauan
untuk
hidup
yang
lain
dan
tidak
bodoh,
Petani
kepala
sebagai
keluarga
di
manusia,
dalam
umumnya
adalah
tangganya.
Karena
rumah
memperbaiki
keluarganya.
Sehingga, mereka
mencoba setiap
memperbaiki
kehidupan
peluang yang
kehidupan
dan
kesejahteraan
keluarga.
Kalaupun
mereka
Petani
sebagai
manusia,
biasanya
memiliki
ikatan
kekerabat-an serta memegang teguh adat-istiadat masyarakatnya. Dengan demikian, seringkali penyuluhan agak lamban
diterima, karena mereka memang butuh pertimbangan dan
legitimasi dari anggota masyarakatnya.
d) Seperti halnya dengan manusia yang lain, sebenarnya juga
memiliki
tidak
sikap
ada
untuk selalu
satupun
ingin
dengaan
adat
dan
nilai-nilai
yang
diterima
oleh
masyarakatnya.
2)
dari
dalam kegiatan
bertani.
Di antara kebiasaan-kebiasaan itu, ada yang
"baik" atau
yang
pedoman
terbukti
bertani
telah
berupa
memiliki
"pranoto
nilai-nilai
mongso",
keilmiahan
bertani
dan
penerimaan
yang
jumlah
diperolehnya.
dengan
Hal
kemampuannya)
sehingga seringkali
sesuatu
yang
baru
ia
sebelum
diyakini
betul
akan
kepadanya
memang
tidak
selalu
dikajinya
menyalahi
terlebih
dahulu,
kebiasaan-kebiasaannya
mereka,
sebagai
petani
manusia
umumnya
dan
juru
juga
tani,
seorang
pengelola
atau
orang
dengan
itu, selama
proses
penyuluhan, perlu
dipahami bahwa:
a) Sebagai seorang pengelola (tunggal), petani tidak suka
"digurui" orang lain, apalagi digurui oleh orang
luar yang
serta pengetahuan
ditinjau dari
peralatan
baru.
Bahkan, karena
mereka
tidak
mau,
pengetahuan
ketrampilan
untuk
mengerjakannya,
maupun
penerapan
inovasi
dari
musim
menerima
ketidakpastian
sesuatu
inovasi
(terutama
harus
melalui
ketidakpastian
untuk
analisis
yang
pengelolaan
ekonomi
disatu
itu
usahatani
rumah
pihak
seringkali
dan
pengelolaan
tangganya.
Sehingga,
kebutuhan
rumah
tangga,
dan
di
lain
pihak
pengelolaan usahatani tidak selalu efisien (baik dalam penggunaan input terutama tenaga kerja keluarga maupun dalam
hal
tentu
pemberian
juga
akan
upahnya).
Keadaan
sangat
mempengaruhi
seperti
ini,
pengambilan
tenaga
dan mengalokasikan
sebagian
mencuwaktunya
cost) akan
http://chairuelamien.blogspot.com/2011/06/teori-rasionalitas-petani.html
rasional
berasumsi
bahwa
setiap
manusia
pada
dasarnya
rasional
dengan
selalu
mempertimbangkan prinsip efesiensi dan efektrifitas dalam melakukan setiap tindakan. Dengan tetap mengakui
adanya determinan factor solidaritas masyrakat petani yang kuat, subsistensi perekonomia(material)n dan
hubungan produksi masyarakat prakapitalis , namun pengaruh rasionalitas selalu dalam konteks beroperasinya
mekanisme kepentingan rasional individu anggota komunitas.[1]
Alfrad marshall (1842-1924) menyatakan bahwa manusia selalu cenderung memaksimalkan
rasionalitasnya, selalu cendrung menghitung nilai sesuatu (utility) yang hendak dipertukarkan (waters, 1994).
Menurut pareto ( 1848-1923), ada dua bentuk utility, yaitu economic utility dan moral utility (moral). Keduanya,
kata waters (1994), dalam realitasnya acap dikaitkan dengan realitas.[2]
Popkin, dalam bukunya berjudul the rational peasant: the political economi of rural society in Vietnam,
(1979) menyebutkan bahwa semua perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untunk menentang program
Negara, dalam hal ini revolusi hijau, tetapi lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan elit desa (petani
kaya),yang selama ini mengklaim mewakili komunitas tradisional ; padahal lebih untuk mempertahankan
tatanan yang lebih menguntungkan mereka.[3]
Bagi popkin, petani adalah manusia-manusia rasional, kreatif dan juga inggin menjadi orang kaya.
Kesempatan itu terbuka untuk petani dan menurutnya, akan bisa didapatkan seandainya petani memiliki akses
yang lebih leluasa dengan pasar. Namun, persoalannya, petani tidak mempunyai kesempatan sehingga tidak
dapat menjula hasil pertaniannya sendiri kepasar. Mereks mengkalkulasi prospek kembalinya investasi dan
kualitas organisasi dimana mereka memberikan kontribusinya. Bagi popkin, campur tangan organisasi politik di
luar petani merupakan pendorong timbulnya kesadaran petani untuk menjadi political entrepreneur.[4]
Dari hasil penelitian popkin divietnam (1997), antara lain, ditemukan,(1) gerakan yang dilakukan para
petani adalah gerakan anti feudal, bukan gerakan untuk mengembalikan tradisi lama (restorasi), tetapi untuk
membvangun tradisi yang baru; bukan untuk menghancurkan ekonomi pasar, tetapi untuk mengontrol ekonomi
kapitalime, ; (2) tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsistensi dan tindakan kolektif, dan
(3) kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting dari pada isu ancaman kelas. Dengan kata lain, ada
perbedaaan yang jelas antara rasionalitas individu dan rasionalitas kelompok.[5]
Kelompok petani kedua ( di distrik ui chu), justru melakukan perlawanan meskipun mereka tidak
menagalami kerisis jangka pendek, karena berdasarkan perhitungan rasional bahwa perlawanan dinilai sebagai
cara yang efektif dan efesien untuk keluar dari kondisi subsistensinyang membelenggu mereka dan, karena itu,
diantara petani dapat dengan mudah tercapai kesepakatan untuk melakukan gerakan perlawanan bersama
(popkin, 199: 235-240) . dalam konteks ini, nilai kolektifitas dan norma hasil bekerjanya proses tawar-menawar
antar individu yang menjadi anggota komunitas dari pada sebagai bentuk nilai atau norma yang bersifat taken
for granted that norm are malleable, renegotiated , and shiffing in accord with considerations of fower and
strategic intraction among individual (popkin, 1979: 242).[6]
Robert bates (1981), melalui bukunya model penerapan rasional dalam konteks analisis mengenai
peran Negara, mengajukan pertanyaan awal: mengapa intervensi Negara dalam ekonomi Negara-negara di
afrika menimbulkan distorsi pasar. Bagaimana distribusi pasar yang terjadi bisa menimbulkan melemahnya
produksi nasional ? (why should reasonable men adopt public policies that have harmful consequences for the
societies the government ?).[7]
Untuk menjawab pertanyaan itu pertama, bates melihatnya dari dimensi politik. Latar belakang
kebijakan politik yang didugakan memengaruhi terjadinya krisis pertania di afrika. Dengan menggunakan
konsep perilaku birokrasi rasional, bates mengajukan asumsi bahwa para birokrat adalah aktor rasional yang
berusaha memaksimalkan kepentingan mereka sendiri. Sebagai aktor rasional , mereka akan berpikir bahwa
setiap kebijakan yang dikeluarkan akan selalu didasarkan pada kepentingan politik mereka sendiri.disadari betul
bahwa pilihan kebijakan akan menentukan akibat tertentu. Dan, kata bates, inilah yang terjadi di Negara-negara
afrika.[8]
Para aktor kepentingan, masing-masing mempunyai kepentingan yang spesifik; mereka mengetahui
secara persis apa yang menjadi kepentingan mereka sendiri dan kelompok-kelompokkuat dalam masyarakat;
dan mereka yang tidak termasuk dalam koalisi itu tidak dapat berbuat banyak karena tidak mampu menentang
atau memang di tindas.[9]
Focus perhatian bates adalah kebijakan terhadap harga input pertanian dan harga produk pertanian (
baik ekspor maupun pangan). Melalui badan pemasaran ( peninggalan kolonial) Negara mencari keuntungan
besar dengan membeli produk pertanian yang sangat rendah. dari keuntungan ini, dana digunakan untuk
pembangunan industrialisasi dan anggaran belanja Negara. Selain itu, dengan menekan harga produk pertanian
yang murah juga menyenangkan warga kota termasuk menekan buruh industri kota untuk tidak melakukan
tuntutan kenaikan upah. Dengan nilai produk yang tidak menguntungkan, maka petani juga tidak
tertarikmeningkatkan, bahkan cendrung mengurangi produk pertaniannya. Ini menunjukan prilaku ekonomi
petani pun cukup rasional juga.[10]
Popkin dan bates menggunakan pendekatan ekonomi-politik . keduanya secara jelas menyatakan
bahwa biang kladi atas terjadinya perlawanan para petani tradisional datang dari penetrasi kapitalisme ke
kawasan pedesaan yang dalam banyak kasus melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan
tanah, oleh Negara dan kaum kapitalis.[11]
http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2010/12/petani-antara-moral-dan-rasional.html
Menurut Scott: Prinsip norm of reciprocity dan jaminan subsistensi (petani subsisten : menunjuk
pada rumah tangga petani yang mengerjakan suatu lahan kecil untuk dikonsumsi sendiri) minimal
berada pada hubungan social yang pantas, wajar dan adil yang menggambarkan kehidupan ekonomi
petani secara normative. Menurut George Stuart, salah satu pola hubungan itu adalah sikap inti dan
hormat terhadap tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik dan
kegiatan komersil sebagai pekerjaan yang tidak terlalu baik.
Dalam teori ekonomi dualisme Boeke (dua pola ekonomi : tradisional dan modern), menilai bahwa
nilai dan sikap limited needs merupakan prinsip moral yang berlaku umum di kalangan petani
Jawa. Menggarap sawah tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan tetapi
sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Wolf, ada kecenderungan petani akan menghentikan usahanya berproduksi begitu
kebutuhan subsistensinya terpenuhi. Sedangkan, Popkins lebih mengakui adanya rasionalitas petani.
Petani adalah homo oekonomicos yang akan terus berusaha memaksimalkan sumber daya dan
kemakmuran sendiri tanpa memperdulikan moral pedesaan seperti pendapat Scoot. Menurut
Hayami dan Kikuchi, pada masyarakat petani berlaku prinsip moral dan rasional ketika akan mencari
keuntungan.
Ada tiga indicator yang dipakai untuk memahami pola subsistensi petani, yaitu :
1. Sikap atau cara petani memperlakukan factor-faktor produksi yakni tanah dan sumber daya
agraria
2. Besar kecilnya skala usaha petani
3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani
Konsep tentang petani subsisten merupakan kunci utama dalam menganalisis persoalan konflik
agrarian di Indonesia. Asumsi sementara yang akan menjadi alatanalisis memahami fakta sempitnya
skala usaha petani adalah realitas terjadinya proses ketimpangan struktur penguasaan tanah ,
khususnya di Jawa, yang semakin tajam dalam dua dasawarsa (1973-1993). Ketimpangan struktur
penguasaan tanah yang semakin tajam ditunjukan dengan perubahan secara berlanjut yakni semakin
menyempitnya skala usaha tani dan meningkatnya jumlah tunakisma. Menurut Kano ada dua factor
yang menyebabkan adanya perbedaan yang jelas dan menentukan munculnya petani tunakisma di
masyarakat pedesaan Jawa, yaitu factor demografi yakni tingginya man land ratio dan factor
ekonomi yakni komersialisasi pertanian.
Ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi menyebabkan kondisi tidak meratanya tanah yang bisa
diakses petani untuk berproduksi. Kemampuan berproduksi menjadi indicator dari sikap petani yang
lebih mengutamakan kebutuhan konsumsinya sendiri agar terpenuhi dahulu daripada mencari
keuntungan dan surplus yang dapat dihasilkan dari keterbatasan factor produksi yang dimilikinya.
adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah
informal, tersembunyi dan tidak teratur,
Apa penyebab resistensi ? Scott menjelaskan bahwa perubahan lingkungan yang membuat
masyarakat petani melakukan resistensi. Penetrasi kekuatan pemodal yang menyebabkan
transformasi budaya dalam kehidupan desa mendorong para petani melakukan resistensi. Hal
ini menunjukkan bahwa para petani yang digambarkan sebagai pihak yang lemah memiliki
senjata dalam melawan kaum pemodal berupa perusakan, masa bodoh, kejahatan, sabotase
dan sebagainya. Dalam hal ini Scott beranggapan bahwa resistensi didasari moral ekonomi
petani ketika ada suatu aturan yang mengancam kehidupan mereka. Konsep hegemoni
ditunjukkan oleh Scott bahwa pemodal menjepit kehidupan petani .
Scott (1976) mengemukakan bahwa untuk menyelamatkan diri dari struktur kehidupan
mereka, masyarakat petani pedesaan menjalani gaya hidup gotong royong, tolong menolong,
melihat sejumlah persoalan yang dihadapi sebagai persoalan kolektif serta pembagian hasil
sama rata. Intensifikasi pertanian berupa komersialisasi hasil hasil hasil pertanian merupakan
ancaman bagi para petani, ia akan mengakibatkan petani meninggalkan desa dan kemudian
menjadi pengangguran di kota.
Dalam kenyataan sehari-hari apa yang dialami kaum petani sebagaimana digambarkan Scott
juga terjadi di antara warga masyarakat. Situasi perekonomian yang memburuk, PHK
(pemutusan hubungan kerja), tuntutan keluarga, anak sakit sementara masyarakat berdiam
diri.
Tindakan perlawanan terhadap dominasi yang menghimpit dapat dilihat dari penipuan,
penggelapan uang tetangga atau mencuri yang jauh dari prinsip moral mereka. Namun karena
mekanisme sosial dalam menghadapi kondisi sehari-hari yang menghimpit mereka maka
tindakan tersebut berjalan terus. Perlawan sehari-hari juga dapat dilihat dari pemberian nama
ejekan, ngutil, berbohong, sabotase bahkan perlawanan yang tidak dapat dilihat oleh lawan
mereka sendiri seperti bunuh diri[1].
Teori Tindakan Rasional
Teori Scott mendapat kritik keras dari Samuel Popkin (1979) yang mengemukakan bahwa
sistem bagi hasil sama rata pada masyarakat petani lebih disebabkan oleh keengganan
pemilik tanah untuk mebiarkan petani menjual sendiri hasil panennya ke pasar. Popkin dalam
bukunya The Rational Peasant : The Political economy of rural society in Vietnam,
menyebutkan bahwa tindakan menentang atau melakukan perlawanan bukan karena moral
ekonomi untuk mempertahankan komunitas tradisional yang ada.
Petani adalah orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional bahkan bila kesempatan
terbuka maka mereka ingin mendapatkan akses ke pasar. Jadi bertentangan dengan Scott
yang menyebutkan kolonialisme dan kapitalisme merupakan musuh petani karena
mengancam eksistensi komunitas melainkan karena eksistensi ekonomi individual. Pada
prinsipnya petani bersikap mengambil posisi yang menguntungkan dirinya. Intensifikasi dan
komersialisasi pertanian justru berdampak positif daripada negatif. Kalau kemudian petani
meninggalkan desa untuk pergi ke kota, pada dasarnya bukan akibat intensifikasi pertanian,
melainkan karena para petani adalah orang orang rasional. Mereka selaiknya kebanyakan
orang lain dan ingin kaya. Prinsipnya para petani adalah manusia yang penuh perhitungan
untung rugi bukan hanya manusia yang didikat oleh nilai-nilai moral. Bila mereka bereaksi
terhadap faktor-faktor yang menekan mereka maka bukan karena tradisi mereka terancam
oleh ekonomi pasar yang kapitalistik namun karena mereka ingin memperoleh kesempatan
hidup dalam tatanan ekonomi baru ini.
Bagaimana Popkin menerangkan desa para petani sebagai sebuah komunitas tetapi sebuah
korporasi yang melihat adanya hubungan transaksional yang mengarah pada eksploitasi
bukan hubungan paternalistik. Menurut Sairin dkk (2002) ciri-ciri desa masyarakat petani
yang diduga memiliki kehidupan tradisional tersebut adalah :
1. Desa tradisional pajak dibayar kolektif atau ditanggung bersama sebaliknya dalam desa
terbuka maka adanya tanggung jawab pembayaran secara individual.
2. Hubungan dengan pasar terbatas sebaliknya pada desa terbuka kekaburan batas desa dan
dunia luar sangat tipis karena mereka berhubungan dengan pasar setiap hari..
3. Ada larangan kepemilikan tanah bagi orang luar desa sebaliknya pada desa-desa terbuka
bebas larangan kepemilikan pribadi. Privatisasi tanah hak milik dimungkinkan bukan tanah
ulayat.
4. Perasaan sebagai warga desa sangat kuat sebaliknya konsep kewargaan tidak ada.
Namun apakah dalam desa tradisional tersebut berlaku prinsip tatanan moral seperti
dikemukakan Scott. Pertama, Popkin menjelaskan bahwa dalam prakteknya pembayaran
pajak dibayar secara kolektif tersebut terkandung manipulasi. Tidak tertutup kemungkinan
adanya eksploitasi warga kaya pada warga miskin karena mereka memiliki pengaruh atau
kekuasaaan yang lebih tinggi sehingga mereka membayar justru lebih rendah. Kedua
ekonomi pasar bukan sama sekali ancaman bahkan memungkinkan mereka lebih bebas dari
sistem yang ada selama ini. Hubungan patron klien yang terjadi bukan karena tradisi
melindungi yang lemah melainkan suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber
daya murah. Mereka diberi kesempatan untuk hal-hal keci seperti mencari butir-butir padi
yang tersisa agar mereka tidak meinta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Sama sekali
bukan karena belas kasihan. Ketiga kepemilikan lahan lebih kecil artinya daripada akses
ekonomi. Melalui kepemilikan terbatas maka kelompok yang berkuasa membatasi
kepemilikan orang luar desa yang mampu menjadi pesaing. Keempat konsep perasaan
sebagai warga desa akan mendukung eksistensi kelompok atau elit yang berkuasa
memanfaatkan dukungan emosional sehingga status ekonomi mereka terpelihara. Alhasil
Popkin menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional.
Dalam pilihan tindakan secara kolektif , prinsip moral menekankan : (1) Pengorbanan yang
harus dikeluarkan termasuk risikonya, (2) Hasil yang mungkin diterima, bila menguntungkan
maka mereka akan ikut bila tidak mereka bersikap pasif (3) Proses aksi yaitu
dipertimbangkan tingkat keberhasilannya apakah lebih bermanfaat secara kolektif atau tidak,
(4) Kepercayaan pada kemampuan pemimpin atau dapatkah sang pemimpin dipercaya atau
tidak. Dengan demikian aksi-aksi kolektif yang dapat dinilai mendatang keuntungan bagi
mereka saja yang diikuti atau didukung.
Antara Rasionalitas dan Moralitas
Pada dasarnya Scott dan Popkin memiliki kesamaan dalam mencari akar ekpsloitasi di luar
prinsip-prinsip yang sebagaimana diwacanakan oleh Marx. Para pengikut marxis bisa
dasarnya dalam kondisi terbelah ( dual society ) yaitu pada sisi lain mereka mempertahankan
tradisi dan moral lokal atau tradisi kecil (lihat Redfield, 1985) misalnya mereka terlibat dalam
ekonomi subsisten sedangkan pada aspek lain mereka harus terlibat dengan ekonomi
kapitalis. Sehingga tetap saja mereka menetapkan prinsip rasional untuk menerapkan
komersial. Sebaliknya mereka juga mempertahankan simbol simbol atau kepercayaan
meskipun harus mengeluarkan biaya seperti pengajian
Faktor Keputusan Lainnya
Dalam khasanah kebudayaan hubungan manusia tidak hanya bersifat horisontal namun juga
vertikal. Dalam lapangan antropologi agama, peran kepercayaan pada aturan agama diakui
memiliki pengaruh tidak kecil dalam menentukan tindakan manusia. Kita akan mengambil
contoh ekstrim mengenai suatu perjalanan ke suatu tempat bukan semata mata karena
dorongan moral atau ekonomi melainkan prinsip yang transendental (di luar alam) seperti
perjalanan haji. Ritual haji telah berlangsung ribuan tahun bahkan sebelum Nabi Muhammad
lahir karena adanya kepercayaan yang mengharuskan demikian. Sekalipun ada motif-motif
ekonomi atau lainnya namun harus diakui bahwa dasar dorongan untuk berperilaku atau
bertindak demikian adalah adanya kepercayaan pada suatu aturan. Agama atau kepercayaan
yang ada kemudian menentukan adanya prinsip-prinsip moral. Baru kemudian larangan atau
perintah tersebut kemudian dirasionalisasi. Moral dan rasional berada pada tataran horisontal
sementara agama pada tataran vertikal.
Weber merupakan salah satu perintis mengenai masalah kekuatan agama menjadi faktor
penggerak dalam tindakan. Teori Protestantisme Weber menerangkan bahwa keyakinan
agama mendorong kaum Protestan untuk bekerja keras dan bersikap hemat sehingga dapat
menyumbang gereja serta tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Prinsip yang
berawal dari kepercayaan agama ini kemudian mendorong prinsip-prinsip kapitalisme murni
atau kewirausahaan yang bertitik tolak pada optimalisasi modal (kapital). Para peneliti juga
memperluas etos-etos kewirausahaan pada kasus kaum santri pedagang yang berasal dari
Muhammadiyah di Indonesia yang sering disebut Protestantisme Islam.
Para pengkut Sikh menggunakan ikat kepala semacam surban, apakah tindakan mereka
semata-mata didasarkan moral ? Ilustrasi menarik dalam konteks Indonesia, digambarkan
penulis mengenai puasa atau pantang makan minum dalam kurun waktu tertentu yang
dilakukan umat Islam. Mereka berpuasa karena adanya kewajiban agama yang memerintah
demikian bila tidak ada perintah tersebut hal tersebut tidak akan dilaksanakan. Moralitas ini
kemudian dikembangkan untuk menjaga kesopanan dengan tidak makan minum di tempat
umum bagi yang tidak berpuasa termasuk umat Islam yang tidak berpuasa. Bahkan ada yang
tidak beragama Islam juga ikut berpuasa karena menghormati tentu ini bukan masalah
keyakinannya. Rasionalitas berpuasa kemudian diterangkan mengenai manfaatnya bagi
kesehatan serta perasaan untuk merasakan penderitaan orang yang menahan lapar. Artinya
puasa yang dilakukan umat Islam pada bulan Ramadlan bukan karena moral atau rasional tapi
sesuatu yang transenden[2].
Penggunaan moralitas atau rasionalisasi dalam tindakan tidak selalu dibenarkan bahkan
memungkinkan terjadi suatu kondisi yang mempersempit keyakinan manusia sendiri. Namun
perlu juga sikap kritis untuk menganalisa suatu tindakan yang mengatasnamakan kepentingan
agama untuk kepentingan suatu kelompok atau individu. Penguatan tindakan melalui
penerimaan atau penolakan agama sangat kuat dalam masyarakat tradisional maupun modern.
Pada masyarakat tradisional, agama memegang peranan kuat untuk menentukan aksi kolektif
sehingga tindakan dengan mengatasnamakan agama bisa menjadi pembenar. Sebaliknya pada
masyarakat modern suatu aksi untuk menolak tindakan agama juga bisa terjadi, bila
keduanya tidak bisa didamaikan akan timbul konflik. Kondisi yang sekarang terjadi adalah
kekaburan antara keduanya. Bahkan dalam masyarakat modern seperti Amerika Serikat yang
menjunjung demokrasi saja masalah agama yang konon merupakan masalah individu juga
masih diperdebatkan. Seperti halnya ajakan untuk memasuki ekonomi pasar oleh para
pemimpin Amerika ternyata bertentangan dengan kebijakan dalam negeri yang memproteksi
pertanian dalam negeri.
Hal lain yang perlu dikemukakan adalah agama pada dasarnya mengembangkan hubungan
sosial yang tidak terbatas bersifat simbolik (sebagai simbol kepatuhan pada Tuhan) tetapi
manifestasi dalam hubungan kemasyarakatan. Bila tidak akan terjadi penghalusan atau
manipulasi seperti terjadi pemberian zakat dari golongan kaya yang jumlahnya tidak seberapa
dalam pengertian ekonomi tetapi menjadi hubungan simbolik. Hubungan tersebut terbaca
sebagai formalitas kepatuhan pada ajaran agama dan ingat pada tetangganya yang miskin
(Scott dalam Sairin, 2003).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan moral atau rasional merupakan suatu
pilihan yang tidak terlepas dari faktor faktor lingkungan dan sosial budaya. Manusia adalah
mahluk beragam yaitu mahluk pribadi, mahluk sosial dan mahluk bertuhan, masih banyak
sebutan lainnya memiliki penalaran dengan berbagai potensinya. Sebagaimana dapat dilihat
dalam penjabaran tersebut perilaku manusia tersebut berawal dari apa yang dipikirkan dan
diyakini mengenai dunia mereka serta untuk menjelaskan tindakan mereka (Ahimsa-Putra,
2003) Teori-teori di atas dapat membuka wawasan kita mengenai berbagai hal seperti
perlawanan PKL saat dilakukan pembongkaran paksa oleh aparat, perpecahan di antara
kelompok masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Masih banyak lainnya fenomena
yang tidak bisa kita pahami secara sederhana mengenai kesetiakawanan sosial pada suatu
organisasi tanpa melihat faktor rasionalitas, moral atau lainnya secara berimbang. Penjelasan
secara moral saja atau rasional saja ternyata tidak memadai masih terdapat faktor lain di luar
hal tersebut. Kesemua itu juga perlu dikembalikan pada tujuan dasar yang digariskan dalam
ekologi kebudayaan yaitu suatu perilaku adalah upaya menyesuaikan diri agar masalah yang
ada dapat diatasi.
Kepustakaan :
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Sumintarsih, Sarmini, Destha T. Raharjana. (2003), Ekonomi
Moral, Rasional dan Politik : Dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta : Penerbit Kepel.
Mustain. 2007. Petani Vs Negara : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara.
Yogyakarta : Ar Ruzz Media Group.
Sairin, Sjafri, Pujo Semedi, Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Scott, James, C, 2000, Senjatanya Orang orang Yang Kalah : Bentuk Perlawanan Sehari
hari Kaum Tani, diterjemahkan oleh Rachman Zainuddin, Sayogyo dan Mien Joebhaar.
Jakarta : Yayasan Obor.
Popkin, Samuel.L. 1979. The Rational Peasant. Berkeley : University of California Press.
[1] Fenomena bunuh diri sebagai protes sosial atau keputusasaan karena himpitan sosial yang
tidak kunjung mereda pernah ramai dalam mass media terjadi pada tahun 2007. Seorang
penjual bubur ayam yang merasa kehidupannya tidak berarti setelah beberapakali diangkut
petugas trantib akhirnya menggantung diri. Tragedi ini mengingatkan bahwa ada kekosongan
moral dalam masyarakat kita yang lebih suka bermain dengan simbol-simbol kebaikan tapi
kering dimensi sosialnya. Namun demikian, bunuh diri sebagai bentuk moralitas dalam
perspektif budaya di Gunung Kidul juga perlu dicermati. Bunuh diri dianggap sebagai takdir
karena adanya pulung gantung sesuatu yang di luar kekuasaan manusia. Manungsa
sakdermo nglakoni
[2] Kesadaran transenden ini sebenarnya merupakan pertahanan akhir suatu kesadaran
manusia sebagai mahluk sosial. Namun apabila kesadaran ini hanya mampu pada tataran
normatif dan simbolik maka sesungguhnya tujuan agama sendiri tidak bermakna sebagai
ruang sosial manusia. Kondisi inilah yang dikritik dalam pandangan moralis.