You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lupus Eritematosus sistemik atau Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) adalah penyakit radang multi sistem yang sebabnya belum diketahui,
dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan ekuaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam auto
antibodi dalam tubuh. (http://www.medicastore.com : 2004)
SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem. Berbeda
dengan penyakit autoimun organ spesifik (misalnya diabetes mellitus tipe 1,
miastenia gravis, penyakit graver, dsb) dimana suatu respon autoimun
tunggal

mempunyai

sasaran

terhadap

suatu

jaringan

tertentu

dan

menimbulkan gejala klinis yang karakteristik, SLE ditandai oleh munculnya


sekumpulan reaksi imun abnormal yang menghasilkan beragam manifestasi
klinis.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan dalam melawan infeksi. Pada penyakit lupus dan penyakit auto
imun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana
antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri.
Lupus bisa berdampak pada semua organ tubuh dari kulit, paru-paru,
jantung, ginjal, saraf, otak maupun sendi dan menimbulkan kematian. Lupus
bisa mengenal siapa saja dari berbagai usia dan kalangan. Bahkan lupus sama
bahayanya dengan kanker, jantung maupun AIDS.
Penyakit lupus memang belum sepopuler penyakit jantung, kanker,
dan lainnya. Padahal penderita lupus di Indonesia ini cukup banyak dan
semakin meningkat. Hingga kini, lupus memang belum diketahui secara pasti
penyebabnya.
Selain itu, lupus sering disebut sebagai penyakit 1000 wajah karena
penyakit ini menyerupai penyakit lain. Sayangnya, bagi masyarakat penyakit
lupus ini masih sangat awam.

1.2. Rumusan Masalah


a. Anatomi dan fisiologi sistem yang berkaitan dengan SLE
b. Apakah yang dimaksud dengan SLE ?
c. Bagaimanakah tanda dan gejala SLE ?
d. Bagaimana patofisiologi SLE ?

1.3. Tujuan
a. Agar kita mengetahui apa itu SLE
b. Agar kita mengetahui tanda dan gejala SLE
c. Agar kita mengethaui patofisiologi dari SLE
d. Agar kita mengetahui rumusan asuhan keperawatan dari SLE

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Organ


Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem
pertahanan

manusia

sebagai

perlindungan

terhadap

infeksi

dari

makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri,


protozoa dan parasit.
Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda
yang semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit
penyakit seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh
adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk
melakukan proses penyembuhan.
Organ Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid) :
Berdasarkan fungsinya :
1. Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel
imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum tulang.
2. Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa,
the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated
Lymphoid Tissue), tonsil.

2.2. Defenisi
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang
disebabkan

oleh

banyak

faktor

(Isenberg

and

Horsfall,1998)

dan

dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa


peningkatan sistem
berlebihan

imun

dan

produksi

autoantibodi

yang

(Albar, 2003).

Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam


ribonukleoprotein

intraseluler,

sel-sel

darah,

dan

fosfolipid

dapat

menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme


pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit


auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah,
merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah,
leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan
bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

2.3. Klasisifikasi SLE


Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu
discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh
obat.

Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas
eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia.
Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan
dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).

Systemic Lupus Erythematosus


SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

Lupus yang diinduksi oleh obat


Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya
pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh
sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh

membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang


benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

2.4. Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk
menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik,
kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap
ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang
terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun
perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita
saat ini masih dalam kajian. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE)
bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi
gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap
penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka
kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada
saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan
HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV
yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga
menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di
tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh

membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda


asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts)
yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel
limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002).
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada
sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral
sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu
terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

2.5. Patofis (Patofisiologis)

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat

tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa


preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau
beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan
induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang
berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga
termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam
infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut
partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka
tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi
ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat
berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan
kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake kompleks imun pada limpa.
Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks
imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap
pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ

tersebut.

Peristiwa

ini

menyebabkan

aktivasi

komplemen

yang

menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah


yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme

regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada


individu yang resisten.

2.6. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE
adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia,
dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling
sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki
(Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus
pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini
dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari
dapat

timbul

ruam

kulit

yang

terjadi

karena

hipersensitivitas

(photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% 20% pasien SLE.


Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis

eritema periungual, livido

retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).


Gejala SLE pada jantung

sering ditandai adanya perikarditis,

miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk


gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan
hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga
dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente,
2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang
meliputi pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam,
sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai
angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE.
Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah

mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi
usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer
berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara
(Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif,
psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat
inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien
dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik.
Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan
terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada

5%

pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan


jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila
hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2
minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan

antibodi

antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu


tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk
memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin
(aCL) dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL
adalah trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang
berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai
dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka dapat terjadi
perdarahan.
Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan
(VIII, IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan
darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005). Pada wanita
dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan
mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal
setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau
kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia

atau hipertensi

yang

disebabkan

kehamilan

juga

dapat

memperparah

penyakitnya

(Delafuente, 2002). Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari
tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada
pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat
dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I
(normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal
proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous
glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami
progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus
nefritis terutama ras Afrika Amerika dapat terjadi peningkatan serum
kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi,
dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).
Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh American
College of Rheumatology yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas
kriteria tersebut antara lain:

Ruam malar

Ruam discoid

Fotosensitivitas (sensitivitas pada cahaya)

Ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring

Artritis

Serositis (radang membran serosa), yaitu pleuritis (radang pleura) atau


perikarditis (radang perikardium)

Kelainan ginjal, yaitu proteinuria (adanya protein pada urin) persisten


>0.5 gr/hari

Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang

Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau leucopenia

Kelainan imunologik, yaitu ditemukan adanya sel LE positif atau anti


DNA positif

Adanya antibodi antinuklear.


Selain itu, gejala atau tanda lainnya yang sering ditemukan antara lain

penurunan berat badan, demam, dan kelainan tulang seperti pada arthritis.

2.7. Komplikasi

Vaskulitis : kondisi peradangan pembuluh darah yang ditandai dengan


kematian jaringan, jaringan parut, dan proliferasi dari dinding pembuluh
darah, yang dapat mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah.

Perikarditis : suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada


perikardium (kantung berlapis ganda yang mengelilingi jantung).

Myocarditis : peradangan pada otot jantung atau miokardium.

Anemia Hemolitik : kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada


eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk
menggantinya kembali.

Intra Vaskuler Trombosis

Hypertensi

Kerusakan Ginjal Permanen

Gangguan Pertumbuhan

2.8. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


Untuk mengeahui pasien SLE dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang dan diagnostik berikut:

Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)


Pemeriksaan untuk menentukan apakah auto antibodi terhadap
inti sel sering muncul di dalam darah.

Pemeriksaan anti ds DNA (Anti double stranded DNA)


Untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap
materi genetik di dalamsel.

Pemeriksaan anti-Sm antibody


Untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein
yang ditemukan dalam sel proin inti)

Pemeriksaan

untuk

mendeteksi

keberadaan

immune

complexes

(kekebalan ) di dalam darah.

Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement


(kelompok protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan)

Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)

Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang


dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain.
Pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaa
ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit
lupus dibandingkan dengan LE cell prep.

Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit

Urine Rutin

Antibodi Antiphospholipid

Biopsy Kulit

Biopsy Ginjal

2.9. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


2.9.1. Medis
Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai
bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus (abses kulit ).
Obat antimalaria untuk gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik
ringan SLE
Kortikosteroid, jika membaik dilakukan tapering off.
AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai dua minggu sebelum TP).
Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan
setiap 3 minggu.

2.9.2. Keperawatan
Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian
besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang
diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak,
dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen
makanan dan obat tradisional.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi
oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun
dan produksi

autoantibodi yang berlebihan. Klasifikasi SLE ada 3 yaitu Discoid

Lupus, Systemic Lupus Erythematosus, Lupus yang diinduksi oleh obat.


SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, Manifestasi klinik
secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise,
demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.Diagnosis SLE
dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah.
Tidak ada satu tes laboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE.
Pengobatan

yang digunakan pada SLE adalahNonsteroidal anti-inflammatory

drugs (NSAIDs), Corticosteroids dan lain-lain yang dapat mendukung pengobatan


penyakit SLE.

2. Saran
Sebagai seorang calon perawat kita diaharapkan mampu memberikan
asuhan keperawatan terhadap penderita SLE sesuai dengan standar prosedur.

DAFTAR PUSTAKA

Nursing Interventions Classification (NIC) : Fifth Edition. Missouri : Mosby


Elsevier.
Nursing Outcomes Classification (NOC) : Fourth Edition.Missouri : Mosby
Elsevier.
Reeves, Charlere J. 2001.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:Salemba Medika
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.
Wiley, John dan Sons Ltd. 2009. NANDA International : 2009-2011. United
Kingdom : Markono Print Media.
http://id.scribd.com/doc/89493724/Patofisiologi-Lupus diakses pada tanggal 27
desember 2014 14.30
ttp://www.medicastore.com : 2004 pada tanggal 26 desember 2014 18.27

You might also like