Professional Documents
Culture Documents
APENDISITIS AKUT
Oleh:
dr. Felisitas
Pembimbing:
dr. Edwar Martin, Sp.B
dr. Dinaili Maili
dr. H. Alfian Nasution
Bab I
STATUS PASIEN
I
II
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. S
Usia
: 20 tahun
Alamat
Status perkawinan
: Belum menikah
Status pendidikan
: Tamat SMA
Pekerjaan
: Karyawan swasta
Agama
: Islam
Tanggal masuk RS
ANAMNESIS
bawa ke Puskesmas Sungai Rengas dan diberikan terapi injeksi Ranitidin, sirup antasida, dan
tablet parasetamol, kemudian segera dirujuk ke RSUD HAMBA.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:
KEBIASAAN:
RIWAYAT KELUARGA:
Kesadaran
Tanda-tanda vital
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Pulsasi
Laju pernafasan
: 24 x/ menit
: 37oC
Suhu
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
: Trakea ditengah, tidak tampak jejas ataupun lesi kulit lain, KGB tidak teraba
THORAKS-PARU
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
THORAKS-JANTUNG
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas atas
PUNGGUNG
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
ABDOMEN
Inspeksi
Palpasi
: Tidak teraba masa, nyeri tekan (+) pada titik McBurney, rebound
phenomene (+), defans muskuler (+), Rovsing sign (+). Psoas sign dan
obturator sign sulit dilakukan karena pasien kesakitan.
Perkusi
Auskultasi
EKSTREMITAS:
Edema (-)
STATUS UROLOGIS
Pinggang / CVA
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Suprapubis
Inspeksi
Palpasi
Pemeriksaan
RBC
MCV
MCH
MCHC
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
Leukosit
Limfosit
Granulosit
Eosinofil
GDS
Nilai
4.68
82.6
29.8
36.1
13.9
38.6
140
9.7
1.5
7.6
0.6
95
Normal
3.50-5.50
75.0-100.0
25.0-35.0
31.0-38.0
11.5-16.5
35.0-55.00
100-400
3.5-10.0
0.5-5.0
1.2-8.0
0.1-0.6
<120
Satuan
12
10 /l
fl
pg
g/dl
g/dl
%
109/l
109/l
109/l
109/l
109/l
mg/dl
Bleeding Time
Cloting Time
Golongan darah
2
4
B-
1-3
2-6
DIAGNOSIS KERJA
Akut abdomen e.c. suspek apendisitis akut
VI DIAGNOSIS BANDING
1 Kolik ureter e.c ureterolitiasis
2 Gastroenteritis akut
3 Kolesistitis akut
VII PENATALAKSANAAN IGD
menit
menit
Hasil EKG
Jenis Pembedahan
Diagnosis Pasca Bedah
Tindakan Operasi
Apendektomi cito
Post apendektemi e.c. apendisitis akut
Pasien dalam posisi supine
Tindakan aseptik dan antiseptik
Insisi pada titik Mc Burney
Insisi diperdalam sampai memotong lemak, dan
tampak muskulus, dilakukan musle spliting,
IX
dikeluarkan (luxir)
Apendiks tampak hiperemis dan erosif
Dilakukan apendektomi
Kontrol perdarahan
Luka operasi dijahit
dicari
dan
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad fungsionam
: bonam
Quo ad sanationam
: bonam
XFOLLOW UP
TANGGAL
21 / 03/
S
Nyeri pada luka
O
KU : tampak sakit sedang
2015
bekas operasi,
Kesadaran : compos
mentis
flatus (-)
A
Laki-laki, 20
P
Rawat Zaal bedah
tahun, Hari rawat IVFD Ringer Laktat 20 tetes
per menit
I, post
Bising usus (+) boleh minum
apendektomi e.c.
Medikamentosa:
apendisitis akut
Ceftriaxon 1 x 1 gram
IV
Ketorolac 2 x 1 ampul
(30 mg/ml)
Ranitidine 2 x 1 ampul
(25 mg/ml)
(+)
22
03/
2015
Nyeri berkurang
Kesadaran : compos
operasi, demam
mentis
(+)
Suhu: 36,5C
(30 mg/ml)
Ranitidine 2 x 1 ampul
(25 mg/ml)
dextra:
tampak luka tertutup kasa,
rembesan darah (-), nyeri
(+)
23
2015
03/
Nyeri minimal
pada bekas
Kesadaran : compos
operasi, demam
mentis
Rawat jalan
tahun, Hari rawat Edukasi perawatan luka dan
kontrol jahitan ke poli
III, post op II,
post
makan baik
RR: 22 x/menit
Suhu: 37C
Laki-laki, 20
bedah
Medikamentosa:
apendektomi e.c.
Ciprofloxacin 2 x 500
apendisitis akut
mg tab
Parasetamol 3 x 500
mg tab
Ranitidine 2 x 150 mg
tab
dextra:
tampak luka tertutup kasa,
rembesan darah (-), nyeri
(+)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Appendiks
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. (1-3) Appendiks adalah suatu struktur
kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum.
Pangkalnya terletak pada posteromedial saekum. Pada Ileosaekal junction terdapat Valvula
Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis
(Gerlachi). .(4-6) Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. (7) Appendiks terletak di kuadran kanan bawah
abdomen. Tepatnya di ileosaekum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera,
taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada
pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilikus dan SIAS kanan yang berjarak
1/3 dari SIAS kanan.(8)
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoappendiks (mesenteriolum) yang bergabung
dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a.
apendikularis (cabang a.ileocolica). Orifisiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileosaekal.
Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiseal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil. (1.2)
pembuluh darah dan limfe. Antara mukosa dan submukosa terdapat limfonodus. Mukosa
terdiri dari satu lapis kolumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut kripta
lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan saekum (inner circular layer).
Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada
pertemuan saekum dan appendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk
mencari appendiks.(2)
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju
katup ileosaekal. (14)
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendiks pada usia itu.
Pada 65 % kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoappendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
appendiks ditentukan oleh letak appendiks.(3)
appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena
itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus.(3)
Pendarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis , cabang dari a.ileosaekalis,
cabang dari a. mesenterica superior. A. appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika
arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami
gangren.(3)
- Tunika serosa
10)
Flora
normal pada appendix sama dengan bakteri pada kolon normal. Flora pada appendix akan
tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada
orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di appendiks, appendisitis akut dan
appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai
variasi dari bakteri fakultatif, anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. (10,11)
Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada appendisitis akut (10)
Bakteri Aerob dan Fakultatif
Batang Gram (-)
Bakteri Anaerob
Batang Gram (-)
Eschericia coli
Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa
Bacteroides sp.
Klebsiella sp.
Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+)
Streptococcus anginosus
Clostridium sp.
Streptococcus sp.
Enteococcus sp.
Peptostreptococcus sp.
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien appendisitis perforata dan non
perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah
mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk
mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus
dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau
penyakit lain, dan pasien yang mengalami abses setelah terapi appendisitis. Perlindungan
antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus appendisitis non perforata. Pada appendisitis
perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien
tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal
dan transperitoneal masih kontroversi. (4,10)
2.6 Patofisiologi
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks supuratif akut.(12)
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi. (12)
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.(12)
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai dimukosa
dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendiks akan sembuh dan massa
periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. (3)
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding
appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah.(12)
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale
dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir
proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi
maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum
cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam kavum abdominalis, oleh karena itu
penderita harus benar-benar istirahat (bedrest). (2)
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. (3)
Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samarsamar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar
umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah
(titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa
nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan
mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.(3)
Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh
belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5-38,5 C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala
yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. (3)
Kelainan patologi
Peradangan awal
Apenditis mukosa
(rangsangan automik)
Radang di seluruh
Ketebalan dinding
m.psoas,
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang
terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis setelah
perforasi. (3)
Pada kehamilan, keluhan utama appendiks adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang
perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan
muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (3)
Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang
perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu:
Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada
appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. (3)
Pada appendiks pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan
untuk mengetahui letak appendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas
lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila appendiks yang meradang menempel di
m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk
melihat apakah appendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang, pada appendiks pelvika akan menimbulkan nyeri. (3)
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan
kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada
pinggul / pangkal paha kanan.
Dasar anatomi dari tes psoas. Appendiks yang mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.
Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi
samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam.
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan appendiks dipelvis yang kontak dengan
otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.
2.9 Pemeriksaan Penunjang
1
Pemeriksaan Laboratorium
a
Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti
infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir
sama dengan appendisitis.
Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. Pemeriksaan ini
dilakukan terutama pada anak-anak.
3
USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama
pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adneksitis dan sebagainya.
Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendikogram
memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk
menegakkan diagnosis appendisitis kronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan
dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh
fekalit.
Gambar 6. Apendikogram
5
CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat menunjukkan
komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
Laparoskopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptik yang dimasukan dalam abdomen,
appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah
pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan
pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan
appendiks.
Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi
appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya
kriteria gambaran histopatologi appendisitis akut secara universal dan tidak ada
gambaran histopatologi appendiks akut pada orang yang tidak dilakukan operasi. Riber
et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi appendisitis akut. Hasilnya adalah
perlu adanya komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli
bedahnya.
lapisan epitel.
Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
Sel granulosit dalam lumen appendiks dengan infiltrasi ke
apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses
mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan appendiks akut tetapi
periappendiks.
2.10
Diagnosis
Sistem skor Alvarado
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan
gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan
dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang
relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendektomi
negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996). Salah
satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat
diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi
apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor
Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan
kurang invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986
membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan
laboratorium.
Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat
keparahan appendiks. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko
meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen
kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan
netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai
nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor
ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999).
Skor
Nyeri berpindah
Anoreksia
Mual-muntah
Nyeri lepas
Total skor:
10
56
79
: observasi
56
: antibiotik
7 10 : operasi dini
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini
sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan
maka akan terasa nyeri.
6. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi
ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang
mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada
pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di kavum Douglas, dan
pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
7. Divertikulitis
Meskipun diverkulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang
dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada
diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.
8. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau
urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
2.12 Penatalaksanaan
Appendektomi
Cito
Elektif : kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk
tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi
dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada appendiks tidak
dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis
umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera
menjadi abses yang jelas batasnya. (5)
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah
bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk
membuang appendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang
longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih
terfiksasi dan vaskular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu
pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.(5)
Massa appendiks terjadi bila terjadi appendiks gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh
karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan
untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular
yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan
diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila
sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita
boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi,
akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi
nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka
leukosit. (3)
Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi
abses appendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan
sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada
appendiks sederhana tanpa perforasi. (13)
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah
apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa
appendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan
dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis
umum. (13)
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
(3)
perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi, appendiks
dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :
1
Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak
LED
Jumlah leukosit
Massa
Pemeriksaan fisik :
o
Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal
dan aksiler)
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil
dibanding semula.
4. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan,
operasi tetap dilakukan.
5. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi
adalah drainase.(2)
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi
Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus
appendiks akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui
laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
2.13
1.
Cutis
6.
MOI
2.
Sub cutis
7.
M. Transversus
3.
Fascia Scarfa
8.
Fascia transversalis
4.
Fascia Camfer
9.
Pre Peritoneum
5.
Aponeurosis MOE
10.
Peritoneum
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan berupa
massa yang terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.(3)
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Perut distensi
Pelvic Abses
Subphrenic abses
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen,
dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
2.14
Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak
diangkat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw
Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
3. Lugo,. V.H., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23 No.03
September 2004.
4. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
5.
6.
7.
8.
9. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
10. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of
Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas
http://www.aafg.org
11. Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.