You are on page 1of 25

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Kejang pada neonatus adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik misalnya
perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf ) akibat aktivitas yang terus
menerus dari neuron diotak yang terjadi pada bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari
pertama kehidupan pada bayi cukup bulan atau sampai usia konsepsi 44 minggu pada bayi
kurang bulan.2,6

(irawan,2008) )(khosim,2006)

Kejang (konvulsi) dan spasme merupakan keadaan

kegawatan atau tanda bahaya, karena dapat mengakibatkan hipoksia otak yang berbahaya
bagi kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan gejala sisa di kemudian hari. Di
samping itu kejang dapat merupakan tanda atau gejala dari 1 masalah atau lebih. Angka
kematian berkisar 21-58%, sebanyak 30% yang berhasil hidup menderita kelainan
neurologis. (IDAI,2011)
II.2. Epidemiologi
Angka kejadian kejang di negara maju berkisar antara 0,8-1,2 setiap 1000 neonatus
per tahun. Insidens meningkat pada bayi kurang bulan yaitu sebesar 20% atau 60/1000 lahir
hidup bayi kurang bulan, dibanding pada bayi cukup bulan sebesar 1,4% atau 3/1000 lahir
hidup bayi cukup bulan (IDAI, 2011)
II.3. Etiologi
Penyebab tersering kejang pada neonatus adalah hipoksik-iskemik-ensefalopati (3050%), perdarahan intrakranial (10-17%), kelainan metabolik misalnya hipoglikemi (6-10%),
hipokalsemia (6-15%), infeksi SSP (5-14%), infark serebral (7%), inborn errors of
metabolism (3%), malformasi SSP (5%). (IDAI,2011)

a. Ensefalopati iskemik hipoksik


Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama, dapat terjadi pada BCB maupun BKB terutama bayi
dengan asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik. Kasus
iskemik hipoksik disertai kejang, 20 % akan mengalami infark serebral. Manifestasi
klinis ensefalopati hipoksik iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium,yaitu : ringan,
sedang dan berat. Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.2
b.Perdarahan Intrakranial

Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang


tersering pada bayi preterm. Scher menentukan 45 % bayi preterm dengan kejang
mengalami perdarahan matriks germinal atau intraventrikel (GMH-IVH). Perdarahan
intrakranial sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang, biasanya
berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :
-Perdarahan sub arachnoid
Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena robekan
vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba dapat
terjadi kejang pada hari pertama atau hari kedua. Pungsi lumbal harus dikerjakan
untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan serebrospinal. Pemeriksaan
CT-Scan sangat berguna untuk menentukan letak dan luasnya perdarahan.
Pemeriksaan perdarahan perlu dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan
koagulopati. 7
-perdarahan subdural
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks
serebri. Keadaan ini akibat molase kepala yang berlebihan pada letak verteks , letak
muka dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang
otak. Manifestasi klinis hamper sama dengan ensefalopati hipoksik-iskemik ringan
sampai sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang
tidak teratur, kesadaran menurun, tangus melengking, ubun-ubun besar menonjol dan
kejang. Perdarahan pada parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai perdarahan
subdural. Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-Scan. Perdarahan
yang kecil tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan yang besar dan
menekan batang otak perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengeluarkan darah.
Mortilitas tinggi, dan pada bayi yang hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis. 2,7
-Perdarahan periventrikuler/ intraventrikuler
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya
penyakit dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau
asfiksia biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir. Pada
BKB dapat mengalami perdarahan hebat, gejala timbul dalam waktu beberapa menit
sampai beberapa jam berupa gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi,
kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada perdarahan
sedikit, gejala timbul dalam beberapa jam sampai beberapa hari sampai penurunan
kesadaran, kurang aktif, hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti

deviasi, fiksasi vertical dan horizontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila
keadaan memburuk akan timbul kejang. BCB biasanya disertai riwayat intrapartum
misalnya trauma, pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama natrium
bikarbonat dan asfiksia. Manifesasi klinis yang timbul bervariasi mulai dari
asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala neurologis yang paling umum dijumpai
adalah kejang yang dapat bersifat fokal, multifokal atau umum. Di samping itu
terdapat manifestasi berupa apnu, sianosis, letargi, jitteriness, muntah, ubun-ubun
besar menonjol, tangis melengking dan perubahan tonus otot.3
c. Metabolik
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :
Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadang
asimtomatis. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan
dampak yang menetap pada SSP. BBL yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa kehamilan, Bayi Besar untuk masa
kehamilan dan bayi dari Ibu dengan Diabetes Mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi
penyebab dasar pada kejang BBL dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi
dan jiterness. Kejang seperti hipoglikemia ini sering dihibungkan dengan penyebab
kejang yang lain. Hanya sekitar 3% yang benar disebabkan Karena hipoglikemia.
Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrose intravena jika ditemukan kadar glukosa
rendah pada bayi kejang, untuk mengembalikan kadar gula darah kembali
secepatrnya.
Hipokalsemia/ hipomagnesemia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua. Lebih sering
didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi
dari ibu dengan diabetes mellitus. Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium < 7,5
mg/dL (<1,87 mmol/L), biasanya disertai kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0,95mmol/L),
seperti hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas
atau kesulitan persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi
bersama dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar memberikan respon yang baik
untuk menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan dengan
hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah yang
disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang masih belum
berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia. 2,7
Hiponatremia dan hipernatremia

Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami
perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrome
of Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma Bartter atau dehidrasi
berat dapat menyebabkan kejang. SIADH berhubungan dengan keadaan sekunder dari
meningitis atau perdarahan intracranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang
berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar natrium yang rendah,
hiponatremia dapat terjadi akibat minum air, pemberian infus intravena yang
berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses.
Hipernatremia terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat
asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian natrium yang
berlebihan secara oral maupun parenteral.3,6
d. Infeksi
Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri, nonbakteri
maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya terjadi setelah minggu
pertama kehidupan.
Infeksi digolongkan menjadi
1. Infeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat
mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis. Kuman gram
negative sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada BBL. Bakteri
yang sering ditemukan adalah group B streptococcus, Eschericia coli, Listeria sp,
Staphylococcus dan Pseudomonas species.
2. Infeksi kronik
Infeksi intrauterin yang berlangsung lama : toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus,
herpes (TORCH), treponema pallidum .7
e. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai
meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek menyebabkan
kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada bayi prematur yang sakit,
kadar 10mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi tidak
hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya
hiperbilirubinemia. BKB yang sakit dengan sindrom distress pernapasan, asidosis
mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis
kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan refleks menghisap lemah. Pada hari
kedua terdapat gejala demam, regiditas dan posisi dalam opistotonus. Selanjutnya
gambaran klinis bulan pertama menunjukkan tonus otot meningkatkan progresif.

Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi : 1) disfungsi ekstra
piramidal biasanya berbentuk atetosis dan kora; 2)gangguan gerak bola mata vertikal,
ke atas lebih dari pada ke bawah, terdapat 90% kasus; 3) kehilangan pendengaran
frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi mental terdapat pada 25%
kasus.
f. Kejang yang berhubungan dengan obat
1.Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawl)
Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang BBL karena efek
putus obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan dengan obat narkotik selama
hamil, bayi yang dilahirkan dalam 24 jam pertama terdapat gejala gelisah, jitteriness
dan kadang-kadang terdapat kejang. Kejang akibat putus obat (withdrawl) terjadi
pertama kali pada usia 3 hari pertama dengan onset rata-rata 10 hari. Kejang tersebut
dapat menetap untuk beberapa bulan. Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan
infus narkotik jangka panjang untuk mengurangi rasa sakit dan telah diperhatikan pula
efek serupa dari midazolam untuk sedasi pada BKB.

2.Intoksikasi anestesi local


Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal/anestesi blok pada ibu yang masuk ke dalam
sirkulasi janin. Ini dapat terjadi akibat anestesi blok paraservikal, pudendal atau
epidural serta anestesi local pada episiotomi yang tidak tepat. Curiga intoksikasi bila
didapatkan pupil tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek pupil dan gerakan mata
terfiksasi pada reflek okulosefalik (refle dolls eye menghilang). Bayi lahir
menunjukkan Apgar skor yang rendah, hipotonia dan hipoventilasi. Kejang terjadi
dalam waktu 6 jam pertama kelahiran.Prognosisnya baik, bila diberikan pengobatan
suportif yang memadai akan membaik setelah 24-48 jam.6,8
Penyebab kejang lainnya yang jarang terjadi
g. Gangguan Perkembangan Otak
Kelainan disebabkan karena terganggunya perkebangan otak. Beberapa
kelainan susunan saraf pusat dapat menimbulkan kejang pada hari pertama kehidupan.
Penyebab yang sering ditemukan adalah disgenesis korteks serebri, dapat disertai
keadaan : dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus. Kelainan migrasi sel saraf seperti
lisensefali atau schizensefali dapat terjadi pada kejang BBL.
h. Kelainan yang diturunkan

1. Gangguan metabolisme asam amino


Kejang biasanya terjadi antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Termasuk kelainan
ini adalah: maple syrup urine disease, isovaleric academia, glycine encephalopathy,
arginosuccsinic aciduria dan phenyketonuria
2. Ketergantungan dan kekurangan piridoksin
Kasus pertama kejang tak terkontrol yang berespon pada piridoksin dilaporkan
oleh Hunt dkk pada tahun 1954. Ketergantungan piridoksin terjadi akibat gangguan
metabolisme piridoksin. Dasar dari kelainan ini kemungkinan karena kekurangan
dalam pengikatan koenzim piridoksal fosfat pada glutamik dekarboksilase, yaitu
enzim yang terlibat dalam pembentukan gama-aminobutyric acid (GABA).
Kekurangan atau menghilangnya GABA, yaitu suatu zat transmitter inhibisi yang
dapat menimbulkan kejang . Kejang sering terjadi pada jam pertama kehidupan,
bahkan sejak dalam kandungan. Kejang ini bersifat resisten terhadap antikonvulsan.
Pada BBL dengan kejang yang diduga karena gangguan metabolik, tidak membaik
dengan pemberian glucose, kalsium, antikonvulsan dan sebagainya dapat diberikan
piridoksin intravena sebaiknya dengan monitoring EEG. Sebelum pengobatan EEG
menjadi normal. Bila gambaran EEG normal dan serangan kejang berhenti, diagnosis
ketergantungan piridoksin dapat ditegakkan.
i. Idiopatik
Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering
menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang beulang yang lama, resisten
terhadap pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan dihentikan
menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada golongan idiopatik
terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang BBL familial jinak dan
kejang hari kelima
1.Kejang BBL familial jinak (Benign familial Neonatal seizures)
Kejang ini diturunkan secara autosomal dominan, pertama diketahui tahun 1964.
Penanda genetik menunjukkan adanya mutasi pada kromosom 29q13.3 dan 8q.24.
Kejang terjadi antara hari kedua dan hari kelima belas sesudah lahir, dan kebanyakan
(80%) dimulai pada hari kedua dan ketiga setelah lahir. Jenis kejang biasanya klonik,
sering berulang sampai beberapa puluh kali per hari tetapi berhenti secara spontan
setelah beberapa lama, biasanya serangan kejang berhenti pada usia 6 bulan. Pada
keadaan antara kejang bayi tampak normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat
keluarga ada yang pernah mengalami kejang. Kelainan elektrografis yang spesifik

berupa gelombang datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat
dihentikan dengan obat-obatan biasa dan prognosis untuk perkembangan anak baik.

2. Kejang hari kelima (The Fifth day fits)


Kejang ini adalah kejang berulang antara hari ketiga dan ketujuh kehidupan, paling
sering terjadi pada hari ke 4 dan 5 (80-90%) berlangsung hingga 2 minggu pada BCB
dengan riwayat kelahiran normal dan tidak terdapat kelainan neurologis

pada

beberapa hari pertama kehidupan. Serangan kejang yang terjadi dapat berbentuk
klonik fokal atau multifokal dan serangan apneu. Penyebabnya masih merupakan
misteri, meskipun kadar zinc pada cairan serebrospinal yang rendah ditemukan pada
beberapa kasus.
3. Bangkitan klonus pada BBL tidur (Benign Neonatal Sleep Mioklonus)
Kejang mioklonik hanya terjadi saat BBL tidur, dan EEG nya normal. Mioklonus
terjadi pada semua fase tidur meskipun frekuensinya tergantung fase tidurnya dan
paling sering saat BBL tidur tenang. Kejang menghilang saat usia 6 bulan. Tidak
diperlukan terapi, dan orang tua harus diyakinkan jika kejang ini pada akhirnya akan
berhenti sendiri.
Awitan Kejang
Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir. Penelitian pada
binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan
hipoksik iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan
penghancuran glutamate selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat
terjadi pada bayi. Kejang onset lanjut member kesan meningitis, kejang familial
benigna atau hipokalsemia.

Awitan kejang pada setiap etiologi dapat berbeda,

perbedaan tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab kejang.

Etiologi

Onset (hari)
0-3

Ensefalopati

>3

Kurang bulan

Cukup bulan

+++

+++

++

Iskemik
hipoksik
Perdarahan

intracranial
J.Infeksi

++

++

Gangguan

++

++

perkembangan
otak
Hipoglikemia

Hipokalsemi

Sindrom

epileptic
Keterangan : +++ sering terjadi; ++jarang terjadi; + sangat jarang terjadi
Tabel 1. Awitan kejang berdasarkan etiologi11

II.4. Klasifikasi
Klasifikasi kejang pada neonatal dibagi menjadi 2 yaitu clinical seizure dan
electroenchepalographic seizure. 9
-Clinical seizure : -subtle
-tonik
-klonik
-myoklonik
-Electroenchephalographic seizure :

-Epileptic
-Non Epileptic 9

II.5. Patogenesis
Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak yang lebih
besar. Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna. Korteks pada
neonatus belum matur dibandingkan batang otaknya. Myelinisasi dan sinaps

10

aksodendrit (sinaptogenesis) yang belum sempurna pada daerah korteka menyebabkan


penyebaran rangsang ke seluruh korteks (sinkronisasi bilateral suatu rangsang) tidak
terjadi. Rangsang dapat menyebar perlahan-lahan ke hemisfer kontralateral dan tidak
berlangsung sekaligus bersama-sama. Inilah yang menyebabkan kejang pada neonatus
tidak pernah bersifat kejang tonik klonik umum. 11
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang
berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan
yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya Natrium dan
repolarisasi terjadi karena keluarnya Kalium melalui membrane sel. Untuk
mempertahankan potensial membrane memerlukan energi yang berasal dari ATP dan
tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuknya Kalium.
Depolarisasi yang berlebihan dapat terjadi paling tidak akibat beberapa hal :
1. Gangguan produksi energi dapat mengakibatkan gangguan mekanisme pompa
Natrium dan Klaium. Hipoksemia dan Hipoglikemia dapt mengakibatkan penurunan
yang tajam produksi energi
2. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi neurotransmiter dapat mengakibatkan
kecepatan depolarisasi yang berlebihan
3. Penurunan relatif inhibisi dibanding eksitasi neurotransmitter dapat mengakibatkan
kecepatan depolarisasi yang berlebihan.
Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam kadar
glukosa otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat
disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi pada
otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan oksigen
dan aliran darah otak juga meningkat untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan
glukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi kejang, dan pH arteri sangat menurun.
Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik. Efek dramatis jangka
pendek ini diikuti oleh perubahan struktur sel dan hubungan sinaptik. 4
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi
dan fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut 12:
Keadaan Anatomi susunan syaraf pusat perinatal :

11

Susunan dendrit dan remifikasi axonal yang masih dalam proses pertumbuhan
Sinaptogenesis belum
Mielinisasi pada system efferent di cortical belum lengkap
Keadaan fisiologis perinatal

Sinaps exsitatori berkembang mendahului inhibisi


Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur
Inhibisi kejang oleh system substansia nigra belum berkembang
Mekanisme penyebab kejang pada BBL

Kemungkinan penyebab

Kelainan

Kegagalan mekanisme pompa Natrium Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia


dan Kalium akibat penurunan ATP
Eksitasi neurotransmitter yang berlebihan

Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia

Penurunan inhibisi neurotransmitter

Ketergantungan piridoksin

Kelainan

membrane

sel

yang Hipokalsemia dan hipomagnesemia

mengakibatkan kenaikan permiabilitas


Natrium
Tabel 2. Mekanisme Penyebab kejang pada BBL 10

II.6. Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda kejang yang sering ditemui pada neonatus adalah:

Kejang Tonik (Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal) 2,9
-Kejang tonik umum: Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500
gram). Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh
dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus
kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan otonomis apapun seperti
meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah.

12

-Kejang tonik fokal: Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau
batang tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata kepala atau mata. Sebagian besar
kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus dan
perdarahan intraventrikular.

Kejang Klonik
Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3 /menit),
penyebabnya mungkin fokal/multi-fokal.

Setiap gerakan terdiri dari satu fase

gerakan yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat diikuti oleh fase yang lambat.
Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat
gerakan tersebut. Biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan. Tidak terjadi hilang
kesadaran. Berkaitan dengan trauma fokal,infarks atau gangguan metabolik.
Dikenal 2 bentuk :
a. Fokal : terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi
unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik
dengan atau tanpa gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4
kali perdetik.
b. Multifokal : Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari satu focus atau
migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang kemudian secara acak pindah
ke ekstremitas lainnya. Bentuk kejang merupakan gerakan klonik salah satu atau lebih
anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang
klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kadang-kadang
karena kejang yang satu dengan kejang yang lain sering bersinambungan, seolah-olah
member kesan sebagai kejang umum. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada
gangguan metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat lebih
2500 gram. 2,9

Kejang Mioklonik
Terdiri dari : Kejang mioklonik fokal, multi-fokal atau umum.
-Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas. Kejang
mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan.
-Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg tidak sinkron pd
beberapa bagian tubuh.

13

-Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada kepala dan
batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan
dengan patologi SSP yang difus 1

Kejang subtle
Bentuk kejang ini lebih sering terjadi disbanding tipe kejang yang lain, hampir
50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan. Manifestasi klinis berupa
orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis (lebih sering pada BKB)
yang bergetar berulang-ulang, mata yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi
ke satu arah (lebih sering pada BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah,
mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah, mendayung, bertinju, atau bersepeda.
Episode apneu dapat disebabkan oleh kejang, diagnosis ini dipertimbangkan jika
terdapat respon yang lambat terhadap ventilasi dengan balon dan sungkup khususnya
pada neonates preterm dengan lesi intrakranial. 2
Gerakan yang menyerupai kejang pada BBL
1. Apneu
Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan berhentinya
pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selam 10-50 detik. Bentuk
pernapasan ini disebabkan belum sempurnanya pernapasan di batang otak dan
berhubungan denagn derajat prematuritas.
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk serangan
kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia. Serangan apne tiba-tiba disertai
kesadaran menurun pada bayi berat lahir rendah perlu dicurigai adanya perdarahan
intrakranial dengan penekanan pada batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera
dikerjakan.2
2. Jitterness
Jitterness adalah fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan harus
dibedakan dengan kejang. Jitterness lebih sering pada bayi yang lahir dari ibu yang
menggunakan mariyuana, dapat menjadi tanda dari sindroma abstinensia BBL.
Bentuk gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi yang cepat 5-6 kali per detik.
Jitterness tidak termasuk wajah (tidak seperti kejang subtle) merupakan akibat dari
sensitifitas terhadap stimulus dan akan mereda jika anggota gerak ditahan.

Manifestasi klinis

Jitterness

Kejang

a. Gerakan abnormal mata

14

b. Peka terhadap rangsang

c. Bentuk gerakan dominan

Tremor

Klonik

d.

Gerakan

dapat +

dihentikan dengan fleksi


pasif
e.

Perubahan

fungsi -

f. Perubahan pada tanda +

autonom

vital

dan

penurunan

saturasi oksigen
Tabel 3. Perbedaan jitterness dan kejang2
3.Hiperekpleksia
Merupakan kelainan yang ditandai dengan hioertoni. Respon kejut ini dapat
terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada tinggi.
Hiperekpleksia kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya disebut dengan
sindroma stiff baby herediter. Meslkipun gambaran EEG normal, spasme tonik dapat
berbahaya dan terapi sangat diperlukan 7
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi kedua
hal tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang berbeda.

II.6. Komplikasi
II.7. Diagnosis
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap, riwayat yang
berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang, pemeriksaan

fisik serta pemeriksaan penunjang.


1. Anamnesis
Faktor resiko :
Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa BBL pada anak terdahulu atau
bayi meninggal pada masa BBL tanpa diketahui penyebabnya.
Riwayat kehamilan/ prenatal

Infeksi TORCH atau infeksi lain saat ibu hamil

15

Preeklamsia, gawat janin


Pemakaian obat golongan narkotika, metadon

Imunisasi anti tetanus, Rubela


Riwayat persalinan

Asfiksia, episode hipoksik

Trauma persalinan

KPD (Ketuban Pecah Dini)

Anestesi lokal/ blok


Riwayat pascanatal

Infeksi BBL, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk

Bayi tampak kuning dan timbulnya dini

Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat

Riwayat spasme atau kekakuan pada ekstremitas, otot mulut dan perut, dipicu

--oleh kebisingan atau prosedur atau tindakan pengobatan


Waktu atau awitan kejang mungkin berhubungan dengan etiologi
Bentuk gerakan abnormal pada mata, mulut, lidah dan ekstremitas 1,2,13

Pemeriksaan fisis
- Kejang
Manifestasi klinis kejang pada bayi baru lahir sangat berbeda dengan anak bahkan bayi
kurang bulan berbeda dengan cukup bulan. Gambaran klinis yang sering terjadi sebagai
berikut:
Subtle--:
Orofasial :
Deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis yang bergetar berulang, mata yang tiba tiba
terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah, gerakan seperti menghisap,
mengunyah, mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah, gerakan pada bibir
Ekstremitas:
Gerakan seperti orang berenang, mendayung, bertinju atau bersepeda.
Episode apnu:
Serangan apnu yang termasuk kejang apabila disertai dengan bentuk serangan kejang
yang lain dan tidak disertai bradikardia.
Sistem autonom/vasomotor:
Perubahan tekanan darah (takikardi atau hipertensi) atau peningkatan salivasi
Tonik -Fokal :
Postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau ekstremitas dengan atau tanpa
adanya gerakan mata abnormal.
Umum:
Fleksi tonik atau ekstensi leher, badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi
ekstremitas

16

Klonik-Fokal :
Gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral, gerakan pelan dan
ritmik, frekuensi 1-4 kali/ perdetik.
Multifokal :
Kejang klonik dengan lebih dari satu fokus atau migrasi gerakan dari satu ekstremitas
secara acak pindah ke ekstremitas lainnya.
Bentuk gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah
atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang
klonik tungkai bawah kanan
Mioklonik -Fokal:
Kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor ekstremitas atas.
Multifokal :
Gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian tubuh
Umum :
Terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi masif dari kepala dan badan dan adanya
gerakan fleksi atau ekstensi dari ekstremitas
- Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir menyerupai kejang, tetapi kedua hal tersebut
harus dibedakan karena tata laksananya berbeda. Gambaran klinis berupa :
Kontraksi otot tidak terkendali paling tidak beberapa detik sampai beberapa --menit
Dipicu oleh sentuhan, suara maupun cahaya-Bayi tetap sadar, sering menangis kesakitan-Trismus (rahang kaku, mulut tidak dapat dibuka, bibir mencucu seperti mulut --ikan)
Opistotonus (kekakuan pada ekstremitas, perut)-Gerakan tangan seperti meninju dan mengepal (IDAI,2011)

Gambar: Bayi menunjukkan gambaran khas spasme

II.7. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk mencari penyebab kejang:

17

Pemeriksaan darah rutin dan apusan darah -Lumbal pungsi dan pemeriksaan cairan serebrospinal-Kadar glukosa darah, kadar elektrolit darah, kadar bilirubin total, direk dan indirek -Bila diduga ada riwayat jejas pada kepala: pemeriksaan berkala hemoglobin dan
--hematokrit untuk memantau perdarahan intraventrikuler serta didapat perdarahan pada
cairan serebrospinal.
Ultrasonografi untuk mengetahui adanya perdarahan periventrikuler---intraventrikuler.
Pencitraan kepala (--CT-scan kepala) untuk mengetahui adanya perdarahan subarahnoid
atau subdural, cacat bawaan, infark serebral.
Elektroensefalografi (EEG): -Pemeriksaan EEG pada kejang dapat membantu diagnosis, lamanya pengobatan dan
prognosis
Gambaran EEG abnormal pada neonatus dapat berupa: gangguan kontinuitas, amplitudo atau
frekuensi; asimetri atau asinkron interhemisfer; bentuk gelombang abnormal; gangguan dari
fase tidur; aktivitas kejang mungkin dapat dijumpai
II.9. Penatalaksanaan
Penanganan utama adalah mengatasi hipoksia dan gangguan metabolik sebagai penyebab
tersering kejang pada neonatus kemudian pemberian antikejang
Langkah pertama dalam manajemen kejang adalah Pertahankan homeostasis sistemik
(pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi). O2 harus mulai, IV akses harus
diamankan, dan darah harus dikumpulkan untuk gula dan penyelidikan lain. Sejarah
relevan harus diperoleh dan cepat klinis pemeriksaan harus dilakukan. Semua ini
seharusnya tidak membutuhkan lebih dari 2-5 menit.
Terapi etiologi spesifik :
Dekstrose 10% 2 ml/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 ml/kg BB) diencerkan
akuades sama banyak diberikan secara intra vena dalam 5 menit (bila diduga
-

hipokalsemia)
Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
Piridoksin 50 mg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang
akan berhenti dalam beberapa menit 10,12

Medikamentosa
- Medikamentosa untuk menghentikan kejang

18

Fenobarbital 20 mg/kgBB intravena (IV) dalam waktu 10-15 menit, jika kejang tidak
--berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2 kali dengan selang
waktu 30 menit. Jika tidak tersedia jalur intravena, dapat diberikan intramuskular (IM)
dengan dosis ditingkatkan 10-15%.
Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin 20 mg/kgBB IV dalam larutan garam
--fisiologis dengan kecepatan 1mg/kgBB/menit.
Bila kejang masih berlanjut, dapat diberikan ---Golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 0,05 0,1mg/kgBB setiap 8-12 jam
--Midazolam bolus 0,2mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis titrasi 0,1-0,4
mg/kgBB/jam IV
--Piridoksin 50-100 mg/kgBB IV dilanjutkan 10-100 mg/kgBB/hari peroral
- Pengobatan rumatan
Fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari, dosis tunggal atau terbagi tiap 12 jam secara IV --atau
peroral.
Fenitoin 4-8 mg/kgBB/hari IV atau peroral, dosis terbagi dua atau tiga.-- Pengobatan spasme/tetanus neonatorum
Beri diazepam 10 mg/kgBB/hari dengan drip selama 24 jam atau bolus IV tiap 3 --jam,
maksimum 40 mg/kgBB/hari
Bila frekuensi napas kurang 30 kali per menit, hentikan pemberian obat --meskipun
bayi masih mengalami spasme.
Bila tali pusat merah dan membengkak, mengeluarkan pus atau berbau busuk --obati
untuk infeksi tali pusat.
Beri bayi-Human tetanus immunoglobin 500 U IM, bila tersedia, atau tetanus antitoksin --5000
U IM. Tetanus toksoid 0,1 mL IM pada tempat yang berbeda dengan tempat
pemberian antitoksin
Benzil penicillin G 100.000 U/kgBB IV dosis tunggal selama 10 hari-Bila terjadi kemerahan dan/atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal tali
--pusat, atau keluar nanah dari permukaaan tali pusat, atau bau busuk dari area tali
pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0.5 mL (untuk melindungi ibu dan bayi
--yang dikandung berikutnya) dan minta datang kembali satu bulan kemudian untuk
pemberian dosis kedua.
- Pengobatan sesuai dengan penyebab kejang
Suportif
- Menjaga jalan napas tetap bersih dan terbuka serta pemberian oksigen untuk mencegah
hipoksia otak yang berlanjut.
- Menjaga kehangatan bayi
- Pasang jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat serta tunjangan nutrisi adekuat

19

- Mengurangi rangsang suara, cahaya maupun tindakan invasif untuk menghindari


bangkitan kejang pada penderita tetanus
- Pemberian nutrisi bertahap, diutamakan ASI.
- Bila memerlukan ventilator mekanik, maka harus dirujuk ke Rumah Sakit dengan
fasilitas Pelayanan Neonatal Level III yang tersedia fasilitas NICU

Pemantauan
- Terapi
Efektifitas terapi dipantau dengan melihat gejala klinis, bila perlu diulang dan segera
--dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan penyakit penyebabnya.
Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian antikejang rumatan,
--fenobarbital 5 mg/kgBB/hari adalah pilihan pertama.
Pemberiaan dosis rumatan dihentikan setelah tidak ada kelainan neurologis dan --atau
kelainan gambaran EEG.
- Tumbuh Kembang
Pemantauan terutama ditujukan pada pertumbuhan dan perkembangan sensorik --dan
motorik. Setiap adanya gangguan perkembangan, perubanhan tingkah laku ataupun
gejala neurologik, eksplorasi harus dilakukan dengan pemeriksaan neurologis lengkap.
Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian --yang
tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung semakin tinggi risiko
kerusakan pada otak dan berdampak pada terjanya kelainan neurologik lanjut (misalnya
palsi serebral dan retardasi mental)

Tata Laksana Kejang Akut


dan Status Epileptikus

Dari seluruh kunjungan emergensi, 1% di antaranya adalah ka


sus kejang. Kejang
merupakan tanda awal penyakit yang serius dan dapat berkembang
menjadi status
epileptikus. Status epileptiikus adalah kejang yang berlangsung terus me
nerus lebih dari
30 menit atau kejang berulang selama lebih dari 30 menit tanpa p
emulihan kesadaran
di antara serangan kejang. Hampir 10-12% status epileptikus merupa
kan kejang yang

20
pertama kali dialami bayi dan anak. Sedangkan kejang refrakter adalah k
ejang yang tidak
berespons dengan diazepam, fenitoin, fenobarbital, atau kejang yang berl
angsung selama
60 menit meskipun sudah mendapat terapi adekuat.
Etiologi: (1) Infeksi dengan demam (52%) seperti kejang demam, ensefal
itis, meningitis (2)
Kelainan susunan saraf pusat (SSP) kronik (39%) seperti ensefalopa
ti hipoksik iskemik
dan serebral palsi, (3) Penghentian obat anti kejang (21%), (4) Lain lain (
<10%)

Diagnosis
Anamnesis
- Diskripsi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama, frekuensi, kesadar
an saat kejang,
dengan/tanpa demam, interval, kesadaran pasca kejang, dan
kelumpuhan pasca
kejang)
- Anamnesis untuk mencari etiologi kejang: demam, trauma kepala, ses
ak napas, diare,
muntah, riwayat ada tidaknya kejang/epilepsi. Jika ada epilepsi, apak
ah minum obat
secara teratur.
- Riwayat kejang/epilepsi dalam keluarga.
Pemeriksaan fisis
- Penilaian kesadaran, pemeriksaan fisik umum yang menunjang ke arah
etiologi kejang
seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-tanda dehidrasi
maupun tandatanda hipoksia.
- Pemeriksaan neurologi meliputi ada tidaknya kelainan bentuk kepala,u
bun-ubun besar,
tanda rangsang meningeal, nervus kranial, motorik, refleks fisiologis d
an patologis.
Pemeriksaan penunjang
Sesuai indikasi untuk mencari etiologi dan komplikasi status epileptikus:
- Darah perifer lengkap, cairan serebrospinal, gula darah, elektrolit dara
h, dan analisis
gas darah.
- Elektroensefalografi (EEG).
- Computed tomography (CT-Scan)/ magnetic resonance imaging (MRI) k
epala.

21

Tata Laksana
Medikamentosa
Tujuan utama pengobatan status epileptikus:
- Mempertahankan fungsi vital (A,B,C)
- Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor presipitasi
- Menghentikan aktivitas kejang. Tata laksana penghentian kejang ak
ut dapat dilihat
pada algoritme.
Tata laksana penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai berikut:
- Di rumah / Prehospital:
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtua
dengan pemberian
diazepam per rektal dengan dosis 0,3 0,5 mg/kg atau secara sederha
na bila berat
badan < 10 kg: 5 mg sedangkan berat badan > 10 kg: 10 mg.
Pemberian di rumah
maksimum 2 kali dengan interval 5 menit. Bila kejang masih berl
angsung bawalah
pasien ke klinik/rumah sakit terdekat
- Di rumah sakit
Saat tiba di klinik/rumah sakit, bila belum terpasang cairan intravena, d
apat diberikan
diazepam per rektal ulangan 1 kali sambil mencari akses vena. S
ebelum dipasang
cairan intravena, sebaiknya dilakukan pengambilan darah untuk pe
meriksaan darah
tepi, elektrolit, dan gula darah sesuai indikasi.
Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin IV dengan dosis 20 m
g/kg dilarutkan
dalam NaCl 0,9% diberikan perlahan lahan dengan kecepatan pe
mberian 50 mg/
menit. Bila kejang belum teratasi, dapat diberikan tambahan fenitoi
n IV 10 mg/kg.
Bila kejang teratasi, lanjutkan pemberian fenitoin IV setelah 12 jam ke
mudian dengan
rumatan 57 mg/kg.
Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital IV dengan dosis m
aksimum 15 - 20
mg/kg dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit.Awasi dan atasi kel
ainan metabolik
yang ada. Bila kejang berhenti, lanjutkan dengan pemberian fenobarbit
al IV rumatan
45 mg/kg setelah 12 jam kemudian.
- Perawatan Intensif rumah sakit
Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang i
ntensif. Dapat
diberikan salah satu di bawah ini:

22

- Midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti infus mi


dazolam 0,01
0,02 mg/kg/menit selama 1224 jam.
- Propofol 1 mg/kg selama 5 menit, dilanjutkan dengan 15 mg/kg/ja
m dan diturunkan
setelah 1224 jam
- Pentobarbital 515 mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan 0,55 mg
/kg/jam
Terapi rumatan
- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan diazep
am, tergantung
dari etiologi. Jika penyebab kejang suatu hal yang dapat dik
oreksi secara cepat
(hipoglikemia, kelainan elektrolit, hipoksia) mungkin tidak diperlukan ter
api rumatan
selama pasien dirawat.
- Jika penyebab infeksi SSP (ensefalitis, meningitis), perdarahan intrak
ranial, mungkin
diperlukan terapi rumat selama perawatan. Dapat diberikan fenoba
rbital dengan
dosis awal 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari, dila
njutkan dengan
dosis 4-5 mg/kgBB/hari sampai risiko untuk berulangnya kejang tidak
ada.
- Jika etiologi adalah epilepsi, lanjutkan obat antiepilepsi dengan menaikk
an dosis.
- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan fenitoin,
lanjutkan rumatan
dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan fenob
arbital, lanjutkan
rumatan dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
Cara pemberian obat antikonvulsan pada tata laksana kejang akut

Diazepam
- Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10 mg, dapat
diberikan 2 kali dengan
interval 5-10 menit.
- Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali
pemberian 10 mg dengan
kecepatan maksimum 2 mg/menit, dapat diberikan 2-3 kali dengan int
erval 5 menit.

Fenitoin
-

Dosis inisial maksimum adalah 1000 mg (30 mg/kgBB).


Sediaan IV diencerkan dengan NaCl 0,9%, 10 mg/1 cc NaCL 0,9%.
Kecepatan pemberian IV: 1mg/kg/menit, maksimum 50 mg/menit.
Jangandiencerkan
dengan
cairan
yang
mengandung
dextrose,
karena akan
menggumpal.

23
- Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah pem
berian.
- Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.
- Efek samping: aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada pemberia
n IV yang terlalu
cepat.

Fenobarbital
n

Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan IV.


Dosis inisial maksimum 600 mg (20 mg/kgBB).
Kecepatan pemberian 1 mg/kg/menit, maksimum 100 mg/menit.
Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.
Efek samping: hipotensi dan depresi napas, terutama jika diberika
setelah obat
golongan benzodiazepin.

Protokol penggunaan midazolam pada kejang refrakter


Rawat di ICU, intubasi, dan berikan ventilasi. Midazolam bolus 0,2 m
g/kg (perlahan),
kemudian drip 0,02-0,4 mg/kg/jam. Rumatan fenitoin dan fenobarbital
tetap diberikan.
Dosis midazolam diturunkan jika terdapat gangguan kardiovaskuler. I
nfus midazolam
diturunkan secara bertahap jika dalam 12 jam tidak tedapat kejang.
Tata laksana umum
- Pemantauan tekanan darah/laju napas/laju nadi/suhu/elektrokardiografi
- Pemantauan
tekanan
intrakranial: kesadaran,
Dolls
eye
movement, pupil, pola
pernapasan, dan edema papil
- Analisis gas darah, darah tepi, pembekuan darah, elektrolit, fungsi hati
dan ginjal, bila
dijumpai kelainan lakukan koreksi
- Balans cairan input output
- Tata laksana etiologi
- Edema serebri dapat diberikan manitol 0,5-1,0 mg/kg/8 jam
Pemantauan dan prognosis
- Mati batang otak (Brain Death) - angka kematian 5%
- Pemantauan: CT scan /MRI kepala, elektroensefalografi, Brainstem
Auditory Evoked
Potential,Visual Evoked Potential
- Gejala sisa: delayed motorik, sindrom ekstrapiramidal, retardasi mental
, dan epilepsi

Kepustakaan
1.

Camfield PC, Camfield CC.Advances in the diagnosis and management of pediatric se

izure disorders
in the twentieth century. J Pediatr. 2000; 136:847-9.

24
2. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epielpticus. Pediatr Clin North Am. 2001;
48:683-94.
3. Arzimanoglou A, Guerrini R, Aicardi J. Status epilepticus. Dalam: Aicardis epileps
y in children.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2004. h.126-38.
4. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Diagnosis and management of
epilepsies in
children and young people.A national clinical guideline. 2005.
5. Widodo DP.Algoritme penatalaksanaan kejang akut dan status epileptikus pada bayi d
an anak. Dalam:
Pediatric Neurology and neuroemergency in daily practice. Naskah lengkap Pendidika
n Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIX. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2006. h. 63
6.
Faught E, Degiorgio CM. Generalized convulsive status epilepticus: principles of treatment. Dalam:
Wasterlain CG,Treiman DM, penyunting. Status epilepticus. London:The Mit Press; 2006.
h.481-91.
7. Statler KD,Van Orman CB. Status epilepticus. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers t
extbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:Woter Kluwer Lippincott Williams &
Wilkins; 2008.
h.912-28.

(PPM IDAI, 2009)

25

I.10. Komplikasi (Sequelle)


Malformasi otak (15-20%)
Retardasi mental
Serebral palsy
II.11. Prognosis
Ini terutama tergantung pada penyebab primer gangguan ini atau beratnya
serangan. Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau hipokalsemia akubat
makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik. Sebaliknya, anak dengan kejang
yang bandel karena ensefalopati hipoksik-iskemik atau kelainan sitoarkitektural otak
biasanya tidak akan berespon dengan anti konvulsan dan rentan terhadap status
epileptikus dan kematian awal. Tantangan pada dokter adalah untuk mengenali
penderita yang akan sembuh dengan pengpbatan segera dan mengjindari penundaan
diagnosis yang dapat menyebabkan cidera neurologis berat irreversibel. 8
a.

Prognosisnya tergantung penyebab primer dan beratnya serangan.

b.

Prognosisnya buruk bila :


1. Nilai apgar menit ke 5 dibawah 6
2. Resusitasi yang tidak berhasil baik
3. Kejang yang berkepanjangan (prolonged seizures)
4. Kejang yang timbul <12 jam setelah lahir
5. Bayi berat badan lahir rendah
6. Adanya kelainan neurologik sampai bayi berumur 10 hari
7. Adanya problematika minum yang terus berlanjut

d.

Prognosis terbaik dengan : hipocalcemia, defisiensi piridoxine, dan perdarahan

subarachnoid
e. Prognosis lebih buruk dengan : hipoglikemia, anoxia,
8,11

(Mizrahi, 1998) (Anonim,2009)

II.11. Pencegahan
II.12. Vaksinasi

KESIMPULAN

Malformasi otak.

26

1. Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan
terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak.
2. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan pada praktek
neurologi anak.
3. Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik,
toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu selama waktu
ini daripada pada periode kehidupan lain kapanpun.
4. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena
konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses
pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak
neonatus. Discharge kejang karenanya tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke seluruh
otak neonatus untuk menimbulkan kejang menyeluruh. Dengan perawatan yang baik dan
benar diharapkan akan memperkecil angka kejadian kejang pada neonatus.

You might also like