Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
setelah
persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi. Eklampsia adalah
timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang disini
bukan akibat kelainan neurologis3.
Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak
lama dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982;
McKay1972)5.
Sindrom HELLP merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL
untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis sindrom
HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya; kelihatannya
merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan
aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya
kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder dari obstruksi
aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid. Trombositopeni dikaitkan dengan
peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit1.
Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan apus darah tepi,
total bilirubin > 1,2 mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Peningkatan fungsi
hati, serum aspartat amino transferase (AST) > 70 U/L, laktat dehidrogenase (LDH) >
600 U/L. Jumlahtrombosit < 100.000/ml.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Preeklamsia-Eklampsia
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi
Preeklampsia merupakan suatu kondisi pada kehamilan yang ditandai dengan
adanya disfungsi plasenta dan respon maternal berupa inflamasi sistemik dengan aktivasi
endothelium dan koagulasi. Namun, secara klinis preeklampsi merupakan kumpulan
gejala atau sindroma yang mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20
minggu dengan tanda utama berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Adapun klasifikasi
hipertensi dalam kehamilan yang dipakai di Indonesia adalah6 :
1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan
20 minggu dan menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
3. Eklampsia adalah preeclampsia yang disertai dengan adanya kejang dan/
koma.
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia adalah hipertensi kronik
yang disertai dengan tanda-tanda preeclampsia atau proteinuria.
5. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai dengan proteinuria dan menghilang 12 minggu pascapersalinan atau
kehamilan dengan tanda-tanda preeclampsia tetapi tanpa proteinuria.
2.1.2
Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilam adalah sebagai
berikut6 :
1. Primigravida dan primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya kehamialan multiple, diabetes militus, bayi besar
3. Usia diatas 35 tahun
4. Riwayat preeclampsia / eklamsia pada keluarga
5. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas
Angka kejadian preeklamsi pada nulipara lebih tinggi daripada multipara.
Pada penelitian yang lain disebutkan bahwa wanita nullipara berisiko lima hingga
sepuluh kali lipat lebih tinggi untuk menderita preeklamsi dibandingkan dengan
wanita multipara5.
3
2.1.3
Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui pasti. Teori yang
dewasa ini dapat dikemukakan sebagai penyebab preeclampsia ialah iskemia plasenta,
yaitu pembulu darah yang mengalami dilatasi hanya arteri spirales di decidua, sedangkan
pembuluh darah di myometrium yaitu arteri spirales dan arteria basalis tidak melebar.
Pada preeklampsia invasi sel-sel thropoblast ini tidak terjadi sehingga torus pembuluh
darah tetap tinggi dan seolah-olah terjadi vasokonstriksi5,8.
Hipotesa faktor-faktor etiologi preeclampsia dapat diklasifikasikan menjadi 4
kelompok, yaitu : genetic, imunologik, gizi dan infeksi serta infeksi antara faktor-faktor
tersebut.
Banyak teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan. Oleh karena itu, preeklamsia sering disebut sebagai the disease of theory.
Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut5 :
a. Peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan ganda,
b.
c.
d.
e.
etiologi, maupun intervensi yang terbaik untuk preeklamsi, tetapi konsensus yang
ada untuk preeklamsi masih kurang9. Sejumlah teori mengenai
mekanisme
preeklamsi masih digambarkan sebagai sebuah disease of theories 11. Dari banyak teori
yang telah dikemukakan, tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak
benar. Teori-teori tersebut di antaranya adalah (1) teori iskemia 10 plasenta, radikal
bebas, dan disfungsi endotel, (2) teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin,
(3) teori kelainan pada vaskularisasi plasenta, (4) teori adaptasi kardiovaskular, (5)
teori inflamasi, (6) teori defisiensi gizi, dan (7) teori genetik12.
Salah satu teori etiologi preeklamsi yang saat ini cukup banyak dianut
adalah yaitu teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Teori ini
mengatakan adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem
pertahanan antioksidan akibat iskemik plasenta, sehingga terjadi stress oksidatif dan
peningkatan lipid peroksidasi berperan peranan penting didalamnya.
Pada kehamilan normal, setelah terjadi implantasi maka diikuti oleh proses invasi
tropoblas pada awal perkembangan plasenta. Invasi tropoblas terjadi melalui dua
mekanisme, yaitu invasi sitotropoblas ke dalam endometrium sampai sepertiga
miometrium, dan invasi endovaskular ke dalam arteri spiralis. Sel-sel ekstravilous
tropoblas yang infiltrasi dinding pembuluh darah akan menggantikan sel-sel endotel dan
otot polos dinding arteri, sehingga arteri spiralis akan kehilangan tonusnya, dilatasi
dan lumennya menjadi lebih lebar sehingga aliran darah ke plasenta dan janin
meningkat. Proses invasi gelombang pertama berlangsung hingga umur kehamilan
10-12 minggu, kemudian disusul dengan invasi tropoblas gelombang kedua pada
umur kehamilan 14-16 minggu hingga maksimal umur kehamilan 20 minggu. Proses
invasi yang baik akan menjamin aliran darah yang baik menuju plasenta9,12,14.
Pada preeklamsi terjadi kegagalan invasi tropoblas ekstravilus ke dalam
lumen arteri spiralis, sehingga aliran darah ke plasenta terganggu dan menyebabkan
terjadinya
kondisi
hipoksia-reoksigenasi
tropoblas
9,12,14
penting dalam patogenesis preeklamsi yang berujung pada gangguan fungsi endotel
dan pada akhirnya menimbulkan sindroma preeklamsi, walaupun peranannya belum
sepenuhnya dapat diuraikan15.
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel di atas telah didukung
oleh banyak peneliti yang menganggap preeklamsi sebagai salah satu penyakit
respon
resistensinya terhadap
agen-agen
endothelial,
preeklamsi
dan
di
atas
peningkatan
dimiliki
produksi fibronektin
juga
oleh sejumlah
selular.
Semua
kelainan
medis
wanita
Diagnosis
Kriteria diagnosis preeklamsi yang digunakan adalah menurut National High
Penatalaksanaan
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah:
1. Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma
pada ibu maupun janin
2. Kelahiran bayi yang dapat bertahan
3. Pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Penanganan preeklamsia berat terdiri dari penanganan aktif dan penanganan
ekspektatif. Wanita hamil dengan preeklamsia berat umumnya dilakukan persalinan tanpa
ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada
wanita dengan preeklamsia berat mulai berubah. Pendekatan ini mengedepankan
penatalaksanaan
ekspektatif
pada
beberapa
kelompok
wanita
dengan
tujuan
meningkatkan luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu17.
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan preeklamsia
antara lain
a. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc
MgSO4 20% secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian
dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer
laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan
dengan beberapa syarat, yaitu:
a) Refleks patella normal
b) Frekuensi respirasi >16x per menit
c) Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5
cc/kgBB/jam
d) Disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai
antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda
intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut diberikan
dalam tiga menit.
b. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan
antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika
tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan
interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan
darah pada preeklamsia tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol
tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat
8
dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya
dengan efektifitas yang cukup baik.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia
kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien
dengan preeklamsia. Preeklamsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh
kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin penderita preeklamsia berada
dalam keadaan stres sehingga mengalami percepatan pematangan paru. Akan
tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan pematangan paru pada
penderita preeklamsia. Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi
surfaktan dirangsang oleh adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi
dalam kehamilan yang berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan
Chiswick (1976) dan Morrison (1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi
pada penderita hipertensi dalam kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu,
Owen dkk (1990) menyimpulkan bahwa komplikasi kehamilan terutama
hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan keuntungan terhadap kelangsungan
hidup janin. Banias dkk dan Bowen dkk juga melaporkan terjadi peningkatan
insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari ibu yang
menderita hipertensi dalam kehamilan.
Kemudian Rick dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien dengan PEB
selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/spingomyelin (L/S) menunjukkan
ketidakmatangan
paru.
Banyak
peneliti
lain
yang
juga
meneliti
efektifitas
Sebagai perbandingan,
12
dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi, diagnosis sindrom ini
sering terlambat. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi19.
Sindrom HELLP
Pre eklamsi
Multipara
Nullipara
jelek
Diabetes Melitus
Hipertensi Kronik
Kehamilan multipel
Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih
tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom
HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi
kulit putih dan multipara19.
2.2.3
penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan
koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini
kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme,
aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis
yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas19.
13
Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang
endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi ditemukan
spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells19.
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah
hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan
pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau
ruptur hati.
Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang
paling sering ditemukan. Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian
dan/atau destruksi trombosit19.
Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari
disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti
waktu prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen
normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III,
fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, 2 antiplasmin, plasminogen, prekallikrein,
dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin. Sibai
dkk. mendefinisikan DIC dengan adanya trombositopeni, kadar fibrinogen rendah
(fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan fibrin split product > 40 g/ml2. Semua pasien
sindrom HELLP mungkin mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak
terdeteksi19.
2.2.4
Manifestasi Klinis
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat
bervariasi, dari yang bernilai diagnostic sampai semua gejala dan tanda pada pasien
preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP19.
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri
epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah
(50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai
riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain. Dalam laporan
14
Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi
aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler19.
Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang
bermakna dengan udem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat
(sistolik 160 mmHg, diastolic 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari
112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolic 110
mmHg, 14,5% bertekanan darah diastolic 90 mmHg19.
Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien, kurang dari setengah (13
pasien) mempunyai tekanan darah saat masuk rumah sakit 160/110 mmHg. Jadi sindrom
HELLP dapat timbul dengan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai
diagnosis, dan dapat diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan seperti
apendisitis, gastroenteritis, glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus 19.
2.2.5
Diagnosis
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar
15
2.2.6
Diagnosis Banding
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat
bervariasi, yang tidak bernilai diagnostic pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi
salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan. Diagnosis
banding pasien sindrom HELLP meliputi19 :
a) Perlemakan hati akut dalam kehamilan ( acute fatty liver of pregnancy )
b) Apendistis
c) Gastroenteritis
d) Kolesistitis
e) Batu ginjal
f) Pielonefritis
g) Ulkus peptikum
h) Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
i) Trombositipeni purpura trombotik
j) Sindrom hemolitik uremia
k) Ensefalopati dengan berbagai etiologi
l) Sistemik lupus eritematosus (SLE)
2.2.7
Klasifikasi
16
DIC,
dibandingkan
dengan
wanita
dengan
sindrom
HELLP parsial.
2.2.8
Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan
pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama
adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah19.
a. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu
(stabilisasi kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrorm HELLP
dengan umur kehamilan 35 minggu).
1. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
a) Jika ada DIC, atasi koagulopati
b) Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c) Terapi hipertensi berat
17
19
jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri
epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti
hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang
mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan
partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu
persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien
< 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks
belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara
terbaik. Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis kecil meperidin iv
(25-50 mg) intermiten. Anestesi local infiltrasi dapat digunakan untuk semua persalinan
pervaginam. Anestesi blok pudendal atau epidural merupakan kontraindikasi karena
risiko perdarahan di area ini. Anestesi umum merupakan metode terpilih pada seksio
sesarea20.
Pasien dengan nyeri bahu, syok, asites masif atau efusi pleura harus di USG
atau CT scan hepar untuk evaluasi adanya hematom subkapsular hati. Ruptur hematom
subkapsular hati merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Yang paling sering adalah
ruptur lobus kanan didahului oleh hematom parenkim. Kondisi ini biasanya ditandai
dengan nyeri epigastrium hebat yang berlangsung beberapa jam sebelum kolaps sirkulasi.
Pasien sering merasakan nyeri bahu, syok, atau asites yang masif, kesulitan bernafas atau
efusi pleura dan biasanya dengan janin yang sudah meninggal20.
Ruptur hematom subkapsuler hati yang berakibat syok, memerlukan pembedahan
emergensi dan melibatkan multidisiplin. Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah
masif, koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP) dan trombosit serta laparatomi
segera. Pilihan tindakan pada laparatomi meliputi : packing & draining, ligasi segmen
yang mengalami perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen hati yang terkena
dan atau penjahitan omentum atau penjahitan hati. Walaupun dengan penanganan tepat,
kematian ibu dan bayi lebih dari 50% terutama karena eksanguinisasi dan pembekuan.
Risiko berikutnya adalah sindrom gangguan pernafasan, udem paru, dan gagal ginjal akut
pasca operasi20.
Pembedahan direkomendasikan untuk perdarahan hati tanpa ruptur; namun
pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa komplikasi ini dapat ditangani secara
20
konservatif pada pasien yang hemodinamiknya masih stabil. Penanganan harus meliputi :
pemantauan ketat keadaan hemodinamik dan koagulopati. Diperlukan pemeriksaan serial
USG atau CT scan terhadap hematoma subkapsuler, penanganan segera bila terjadi
rupture atau keadaan ibu memburuk. Yang terpenting dalam penanganan konservatif
adalah menghindari trauma luar terhadap hati seperti : palpasi abdomen, kejang atau
muntah dan hati-hati dalam transportasi pasien. Peningkatan tekanan intraabdominal yang
tiba-tiba berpotensi menyebabkan rupture hematom subkapsular20.
Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan pemantauan ketat
terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru dan atau
kelainan respiratorik. Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah
persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena
pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien
harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama
48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau
bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk
beberapa hari20.
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam
penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95pasien (31%) hanya bermanifestasi saat
postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari,
sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita
preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik
antepartum maupun postpartum20.
Penanganannya sama dengan pasien sindrom HELLP anteparturn, termasuk
profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat20.
2.2.9
Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress syndrome,
kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan rupture hati20.
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi
intrauterin, dan premature.
21
22
BAB III
SIMPULAN
Sindrom HELLP merupakan preeklamsia-eklampsia yang disertai timbulnya
hemolysis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopenia. Dimana
sindrom HELLP : H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk
Low Platelet.
Faktor resiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi. Dimana pasien
sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan
pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden
sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.
Diagnosis sindrom HELLP dengan kriteria diangnosis berupa hemolisis (kelainan
apusan darah tepi, total bilirubin > 1,2 mg/dl dan laktat dehidrogenase (LDH) > 600
U/L), Peningkatan fungsi hati (serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L, laktat
dehidrogenase (LDH) > 600 U/L) dan Jumlah trombosit yang rendah (Hitung trombosit <
100.000/mm).
Sindrom HELLP dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah kelaianan yang ada
(sindrom HELLP parsial dan sindrom HELLP total) dan berdasarkan jumlah trombosit.
Penatalaksanaan penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan
pembekuan darah.
DAFTAR PUSTAKA
23
1. T. Gupta, Gupta N, dkk. 2013. Maternal And Perinatal Outcome In Patients With
Severe Preeclampsia/ Eclampsia With And Without Hellp Syndrome. Journal of
Universal College of Medical Sciences Vol.1 No.04
2. Depkes RI. 2001. Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2001. Jakarta:
Departement Kesehatan RI.
3. Oka, A.J., Surya, I.G.P. 2004. Profil Penderita Hipertensi dalam Kehamilan di
RSUP Sanglah Denpasar Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2003. (Penelitian 67
Deskriptif) Program Pendidikan Dokter Spesialis I lab/SMF Obstetri dan
Ginekologi FK UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar : Universitas Udayana.
4. Sudarmayasa, I.M., Surya, I.G.P. 2006. Profil Penderita Hipertensi dalam
Kehamilan di RSUP Snaglah Denpasar Periode 1 Januari 2004-31 Desember
2005. (tesis) Program Pendidikan Dokter Spesialis I lab/SMF Obstetri dan
Ginekologi FK UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar : Universitas Udayana.
5. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 2. Jakarta :
EGC. 2005
6. Angsar MD. hipertensi dalam kehamilan, Ilmu kebidanan sarwono Prawiroharjo edisi
keempat. Jakarta : yayasan bina pustaka sarwono Prawiroharj, 2010
7. Lockwood, C.J., Paidas, M.J. 2000. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. In:
Complication of Pregnancy fifth ed. Baltimore : Lippincott Wiliams and Wilkins. P.
214-215
8. Fernando arias, Practical Guide to High Risk Pregnency and Delivery, 2 nd edition, St.
Louis Missori, USA, 1993 : 100-10, 213-233
9. Gupta, S., Aziz, N., Sekhon, L., Agarwal, R., Mansour, G., Li, J., Agarwal, A.
2009. Lipid Peroxidation and Antioxidant Status in Preeclampsia, A Systematic
Review. Obstetrical and Gynecological Survey, 64(11):750-759.
10. Habli, M., Sibai, B.M. 2008. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: Danforths
obstetrics and gynecology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2008: 258-266
11. Reynolds, C., Mabie, W.C., Sibai, B.M. 2003. Hipertensive States of Pregnancy. In :
Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment, 9 th Ed. New Delhi : Mc
Graw Hill. p. 338-9
12. Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo. Edisi
ke-4.
Jakarta
PT Bina
Pustaka
Sarwono
14. Toescu, V., Nuttall, S.L., Martin, U., Kendall, M.J., Dunne, F. 2002. Oxidative
Stress and Normal Pregnancy. Clinical Endocrinology, 57:609 13
15. Cindrova-Davies, T. 2009. Gabor Than Award Lecture 2008: Pre-eclampsia
from Placental Oxidative Stress to Maternal Endothelial Dysfunction. Placenta,
23: S55-65
16. National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP). 2000. Symposium for
preeclampsia and gestational hypertention. Australian and New Zealand Journal
of Obstetrics and Gynaecology, 40:1338.
17. Mochtar R. 1998. BAB 33. Toxemia Gravidarum dalam Sinopsis Obstetri : Obstetri
Fisiologi Obstetri Patologi . Jilid I Jakarta : EGC, pp 198-204
18. Rachma N. 2008. Eklampsia : Preventif dan Rehabilitasi medic Pre dan Post Partum.
In Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta: FKUNS, pp. 99
19. Jason, K Baxter, Louis W. CME Review Article. Dari : http://www.anestesinorr.se.
Download tanggal 9 agustus 2014.
20. Wounstra DM. Corticosteroid for HELLP. Dari : http://apps.who.int/rhl Download
tanggal 9 agustus 2014
25