You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan merupakan bagian dari proses fisiologi reproduksi manusia, yang


dalam perjalanannya dapat menjadi patologis. Salah satu keadaan patologis dalam
kehamilan adalah preeklamsi. Preeklamsi ini memiliki pengaruh atau akibat yang serius,
hingga dapat menimbulkan kematian bagi ibu maupun janinnya. Preeklampsia sampai
sekarang masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan anak di
seluruh dunia. Preeklampsia adalah salah satu dari 3 penyebab kematian utama ibu
disamping perdarahan dan infeksi.
Di seluruh dunia, preeklamsi diperkirakan mengenai sekitar 5-14% dari seluruh
kehamilan. Preeklampsi dilaporkan 4-18% terjadi di Negara-negara berkembang, dengan
gangguan hipertensi yang menjadi penyebab kedua yang paling umum pada gangguan
kehamilan, lahir mati dan kematian neonatal dini. Preeklamsia ringan 75% dan
preeclampsia berat 25% dari kasus 1. Di Indonesia, angka kejadian preeklamsi berkisar
antara 2,1-8,5% dan kelainan ini masih merupakan penyebab kematian ibu nomor dua
tertinggi (24%), setelah pendarahan2. Untuk angka kejadian di RSUP Sanglah Denpasar,
periode 2002-2003 dilaporkan kejadian preeklamsi sebesar 5,83% 3, pada periode
2004-2005 sebesar 6,06% 4, sementara pada periode 2009-2010, dilaporkan sebesar
7,31%4.
Preeklampsia-Eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara langsung
disebabkan oleh kehamilan. Pre-eklampsia adalah hipertensi disertai proteinuri dan
edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera

setelah

persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi. Eklampsia adalah
timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang disini
bukan akibat kelainan neurologis3.

Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak
lama dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982;
McKay1972)5.
Sindrom HELLP merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL
untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis sindrom
HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya; kelihatannya
merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan
aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya
kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder dari obstruksi
aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid. Trombositopeni dikaitkan dengan
peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit1.
Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan apus darah tepi,
total bilirubin > 1,2 mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Peningkatan fungsi
hati, serum aspartat amino transferase (AST) > 70 U/L, laktat dehidrogenase (LDH) >
600 U/L. Jumlahtrombosit < 100.000/ml.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Preeklamsia-Eklampsia
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi
Preeklampsia merupakan suatu kondisi pada kehamilan yang ditandai dengan
adanya disfungsi plasenta dan respon maternal berupa inflamasi sistemik dengan aktivasi
endothelium dan koagulasi. Namun, secara klinis preeklampsi merupakan kumpulan
gejala atau sindroma yang mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20
minggu dengan tanda utama berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Adapun klasifikasi
hipertensi dalam kehamilan yang dipakai di Indonesia adalah6 :
1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan
20 minggu dan menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
3. Eklampsia adalah preeclampsia yang disertai dengan adanya kejang dan/
koma.
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia adalah hipertensi kronik
yang disertai dengan tanda-tanda preeclampsia atau proteinuria.
5. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai dengan proteinuria dan menghilang 12 minggu pascapersalinan atau
kehamilan dengan tanda-tanda preeclampsia tetapi tanpa proteinuria.
2.1.2

Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilam adalah sebagai

berikut6 :
1. Primigravida dan primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya kehamialan multiple, diabetes militus, bayi besar
3. Usia diatas 35 tahun
4. Riwayat preeclampsia / eklamsia pada keluarga
5. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas
Angka kejadian preeklamsi pada nulipara lebih tinggi daripada multipara.
Pada penelitian yang lain disebutkan bahwa wanita nullipara berisiko lima hingga
sepuluh kali lipat lebih tinggi untuk menderita preeklamsi dibandingkan dengan
wanita multipara5.
3

2.1.3

Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui pasti. Teori yang

dewasa ini dapat dikemukakan sebagai penyebab preeclampsia ialah iskemia plasenta,
yaitu pembulu darah yang mengalami dilatasi hanya arteri spirales di decidua, sedangkan
pembuluh darah di myometrium yaitu arteri spirales dan arteria basalis tidak melebar.
Pada preeklampsia invasi sel-sel thropoblast ini tidak terjadi sehingga torus pembuluh
darah tetap tinggi dan seolah-olah terjadi vasokonstriksi5,8.
Hipotesa faktor-faktor etiologi preeclampsia dapat diklasifikasikan menjadi 4
kelompok, yaitu : genetic, imunologik, gizi dan infeksi serta infeksi antara faktor-faktor
tersebut.
Banyak teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan. Oleh karena itu, preeklamsia sering disebut sebagai the disease of theory.
Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut5 :
a. Peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan ganda,
b.
c.
d.
e.

hidramnion, dan mola hidatidosa.


Peningkatan angka kejadian preeklamsia seiring bertambahnya usia kehamilan.
Perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam uterus.
Penurunan angka kejadian preeklamsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
Mekanisme terjadinya tanda-tanda preeklamsia, seperti hipertensi, edema,

proteinuria, kejang dan koma.


f. Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklamsia hingga saat
ini, yaitu:
1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri
spiralis sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang
dapat berkembang menjadi iskemia plasenta

Gambar 1. Etiologi preeklamsia menurut teori iskemik plasenta

2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).


3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis
oleh sel-sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantarai
oleh peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan radikal bebas.
4. Genetik.
Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Namun,
banyak faktor yang menyebabkan preeklamsia dan di antara faktor-faktor
yan ditemukan tersebut seringkali sukar ditentukan apakah faktor
2.1.4

penyebab atau merupakan akibat11.


Patogenesis
Berbagai penelitian pada preeklamsi telah dilakukan untuk mencari faktor risiko,

etiologi, maupun intervensi yang terbaik untuk preeklamsi, tetapi konsensus yang
ada untuk preeklamsi masih kurang9. Sejumlah teori mengenai

mekanisme

etiopatofisiologi preeklapmsia telah banyak didiskusikan, tetapi teori-teori etiologi dan


patogenesis tersebut masih belum dapat dibuktikan secara pasti 10. Karena itulah
5

preeklamsi masih digambarkan sebagai sebuah disease of theories 11. Dari banyak teori
yang telah dikemukakan, tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak
benar. Teori-teori tersebut di antaranya adalah (1) teori iskemia 10 plasenta, radikal
bebas, dan disfungsi endotel, (2) teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin,
(3) teori kelainan pada vaskularisasi plasenta, (4) teori adaptasi kardiovaskular, (5)
teori inflamasi, (6) teori defisiensi gizi, dan (7) teori genetik12.
Salah satu teori etiologi preeklamsi yang saat ini cukup banyak dianut
adalah yaitu teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Teori ini
mengatakan adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem
pertahanan antioksidan akibat iskemik plasenta, sehingga terjadi stress oksidatif dan
peningkatan lipid peroksidasi berperan peranan penting didalamnya.
Pada kehamilan normal, setelah terjadi implantasi maka diikuti oleh proses invasi
tropoblas pada awal perkembangan plasenta. Invasi tropoblas terjadi melalui dua
mekanisme, yaitu invasi sitotropoblas ke dalam endometrium sampai sepertiga
miometrium, dan invasi endovaskular ke dalam arteri spiralis. Sel-sel ekstravilous
tropoblas yang infiltrasi dinding pembuluh darah akan menggantikan sel-sel endotel dan
otot polos dinding arteri, sehingga arteri spiralis akan kehilangan tonusnya, dilatasi
dan lumennya menjadi lebih lebar sehingga aliran darah ke plasenta dan janin
meningkat. Proses invasi gelombang pertama berlangsung hingga umur kehamilan
10-12 minggu, kemudian disusul dengan invasi tropoblas gelombang kedua pada
umur kehamilan 14-16 minggu hingga maksimal umur kehamilan 20 minggu. Proses
invasi yang baik akan menjamin aliran darah yang baik menuju plasenta9,12,14.
Pada preeklamsi terjadi kegagalan invasi tropoblas ekstravilus ke dalam
lumen arteri spiralis, sehingga aliran darah ke plasenta terganggu dan menyebabkan
terjadinya

kondisi

hipoksia-reoksigenasi

tropoblas

yang mengakibatkan produksi

radikal bebas berlebihan dan penurunan kadar antioksidan sehingga menyebabkan


suatu keadaan stress oksidatif

9,12,14

. Stress oksidatif dianggap merupakan elemen

penting dalam patogenesis preeklamsi yang berujung pada gangguan fungsi endotel
dan pada akhirnya menimbulkan sindroma preeklamsi, walaupun peranannya belum
sepenuhnya dapat diuraikan15.
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel di atas telah didukung
oleh banyak peneliti yang menganggap preeklamsi sebagai salah satu penyakit

dengan ketidak seimbangan antioksidan/oksidan. Bukti-bukti telah bertambah terus


menerus selama lebih dari 20 tahun terakhir. Banyak peneliti yang menemukan
bahwa preeklamsi merupakan keadaan dengan disfungsi endotel menyeluruh, termasuk
perubahan

respon

vaskular yang kehilangan

resistensinya terhadap

agen-agen

vasokonstriktor seperti norepinephrine dan angiotensin II, berkurangnya produksi


prostasiklin
gambaran

endothelial,
preeklamsi

dan
di

atas

peningkatan
dimiliki

produksi fibronektin
juga

oleh sejumlah

selular.

Semua

kelainan

medis

(atherosclerosis, diabetes, sepsis, dan cedera iskemikreperfusi) yang bersama-sama


diduga penyebab utamanya adalah adanya stress oksidatif9.
Namun teori patogenesis yang menekankan terjadinya stress oksidatif di atas
tidak dengan mudah dibuktikan dan dilakukan intervensi. Beberapa penelitian klinis telah
dilakukan dengan memberikan vitamin C dan E

sebagai antioksidan pada

wanita

berisiko menderita preeklamsi, gagal mengurangi insidensi preeklamsi. Bahkan


pemberian vitamin C dan E dikatakan dapat memiliki efek kurang baik pada
kehamilan. Beberapa penjelasan untuk hasil penelitian yang mengecewakan tersebut
di antaranya karena pemberiannya terlambat pada usia kehamilan yang sudah lanjut,
dosis yang tidak tepat, dan pemberian antioksidan ini

tidak dapat membalikkan

perjalanan patogenesis penyakit yang sudah terjadi15.


2.1.5

Diagnosis
Kriteria diagnosis preeklamsi yang digunakan adalah menurut National High

Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in


Pregnancy (2000), yaitu16 :
1. Preeklamsi ringan
a. Tekanan darah 140/90 mm Hg setelah umur kehamilan 20
minggu
b. Proteinuri 300 mg/24 jam atau +1 dipstick
2. Preeklamsi berat
a. Tekanan darah 160/110 mm Hg
b. Proteinuri 2,0 gram/24 jam atau + 2 dipstick
c. Kreatinin serum 1,2 mg/dl, kecuali sebelumnya diketahui
d.
e.
f.
g.

telah terjadi peningkatan


Trombosit < 100.000 / mm
Hemolisis mikroangiopati
Peningkatan SGOT atau SGPT
Nyeri kepala yang menetap atau gangguan penglihatan
7

h. Nyeri epigastrium yang menetap


2.1.6

Penatalaksanaan
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah:
1. Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma
pada ibu maupun janin
2. Kelahiran bayi yang dapat bertahan
3. Pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Penanganan preeklamsia berat terdiri dari penanganan aktif dan penanganan

ekspektatif. Wanita hamil dengan preeklamsia berat umumnya dilakukan persalinan tanpa
ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada
wanita dengan preeklamsia berat mulai berubah. Pendekatan ini mengedepankan
penatalaksanaan

ekspektatif

pada

beberapa

kelompok

wanita

dengan

tujuan

meningkatkan luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu17.
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan preeklamsia
antara lain
a. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc
MgSO4 20% secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian
dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer
laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan
dengan beberapa syarat, yaitu:
a) Refleks patella normal
b) Frekuensi respirasi >16x per menit
c) Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5
cc/kgBB/jam
d) Disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai
antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda
intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut diberikan
dalam tiga menit.
b. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan
antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika
tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan
interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan
darah pada preeklamsia tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol
tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat
8

dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya
dengan efektifitas yang cukup baik.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia
kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien
dengan preeklamsia. Preeklamsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh
kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin penderita preeklamsia berada
dalam keadaan stres sehingga mengalami percepatan pematangan paru. Akan
tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan pematangan paru pada
penderita preeklamsia. Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi
surfaktan dirangsang oleh adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi
dalam kehamilan yang berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan
Chiswick (1976) dan Morrison (1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi
pada penderita hipertensi dalam kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu,
Owen dkk (1990) menyimpulkan bahwa komplikasi kehamilan terutama
hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan keuntungan terhadap kelangsungan
hidup janin. Banias dkk dan Bowen dkk juga melaporkan terjadi peningkatan
insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari ibu yang
menderita hipertensi dalam kehamilan.

Dalam lebih dari dua dekade,

kortikosteroid telah diberikan pada masa antenatal dengan maksud mengurangi


komplikasi, terutama RDS, pada bayi prematur. Apabila dilihat dari lamanya
interval waktu mulai saat pemberian steroid sampai kelahiran, tampak bahwa
interval 24 jam sampai tujuh hari memberi keuntungan yang lebih besar dengan
rasio kemungkinan (odds ratio/OR) 0,38 terjadinya RDS. Sementara apabila
interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan apabila lebih dari 7 hari OR 0,4117.
Penelitian US Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna insiden
RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu dengan interval
antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian Liggins dan Howie
mendapati insidens RDS lebih rendah apabila interval waktu antara saat pemberian
steroid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari tujuh hari dan perbedaan ini
bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus diberikan paling tidak 24 jam sebelum
terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya terhadap pematangan paru janin17.
9

National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan:


1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 2434 minggu yang
dalam persalinan prematur mengancam merupakan kandidat untuk
pemberian kortikosteroid antenatal dosis tunggal.
2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak
dua dosis dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg
sebanyak 4 dosis intramuskular dengan interval 12 jam.
Penanganan Aktif. Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan
peningkatan mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu.
Sehingga beberapa ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia kehamilan
mencapai 34 minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu
untuk mencegah progresifitas preeklamsia berat17.
Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada preeklamsia berat dilihat baik indikasi
pada ibu maupun janin:
1. Indikasi penatalaksanaan preeklamsia berat aktif pada ibu:
a. Kegagalan terapi medikamentosa:
a) Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan
darah yang persisten
b) Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan desakan darah yang persisten
b. Tanda dan gejala impending eklamsia
c. Gangguan fungsi hepar
d. Gangguan fungsi ginjal
e. Dicurigai terjadi solusio plasenta
f. Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
g. Umur kehamilan 37 minggu
h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG
timbulnya oligohidramnion
2. Indikasi penatalaksanaan preeklamsia berat aktif pada janin
3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom
HELLP (hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count)17.
10

Dalam ACOG Practice Bulletin7 mencatat terminasi sebagai terapi untuk


preeklamsia berat. Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan
janinnya. Sementara Nowitz ER29 dkk membuat ketentuan penanganan preeklamsia
berat dengan terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis preeklamsia berat
ditegakkan. Hasil penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk
melanjutkan kehamilan jika diagnosis preeklamsia berat telah ditegakkan18.
Ahmed M dkk pada sebuah review terhadap preeklamsia berat melaporkan bahwa
terminasi kehamilan adalah terapi efektif untuk preeklamsia berat. Sebelum terminasi,
pasien telah diberikan dengan antikejang, magnesium sulfat, dan pemberian
antihipertensi. Wagner LK juga mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk
preeklamsia berat. Pemilihan terminasi secara vaginal lebih diutamakan untuk
menghindari faktor stres dari operasi sesar 18.
Penanganan ekspektatif. Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamila pada
preeklamsia berat yang belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk
memperpanjang usia kehamilan sampai seaterm mungkin sampai tercapainya pematangan
paru atau sampai usia kehamilan di atas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif
bertujuan:
1. Mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan
ibu Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien
preeklamsia berat yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu,
terminasi kehamilan lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi yang
dapat mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak). Sedangkan pada
pasien preeklamsia berat dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu,
penanganan ekspektatif lebih disarankan.Penelitian awal mengenai terapi
ekspektatif ini dilakukan oleh No chimson dan Petrie pada tahun 1979.
Mereka menunda kelahiran pada pasien preeklamsia berat dengan usia
kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja steroid
mempercepat pematangan paru18.
11

Kemudian Rick dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien dengan PEB
selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/spingomyelin (L/S) menunjukkan
ketidakmatangan

paru.

Banyak

peneliti

lain

yang

juga

meneliti

efektifitas

penatalaksanaan ekspektatif ini terutama pada kehamilan preterm. Di antaranya yaitu


Odendaal dkk yang melaporkan hasil perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif
pada 58 wanita dengan preeklamsia dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini
diterapi dengan MgSO4, hidralazine, dan kortikosteroid untuk pematangan paru. Semua
pasien dipantau ketat di ruang rawat inap. Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi
karena indikasi ibu dan janin setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok
penanganan aktif diterminasi kehamilannya setelah 72 jam, sedangkan pasien pada
kelompok ekspektatif melahirkan pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal
dkk juga menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok dengan
penanganan ekspektatif. Penelitian lain yang dilakukan Witlin dkk melaporkan
peningkatan angka pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan peningkatan usia
kehamilan selama penanganan secara ekspektatif. Sedangkan Haddad B dkk yang
meneliti 239 penderita preeklamsia berat dengan usia kehamilan 24-33 minggu
mendapatkan 13 kematian perinatal dengan rincian 12 bayi pada kelompok aktif dan 1
kematian perinatal pada kelompok ekspektatif. Sementara angka kematian ibu sama pada
kedua kelompok. Penelitian ini menyimpulkan penanganan preeklamsia berat secara
ekspektatif pada usia kehamilan 24-33 minggu menghasilkan luaran perinatal yang lebih
baik dengan risiko minimal pada ibu18.
2.2 Sindrom HELLP
2.2.1 Definisi
Sindrom HELLP merupakam preeklamsia-eklampsia yang disertai timbulnya
hemolysis,peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopenia. Dimana
sindrom HELLP : H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP
untuk Low Platelet12.
2.2.2

Epidemiologi dan Faktor Resiko


Sindrom HELLP terjadi pada 2-12% kehamilan.

Sebagai perbandingan,

preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP berkembang

12

dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi, diagnosis sindrom ini
sering terlambat. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi19.
Sindrom HELLP

Pre eklamsi

Multipara

Nullipara

Usia ibu > 25 tahun

Usia ibu < 20 tahun atau > 40 tahun

Ras kulit putih

Riwayat keluarga preeklampsi

Riwayat keluaran kehamilan yang

Asuhan mental (ANC) yang minimal

jelek

Diabetes Melitus
Hipertensi Kronik
Kehamilan multipel

Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih
tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom
HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi
kulit putih dan multipara19.
2.2.3

Etiologi dan Patogenesis


Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada

penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan
koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini
kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme,
aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis
yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas19.
13

Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang
endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi ditemukan
spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells19.
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah
hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan
pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau
ruptur hati.
Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang
paling sering ditemukan. Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian
dan/atau destruksi trombosit19.
Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari
disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti
waktu prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen
normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III,
fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, 2 antiplasmin, plasminogen, prekallikrein,
dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin. Sibai
dkk. mendefinisikan DIC dengan adanya trombositopeni, kadar fibrinogen rendah
(fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan fibrin split product > 40 g/ml2. Semua pasien
sindrom HELLP mungkin mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak
terdeteksi19.
2.2.4

Manifestasi Klinis
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat

bervariasi, dari yang bernilai diagnostic sampai semua gejala dan tanda pada pasien
preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP19.
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri
epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah
(50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai
riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain. Dalam laporan
14

Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi
aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler19.
Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang
bermakna dengan udem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat
(sistolik 160 mmHg, diastolic 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari
112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolic 110
mmHg, 14,5% bertekanan darah diastolic 90 mmHg19.
Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien, kurang dari setengah (13
pasien) mempunyai tekanan darah saat masuk rumah sakit 160/110 mmHg. Jadi sindrom
HELLP dapat timbul dengan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai
diagnosis, dan dapat diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan seperti
apendisitis, gastroenteritis, glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus 19.
2.2.5

Diagnosis
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar

enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah19.


Banyak penelitian yang mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan
bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati
harus didefinisikan dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masingmasing rumah sakit. Di University of Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3
SD19.
Tabel Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee,Memphis)
Hemolisis
- Kelainan apusan darah tepi
- Total bilirubin > 1,2 mg/dl
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Peningkatan fungsi hati
- Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Jumlah trombosit yang rendah
- Hitung trombosit < 100.000/mm

15

2.2.6

Diagnosis Banding
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat

bervariasi, yang tidak bernilai diagnostic pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi
salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan. Diagnosis
banding pasien sindrom HELLP meliputi19 :
a) Perlemakan hati akut dalam kehamilan ( acute fatty liver of pregnancy )
b) Apendistis
c) Gastroenteritis
d) Kolesistitis
e) Batu ginjal
f) Pielonefritis
g) Ulkus peptikum
h) Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
i) Trombositipeni purpura trombotik
j) Sindrom hemolitik uremia
k) Ensefalopati dengan berbagai etiologi
l) Sistemik lupus eritematosus (SLE)

2.2.7

Klasifikasi

16

Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama


berdasarkan jumlah kelainan yang ada. Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai
sindrom HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total
(ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi
seperti

DIC,

dibandingkan

dengan

wanita

dengan

sindrom

HELLP parsial.

Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin


dalam 48 jam, sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif. Klasifikasi ke dua
berdasarkan jumlah trombosit (Martin dkk.) Sindrom HELLP kelas I jika jumlah
trombosit < 50.000/mm3. Jumlah trombosit antara 50.000 100.000/mm3 dimasukkan
kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit antara 100.000 150.000/mm 3. Klasifikasi ini
telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum,
keluaran maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP kelas
I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan
kelas III19.

2.2.8

Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan

pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama
adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah19.
a. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu
(stabilisasi kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrorm HELLP
dengan umur kehamilan 35 minggu).
1. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
a) Jika ada DIC, atasi koagulopati
b) Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c) Terapi hipertensi berat
17

d) Rujuk ke pusat kesehatan tersier


e) Computerised tomography (CT scan) atau Ultrasonografi (USG)
abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati
2. Evaluasi kesejahteraan janin
a) Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
b) Profil biofisik
c) USG
3. Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35 minggu
a) Jika matur, segera akhiri kehamilan
b) Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal,
diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan
diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan
10-20 ml kalsium glukonat 10% iv. Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan
darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna
menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya
mempertahankan tekanan darah diastolik 90 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering
digunakan adalah hydralazine (Apresoline ) iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5
mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol
(Normodyne ) dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek
potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat
mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan20.
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan
tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin
18

terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan.


Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis
menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan
seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk
memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur20.
Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di
NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis,
sindrom gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan
dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat20.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau
jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya,
maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya
DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi
pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan
janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini20.
Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan
volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi
volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit.
Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa
dicapai dengan pemberian prednison atau betametason. Clark dkk. melaporkan tiga kasus
sindrom HELLP yang dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan
kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan
melahirkan anak hidup; pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari
100.000/mm3 atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan
bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan
perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP20.
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12
mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin
tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason
mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata
(MAP) dan peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi
dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8

19

jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri
epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti
hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang
mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan
partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu
persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien
< 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks
belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara
terbaik. Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis kecil meperidin iv
(25-50 mg) intermiten. Anestesi local infiltrasi dapat digunakan untuk semua persalinan
pervaginam. Anestesi blok pudendal atau epidural merupakan kontraindikasi karena
risiko perdarahan di area ini. Anestesi umum merupakan metode terpilih pada seksio
sesarea20.
Pasien dengan nyeri bahu, syok, asites masif atau efusi pleura harus di USG
atau CT scan hepar untuk evaluasi adanya hematom subkapsular hati. Ruptur hematom
subkapsular hati merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Yang paling sering adalah
ruptur lobus kanan didahului oleh hematom parenkim. Kondisi ini biasanya ditandai
dengan nyeri epigastrium hebat yang berlangsung beberapa jam sebelum kolaps sirkulasi.
Pasien sering merasakan nyeri bahu, syok, atau asites yang masif, kesulitan bernafas atau
efusi pleura dan biasanya dengan janin yang sudah meninggal20.
Ruptur hematom subkapsuler hati yang berakibat syok, memerlukan pembedahan
emergensi dan melibatkan multidisiplin. Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah
masif, koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP) dan trombosit serta laparatomi
segera. Pilihan tindakan pada laparatomi meliputi : packing & draining, ligasi segmen
yang mengalami perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen hati yang terkena
dan atau penjahitan omentum atau penjahitan hati. Walaupun dengan penanganan tepat,
kematian ibu dan bayi lebih dari 50% terutama karena eksanguinisasi dan pembekuan.
Risiko berikutnya adalah sindrom gangguan pernafasan, udem paru, dan gagal ginjal akut
pasca operasi20.
Pembedahan direkomendasikan untuk perdarahan hati tanpa ruptur; namun
pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa komplikasi ini dapat ditangani secara

20

konservatif pada pasien yang hemodinamiknya masih stabil. Penanganan harus meliputi :
pemantauan ketat keadaan hemodinamik dan koagulopati. Diperlukan pemeriksaan serial
USG atau CT scan terhadap hematoma subkapsuler, penanganan segera bila terjadi
rupture atau keadaan ibu memburuk. Yang terpenting dalam penanganan konservatif
adalah menghindari trauma luar terhadap hati seperti : palpasi abdomen, kejang atau
muntah dan hati-hati dalam transportasi pasien. Peningkatan tekanan intraabdominal yang
tiba-tiba berpotensi menyebabkan rupture hematom subkapsular20.
Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan pemantauan ketat
terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru dan atau
kelainan respiratorik. Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah
persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena
pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien
harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama
48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau
bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk
beberapa hari20.
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam
penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95pasien (31%) hanya bermanifestasi saat
postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari,
sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita
preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik
antepartum maupun postpartum20.
Penanganannya sama dengan pasien sindrom HELLP anteparturn, termasuk
profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat20.
2.2.9

Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25%

berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress syndrome,
kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan rupture hati20.
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi
intrauterin, dan premature.
21

Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan janin terhambat


(IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan pernafasan (RDS)20.

22

BAB III
SIMPULAN
Sindrom HELLP merupakan preeklamsia-eklampsia yang disertai timbulnya
hemolysis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopenia. Dimana
sindrom HELLP : H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk
Low Platelet.
Faktor resiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi. Dimana pasien
sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan
pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden
sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.
Diagnosis sindrom HELLP dengan kriteria diangnosis berupa hemolisis (kelainan
apusan darah tepi, total bilirubin > 1,2 mg/dl dan laktat dehidrogenase (LDH) > 600
U/L), Peningkatan fungsi hati (serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L, laktat
dehidrogenase (LDH) > 600 U/L) dan Jumlah trombosit yang rendah (Hitung trombosit <
100.000/mm).
Sindrom HELLP dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah kelaianan yang ada
(sindrom HELLP parsial dan sindrom HELLP total) dan berdasarkan jumlah trombosit.
Penatalaksanaan penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan
pembekuan darah.

DAFTAR PUSTAKA

23

1. T. Gupta, Gupta N, dkk. 2013. Maternal And Perinatal Outcome In Patients With
Severe Preeclampsia/ Eclampsia With And Without Hellp Syndrome. Journal of
Universal College of Medical Sciences Vol.1 No.04
2. Depkes RI. 2001. Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2001. Jakarta:
Departement Kesehatan RI.
3. Oka, A.J., Surya, I.G.P. 2004. Profil Penderita Hipertensi dalam Kehamilan di
RSUP Sanglah Denpasar Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2003. (Penelitian 67
Deskriptif) Program Pendidikan Dokter Spesialis I lab/SMF Obstetri dan
Ginekologi FK UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar : Universitas Udayana.
4. Sudarmayasa, I.M., Surya, I.G.P. 2006. Profil Penderita Hipertensi dalam
Kehamilan di RSUP Snaglah Denpasar Periode 1 Januari 2004-31 Desember
2005. (tesis) Program Pendidikan Dokter Spesialis I lab/SMF Obstetri dan
Ginekologi FK UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar : Universitas Udayana.
5. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 2. Jakarta :
EGC. 2005
6. Angsar MD. hipertensi dalam kehamilan, Ilmu kebidanan sarwono Prawiroharjo edisi
keempat. Jakarta : yayasan bina pustaka sarwono Prawiroharj, 2010
7. Lockwood, C.J., Paidas, M.J. 2000. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. In:
Complication of Pregnancy fifth ed. Baltimore : Lippincott Wiliams and Wilkins. P.
214-215
8. Fernando arias, Practical Guide to High Risk Pregnency and Delivery, 2 nd edition, St.
Louis Missori, USA, 1993 : 100-10, 213-233
9. Gupta, S., Aziz, N., Sekhon, L., Agarwal, R., Mansour, G., Li, J., Agarwal, A.
2009. Lipid Peroxidation and Antioxidant Status in Preeclampsia, A Systematic
Review. Obstetrical and Gynecological Survey, 64(11):750-759.
10. Habli, M., Sibai, B.M. 2008. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: Danforths
obstetrics and gynecology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2008: 258-266
11. Reynolds, C., Mabie, W.C., Sibai, B.M. 2003. Hipertensive States of Pregnancy. In :
Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment, 9 th Ed. New Delhi : Mc
Graw Hill. p. 338-9
12. Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo. Edisi

ke-4.

Jakarta

PT Bina

Pustaka

Sarwono

Prawirohardjo. Hal. 532-535.


13. Roberts, J.M., Hubel, C.A. 2004. Oxidative Stress in Preeclampsia. American
Journal of Obstetrics and Gynecology, 190:1177 8.
24

14. Toescu, V., Nuttall, S.L., Martin, U., Kendall, M.J., Dunne, F. 2002. Oxidative
Stress and Normal Pregnancy. Clinical Endocrinology, 57:609 13
15. Cindrova-Davies, T. 2009. Gabor Than Award Lecture 2008: Pre-eclampsia
from Placental Oxidative Stress to Maternal Endothelial Dysfunction. Placenta,
23: S55-65
16. National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP). 2000. Symposium for
preeclampsia and gestational hypertention. Australian and New Zealand Journal
of Obstetrics and Gynaecology, 40:1338.
17. Mochtar R. 1998. BAB 33. Toxemia Gravidarum dalam Sinopsis Obstetri : Obstetri
Fisiologi Obstetri Patologi . Jilid I Jakarta : EGC, pp 198-204
18. Rachma N. 2008. Eklampsia : Preventif dan Rehabilitasi medic Pre dan Post Partum.
In Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta: FKUNS, pp. 99
19. Jason, K Baxter, Louis W. CME Review Article. Dari : http://www.anestesinorr.se.
Download tanggal 9 agustus 2014.
20. Wounstra DM. Corticosteroid for HELLP. Dari : http://apps.who.int/rhl Download
tanggal 9 agustus 2014

25

You might also like