You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasn Akut) merupakan padanan istilah
bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI) adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (selaput paru).
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru (alveoli). 3
ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di
negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini
disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA
khususnya pneumonia atau bronkopneumonia, terutama pada bayi dan balita.4
Dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit pneumonia semua bentuk
pneumonia (baik pneumonia maupun bronkopneumonia) disebut pneumonia saja.
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru akut yang mengenai satu atau
beberapa

lobus

yang

ditandai

dengan

adanya

bercak-bercak

infiltrat.

Bronkopneumonia merupakan salah satu bentuk infeksi saluran pernapasan bawah


akut (ISPbA).5
World Health Organitation (WHO) tahun 2005 menyatakan Propotional
Mortality Ratio (PMR) balita akibat pneumonia di seluruh dunia sekitar 19% atau
berkisar 1,6 - 2,2 juta dan sekitar 70% terjadi di negara-negara berkembang,
terutama di Afrika dan Asia Tenggara.6 Pada tahun 2006, Indonesia menduduki

peringkat ke-6 di dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah
penderita mencapai enam juta jiwa.7
Berdasarkan data WHO penyakit saluran pernafasan akut salah satu
penyumbang dari banyak penyebab kesakitan dan kematian. Pada tahun 2000 di
El Salvador, Incidence Rate (IR) ISPA 252 per 1.000 penduduk dengan proporsi
52% pada umur dibawah 5 tahun. IR pneumonia dan bronkopneumonia 44,7 per
1.000 penduduk dengan proporsi 38,3% pada umur dibawah 1 tahun.9
Insiden ISPA (Pnemonia) di Indonesia tiap tahun sekitar 2,33 juta 4,66 juta
kasus. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, angka
kesakitan ISPA menduduki peringkat ketiga sebesar 24%, setelah penyakit gigi
dan mulut sebesar 60% dan penyakit refraksi dan penglihatan sebesar 31%.12
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, pneumonia merupakan penyakit yang
tergolong kedalam ISPA dengan PMR 80-90%. PMR pneumonia pada balita
berturut-turut pada tahun 2000, 2001, 2002, 2003, dan 2004 masing-masing
30,1% (20 provinsi), 22,6% (20 provinsi), 22,1% (29 propinsi), 29,5% (24
propinsi), dan 27,1% (23 propinsi).13
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2007, jumlah kematian akibat penyakit
sistem napas pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia sebanyak 7.214 dari
197.780 penderita dengan Case Fatality Rate (CFR) 3,65% dan 8.190 dari
205.076 penderita dengan CFR 3,99% tahun 2008. Target cakupan penemuan
kasus program
ISPA nasional pada pneumonia balita 76% dari perkiraan jumlah kasus, namun
cakupan penemuan kasus baru mencapai 18,8% (laporan dari 26 provinsi).3

Menurut hasil penelitian Ramadhaniati di Laboratorium Mikrobiologi RS Dr. M.


Djamil Padang tahun 2006, hasil pemeriksaan mikrobiologis penderita infeksi
paru non tuberkolosis menunjukkan bahwa dari 85 permintaan pemeriksaan
mikrobiologis yang mencantumkan diagnosis klinis sebagai infeksi paru non
tuberkolosis, sebagian besar ditegakkan diagnosis sebagai bronkopneumonia
(69,42%), bronkitis kronik (20%), bronkiektasis (4,7 %), bronkitis akut (3,53 %),
dan abses paru (2,35 %).14

BAB 2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
A. Identitas Penderita
Nama

: Putri Zalia

Umur

: 5 Tahun, 5 bulan

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Suku

: Aceh

Anak ke

:2

Alamat

: Ds. teungoh Pirak, kec. Matang kuli

No. MR

: 06.11.83

Tanggal Masuk

: 10 Oktober 2014

Tanggal Keluar

: 16 Oktober 2014 PBJ

B. Identitas Orang Tua


Nama Ayah

: Tn. I A

Umur

: 36 tahun

Pekerjaan

: Petani

Pendidikan

: SMA

Nama Ibu

: Ny. H

Umur

: 31 tahun

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidkan

: SMA

II. DATA DASAR


ANAMNESIS
Alloanamnesis ( Anamnesis dengan orang tua pasien)
a. Keluhan Utama
Lemas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk dari IGD RSU Cut Meutia dengan keluhan sesak nafas sejak 1
hari yang lalu, ibu pasien mengaku pasien mengalami batuk selama 3 hari smrs
seperti ada cairan didalam paru pasien. pasien juga mengalami demam tinggi 2
hari yang lalu. pasien merupakan anak ke 2, dengan persalinan normal.
c. Riwayat Penyakit dahulu :

Pasien sebelumnya pernah menderita batuk 1 bulan sebelum masuk ke rumah


sakit tanpa mengalami sesak, ibu pasien mengaku hanya berobat dipuskesmas.
setelah itu batuk berkurang.
d. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa
dengan pasien.
e. Riwayat penggunaan obat
Untuk menurunkan demam, orang tua pasien sering memberikan obat
penurun panas yang dijual bebas di pasaran. Pasien beberapa kali dibawa berobat
puskesmas untuk menghilangkan batuknya.
f. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
1. Riwayat Kehamilan
Pasien adalah anak ke dua, ibu psien tidak memiliki riwayat
keguguran sebelumnya. Pada masa akhir kehamilan ibu sempat mengalami
perdarahan dan ditangani langsung oleh bidan yang datang ke rumah.
2. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir yang ditangani oleh bidan, lahir pervaginam dengan
berat badan lahir 1.700 gram dan segera menangis. Ibu pasien mengaku
pasien lahir dengan usia kehamilan kurang bulan.

g. Riwayat Makanan
Saat lahir sampai usia 5 bulan pasien masih mendapatkan ASI. Namun
pasien sudah mendapat pisang yang dihaluskan sejak usia 3 bulan.
h. Riwayat Imunisasi
Pasien mendapatkan 5 imunisasi dasar lengkap.
i. Riwayat Tumbuh Kembang
Ibu pasien mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan pasien
normal dan berat badan pasien terus bertambah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 11 Oktober 2014
a. Kesan Umum :
Keadaan umum tampak sedikit lemas dan sesak
b. Tanda Vital
1. Heart rate

: 84 x/menit, regular

2. Laju nafas

: 60x/menit, reguler

3. Tekanan darah : Tidak diperiksa


4. Suhu

: 36,7 0 C

5. Kesadaran

: Compos Mentis

6. Berat Badan

: 5,2 Kg

7. Panjang Badan : 58 cm

c. Status Gizi
Status Gizi : BBS / BBI x 100%
: BBI menurut grafik CDC 5,2 kg
: { / } x 100%
: 0 x 100 %
: % ( Gizi )
d. Status General
Kepala
Bentuk

: Normocephali, luka (-).

Rambut

: Hitam, lurus, tidak mudah dicabut

Wajah

: Simetris, fascies coley (-) deformitas (-), oedema (-)

Mata

: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat (+/+)

pupil isokor (+/+) reflek cahaya (+/+), sekret (-/-) oedema (-)
Hidung

: Bentuk normal, simetris, sekret (-/-), deviasi septum (-),

pernapasan cuping hidung (-), konka hiperemis (-/-)

Telinga

: Bentuk dan ukuran normal, membran timpani intak, hiperemis (-

/-) sekret (-/-) massa (-)


Mulut

: Sianosis (-), sariawan (-), beslag (-), karies gigi (+), tonsil dan

faring dalam batas normal


Kulit
Kuning langsat, turgor normal, sianosis (-), ikterik (-) pucat (+)
Leher
Inspeksi

: Simetris, luka (+) hiperemis (-)

Palpasi

: Perbesaran KGB (-), perbesaran tiroid (-), massa (-)

Thorax
Inspeksi

: Bentuk normal, pergerakan dinding dada simetris, retraksi

intercosta (-) luka (-) memar (-)


Palpasi

: Fremitus normal, massa (-)

Perkusi

: Sonor (+/+)

Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Wheezing (-/-)


Cor
Inspeksi

: Ictus cordis tidak nampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS V

Perkusi

: Batas atas jantung : ICS III, linea parasternal sinistra


Batas kanan jantung : ICS IV, linea parastesnal dextra
Batas kiri jantung : ICS IV, linea parasternal sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)


Abdomen
Inspeksi

: Bentuk simetris (+), cembung (+) luka (-)

Palpasi

: Supel (+) hepatomegali (+) teraba 2cm dibawah arcus costae

kanan,

splenomegali (+) teraba di schuffner 2

Perkusi

: Timpani (+), asites (-)

Auskultasi : Bising usus normal


Genitalia
Tidak diperiksa
Anus
Tidak Diperiksa
Ekstremitas :

Akral Dingin
Akral Sianosis
CRT
Oedem

Superior
-/-/<2 detik
-/-

10

Inferior
-/-/<2 detik
-/-

e. Status Neurologis
1. Tingkat kesadaran

: Compos Mentis

2. Reflek Patologis

: Negatif

3. Refleks Fisiologis

: Normal

IV. DIAGNOSA BANDING


1. Thalassemia Mayor
2. Anemia Defisiensi Besi
3. Anemia akibat Penyakit Kronik

V. DIAGNOSA KERJA
Thalasemia Mayor

VI. PENATALAKSANAAN
1.

Transfusi darah
a. Tranfusi Packed Red Cells (PRC) 1x 175 cc
b. IVFD NACL 0.9% 15 gtt/i
c. Pre transfusi : inject dexametasone 2,5 mg dan furosemid 10 mg

11

2.

Medikamentosa
a. Asam folat 1 x 1 tablet
b. Parasetamol sirup 3 x 1 sendok teh

VII. RENCANA PEMERIKSAAN


a. Pemeriksaan darah rutin dan darah tepi
b. Pemeriksaan Hb elektroforesa

VIII. PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam

: Dubia ad bonam

2. Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam


3. Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

IX. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Hasil pemeriksaan darah rutin 22 08 - 2014

Hb : 8,1

Eritrosit : 3,0

Leukosit : 18,1

12

X.

Hematokrit : 22,5

MCV : 75

MCH : 27

MCHC : 36

RDW : 23,4

Trombosit : 327

RESUME
Pasien masuk dari Poli Anak RSU Cut Meutia dengan keluhan lemas selama

3 hari disertai pucat dan tidak nafsu makan. Riwayat demam, mual, muntah,
mencret, sakit kepala ataupun sakit perut disangkal. Pasien telah didiagnosa
menderita thalasemia dan rutin melakukan transfusi darah setiap bulan sejak usia
2,5 tahun.
Keadaan umum pasien baik, kesadaran somnolen, frekuensi jantung 100
kali/menit, frekuensi napas 28 kali/menit, temperature 36,7 0C (axilla).

XI. FOLLOW UP PASIEN


Tanggal

SOAP

Terapi

13

22 08 - 2014
Hari 1

S : Demam (-), lemas (+), pucat


(+), nafsu makan berkurang (+),
minum (+), mual (-), muntah (-),
BAB (+), mencret (-), BAK (+)
sakit perut (-), sakit kepala (-)
O : KU (sedang)
HR : 100x / menit
RR : 28x / menit
T : 36,7 derajat
Konjungtiva anemis (+),
hepatomegali (2 cm), splenomegali
(schuffner 2)

1. IVFD NaCL 0.9% 15 gtt/i


2. Transfusi PRC 1 x 175 cc
3. Pre Transfusi :
Inj. Dexamethason 2,5 mg
Inj Furosemide 10 mg
4.

Asam folat 1 x 1 tab

5. Parasetamol sirup 3 x 1 cth

A : Thalasemia Mayor
P : Cek darah rutin
Hasil 22 08 2014 :
Hb : 8,1
Eritrosit : 3,0
Leukosit : 18,1
Hematokrit : 22,5
MCV : 75
MCH : 27
MCHC : 36
RDW : 23,4
Trombosit : 327
Pasien pulang atas permintaan sendiri (PAPS) pukul 20.00

14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Definisi
Thalassemia adalah penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal

resesif menurut hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit
thalassemia meliputi suatu keadaan penyakit dari gelaja klinis yang paling ringan
(bentuk heterozigot) yang disebut thalassemia minor atau thalassemia trait (carrier
= pengemban sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut
thalassemia mayor. Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang tuanya
yang mengidap penyakit thalassemia, sedangkan bentuk homozigot diturunkan
oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia (Ganie, 2005).
Menurut bahasa, thalasemia berasal dari kombinasi kata Yunani yaitu
thalassa yang berarti laut dan haima yang berarti darah. Nama awal untuk bentuk
penyakit ini adalah Anemia Mediteranea karena populasi Mediterranea adalah
populasi yang pertama kali diketahui mengidap penyakit ini (Sacher, 2004).
Thalasemia pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B.
Cooley tahun 1925 di daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang
menderita anemia dengan pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Anemia
dinamakan splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia
Cooley sesuai dengan nama penemunya (Ganie, 2005).

15

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh


kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh
tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah
mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia
(Widyastuti, 2013).
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi
mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah
pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin.
Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari
rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa ()
dan 2 rantai beta () yang meliputi HbA (22 = 97%), sebagian lagi HbA2 (22
= 2,5%) sisanya HbF (22 = 0,5%). Rantai globin merupakan suatu protein,
maka sintesisnya dikendalikan oleh suatu gen. Dua kelompok gen yang mengatur
yaitu kluster gen globin- terletak pada kromosom 16 dan kluster gen globin-
terletak pada kromosom 11 (Ganie, 2005)
Penyakit thalasemia diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen
globin beta. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu
komponen pembentuk hemoglobin. Gen globin beta hanya sebelah yang
mengalami kelainan maka disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang
pembawa sifat thalassemia tampak normal atau sehat, sebab masih mempunyai 1
belah gen dalam keadaan normal dan dapat berfungsi dengan baik dan jarang
memerlukan pengobatan (Ganie, 2005).

16

Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom, dinamakan


penderita thalassemia mayor yang berasal dari kedua orang tua yang masingmasing membawa sifat thalassemia. Proses pembuahan, anak hanya mendapat
sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Satu dari orang
tua menderita thalasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat dan 50%
thalasemia trait. Kedua orang tua thalasemia trait maka kemungkinan 25% anak
sehat, 25% anak thalasemia mayor dan 50% anak thalasemia trait (Ganie, 2005).

3.2.
1.

Epidemiologi
Distribusi Orang: Usia dan Jenis Kelamin
Berdasakan data penderita thalasemia yang berobat di Pusat Thalasemia
RSCM dari tahun 19932007 yang berjumlah 1.267 kasus, terdapat 499 kasus
atau sebesar 39,38% berusia

0-5 tahun, 394 kasus atau sebesar 31,10%

berusia 6-10 tahun, 224 kasus atau sebesar 17,68% berusia 11-15 tahun, 104
kasus atau sebesar 8,04% berusia 16-20 tahun, 46 kasus atau sebesar 3,63%
berusia 20 tahun (Dewi, 2009). Berdasarkan penelitian Poeny (2004) di
RSCM dari 68 kasus thalasemia yang diteliti, 35 kasus (51,5%) berjenis
kelamin laki-laki, sedangkan 33 kasus atau sebesar 48,5% adalah jenis
kelamin perempuan.
2. Determinan Genetika
Thalasemia diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin dan gen
yang terletak pada kromosom 11 dan 16. Kromosom yang seharusnya
berpasangan, jika hanya sebelah gen globin yang mengalami kelainan disebut

17

carrier thalasemia. Seorang yang carrier thalasemia tampak normal/sehat,


sebab masih mempunyai sebelah gen yang masih dalam keadaan sehat
(berfungsi dengan baik). Seorang yang carrier thalasemia jarang memerlukan
pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, disebut
sebagai thalasemia (homozigot/mayor). Kromosom yang sakit pada sepasang
tersebut berasal dari kedua orangtua yang masing-masing carrier thalasemia
(Dewi, 2009).

Gambar 3.1 Mekanisme penurunan genetik thalasemia (Sumber: Amalia, 2011)


3.3.

Klasifikasi
Berdasarkan rantai asam amino yang terkena thalasemia dibagi menjadi

dua bagian, yaitu :


1. Thalasemia Alfa
Thalasemia Alfa biasanya disebabkan oleh delesi gen. Secara normal terdapat
empat buah gen globin alpha dan oleh sebab itu beratnya penyakit secara klinis
dapat digolongkan menurut jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif (Hoffbrand,
2012)
18

a. Silent Carrier State (gangguan pada 1 rantai globin alpha)


Kelainan yang disebabkan oleh kekurangan protain alpha dalam tingkat rendah,
akibatnya fungsi hemoglobin dalam eritrosit tampak normal dan tidak terjadi
gejala klinis yang signifikan. Silent Carrier sulit dideteksi karena penderitanya
masih dapat hidup normal. Umumnya Silent Carrier baru terdeteksi ketika
memiliki keturunan yang memiliki kelainan hemoglobin (PMI Jatim, 2007).
b. Alfa Thalasemia Trait (gangguan pada 2 rantai globin alpha)
Volume MCV, MCH dan MCHC semuanya rendah dan hitung sel darah merah
di atas 5,5 x 1012/L. Elektroforesis hemoglobin tampak normal. Penderita hanya
mengalami anemia kronis yang ringan dengan sel darah merah hipokrom dan
mikrositer. Umumnya dapat menjadi carrier (Hoffbrand, 2012).
c. Hemoglobin H Disease ( gangguan pada 3 rantai globin alpha)
Dapat

menyebabkan

anemia

hipokrom

mikrositer

yang

cukup

berat

(hemoglobin 7 11 gr/dl) disertai perbesaran limpa. Keadaan ini dikenal


sebagai penyakit hemoglobin H karena hemoglobin H dapat dideteksi dalam
eritrosit melalui pemeriksan elektroforesa. Penderita dapat bervariasi mulai
tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan
perbesaran limpa (PMI Jatim, 2007).
d. Alfa Thalassemia Mayor (gangguan pada 4 rantai globin alpha)
Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalassemia
tipe alfa. Pada kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga
tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alpha
thalassemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak

19

karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya
mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan (Darling,
2014).
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin
beta yang ada. Pada thalasemia beta biasanya terdapat delesi gen globin beta.
Thalassemia beta terbagi atas (Dewi, 2009) :
a. Thalasemia Beta Trait
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang
mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermediate
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit
rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari
derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Beta Mayor
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi
rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa
anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk
hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat
disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan
kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita
thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin.

20

Gambar 3.2. Skema Penurunan Gen Thalassemia Menurut Hukum Mendel


(Sumber : Darling, 2014)
3.4.

Etiopatologi
Talasemia diakibatkan adanya variasi atau hilangnya gen ditubuh yang

membuat hemoglobin. Hemoglobin adalah protein sel darah merah (SDM) yang
membawa oksigen. Orang dengan talasemia memiliki hemoglobin yang kurang

21

dan SDM yang lebih sedikit dari orang normal.yang akan menghasilkan suatu
keadaan anemia ringan sampai berat (Darling, 2014).
Ada banyak kombinasi genetik yang mungkin menyebabkan berbagai variasi
dari talasemia. Talasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan dari orang tua
kepada anaknya. Penderita dengan keadaan talasemia sedang sampai berat
menerima variasi gen ini dari kedua orang tuannya. Seseorang yang mewarisi gen
talasemia dari salah satu orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah
seorang pembawa (carriers). Seorang pembawa sering tidak punya tanda keluhan
selain dari anemia ringan, tetapi mereka dapat menurunkan varian gen ini kepada
anak-anak mereka (Darling,2014).
Secara umum penyebab thalasemia adalah pewarisan gen homozigous
autosom yang parsial dominan biasanya pada thalasemia mayor dan intermedia.
Penyebab lain yaitu pewarisan heterozigous gen yang sama, khusus pada
thalasemia minor (Kowalak, 2012).
1. Thalasemia
Sebagian besar thalasemia disebabkan oleh delesi lokus gen globin, karena
terdapat 4 gen globin fungsional, terdapat 4 derajat keparahan thalasemia
didasarkan pada hilangnya satu sampai 4 gen globin dari kromosom.
Kemungkinan ini menimbulkan spektrum klinis yang luas, pada spektrum tersebut
keparahan berkorelasi dengan jumlah gen globin yang mengalami delesi.
Hilangnya satu gen globin menyebabkan keadaan silent carrier, sedangkan
kehilangan keempat gen globin menyebabkan kematian in utero, karena darah

22

hampir sama sekali tidak memiliki kemampuan menyalurkan oksigen (Kumar,


2012).
Apabila 3 gen globin yang hilang, terdapat kelebihan relatif globin atau
rantai non globin lainnya. Kelebihan globin (atau rantai gamma globin pada
awal kehidupan), membentuk tetramer 4 dan 4 yang relatif stabil yang masingmasing dikenal sebagai HbH dan Hb Bart. Tetramer ini tidak terlalu merusak
membran dibandingkan dengan rantai globin yang bebas. Oleh karena itu,
anemia hemolitik dan eritropoesis yang inefektif cenderung lebih ringan pada
thalasemia daripada . Namun demikian, sayangnya HbH dan Hb Bart memiliki
afinitas yang terlalu tinggi terhadap oksigen sehingga keduanya kurang efektif
untuk menyalurkan oksigen ke jaringan (Kumar, 2012).
2. Thalasemia
Penentuan sekuensi gen globin yang berhasil diklonal dan diperoleh dari
pasien thalasemia, berhasil mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 100 mutasi
penyebab thalasemia 0 atau +. Sebagian besar mutasi ini terjadi akibat perubahan
basa. Delesi gen jarang menjadi penyebab thalasemia . Beberapa mutasi yang
terjadi beserta efeknya (Kumar, 2012):
1) Regio promotor mengendalikan inisiasi dan kecepatan transkripsi, sehingga
mutasi yang mempengaruhi sekuensi promotor biasanya menyebabkan
penurunan transkripsi gen globin. Karena sedikit banyak masih melakukan
sintesis globin, pasien mengalami thalasemia +.
2) Mutasi di sekuensi pengkode biasanya menimbulkan konsekuensi yang
serius. Sebagai contoh, pada sebagian kasus perubahan satu nukleotida di

23

salah satu ekson menyebabkan terbentuknya kodon terminal, atau kodon


stop yang menghentikan translasi RNA mesenger (mRNA) globin.
Terminasi prematur menghasilkan bentuk globin yang puntung dan
nonfungsional dan menyebabkan thalasemia 0.
3) Mutasi yang menyebabkan kelainan pemprosesan mRNA merupakan
penyebab tersering thalasemia . Sebagian besar mutasi ini mengenai intron,
tapi sebagian diketahui terletak di dalam ekson. Apabila mutasi mengubah
splice junction normal, tidak terjadi penyambungan dan semua mRNA yang
terbentuk menjadi abnormal, mRNA yang tidak tersambung diuraikan di
dalam inti sel dan terjadi thalasemia 0. Namun, sebagian mutasi mengenai
intron di lokasi yang jauh dari splice junction intron ekson normal. Mutasi ini
menciptakan tempat baru yang menjadi substrat bagi enzim penyambung di
lokasi abnormal di dalam sebuah intron. Karena tempat penyambungan
normal utuh, terjadi penyambungan normal dan abnormal sehingga
membentuk mRNA globin yang normal dan abnormal. Para pasien ini
menderita thalasemia +.

3.5.

Gambaran Klinis

1. Thalasemia
Menurut Hoffrand (2012) gambaran klinis thalasemia mayor:
a. Hydrops Fetalis: Tidak adanya keempat gen akan menekan sintesis rantai
seluruhnya, dan karena rantai esensial dalam hemoglobin fetus dan

24

dewasa, keadaan ini tidak sesuai untuk hidup sehingga menyebabkan


kematian in utero.
b. Penyakit Hb H: Delesi 3 gen menyebabkan keadaan anemia mikrositik
hipokrom yang cukup berat, dengan Hb 7-11 g/dl, disertai splenomegali.
c. Thalasemia Trait: Hilangnya 1 atau 2 gen biasanya tidak disertai anemia
walaupun volume eritrosit rata-rata/Mean Corpuscullar Volume (MCV)
dan hemoglobin rendah dan jumlah eritrosit normal.
2. Thalasemia mayor
Menurut Hoffrand (2012) gambaran klinis thalasemia mayor:
a. Anemia berat pada usia 3-6 bulan setelah kelahiran ketika seharusnya
terjadi pergantian dari produksi rantai ke rantai .
b. Pembesaran hati dan limpa terjadi akibat destruksi eritrosit yang
berlebihan, hemopoesis ekstramedular dan lebih lanjut akibat penimbunan
besi.
c. Pelebaran tulang diakibatkan hiperplasia sumsum tulang yang hebat
menyebabkan terjadinya facies thalasemia, dan penipisan korteks di
banyak tulang dengan satu kecenderungan terjadinya fraktur dan
penonjolan tengkorak dengan gambaran rambut berdiri atau hair-on-end
pada rontgen.
d. Usia pasien dapat diperpanjang dengan tranfusi tapi terjadi penimbunan
besi oleh karena tranfusi berulang. Besi yang menumpuk merusak hati,
organ endokrin berupa kegagalan pertumbuhan, pubertas terlambat atau
tidak terjadi, diabetes melitus, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme.

25

3. Thalasemia intermedia
Menurut Hoffrand (2012) gambaran klinis thalasemia intermedia:
a. Derajat keparahan sedang dengan Hb: 7-10 gr/dl sehingga tidak
memerlukan tranfusi berulang.
b. Dapat memperlihatkan deformitas tulang, pembesaran hati dan limpa,
eritropoesis ekstramedular dan kelebihan besi akibat absorbsi besi
meningkat.
4. Thalasemia minor
Menurut Hoffrand (2012) gambaran klinis thalasemia minor :
Biasanya tanpa gejala. Seperti sifat thalasemia , ditandai oleh gambaran
darah

mikrositik hipokrom yaitu MCV dan MCH (Mean Corpuscullar

Haemoglobin) sangat rendah, tetapi jumlah eritrosit tinggi yaitu >5,5 x 10 12 / l dan
anemia ringan dengan Hb 10-15 gr/dl (Hoffrand, 2012)
3.6.
A.

Diagnosis
Anamnesis
Riwayat penderita dan keluarga sangat penting karena populasi dengan
ras dan etnik tertentu terdapat frekuensi yang tinggi jenis gen abnormal
thalasemia yang spesifik. Selain itu riwayat keluarga pernah menderita
thalasemia dapat mengarahkan diagnosis dan dapat menyingkirkan
diagnosis dengan keluhan anemia lainnya (PAPDI, 2009).

A.

Pemeriksaan fisik
Pada thalasemia mayor akan ditemukan beberapa temuan fisik
diantaranya (Amalia, 2011):
26

1. Adanya temuan fisik terkait dengan anemia berat, eritropoesis yang


tidak efektif, hematopoesis ekstramedular, dan kelebihan zat besi
akibat transfusi darah dan peningkatan penyerapan zat besi.
2. Kulit menjadi pucat akibat anemia dan penyakit kuning dari adanya
hiperbilirubinemia.
3. Tengkorak atau bagian tulang lain akan mengalami cacat sekunder,
dan mungkin akan terjadi hyperplasia erythroid, dengan ekspansi
intramedular dan tulang kortikal mengalami penipisan.
4. Pada pemeriksaan ditemui adanya gagal jantung dan aritmia terkait
insiden aritmia yang parah atau kelebihan zat besi.
5. Pada pemeriksaan abdomen, mungkin akan didapatkan perubahan dari
hati, kandung empedu dan limpa, hepatomegali terkait dengan
hematopoesis ekstramedular pada pasien. Pasien yang sudah mendapat
transfusi darah mungkin akan mengalami hepatomegali atau hepatitis
kronik karena kelebihan zat besi. Hepatitis virus akibat transfusi darah
akan mengakibatkan terjadinya sirosis dan mungkin juga terjadi
hipertensi portal. Splenomegali biasanya diamati sebagai bagian dari
hematopoesis ekstramedular atau sebagai respon hipertrofik terkait
dengan hemolisis ekstravaskular.
B.

Pemeriksaan laboratorium
Hasil laboratorium yang khas pada thalasemia (Hoffrand, 2012;Miall,
2012; Freund, 2012):

27

a) Pemeriksaan apusan darah tepi ditemukan anemia mikrositik hipokrom


berat dengan presentase retikulosit yang tinggi disertai dengan
normoblas, sel target, dan titik basofilik.
b) Hitung MCV, MCH, jumlah eritrosit, hemoglobin, dan kadar ferritin
serum. Pemeriksaan darah rutin umunya menunjukkan penurunan,
sementara kadar ferritin serum meningkat. Kadar ferritin serum
berguna untuk menilai kondisi dan komplikasi akibat akumulasi besi
terutama kardiomiopati yang sering terlambat dideteksi sehingga
menjadi penyebab kematian tertinggi pada penderita thalasemia.
c) Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tidak adanya atau hampir
tidak adanya Hb A dan hampir semua hemoglobin dalam darah adalah
Hb F (meningkat 20- 90% Hb total). Presentase Hb A2, normal, rendah
atau sedikit tinggi. Pemeriksaan sintesis / pada retikulosit
memperlihatkan suatu peningkatan rasio : dengan sintesis rantai-
yang berkurang atau tidak ada. Analisis DNA dapat digunakan untuk
mengidentifikasi defek tiap alel.

Gambar 3.3 Sel target (Sumber: Freund, 2012)

28

Gambar 3.4 Basophillic stippling (Sumber: Hoffrand, 2012)


3.7.

Penatalaksanaan

1. Transfusi darah
Beberapa studi menyarankan kepentingan untuk mengatur transfusi dalam
mencapai Hb 10 gr/dl dan juga mengadakan penghitungan khelasi besi yang
darurat dan efektif untuk menjaga kadar serum ferritin di bawah 1000 ng/ml
agar dapat menghindari efek sistemik kelebihan besi. Tranfusi dengan dosis 1520 ml/kg per sel darah merah terpampat/Packed Red Cell (PRC) biasanya
dibutuhkan 2-3 unit tiap 4-6 minggu (Nelson, 2000; Shah, 2010; Hoffrand,
2012).
Regimen hipertranfusi ini memiliki manfaat yang nyata, yaitu memungkinkan
aktivitas normal dengan nyaman, mencegah masalah ekspansi sumsum tulang,
dan masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang-tulang
muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis. Darah segar
(kurang dari 1 minggu dalam koagulan), yang telah disaring untuk memisahkan

29

eritosit, menghasilkan eritrosit dengan ketahanan yang terbaik dan reaksi paling
sedikit (Nelson, 2000; Shah, 2010; Hoffrand, 2012).
Pasien harus diperiksa pada permulaan program tranfusi untuk mengantisipasi
bila timbul antibodi eritrosit terhadap eritrosit yang ditaransfusi. Namun,
walaupun dengan kehati-hatian yang tinggi, reaksi demam akibat tranfusi lazim
ada, hal ini dapat diminimalkan dengan penggunaan eritrosit yang
direkonstruksi dari darah beku atau penggunaan filter leukosit dan dengan
pemberian antipiretik sebelum tranfusi (Nelson, 2000; Shah, 2010; Hoffrand,
2012;).
2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa thalasemia adalah sebagai berikut: (Hoffrand, 2012;
Miall, 2012; Nelson, 2000)
.
1) Terapi Khelasi besi untuk mengatasi kelebihan besi. Deferoksamin
diberikan setelah kadar ferritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau
saturasi transferin lebih dari 50%, atau sekitar 10 20 kali transfusi.
Inefektif diberi secara oral, diberikn 25 50 mg/kgbb/hari subkutan
melalui pompa infus dalam 8-12 jam, 5-7 hari seminggu. Penderita yang
menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar ferritin serum kurang
dari 1000 ng/ml, yang benar-benar di bawah nilai toksik. Besi yang
terkhelasi oleh deferoksamin terutama dieksresikan ke dalam urin, tapi
hingga sepertiganya juga dieksresikan dalam tinja. Komplikasi mematikan
siderosis jantung dan hati dengan adanya terapi ini dapat dicegah atau

30

secara nyata tertunda, karena terapi efektif dalam mengurangi dan


mencegah akumulasi besi pada miokard. Kepatuhan pasien sangat
dibutuhkan agar harapan hidup thalasemia mayor membaik secara nyata.
2) Pemberian asam folat secara teratur 5 mg/hari, jika asupan diet buruk.
3) Pemberian vitamin C selama pemberian kelasi besi untuk meningkatkan
efek kelasi.
4) Vitamin

200-400

IU

setiap

hari

sebagai

antioksidan

dapat

memperpanjang umur sel darah merah


3.

Splenektomi
Splenektomi pada akhirnya diperlukan karena ukuran organ ini akan

bertambah

atau

terjadi

hipersplenisme

sekunder. Indikasi

dilakukannya

splenektomi adalah meningkatnya kebutuhan transfusi yang menunjukkan


hipersplenisme, atau kebutuhan transfusi sudah melebihi 240 ml/kg PRC/tahun.
Pelaksanaan splenektomi harus ditunda sampai pasien berusia >6 tahun mengingat
tingginya risiko infeksi yang berbahaya pasca splenektomi (Hoffrand, 2012).
4.

Transplantasi sumsum tulang


Merupakan terapi definitif pada pasien yang memiliki donor yang

histokompatibel dan akses ke fasilitas transplantasi. Transplantasi sumsumtulang


telah berhasil pada kasus ekstrem tertentu. Bahkan jika thalasemia terdiagnosis di
dalam uterus, telah dilaporkan keberhasilan transplantasi darah tali pusat. Pada
penderita thalasemia yang terdiagnosis lebih dini jika dilakukan terapi
transplantasi sumsum tulang sebelum timbulnya kerusakan organ akibat kelebihan
besi, sekitar 80% pasien akan bebas penyakit dalam jangka waktu yang panjang
31

dan dapat dianggap sembuh. Walaupun memberi prospek kesembuhan permanen,


namun transplantasi sumsum tulang tidak menyelesaikan masalah. Hanya
menjadikan pasien yang mulanya harus menjalani transfusi, menjadi tidak
transfusi. Karena gen thalasemia masih ada (carrier) sehingga dapat diturunkan
pada keturunan berikutnya (Harrison, 2000; Amalia, 2011; Hoffrand, 2012).
3.8

Pencegahan
Pencegahan adalah kunci terbaik dalam mengurangi prevalensi penderita

thalasemia di Indonesia. Berdasarkan penapisan pembawa sifat thalasemia dan


diagnosis prenatal, telah dapat turun secara bermakna kejadian thalasemia pada
anak-anak di Yunani, Siprus, Italia. Di Indonesia program pencegahan thalasemia
mayor telah dikaji oleh Departemen Kesehatan melalui program Health
Technology Assessment (HTA), dimana beberapa butir rekomendasi sebagai hasil
kajian, diusulkan dalam pogram prevalensi thalasemia, termasuk teknik dan
metoda uji saring laboratorium, strategi pelaksanaan dan aspek medikolegal,
psikososial, dan agama (Harrison, 2000; PAPDI, 2009; Amalia, 2011).
1. Pencegahan primer
Salah satu cara penapisan pembawa sifat thalasemia adalah dengan melakukan
skrining pada pasangan yang akan menikah, jika kedua pasangan merupakan
pembawa gen thalasemia maka perlu diberi edukasi mengenai efek sosial dan
psikologis bagi anak-anak mereka di masa yang akan datang. Cara untuk
diagnosis prenatal dalam upaya pencegahan ini adalah melalui analisis DNA sel
cairan amnion, namun pada beberapa kasus perlu diambil resiko untuk

32

memperoleh sel darah merah janin untuk pengukuran sintesis rantai globin
(Harrison, 2000; PAPDI, 2009; Amalia, 2011)
2.

Pencegahan sekunder
Berdasarkan hubungan langsung antara usia dan prevalensi terjadinya

komplikasi pada thalasemia, dibutuhkan evaluasi khusus untuk penderita yang


berusia >15 tahun. Hal ini dikarenakan komplikasi umum pada pasien thalasemia
seperti endokrinopati, penyakit hati dan jantung terjadi pada usia dewasa. Dalam
pencegahan sekunder ini hal yang paling penting dilaksanakan adalah diagnosis
sedini mungkin dan pemeriksaan fisik teratur yang sangat berperan dalam deteksi
dini komplikasi yang dapat terjadi (Vahidi, 2011).

33

BAB IV
PENUTUP

Demikian telah dilaporkan suatu laporan kasus Thalassemia Mayor pada


seorang anak perempuan berusia 4 tahun 9 bulan yang dirawat di Seulanga 3
Ruang Anak RSUD Cut Meutia Aceh Utara. Pasien telah didiagnosa menderita
thalassemiaa mayor lewat pemeriksaan laboratorium sejak berusia 2,5 tahun dan
rutin mendapatkan tranfusi darah setiap bulan. Pasien datang melalui IGD dengn
keluhan lemas dan pucat, keluhan berulang yang dialami pasien setiap mendekati
tanggal transfusi.
Dari hasil pemeriksaan lab didapatkan hasil Hb mengalami penurunan
(8,1) sehingga pasien mendapatkan terapi berupa transfusi PRC sebanyak 1 x 175
cc dan obat oral berupa asam folat serta parasetamol sirup. Pasien seharusnya
diperbolehkan pulang apabila Hb pasca stranfusi sudah mencapai angka normal,
namun pasien memutuskan pulang atas permintaan sendiri setelah proses tranfusi
selesai. Saat pulang, menurut pengakuan orang tua pasien, pasien sudah dalam
keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan saat masuk rumah sakit.

34

DAFTAR PUSTAKA

Anggororini, D, 2010, Korelasi kadar ferritin serum dengan kematangan seksual


pada anak penyandang thalasemia mayor, Majalah kedokteran indonesia,
Volume: 60, Nomor: 10, Hal. 462-467.
Amalia, P, 2011, Mutasi genetik thalasemia, Semijurnal farmasi dan kedokteran
ethical digest, Nomor: 86, Hal. 55-62.
Darling D. THALASSEMIA. Artikel, www.daviddarling.info (diakses 5 agustus
2014)
Dewi, S., 2009, Karakteristik penderita thalasemia yang rawat inap di rumah sakit
umum pusat H. Adam Malik Medan tahun 2006-2008, Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, Medan
Freund, M, 2012, Atlas hematologi heckner, Edisi 11, Jakarta, EGC.
Ganie, RA. 2005. Thalassemia : permasalahan dan penanganannya , dalam
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Patologi
pada Fakultas Kedokteran, Diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas
Sumatera Utara .
Hassan R dan Alatas H. 2007. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. bagian 19
Hematologi hal. 419-450 ,Bagian ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta
Harrison, 2000, Hematologi dan onkologi, Buku ajar ilmu penyakit dalam,
Volume 4, Edisi 13, Jakarta, EGC.
Hoffrand AV, 2012, Kapita selekta hematolog, Edisi 4, Jakarta, EGC.
Kowalak, JP, 2012, Sistem hematologi, Buku ajar patofisiologi, Jakarta, EGC.
Kumar, V, 2012, Sistem hematopoetik dan limfoid, Buku ajar patologi robbins,
Volume 2, Edisi 7, Jakarta, EGC.
Lissauer, Tom, 2011, Provide advice for all mother to optimize chance of healthy
baby, Neonatologi at a glance, Edisi 2, England, Blackwell Publishing.
Miall, L, 2012, Anemia and pallor, Pediatric at a glance, Edisi 3, England,
Blackwell Publishing.
Nelson, 2000, Ilmu kesehatan anak, Volume 2, Edisi 15, Jakarta, EGC.
Rahajeng, 2012, Yayasan Thalassaemia Indonesia, Diakses 5 Agustus 2014
http://www.thalassaemia-yogyakarta.org

35

Sacher, Ronal A, 2004, Penyakit sel darah merah, Tinjauan klinis hasil
pemeriksaan laboratorium, Edisi 11, Jakarta, EGC.
PAPDI, 2009, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid II, edisi V, Jakarta, FK UI.
Vahidi, AA, 2011, The frequency of - thalasemia major complications in
patients referred to Kerman center for special diseases during 6 months,
Jurnal of kerman university of medical science, Volume 18 Nomor 4,
diakses
12
Juli
2013;
http://webamooz.kmu.ac.ir/en/index.php/kmus/article/view/31
WHO, 2011, Sickle-cell disease and other haemoglobin disorders, diakses 5
Agustus 2014; http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs308/en/
Widyastuti, E., 2013. Analisi Kadar SGOT, SGPT dan Ureum, Kreatinin
Berdasarkan Lama Transfusi pada Penderita Thalassemia Mayor (Studi
kasus di RSUD Majalengka). Skripsi. Universitas Muhammadyah
Semarang, Semarang.

36

You might also like