You are on page 1of 20

Petani Rasional

http://farensapetanisukses.blogspot.com/2012/02/ciri-ciri-petani-rasional.html

Ciri-ciri petani rasional


Dalam kenyataannya sekarang, usahatani mandiri yang murni
sebagaimana yang digambarkan itu sudah jarang sekali dapat
dijumpai. Yang ada tinggalah berbagai bentuk peralihan dari
usahatani mandiri ke usahatani komersial, yaitu usahatani
yang menjual sebagian atau seluruh produksinya kepada pihak
luar.
Berbeda dengan ciri-ciri petani subsisten seperti yang dikemukakan oleh Scott, Popkin (1961)

justru

mengemukakan

bahwa petani itu (seperti juga anggota masyarakat yang lain)


juga

rasional.

nasibnya,

Artinya,

dengan

mereka

mencari

selalu ingin memperbaiki


dan

memilih

peluang-

peluang yang mungkin dapat dilakukannya.


Kalaupun mereka
bukan-lah

(agak)

karena

lamban menerima

disebabkan

karena

inovasi,

fatalistik,

itu

tetapi

mereka masih dalam taraf penilaian. Tentang hal ini, lebih


lanjut

Popkin

(1979),

mengemukakan

ciri-ciri

usahatani

komersial, sebagai berikut:


(1). Menyukai perubahan
Berbeda dengan usahatani subsisten yang tidak menyukai
inovasi dan atau perubahan, usahatani komersiil justru selalu

mencari atau memburu inovasi demi perubahan demi peningkatan produksi dan produktivitasnya serta perbaikan efisiensi
Usahatani komersiil menyukai perubahan, sebab perubahan
bukanlah

ancaman,

melainkan

justru

dinilainya

sebagai

peluang menuju perbaikan usahatani dan kehidupannya.


(2). Memerlukan pasar
Karena

usahatani

komersial

selalu

berusaha

untuk

meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya, maka mereka


sangat

membutuh-kan

pasar

sebagai

tempat

menjual

(kelebihan) produksi yang tidak habis dikonsumsi sendiri.


Pada perkembangan lebih lanjut, pasar juga diperlukan sebagai
sumber

input

dibutuhkan,

(sarana

produksi)

serta sebagai

dan

peralatan

sumber informasi/inovasi

yang
yang

sangat dibutuhkan bagi perbaikan mana-jemen, perbaikan


teknik berusahatani serta peningkatan efisien usahataninya,
(3). Hubungan Eksploitatif
Berbeda dengan kehidupan masyarakat yang masih subsiten,
hubungan patroon-client antara elit-masyarakat dan warganya,
antara pemilik lahan dan penyakap/penggarap, dan antara
petani pengelola dengan buruh-taninya, dalam masyarakat
yang telah melakukan usahatani komersial sudah tidak dapat
dijumpai lagi.
Yang terjadi hanyalah hubungan bisnis atau untung-rugi atau
bahkan saling mengeksploitasi, demi peningkatan efisiensi dan
pendapatan/ keuntungannya.

Dalam masyarakat petani komersial, masing-masing selalu


saling berusaha memperoleh manfaat setinggi-tingginya dari
setiap korbanan yang dilakukan. Dalam hubungan ini, keharmonisan kehidupan antar warga masyarakat sudah dikalahkan
dengan kepentingan pribadi, dan kesejahteraan hanya dapat
dinikmati dari banyaknya pendapatan/ keuntungan yang dapat
dijadikan alat-tukar atau alat pembelian produk (barang dan
atau hasa) yang menjadi kebutuhan keluarganya.
Usahatani

komersial

yang

teknologinya

masih

sangat

sederhana, belum dapat dikatakan sebagai usahtani yang


"modern." Usahatani yang demikian itu, masih tetap dianggap
sebagai usahatani mandiri dan di dalam klasifikasinya disebut
sebagai

"usahatani

mandiri

pra

industri"

(pre-industrial

subsistence production). Kalaupun di dalam usahatani tersebut


telah terjadi pertukaran, telah diadakan pembagian pekerjaan
dan telah digunakan uang sebagai alat pertukaran, tetapi sikap
dan cara berfikir daripada petaninya sendiri belumlah "market
oriented" (Hadisapoetro, 1970).
Tentang hal ini, Mosher (1967) memberikan gambaran yang
agak luas tentang "petani", yakni:
1) Petani Sebagai Manusia
a) Petani sebagai manusia, ia juga rasional, memiliki harapanharapan,

keinginan-keinginan,

dam kemauan

untuk

hidup

lebih baik. Di samping itu, petani seperti halnya manusia

yang

lain

juga memiliki harga diri

dan

tidak

bodoh,

sehingga memiliki potensi yang dapat dikembangkan guna


memper-baiki kehidupannya.
b)

Petani

kepala

sebagai

keluarga

di

manusia,
dalam

umumnya

adalah

tangganya.

Karena

rumah

itu, sebenarnya tidak ada satupun petani yang tidak selalu


ingin

memperbaiki

keluarganya.

Sehingga, mereka

mencoba setiap
memperbaiki

kehidupan

peluang yang

kehidupan

dan

kesejahteraan

juga mau dan selalu ingin


dapat dilaku-kannya untuk

keluarga.

Kalaupun

mereka

agak lamaban dalam mengikuti penyuluhan, hal itu bukan


karena mereka tidak mau dibantu memperbaiki kehidupannya
sendiri, tetapi mungkin penyuluh belum mampu mengajaknya,
atau belum memahami kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan
oleh petani sasarannya.
c)

Petani

sebagai

manusia,

biasanya

memiliki

ikatan

kekerabat-an serta memegang teguh adat-istiadat masyarakatnya. Dengan demikian, seringkali penyuluhan agak lamban
diterima, karena mereka memang butuh pertimbangan dan
legitimasi dari anggota masyarakatnya.
d) Seperti halnya dengan manusia yang lain, sebenarnya juga
memiliki
tidak

sikap

ada

untuk selalu

satupun

ingin

maju, inova-tif dan

di antara mereka yang tidak ingin

memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan keluarganya sesuai

dengaan

adat

dan

nilai-nilai

yang

diterima

oleh

masyarakatnya.
2)

Petani sebagai jurutani


Petani sebagai jurutani, adalah petani yang melakukan

kegiatan bertani, yang memiliki pengalaman dan telah belajar


dari pengalamannya. Hasil belajarnya itu, tercermin
kebiasaan-kebiasaan yang mereka terapkan

dari

dalam kegiatan

bertani.
Di antara kebiasaan-kebiasaan itu, ada yang

"baik" atau

mendu-kung kegiatan penyuluhan, tetapi ada pula

yang

kurang mendu-kung kelancaran penyuluhan.


Kebiasaan-kebiasaan yang mendukung penyuluhan adalah:
a) Kebiasaan memperhatikan gejala-gejala alam, yang dapat
dijadikan pedoman bertani. Salah satu contoh menarik adalah
adanya
yang

pedoman
terbukti

bertani
telah

berupa

memiliki

"pranoto
nilai-nilai

mongso",
keilmiahan

yang sangat penting untuk ditaati oleh setiap petani di Jawa.


b) Kebiasaan "ingin tahu" atau bertanya "mengapa" tentang
banyak

hal yang berkaitan dengan kegiatannya

bertani

maupun yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari.


Kebiasaan seperti ini, sebenarnya mencerminkan tingginya
aspirasi dan keinginannya untuk dapat mengantisipasi masa
depannya.

c) Kebiasaan untuk menghitung-hitung (menganalisis)


pengeluaran
ini,

dan

penerimaan

yang

menunjukkan bahwa (sesuai

jumlah

diperolehnya.

dengan

Hal

kemampuannya)

mereka memiliki daya analisis yang tinggi, yang sebenarnya


sangat

diperlukan sebelum ia menerima atau menerapkan

inovasi yang ditawarkan penyuluhnya.


d) Kebiasaan untuk "meniru" dan "mencoba" (trial dan error)
tentang segala sesuatu yang dinilainya sebagai peluang baru
yang dapat meningkatkan produksinya. Kebiasaan seperti ini,
sebenarnya mencerminkan sikap inovatif petani.
Sedang kebiasaan-kebiasaan petani yang kurang mendukung
kelancaran penyuluhan adalah:
a) Tidak mudah percaya pada orang lain, terutama orang luar
yang belum dikenalnya.
Hal ini, disebabkan karena sebagai

petani mereka sudah

memiliki pengalaman yang (setidak-tidaknya) telah teruji oleh


waktu,
ma

sehingga seringkali

sesuatu

yang

baru

ia

menjadi lamban meneri-

sebelum

diyakini

betul

akan

memberi-kan perubahan/manfaat seperti yang diinginkan.


b) Memegang teguh adat-istiadat, sehingga setiap inovasi yang
ditawarkan
apakah

kepadanya

memang

tidak

selalu

dikajinya

menyalahi

terlebih

dahulu,

kebiasaan-kebiasaannya

yang dinailai baik itu. Sebab, di dalam kehidupan

mereka,

melakukan sesuatu yang baru yang belum biasa dilakukan

seringkali tidak hanya dinilai sebagai sesuatu penyimpangan,


tetapi bisa dinilainya sebagai "dosa" terhadap masyarakatnya.
3) Petani sebagai pengelola usahatani
Selain

sebagai

petani

manusia

umumnya

dan

juru

juga

tani,

seorang

pengelola

atau

"manajer" dari usahataninya. Hal ini berarti bahwa, petani


adalah

orang

yang memiliki wewenang untuk mengambil

keputusan sendiri tentang usahataani yang dikelolanya, serta


terbiasa mempertanggungjawabkan hasil pengelolaannya itu
kepada keluarga serta masyarakat lingkungannya.
Berkaitan

dengan

itu, selama

proses

penyuluhan, perlu

dipahami bahwa:
a) Sebagai seorang pengelola (tunggal), petani tidak suka
"digurui" orang lain, apalagi digurui oleh orang

luar yang

dinilainya: masih muda, dan belum pernah atau belum cukup


memiliki pengalaman mengelola usahatani seperti yang sudah
(lama) mereka alami itu.
b) Unit usaha yang dilolanya itu relatif kecil, sehingga mereka
termasuk golongan ekonomi lemah. Tidak saja lemah dalam
permodalannya, tetapi juga lemah
yang digunakan

serta pengetahuan

ditinjau dari

peralatan

dan ketrampilan yang

dimilikinya, dan karena itu seringkali pula juga lemah dalam


semangatnya untuk maju. Sehingga tidak mengherankan jika
mereka agak lamban jika didorong untuk mengadopsi inovasi

baru.

Bahkan, karena

mereka

tidak

mau,

seringkali karena merasa tidak memiliki kemampuan, baik:


kemampuan
dan

pengetahuan

ketrampilan

untuk

mengerjakannya,

kemampuan ekonomi untuk membeayai

maupun

penerapan

inovasi

(yang ditawarkan) yang sangat terbatas.


c) Usaha yang dikelolanya itu, usaha yang banyak menghadapi
resiko

dari

musim

dan ketidakpastian harga jual); sehingga

menerima

ketidakpastian

sesuatu

inovasi

(terutama
harus

melalui

ketidakpastian
untuk

analisis

yang

"matang" terlebih dahulu supaya selalu "lolos" dari sekian


banyak ketidakpastian tersebut.
d) Di dalam pengelolaan usahatani, seringkali tidak ada batasan
tentang

pengelolaan

ekonomi
disatu
itu

usahatani

rumah

pihak

seringkali

dan

pengelolaan

tangganya.

Sehingga,

modal usaha yang sudah terbatas

menjadi semakin terbatas lagi karena digunakan untuk

kebutuhan

rumah

tangga,

dan

di

lain

pihak

pengelolaan usahatani tidak selalu efisien (baik dalam penggunaan input terutama tenaga kerja keluarga maupun dalam
hal
tentu

pemberian
juga

akan

upahnya).

Keadaan

sangat

mempengaruhi

seperti

ini,

pengambilan

keputusan untuk menerapkan inovasi.


e) Karena sempitnya usaha, seringkali ia terpaksa
rahkan

tenaga

dan mengalokasikan

sebagian

mencuwaktunya

(seringkali lebih besar) untuk kegiatan non pertanian. Dalam

kasus seperti ini, analisis keunggulan komparatif (comparative


advantage) dan beaya imbangan (opportunity

cost) akan

sangat mempengaruhi tingkat kecepatan penerimaan inovasi.


Dalam sistem usahatani mandiri seperti itu, sama sekali tidak
ada benda atau jasa dari pihak luar yang digunakan; dan
selaras dengan itu pula, seluruh hasil produksinya digunakan
sendiri oleh dan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
sendiri tanpa ada sebagian hasilpun yang dijual. Di sini,
hubungan antara usahatani dengan rumahtangga dan antara
produksi dan konsumsi adalah sangat erat. Usahtani yang
mandiri, sama sekali bebas dan tidak tergantung kepada
pengaruh pihak luar.

http://chairuelamien.blogspot.com/2011/06/teori-rasionalitas-petani.html

Teori Rasionalitas Petani


Teori

rasional

berasumsi

bahwa

setiap

manusia

pada

dasarnya

rasional

dengan

selalu

mempertimbangkan prinsip efesiensi dan efektrifitas dalam melakukan setiap tindakan. Dengan tetap mengakui
adanya determinan factor solidaritas masyrakat petani yang kuat, subsistensi perekonomia(material)n dan
hubungan produksi masyarakat prakapitalis , namun pengaruh rasionalitas selalu dalam konteks beroperasinya
mekanisme kepentingan rasional individu anggota komunitas.[1]
Alfrad marshall (1842-1924) menyatakan bahwa manusia selalu cenderung memaksimalkan
rasionalitasnya, selalu cendrung menghitung nilai sesuatu (utility) yang hendak dipertukarkan (waters, 1994).
Menurut pareto ( 1848-1923), ada dua bentuk utility, yaitu economic utility dan moral utility (moral). Keduanya,
kata waters (1994), dalam realitasnya acap dikaitkan dengan realitas.[2]
Popkin, dalam bukunya berjudul the rational peasant: the political economi of rural society in Vietnam,
(1979) menyebutkan bahwa semua perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untunk menentang program
Negara, dalam hal ini revolusi hijau, tetapi lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan elit desa (petani
kaya),yang selama ini mengklaim mewakili komunitas tradisional ; padahal lebih untuk mempertahankan
tatanan yang lebih menguntungkan mereka.[3]
Bagi popkin, petani adalah manusia-manusia rasional, kreatif dan juga inggin menjadi orang kaya.
Kesempatan itu terbuka untuk petani dan menurutnya, akan bisa didapatkan seandainya petani memiliki akses
yang lebih leluasa dengan pasar. Namun, persoalannya, petani tidak mempunyai kesempatan sehingga tidak
dapat menjula hasil pertaniannya sendiri kepasar. Mereks mengkalkulasi prospek kembalinya investasi dan
kualitas organisasi dimana mereka memberikan kontribusinya. Bagi popkin, campur tangan organisasi politik di
luar petani merupakan pendorong timbulnya kesadaran petani untuk menjadi political entrepreneur.[4]
Dari hasil penelitian popkin divietnam (1997), antara lain, ditemukan,(1) gerakan yang dilakukan para
petani adalah gerakan anti feudal, bukan gerakan untuk mengembalikan tradisi lama (restorasi), tetapi untuk
membvangun tradisi yang baru; bukan untuk menghancurkan ekonomi pasar, tetapi untuk mengontrol ekonomi
kapitalime, ; (2) tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsistensi dan tindakan kolektif, dan
(3) kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting dari pada isu ancaman kelas. Dengan kata lain, ada
perbedaaan yang jelas antara rasionalitas individu dan rasionalitas kelompok.[5]
Kelompok petani kedua ( di distrik ui chu), justru melakukan perlawanan meskipun mereka tidak
menagalami kerisis jangka pendek, karena berdasarkan perhitungan rasional bahwa perlawanan dinilai sebagai
cara yang efektif dan efesien untuk keluar dari kondisi subsistensinyang membelenggu mereka dan, karena itu,
diantara petani dapat dengan mudah tercapai kesepakatan untuk melakukan gerakan perlawanan bersama
(popkin, 199: 235-240) . dalam konteks ini, nilai kolektifitas dan norma hasil bekerjanya proses tawar-menawar
antar individu yang menjadi anggota komunitas dari pada sebagai bentuk nilai atau norma yang bersifat taken
for granted that norm are malleable, renegotiated , and shiffing in accord with considerations of fower and
strategic intraction among individual (popkin, 1979: 242).[6]

Robert bates (1981), melalui bukunya model penerapan rasional dalam konteks analisis mengenai
peran Negara, mengajukan pertanyaan awal: mengapa intervensi Negara dalam ekonomi Negara-negara di
afrika menimbulkan distorsi pasar. Bagaimana distribusi pasar yang terjadi bisa menimbulkan melemahnya
produksi nasional ? (why should reasonable men adopt public policies that have harmful consequences for the
societies the government ?).[7]
Untuk menjawab pertanyaan itu pertama, bates melihatnya dari dimensi politik. Latar belakang
kebijakan politik yang didugakan memengaruhi terjadinya krisis pertania di afrika. Dengan menggunakan
konsep perilaku birokrasi rasional, bates mengajukan asumsi bahwa para birokrat adalah aktor rasional yang
berusaha memaksimalkan kepentingan mereka sendiri. Sebagai aktor rasional , mereka akan berpikir bahwa
setiap kebijakan yang dikeluarkan akan selalu didasarkan pada kepentingan politik mereka sendiri.disadari betul
bahwa pilihan kebijakan akan menentukan akibat tertentu. Dan, kata bates, inilah yang terjadi di Negara-negara
afrika.[8]
Para aktor kepentingan, masing-masing mempunyai kepentingan yang spesifik; mereka mengetahui
secara persis apa yang menjadi kepentingan mereka sendiri dan kelompok-kelompokkuat dalam masyarakat;
dan mereka yang tidak termasuk dalam koalisi itu tidak dapat berbuat banyak karena tidak mampu menentang
atau memang di tindas.[9]
Focus perhatian bates adalah kebijakan terhadap harga input pertanian dan harga produk pertanian (
baik ekspor maupun pangan). Melalui badan pemasaran ( peninggalan kolonial) Negara mencari keuntungan
besar dengan membeli produk pertanian yang sangat rendah. dari keuntungan ini, dana digunakan untuk
pembangunan industrialisasi dan anggaran belanja Negara. Selain itu, dengan menekan harga produk pertanian
yang murah juga menyenangkan warga kota termasuk menekan buruh industri kota untuk tidak melakukan
tuntutan kenaikan upah. Dengan nilai produk yang tidak menguntungkan, maka petani juga tidak
tertarikmeningkatkan, bahkan cendrung mengurangi produk pertaniannya. Ini menunjukan prilaku ekonomi
petani pun cukup rasional juga.[10]
Popkin dan bates menggunakan pendekatan ekonomi-politik . keduanya secara jelas menyatakan
bahwa biang kladi atas terjadinya perlawanan para petani tradisional datang dari penetrasi kapitalisme ke
kawasan pedesaan yang dalam banyak kasus melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan
tanah, oleh Negara dan kaum kapitalis.[11]

http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2010/12/petani-antara-moral-dan-rasional.html

PETANI ANTARA MORAL DAN RASIONAL

Menurut Scott: Prinsip norm of reciprocity dan jaminan subsistensi (petani subsisten : menunjuk
pada rumah tangga petani yang mengerjakan suatu lahan kecil untuk dikonsumsi sendiri) minimal
berada pada hubungan social yang pantas, wajar dan adil yang menggambarkan kehidupan ekonomi
petani secara normative. Menurut George Stuart, salah satu pola hubungan itu adalah sikap inti dan
hormat terhadap tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik dan
kegiatan komersil sebagai pekerjaan yang tidak terlalu baik.
Dalam teori ekonomi dualisme Boeke (dua pola ekonomi : tradisional dan modern), menilai bahwa
nilai dan sikap limited needs merupakan prinsip moral yang berlaku umum di kalangan petani
Jawa. Menggarap sawah tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan tetapi
sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Wolf, ada kecenderungan petani akan menghentikan usahanya berproduksi begitu
kebutuhan subsistensinya terpenuhi. Sedangkan, Popkins lebih mengakui adanya rasionalitas petani.
Petani adalah homo oekonomicos yang akan terus berusaha memaksimalkan sumber daya dan
kemakmuran sendiri tanpa memperdulikan moral pedesaan seperti pendapat Scoot. Menurut
Hayami dan Kikuchi, pada masyarakat petani berlaku prinsip moral dan rasional ketika akan mencari
keuntungan.
Ada tiga indicator yang dipakai untuk memahami pola subsistensi petani, yaitu :
1. Sikap atau cara petani memperlakukan factor-faktor produksi yakni tanah dan sumber daya
agraria
2. Besar kecilnya skala usaha petani
3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani
Konsep tentang petani subsisten merupakan kunci utama dalam menganalisis persoalan konflik
agrarian di Indonesia. Asumsi sementara yang akan menjadi alatanalisis memahami fakta sempitnya
skala usaha petani adalah realitas terjadinya proses ketimpangan struktur penguasaan tanah ,
khususnya di Jawa, yang semakin tajam dalam dua dasawarsa (1973-1993). Ketimpangan struktur
penguasaan tanah yang semakin tajam ditunjukan dengan perubahan secara berlanjut yakni semakin
menyempitnya skala usaha tani dan meningkatnya jumlah tunakisma. Menurut Kano ada dua factor
yang menyebabkan adanya perbedaan yang jelas dan menentukan munculnya petani tunakisma di
masyarakat pedesaan Jawa, yaitu factor demografi yakni tingginya man land ratio dan factor
ekonomi yakni komersialisasi pertanian.
Ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi menyebabkan kondisi tidak meratanya tanah yang bisa
diakses petani untuk berproduksi. Kemampuan berproduksi menjadi indicator dari sikap petani yang

lebih mengutamakan kebutuhan konsumsinya sendiri agar terpenuhi dahulu daripada mencari
keuntungan dan surplus yang dapat dihasilkan dari keterbatasan factor produksi yang dimilikinya.

Oleh : Sudarmawan Juwono


Tindakan manusia dalam teori antropologi yang selama ini dipelajari disebabkan 2 (dua) hal
yaitu rasionalitas dan moralitas. Keduanya didorong faktor-faktor lingkungan menjadi
pemicu tindakan manusia. Persoalannya faktor-faktor apa yang mendasari tindakan tersebut
dan bagaimana pengetahuan tersebut berpengaruh ? Kita tentu tidak asing dengan
pemberitaan masalah perebutan lahan baik berupa tanah seperti terjadi beberapa waktu lalu di
Meruya yang melibatkan sekelompok warga dan perusahaan pengembang. Pemutusan
hubungan kerja pada buruh pabrik. Atau penertiban pedagang kaki lima oleh aparat. Dalam
persoalan tanah Meruya, mass media menyoroti konflik antar kedua pihak tersebut tapi tidak
tertarik menyoroti pihak kedua yaitu individu pelaku penjualan tanah yang merugikan
keduanya. Hal ini menggambarkan bahwa berbagai bentuk persoalan ekonomi maupun
tindakan manusia lainnya tidak terlepas dari peran individu-individu yang menjadi
penggeraknya. Aksi atau reaksi manusia tidak semata-mata bersifat moral namun ada
perhitungan untung rugi masing-masing individunya. Dalam hal ini para antropolog tertarik
untuk memahami ekonomi dalam konteks personal bukan dalam pemahaman kolektif yang
biasa dilakukan para sosiolog. Perspektif antropologi budaya mengeksplorasi suatu sistem
sosial yang dipengaruhi manusia sebagai pribadi (person) dioperasikan dan diwujudkan
dalam aktivitas manusia sehari-hari. Dalam hal ini mereka tidak tertarik pada ide manusia
sebagai organisma atau suatu mesin bukan sebagai pribadi. Karya-karya yang mengacu pada
teori teori tersebut seperti Scott dan Popkin mewarnai dalam antropologi ekonomi sebagai
pendalaman dari antropologi budaya yang dikenal dengan istilah ekonomi personalisme.
Teori-teori ini penting tidak hanya untuk memperhatikan gejala ekonomi (upaya
memaksimalisasi keuntungan dan memperkecil modal atau kerugian) namun juga mengenai
pola pilihan tindakan manusia. Pada sisi lain kita bisa menjelaskan bahwa bentuk aksi atau
reaksi tidak selalu ada dalang atau kekuatan kolektif namun sebagai wujud yang muncul
setiap saat akibat tekanan yang tidak dapat ditanggung lagi.
Teori Tindakan Moral
Dalam sebuah karyanya Scott (1973) The Moral Economy of the Peasant, digambarkan
bahwa kehidupan petani (peasant) adalah masyarakat yang harmoni dan stabil. Komunitas
petani ini adalah suatu kelompok sosial yang memiliki kepentingan untuk menjaga
kelangsungan keterikatan antar individunya. Mereka ini adalah masyarakat yang
mendahulukan selamat .
Suatu pilihan tindakan penolakan dikembangkan lagi oleh James Scott ( 1983 ) dalam
bukunya Weapons of The Weak ; Everyday Forms of Peasant Resistance. Resistensi adalah
semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Para petani melakukan resistensi atau melakukan perlawanan
mempertahankan diri karaena terpaksa untuk mempertahankan hidup. Perjuangan yang
dilakukan para petani ini merupakan perjuangan yang biasa biasa namun dilakukan terus
menerus. Hal yang menarik dari konsep Scott ini adalah resistensi hanya bersifat individual
atau tidak bersifat kolektif. Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan. Pertama,
bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi. Kedua, tujuan resistensi agar ada reaksi
dari pihak yang dilawan. Ketiga, resistensi ini bersifat ideologis atau mengarah pada
resistensi simbolis. Berbeda dengan perjuangan yang bersifat frontal maka resistensi

adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah
informal, tersembunyi dan tidak teratur,
Apa penyebab resistensi ? Scott menjelaskan bahwa perubahan lingkungan yang membuat
masyarakat petani melakukan resistensi. Penetrasi kekuatan pemodal yang menyebabkan
transformasi budaya dalam kehidupan desa mendorong para petani melakukan resistensi. Hal
ini menunjukkan bahwa para petani yang digambarkan sebagai pihak yang lemah memiliki
senjata dalam melawan kaum pemodal berupa perusakan, masa bodoh, kejahatan, sabotase
dan sebagainya. Dalam hal ini Scott beranggapan bahwa resistensi didasari moral ekonomi
petani ketika ada suatu aturan yang mengancam kehidupan mereka. Konsep hegemoni
ditunjukkan oleh Scott bahwa pemodal menjepit kehidupan petani .
Scott (1976) mengemukakan bahwa untuk menyelamatkan diri dari struktur kehidupan
mereka, masyarakat petani pedesaan menjalani gaya hidup gotong royong, tolong menolong,
melihat sejumlah persoalan yang dihadapi sebagai persoalan kolektif serta pembagian hasil
sama rata. Intensifikasi pertanian berupa komersialisasi hasil hasil hasil pertanian merupakan
ancaman bagi para petani, ia akan mengakibatkan petani meninggalkan desa dan kemudian
menjadi pengangguran di kota.
Dalam kenyataan sehari-hari apa yang dialami kaum petani sebagaimana digambarkan Scott
juga terjadi di antara warga masyarakat. Situasi perekonomian yang memburuk, PHK
(pemutusan hubungan kerja), tuntutan keluarga, anak sakit sementara masyarakat berdiam
diri.
Tindakan perlawanan terhadap dominasi yang menghimpit dapat dilihat dari penipuan,
penggelapan uang tetangga atau mencuri yang jauh dari prinsip moral mereka. Namun karena
mekanisme sosial dalam menghadapi kondisi sehari-hari yang menghimpit mereka maka
tindakan tersebut berjalan terus. Perlawan sehari-hari juga dapat dilihat dari pemberian nama
ejekan, ngutil, berbohong, sabotase bahkan perlawanan yang tidak dapat dilihat oleh lawan
mereka sendiri seperti bunuh diri[1].
Teori Tindakan Rasional
Teori Scott mendapat kritik keras dari Samuel Popkin (1979) yang mengemukakan bahwa
sistem bagi hasil sama rata pada masyarakat petani lebih disebabkan oleh keengganan
pemilik tanah untuk mebiarkan petani menjual sendiri hasil panennya ke pasar. Popkin dalam
bukunya The Rational Peasant : The Political economy of rural society in Vietnam,
menyebutkan bahwa tindakan menentang atau melakukan perlawanan bukan karena moral
ekonomi untuk mempertahankan komunitas tradisional yang ada.
Petani adalah orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional bahkan bila kesempatan
terbuka maka mereka ingin mendapatkan akses ke pasar. Jadi bertentangan dengan Scott
yang menyebutkan kolonialisme dan kapitalisme merupakan musuh petani karena
mengancam eksistensi komunitas melainkan karena eksistensi ekonomi individual. Pada
prinsipnya petani bersikap mengambil posisi yang menguntungkan dirinya. Intensifikasi dan
komersialisasi pertanian justru berdampak positif daripada negatif. Kalau kemudian petani
meninggalkan desa untuk pergi ke kota, pada dasarnya bukan akibat intensifikasi pertanian,
melainkan karena para petani adalah orang orang rasional. Mereka selaiknya kebanyakan
orang lain dan ingin kaya. Prinsipnya para petani adalah manusia yang penuh perhitungan
untung rugi bukan hanya manusia yang didikat oleh nilai-nilai moral. Bila mereka bereaksi

terhadap faktor-faktor yang menekan mereka maka bukan karena tradisi mereka terancam
oleh ekonomi pasar yang kapitalistik namun karena mereka ingin memperoleh kesempatan
hidup dalam tatanan ekonomi baru ini.
Bagaimana Popkin menerangkan desa para petani sebagai sebuah komunitas tetapi sebuah
korporasi yang melihat adanya hubungan transaksional yang mengarah pada eksploitasi
bukan hubungan paternalistik. Menurut Sairin dkk (2002) ciri-ciri desa masyarakat petani
yang diduga memiliki kehidupan tradisional tersebut adalah :
1. Desa tradisional pajak dibayar kolektif atau ditanggung bersama sebaliknya dalam desa
terbuka maka adanya tanggung jawab pembayaran secara individual.
2. Hubungan dengan pasar terbatas sebaliknya pada desa terbuka kekaburan batas desa dan
dunia luar sangat tipis karena mereka berhubungan dengan pasar setiap hari..
3. Ada larangan kepemilikan tanah bagi orang luar desa sebaliknya pada desa-desa terbuka
bebas larangan kepemilikan pribadi. Privatisasi tanah hak milik dimungkinkan bukan tanah
ulayat.
4. Perasaan sebagai warga desa sangat kuat sebaliknya konsep kewargaan tidak ada.
Namun apakah dalam desa tradisional tersebut berlaku prinsip tatanan moral seperti
dikemukakan Scott. Pertama, Popkin menjelaskan bahwa dalam prakteknya pembayaran
pajak dibayar secara kolektif tersebut terkandung manipulasi. Tidak tertutup kemungkinan
adanya eksploitasi warga kaya pada warga miskin karena mereka memiliki pengaruh atau
kekuasaaan yang lebih tinggi sehingga mereka membayar justru lebih rendah. Kedua
ekonomi pasar bukan sama sekali ancaman bahkan memungkinkan mereka lebih bebas dari
sistem yang ada selama ini. Hubungan patron klien yang terjadi bukan karena tradisi
melindungi yang lemah melainkan suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber
daya murah. Mereka diberi kesempatan untuk hal-hal keci seperti mencari butir-butir padi
yang tersisa agar mereka tidak meinta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Sama sekali
bukan karena belas kasihan. Ketiga kepemilikan lahan lebih kecil artinya daripada akses
ekonomi. Melalui kepemilikan terbatas maka kelompok yang berkuasa membatasi
kepemilikan orang luar desa yang mampu menjadi pesaing. Keempat konsep perasaan
sebagai warga desa akan mendukung eksistensi kelompok atau elit yang berkuasa
memanfaatkan dukungan emosional sehingga status ekonomi mereka terpelihara. Alhasil
Popkin menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional.
Dalam pilihan tindakan secara kolektif , prinsip moral menekankan : (1) Pengorbanan yang
harus dikeluarkan termasuk risikonya, (2) Hasil yang mungkin diterima, bila menguntungkan
maka mereka akan ikut bila tidak mereka bersikap pasif (3) Proses aksi yaitu
dipertimbangkan tingkat keberhasilannya apakah lebih bermanfaat secara kolektif atau tidak,
(4) Kepercayaan pada kemampuan pemimpin atau dapatkah sang pemimpin dipercaya atau
tidak. Dengan demikian aksi-aksi kolektif yang dapat dinilai mendatang keuntungan bagi
mereka saja yang diikuti atau didukung.
Antara Rasionalitas dan Moralitas
Pada dasarnya Scott dan Popkin memiliki kesamaan dalam mencari akar ekpsloitasi di luar
prinsip-prinsip yang sebagaimana diwacanakan oleh Marx. Para pengikut marxis bisa

menyuarakan eksploitasi adalah suatu pertentangan kelas (suatu pertentangan yang


terorganisasi oleh kesadaran kelas) namun keduanya mampu menyuguhkan pertentangan
yang muncul dari kehidupan sehari-hari. Para petani diam-diam menaikkan upah atau mogok
tanpa membentuk serikat pekerja. Dalam studi Scott, para petani harus berhadapan dengan
para pemodal yang demikian mudah merebut tanah mereka sementara mereka saling
mencakar sendiri atau mencari selamat sendiri-sendiri. Di mata golongan kaya, keberadaan
golongan miskin adalah pengganggu yang baru berhenti setelah semua tetangga menjadi
miskin (Sairin, 2003).
Pandangan moral Scott dikritik oleh Popkin yang menjelaskan bahwa yang dilawan petani
bukan masalah revolusi hijau tapi kekuasaan para pemodal atau petani kaya. Dikemukakan
Popkin bahwa petani melawan bukan karena moral ekonomi tapi suatu kesadaran rasional
untuk bertahan.Sikap ini sama dengan para pemodal yang mengharapkan keuntungan lebih
banyak.
Sedangkan apa yang dilawan dalam resistensi ? Resistensi menurut Scott dan Popkin adalah
perlawanan terhadap suatu system proses produksi yang menghimpit . Jika Scott
menggunakan istilah hegemoni maka system yang dilawan orang orang yang lemah tersebut
adalah suatu mode of production. Proses eksploitasi terhadap petani petani tersebut
melahirkan resistensi. Dalam perkembangan perkotaan kita bisa banyak melihat pola pola
resistensi seperti pedagang kaki lima yang dikejar kejar aparat pemerintah namun kemudian
kembali berdagang bila para pengejarnya sudah pergi. Pandangan Scott bahwa moral
ekonomi dan Popkin bahwa resistensi dilahirkan kesadaran memilih tindakan yang terbaik.
Bertitik tolak dari perbedaan pendapat itu, Hayami dan Kikuchi ( 1981 : 19-24 ) misalnya,
mengaku tidak menolak pendekatan moral ekonomik Scott, tetapi juga tidak tidak menentang
pendekatan rational peasant Popkin. Melalui pengamatan terhadap desa desa di Filipina dan
Indonesia, hayami dan Kikuchi berpendapat bahwa kecenderungan masyarakat petani pada
dasarnya adalah saling tolong menolong dan hak untuk hidup pada aras subsistens, tetapi
mereka juga menganut pemikiran rational peasant. Seorang petani pemilik tanah yang
rasional tentu kan lebih suka memperkerjakan tetangganya sendiri dengan dasar
pertimbangan hubungan tolong menolong dan patron client, daripada mengambil buruh tani
di pasar bebas. Akan tetapi, tidak berarti bahwa seorang pemilik tanah akan selalu tunduk
kepada norma dan moral pedesaan. Semua tergantung pada situasi dan kondisi pada masa dan
tempat tertentu.
Kedua pendekatan tersebut cukup aplikatif untuk diterapkan pada kasus kampung kota
yang masih memiliki ciri-ciri masyarakat rural maupun urban. Namun dalam mempelajari
sistem keruangan kampung pada dasarnya juga berkait erat dengan pranata pranata sosial
budaya. Harus disadari bahwa warga kampung pada dasarnya sebagian terdiri dari warga atau
kelompok masyarakat yang telah tinggal di tempat tersebut dalam jangka waktu lama
dikendalikan ruang tersebut, mereka juga diikat oleh tradisi dan perasaan. Ruang dan
tradisi serta perasaan terkait dengan indvidu maupun komunitasnya. Mereka tinggal bukan
semata mata mencari keuntungan tetapi untuk mencukupi kebutuhan keluarga pada aras
subsisten (ekonomi pada aras mempertahankan kebutuhan dasar).
Pandangan ini senada dengan Boeke (1974) bahwa perkembangan masyarakat lebih bersifat
sosial daripada ekonomi. Boeke memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat petani sebagai
limited needs atau oriental mitcism yakni suatu sikap merasa puas, tenteram, damai tanpa
harus memaksakan keingina lebih daripada yang mereka miliki, Warga kampung pada

dasarnya dalam kondisi terbelah ( dual society ) yaitu pada sisi lain mereka mempertahankan
tradisi dan moral lokal atau tradisi kecil (lihat Redfield, 1985) misalnya mereka terlibat dalam
ekonomi subsisten sedangkan pada aspek lain mereka harus terlibat dengan ekonomi
kapitalis. Sehingga tetap saja mereka menetapkan prinsip rasional untuk menerapkan
komersial. Sebaliknya mereka juga mempertahankan simbol simbol atau kepercayaan
meskipun harus mengeluarkan biaya seperti pengajian
Faktor Keputusan Lainnya
Dalam khasanah kebudayaan hubungan manusia tidak hanya bersifat horisontal namun juga
vertikal. Dalam lapangan antropologi agama, peran kepercayaan pada aturan agama diakui
memiliki pengaruh tidak kecil dalam menentukan tindakan manusia. Kita akan mengambil
contoh ekstrim mengenai suatu perjalanan ke suatu tempat bukan semata mata karena
dorongan moral atau ekonomi melainkan prinsip yang transendental (di luar alam) seperti
perjalanan haji. Ritual haji telah berlangsung ribuan tahun bahkan sebelum Nabi Muhammad
lahir karena adanya kepercayaan yang mengharuskan demikian. Sekalipun ada motif-motif
ekonomi atau lainnya namun harus diakui bahwa dasar dorongan untuk berperilaku atau
bertindak demikian adalah adanya kepercayaan pada suatu aturan. Agama atau kepercayaan
yang ada kemudian menentukan adanya prinsip-prinsip moral. Baru kemudian larangan atau
perintah tersebut kemudian dirasionalisasi. Moral dan rasional berada pada tataran horisontal
sementara agama pada tataran vertikal.
Weber merupakan salah satu perintis mengenai masalah kekuatan agama menjadi faktor
penggerak dalam tindakan. Teori Protestantisme Weber menerangkan bahwa keyakinan
agama mendorong kaum Protestan untuk bekerja keras dan bersikap hemat sehingga dapat
menyumbang gereja serta tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Prinsip yang
berawal dari kepercayaan agama ini kemudian mendorong prinsip-prinsip kapitalisme murni
atau kewirausahaan yang bertitik tolak pada optimalisasi modal (kapital). Para peneliti juga
memperluas etos-etos kewirausahaan pada kasus kaum santri pedagang yang berasal dari
Muhammadiyah di Indonesia yang sering disebut Protestantisme Islam.
Para pengkut Sikh menggunakan ikat kepala semacam surban, apakah tindakan mereka
semata-mata didasarkan moral ? Ilustrasi menarik dalam konteks Indonesia, digambarkan
penulis mengenai puasa atau pantang makan minum dalam kurun waktu tertentu yang
dilakukan umat Islam. Mereka berpuasa karena adanya kewajiban agama yang memerintah
demikian bila tidak ada perintah tersebut hal tersebut tidak akan dilaksanakan. Moralitas ini
kemudian dikembangkan untuk menjaga kesopanan dengan tidak makan minum di tempat
umum bagi yang tidak berpuasa termasuk umat Islam yang tidak berpuasa. Bahkan ada yang
tidak beragama Islam juga ikut berpuasa karena menghormati tentu ini bukan masalah
keyakinannya. Rasionalitas berpuasa kemudian diterangkan mengenai manfaatnya bagi
kesehatan serta perasaan untuk merasakan penderitaan orang yang menahan lapar. Artinya
puasa yang dilakukan umat Islam pada bulan Ramadlan bukan karena moral atau rasional tapi
sesuatu yang transenden[2].
Penggunaan moralitas atau rasionalisasi dalam tindakan tidak selalu dibenarkan bahkan
memungkinkan terjadi suatu kondisi yang mempersempit keyakinan manusia sendiri. Namun
perlu juga sikap kritis untuk menganalisa suatu tindakan yang mengatasnamakan kepentingan
agama untuk kepentingan suatu kelompok atau individu. Penguatan tindakan melalui
penerimaan atau penolakan agama sangat kuat dalam masyarakat tradisional maupun modern.
Pada masyarakat tradisional, agama memegang peranan kuat untuk menentukan aksi kolektif

sehingga tindakan dengan mengatasnamakan agama bisa menjadi pembenar. Sebaliknya pada
masyarakat modern suatu aksi untuk menolak tindakan agama juga bisa terjadi, bila
keduanya tidak bisa didamaikan akan timbul konflik. Kondisi yang sekarang terjadi adalah
kekaburan antara keduanya. Bahkan dalam masyarakat modern seperti Amerika Serikat yang
menjunjung demokrasi saja masalah agama yang konon merupakan masalah individu juga
masih diperdebatkan. Seperti halnya ajakan untuk memasuki ekonomi pasar oleh para
pemimpin Amerika ternyata bertentangan dengan kebijakan dalam negeri yang memproteksi
pertanian dalam negeri.
Hal lain yang perlu dikemukakan adalah agama pada dasarnya mengembangkan hubungan
sosial yang tidak terbatas bersifat simbolik (sebagai simbol kepatuhan pada Tuhan) tetapi
manifestasi dalam hubungan kemasyarakatan. Bila tidak akan terjadi penghalusan atau
manipulasi seperti terjadi pemberian zakat dari golongan kaya yang jumlahnya tidak seberapa
dalam pengertian ekonomi tetapi menjadi hubungan simbolik. Hubungan tersebut terbaca
sebagai formalitas kepatuhan pada ajaran agama dan ingat pada tetangganya yang miskin
(Scott dalam Sairin, 2003).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan moral atau rasional merupakan suatu
pilihan yang tidak terlepas dari faktor faktor lingkungan dan sosial budaya. Manusia adalah
mahluk beragam yaitu mahluk pribadi, mahluk sosial dan mahluk bertuhan, masih banyak
sebutan lainnya memiliki penalaran dengan berbagai potensinya. Sebagaimana dapat dilihat
dalam penjabaran tersebut perilaku manusia tersebut berawal dari apa yang dipikirkan dan
diyakini mengenai dunia mereka serta untuk menjelaskan tindakan mereka (Ahimsa-Putra,
2003) Teori-teori di atas dapat membuka wawasan kita mengenai berbagai hal seperti
perlawanan PKL saat dilakukan pembongkaran paksa oleh aparat, perpecahan di antara
kelompok masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Masih banyak lainnya fenomena
yang tidak bisa kita pahami secara sederhana mengenai kesetiakawanan sosial pada suatu
organisasi tanpa melihat faktor rasionalitas, moral atau lainnya secara berimbang. Penjelasan
secara moral saja atau rasional saja ternyata tidak memadai masih terdapat faktor lain di luar
hal tersebut. Kesemua itu juga perlu dikembalikan pada tujuan dasar yang digariskan dalam
ekologi kebudayaan yaitu suatu perilaku adalah upaya menyesuaikan diri agar masalah yang
ada dapat diatasi.
Kepustakaan :
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Sumintarsih, Sarmini, Destha T. Raharjana. (2003), Ekonomi
Moral, Rasional dan Politik : Dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta : Penerbit Kepel.
Mustain. 2007. Petani Vs Negara : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara.
Yogyakarta : Ar Ruzz Media Group.
Sairin, Sjafri, Pujo Semedi, Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Scott, James, C, 2000, Senjatanya Orang orang Yang Kalah : Bentuk Perlawanan Sehari
hari Kaum Tani, diterjemahkan oleh Rachman Zainuddin, Sayogyo dan Mien Joebhaar.
Jakarta : Yayasan Obor.

Popkin, Samuel.L. 1979. The Rational Peasant. Berkeley : University of California Press.

[1] Fenomena bunuh diri sebagai protes sosial atau keputusasaan karena himpitan sosial yang
tidak kunjung mereda pernah ramai dalam mass media terjadi pada tahun 2007. Seorang
penjual bubur ayam yang merasa kehidupannya tidak berarti setelah beberapakali diangkut
petugas trantib akhirnya menggantung diri. Tragedi ini mengingatkan bahwa ada kekosongan
moral dalam masyarakat kita yang lebih suka bermain dengan simbol-simbol kebaikan tapi
kering dimensi sosialnya. Namun demikian, bunuh diri sebagai bentuk moralitas dalam
perspektif budaya di Gunung Kidul juga perlu dicermati. Bunuh diri dianggap sebagai takdir
karena adanya pulung gantung sesuatu yang di luar kekuasaan manusia. Manungsa
sakdermo nglakoni
[2] Kesadaran transenden ini sebenarnya merupakan pertahanan akhir suatu kesadaran
manusia sebagai mahluk sosial. Namun apabila kesadaran ini hanya mampu pada tataran
normatif dan simbolik maka sesungguhnya tujuan agama sendiri tidak bermakna sebagai
ruang sosial manusia. Kondisi inilah yang dikritik dalam pandangan moralis.

You might also like