You are on page 1of 64

RASIONALITAS PERESEPAN ANTIBIOTIK UNTUK PENGOBATAN

INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT PADA ANAK


DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH
MUSTIKA MUTHAHARAH
NPM 08045 D3 FI.

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


PROGRAM STUDI DIII FARMASI
2011

RASIONALITAS PERESEPAN ANTIBIOTIK UNTUK PENGOBATAN


INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK
DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

Karya Tulis Ilmiah


Diajukan kepada
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan
Program Studi D3 Farmasi

Oleh
Mustika Muthaharah
NPM 08045 D3 FI.

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


PROGRAM STUDI DIII FARMASI
2011

ABSTRAK
Mustika.M. 2011. Rasionalitas Peresepan Antibiotik Untuk Pengobatan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut Pada Anak di Puskesmas Pekauman Banjarmasin.
Karya Tulis Ilmiah, Program Studi D3 Farmasi STIK Muhammadiyah
Banjarmasin. Pembimbing : (I) Andika, S.Far.,Apt
(II) Hiryadi, M.Kep.
Sp.Kom
Kata Kunci : Rasionalitas, Peresepan, Antibiotik, ISPA, Anak
Angka kesakitan dan kematian anak akibat Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) di Indonesia saat ini masih cukup tinggi. Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) memerlukan perhatian khusus dan pemilihan obat yang tepat seta tindakan
yang cepat agar menurunkan angka kematian. Ketidakrasionalan peresepan sering
terjadi pada pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan. Penggunaan antibiotic yang tidak
sesuai dengan diagnosis penyakit menyebabkan terjadinya peresepan yang tidak
rasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah rasionalitas peresepan
antibiotik yang digunakan untuk mengobati penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) pada pasien anak di Puskesmas Pekauman Banjarmasin.
Penelitian ini mengambil tempat di Puskesmas Pekauman Banjarmasin.
Rancangan dalam penelitian ini bersifat deskriptif. Populasi yang digunakan adalah
resep untuk pasien anak penderita ISPA di Puskesmas Pekauman Banjarmasin pada
bulan Mei tahun 2011 yang berjumlah 400 resep. Dari polulasi tersebut diambil
sebanyak 80 resep sebagai sampel dengan menggunakan metode acak sederhana.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi. Data primer
diperoleh dari hasil observasi resep sedangkan data sekunder diperoleh dari formulir
monitoring indikator peresepan antibotik Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Hasil
penelitian disajikan dalam bentuk tabulasi dan persentase yang kemudian di analisis
secara deskripitif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa peresepan antibiotik untuk pengobatan
ISPA pada anak di Puskesmas Pekauman Banjarmasin yang rasional adalah sebanyak
dua puluh dua resep (dua puluh tujuh koma lima persen). Jumlah tersebut jauh lebih
kecil daripada jumlah ketidakrasionalan yang terjadi yaitu sebanyak lima puluh delapan
resep (tujuh puluh dua koma lima persen).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasionalitas peresepan antibiotik untuk
pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada anak di Puskesmas Pekauman
Banjarmasin terbilang cukup rendah sehingga perlu ditingkatkan dengan melakukan
pemilihan obat yang tepat sesuai dengan diagnosis ISPA yang diderita pasien.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan kekuatan dan kekampuan sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal Karya Tulis Ilmiah dengan judul RASIONALITAS
PERESEPAN ANTIBIOTIK UNTUK PENGOBATAN ISPA PADA ANAK DI
PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN.
Proposal ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan pendidikan Diploma III Farmasi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Banjarmasin.
Dalam proses penulisan proposal ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Hj. Ulfah Hidayati, SST.,M.Kes selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin.
2. Ibu Sri Rahayu, S.Far.,Apt selaku Ketua Program Studi D3 Farmasi.
3. Bapak Andika, S.Far.,Apt selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan
bimbingan, masukan dan motivasi sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat
diselesaikan.
4. Bapak Hiryadi, M.Kep. Sp.Kom selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan untuk penulisan proposal ini.
5. Dinas Kesehatan Kota yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian
di Puskesmas Pekauman Banjarmasin.

6. Bapak Dr. M. Fuadi selaku Kepala Puskesmas Pekauman yang telah


memberiakan arahan dan secara tidak langsung mengajarkan penulis tentang
pentingnya menjaga amanah dan tanggungjawab.
7. Ibu dr. Masliani selaku dokter dari poli anak di Puskesmas Pekauman
Banjarmasin yang telah memberikan bimbingan dan tambahan ilmu kepada
penulis.
8. Ibu Rina Feteriyani, S.Far.,Apt yang telah banyak membantu penulis dalam
pemilihan judul, memberikan saran serta kemudahan dalam proses pengambilan
data sejak studi pendahuluan hingga penelitian selesai.
9. Kedua orang tua tercinta yang selalu menyertai dengan doa dan memberikan
dukungan moril dan materil dengan ikhlas.
10. Teman-teman seperjuangan dan sahabat terdekat (Try, Pooh, Cha, Riza) yang
selalu memberikan dorongan semangat dan saling membantu dalam proses
penulisan proposal ini.
Penulis menyadari dalam penulisan proposal ini masih terdapat kekurangan,
untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna menyempurnakan
proposal ini. Semoga proposal ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak.

Banjarmasin, 10 Agustus 2011

Penulis

Kupersembahkan KaryaTulis Ilmiah ini untuk keluargaku tercinta..


Abi.
Ibu..
Dan ade.
Terimakasih untuk semua doa, cinta dan dukungan yang kalian berikan

Abi. Seorang motivator terbaik sepanjang masa yang pernah kumiliki.


Ayah nomor satu seluruh dunia.
Sosok yang hangat, sabar dan menyenangkan
Selalu tersenyum dan menguatkan saat aku lemah dan goyah
Terimakasih untuk selalu mendukung dan memberikan semangat
dalam setiap langkah yang kupilih.
Ibu Guru terbaik sepanjang masa bagiku.
Mengajarkanku semua hal baik dalam kehidupan
Sosok yang sederhana, tegas namun sangat perhatian
Seperti peramal yang selalu bias membaca semua pikiranku
Selalu menenangkan disaat badai kegelisahan menderaku
Terimakasih untuk setiap bait doa yang selalu dipanjatkan untukku

Ade
Jadilah diri sendiri, karena meski terlahir dari rahim yang
sama, kita lahir dengan membawa cahaya yang berbeda
warna
Maka bersinarlah dengan cahaya yang kau punya

DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................

KATA PENGANTAR .....................................................................................

ii

LEMBAR PERSEMBAHAN .......................................................................... iv


DAFTAR ISI ....................................................................................................

DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii


DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................

B. Rumusan Masalah .....................................................................

C. Tujuan Penelitian .....................................................................

D. Manfaat Penelitian ...................................................................

TINJAUAN PUSTAKA
A. Rasionalitas Peresepan .............................................................

B. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) .................................. 12


C. ISPA Non Pneumonia ............................................................... 15
D. Pengobatan ISPA Non Pneumonia ........................................... 18
E. Antibiotik Untuk Pengobatan ISPA .......................................... 19
F. Kerangka Pikir .......................................................................... 20

BAB III METODELOGI PENELITIAN


A. Rancangan Penelitian ................................................................ 21
B. Variabel dan Definisi Operasional ............................................ 21
C. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 22
D. Populasi dan Sampel ................................................................. 22
E. Jenis Data dan Sumber Data ..................................................... 24

F. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ....................................... 24


G. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 26
H. Etika Penelitian ......................................................................... 26
I.

Jalan Penelitian ......................................................................... 28

BAB IV HASIL PENELITIAN


A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ..................................... 29
B. Analisa Data ............................................................................. 33
C. Pembahasan .............................................................................. 34

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 38
B. Saran ........................................................................................ 38

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 39


LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1.

Definisi Operasional . 22

2.

Tabel Distribusi Frekuensi Sederhana .. 25

3.

Lembar Observasi

4.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Data Proyeksi 2009 30

5.

Jumlah Rumah Tangga Penduduk dan Rata-rata Penduduk per Rumah

. 26

Tangga di Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman Tahun 2010 .. 31


6.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin .. 32

7.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur . 32

8.

Jumlah Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin 33

9.

Rasionalitas Peresepan Antibiotik Untuk Pengobatan ISPA Pada Anak di


Puskesmas Pekauman Banjarmasin .. 34

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Kerangka Pikir .

20

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Halaman

1.

Surat Izin Studi Pendahuluan

41

2.

Surat Izin Penelitian dari Institusi .....

42

3.

Surat izin Penelitian dari Instansi .....

43

4.

Surat Permohonan Bimbingan KTI ......

44

5.

Lembar Konsultasi Bimbingan KTI ( Pembimbing I )..

45

6.

Lembar Konsultasi Bimbingan KTI ( Pembimbing II )....

46

7.

Lembar Observasi.

47

8.

Pernyataan Keaslian Tulisan

48

9.

Riwayat Hidup .

49

10. Hasil Tabulasi Data ..

50

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat merupakan suatu komponen penting dalam pelayanan kesehatan.
Penggunaan obat yang benar, tepat dan aman dapat memberikan efek yang
maksimal bagi penyembuhan. Antibiotik sebagai salah satu jenis obat yang
digunakan untuk menyembuhkan infeksi oleh mikrobakteri merupakan jenis obat
yang seringkali diresepkan oleh dokter karena efektifitasnya yang sangat baik untuk
mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikrobakteri.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah suatu tanda dan gejala akut
akibat infeksi yang terjadi pada setiap bagian saluran pernafasan baik atas maupun
bawah yang disebabkan oleh jasad renik, bakteri, virus maupun riketsin tanpa atau
disertai radang dari parenkim (Alsagaff & Abdul, 2005:110). ISPA adalah infeksi
saluran pernafasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan
saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta
organ-organ disekitarnya seperti: sinus, ruang telinga tengah, dan selaput paru
(Rasmaliah, 2004: 4).
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau ISPA baik Infeksi Saluran
Pernafasan atas maupun bawah, dewasa ini semakin sering dijumpai. Di berbagai
tempat pelayanan kesehatan seringkali dijumpai pasien dengan keluhan gangguan
pernafasan dari yang tergolong infeksi ringan seperti flu sampai infeksi berat seperti
Tuberculosis (TBC), Bronkhitis dan Pneumonia.

Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan ini tergolong berbahaya karena dapat


menular dengan cepat dan jika infeksi menyerang saluran pernafasan bagian bawah
maka dapat menyebabkan infeksi berat yang memerlukan penanganan khusus. Apabila
penanganan yang dilakukan tidak cepat dan tepat maka akan menimbulkan resiko
kematian (Mandal, 2008; 42).
Terapi pengobatan untuk penyakit ISPA dilakukan berdasarkan kepada jenis
infeksi yang terjadi. Jika infeksi terjadi pada saluran nafas bagian atas (hidung, mulut,
kerongkongan, tenggorokan), kejadian kegawatan relatif

jarang terjadi.

Contoh

penyakit infeksi saluran pernafasan bagian atas seperti influenza dan sinusitis. Untuk
penyakit influenza yang disebabkan oleh virus biasanya dapat sembuh dengan
sendirinya setelah 7 hari. Akan tetapi dapat juga diberikan terapi pengobatan dengan
pemberian antihistamin dan dekongestan sebagai terapi pendukung untuk mengobati
peradangan yang terjadi karena infeksi ringan tersebut. Sedangkan untuk infeksi pada
saluran pernafasan bagian bawah (paru-paru dan organ pernafasan sekitarnya) biasanya
beresiko besar untuk terjadi kegawatan sehingga memerlukan terapi pengobatan yang
khusus dan intensif (Mandal, 2008: 28).
ISPA pada anak sebagian besar disebabkan oleh pneumococcus yang dapat
menyebabkan terjadinya penyakit pneumonia. Pneumococcus merupakan 90%
penyebab utama terjadinya infeksi dan radang paru pada masa anak-anak. Pengobatan
untuk ISPA yang terjadi pada saluran pernafasan bagian bawah dan disebabkan oleh
infeksi bakteri dilakukan dengan menggunakan antibiotik. Sebagai terapi pengobatan
awal sebelum diketahui jenis bakterinya dapat digunakan antibiotik berspektrum luas
seperti golongan aminopenisilin. Sebagai obat pilihan pertama dapat digunakan

ampisilin atau amoksisillin dengan dosis 125-250mg per oral tiap 8 jam atau 30mg/kg
berat badan selama 7 hari. Jika infeksi yang terjadi sudah berat maka dosis dapat
ditingkatkan menjadi 2 kali lipat. Antibiotik lainnya yang dapat digunakan untuk terapi
pada infeksi pernafasan adalah erythromycin dengan dosis 20-40mg/kg barat badan/
hari selama maksimal 7 hari. Dapat juga digunakan sefadroksil dengan dosis 25mg/kg
berat badan (anak dibawah 1 tahun) atau 250-500mg (1 tahun keatas), diberikan 2 kali
sehari setiap 12 jam (Sukandar, 2008: 767).
Untuk terapi pengobatan yang lebih spesifik dapat dilakukan setelah adanya
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui jenis bakterinya. Jika jenis bakteri telah
diketahui maka dapat diberikan antibiotik berspektrum sempit yang sesuai dengan jenis
bakteri penyebab infeksi, misalnya setelah pemeriksaan laboratorium diketahui kuman
yang menginfeksi saluran pernafasan tersebut adalah Pneoumococcus yang merupakan
bakteri gram positif maka dapat di berikan terapi obat dengan menggunakan
benzilpenisislin (Penisislin-G) yang berspektrum sempit dan bekerja efektif terhadap
bakteri gram positif. Hal ini dimaksudkan agar dapat membunuh bakteri dengan lebih
spesifik hingga pengobatan menjadi lebih fokus dan memberikan efek yang maksimal
(Ethical Digest, 2010: 24).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian
tersering pada anak di Negara sedang berkembang (WHO, 2003). Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyebab kematian yang paling sering terjadi
pada anak-anak di seluruh dunia. 40%-60% dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh
penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20%-30%
(Rasmaliah, 2004). Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut masih merupakan

penyebab utama kesakitan dan kematian balita di Indonesia yaitu sebesar 28% (Rosdy
dan Kristiani, 2005: 2).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2002, penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih merupakan penyebab utama kesakitan dan
kematian balita di Indonesia. Menurut catatan Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan,
sepanjang tahun 2009 tercatat 5 balita meninggal akibat serangan ISPA. Jumlah
penderita ISPA di 13 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan ini tercatat
mencapai 111.590 orang, terdiri dari 52.130 balita dan 59.460 di atas usia lima tahun
dengan jumlah penderita terbanyak di wilayah Kota Banjarmasin. Berdasarkan data
Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan tahun 2010 hingga bulan oktober menyebutkan
bahwa kasus ISPA yang terjadi sebanyak 120.354 kasus yang tersebar di 13
kabupaten/kota. Banjarmasin menempati urutan pertama sebagai daerah dengan kasus
ISPA terbanyak yaitu 33.083 kasus. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota
Banjarmasin, Puskesmas Pekauman pada tahun 2009 menempati urutan pertama untuk
kasus ISPA pada anak dan balita dari 26 Puskesmas di daerah Kota Banjarmasin.
Berdasarkan data dari Puskesmas Pekauman selama tiga tahun terakhir kasus ISPA pada
anak dan balita selalu menempati urutan pertama dalam daftar 10 penyakit terbanyak
pada poli anak di Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Selama tahun 2010 penyakit
ISPA menempati posisi ketujuh dari 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Pekauman.
Untuk bulan Januari 2011 ISPA menempati posisi keenam, sedangkan pada bulan
Februari dan Maret menempati posisi ketujuh dari 10 penyakit terbanyak yang terjadi di
Puskesmas Pekauman.

Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien mendapatkan obat sesuai


dengan indikasi penyakitnya, dalam dosis sesuai dengan kondisi masiang-masing, untuk
jangka waktu yang cukup dan dengan harga yang paling terjangkau. Salah satu dampak
dari penggunaan obat yang tidak rasional adalah terjadinya peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas penyakit. Seperti halnya penderita ISPA ringan (non
pneumonia) pada anak yang seringkali mendapatkan resep antibiotik yang sebenarnya
tidak diperlukan. Hal ini menjadikan pemakaian obat

tidak tepat indikasi dan

memperbesar resiko terjadinya resistensi pemakaian antibiotik pada anak, sedangkan


pada anak yang jelas menderita pneumonia akhirnya justru tidak mendapatkan terapi
yang akurat, karena antibiotik yang tersedia telah digunakan untuk mereka yang tidak
memerlukan. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila saat ini angka kematian
anak akibat ISPA masih cukup tinggi di Indonesia.
Penggunaan antibiotik pada pengobatan ISPA sebenarnya hanya untuk jenis ISPA
pneumonia atau ISPA yang disebabkan oleh infeksi mikrobakteri. Sedangkan untuk
ISPA non pneumonia yang biasanya disebabkan oleh virus penggunaan antibiotik tidak
dapat membantu penyembuhan. Pemberian antibiotik untuk penderita ISPA non
pneumonia hanya akan meningkatkan resiko terjadinya resistensi antibiotik terhadap
penderita. Penderita menjadi lebih rentan terinfeksi dan sulit untuk diobati dengan
antibiotik tertentu yang menyebabkan tubuh penderita menjadi resisten terhadap
antibiotik tersebut (Alsagaff, 2005: 121).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Puskesmas Pekauman pada bulan April
tahun 2011, diperoleh data peresepan antibiotik yang tidak rasional untuk pengobatan
ISPA non pneumonia pada anak periode Juli 2010 - Maret 2011. Jumlah resep yang

tidak rasional adalah sebanyak 36 resep dari jumlah total 60 resep untuk pasien ISPA
anak usia 0-12 tahun. Jumlah dalam persen yakni sebesar 60% dari total peresepan. Dari
total 60 resep untuk pengobatan ISPA non pneumonia, 36 resep diataranya
menggunakan antibiotik sebagai pilihan terapi sedangkan untuk pengobatan ISPA non
pneumonia sebenarnya tidak diperlukan terapi dengan menggunakan antibiotik.
Ketidaksesuaian pemilihan terapi pengobatan dengan patofisiologi penyakit yang
diderita pasien menjadikan resep tersebut dapat dikatakan tidak rasional. Jumlah
ketidakrasionalan tersebut masih dapat berubah tergantung kepada jumlah pasien ISPA
yang datang untuk berobat ke Puskesmas. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas,
penulis akhirnya memutuskan untuk mengangkat permasalahan tentang Rasionalitas
Peresepan Antibiotik untuk Pengobatan ISPA pada Anak di Puskesmas Pekauman
Banjarmasin.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut: Bagaimana rasionalitas peresepan antibiotik untuk
pengobatan ISPA di Puskesmas Pekauman Banjarmasin ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rasionalitas peresepan
antibiotik untuk pengobatan ISPA di Puskesmas Pekauman Banjarmasin.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Puskesmas Pekauman Banjarmasin :

Penelitian

ini dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan evaluasi

terhadap rasionalitas peresepan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada anak


2.

Manfaat bagi peneliti :


a. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai rasionalitas
peresepan antibiotik untuk pengobatan ISPA.
b. Sebagai suatu bentuk kepedulian terhadap permasalahan dalam pelayanan
kesehatan yang terjadi khususnya mengenai rasionalitas peresepan antibiotik
untuk pengobatan ISPA pada anak.

3. Manfaat bagi pembaca :


Semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat dijadikan
bahan acuan dan perbandingan untuk penelitian yang berhubungan ataupun
sejenis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Rasionalitas Peresepan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2005, rasional adalah sesuatu
yang dilakukan menurut pertimbangan dan pikiran yang sehat, menurut penikiran
yang logis. Rasionalitas adalah pendapat yang berdasarkan pemikiran yang
bersistem dan logis; hal dan keadaan rasional.
Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam
bentuk sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada penderita. Suatu resep
umumnya hanya diperuntukkan bagi satu penderita. Pada kenyataannya resep
merupakan perwujudan akhir dari kompetensi, pengetahuan dan keahlian dokter
dalam menerapkan pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Selain
sifat-sifat obat yang diberikan dan dikaitkan dengan variabel dari penderita, maka
dokter yang menulis resep idealnya perlu pula mengetahui nasib obat dalam tubuh:
penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat; toksikologi serta penentuan
dosis regimen yang rasional bagi setiap penderita secara individual. Resep juga
merupakan perwujudan hubungan profesi antara dokter, apoteker dan penderita
(Joenoes, 2004: 7).
Peresepan atau penulisan resep adalah tindakan terakhir dari dokter untuk
penderitanya, yaitu setelah menentukan anamnesis, diagnosis dan prognosis serta

terapi yang akan diberikan; terapi dapat profilaktik, simtomatik, kausal. Terapi ini
diwujudkan dalam bentuk resep. Penulisan resep yang tepat dan rasional
merupakan penerapan berbagai ilmu, karena begitu banyak variabel-variabel yang
harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat dan kemungkinan kombinasi obat,
ataupun variabel penderitanya secara individual (Joenoes, 2004: 13).
Jadi rasionalitas peresepan dapat diartikan sebagai suatu penulisan resep atau
permintaan tertulis oleh dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker yang
dilakukan dengan penuh pertimbangan berdasarkan kepada pemikiran yang
bersistem dan logis. Definisi peresepan yang rasional itu sendiri menurut WHO
adalah penggunaan obat yang efektif. aman, murah, tidak polifarmasi, drug
combination (fixed), individualisasi, pemilihan obat atas dasar daftar obat yang
telah ditentukan bersama. Pemberian obat yang rasional adalah pemberian obat
yang mencakup 6 tepat atau benar, yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat waktu, tepat
dosis, tepat jalur pemberian dan tepat dokumentasi (Priyanto, 2008: 26).
Penulisan suatu resep seyogyanya didasarkan pada serangkaian langkah
rasional. Penerapan langkah yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Membuat diagnosis spesifik.
Resep yang dibuat semata-mata pada keinginan untuk memuaskan pasien secara
psikologis sehingga memerlukan beberapa jenis terapi, sering tidak mencapai
sasaran dan dapat mengakibatkan timbulnya efek-efek samping. Suatu diagnosis
spesifik, meskipun suatu perkiraan diperlukan untuk pindah ke tahap
berikutnya.

b. Pertimbangan patofisiologi dari diagnosis yang terpilih


Bila patologi penyakit sudah betul-betul dimengerti, penulis resep menempati
posisi yang jauh lebih baik untuk memilih terapi yang efektif. Pasien harus
diberi informasi dengan tingkat dan banyaknya informasi yang sesuai dengan
patofisiologi penyakit.
c. Memilih sasaran terapi spesifik
Suatu sasaran terapi harus dipilih untuk setiap proses patofisiologi yang
diterapkan dalam tahap terdahulu. Misalnya pada pasien dengan arthritis
rematoid, penghilangan nyeri dengan mengurangi proses peradangan merupakan
salah satu tujuan terapi utama yang menentukan pertimbangan golongan obat
yang akan digunakan. Penghentian proses penyakit pada arthritis rematoid
adalah suatu tujuan terapeutik yang lain yang dapat memberikan peningkatan
terhadap pertimbangan golongan obat dan resep lain.
d. Menentukan obat pilihan
Satu atau lebih golongan obat akan ditentukan oleh setiap tujuan terapi yang
telah ditetapkan dalam tahap sebelumnya. Seleksi suatu obat pilihan (drug of
choice) di antara golongan obat ini akan mengikuti pertimbangan karakteristik
tertentu dari pasien dan presentasi klinik. Untuk obat-obatan tertentu,
karakterisik seperti umur, ras, penyakit lain, dan obat lain yang sedang
digunakan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan obat yang
pali sesuai untuk penatalaksanaan keluhan yang ada.
e. Penentuan regimen dosis yang sesuai

Regimen dosis ditentukan terutama oleh fakmakokinetik obat pada pasien


tersebut. Bila pasien diketahui mempunyai penyakit organ utama yang
diperlukan untuk eliminasi obat yang dipilih, maka penyesuaian regimen dosis
rata-rata akan diperlukan. Untuk obat seperti ibuprofen yang eliminasi
utamnya melalui ginjal, maka fungsi ginjal harus diukur. Bila fungsi ginjal
normal, waktu paruh ibuprofen (kira-kira 2 jam) memerlukan pemberian 3 atau 4
kali sehari. Dosis yang dianjurkan menurut buku-buku dan kepustakaan dari
pabrik obat adalah 400-800 mg 4 kali sehari.
f. Merancang rencana untuk memonitor kerja obat dan menentukan kapan terapi
berakhir.
Penulis resep harus dapat menjelaskan pada pasien jenis-jenis efek obat yang
akan dimonitor dan cara memonitor, termasuk uji laboratorium (bila diperlukan)
serta tanda dan gejala yang harus dilaporkan oleh pasien. Dalam keadaan yang
memerlukan batasan terapi (misal, pada umumnya penyakit infeksi), lama terapi
harus ditentukan dengan jelas sehingga pasien tidak akan menghentikan minum
obat sebelum waktunya dan akan mengerti mengapa resep tidak perlu
diperbaharui (obat tidak perlu dilanjutkan).
g. Merencanakan program pendidikan pasien.
Penulis resep dan anggota tim kesehatn lainnya harus dipersiapkan untuk
mengulangi, menyebarluaskan dan memperkuat informasi yang akan di transfer
kepada pasien sesuai dengan keperluan. Semakin toksik obat yang diresepkan,
semakin penting arti program pendidikan ini. Pentingnya informasi dan
keterlibatan pasien dalam tiap tahap diatas harus diketahui seperti yang telah

diperlihatkan oleh pengalaman dengan obat-obatan teratogenik (Lofholm &


Katzung, 2004: 1010).

B. Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA)


1. Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Menurut World Health Organization (2007), Infeksi Saluran Pernafasan
Akut adalah penyakit saluran pernafasan atas atau bawah, biasanya menular,
yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari
penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan
mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya dan faktor lingkungan.
Namun demikian, ISPA didefinisikan sebagai infeksi saluran pernafasan akut
yang disebabkan oleh infeksi yang ditularkan dari manusia ke manusia.
Menurut WHO (1994) infeksi saluran pernafasan adalah infeksi yang
menyerang bagian saluran pernafasan seperti hidung, telinga, pharynx,
epiglottis, larynx, trachea, bronchi, bronchioli atau paru-paru. Infeksi saluran
pernafasan akut bagian atas mencakup infeksi akut pada telinga, hidung, dan
tenggorokan. Sedangkan infeksi pernafasan akut bagian bawah mencakup
infeksi akut pada epiglottis, larynx, trachea, bronchi, bronchioli dan paru.
2.

Gejala dan Tanda Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)


Pasien ISPA dapat menunjukkan berbagi gejala seperti batuk, sukar
bernafas, hidung tersumbat, pilek dan sakit tenggorokan (WHO, 1994). Timbulnya
gejala biasanya cepat yaitu dalam beberapa jam atau beberapa hari (WHO, 2007).

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan
yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasanya.
Infeksi saluran pernapasan atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi
pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin. Akan tetapi
ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering teradi pada anak kecil terutama
apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang
tidak higienis. Risiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya
kemungkinan infeksi silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai
untuk penyakit parasit dan cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya
pemakaian antibiotik (Alsagaff & Abdul, 2005: 111).
Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda tampak di
pemeriksaan klinik dan tanda-tanda tampak di pemeriksaan laboratorium. Tandatanda klinis ISPA adalah sebagai berikut :
a. Pada sistem pernafasan : Nafas pendek, tidak teratur dan cepat, retraksi /
tertariknya kulit kedalam dinding dada, suara nafas lemah atau hilang, suara
nafas seperti ada cairannya sehingga terdengar keras.
b. Pada sistem peredaran darah dan jantung : denyut jantung cepat atau lemah,
hipertensi, hipotensi dan gagal jantung.
c. Pada sistem syaraf : Gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, kejang
dan koma.
d. Pada hal umum : Mudah letih dan banyak berkeringat.
Untuk tanda-tanda laboratorium dapat diketahui melalui pemeriksaan secara
khusus dengan menggunakan sampel berupa sputum (dahak). Sampel berupa sputum

sangat baik digunakan, bakteri, jamur atau virus yang menyebabkan ISPA dapat
diketahui dengan lebih akurat karena sputum merupakan spesimen yang bersentuhan
langsung dengan saluran pernafasan. Suatu spesimen sputum dianggap mewakili sekresi
saluran nafas bagian bawah yang dapat dikeluarkan melewati saluran nafas bagian atas.
Tetapi untuk pasien bayi dan balita seringkali kesulitan dalam pengambilan sputum
sebagai sampel karena pasien tidak dapat mengeluarkan sendiri sputum tersebut.
Penggunaan nebulizer bisa membantu mengeluarkan sekret. Kultur sputum merupakan
cara diagnosis yang direkomendasikan untuk membantu pemberian terapi. Kultur ini
sangat membantu mengidentifikasi signifkasi epidemiologi dari organisme penyebab,
baik untuk melihat pola penularan atau resistensi (Ethical Digest, 2010: 20).
Hasil analisa laboratorium dapat digunakan untuk mengetahui penyebab utama
ISPA, apakah disebabkan oleh bakteri, jamur, atau virus. Jika ISPA disebabkan oleh
bakteri maka hasil laboratorium juga dapat memberikan keterangan tentang jenis bakteri
yang menjadi penyebab ISPA tersebut.

C. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Non Pneumonia


Penyakit ISPA non pneumonia sebagian besar disebabkan oleh virus
pernafasan. Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA.
Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas. Gambaran klinik secara
umum yang sering didapati adalah: rhinitis, nyeri tenggorokan, batuk-batuk dengan
dahak kuning atau putih kental, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu badan
akan meningkat antara 4-7 hari, disertai dengan malaise, mialgia, nyeri kepala,

anoreksia, mual, muntah-muntah dan insomnia. Kadang-kadang dapat juga terjadi


diare (Alsagaff & Abdul, 2005: 112).
Penyakit ISPA non pneumonia dapat berkembang menjadi ISPA pneumonia
apabila selama masa inkubasi penderita terinfeksi bakteri atau sebelumnya telah
menderita penyakit paru yang menahun seperti Tuberkulosis (TBC) misalnya.
Gambaran klinik perkembangan ISPA non pneumonia menjadi ISPA pneumonia
dapat diketahui dengan menghitung waktu peningkatan suhu tubuh dan bentuk fisik
sputum. Apabila peningkatan suhu tubuh berlangsung sangat lama dan sputum yang
semula berwarna jernih berubah menjadi keruh, berwarna kuning atau hijau maka
penderita telah mengalami perkembangan penyakit ISPA non pneumonia menjadi
ISPA pneumonia. Ada 6 gambaran sindroma ISPA yang disebabkan oleh virus Non
pneumonia) yaitu :
1. Sindroma Korisa (Coryzal/Common Cold Syndrome)
Sindroma ini ditandai dengan peningkatan sekresi hidung, bersin-bersin, hidung
buntu, kadang-kadang disertai sekresi air mata dan konjungtivitis ringan.
Sekresi hidung mula-mula cair kemudian mokoid dan selanjutnya menjadi
purulen. Keadaan tersebut seringkali menimbulkan nyeri kepala dan nyeri
setempat. Sindroma korisa biasanya diawali dengan suara serak dan rasa nyeri
tenggorok. Kadang-kadang disertai keluhan sistemik berupa nyeri kepala,
mialgia, malaise, rasa lemah malas dan rasa dingin. Penyebab sindroma ini
biasanya rhinovirus, parainfluenza I dan II, echovirus, coxsackie dan RSV.
2. Sindroma Faring (Pharyngeal Syndrome)

Gambaran klinik yang menonjol adalah suara serak dan nyeri tenggorok dengan
derajat ringan sampai berat. Terdapat keradangan faring dan pembesaran
adrenoid serta tonsil, kadang-kadang adrenoid sangat besar sehingga
menimbulkan obstruksi pada hidung. Kadang bercak-bercak serta eksudasi
berwarna didapatkan pada permukaan tonsil disertai pembesaran kelenjar di
leher. Sering dijumpai penderita dengan batuk-batuk, tanpa disertai korisa.
Gejala sindroma faring berua panas dingin, malaise, nyeri/pegal seluruh badan,
nyeri kepala, dan kadang-kadang suara parau. Penyebab utama sindrom ini
adalah adenovirus.
3. Sindroma Faringokonjungtiva
Merupakan varian dari sindroma faring yang disebabkan oleh virus yang sama.
Gejala klinik diawali dengan faringitis yang berat kemudian diikuti dengan
konjuntivitis yang sering kali bilateral. Dapat juga dimulai dengan gejal
konjungtivitis yang berlangsung selam 1-2 minggu sebelum gejala faringitis itu
sendiri. Pada sindroma faringokonjungtiva didapatkan fotofobi dan nyeri pada
bola mata.
4. Sindroma Influenza
Gambaran yang menonjol pada sindroma influenza adalah gangguan fisik
cukup berat, dengan gejala batuk, meriang, panas badan, lemah badan, nyeri
kepala, nyeri tenggorok, nyeri retrostenal, nyeri seluruh tubuh, malaise dan
anoreksia. Gejala-gejala ini terjadi secara mendadak dan dengan cepat dapat
menular ke semua anggota keluarga dalam satu rumah.

5. Sindroma Herpangina
Gambaran klinik Sindroma Herpangina berupa vesikel-vesikel yang terdapat di
dalm mulut an faring. Vesikel ini kemudian mengalami ulserasi dengan tepi
yang membengkak, disertai nyeri tenggorokan, nyeri kepala dan panas badan.
Penyebab sindroma herpangina adalah virus Coxssckie A dan umumnya
menyerang anak-anak.
6. Sindroma Laringotrankeobronkitis Obstruktif Akuta (Croup Syndrome)
Pada anak-anak, gambaran klnik dari sindroma laringotrankeobronkitis
obstruktif akuta tampak gawat dan berat berupa batuk-batuk, sesak napas yang
disertai stridor inspirasi, sianosis serta gangguan-gangguan sistemik lainnya.
Gejala awal sering ringan yaitu berupa sindroma korisa, kemudian cepat
memburuk berupa obstruksi jalan napas yang hebat dengan penarikan sela
antara iga dan toraks bagian bawah serta penggunaan otot-otot napas bantu
secara menonjol.
Penyebab utama keadaan ini adalah virus parainfluenza, RSV, adenovirus dan
virus influenza. Pada umumnya gejala tersebut menghilang dengan cepat, akan
tetapi ada kalanya berkembang menjadi kegagalan pernapasan yang
memerlukan tindakan trakeostomi dengan segera. Hal ini disebabkan ada
superinfeksi antibiotik yang biasanya disebabkan oleh kuman Streptokokus
Hemolitikus dan Stafilokokus. Pada keadaan gawat dapat diberikan antibiotika
ampisislin atau eritromisin. Pemberian kortikosteroid intravena sering juga

diperlukan. Sindroma ini harus dibedakan dengan infeksi bakterial karena


mempunyai gambaran klinis yang sama (Alsagaff & Abdul, 2005: 113).

D. Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Non Pneumonia


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penyakit ISPA non
pneumonia disebabkan oleh virus sehingga untuk pengobatannya tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan antibiotik. Pemberian antibiotik pada penderita
ISPA non pneumonia tidak akan memberikan efek kesembuhan karena antibiotik
tidak dapat bekerja terhadap infeksi virus. Untuk infeksi virus seharusnya diobati
dengan menggunakan anti virus, akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan obat
yang khusus anti virus untuk mengobati penyakit ISPA non pneumonia. Karena hal
tersebut maka tujuan terapi pada penderita ISPA non pneumonia adalah terapi
simtomatik. Obat yang dapat digunakan adalah analgetik , antipiretik, dekongestan,
antitusif, mukolitik, ekspektoran dan kortikosteroid. Obat-obatan tersebut dapat
diberikan secara oral atau topikal seperti tetes / semprot hidung dan obat kumur.
Pengobatan tidak harus selalu menggunakan obat-obatan kimia, pengobatan
tradisional juga dapat menjadi pilihan dalam mengobati gejala yang timbul pada
ISPA non pneumonia (Mandal, 2008: 28).
Perkembangan ISPA non pneumonia menjadi ISPA pneumonia dapat dicegah
dengan penanganan yang baik dan cepat, segara setelah gejala klinis terlihat
sehingga tidak terjadi infeksi bakteri. Tindakan pengobatan yang cepat, tepat dan

akurat menjadi factor penting dalam penyembuhan penyakit ISPA (Chayono, 2010:
72).

E. Antibiotik untuk Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)


Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi yang
dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa
ini yang dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam praktek
sehari-hari antimikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba
(misalnya sulfonamide dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotik
(Anonim,2006: 571).
Pemberian antibiotik untuk pengobatan pada ISPA harus memperhatikan
jenis dan penyebab terjadinya ISPA tersebut sebagai berikut :
1. ISPA pneumonia berat : Dilakukan perawatan intensif di Rumah Sakit, diberikan
antibiotik melalui jalur infus atau injeksi, diberi alat bantu pernafasan berupa
oksigen dan sebagainya.
2. ISPA pneumonia : Diberikan antibiotik secara oral. Pilihan obatnya
kotrimoksazol, jika terjadi alergi dapat diberikan amoksisillin, penisilin,
ampisilin.
3. ISPA Non pneumonia : pengobatan dilakukan tanpa menggunakan antibiotik.
Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat diberikan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan.
Bila demam dapat diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita

dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan terdapat bercak
nanah dan pembesaran kelenjar getah bening dileher dianggap sebagai radang
tengggorokan oleh kuman streptococcus dan harus diberi antibiotik selam 10
hari (Rasmaliah,2004: 34)

F. Kerangka Pikir

Rasionalitas

Peresepan antibiotik untuk


pengobatan ISPA

Gambar 1. Kerangka Pikir

BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Rancangan dalam penelitian ini adalah jenis rancangan penelitian
noneskperimental yang bersifat deksriptif. Metode penelitian deskriptif adalah
penelitian yang berhubungan dengan variabel yang ada tanpa membuat suatu
perbandingan atau pun menghubungkan (Hidayat, 2009:30). Rancangan penelitian
ini digunakan untuk mengetahui rasionalitas peresepan antibiotik untuk pengobatan
ISPA pada anak di Puskesmas Pekauman Banjarmasin.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1.

Variabel
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang

dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian
tertentu/sebagai konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai (Notoamodjo,
2010: 130). Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah rasionalitas
menyangkut tentang peresepan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada anak.
2. Definisi
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena (Hidayat, 2007: 79).

Dalam penelitian ini, peneliti membuat tabel definisi operasional sebagai berikut :

Tabel 3.1. Definisi Operasional


Variabel

Definisi

Parameter

Operasional

Alat
Ukur

Rasionalitas

Kesesuaian

Resep

peresepan

peresepan

antibiotik

antibiotik

antibiotik

yang

dengan

diberikan

diagnosis

untuk

Lembar

Skala

Kategori

Ukur
Ordinal

observasi

Rasional
( Non
Pneumonia
antibiotik)

ISPA pada pasien


pasien anak. ISPA non

Tidak rasional

pneumonia
(Non
Pneumonia
antibiotik)

C. Tempat dan Waktu Penelitian


1.

Tempat penelitian dilakukan di Puskesmas Pekauman Banjarmasin.

2. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli tahun 2011.

D. Populasi dan Sampel


1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua resep untuk pasien anak penderita
ISPA di Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Populasi resep untuk pasien anak
penderita ISPA di Puskesmas Pekauman Banjarmasin pada bulan Mei tahun
2011 berjumlah 400 orang.
2.

Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2007:60).
Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah resep untuk pasien
anak penderita ISPA Non pneumonia di Puskesmas Pekauman pada bulan Mei
tahun 2011. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
N

Keterangan : n = Jumlah Sampel

n=
Nd + 1

N = Jumlah Anggota Populasi


d = Nilai presisi yang ditetapkan

400
n=
400 (10%) + 1

400
n=
4+1

400
n=
5

n=

80

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, sampel yang digunakan dalam penelitian


ini adalah sebanyak 80 resep. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan metode acak sederhana.
E. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan sebagai bahan materi penelitian adalah data primer dan
data sekunder.
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti dan
langsung didapatkan dari hasil observasi. Data tersebut adalah resep untuk pasien
anak penderita ISPA di Puskesmas Pekauman Banjarmasin.
2. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini yaitu data yang diperoleh
dari Puskesmas Pekauman Banjarmasin berupa formulir monitoring indikator
peresepan periode Juli 2010-Maret 2011 serta daftar 10 penyakit terbanyak periode
Januari-Maret 2011.

F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data


1. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data adalah sebagai berikut:
a. Editing, adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh
atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau
setelah data terkumpul.
b. Coding, adalah kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang
terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila
pengolahan dan analisis data

menggunakan komputer. Biasanya dalam

pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku (code
book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu
variabel.
c. Entry Data, adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan
kedalam master table atau database komputer, kemudian membuat frekuensi
sederhan atau bisa juga dengan membuat tabel kontigensi.
2.

Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, data diolah secara manual dalam bentuk
tabulasi dan persentase. Data yang sudah diolah tersebut kemudian dianalisa secara
deskriptif.
Data yang diperoleh dari hasil observasi kemudian dipersentasekan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Mahfoedz, 2009).

F
P=

x 100 %
N

Keterangan :

P = Persentase
F = Jumlah resep yang tidak rasional
N = Jumlah resep (sampel)

Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabulasi dengan


menggunakan tabel distribusi frekuensi sederhana seperti di bawah ini :

Tabel 3.2. Tabel Distribusi Frekuensi Sederhana


Kategori Rasionalitas

Jumlah

Persentase ( % )

Rasional

..........

..

Tidak Rasional

..

..

\
G. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini proses pengumpulan data dilakukan dengan cara
observasi

atau pengamatan.

Pengamatan

dilakukan

dengan cara terlibat

langsung dalam pelayanan resep sehingga memudahkan untuk melakukan analisa


terhadap rasionalitas resep.
Sebagai instrumen pengumpulan data dibuat lembar observasi dalam bentuk
tabel yang di isi oleh peneliti berdasarkan hasil pengamatan sebagai berikut :

Tabel 3.3. Lembar Observasi

Tgl

No

Jenis
Kelamin
P/L

Umur

Diagnosis

Item
Obat

Antibiotik
Ya / Tidak

Rasional
Ya /
Tidak

H. Etika Penelitian
Penelitian dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin, kemudian dilanjutkan dengan
mengajukan permohonan izin kepada Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin untuk
mendapatkan

persetujuan

melakukan

penelitian

di

Puskesmas

Pekauman

Banjarmasin dengan menekankan masalah etika yang harus diperhatikan antara lain
sebagai berikut :

1. Informed consent
Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed
Consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilekukan dengan memberikan
lember persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan Informed Consent adalah
agar subjek mengerti maksud dan tujan penelitian, mengetahui dampaknya.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan persetujuan responden yang diperoleh
melalui lembar persetujuan dan diberikan kepada subjek yang akan diteliti.
2. Anonymity (tanpa nama)
Masalah ini merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan
subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama
responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Confidentially (kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dalam memberikan jaminan kerahasiaan
penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi
yang telah dikumpulkan dijaminkerahasiaannya oleh peneliti.

I.

Jalan Penelitian
Penelitian dimulai dari analisa situasi dan studi literatur/pustaka.
Selanjutnya proses bimbingan judul pada bulan Maret 2011. Pad bulan April
dilaksanakan studi pendahuluan di lokasi penelitian, dilanjutkan dengan

menetapkan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Proses pengajuan judul ke


komite skripsi dilakukan pada tanggal 11-30 April 2011.
Menyususun

kerangka

pikir,

mengidentifikasi

variabel

penelitian,

menentukan populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel dilakukan dalam


proses bimbingan proposal Karya Tulis Ilmiah yang dilaksanakan pada tanggal 1
Mei-20 Juni 2011.
Proses pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 22 Juni-2 Juli 2011 di
Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Proses pengambilan data dimulai dengan
menentukan objek penelitian yang dipilih sesuai dengan kriteria populasi dan
sampel yang telah ditentukan dengan menggunakan metode acak sederhana. Setelah
didapatkan objek yang memenuhi keriteria kemudian dilakukan pemeriksaan
mengenai rasionalitas peresepan antibiotik pada resep. Data yang diperoleh
kemudian dimasukkan kedalam lembar observasi berbentuk tabel.
Data yang sudah terkumpul kemudian dibuat dalam bentuk tabulasi dan
persentase yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Proses tersebut dilakukan
dengan bimbingan yang dilaksanakan pada tanggal 4-14 Juli 2011.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian


Puskesmas Pekauman terletak di jalan K.S. Tubun No.81 Banjarmasin yang
didirikan pada tahun 1974 dan merupakan Puskesmas yang pertama kali ada di
wilayah Banjarmasin. Puskesmas Pekauman merupakan Puskesmas Induk yang
membawahi empat Puskesmas Pembantu (Pustu) yaitu Pustu Kelayan Selayan,
Pustu Basirih, Pustu Kuin Kacil dan Pustu Mantuil. Puskesmas Pekauman juga
membawahi dua Puskesdes yaitu Puskesdes Mantuil dan Puskesdes Handil
Bamban.
1. Geografi dan Batas Wilayah
Penelitian ini mengambil tempat di wilayah kerja Puskesmas Pekauman
Banjarmasin. Puskesmas Pekauman ini berlokasi di Kelurahan Pekauman
kecamatan Banjarmasin Selatan. Puskesmas Pekauman didirikan pada tahun
1974 dengan luas lahan 2400 m. Luas wilayah kerja Puskesmas Pekauman
adalah 10,6 km yang meliputi 4 kelurahan, yaitu :
a. Kelurahan Pekauman dengan luas wilayah 1,20 Km
b. Kelurahan Kelayan Barat dengan luas wilayah 0,15 Km
c. Kelurahan Kelayan Selatan dengan luas wilayah 4,25 Km
d. Kelurahan Mantuil dengan luas wilayah 5,05 Km
Dengan batasan wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara

: Sungai Martapura

b. Sebelah Selatan : Kabupaten Banjar


c. Sebelah Barat

: Sungai Martapura

d. Sebelah Timur

: Kelayan Luar

2. Sarana dan Prasarana


Puskesmas Pekauman memiliki sarana pelayanan kesehatan yang cukup
lengkap. Puskesmas Pekauman memiliki sarana pelayanan kesehatan berupa ruang
pemeriksaan yaitu Poli Umum beserta Kamar Tindakan, Poli Anak, Poli Gizi dan
Lansia, KIA / KB (Poli Kebidanan & Imunisasi) dan Poli PKPR.
Selain itu terdapat juga sarana dan prasarana penunjang lainnya seperti Klinik
Sanitasi, Laboratorium, Apotek, Gudang Obat, Loket pendaftaran dan ruang Tata
Usaha. Tersedia juga mushola, toilet karyawan dan toilet pasien. Untuk sarana
transportasi Puskesmas Pekauman memiliki sebuah mobil yang digunakan untuk
melakukan pelayanan Puskesmas Keliling.
3. Demografi
Adapun jumlah Penduduk di Wilayah kerja Puskesmas Pekauman berdasarkan
data proyeksi tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jumlah penduduk berdasarkan data proyeksi tahun 2009


Kelurahan

Jumlah Penduduk

Jumlah RT

Pekauman

10.372

30

Kelayan Selatan

22.90

63

Kelayan Barat

8.288

30

Mantuil

11.629

34

53.194

160

Jumlah

Sumber : Profil Puskesmas Pekauman Tahun 2009


Jumlah rumah tangga penduduk dan rata-rata penduduk per rumah tangga
berdasarkan Tahun 2010 adalah seperti pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Jumlah rumah tangga penduduk dan rata-rata penduduk per rumah tangga di
wilayah kerja Puskesmas Pekauman tahun 2010

No.

Kelurahan

Jumlah

Jumlah

Rata-rata

Rumah

Penduduk

jiwa/rumah

Tangga

tangga

1.

Mantuil

2612

10977

2.

Kelayan Selatan

6667

19642

3.

Pekauman

2783

12370

4.

Kelayan Barat

1799

9203

Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Pekauman Tahun 2010

Banyaknya jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja


Puskesmas Pekauman tahun 2010 juga dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas
Pekauman Tahun 2010
No.

Kelurahan

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

1.

Mantuil

5508

5469

10977

2.

Kelayan Selatan

9864

9778

19642

3.

Pekauman

6152

6218

12370

4.

Kelayan Barat

4687

4516

9203

Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Pekauman Tahun 2010

Sedangkan untuk jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di wilayah


kerja Puskesmas Pekauman dapat dilihat pada tabel 4.4. sebagai beikut :

Tabel 4.4. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di wilayah kerja Puskesmas
Pekauman Tahun 2010
60 tahun
No.

Kelurahan

0-4

5-9

10-19

20-59

tahun

tahun

tahun

tahun

dan ke
atas

1.

Mantuil

1112

826

2237

6272

530

2.

Kelayan Selatan

2313

1584

3691

11106

948

3.

Pekauman

1247

842

2243

7233

805

4.

Kelayan Barat

892

658

1652

5385

616

Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Pekauman Tahun 2010

B. Hasil Penelitian
1. Jumlah Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari hasil penelitian diperoleh data jumlah sampel berdasarkan jenis
kelamin seperti tertera pada tabel 4.5.

Tabel 4.5. Jumlah sampel penelitian berdasakan jenis kelamin


No.

Jenis Kelamin

Jumlah

1.

Laki-laki

42 orang

2.

Perempuan

38 orang

Jumlah total sampel

80 orang

Sumber : Data primer yang diolah


2. Rasionalitas Peresepan Antibiotik Untuk Pengobatan ISPA Pada Anak di Puskesmas
Pekauman
Untuk hasil penelitian terhadap rasionalitas peresepan antibiotik untuk
pengobatan ISPA pada anak juga disajikan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian
terhadap rasionalitas peresepan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada anak dapat
dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6. Rasionalitas Peresepan Antibiotik untuk Pengobatan ISPA pada Anak di
Puskesmas Pekauman Bulan Mei Tahun 2011
Kategori

Jumlah Resep

Persentase

Rasional

22

27,5 %

Tidak Rasional

58

72,5 %

Jumlah

80

100 %

Sumber : Data primer yang diolah

C. Pembahasan
Pada bagian ini akan dibahas mengenai permasalahan tersebut berdasarkan
data diatas, yaitu berdasarkan kategori hasil data dari sampel mengenai rasionalitas
peresepan antibiotik untuk pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada anak
di Puskesmas Pekauman bulan Mei tahun 2011.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut adalah penyakit saluran pernafasan atas
atau bawah, biasanya menular. Infeksi saluran pernafasan akut bagian atas
mencakup infeksi akut pada telinga, hidung, dan tenggorokan. Sedangkan infeksi
pernafasan akut bagian bawah mencakup infeksi akut pada epiglottis, larynx,
trachea, bronchi, bronchioli dan paru

Penyakit ISPA non pneumonia sebagian

besar disebabkan oleh virus pernafasan. Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 100
jenis virus penyebab ISPA (Anonim,1994).
Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas. Gambaran klinik
secara umum yang sering didapati adalah: rhinitis, nyeri tenggorokan, batuk-batuk
dengan dahak kuning atau putih kental, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu
badan akan meningkat antara 4-7 hari, disertai dengan malaise, mialgia, nyeri
kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah dan insomnia. Kadang-kadang dapat juga
terjadi diare.
Gejala spesifik yang timbul pada penderita ISPA tergantung kepada jenis
virus yang menyerang. Jenis virus penyebab ISPA yaitu Influenza virus,
Parainfluenza virus, Respiratory syncitial virus ( RS-virus), Adenovirus,
Rhinovirus, Coxsackie virus A, Coxsackie virus B, Echovirus dan Coronavirus.

Gejala yang timbul akibat infeksi virus ini dikelompokkan menjadi enam bagian
berdasarkan sindrom yang ada yaitu sindroma Korisa, Sindroma Faring, Sindroma
Faringokonjungtiva, Sindroma Influenza, Sindroma Herpangina dan Sindroma
Laringotrakeobronkitis Obstruktif Akuta (Croup Syndrome).
Penyakit ISPA non pneumonia disebabkan oleh virus sehingga untuk
pengobatannya tidak dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik. Pemberian
antibiotik pada penderita ISPA non pneumonia tidak akan memberikan efek
kesembuhan karena antibiotik tidak dapat bekerja terhadap infeksi virus. Untuk
infeksi virus seharusnya diobati dengan menggunakan anti virus, akan tetapi sampai
saat ini belum ditemukan obat yang khusus anti virus untuk mengobati penyakit
ISPA non pneumonia. Karena hal tersebut maka tujuan terapi pada penderita ISPA
non pneumonia adalah terapi simtomatik. Obat yang dapat digunakan adalah
analgetik,

antipiretik,

dekongestan,

antitusif,

mukolitik,

ekspektoran

dan

kortikosteroid. Obat-obatan tersebut dapat diberikan secara oral atau topikal seperti
tetes / semprot hidung dan obat kumur (Mandal,2008).
Pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Diagnosis
yang tepat akan menentukan rasionalitas pemilihan obat untuk terapi pengobatan
pasien. Kesalahan dalam diagnosis akan mengakibatkan kesalahan juga pada
pemilihan obat untuk terapi pengobatan. Selain itu peresepan obat yang tidak sesuai
dengan diagnosis dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak rasional dan dapat
menimbulkan efek yang berlebihan dan tidak diharapkan.

Pemberian antibiotik yang tidak diperlukan dapat meningkatkan resiko


terjadinya efek resistensi sehingga bakteri menjadi tidak peka terhadap jenis
antibiotik yang diberikan. Bakteri tersebut membentuk kekebalan dan tidak dapat
mati jika menggunakan jenis antibiotik dengan dosis yang sama sehingga harus
dilakukan penambahan dosis dan memperpanjang lama penggunaan obat atau
pemilihan antibiotik jenis baru.
Penggunaan antibiotik dengan dosis besar dan jangka waktu yang lama
akibat terjadinya resistensi dapat menimbulkan efek samping yang fatal seperti
adanya reaksi anafilaksis. Pemberian antibiotik pada bayi dapat menyebabkan
pergeseran ikatan bilirubin dengan albumin sehingga mengganggu sistem imun.
Mekanisme reaksi imun juga dapat berkembang menjadi hepatitis anikterik dengan
nekrosis sel hati.
Efek samping lain yang ditimbulkan oleh pemakaian antibiotik dalam waktu
lama dan dosis besar adalah timbulnya komplikasi pada saluran kemih yang
disebabkan oleh pembentukan dan penumpukan kristal dalam ginjal, kaliks, pelvis,
ureter atau kandung kemih yang menyebabkan iritasi dan obstruksi. Ada pula efek
samping ringan yang sering terjadi pada penggunaan antibiotik seperti reaksi alergi
dan gangguan saluran cerna (diare). Resiko efek samping tersebut diatas akan
semakin besar apabila pasien adalah bayi dan anak-anak karena pada umumnya
bayi dan anak-anak memiliki organ dan sistem tubuh yang belum berkembang
sepenuhnya seperti fungsi hati dan ginjal yang menjadi alat untuk metabolisme,
ekskresi serta detoksifikasi bagi tubuh sehingga memudahkan terjadinya efek toksik
(Setiabudy,2007).

Dari hasil data yang diolah tentang rasionalitas peresepan antibiotik untuk
pengobatan ISPA pada anak hanya 27,5 % resep yang rasional. Resep dibuat sesuai
dengan ketentuan untuk pengobatan penyakit ISPA non pneumonia yang bersifat
simptomatis tanpa penggunaan antibiotik. Sedangkan jumlah resep yang tidak
rasional mencapai 72,5 % dari total keseluruhan resep. Angka ketidakrasionalan
resep ini dikarenakan adanya penggunaan antibiotik yang tidak diperlukan dalam
pengobatan. Penggunaan obat yang tidak diperlukan seperti antibiotik tersebut
menjadi faktor penyebab terjadinya tidak tepat indikasi yang mengakibatkan resep
dinilai tidak rasional.

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap rasionalitas peresepan
antibiotik untuk pengobatan infeksi saluran pernafasan akut pada anak di
Puskesmas Pekauaman Banjarmasin tahun 2011 dapat disimpulkan bahwa hampir
separuh resep dikatakan rasional.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka peneliti menyarankan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Kepada pihak Puskesmas agar lebih spesifik dalam menegakkan diagnosis
penyakit sehingga dapat memberikan terapi pengobatan yang sesuai dengan
diagnosis yang ada.
2. Meningkatkan rasionalitas peresepan dengan pemilihan obat yang sesuai dengan
kebutuhan pasien berdasarkan diagnosis yang telah ditegakkan, karena
penggunaan obat yang rasional dan tidak berlebihan sesuai dengan diagnosis
penyakit akan memaksimalkan proses penyembuhan dan mengurangi efek
samping dari pengobatan.

DAFTAR RUJUKAN

Alsagaff, Hood & Mukty, Abdul (Eds.). 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya. Airlangga University Press.

Chayono, JB Suharjo B. 2010. Kesalahan Diagnosis dan Keselamatan Pasien. Ethical


Digest, hlm.72-76.

Depkes RI. 2002. Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan
Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Ethical Digest. April 2010. Penyakit Paru Terbanyak., hlm.20-23.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis
Data. Jakarta: Salemba Medika

Joenoes, Nanizar Zaman. 2003. ARS PRESCRIBENDI (Resep yang Rasional) Edisi 1.
Surabaya. Airlangga University Press.

Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik (Buku 2) Edisi 8.


Terjemahan dan Editor oleh Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Machfoedz, Irham. Metodelogi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan,


Kedokteran. Yogyakarta: Fitramaya

Mandal, B.K.,Wilkins, E.G.L., Dunbar, E.M., White, R.T. Mayon. 2004. Lecture Notes
Penyakit Infeksi. Terjemahan oleh dr. Juwalita Surapsari. 2008. Jakarta:
Erlangga

Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Penanggulangannya.


Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Rosdy, Edi & Kristiani. 2005. Penanggulangan ISPA. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.

Sukandar, Elin Yulinah, dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta. PT. ISFI Penerbitan.

WHO. 1994. Out Patient Management of Young Children With Acute Respiratory
Infection.

WHO. 2003. Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lampiran 1. Surat Izin Studi Pendahuluan

Lampiran 2.
Surat Izin Penelitian dari Institusi

Lampiran 3.
Surat Izin Penelitian dari Instansi

Lampiran 4.
Surat Permohonan Bimbingan

Lampiran 5.
Lembar Konsultasi Bimbingan KTI ( Pembimbing I)

Lampiran 6
. Lembar Konsultasi Bimbingan KTI ( Pembimbing II)

Lampiran 7.
LEMBAR OBSERVASI

Tgl

No
. R/

Jenis
Kelamin
P/L

Umur

Diagnosis

Item
Obat

Antibiotik
Ya / Tidak

Rasional
Ya /
Tidak

Lampiran 8
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama

MUSTIKA MUTHAHARAH

NPM

08045 D3 Fi.

Program Studi

DIII FARMASI

Program

REGULER

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benarbenar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan plagiat, yaitu
pengambilalihan tulisan, atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan
atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Kerya Tulis Ilmiah ini hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Banjarmasin, 20 Juni 2011


Pembuat Pernyataan

Mustika Muthaharah

Lampiran 9
RIWAYAT HIDUP

1. Nama Lengkap

Mustika Muthaharah

2. Tempat/tanggal lahir

Banjarmasin, 23 Maret 1991

3. Nama orang tua

a. Drs. H. Suriadi Kurnain


b. Dra. Hj. Siti Salmah

4. Riwayat Pendidikan

a. TK

: Taman Kanak-kanak Muslimat NU Buntok

b. SD

: Sekolah Dasar Negeri XIV Buntok

c. SMP : Madrasah Tsanawiyah Negeri Buntok


d. SMA : Madrasah Aliyah Normal Islam Puteri Rasyidiyah
Khalidiyah Amuntai

You might also like