You are on page 1of 4

Anemia Makrositik

Anemia makrositik adalah jumlah sel darah merah rendah yang ditandai oleh adanya sel
darah yang lebih besar dari sel darah merah normal, biasanya didefinisikan sebagai
MCV>100. Penyebab umum anemia makrositik adalah defisiensi vitamin B12
Anemia adalah penurunan jumlah massa eritrosit (sel darah merah), mulai dari hemoglobin,
hematokrit dan jumlah eritrosit itu sendiri, sehingga mengganggu transpor oksigen ke
jaringan perifer. Kadar hemoglobin dan eritrosit itu sendiri bervariasi pada setiap orang
tergantung jenis kelamin, usia dan tempat tinggal (ketinggian dari permukaan laut).
Pada dataran tinggi, kadar oksigen lingkungan lebih rendah, sehingga tubuh
mengkompensasinya dengan meningkatkan massa eritrosit sehingga cenderung Hb-nya lebih
tinggi supaya dapat mengangkut oksigen dengan optimal. Pada dataran rendah adalah
sebaliknya.
Kriteria anemia menurut WHO adalah:

laki-laki dewasa, Hb <13g/dl

wanita dewasa yang tidak hamil, Hb <12g/dl

wanita dewasa yang hamil, Hb <11g/dl

Etiologi:
Pada hakikatnya anemia disebabkan oleh empat hal, (1) gangguan pembentukan eritrosit oleh
sumsum tulang; (2) kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); (3) hancurnya eritrosit
sebelum waktunya (hemolisis), dan satu lagi (4) karena tidak diketahui (idiopatik).
Klasifikasi:
Jika darah diperiksa dengan sediaan hapus darah tepi, maka anemia dapat dibagi menjadi tiga
jenis:
1. Anemia normositik normokrom. Normositik berarti ukuran eritrositnya normal.
Normokrom berarti warna eritrositnya normal. Kenapa anemia? Biasanya normositik
normokrom ini ditemukan pada anemia yang diakibatkan oleh perdarahan dan
hemolisis. Jadi tidak mempengaruhi morfologi eritrositnya. MCV (mean corpuscular
volume) dan MCH (mean corpuscular hemoglobin) masih normal. (MCV 80 95 fl;

MCH 27 34 pg) Anemia ini meliputi: anemia pasca perdarahan akut, anemia
aplastik, anemia hemolitik, anemia akibat penyakit kronik, anemia pada gagal ginjal
kronik, anemia pada sindrom mielodisplastik dan pada keganasan hematologik.
2. Anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik berarti ukuran eritrositnya kecil (lebih
kecil dari limfosit kecil). Hipokrom berarti warna eritrositnya lebih pudar/lebih pucat
(bagian pucat eritrositnya lebih dari 1/3 diameter eritrosit). Biasanya mikrositik
hipokrom ini ditemukan pada anemia karena masalah pada hemoglobinnya, seperti
kurang penyusunnya (Fe), rapuh strukturnya (genetik), atau karena penyakit kronis
lainnya. MCV dan MCH nya kurang dari normal. (MCV<80fl,mch<27pg)
3. Anemia makrositik. Makrositik berarti ukuran eritrositnya besar. Biasanya karena
proses pematangan eritrositnya tidak sempurna di sumsum tulang. Kalau eritrosit
yang matang, ukurannya akan semakin kecil, tapi karena tidak matang, tampaklah ia
besar. Penyebabnya bisa karena bahan pematangannya tidak cukup, misalnya pada
defisiensi asam folat dan vitamin B12. Atau bisa juga karena gangguan hepar,
hormonal atau gangguan sumsum tulang dalam homopoiesis itu sendiri. MCV nya
meningkat (MCV > 95 fl). Contoh: anemia megaloblastik dan anemia nonmegaloblastik.
Patofisiologi:
Jika seseorang anemia, tubuh akan mengkompensasi kehilangan darah yang diperlukan untuk
mengangkut oksigen tersebut dengan cara meningkatkan produksinya di sumsum tulang,
meningkatkan daya ikat besi untuk membentuk hemoglobin, dsb. Namun jika tubuh tidak
mampu bahkan gagal untuk mengembalikan keseimbangan itu, maka akan terjadi anoksia
organ (kekurangan oksigen pada organ perifer) sehingga tubuh menjadi lemas, lesu dan
pucat.
Manifestasi Klinis:
1. Gejala umum. Pucat, lemah, lesu, dan jika Hb sangat rendah (<7g/dl).
2. Gejala khas. Spesifik untuk masing2 jenis anemia. Contoh: kuku sendok
(koilonychias) pada anemia defisiensi besi, ikterus pada anemia hemolitik, purpura
pada anemia aplastik, dsb.
3. Gejala penyakit dasar. Gejala dari penyebab anemia tersebut. Misal: anemia karena
penyakit cacing tambang: sakit perut, dsb.

Anemia adalah suatu sindrom, bukan kesatuan penyakit. Ia dapat disebabkan oleh penyakit
lain. Tahapan diagnosisnya:
1. Pastikan ia positif anemia, dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik maupun
laboratorium (pemeriksaan darah lengkap)
2. Tentukan jenis anemianya.

Periksa morfologi: dari apusan darah tepi terlihat apakah ia mikrositik


hipokrom, normositik normokrom, atau makrositik.

Periksa fisiologi: lihat angka retikulositnya (sel darah muda), jika tinggi
berarti tidak terjadi gangguan hemopoiesis, jika rendah berarti ada masalah di
hemopoiesis.

Periksa probabilitas: berdasarkan epidemiologi di suatu daerah.

3. Tentukan etiologi atau penyakit dasar anemianya.

Berdasarkan awitannya: apakah akut atau kronisBerdasarkan beratnya: apakah


ringan, sedang atau berat.

Berdasarkan gejalanya: apakah yang menonjol itu gejala anemianya atau


penyakit dasarnya.

Tentukan apakah ada penyakit penyerta yang akan mempengaruhi pengobatan


atau tidak.

Pemeriksaan laboratorium:
1. Tes penyaring. Untuk memastikan adanya anemia dan morfologi anemia tersebut.
Meliputi kadar hemoglobin, apusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV, MCH dan
MCHC)
2. Pemeriksaan rutin. Untuk melihat kelainan leukosit dan trombosit. Meliputi: laju
endap darah, hitung diferensial dan retikulosit. Pemeriksaan sumsum tulang, dengan
biopsy ataupun aspirasi.
3. Pemeriksaan atas indikasi khusus. Untuk memastikan diagnosis. Misalnya tes serum
iron, TIBC (total iron binding capacity), saturasi transferin dan feritin serum pada
Anemia defisiensi besi; tes asam folat dan vit B12 pada anemia megaloblastik, dsb.
Terapi:
Terapi anemia sebaiknya dilakukan setelah didapat diagnosis pastinya dan sesuai dengan
indikasi yang jelas.

1. Terapi kegawat-daruratan, apabila anemia tersebut dikhawatirkan dapat memicu


payah jantung, sehingga harus ditransfusi segera dengan PRC (packed red cells)
2. Terapi khas, khusus untuk terapi terhadap anemia jenis tertentu. Seperti ADB dengan
pemberian preparat besi, anemia megaloblastik dengan memberi asam folat, dsb.
3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar, untuk mencegah berlangsungnya anemia
berkepanjangan. Misalnya karena penyakit perdarahan haid, atasi dulu penyakit
perdarahannya, atau seperti penyakit cacing tambang, atasi dulu penyakit tersebut.
4. Terapi ex juvantivus, yakni terapi yang diberikan sebelum ditegakkan diagnosis pasti,
namun dalam rangka menegakkan diagnosis tersebut. Terapi ini harus dipantau
dengan ketat, misalnya pada ADB, diberi preparat besi, jika membaik berarti memang
positif ADB, dsb.
Referensi:
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi IV
Hematologi klinik ringkas oleh Prof.Dr.I Made Bakta
Catatan kuliah

You might also like