You are on page 1of 49

HIV/ AIDS

LATAR BELAKANG
Infeksi HIV pada bayi dan anak adalah masalah klinis dan epidemiologi yang mulai
meningkat di Indonesia. Penting bagi kita memahami epidemi HIV untuk merencanakan,
melaksanakan, dan memonitor program yang berupaya mengurangi dampak HIV/AIDS. Hal ini
berlaku untuk epidemi HIV pada pediatri yang saat ini upaya pencegahan, perawatan, dan
pengobatan masih tertinggal dibandingkan dengan yang telah diterapkan pada orang dewasa.
Infeksi virus penyebab defisiensi imun pada anak pertama kali ditemukan di Amerika
pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun tanpa diketahui penyebabnya yang pada
tahun 1985 virus tersebut dikenal dengan nama Human Immunodeficiency Virus Tipe-1 (HIV-1).
Infeksi virus ini dapat timbul tanpa gejala bahkan sampai gejala yang sangat berat dan progresif,
dan umumnya berakhir dengan kematian.5
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi.
Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk kedalam tubuh manusia.
Virus HIV diklasifikasikan kedalam golongan retroviridae. Virus ini secara material
genetic adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat
menginfeksi sel manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari
2 group, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan
kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.
Bentuk klinis paling berat dikenal dengan nama Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS). Sebelum virus penyebab AIDS ini ditemukan, batasan yang berlaku adalah suatu
sindrom penurunan sistem imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau
keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi
kongenital.5

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 1

HIV/ AIDS

Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui darah,
penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Infeksi HIV pada anak dapat
terjadi akibat infeksi perinatal (vertikal) sekitar 50%-80% baik intra uterin, melalui plasenta,
selama persalinan melalui pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi
postnatal yaitu melalui air susu ibu (ASI).5 Sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti
transfuse darah atau komponen darah relative lebih jarang ditemukan.
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada
anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan menghidap infeksi HIV harus menjadi suatu
tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan
kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi
infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan
yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata,
gangguan perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis berulang.

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, jumlah kasus baru AIDS pediatrik menurun, terutama karena
inisiatif kesehatan publik mengenai tes HIV secara universal bagi ibu hamil dan penggunaan
AZT dan terapi antiretroviral lain pada wanita hamil yang terinfeksi dan bayi baru lahir
mereka. Pada tahun 2007, 19 anak-anak Amerika berusia di bawah 15 tahun meninggal karena
penyakit HIV.
Jumlah ini kontras dengan apa yang terjadi secara internasional. Internasional statistic
WHO memperkirakan bahwa lebih dari 33 juta orang terinfeksi HIV di seluruh dunia, dan
90% dari mereka berada di negara berkembang. HIV telah menginfeksi 4,4 juta anak-anak dan
telah mengakibatkan kematian 3,2 juta. Setiap hari, 1800 anak-sebagian besar bayi baru lahirterinfeksi HIV. Sekitar 7% dari populasi di sub-Sahara Afrika terinfeksi HIV, orang-orang ini
mewakili 64% dari yang terinfeksi HIV populasi dunia.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 2

HIV/ AIDS

Pola penularan HIV/AIDS juga ditemukan pada ibu rumah tangga, yaitu seorang ibu
rumah tangga yang sedang hamil diketahui terinfeksi HIV karena tertular dari pasangannya.
Bayi yang dilahirkan juga positif terinfeksi HIV. Inilah awal kasus penularan HIV/AIDS dari
ibu ke bayi. Pada tahun 1997, jumlah kumulatif HIV karena transmisi perinatal sebanyak 3
kasus dan AIDS sebanyak 1 kasus. Di kelompok ibu hamil, di Propinsi Riau dan Papua, angka
kejadian infeksi HIV sebesar 0,35% dan 0,25% sedangkan di DKI Jakarta sebesar 2,86%

ETIOLOGI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 3

HIV/ AIDS

Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency


Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae.Sampai
sekarang

baru

dikenal

dua

serotype

HIV

yaitu

HIV-1

dan

HIV-2

yang

juga

disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada
kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum
banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu
dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathyassociated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.
Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun
1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika
Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada
tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu
reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada
kulit,

sel-sel

glial,

dan

epitel

usus

(terutama

sel-sel

kripta

dan

sel-sel

enterokromafin). Sedangkan gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja


sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan
sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 4

HIV/ AIDS

lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai
disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten
terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV
dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak.

KARAKTERISASI VIRUS HIV

Gambar 1. Struktur anatomi HIV


Partikel HIV terdiri atas inner core yang mengandung 2 untai DNA identik yang
dikelilingi oleh selubung fosfolipid. Genom HIV mengandung gen env yang mengkode
selubung glikoprotein, gen gag yang mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 (BM
17.000) dan p24 (BM 24.000), dan gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu : reverse
trans-criptase, integrase dan protease. Enzim-enzim tersebut dibutuhkan dalam proses replikasi.
Selain itu HIV juga mengandung 6 gen lainnya yaitu vpr, vif, rev, tat, nef dan vpu yang
mengatur proses reproduksi virus. Protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen
virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Protein Rev dibutuhkan untuk
ekspresi protein structural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari
nucleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 5

HIV/ AIDS

sel yang lain. Bagian paling infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM
120.000) dan gp 41 (BM 41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat ber-peran pada perlekatan
virus HIV dengan sel hospes pada proses infeksi.
HIV dikelompokkan berdasarkan struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Perbedaan infeksi kedua virus tersebut dapat dilihat pada tabel.

Tabel 1. Perbedaan infeksi HIV-2 dan HIV-1

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 6

HIV/ AIDS

SIKLUS HIDUP
Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu. Perlekatan
ini dimulai dari interaksi antara kompleks env yang terdiri dari 3 pasang molekul gp120 dan
molekul transmembran gp 41 yang merupakan molekul trimerik membran virion dengan
membran sel target. Pertama-tama terbentuk ikatan antara satu subunit gp 120 dengan molekul
CD4 sel pejamu. Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasional (membran virion
melekuk agar gp120 kedua dapat ikut melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada
koreseptor kemokin (CXCR4, CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi
perubahan konformasional pada gp41 (semula berada di lapisan lebih dalam membran virion)
untuk mengekspos komponen hidrofobiknya sampai ke lapisan membran pejamu, (karena
mampu bergerak seperti ini maka gp41 dinamakan peptida fusi) dan kemudian menyisipkan diri
ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi membran sel HIV dengan membran sel
pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu.2
Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam kompleks
nukeoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi DNA oleh enzim
transkriptase reversi (RT= Reverse Transcriptase). DNA HIV yang terbentuk kemudian masuk
ke nukleus sel pejamu melalui bantuan enzim integrase. Integrasi diperkuat bila pada saat yang
sama DNA pejamu bereplikasi karena terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA
virus HIV yang sudah berintegrasi ke dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA
provirus ini dapat dormant, atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulan-bulan atau bertahuntahun tanpa adanya protein baru atau virion.2
Transkripsi gen proviral DNA yang sudah terintegrasi diatur oleh:

LTR , bergerak ke arah hulu dari gen struktur virus

Sitokin/stimulus fisiologis terhadap sel T dan makrofag lain untuk memperkuat


transkripsi.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 7

HIV/ AIDS

LTR mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan dalam bentuk
kotak TATA dan tempat ikatan/binding untuk 2 faktor transkripsi pejamu (NF-kB dan SP1). Awal
transkripsi gen HIV dalam sel T terkait dengan pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen
atau sitokin lain. Sebagai contoh, aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, IL-2, TNF
dan limfotoksin akan menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu IL-1,
IL-3, IL-6, TNF, limfotoksin, IFN- dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV dan replikasi
virus dalam sel monosit dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini menunjukkan bahwa sel T
yang terinfeksi HIV secara laten dapat tetap memberi respons normal terhadap mikroba lain.
Replikasi sel T mungkin menjadi pemicu berakhirnya infeksi laten dan dimulainya produksi
virus. Infeksi multipel yang dialami penderita HIV akan menstimulasi produksi HIV untuk
selanjutnya menginfeksi sel lainnya.2
Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal optimal untuk
memulai transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang benar-benar disintesis. Hal itu
terjadi karena transkripsi gen HIV oleh enzim polimerase RNA mamalia tidak efisien dan
kompleks polimer biasanya berhenti ditranskripsi sebelum mRNA lengkap.2
Protein Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan pada DNA virus.
Keterikatan ini meningkatkan proses polimerase RNA hingga beberapa ratus kali lipat, dan
mendorong diselesaikannya transkripsi dengan hasil akhir RNA messenger(mRNA) HIV yang
fungsional.2
mRNA yang mengkode aneka protein HIV berasal dari transkrip helai tunggal genom
lengkap yang telah melalui proses penyambungan yang berbeda-beda. Ekspresi gen HIV dapat
dibagi ke dalam stadium awal saat gen regulator dibentuk dan stadium akhir dimana gen struktur
diekspresikan dan helai tunggal genom lengkap dibuat.2
Protein Rev, Tat, Nev adalah produk awal gen yang dicetak oleh mRNA yang tersambung
sempurna dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan menjadi protein di sitoplasma segera
sesudah infeksi satu sel.2

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 8

HIV/ AIDS

Produk akhir gen termasuk env, gag, dan pol yang mengkode komponen struktur virus
dan diterjemahkan dari RNA tunggal yang sudah maupun belum tersambung. Protein Rev
memulai penukaran dari ekspresi awal menjadi gen akhir dengan cara mempromosikan ekspor
RNA ke luar inti sel. RNA ini yang belum tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti.
Produk gen pol adalah protein prekursor yang dipotong secara berurutan untuk membentuk
enzim transkriptase riversi, protease, ribonuklease dan integrase. Gen gag mengkode protein
berukuran 55-D. Protein ini selanjutnya dipotong oleh enzim proteolitik menjadi polipeptida p24,
p17, dan p15. Ketiga polipeptida ini adalah protein inti yang diperlukan untuk membentuk
partikel infeksius virus. Gen env memproduksi terutama glikoprotein 160-kD yang selanjutnya
dipotong oleh protease sel di retikulum endoplasma menjadi protein gp 120 dan gp 41 yang
diperlukan untuk menempelnya HIV pada sel.2
Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di sitoplasma pejamu.
Seluruh partikel infeksius kemudian disusun dalam satu kompleks nukleoprotein, termasuk gag
dan pol yang diperlukan untuk integrase siklus berikutnya.2
Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan
dilepaskan dari sel pejamu melalui proses budding dari membran plasma. Kecepatan produksi
virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel pejamu.2

PATOGENESIS
Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu
molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama
terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki
molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV
dimula dengan penempelan virus pada limfosit-T. setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari
membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel
limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi
seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-aseH,
RNA yang asli dihancurkan sedangkan seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 9

HIV/ AIDS

menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian
pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu
dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal
dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung kepada
aktivitas dan deferensiasi sel pejmu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu
stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi dengan kecepatan yang sangat
tinggi.
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus, yaitu
pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas, walaupun
umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja
melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak
semua sitokin dapat memacu replikasi virus, karena sebagian sitokin malah dapat menghambat
replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta mengatur respons
imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor dan , interferon gamma,
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan macrophage colony-stimulating factor.
Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, transforming growth factor , dan interferon
dan .
Hal lain yang dapat memacu replikasi HIV adalah ko-faktor yang terdiri dari infeksi oleh
virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus Hepatitis B, virus herpes simplex,
human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman mikoplasma.
Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja local di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam
sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat menimbulkan
pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan
adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan (terutama di dalam kelenjar limfe) tetap
dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus. Pada penelitian dengan hibridasi in situ dan
polymerase chain reaction (PCR), organ limfoid (kelenjar limfe, adenoid, dan tonsil), tampaknya
memang merupakan tempat hidup dan berkembang HIV yang terpenting, baik pada periode akut
maupun periode laten yang panjang.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 10

HIV/ AIDS

Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan peran organ limfoid dapat
dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau
melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Disini terjadi
replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain
(multiple) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis.

HMKV
i
O
Iure
l
ir
Vkeu
rg
oesn
a
smbj
a
n
aire
r
l
i
/aRm
Der
e
f yang terdapat
Sementara itu, sel Limfosit-B
di dalam sentrum germinativum jaringan
apg
l
o yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan
limfoid juga memberikan respons imun
ri
ok
i
terjadinya limfadenopati yang nyata
aan akibat hyperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai
d di dalam sentrum germinativum dan sel Limfosit T-CD4.
oleh meningkatnya sel dendrit folikular
hsa
i l

Akumulasi sel Limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat
proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi Limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari
luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang
merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel Limfosit-B
menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel
T-CD4.
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen
terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada respons
imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum
germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang
akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4
dapat tinggal laten untuk waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali
akibat berbagai stimulasi.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 11

HIV/ AIDS

Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan partikel HIV yang
bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat diamati adalah dengan
progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit folikular sehingga hilanglah kemampuan
organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi.
Hal ini meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh.
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel Limfosit T-CD4 tidak saja
berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-CD4 dan sitolisis,
hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi (perubahan fungsi dan penurunan jumlah)
sel Limfosit T-CD4 ini diduga berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut.

Pengaruh sitopatik langsung HIV (single-cell killing)

Pembentukan sinsitium

Respons imun spesifik

Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV

Sitotoksisitas selular akibat adanya antibodi

Sel killer alami

Apoptosis (kematian yang terprogram)

Mekanisme autoimun

Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak


sempurna yang diakibatkan oleh interaksi molekul gp120-CD4

Gangguan fungsi (perturbation) subkelompok sel-T akibat adanya


suatu super antigen

1.

Pengaruh sitopatik langsung


Kematian sel inang dapat disebabkan oleh karena terjadinya akumulasi DNA virus yang
tidak mengalami integrasi, atau oleh karena sintesis protein inang mengalami hambatan. Virus
HIV, dengan cara yang sama, tidak saja dapat melisiskan sel Limfosit T-CD4 yang matang, tetapi
juga sel-sel yang merupakan T-CD4 cadangan. Virus HIV juga dapat menginduksi sel CD4
tertentu hingga menghasilkan bahan yang bersifat toksik untuk sel Limfosit T-CD4.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 12

HIV/ AIDS

2.

Pembentukan sinsitium
Adanya molekul gp120 virus pada permukaan sel T-CD4 dapat menyebabkan sel tersebut
dapat menyatu dengan sel T-CD4 yang sehat dengan membentuk sinsitium sehingga terbentuk
sel datia dan kemudian menyebabkan kematian sel. Keadaan ini jarang dijumpai in vivo.
Keadaan ini mungkin terjadi akibat pengaruh molekul LFA-1 (lymphocyte-function-associated
antigen-1), yang mempengaruhi adesi leukosit, yang dihasilkan oleh Limfosit T-CD4 yang
terinfeksi HIV.

3.

Respons imun spesifik


Penurunan populasi sel T-CD4 dapat pula terjadi akibat respons imun yang spesifik
terhadap bagian tertentu dari selubung virus. Molekul gp120 dari selubung virus yang bebas
misalnya, dapat terikat pada sel T-CD4, dan menimbulkan zat imun yang dapat menyebabkan
sitotoksisitas atau kematian sel T-CD4 setelah berikatan dengan sel pembunuh alami (natural
killer cells). Pada fase awal, proses ini tampaknya dapat membantu mengatasi bahkan
mengeliminasi infeksi HIV (protektif), akan tetapi pada fase yang lanjut eliminasi sel yang
terinfeksi HIV ini (sel T-CD4, sel dendritik folikular dan sel makrofag) malah dapat
menyebabkan gangguan sistem imun yang makin berat.

4.

Apoptosis
Yang dimaksud apoptosis adalah terjadinya kematian sel T-CD4, sebagai reaksi terhadap
adanya aktivitas sel T-CD4 oleh suatu antigen atau superantigen.

5.

Mekanisme autoimun
Molekul klas-II dari MHC (major-histocompatibility-complex) dari sel penyaji antigen
ternyata memiliki struktur yang homolog dengan protein selubung HIV (gp120 dan gp41) hingga
zat imun terhadap protein selubung HIV ini dapat berikatan dengan molekul klas-II dari MHC
hingga menghalangi fungsi dari sel penyaji antigen maupun sel T-CD4.

6.

Anergi
Molekul CD4 dari sel T-CD4, apabila telah berikatan dengan molekul protein gp120 dari
virus atau dengan kompleks gp120 anti gp120, akan menyebabkan sel T-CD4 tidak dapat
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 13

HIV/ AIDS

diaktifkan atau tidak dapat melaksanakan fungsinya lagi (menjadi refrakter) melalui molekul
CD3 dengan anti CD3. Keadaan refrakter atau anergi ini juga dapat terjadi pada sel mononuclear
yang terdapat dalam darah perifer yang terinfeksi HIV. Keadaan ini diduga terjadi sebagai akibat
adanya signal negatif yang diberikan pada sel T-CD4 setelah molekul CD-4 nya terikat.
7.

Superantigen
Superantigen yang berasal dari kuman atau virus (baik dari golongan retrovirus atau
bukan) yang hanya berikatan dengan rantai beta dari reseptor antigen sel Limfosit-T. ikatan ini
akan mengakibatkan stimulasi yang berlebihan (massif) yang diikuti oleh anergi dari sel-sel yang
memiliki rantai beta, termasuk sel Limfosit T-CD4. Oleh karena itu, bila terdapat superantigen,
infeksi HIV dapat terjadi lebih mudah. Aktivasi pertama sel T-CD4 terjadi sebagai akibat
terjadinya ikatan molekul CD4 dengan gp120 dari virus atau dengan kompleks gp120-anti
gp120. Aktivasi kedua yang akhirnya menyebabkan kematian sel T-CD4 adalah sebagai akibat
reseptor antigen sel T-CD4 berikatan dengan klas-II MHC dari sel penyaji antigen yang telah
mengikat antigen atau superantigen.

PERJALANAN PENYAKIT
I.

Perjalanan Penyakit
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk
menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan
HIV.2

Tahap-tahap dan patogenesis infeksi HIV


Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh
respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan
progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan
jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi
sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat
diikuti pada orang dewasa.2
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 14

HIV/ AIDS

Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari
seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau
gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+
dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel
tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening.
Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga
sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel
dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.2
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak
dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan
sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke
seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di
jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik
humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari
infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah
paparan pertama.2
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa
menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten
mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV,
sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah
virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian,
penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4 + yang
bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam
jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal
penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah
beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga
akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.2
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap
infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 15

HIV/ AIDS

HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin.
Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi
mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha
menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.2
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi
destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200
sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik,
neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi
susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).2

CARA PENULARAN
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu kandungnya yang
sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan. Penularan lain yang juga
penting adalah dari transfusi produk darah yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada
perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh penderita HIV, prostitusi anak, dan sebabsebab lain yang buktinya sedikit.
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap, seperti air ludah (saliva)
dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang atau kontak sosial seperti
pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah cara
untuk penularan. Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan
gejala AIDS tidak perlu dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.

Ibu Hamil dengan HIV (+)


Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertical. Transmisi dapat
terjadi melalui plasenta (intrauterine) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah
ibu atau secret genitalia yang mengandung HIV selama proses kelahiran, dan post partum
melalui ASI. Transmisi dapat terjadi pada 20-50% kasus.
Faktor predictor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar limfosit T-CD4 dan jumlah
virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV, atau penyakit menular seksual lain
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 16

HIV/ AIDS

pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV
selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya
ketuban pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasive pada bayi. Selain itu
prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya baik
dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus laktiferus).
Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan
mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti,
tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses pengurangan antigen.
WHO menganjurkan untuk Negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses
terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi
bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke bayinya belum pernah

dilaporkan.
Transfusi
Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah yang mengandung HIV atau produk darah
yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah dilakukannya skrining darah

donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara ini menjadi jauh berkurang.
Jarum suntik yang tercemar HIV
Penularan melalui cara ini terutama ditemukan pada penyalahguna obat intravena yang
menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka seorang pengguna akan dapat
menulari pasangannya melalui hubungan seksual. Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka
penyakit melalui cara ini, di banyak Negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi

pengguna narkoba dengan membagikan jarum suntik steril pada pemakai.


Hubungan seksual dengan pengidap HIV
Penularan cara ini ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti pasangan seksual,
atau korban perkosaan, atau prostitusi anak. Pendeita AIDS yang berumur 20-an mendapat
infeksi HIV pada masa remaja.
Risiko penularan HIV dari cairan tubuh
.
Risiko tinggi
Risiko masih sulit
ditentukan

Risiko rendah selama


tidak terkontaminasi
darah

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 17

HIV/ AIDS

Darah, serum
Semen
Sputum
Sekresi vagina

Cairan amnion
Cairan
serebrospinal
Cairan pleura
Cairan peritoneal
Cairan perikardial
Cairan synovial
Sumber : Djauzi S, 2002

Mukosa seriks
Muntah
Feses
Saliva
Keringat
Air mata
Urin

FAKTOR RESIKO
Dari cara penularan tersebut di atas maka faktor resiko untuk tertular HIV pada bayi dan
anak adalah, 1) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual, 2) bayi yang lahir dari ibu
dengan pasangan berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat
intravena, 4) bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang, 5) anak
yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan 6) anak
remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.2

MASA INKUBASI
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya antibodi anti
HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-tahun kemudian. Khusus
pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia sudah dapat dideteksi pada bulanbulan awal kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi
oportunisik sudah dapat dilihat ketika usia 2 bulan.2

MANIFESTASI KLINIS
Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang terinfeksi HIV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 18

HIV/ AIDS

Digunakan untuk anak berumur <13 tahun dengan konfirmasi laboratorium untuk infeksi HIV
(HIV Ab pada umur > 18 bulan, tes virology DNA atu RNA untuk umur < 18 bulan)
Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
Erupsi pruritik popular
Dermatitis Seboroik
Infeksi virus wart (HPV) luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas (>5% area tubuh)
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Lineal Ginggival Erythema (LGE)
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis,
tonsillitis 2 atau lebih episode dalam periode 6 bulan)
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 19

HIV/ AIDS

terhadap terapi standar


Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih )
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau
konstan, > 1 bulan)
Kandidosis oral persisten (di luar masa 6- 8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Stomatitis/ ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulang (2 atau lebih episode dalam 6 bulan)
Pneumonistis interstitial limfoid (LIP) simtomatik
Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl), neutropenia (<500/mm3) atau
trombositopenia (<30 000/ mm3) selama lebih dari 1 bulan
Stadium klinis 4
Malnutrisi, wasting yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi
standar
Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang (2 atau lebih episode dalam 1 tahun, misalnya
empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di
lokasi manapun)
TB ekstrapulmonar
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 20

HIV/ AIDS

Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan
onset umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Catatan:
a. TB bisa terjadi pada hitungan CD4 berapapun dan CD4 % perlu dipertimbangkan
bila mungkin
b. Diagnosis presumptive dari penyakit stadium 4 pada anak umur < 18 bulan yang
seropositif, membutuhkan konfirmasi dengan tes virologist HIV atau tes Ab HIV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 21

HIV/ AIDS

pada umur > 18 bulan.

PEMERIKSAAN FISIK1
Pemeriksaan fisik dilakukan head-to-toe untuk memastikan tanda dan gejala spesifik
(gangguan tumbuh kembang, deficit motoris, LIP, keganasan sekunder, kelainan kulit, dll.)
maupun non spesifik (demam, kehilangan berat badan, hepatomegali, splenomegali,
limfadenopati, parotitis, diare, dll.) infeksi HIV, mencari tahu apakah ada infeksi oportunistik
(PCP, sepsis, meningitis, herpes zoster multidermatomal yang luas, dll.), juga menilai perjalanan
penyakit. Pemeriksaan fisik dilakukan seteliti mungkin agar kelainan yang ada dapat diatasi
dengan cepat dan tepat agar tidak memperburuk kondisi pasien yang dapat berakibat fatal.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM5
Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada anak kecil
sangat sulit, karena antibodi maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif mungkin masih
ada pada darah anak sampai umur 18 bulan. Tantangan diagnostik bertambah meningkat bila
anak sedang menyusu atau pernah menyusu. Meskipun infeksi HIV tidak dapat disingkirkan
sampai 18 bulan pada beberapa anak, sebagian besar anak akan kehilangan antibodi HIV pada
umur 9-18 bulan. Tes HIV harus secara sukarela dan bebas dari paksaan, dan persetujuan harus
diperoleh sebelum melakukan tes HIV. Semua tes diagnostik HIV harus : RAHASIA, diikuti
dengan KONSELING, dilakukan hanya dengan INFORMED CONSENT di mana mencakup
telah diinformasikan dan SUKARELA.
Pada anak, hal ini berarti persetujuan orang tua atau pengasuh anak. Pada anak yang lebih
tua, biasanya tidak diperlukan persetujuan orang tua untuk tes/pengobatan, akan tetapi untuk
remaja lebih baik jika mendapat dukungan orang tua dan mungkin persetujuan akan diperlukan
secara hukum. Menerima atau menolak tes HIV tidak boleh mengakibatkan konsekuensi yang
merugikan terhadap kualitas perawatan yang diberikan.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 22

HIV/ AIDS

Tes antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid tests)


Tes cepat makin tersedia dan aman, efektif, sensitif dan dapat dipercaya untuk
mendiagnosis infeksi HIV pada anak mulai umur 18 bulan. Untuk anak berumur < 18
bulan, tes cepat antibodi HIV merupakan cara yang sensitif, dapat dipercaya untuk
mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak
yang tidak mendapat ASI. Diagnosis HIV dilaksanakan dengan merujuk pada pedoman
nasional yang berlaku di Indonesia yaitu dengan strategi III tes HIV yang menggunakan
3 jenis tes yang berbeda dengan urutan tertentu sesuai yang direkomendasikan dalam
pedoman atau dengan pemeriksaan virus (metode PCR).
Tes cepat HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak
dengan malnutrisi atau keadaan klinis berat lainnya di daerah dengan prevalensi tinggi
HIV. Untuk anak berumur < 18 bulan, semua tes antibodi HIV yang positif harus
dipastikan dengan tes virologis sesegera mungkin. Jika hal ini tidak tersedia, ulangi tes
antibodi pada umur 18 bulan.
Tes virologis
Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang
paling dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak berumur < 18 bulan. Sampel
darah harus dikirim ke laboratorium khusus yang dapat melakukan tes ini (dirujuk ke RS
daerah yang menjadi rujukan untuk program perawatan, dukungan dan pengobatan HIV).
Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama
atau sesudah persalinan, tes virologis tidak dianjurkan sampai 4-8 minggu setelah lahir,
karena ZDV mempengaruhi tingkat kepercayaan tes. Satu tes virologis yang positif pada
4-8 minggu sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi pada bayi muda. Jika bayi
muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA negatif, perlu diulang 6 minggu setelah
anak benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 23

HIV/ AIDS

DIAGNOSIS

Anak yang berumur kurang dari 18 bulan


Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan
hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi
HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada
usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup.2
Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular
in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka
sensitivitasnya naik menjadi 98%.2
Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun
demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda.
Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji.2
Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik
yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.2

Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang mendapat ASI


Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko
tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus
mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik
dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi
sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum
uji virologik, karena secara praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif,
maka pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang
pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui.2

Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 24

HIV/ AIDS

Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua
bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV
harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif
infeksi HIV.2

Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik


Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki
antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi tertular
(94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan.2

Diagnosis infeksi HIV setelah ibu atau bayi mendapat Anti Retroviral (ARV) untuk program
pencegahan (PMTCT=Prevention of Mother To Child Transmission)
Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat mulai diperiksa pada
usia 48 jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi
hasilnya.DNA HIV akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi
HIV dan sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya tidak terdeteksi.2
Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay antigen
ICD p24 dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO menyatakan bahwa
pemeriksaan RNA tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi
yang lahir mendapat ARV.2

Diagnosis infeksi bila ibu minum ARV


Belum diketahui apakah pemakaian ARV pada ibu yang menyusui bayinya dapat
mempengaruhi deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi, meskipun sudah dibuktikan uji DNA HIV
tidak terpengaruh.2

Anak yang berumur lebih dari 18 bulan

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 25

HIV/ AIDS

Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah
paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada
orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling
tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda.2

Diagnosis klinis presumtif infeksi HIV


Tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif atau spesifik
untuk mendiagnosis HIV. Akurasi diagnosis berdasarkan algoritme klinis jarang yang mencapai
sensitifitas 70% dan bervariasi menurut umur; bahkan tidak dapat diandalkan unutk
mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 12 bulan. Uji antibodi anti HIV
(dapat berupa rapid test) dan peningkatan akses untuk uji virologik dini dapat membantu dokter
membuat algoritme diagnostik yang lebih baik. Dalam situasi sulit diperbolehkan menggunakan
dasar klinis untuk memulai pengobatan ARV pada anak kurang dari 18 bulan dan terpapar HIV
yang berada dalam kondisi sakit berat. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis yang
dikombinasikan dengan pemeriksaan CD4 atau parameter lain saat ini belum terbukti sebagai
alat diagnosis infeksi HIV.2

Anak yang berumur kurang dari 18 bulan


Untuk bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan yang berada di tempat dimana uji
virologik tidak mungkin dilakukan, terdapat gejala yang sugestif infeksi HIV, diagnosis
presumtif ineksi HIV secara klinis dapat dibuat. Diagnosis infeksi ini dapat menjadi dasar untuk
menilai apakah diperlukan pemberian ARV segera.2

Anak yang berumur lebih dari 18 bulan


Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan dengan gejala dan tanda sugestif infeksi
HIV, dapat digunakan pemeriksaan antibodi untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis presumtif
pada kondisi ini tidak dianjurkan karena pemeriksaan antibodi saja dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis. Beberapa kondisi seperti pneumonia pneumositis, kandidiasis esofagus,

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 26

HIV/ AIDS

meningitis kriptokokus jarang terjadi pada anak yang tidak terinfeksi HIV. Karenanya kondisi
klinis seperti ini menjadi faktor penentu untuk pemeriksaan antibodi anti HIV.2
Metode yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak

Metode

Rekomendasi

Tingkat rekomendasi/bukti

Uji virologik( DNA, RNA, Untuk mendiagnosis infeksi pada


ICD)

bayi

<

18

direkomendasi
Uji antibodi anti HIV

bulan ;
mulai

uji

inisial

umur

A(I)

6-8

minggu
Untuk mendiagnosis infeksi HIV
pada ibu atau identifikasi paparan

A(I)

pada bayi
Untuk mendiagnosis infeksi pada
anak > 18 bulan
Untuk mengidentifikasi infeksi HIV
pada umur < 18 bulan dengan

A(IV)

kemungkinan besar HIV positif*


* Anak kurang dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya adalah
anak yang benar-benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih membawa antibodi
maternal.

PENGOBATAN
Tatalaksana pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap, meliputi
pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana medikamentosa, tatalaksana
psikologis dan penanganan sisi social yang akan berperan dalam kepatuhan program pemantauan
dan terapi. Pemberian imunisasi harus mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta
panduan yang berlaku. Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV adalah,

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 27

HIV/ AIDS

selama asimtomatik, semua jenis vaksin dapat diberikan, termasuk vaksin hidup. Tetapi bila
simtomatik, maka pemberian vaksin polio oral dan BCG sebaiknya dihindari.2
Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi
oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan
dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang
berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan
bahaya infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid
(INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan
yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat,
dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak
menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi.
Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan
dan yang tidak.2
Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk
toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis
yang ditemukan pada penderita. Untuk ini banyak panduan yang cukup baik dijadikan bahan
bacaan.2
Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV
terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA
proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang
menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada
homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu
analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase
riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV
plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak
dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk
mutan yang resisten terhadap obat.2

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 28

HIV/ AIDS

Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini bukan untuk
menyembuhkan; bila digunakan dengan benar berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup
penderita.Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah (1) memperpanjang usia hidup anak yang
terinfeksi, (2) mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, (3) menjaga, menguatkan dan
memperbaiki sistim imun dan mengurangi infeksi oportunistik, (4) menekan replikasi virus HIV
dan mencegah progresifitas penyakit, (5) mengurangi morbiditas anak-anak dan meningkatkan
kualitas hidupnya.2
Hingga saat ini sudah terdapat lebih kurang 20 jenis obat ARV. Obat-obat ini pada
dasarnya terdiri dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya, yaitu NRTI (Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor), NNRTI (Non-Nucleoside ReverseTranscriptase Inhibitor), PI (protease
Inhibitor), Fusion Inhibitor, dan Anti-Integrase. Pemakaian kombinasi NRTI dengan NNRTI dan
PI ini saat ini dikenal sebagai Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART). Penamaan ini
didasarkan atas peningkatan survival, pengurangan kemungkinan infeksi oportunistik dan
komplikasi lain, perbaikan pertumbuhan dan fugnsi neurokognitif dan peningkatan kualitas
hidup penderita HIV.2
Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4 + yang terinfeksi dan sebagian kecil
oleh sel lain yang terinfeksi. Terapi obat dikembangkan untuk menghambat semua produksi HIV
yang terdeteksi untuk beberapa tahun. Penurunan viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi
dalam 3 fase. Fase pertama adalah penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat dengan
waktu paruh kurang dari 1 hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa virus diproduksi oleh sel
yang hanya hidup sebentar (short-lived) yaitu sel T CD4+ yang merupakan reservoir utama (93
97% dari seluruh sel T) dan sumber virus.2
Fase kedua penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2 minggu menyebabkan jumlah
virus dalam plasma berkurang hingga di bawah ambang deteksi. Hal ini menunjukkan
berkurangnya reservoir virus dalam makrofag.2
Fase ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus di sel T
memori yang terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang dari sel memori,
diperlukan berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkan reservoir virus ini.2
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 29

HIV/ AIDS

Prinsip ARV
ARV adalah bagian dari pelayanan HIV komprehensif. Sebelum memutuskan untuk
memberi ARV perlu diperhatikan bahwa:

Jangan mulai memberi ARV terlalu dini ketika hitung CD4 masih normal, atau
terlambat ketika sistim imun sudah terlanjur rusak

Pemilihan jenis obat harus memperhitungkan bukti efikasi, sedikit efek samping
dan kemudahan pemberian

Pertimbangkan kemampuan daya beli dan ketersediaan obat

Harus ada pemantauan dan dukungan pada pasien dan keluarganya untuk
meningkatkan kepatuhan berobat (adherence)

Kelemahan dari ARV adalah karena digunakan obat multipel, juga dengan obat bukan
ARV, maka bahaya interaksi obat dan resistensi akan menurunkan potensi ARV. Selain itu
mungkin timbul reaksi simpang serius. Karena dirancang untuk digunakan seumur hidup, maka
kepatuhan berobat (95% jumlah obat yang diminum) akan menghalangi timbulnya resistensi, dan
ini penting ditekankan pada keluarga pasien.2

Kapan mulai pengobatan ARV


Keputusan untuk memulai terapi ARV pada bayi dan anak bergantung pada penilaian
klinis dan imunologis, serta penilaian situasi sosial seperti siapa yang akan menjadi pemberi
obat, asupan nutrisi, dan kelompok pendukung keluarga, bila seandainya si pemberi obat yang
bertanggung jawab lalai. Dalam hal penilaian klinis memungkinkan ARV diberikan pada anak
yang didiagnosis secara presumtif melalui gejala klinis. Bila mungkin digunakan parameter nilai
hitung CD4 sebelum mempertimbangkan pengobatan, terutama pada anak yang sakitnya lebih
ringan. Beberapa patokan berikut dapat membantu memutuskan apakah pengobatan ARV
diperlukan:

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 30

HIV/ AIDS

Bila ada data PCR RNA, kadar virus mendekati 100,000 kopi/mL

Hitung absolut atau persentase CD4 menurun dengan cepat ke ambang defisiensi
imun berat

Munculnya gejala klinis

Kemampuan orangtua atau pengasuh untuk mematuhi ketentuan pemberian ARV

Berdasarkan penilaian klinis


Klasifikasi klinis HIV Pediatrik WHO yang diluncurkan tahun 2006 adalah sebagai
berikut:

Asimtomatik = Stadium klinis 1

Ringan = Stadium klinis 2

Sedang = Stadium klinis 3

Berat = Stadium klinis 4


Stadium klinis ditetapkan setelah infeksi ditegakkan melalui bukti serologis atau
virologis. Penggunaan stadium ini berguna sebagai data dasar dan untuk digunakan sebagai
penuntun apakah obat profilaksis infeksi oportunistik perlu diberikan pada anak yang berumur
lebih dari 1 tahun. Sedangkan pada anak kurang dari 1 tahun yang terinfeksi atau terpapar HIV
harus mendapatkan profilaksis ini.2
Bila digunakan sebagai dasar untuk memulai pengobatan ARV, prinsip umum yang bisa
digunakan sebagai patokan adalah:

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 31

HIV/ AIDS

1. Terapi ARV direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang memiliki gejala
infeksi HIV(klasifikasi A, B, C menurut CDC atau II, III dan IV menurut WHO),
tanpa melihat stadium klinis, jumlah virus maupun nilai CD4
2. Terapi ARV juga direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang tergolong
stadium klinis N atau I yang memiliki kadar CD4 < 25%. Terapi ARV
dipertimbangkan untuk bayi < 12 bulan yang asimtomatik dan memiliki kadar
CD4 > 25%.

Berdasarkan penilaian imunologis anak yang terinfeksi HIV


Parameter imunologis digunakan untuk menilai imunodefisiensi, untuk memulai
pemberian ARV, dan penggunaannya harus bersamaan dengan penilaian klinis. Hitung absolut
CD4 dan total limfosit pada bayi sehat jauh lebih tinggi dari orang dewasa, dan menurun sampai
mencapai nilai orang dewasa pada usia 6 tahun. Tetapi persentase CD4 hampir tidak berubah
pada usia berapapun, dan hal ini digunakan sebagai dasar penilaian imunologis pada anak yang
kurang dari 5 tahun (lihat tabel).2
Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4+

Imunodefisiensi

Nilai CD4+ menurut umur

< 11 bulan

12-35 bulan

36-59 bulan

> 5 tahun

(%)

(%)

(%)

(sel/mm3)

> 35

> 30

> 25

> 500

30 35

25 30

20 25

350499

Tidak ada

Ringan

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 32

HIV/ AIDS

Sedang
25 30

2025

1520

200349

<25

<20

<15

<200 atau <15%

Berat

Nilai absolut CD4 dapat naik atau turun bergantung pada penyakit yang sedang diderita,
perubahan fisiologis atau variabilitas tes. Pengukuran serial lebih informatif daripada informasi
tunggal. Seperti juga status klinis, perbaikan imunologis terjadi dengan pemberian ARV. Bila
mungkin ada 2 kali pengukuran di bawah ambang batas sebelum mulai pemberian ARV, terutama
pada stadium klinis 1 dan 2. Hasil CD4 juga berguna untuk memantau respons terhadap terapi.2

Rekomendasi untuk memulai pemberian ARV pada bayi dan anak HIV positif sesuai stadium
klinis dan ketersediaan pemeriksaan imunologis

Stadium

Ada tidaknya Rekomendasi terapi menurut umur [A (II)]*

klinis

pengukuran

pediatrik hitung CD4

4a

12 bulan

CD4

Tanpa CD4b

3a

<12 bulan

CD4

Semua diobati

Semua diobati, bergantung


nilai CD4 pada anak yang
terinfeksi TBc, LIP, OHL,

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 33

HIV/ AIDS

Semua diobati

Tanpa CD4b

trombositopenia

Semua diobatic

CD4

Bergantung nilai CD4d

Tanpa CD4b

Bergantung nilai limfosit totald

CD4

Bergantung nilai CD4d

Tanpa CD4b

Jangan diobati

LIP lymphocytic interstitial pneumonia; OHL- Oral hairy leukoplakia; TB


tuberculosis
* Kekuatan rekomendasi/Tingkat kepercayaan
Catatan:
Obati infeksi oportunistik sebelum mulai memberi ARV.
Data awal CD4 berguna untuk memantau ARV meskipun tidak diperlukan untuk
membuat keputusan memulai terapi ARV.
Pada anak yang terinfeksi TB paru atau kelenjar, CD4 dan status klinis
digunakan untuk memantau dan memulai terapi klinis sesuai panduan terapi TB
Nilai CD4 dan limfosit total dilihat di tabel terpisah

Bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4, pemeriksaan hitung total limfosit dapat
digunakan untuk memulai pemberian ARV. Kriteria total limfosit ini sebaiknya digunakan pada
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 34

HIV/ AIDS

stadium klinis 2. Hitung total limfosit tidak dapat digunakan untuk memantau keberhasilan
pemberian ARV
Kriteria limfosit total

Petanda

Rekomendasi pemberian ARV menurut umur

imunologis
11 bulan

[C (II)]*

<4000 sel/mm3

TLC

12 bulan-

36 bulan-

35 bulan

59 bulan

<3000

<2500

sel/mm3

sel/mm3

5 8 tahun

<2000
sel/mm3

Pengukuran viral load (dengan menggunakan PCR RNA) belum diperlukan menjadi standar
penilaian memulai ARV. Bila mungkin dilakukan maka kriteria CDC akan lebih tepat digunakan.

Berdasarkan diagnosis klinis presumtif infeksi HIV berat.


Penegakan diagnosis presumtif hanya dilakukan oleh dokter yang sudah terlatih dalam
penanganan HIV.
Diagnosis presumtif infeksi HIV:

Pemeriksaan antibodi menunjukkan hasil positif DAN

Ditegakkan diagnosis penyakit klinis yang memenuhi kriteria AIDS, ATAU

Bayi memiliki dua gejala baik itu kandidiasis oral, pneumonia berat atau sepsis
berat.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 35

HIV/ AIDS

Faktor lain yang mendukung ditegakkannya diagnosis presumtif adalah apabila terdapat
kematian ibu karena HIV atau ibu menderita AIDS dengan hitung CD4 < 20%.2
Diagnosis klinis presumtif infeksi HIV memungkinkan seorang dokter memberi tata
laksana penyakit akut secara memadai, merawat pasien yang diduga HIV, dan menjadi dasar
memulai pemberian ARV. Penggunaan cara ini pada anak usia < 18 bulan harus disertai upaya
menegakkan diagnosis HIV, dan dilakukan pemantauan dengan ketat. Bila terdapat bukti baru
bahwa ternyata bayi atau anak ini terbukti negatif, maka ARV harus dihentikan.2

PILIHAN OBAT ARV


Antiretroviral untuk anak harus memenuhi syarat farmakokinetik, formulasi yang tepat
untuk anak dan pembuatan dosis yang tepat menurut umur. Selain itu juga faktor yang
berpengaruh dalam pemberian ARV adalah potensi obat, kompleksitas pemberian (frekuensi
dosis, hubungannya dengan makanan dan minuman), dan efek samping. Terdapat 5 kelas obat
ARV hingga saat ini, yaitu yang tergolong Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI),
Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), Protease Inhibitor (PI), Antiintegrase,
dan Fusion Entry Inhibitor. Umumnya rekomendasi pemakaian ARV untuk anak didasarkan pada
studi efikasi pada orang dewasa, dan didukung oleh data penelitian keamanan dan
farmakokinetik tahap I dan II.2
Pemberian ARV terpilih untuk anak adalah penggunaan paling tidak 3 obat, dan minimal
digunakan 2 kelas obat yang berbeda. Kombinasi ARV yang sudah dicobakan pada anak
bermacam-macam, tetapi untuk negara berkembang dibuat panduan yang memudahkan dokter
untuk memilih ARV. Panduan yang banyak dianut adalah WHO, meskipun di dunia banyak
panduan pengobatan yang dibuat oleh masing-masing tempat penelitian. Hal ini diambil karena
di negara berkembang pengambilan keputusan yang didukung data laboratorium lengkap adalah
langka.2
Pengambil kebijakan memerlukan pertimbangan opsi pilihan di masa depan, termasuk
potensi munculnya resistensi terhadap obat. Penggantian obat yang dilakukan terlalu cepat dapat
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 36

HIV/ AIDS

membahayakan pilihan dan harus dihindari kecuali bila diperlukan. Saat ini rekomendasi CDC
dan WHO lini pertama adalah menggunakan 2 kelas obat: 2 NRTI yang dikombinasikan dengan
satu NNRTI atau PI. Lebih lengkapnya rekomendasi ini berbunyi:

Anak > 3 tahun, Pilihan pertama 2 NRTI + Efavirenz


Pilihan kedua 2 NRTI + Nevirapin

Anak < 3 tahun, 2 NRTI + Nevirapin

Langkah 1: Pilih NRTI untuk dikombinasikan dengan 3TC

NRTI

Keuntungan

Kerugian

Zidovudin

AZT kurang menyebabkan

Efek samping inisial GI lebih

lipodistrofi dan asidosis laktat


AZT tidak memerlukan

banyak
Dalam bentuk sirup AZT jauh

(AZT)
Dipilih bila Hb

penyimpanan di lemari pendingin

lebih banyak dan toleransi

7,5g/dl

pasien rendah
Anemia dan neutropenia berat
dapat terjadi.

Stavudin (d4T)

Efek samping GI dan anemia lebih

sedikit dibanding AZT

Sering menimbulkan
lipodistrofi, asidosis laktat dan

neuropati perifer
Sirup d4T memerlukan
penyimpanan lemari pendingin.
Kapsul terkecil 15mg, cukup
untuk anak dengan berat >15kg
ke atas

Abacavir

ABC paling sedikit menimbulkan

lipodistrofi dan asidosis laktat.


Toksisitas hematologic ABC lebih

(ABC)

sedikit dan toleransi baik

Potensi hipersensitivitas fatal


sebesar 3% pada anak anak

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 37

Negara maju
ABC lebih mahal dari AZT dan

HIV/ AIDS

ABC tidak perlu lemari pendingin

d4T dan tidak ada bentuk

dan efikasi nya baik

generic.

Langkah 2: Pilih 1 NNRTI

1 NNRTI

Keuntungan

Kerugian

Nevirapin

Dapat diberikan pada semua

umur
Tidak memiliki efek teratogenik
Tersedia dalam bentuk pil dan

(NVP)

sirup. Tidak memerlukan lemari

Insidens ruam lebih tinggi dibanding


EFV. Ruam NVP mungkin berat dan

mengancam jiwa
Potensi hepatotoksik
Lebih sering terjaddi pada

pendingin
Salah satu kombinasi obat yang

perempuan dengan CD4 >

dapat digunakan pada anak lebih

digunakan pada remaja putrid,

tua

pemantauan ketat 12 minggu

250cells/mm3, karenanya jika

pertama kehamilan diperlukan

(resiko toksik tinggi)


Rifampisin menurunkan kadar NVP
lebih berat dari EFV

Efavirenz

Ruam dan hepatotoksik lebih

sedikit dibanding NVP


Kadarnya tidak terpengaruh

oleh rifampisin
Pada anak yang belum bisa

(EFV)

menelan kapsul, kapsul EFV

EFV hanya dapat digunakan pada

anak 3 tahun atau BB 10 kg


Gangguan SSp sementara dapat
terjadi, jangan diberikan pada anak

dengan gangguan psikiatrik berat


Efek teratogenik, harus dihindari

dapat dibuka dan ditambahkan

dari remaja putrid yang potensial

pada minuman dan makanan.

untuk hamil
EFV lebih mahal dibanding NVP

Ringkasan pemilihan ART lini pertama

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 38

HIV/ AIDS

Pilih 3 obat dengan warna berbeda, kecuali sudah tersedia FDC, otomatis
menggunakan d4T, 3TC, NVP

Pemantauan selama pemberian ARV


Bila terapi ARV sudah dimulai maka pemantauan berkala pada kepatuhan berobat,
indikator laboratorium dan kondisi klinis harus dilakukan. Pada setiap kesempatan pengasuh atau
orangtua pasien perlu ditanya mengenai aktivitas pemberian obat, penerimaan obat oleh anak,
hambatan dalam pemberian obat tepat waktu dan melakukan konsultasi secara rutin.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dipantau adalah terutama darah tepi, enzim transaminase
hati, dan kadar CD4 yang dilakukan paling tidak 3 bulan sekali. Bila perlu ditambahkan
pemeriksaan kadar RNA virus, pemeriksaan spesimen infeksi dan pemeriksaan pencitraan.
Pemantauan klinis perlu dilakukan untuk mencari adakah infeksi oportunistik baru yang muncul
atau kemungkinan penyakit pulih imun (immune reconstitution disease).2
Kegagalan pemberian ARV perlu dipikirkan bila pada pemantauan didapatkan tidak ada
penurunan kadar virus dalam plasma, tidak ada peningkatan jumlah dan persentase CD4, gejala
klinis bertambah atau memburuk, timbul toksisitas atau intoleransi ARV, disertai masalah tidak
patuh berobat.1
Kegagalan supresi virus dapat bersifat komplit atau parsial. Untuk melihat apakah terapi
ARV berhasil diperlukan waktu 6 bulan. Kegagalan supresi ini mungkin memiliki pola (1)
jumlah virus yang tidak bisa diturunkan, atau (2) virus yang kembali bertambah banyak setelah
sebelumnya berhasil ditekan (viral rebound).2

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 39

HIV/ AIDS

Kegagalan supresi imun adalah tidak tercapainya jumlah CD4 normal menurut umur.
Kriteria kenormalan menurut umur ini mutlak karena secara fisiologis parameter CD4 menurut
umur akan menurun. Tetapi persentase CD4 variasinya sedikit, karena itu nilai persentasenya
dipakai untuk penilaian keberhasilan terapi ARV. Lama penilaian keberhasilan terapi ini juga 6
bulan, dan bila terdapat hasil pemeriksaan CD4 sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang paling
tidak 1 minggu sesudahnya untuk konfirmasi sebelum menyimpulkan terdapat respons imun
suboptimal.2
Kondisi klinis harus selalu dihubungkand engan respon imun dan virologik terhadap
pemberian ARV. Pada pasien yang parameter imun dan virologiknya stabil, terdapatnya gejala
simtomatik HIV yang baru tidak berarti ARV perlu diganti. Tetapi bila timbul pada infeksi
oportunistik baru pada kasus imunosupresi berat pada awal pemberian terapi ARV, maka hal
tersebut menunjukkan disfungsi imun presisten meskipun jumlah virus sudah berkurang.
Kemungkinan sindrom pulih imun juga harus dipikirkan sebelum satu infeksi oportunistik baru
dikategorikan sebagai kegagalan klinis. Kegagalan klinis juga harus dipikirkan bila tidak ada
perbaikan perkembangan neurologik meskipun terapi adekuat sudah diberikan.2
Kadang-kadang timbul ketidaksinambungan antara keberhasilan klinis dan imunologis
pada kasus yang tidak memiliki efek supresi virologik yang diharapkan. Di negara maju, bila
ditemukan kondisi ini maka uji resistensi terhadap golongan ARV tertentu perlu dilakukan.2

Penggantian ke lini kedua


Bila terdapat kondisi yang mengarah ke kegagalan terapi ARV lini pertama, maka
diperlukan evaluasi ke arah kepatuhan berobat, dosis dan infeksi oportunistik yang belum
berhasil diatasi. Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh dan diputuskan untuk melakukan
penggantian obat, maka opsi pilihan lini kedua dipertimbangkan.2
Faktor yang harus diperhatikan adalah bahwa resistensi silang dalam kelas ART yang
sama terjadi pada mereka yang mengalami kegagalan terapi (berdasarkan penilaian klinis atau
CD4+). Resistensi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam pengobatan ART. Jika
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 40

HIV/ AIDS

kegagalan terapi terjadi dengan rejimen NNRTI atau 3TC (lihat pengkoean obat), hampir pasti
terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Memilih meneruskan NNRTI pada kondisi
ini tidak ada gunanya, tetapi meneruskan pemberian 3TC mungkin dapat menurunkan ketahanan
virus HIV.AZT dan d4T hampir selalu bereaksi silang dan mempunyai pola resistensi yang sama,
sehingga tidak dianjurkan mengganti satu dengan yang lainnya. 2
Prinsip pemilihan rejimen lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin. Bila
kelas yang sama akan digunakan, pilih obat yang sama sekali belum dipakai sebelumnya. Tujuan
pemberian rejimen lini kedua adalah untuk mencapai respons klinis dan imunologis (CD4+),
tetapi responsnya tidak sebaik pada rejimen lini pertama karena sudah terjadi resistensi silang di
antara obat ARV.2
Sebelum pindah ke rejimen lini kedua, kepatuhan berobat harus benar-benar dinilai. Anak
yang dengan rejimen lini kedua pun gagal, terapi penyelamatan yang efektif masih sulit
dilakukan. Konsultasi dengan panel ahli diperlukan. Untuk rejimen berbasis ritonavir-boosted PI,
pemeriksaan lipid (trigliserida dan kolesterol, jika mungkin LDL dan HDL) dilakukan setiap 612 bulan.2
Nilai kriteria imunologis untuk kegagalan pengobatan
Rekomendasi bila lini pertama adalah 2 NRTI + 1 NNRTI = 2 NRTI baru + 1 PI
Catatan:
Langkah 1: Pilih 2 NRTI

NRTI lini pertama

Tipe 1. Munculnya imunodefisciensi


berat menurut usia setelah
pernah pemulihan imun
inisial
NRTI lini kedua

AZT atau d4T + 3TC

ddI + ABC

ABC + 3TC

ddI + AZT

Tipe 2. Imunodeficiensi berat


menurut usia yang progresif,
dikonfirmasikan dengan
minimal satu pemeriksaan
CD4+
Tipe 3. Penurunan cepat sampai
dibawah ambang batas
imunodeficiensi berat
menurut usia.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 41

HIV/ AIDS

*Meneruskan penggunaan 3TC pada rejimen lini kedua dapat dipertimbangkan karena 3TC
dihubungkan dengan berkurangnya ketahanan virus HIV
Langkah 2: Pilih 1 PI

PI terpilih

Keuntungan

Kerugian

Lopinavir/ritonavirLPV/

anak yang belum pernah mendapat PI

Efikasi sangat baik, khususnya

Membutuhkan

penyimpanan

dalam

lemari pendingin
-

Ambang terhadap resistensi

tinggi karena kadar obat tinggi

dengan penambahan ritonavir

besar

- Harganya mahal

Tersedia dalam bentuk sirup, pil

Kapsul gel ukurannya

dan tablet
- Rasa tidak enak
-

Dosis anak sudah tersedia


-

Sirup

mengandung

43% alkohol, dan kapsul


mengandung

12%

alkohol
- Tidak bisa dibagi
Saquinavir/

Dapat

digunakan

bersama

ritonavir boosting
Ritonavir SQV/r

Untuk anak > 25 kg

dan

mampu

menelan

kapsul
- Efiaksi baik
-

Ukuran kapsul besar

dan

memerlukan

penyimpanan di lemari
pendingin
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 42

HIV/ AIDS

- Beban pil banyak


- Sering ditemukan efek
samping saluran cerna

PI alternative

Keuntungan

Kerugian

NFV

- Data jangka panjang menunjukkan

efikasi dan keamanan yang baik

data efikasi lebih rendah

Pada orang dewasa

dari boosted PI dan EFV


-

Sedikit sekali menimbulkan

hiperlipidemia

dan

lipodistrofi

- Beban pil banyak

dibandingkan ritonavir-boosted PI
- Sering ditemukan efek
samping saluran cerna

Rejimen lini pertama

Rejimen lini kedua

AZT atau d4T + 3TC + ABC

ddI + EFV atau NVP + 1 PI (paling baik


LPV/r atau SQV/r. Alternatif lain NFV)

HIV dengan TUBERKULOSIS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 43

HIV/ AIDS

Infeksi HIV menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis dan


tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena factor-faktor berikut6 :
1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak mempunyai kemiripan
gejala
2. Interpretasi uji tuberculin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi imunokompromais
mungkin menunjukkan hasil negative meskipun sebenarnya telah terinfeksi TB.
3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum positif mempunyai
kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat terjadi kesulitan dalam
tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan.
Tanda atau gejala TBC pada anak dengan HIV menjadi kurang spesifik sehingga tidak
dapat dijadikan pedoman untuk mendiagnosis TB. Manifestasi klinis yang kurang spesifik
tersebut

antara

lain

adalah

status

gizi

yang

kurang/buruk,

gejala

infeksi

kronik

(demam,diare,malaise), uji tuberculin, gambaran radiologis, respon terhadap OAT. Penyakit


oportunistik pada HIV dapat menyerang paru sehingga menyerupai TB, misalnya pneumonia,
lymphocytic interstitiall pneumonitis (LIP), bronkiektasis, sarcoma Kaposi Pulmonal,
Pneumocystis jiroveci, ataupun pneumonia karena jamur Candida.6
Pendekatan diagnosis TB pada anak HIV pada prinsipnya sama dengan pasien anak tanpa
HIV, misalnya:
- gejala kronik sugestif TB
- hasil pemeriksaan fisik yang sangat menunjang TB
- hasil uji tuberculin 5mm
- foto rontgen toraks sugestif TB
Mengingat adanya kondisi imunokompromais, bila terdapat indurasi 5 mm atau lebih
pada pasien HIV, dapat dikatakan infeksi TB, meskipun cut-off point uji tuberculin positif tetap
10 mm. tuberculosis paru sulit dibedakan dengan LIP yang sering terjadi pada pasien HIV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 44

HIV/ AIDS

berusia >2tahun. Gejala khas LIP antara lain limfadenopati generalisata dan simetris, pembesaran
kelenjar parotis, dan jari tabuh.6
Tatalaksana TB pada anak HIV yang sedang atau akan mendapatkan pengobatan
antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan interaksi antar obat-obat yang
diberikan. Interaksi antar obat TB dan ARV dapat menyebabkan pengobatan HIV maupun TB
menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko toksisitas.
Rifampisin misalnya, obat ini berinteraksi dengan obat penghantar enzim reverse
transcriptase nonnukleosida (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI) dan
penghambat enzim protease (protease inhibitors, PI). Rifampisin menurunkan konsentrasi PI
hingga 80% atau lebih, dan NNRTI hingga 20-60%.6
Obat ARV yang menurut rekomendasi dapat diberikan bersamaan dengan rifampisin
adalah efavirenz (NNRTI) ditambah dua obat penghambat reverse transcriptase nukleosida
(nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NRTI) atau ritonavir (dosis yang dinaikkan) ditambah
dua NRTI. Rekomendasi mengenai kombinasi ini sering mengalami revisi sehingga harus
disesuaikan dengan informasi terbaru menurut CDC.
Reaksi simpang (adverse reaction) yang ditimbulkan oleh OAT hampir serupa dengan
yang ditimbulkan oleh obat ARV. Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer, begitu juga
dengan NRTI (didanosine, zalcitabine, dan stavudine). Reaksi paradox juga dapat terjadi jika
pengobatan terhadap TB dan HIV mulai diberikan pada waktu yang bersamaan.6
Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk menentukan
hal-hal berikut:
1. Apakah pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat antiretroviral
2. Apakah pemberian ARV harus menunggu 2 bulan setelah pemberian OAT dimulai,
3. Apakah pengobatan Tb harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian ARV dimulai
Rejimen Lini Pertama bila anak mendapat Terapi TB dengan Rifampisin
Jika terapi TB telah berjalan, maka ART yang digunakan:
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 45

HIV/ AIDS

Rejimen Terpilih

Rejimen yang Terpilih / Alternatif

2NRTI + EFV (anak 3tahun)

AZT atau d4T + 3TC + ABC


2NRTI + NVP

Sesudah terapi TB selesai alihkan ke rejimen Lanjutkan rejimen sesudah terapi TB selesai
lini pertama 2NRTI + NVP atau EFV untuk
efikasi lebih baik
2NRTI + NVP

Ganti ke 2 NRTI + ABC atau 2NRTI + EFV


(umur > 3tahun)

Apabila diagnose TB ditegakkan, terapi TB harus dimulai lebih dahulu dan ART
diberikan 2 8 minggu setelah timbul toleransi terapi TB dan untuk menurunkan resiko sindrom
pulih imun (immune reconstitution inflammatory syndrome, IRIS)
Jika akan memulai terapi TB pada anak yang sudah mendapat ART:

Rejimen yang dipakai saat ini

Rejimen yang terpilih/ alternative

2NRTI + ABC

Teruskan

2NRTI + EFV

Teruskan

2NRTI + NVP

Gantu ke 2 NRTI + ABC atau 2NRTI + EFV


(umur > 3 tahun)

PROGNOSIS
Prognosis anak-anak pengidap HIV berbeda-beda sesuai stadium klinis dan terutama
persentase CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Secara umum tercapainya stadium
AIDS pada anak lebih cepat pada orang dewasa. Bila pada orang dewasa ada sejumlah pengidap
HIV yang dapat tetap sehat dengan hitung CD4 tetap normal bertahun-tahun lamanya, maka pada
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 46

HIV/ AIDS

anak belum didapatkan studi kohort dengan hasil yang sebanding. Tetapi memang ditemukan
anak-anak yang hingga usia paling tidak 8 tahun tidak memilki gejala infeksi HIV dan hitung
CD4nya normal, meskipun HIV seropositif. Studi awal menunjukkan bahwa pada anak-anak
yang tetap sehat memiliki produksi antibodi lebih baik dan aktivitas sel Limfosit sitotoksik
terhadap HIV yang lebih baik. Tetapi lebih banyak anak-anak terinfeksi HIV yang sebelum usia 1
tahun pun sudah memerlukan terapi ARV. Dengan perkembangan riset obat ARV pada anak dan
keberhasilan pencegahan transmisi dari ibu pengidap HIV ke anaknya, diharapkan angka
keberhasilan hidup anak pengidap HIV lebih tinggi di masa yang akan datang.2

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 47

HIV/ AIDS

BAB III
KESIMPULAN

Setelah terjadi infeksi HIV tidak segera timbul gejala, oleh karena diperlukan waktu
untuk terjadinya replikasi virus yang kemudian memegang peran dalam timbulnya gejala klinis
dan laboratorium. Bayi dan balita dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu melahirkan dan
saat menyusui, jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan, kemungkinan anak
akan melanjut cepat ke AIDS, karena masa inkubasinya sekitar satu sampai dua tahun. Namun
pada anak lebih besar masa inkubasinya akan lebih panjang, sekitar 6 9 tahun. Setelah masa
inkubasi timbul gejala prodromal yang bersifat non spesifik setelah suatu selang waktu yang
berbeda-beda.
Pengobatan HIV/AIDS yang ada saat ini dapat dikatakan belum baik, karena hanya
bersifat mensupres virus dan tidak dapat mengeradikasi virus, sehingga petugas kesehatan
baiknya lebih mementingkan upaya pencegahan daripada pengobatan.

BAB IV
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 48

HIV/ AIDS

DAFTAR PUSTAKA
1. Sumarmo. Dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Bag. IKA FKUI: Jakarta.
2. Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N, penyunting: Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Ed 2.
Jakarta; IDAI; 2008.
3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson B. Nelson textbook of Pediatrics, 17th ed.
Philadelphia: WB Saunders, 2004.
4. DepKes RI.2008.Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak
di Indonesia.Jakarta:DepKes RI.
5. WHO Indonesia. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi Indonesia. Jakarta:
Depkes RI.
6. Rahajoe. NN, dkk. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi 1 Cetakan Kedua IDAI
Jakarta h.350-365

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 49

You might also like