Professional Documents
Culture Documents
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Kejang pada neonatus adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik misalnya
perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf ) akibat aktivitas yang terus
menerus dari neuron diotak yang terjadi pada bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari
pertama kehidupan pada bayi cukup bulan atau sampai usia konsepsi 44 minggu pada bayi
kurang bulan.2,6
(irawan,2008) )(khosim,2006)
kegawatan atau tanda bahaya, karena dapat mengakibatkan hipoksia otak yang berbahaya
bagi kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan gejala sisa di kemudian hari. Di
samping itu kejang dapat merupakan tanda atau gejala dari 1 masalah atau lebih. Angka
kematian berkisar 21-58%, sebanyak 30% yang berhasil hidup menderita kelainan
neurologis. (IDAI,2011)
II.2. Epidemiologi
Angka kejadian kejang di negara maju berkisar antara 0,8-1,2 setiap 1000 neonatus
per tahun. Insidens meningkat pada bayi kurang bulan yaitu sebesar 20% atau 60/1000 lahir
hidup bayi kurang bulan, dibanding pada bayi cukup bulan sebesar 1,4% atau 3/1000 lahir
hidup bayi cukup bulan (IDAI, 2011)
II.3. Etiologi
Penyebab tersering kejang pada neonatus adalah hipoksik-iskemik-ensefalopati (3050%), perdarahan intrakranial (10-17%), kelainan metabolik misalnya hipoglikemi (6-10%),
hipokalsemia (6-15%), infeksi SSP (5-14%), infark serebral (7%), inborn errors of
metabolism (3%), malformasi SSP (5%). (IDAI,2011)
deviasi, fiksasi vertical dan horizontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila
keadaan memburuk akan timbul kejang. BCB biasanya disertai riwayat intrapartum
misalnya trauma, pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama natrium
bikarbonat dan asfiksia. Manifesasi klinis yang timbul bervariasi mulai dari
asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala neurologis yang paling umum dijumpai
adalah kejang yang dapat bersifat fokal, multifokal atau umum. Di samping itu
terdapat manifestasi berupa apnu, sianosis, letargi, jitteriness, muntah, ubun-ubun
besar menonjol, tangis melengking dan perubahan tonus otot.3
c. Metabolik
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :
Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadang
asimtomatis. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan
dampak yang menetap pada SSP. BBL yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa kehamilan, Bayi Besar untuk masa
kehamilan dan bayi dari Ibu dengan Diabetes Mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi
penyebab dasar pada kejang BBL dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi
dan jiterness. Kejang seperti hipoglikemia ini sering dihibungkan dengan penyebab
kejang yang lain. Hanya sekitar 3% yang benar disebabkan Karena hipoglikemia.
Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrose intravena jika ditemukan kadar glukosa
rendah pada bayi kejang, untuk mengembalikan kadar gula darah kembali
secepatrnya.
Hipokalsemia/ hipomagnesemia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua. Lebih sering
didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi
dari ibu dengan diabetes mellitus. Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium < 7,5
mg/dL (<1,87 mmol/L), biasanya disertai kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0,95mmol/L),
seperti hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas
atau kesulitan persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi
bersama dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar memberikan respon yang baik
untuk menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan dengan
hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah yang
disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang masih belum
berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia. 2,7
Hiponatremia dan hipernatremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami
perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrome
of Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma Bartter atau dehidrasi
berat dapat menyebabkan kejang. SIADH berhubungan dengan keadaan sekunder dari
meningitis atau perdarahan intracranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang
berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar natrium yang rendah,
hiponatremia dapat terjadi akibat minum air, pemberian infus intravena yang
berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses.
Hipernatremia terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat
asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian natrium yang
berlebihan secara oral maupun parenteral.3,6
d. Infeksi
Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri, nonbakteri
maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya terjadi setelah minggu
pertama kehidupan.
Infeksi digolongkan menjadi
1. Infeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat
mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis. Kuman gram
negative sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada BBL. Bakteri
yang sering ditemukan adalah group B streptococcus, Eschericia coli, Listeria sp,
Staphylococcus dan Pseudomonas species.
2. Infeksi kronik
Infeksi intrauterin yang berlangsung lama : toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus,
herpes (TORCH), treponema pallidum .7
e. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai
meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek menyebabkan
kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada bayi prematur yang sakit,
kadar 10mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi tidak
hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya
hiperbilirubinemia. BKB yang sakit dengan sindrom distress pernapasan, asidosis
mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis
kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan refleks menghisap lemah. Pada hari
kedua terdapat gejala demam, regiditas dan posisi dalam opistotonus. Selanjutnya
gambaran klinis bulan pertama menunjukkan tonus otot meningkatkan progresif.
Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi : 1) disfungsi ekstra
piramidal biasanya berbentuk atetosis dan kora; 2)gangguan gerak bola mata vertikal,
ke atas lebih dari pada ke bawah, terdapat 90% kasus; 3) kehilangan pendengaran
frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi mental terdapat pada 25%
kasus.
f. Kejang yang berhubungan dengan obat
1.Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawl)
Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang BBL karena efek
putus obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan dengan obat narkotik selama
hamil, bayi yang dilahirkan dalam 24 jam pertama terdapat gejala gelisah, jitteriness
dan kadang-kadang terdapat kejang. Kejang akibat putus obat (withdrawl) terjadi
pertama kali pada usia 3 hari pertama dengan onset rata-rata 10 hari. Kejang tersebut
dapat menetap untuk beberapa bulan. Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan
infus narkotik jangka panjang untuk mengurangi rasa sakit dan telah diperhatikan pula
efek serupa dari midazolam untuk sedasi pada BKB.
berupa gelombang datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat
dihentikan dengan obat-obatan biasa dan prognosis untuk perkembangan anak baik.
pada
beberapa hari pertama kehidupan. Serangan kejang yang terjadi dapat berbentuk
klonik fokal atau multifokal dan serangan apneu. Penyebabnya masih merupakan
misteri, meskipun kadar zinc pada cairan serebrospinal yang rendah ditemukan pada
beberapa kasus.
3. Bangkitan klonus pada BBL tidur (Benign Neonatal Sleep Mioklonus)
Kejang mioklonik hanya terjadi saat BBL tidur, dan EEG nya normal. Mioklonus
terjadi pada semua fase tidur meskipun frekuensinya tergantung fase tidurnya dan
paling sering saat BBL tidur tenang. Kejang menghilang saat usia 6 bulan. Tidak
diperlukan terapi, dan orang tua harus diyakinkan jika kejang ini pada akhirnya akan
berhenti sendiri.
Awitan Kejang
Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir. Penelitian pada
binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan
hipoksik iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan
penghancuran glutamate selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat
terjadi pada bayi. Kejang onset lanjut member kesan meningitis, kejang familial
benigna atau hipokalsemia.
Etiologi
Onset (hari)
0-3
Ensefalopati
>3
Kurang bulan
Cukup bulan
+++
+++
++
Iskemik
hipoksik
Perdarahan
intracranial
J.Infeksi
++
++
Gangguan
++
++
perkembangan
otak
Hipoglikemia
Hipokalsemi
Sindrom
epileptic
Keterangan : +++ sering terjadi; ++jarang terjadi; + sangat jarang terjadi
Tabel 1. Awitan kejang berdasarkan etiologi11
II.4. Klasifikasi
Klasifikasi kejang pada neonatal dibagi menjadi 2 yaitu clinical seizure dan
electroenchepalographic seizure. 9
-Clinical seizure : -subtle
-tonik
-klonik
-myoklonik
-Electroenchephalographic seizure :
-Epileptic
-Non Epileptic 9
II.5. Patogenesis
Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak yang lebih
besar. Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna. Korteks pada
neonatus belum matur dibandingkan batang otaknya. Myelinisasi dan sinaps
10
11
Susunan dendrit dan remifikasi axonal yang masih dalam proses pertumbuhan
Sinaptogenesis belum
Mielinisasi pada system efferent di cortical belum lengkap
Keadaan fisiologis perinatal
Kemungkinan penyebab
Kelainan
Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia
Ketergantungan piridoksin
Kelainan
membrane
sel
Kejang Tonik (Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal) 2,9
-Kejang tonik umum: Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500
gram). Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh
dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus
kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan otonomis apapun seperti
meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah.
12
-Kejang tonik fokal: Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau
batang tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata kepala atau mata. Sebagian besar
kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus dan
perdarahan intraventrikular.
Kejang Klonik
Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3 /menit),
penyebabnya mungkin fokal/multi-fokal.
gerakan yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat diikuti oleh fase yang lambat.
Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat
gerakan tersebut. Biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan. Tidak terjadi hilang
kesadaran. Berkaitan dengan trauma fokal,infarks atau gangguan metabolik.
Dikenal 2 bentuk :
a. Fokal : terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi
unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik
dengan atau tanpa gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4
kali perdetik.
b. Multifokal : Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari satu focus atau
migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang kemudian secara acak pindah
ke ekstremitas lainnya. Bentuk kejang merupakan gerakan klonik salah satu atau lebih
anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang
klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kadang-kadang
karena kejang yang satu dengan kejang yang lain sering bersinambungan, seolah-olah
member kesan sebagai kejang umum. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada
gangguan metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat lebih
2500 gram. 2,9
Kejang Mioklonik
Terdiri dari : Kejang mioklonik fokal, multi-fokal atau umum.
-Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas. Kejang
mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan.
-Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg tidak sinkron pd
beberapa bagian tubuh.
13
-Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada kepala dan
batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan
dengan patologi SSP yang difus 1
Kejang subtle
Bentuk kejang ini lebih sering terjadi disbanding tipe kejang yang lain, hampir
50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan. Manifestasi klinis berupa
orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis (lebih sering pada BKB)
yang bergetar berulang-ulang, mata yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi
ke satu arah (lebih sering pada BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah,
mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah, mendayung, bertinju, atau bersepeda.
Episode apneu dapat disebabkan oleh kejang, diagnosis ini dipertimbangkan jika
terdapat respon yang lambat terhadap ventilasi dengan balon dan sungkup khususnya
pada neonates preterm dengan lesi intrakranial. 2
Gerakan yang menyerupai kejang pada BBL
1. Apneu
Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan berhentinya
pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selam 10-50 detik. Bentuk
pernapasan ini disebabkan belum sempurnanya pernapasan di batang otak dan
berhubungan denagn derajat prematuritas.
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk serangan
kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia. Serangan apne tiba-tiba disertai
kesadaran menurun pada bayi berat lahir rendah perlu dicurigai adanya perdarahan
intrakranial dengan penekanan pada batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera
dikerjakan.2
2. Jitterness
Jitterness adalah fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan harus
dibedakan dengan kejang. Jitterness lebih sering pada bayi yang lahir dari ibu yang
menggunakan mariyuana, dapat menjadi tanda dari sindroma abstinensia BBL.
Bentuk gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi yang cepat 5-6 kali per detik.
Jitterness tidak termasuk wajah (tidak seperti kejang subtle) merupakan akibat dari
sensitifitas terhadap stimulus dan akan mereda jika anggota gerak ditahan.
Manifestasi klinis
Jitterness
Kejang
14
Tremor
Klonik
d.
Gerakan
dapat +
Perubahan
fungsi -
autonom
vital
dan
penurunan
saturasi oksigen
Tabel 3. Perbedaan jitterness dan kejang2
3.Hiperekpleksia
Merupakan kelainan yang ditandai dengan hioertoni. Respon kejut ini dapat
terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada tinggi.
Hiperekpleksia kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya disebut dengan
sindroma stiff baby herediter. Meslkipun gambaran EEG normal, spasme tonik dapat
berbahaya dan terapi sangat diperlukan 7
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi kedua
hal tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang berbeda.
II.6. Komplikasi
II.7. Diagnosis
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap, riwayat yang
berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang, pemeriksaan
15
Trauma persalinan
Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
Riwayat spasme atau kekakuan pada ekstremitas, otot mulut dan perut, dipicu
Pemeriksaan fisis
- Kejang
Manifestasi klinis kejang pada bayi baru lahir sangat berbeda dengan anak bahkan bayi
kurang bulan berbeda dengan cukup bulan. Gambaran klinis yang sering terjadi sebagai
berikut:
Subtle--:
Orofasial :
Deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis yang bergetar berulang, mata yang tiba tiba
terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah, gerakan seperti menghisap,
mengunyah, mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah, gerakan pada bibir
Ekstremitas:
Gerakan seperti orang berenang, mendayung, bertinju atau bersepeda.
Episode apnu:
Serangan apnu yang termasuk kejang apabila disertai dengan bentuk serangan kejang
yang lain dan tidak disertai bradikardia.
Sistem autonom/vasomotor:
Perubahan tekanan darah (takikardi atau hipertensi) atau peningkatan salivasi
Tonik -Fokal :
Postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau ekstremitas dengan atau tanpa
adanya gerakan mata abnormal.
Umum:
Fleksi tonik atau ekstensi leher, badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi
ekstremitas
16
Klonik-Fokal :
Gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral, gerakan pelan dan
ritmik, frekuensi 1-4 kali/ perdetik.
Multifokal :
Kejang klonik dengan lebih dari satu fokus atau migrasi gerakan dari satu ekstremitas
secara acak pindah ke ekstremitas lainnya.
Bentuk gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah
atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang
klonik tungkai bawah kanan
Mioklonik -Fokal:
Kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor ekstremitas atas.
Multifokal :
Gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian tubuh
Umum :
Terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi masif dari kepala dan badan dan adanya
gerakan fleksi atau ekstensi dari ekstremitas
- Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir menyerupai kejang, tetapi kedua hal tersebut
harus dibedakan karena tata laksananya berbeda. Gambaran klinis berupa :
Kontraksi otot tidak terkendali paling tidak beberapa detik sampai beberapa --menit
Dipicu oleh sentuhan, suara maupun cahaya-Bayi tetap sadar, sering menangis kesakitan-Trismus (rahang kaku, mulut tidak dapat dibuka, bibir mencucu seperti mulut --ikan)
Opistotonus (kekakuan pada ekstremitas, perut)-Gerakan tangan seperti meninju dan mengepal (IDAI,2011)
17
Pemeriksaan darah rutin dan apusan darah -Lumbal pungsi dan pemeriksaan cairan serebrospinal-Kadar glukosa darah, kadar elektrolit darah, kadar bilirubin total, direk dan indirek -Bila diduga ada riwayat jejas pada kepala: pemeriksaan berkala hemoglobin dan
--hematokrit untuk memantau perdarahan intraventrikuler serta didapat perdarahan pada
cairan serebrospinal.
Ultrasonografi untuk mengetahui adanya perdarahan periventrikuler---intraventrikuler.
Pencitraan kepala (--CT-scan kepala) untuk mengetahui adanya perdarahan subarahnoid
atau subdural, cacat bawaan, infark serebral.
Elektroensefalografi (EEG): -Pemeriksaan EEG pada kejang dapat membantu diagnosis, lamanya pengobatan dan
prognosis
Gambaran EEG abnormal pada neonatus dapat berupa: gangguan kontinuitas, amplitudo atau
frekuensi; asimetri atau asinkron interhemisfer; bentuk gelombang abnormal; gangguan dari
fase tidur; aktivitas kejang mungkin dapat dijumpai
II.9. Penatalaksanaan
Penanganan utama adalah mengatasi hipoksia dan gangguan metabolik sebagai penyebab
tersering kejang pada neonatus kemudian pemberian antikejang
Langkah pertama dalam manajemen kejang adalah Pertahankan homeostasis sistemik
(pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi). O2 harus mulai, IV akses harus
diamankan, dan darah harus dikumpulkan untuk gula dan penyelidikan lain. Sejarah
relevan harus diperoleh dan cepat klinis pemeriksaan harus dilakukan. Semua ini
seharusnya tidak membutuhkan lebih dari 2-5 menit.
Terapi etiologi spesifik :
Dekstrose 10% 2 ml/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 ml/kg BB) diencerkan
akuades sama banyak diberikan secara intra vena dalam 5 menit (bila diduga
-
hipokalsemia)
Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
Piridoksin 50 mg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang
akan berhenti dalam beberapa menit 10,12
Medikamentosa
- Medikamentosa untuk menghentikan kejang
18
Fenobarbital 20 mg/kgBB intravena (IV) dalam waktu 10-15 menit, jika kejang tidak
--berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2 kali dengan selang
waktu 30 menit. Jika tidak tersedia jalur intravena, dapat diberikan intramuskular (IM)
dengan dosis ditingkatkan 10-15%.
Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin 20 mg/kgBB IV dalam larutan garam
--fisiologis dengan kecepatan 1mg/kgBB/menit.
Bila kejang masih berlanjut, dapat diberikan ---Golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 0,05 0,1mg/kgBB setiap 8-12 jam
--Midazolam bolus 0,2mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis titrasi 0,1-0,4
mg/kgBB/jam IV
--Piridoksin 50-100 mg/kgBB IV dilanjutkan 10-100 mg/kgBB/hari peroral
- Pengobatan rumatan
Fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari, dosis tunggal atau terbagi tiap 12 jam secara IV --atau
peroral.
Fenitoin 4-8 mg/kgBB/hari IV atau peroral, dosis terbagi dua atau tiga.-- Pengobatan spasme/tetanus neonatorum
Beri diazepam 10 mg/kgBB/hari dengan drip selama 24 jam atau bolus IV tiap 3 --jam,
maksimum 40 mg/kgBB/hari
Bila frekuensi napas kurang 30 kali per menit, hentikan pemberian obat --meskipun
bayi masih mengalami spasme.
Bila tali pusat merah dan membengkak, mengeluarkan pus atau berbau busuk --obati
untuk infeksi tali pusat.
Beri bayi-Human tetanus immunoglobin 500 U IM, bila tersedia, atau tetanus antitoksin --5000
U IM. Tetanus toksoid 0,1 mL IM pada tempat yang berbeda dengan tempat
pemberian antitoksin
Benzil penicillin G 100.000 U/kgBB IV dosis tunggal selama 10 hari-Bila terjadi kemerahan dan/atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal tali
--pusat, atau keluar nanah dari permukaaan tali pusat, atau bau busuk dari area tali
pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0.5 mL (untuk melindungi ibu dan bayi
--yang dikandung berikutnya) dan minta datang kembali satu bulan kemudian untuk
pemberian dosis kedua.
- Pengobatan sesuai dengan penyebab kejang
Suportif
- Menjaga jalan napas tetap bersih dan terbuka serta pemberian oksigen untuk mencegah
hipoksia otak yang berlanjut.
- Menjaga kehangatan bayi
- Pasang jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat serta tunjangan nutrisi adekuat
19
Pemantauan
- Terapi
Efektifitas terapi dipantau dengan melihat gejala klinis, bila perlu diulang dan segera
--dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan penyakit penyebabnya.
Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian antikejang rumatan,
--fenobarbital 5 mg/kgBB/hari adalah pilihan pertama.
Pemberiaan dosis rumatan dihentikan setelah tidak ada kelainan neurologis dan --atau
kelainan gambaran EEG.
- Tumbuh Kembang
Pemantauan terutama ditujukan pada pertumbuhan dan perkembangan sensorik --dan
motorik. Setiap adanya gangguan perkembangan, perubanhan tingkah laku ataupun
gejala neurologik, eksplorasi harus dilakukan dengan pemeriksaan neurologis lengkap.
Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian --yang
tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung semakin tinggi risiko
kerusakan pada otak dan berdampak pada terjanya kelainan neurologik lanjut (misalnya
palsi serebral dan retardasi mental)
20
pertama kali dialami bayi dan anak. Sedangkan kejang refrakter adalah k
ejang yang tidak
berespons dengan diazepam, fenitoin, fenobarbital, atau kejang yang berl
angsung selama
60 menit meskipun sudah mendapat terapi adekuat.
Etiologi: (1) Infeksi dengan demam (52%) seperti kejang demam, ensefal
itis, meningitis (2)
Kelainan susunan saraf pusat (SSP) kronik (39%) seperti ensefalopa
ti hipoksik iskemik
dan serebral palsi, (3) Penghentian obat anti kejang (21%), (4) Lain lain (
<10%)
Diagnosis
Anamnesis
- Diskripsi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama, frekuensi, kesadar
an saat kejang,
dengan/tanpa demam, interval, kesadaran pasca kejang, dan
kelumpuhan pasca
kejang)
- Anamnesis untuk mencari etiologi kejang: demam, trauma kepala, ses
ak napas, diare,
muntah, riwayat ada tidaknya kejang/epilepsi. Jika ada epilepsi, apak
ah minum obat
secara teratur.
- Riwayat kejang/epilepsi dalam keluarga.
Pemeriksaan fisis
- Penilaian kesadaran, pemeriksaan fisik umum yang menunjang ke arah
etiologi kejang
seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-tanda dehidrasi
maupun tandatanda hipoksia.
- Pemeriksaan neurologi meliputi ada tidaknya kelainan bentuk kepala,u
bun-ubun besar,
tanda rangsang meningeal, nervus kranial, motorik, refleks fisiologis d
an patologis.
Pemeriksaan penunjang
Sesuai indikasi untuk mencari etiologi dan komplikasi status epileptikus:
- Darah perifer lengkap, cairan serebrospinal, gula darah, elektrolit dara
h, dan analisis
gas darah.
- Elektroensefalografi (EEG).
- Computed tomography (CT-Scan)/ magnetic resonance imaging (MRI) k
epala.
21
Tata Laksana
Medikamentosa
Tujuan utama pengobatan status epileptikus:
- Mempertahankan fungsi vital (A,B,C)
- Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor presipitasi
- Menghentikan aktivitas kejang. Tata laksana penghentian kejang ak
ut dapat dilihat
pada algoritme.
Tata laksana penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai berikut:
- Di rumah / Prehospital:
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtua
dengan pemberian
diazepam per rektal dengan dosis 0,3 0,5 mg/kg atau secara sederha
na bila berat
badan < 10 kg: 5 mg sedangkan berat badan > 10 kg: 10 mg.
Pemberian di rumah
maksimum 2 kali dengan interval 5 menit. Bila kejang masih berl
angsung bawalah
pasien ke klinik/rumah sakit terdekat
- Di rumah sakit
Saat tiba di klinik/rumah sakit, bila belum terpasang cairan intravena, d
apat diberikan
diazepam per rektal ulangan 1 kali sambil mencari akses vena. S
ebelum dipasang
cairan intravena, sebaiknya dilakukan pengambilan darah untuk pe
meriksaan darah
tepi, elektrolit, dan gula darah sesuai indikasi.
Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin IV dengan dosis 20 m
g/kg dilarutkan
dalam NaCl 0,9% diberikan perlahan lahan dengan kecepatan pe
mberian 50 mg/
menit. Bila kejang belum teratasi, dapat diberikan tambahan fenitoi
n IV 10 mg/kg.
Bila kejang teratasi, lanjutkan pemberian fenitoin IV setelah 12 jam ke
mudian dengan
rumatan 57 mg/kg.
Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital IV dengan dosis m
aksimum 15 - 20
mg/kg dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit.Awasi dan atasi kel
ainan metabolik
yang ada. Bila kejang berhenti, lanjutkan dengan pemberian fenobarbit
al IV rumatan
45 mg/kg setelah 12 jam kemudian.
- Perawatan Intensif rumah sakit
Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang i
ntensif. Dapat
diberikan salah satu di bawah ini:
22
Diazepam
- Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10 mg, dapat
diberikan 2 kali dengan
interval 5-10 menit.
- Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali
pemberian 10 mg dengan
kecepatan maksimum 2 mg/menit, dapat diberikan 2-3 kali dengan int
erval 5 menit.
Fenitoin
-
23
- Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah pem
berian.
- Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.
- Efek samping: aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada pemberia
n IV yang terlalu
cepat.
Fenobarbital
n
Kepustakaan
1.
izure disorders
in the twentieth century. J Pediatr. 2000; 136:847-9.
24
2. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epielpticus. Pediatr Clin North Am. 2001;
48:683-94.
3. Arzimanoglou A, Guerrini R, Aicardi J. Status epilepticus. Dalam: Aicardis epileps
y in children.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2004. h.126-38.
4. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Diagnosis and management of
epilepsies in
children and young people.A national clinical guideline. 2005.
5. Widodo DP.Algoritme penatalaksanaan kejang akut dan status epileptikus pada bayi d
an anak. Dalam:
Pediatric Neurology and neuroemergency in daily practice. Naskah lengkap Pendidika
n Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIX. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2006. h. 63
6.
Faught E, Degiorgio CM. Generalized convulsive status epilepticus: principles of treatment. Dalam:
Wasterlain CG,Treiman DM, penyunting. Status epilepticus. London:The Mit Press; 2006.
h.481-91.
7. Statler KD,Van Orman CB. Status epilepticus. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers t
extbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:Woter Kluwer Lippincott Williams &
Wilkins; 2008.
h.912-28.
25
b.
d.
subarachnoid
e. Prognosis lebih buruk dengan : hipoglikemia, anoxia,
8,11
II.11. Pencegahan
II.12. Vaksinasi
KESIMPULAN
Malformasi otak.
26
1. Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan
terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak.
2. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan pada praktek
neurologi anak.
3. Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik,
toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu selama waktu
ini daripada pada periode kehidupan lain kapanpun.
4. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena
konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses
pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak
neonatus. Discharge kejang karenanya tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke seluruh
otak neonatus untuk menimbulkan kejang menyeluruh. Dengan perawatan yang baik dan
benar diharapkan akan memperkecil angka kejadian kejang pada neonatus.