Professional Documents
Culture Documents
LATAR BELAKANG
Infeksi HIV pada bayi dan anak adalah masalah klinis dan epidemiologi yang mulai
meningkat di Indonesia. Penting bagi kita memahami epidemi HIV untuk merencanakan,
melaksanakan, dan memonitor program yang berupaya mengurangi dampak HIV/AIDS. Hal ini
berlaku untuk epidemi HIV pada pediatri yang saat ini upaya pencegahan, perawatan, dan
pengobatan masih tertinggal dibandingkan dengan yang telah diterapkan pada orang dewasa.
Infeksi virus penyebab defisiensi imun pada anak pertama kali ditemukan di Amerika
pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun tanpa diketahui penyebabnya yang pada
tahun 1985 virus tersebut dikenal dengan nama Human Immunodeficiency Virus Tipe-1 (HIV-1).
Infeksi virus ini dapat timbul tanpa gejala bahkan sampai gejala yang sangat berat dan progresif,
dan umumnya berakhir dengan kematian.5
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi.
Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk kedalam tubuh manusia.
Virus HIV diklasifikasikan kedalam golongan retroviridae. Virus ini secara material
genetic adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat
menginfeksi sel manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari
2 group, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan
kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.
Bentuk klinis paling berat dikenal dengan nama Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS). Sebelum virus penyebab AIDS ini ditemukan, batasan yang berlaku adalah suatu
sindrom penurunan sistem imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau
keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi
kongenital.5
HIV/ AIDS
Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui darah,
penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Infeksi HIV pada anak dapat
terjadi akibat infeksi perinatal (vertikal) sekitar 50%-80% baik intra uterin, melalui plasenta,
selama persalinan melalui pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi
postnatal yaitu melalui air susu ibu (ASI).5 Sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti
transfuse darah atau komponen darah relative lebih jarang ditemukan.
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada
anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan menghidap infeksi HIV harus menjadi suatu
tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan
kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi
infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan
yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata,
gangguan perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis berulang.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, jumlah kasus baru AIDS pediatrik menurun, terutama karena
inisiatif kesehatan publik mengenai tes HIV secara universal bagi ibu hamil dan penggunaan
AZT dan terapi antiretroviral lain pada wanita hamil yang terinfeksi dan bayi baru lahir
mereka. Pada tahun 2007, 19 anak-anak Amerika berusia di bawah 15 tahun meninggal karena
penyakit HIV.
Jumlah ini kontras dengan apa yang terjadi secara internasional. Internasional statistic
WHO memperkirakan bahwa lebih dari 33 juta orang terinfeksi HIV di seluruh dunia, dan
90% dari mereka berada di negara berkembang. HIV telah menginfeksi 4,4 juta anak-anak dan
telah mengakibatkan kematian 3,2 juta. Setiap hari, 1800 anak-sebagian besar bayi baru lahirterinfeksi HIV. Sekitar 7% dari populasi di sub-Sahara Afrika terinfeksi HIV, orang-orang ini
mewakili 64% dari yang terinfeksi HIV populasi dunia.
HIV/ AIDS
Pola penularan HIV/AIDS juga ditemukan pada ibu rumah tangga, yaitu seorang ibu
rumah tangga yang sedang hamil diketahui terinfeksi HIV karena tertular dari pasangannya.
Bayi yang dilahirkan juga positif terinfeksi HIV. Inilah awal kasus penularan HIV/AIDS dari
ibu ke bayi. Pada tahun 1997, jumlah kumulatif HIV karena transmisi perinatal sebanyak 3
kasus dan AIDS sebanyak 1 kasus. Di kelompok ibu hamil, di Propinsi Riau dan Papua, angka
kejadian infeksi HIV sebesar 0,35% dan 0,25% sedangkan di DKI Jakarta sebesar 2,86%
ETIOLOGI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 3
HIV/ AIDS
baru
dikenal
dua
serotype
HIV
yaitu
HIV-1
dan
HIV-2
yang
juga
disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada
kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum
banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu
dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathyassociated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.
Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun
1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika
Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada
tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu
reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada
kulit,
sel-sel
glial,
dan
epitel
usus
(terutama
sel-sel
kripta
dan
sel-sel
HIV/ AIDS
lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai
disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten
terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV
dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak.
HIV/ AIDS
sel yang lain. Bagian paling infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM
120.000) dan gp 41 (BM 41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat ber-peran pada perlekatan
virus HIV dengan sel hospes pada proses infeksi.
HIV dikelompokkan berdasarkan struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Perbedaan infeksi kedua virus tersebut dapat dilihat pada tabel.
HIV/ AIDS
SIKLUS HIDUP
Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu. Perlekatan
ini dimulai dari interaksi antara kompleks env yang terdiri dari 3 pasang molekul gp120 dan
molekul transmembran gp 41 yang merupakan molekul trimerik membran virion dengan
membran sel target. Pertama-tama terbentuk ikatan antara satu subunit gp 120 dengan molekul
CD4 sel pejamu. Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasional (membran virion
melekuk agar gp120 kedua dapat ikut melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada
koreseptor kemokin (CXCR4, CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi
perubahan konformasional pada gp41 (semula berada di lapisan lebih dalam membran virion)
untuk mengekspos komponen hidrofobiknya sampai ke lapisan membran pejamu, (karena
mampu bergerak seperti ini maka gp41 dinamakan peptida fusi) dan kemudian menyisipkan diri
ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi membran sel HIV dengan membran sel
pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu.2
Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam kompleks
nukeoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi DNA oleh enzim
transkriptase reversi (RT= Reverse Transcriptase). DNA HIV yang terbentuk kemudian masuk
ke nukleus sel pejamu melalui bantuan enzim integrase. Integrasi diperkuat bila pada saat yang
sama DNA pejamu bereplikasi karena terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA
virus HIV yang sudah berintegrasi ke dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA
provirus ini dapat dormant, atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulan-bulan atau bertahuntahun tanpa adanya protein baru atau virion.2
Transkripsi gen proviral DNA yang sudah terintegrasi diatur oleh:
HIV/ AIDS
LTR mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan dalam bentuk
kotak TATA dan tempat ikatan/binding untuk 2 faktor transkripsi pejamu (NF-kB dan SP1). Awal
transkripsi gen HIV dalam sel T terkait dengan pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen
atau sitokin lain. Sebagai contoh, aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, IL-2, TNF
dan limfotoksin akan menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu IL-1,
IL-3, IL-6, TNF, limfotoksin, IFN- dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV dan replikasi
virus dalam sel monosit dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini menunjukkan bahwa sel T
yang terinfeksi HIV secara laten dapat tetap memberi respons normal terhadap mikroba lain.
Replikasi sel T mungkin menjadi pemicu berakhirnya infeksi laten dan dimulainya produksi
virus. Infeksi multipel yang dialami penderita HIV akan menstimulasi produksi HIV untuk
selanjutnya menginfeksi sel lainnya.2
Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal optimal untuk
memulai transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang benar-benar disintesis. Hal itu
terjadi karena transkripsi gen HIV oleh enzim polimerase RNA mamalia tidak efisien dan
kompleks polimer biasanya berhenti ditranskripsi sebelum mRNA lengkap.2
Protein Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan pada DNA virus.
Keterikatan ini meningkatkan proses polimerase RNA hingga beberapa ratus kali lipat, dan
mendorong diselesaikannya transkripsi dengan hasil akhir RNA messenger(mRNA) HIV yang
fungsional.2
mRNA yang mengkode aneka protein HIV berasal dari transkrip helai tunggal genom
lengkap yang telah melalui proses penyambungan yang berbeda-beda. Ekspresi gen HIV dapat
dibagi ke dalam stadium awal saat gen regulator dibentuk dan stadium akhir dimana gen struktur
diekspresikan dan helai tunggal genom lengkap dibuat.2
Protein Rev, Tat, Nev adalah produk awal gen yang dicetak oleh mRNA yang tersambung
sempurna dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan menjadi protein di sitoplasma segera
sesudah infeksi satu sel.2
HIV/ AIDS
Produk akhir gen termasuk env, gag, dan pol yang mengkode komponen struktur virus
dan diterjemahkan dari RNA tunggal yang sudah maupun belum tersambung. Protein Rev
memulai penukaran dari ekspresi awal menjadi gen akhir dengan cara mempromosikan ekspor
RNA ke luar inti sel. RNA ini yang belum tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti.
Produk gen pol adalah protein prekursor yang dipotong secara berurutan untuk membentuk
enzim transkriptase riversi, protease, ribonuklease dan integrase. Gen gag mengkode protein
berukuran 55-D. Protein ini selanjutnya dipotong oleh enzim proteolitik menjadi polipeptida p24,
p17, dan p15. Ketiga polipeptida ini adalah protein inti yang diperlukan untuk membentuk
partikel infeksius virus. Gen env memproduksi terutama glikoprotein 160-kD yang selanjutnya
dipotong oleh protease sel di retikulum endoplasma menjadi protein gp 120 dan gp 41 yang
diperlukan untuk menempelnya HIV pada sel.2
Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di sitoplasma pejamu.
Seluruh partikel infeksius kemudian disusun dalam satu kompleks nukleoprotein, termasuk gag
dan pol yang diperlukan untuk integrase siklus berikutnya.2
Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan
dilepaskan dari sel pejamu melalui proses budding dari membran plasma. Kecepatan produksi
virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel pejamu.2
PATOGENESIS
Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu
molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama
terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki
molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV
dimula dengan penempelan virus pada limfosit-T. setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari
membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel
limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi
seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-aseH,
RNA yang asli dihancurkan sedangkan seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 9
HIV/ AIDS
menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian
pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu
dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal
dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung kepada
aktivitas dan deferensiasi sel pejmu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu
stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi dengan kecepatan yang sangat
tinggi.
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus, yaitu
pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas, walaupun
umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja
melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak
semua sitokin dapat memacu replikasi virus, karena sebagian sitokin malah dapat menghambat
replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta mengatur respons
imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor dan , interferon gamma,
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan macrophage colony-stimulating factor.
Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, transforming growth factor , dan interferon
dan .
Hal lain yang dapat memacu replikasi HIV adalah ko-faktor yang terdiri dari infeksi oleh
virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus Hepatitis B, virus herpes simplex,
human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman mikoplasma.
Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja local di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam
sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat menimbulkan
pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan
adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan (terutama di dalam kelenjar limfe) tetap
dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus. Pada penelitian dengan hibridasi in situ dan
polymerase chain reaction (PCR), organ limfoid (kelenjar limfe, adenoid, dan tonsil), tampaknya
memang merupakan tempat hidup dan berkembang HIV yang terpenting, baik pada periode akut
maupun periode laten yang panjang.
HIV/ AIDS
Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan peran organ limfoid dapat
dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau
melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Disini terjadi
replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain
(multiple) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis.
HMKV
i
O
Iure
l
ir
Vkeu
rg
oesn
a
smbj
a
n
aire
r
l
i
/aRm
Der
e
f yang terdapat
Sementara itu, sel Limfosit-B
di dalam sentrum germinativum jaringan
apg
l
o yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan
limfoid juga memberikan respons imun
ri
ok
i
terjadinya limfadenopati yang nyata
aan akibat hyperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai
d di dalam sentrum germinativum dan sel Limfosit T-CD4.
oleh meningkatnya sel dendrit folikular
hsa
i l
Akumulasi sel Limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat
proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi Limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari
luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang
merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel Limfosit-B
menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel
T-CD4.
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen
terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada respons
imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum
germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang
akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4
dapat tinggal laten untuk waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali
akibat berbagai stimulasi.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 11
HIV/ AIDS
Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan partikel HIV yang
bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat diamati adalah dengan
progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit folikular sehingga hilanglah kemampuan
organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi.
Hal ini meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh.
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel Limfosit T-CD4 tidak saja
berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-CD4 dan sitolisis,
hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi (perubahan fungsi dan penurunan jumlah)
sel Limfosit T-CD4 ini diduga berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut.
Pembentukan sinsitium
Mekanisme autoimun
1.
HIV/ AIDS
2.
Pembentukan sinsitium
Adanya molekul gp120 virus pada permukaan sel T-CD4 dapat menyebabkan sel tersebut
dapat menyatu dengan sel T-CD4 yang sehat dengan membentuk sinsitium sehingga terbentuk
sel datia dan kemudian menyebabkan kematian sel. Keadaan ini jarang dijumpai in vivo.
Keadaan ini mungkin terjadi akibat pengaruh molekul LFA-1 (lymphocyte-function-associated
antigen-1), yang mempengaruhi adesi leukosit, yang dihasilkan oleh Limfosit T-CD4 yang
terinfeksi HIV.
3.
4.
Apoptosis
Yang dimaksud apoptosis adalah terjadinya kematian sel T-CD4, sebagai reaksi terhadap
adanya aktivitas sel T-CD4 oleh suatu antigen atau superantigen.
5.
Mekanisme autoimun
Molekul klas-II dari MHC (major-histocompatibility-complex) dari sel penyaji antigen
ternyata memiliki struktur yang homolog dengan protein selubung HIV (gp120 dan gp41) hingga
zat imun terhadap protein selubung HIV ini dapat berikatan dengan molekul klas-II dari MHC
hingga menghalangi fungsi dari sel penyaji antigen maupun sel T-CD4.
6.
Anergi
Molekul CD4 dari sel T-CD4, apabila telah berikatan dengan molekul protein gp120 dari
virus atau dengan kompleks gp120 anti gp120, akan menyebabkan sel T-CD4 tidak dapat
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 13
HIV/ AIDS
diaktifkan atau tidak dapat melaksanakan fungsinya lagi (menjadi refrakter) melalui molekul
CD3 dengan anti CD3. Keadaan refrakter atau anergi ini juga dapat terjadi pada sel mononuclear
yang terdapat dalam darah perifer yang terinfeksi HIV. Keadaan ini diduga terjadi sebagai akibat
adanya signal negatif yang diberikan pada sel T-CD4 setelah molekul CD-4 nya terikat.
7.
Superantigen
Superantigen yang berasal dari kuman atau virus (baik dari golongan retrovirus atau
bukan) yang hanya berikatan dengan rantai beta dari reseptor antigen sel Limfosit-T. ikatan ini
akan mengakibatkan stimulasi yang berlebihan (massif) yang diikuti oleh anergi dari sel-sel yang
memiliki rantai beta, termasuk sel Limfosit T-CD4. Oleh karena itu, bila terdapat superantigen,
infeksi HIV dapat terjadi lebih mudah. Aktivasi pertama sel T-CD4 terjadi sebagai akibat
terjadinya ikatan molekul CD4 dengan gp120 dari virus atau dengan kompleks gp120-anti
gp120. Aktivasi kedua yang akhirnya menyebabkan kematian sel T-CD4 adalah sebagai akibat
reseptor antigen sel T-CD4 berikatan dengan klas-II MHC dari sel penyaji antigen yang telah
mengikat antigen atau superantigen.
PERJALANAN PENYAKIT
I.
Perjalanan Penyakit
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk
menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan
HIV.2
HIV/ AIDS
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari
seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau
gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+
dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel
tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening.
Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga
sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel
dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.2
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak
dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan
sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke
seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di
jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik
humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari
infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah
paparan pertama.2
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa
menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten
mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV,
sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah
virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian,
penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4 + yang
bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam
jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal
penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah
beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga
akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.2
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap
infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 15
HIV/ AIDS
HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin.
Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi
mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha
menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.2
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi
destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200
sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik,
neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi
susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).2
CARA PENULARAN
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu kandungnya yang
sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan. Penularan lain yang juga
penting adalah dari transfusi produk darah yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada
perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh penderita HIV, prostitusi anak, dan sebabsebab lain yang buktinya sedikit.
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap, seperti air ludah (saliva)
dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang atau kontak sosial seperti
pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah cara
untuk penularan. Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan
gejala AIDS tidak perlu dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.
HIV/ AIDS
pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV
selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya
ketuban pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasive pada bayi. Selain itu
prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya baik
dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus laktiferus).
Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan
mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti,
tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses pengurangan antigen.
WHO menganjurkan untuk Negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses
terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi
bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke bayinya belum pernah
dilaporkan.
Transfusi
Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah yang mengandung HIV atau produk darah
yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah dilakukannya skrining darah
donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara ini menjadi jauh berkurang.
Jarum suntik yang tercemar HIV
Penularan melalui cara ini terutama ditemukan pada penyalahguna obat intravena yang
menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka seorang pengguna akan dapat
menulari pasangannya melalui hubungan seksual. Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka
penyakit melalui cara ini, di banyak Negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi
HIV/ AIDS
Darah, serum
Semen
Sputum
Sekresi vagina
Cairan amnion
Cairan
serebrospinal
Cairan pleura
Cairan peritoneal
Cairan perikardial
Cairan synovial
Sumber : Djauzi S, 2002
Mukosa seriks
Muntah
Feses
Saliva
Keringat
Air mata
Urin
FAKTOR RESIKO
Dari cara penularan tersebut di atas maka faktor resiko untuk tertular HIV pada bayi dan
anak adalah, 1) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual, 2) bayi yang lahir dari ibu
dengan pasangan berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat
intravena, 4) bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang, 5) anak
yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan 6) anak
remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.2
MASA INKUBASI
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya antibodi anti
HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-tahun kemudian. Khusus
pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia sudah dapat dideteksi pada bulanbulan awal kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi
oportunisik sudah dapat dilihat ketika usia 2 bulan.2
MANIFESTASI KLINIS
Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang terinfeksi HIV
HIV/ AIDS
Digunakan untuk anak berumur <13 tahun dengan konfirmasi laboratorium untuk infeksi HIV
(HIV Ab pada umur > 18 bulan, tes virology DNA atu RNA untuk umur < 18 bulan)
Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
Erupsi pruritik popular
Dermatitis Seboroik
Infeksi virus wart (HPV) luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas (>5% area tubuh)
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Lineal Ginggival Erythema (LGE)
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis,
tonsillitis 2 atau lebih episode dalam periode 6 bulan)
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 19
HIV/ AIDS
HIV/ AIDS
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan
onset umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Catatan:
a. TB bisa terjadi pada hitungan CD4 berapapun dan CD4 % perlu dipertimbangkan
bila mungkin
b. Diagnosis presumptive dari penyakit stadium 4 pada anak umur < 18 bulan yang
seropositif, membutuhkan konfirmasi dengan tes virologist HIV atau tes Ab HIV
HIV/ AIDS
PEMERIKSAAN FISIK1
Pemeriksaan fisik dilakukan head-to-toe untuk memastikan tanda dan gejala spesifik
(gangguan tumbuh kembang, deficit motoris, LIP, keganasan sekunder, kelainan kulit, dll.)
maupun non spesifik (demam, kehilangan berat badan, hepatomegali, splenomegali,
limfadenopati, parotitis, diare, dll.) infeksi HIV, mencari tahu apakah ada infeksi oportunistik
(PCP, sepsis, meningitis, herpes zoster multidermatomal yang luas, dll.), juga menilai perjalanan
penyakit. Pemeriksaan fisik dilakukan seteliti mungkin agar kelainan yang ada dapat diatasi
dengan cepat dan tepat agar tidak memperburuk kondisi pasien yang dapat berakibat fatal.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM5
Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada anak kecil
sangat sulit, karena antibodi maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif mungkin masih
ada pada darah anak sampai umur 18 bulan. Tantangan diagnostik bertambah meningkat bila
anak sedang menyusu atau pernah menyusu. Meskipun infeksi HIV tidak dapat disingkirkan
sampai 18 bulan pada beberapa anak, sebagian besar anak akan kehilangan antibodi HIV pada
umur 9-18 bulan. Tes HIV harus secara sukarela dan bebas dari paksaan, dan persetujuan harus
diperoleh sebelum melakukan tes HIV. Semua tes diagnostik HIV harus : RAHASIA, diikuti
dengan KONSELING, dilakukan hanya dengan INFORMED CONSENT di mana mencakup
telah diinformasikan dan SUKARELA.
Pada anak, hal ini berarti persetujuan orang tua atau pengasuh anak. Pada anak yang lebih
tua, biasanya tidak diperlukan persetujuan orang tua untuk tes/pengobatan, akan tetapi untuk
remaja lebih baik jika mendapat dukungan orang tua dan mungkin persetujuan akan diperlukan
secara hukum. Menerima atau menolak tes HIV tidak boleh mengakibatkan konsekuensi yang
merugikan terhadap kualitas perawatan yang diberikan.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 22
HIV/ AIDS
HIV/ AIDS
DIAGNOSIS
Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 24
HIV/ AIDS
Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua
bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV
harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif
infeksi HIV.2
Diagnosis infeksi HIV setelah ibu atau bayi mendapat Anti Retroviral (ARV) untuk program
pencegahan (PMTCT=Prevention of Mother To Child Transmission)
Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat mulai diperiksa pada
usia 48 jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi
hasilnya.DNA HIV akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi
HIV dan sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya tidak terdeteksi.2
Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay antigen
ICD p24 dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO menyatakan bahwa
pemeriksaan RNA tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi
yang lahir mendapat ARV.2
HIV/ AIDS
Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah
paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada
orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling
tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda.2
HIV/ AIDS
meningitis kriptokokus jarang terjadi pada anak yang tidak terinfeksi HIV. Karenanya kondisi
klinis seperti ini menjadi faktor penentu untuk pemeriksaan antibodi anti HIV.2
Metode yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak
Metode
Rekomendasi
Tingkat rekomendasi/bukti
bayi
<
18
direkomendasi
Uji antibodi anti HIV
bulan ;
mulai
uji
inisial
umur
A(I)
6-8
minggu
Untuk mendiagnosis infeksi HIV
pada ibu atau identifikasi paparan
A(I)
pada bayi
Untuk mendiagnosis infeksi pada
anak > 18 bulan
Untuk mengidentifikasi infeksi HIV
pada umur < 18 bulan dengan
A(IV)
PENGOBATAN
Tatalaksana pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap, meliputi
pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana medikamentosa, tatalaksana
psikologis dan penanganan sisi social yang akan berperan dalam kepatuhan program pemantauan
dan terapi. Pemberian imunisasi harus mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta
panduan yang berlaku. Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV adalah,
HIV/ AIDS
selama asimtomatik, semua jenis vaksin dapat diberikan, termasuk vaksin hidup. Tetapi bila
simtomatik, maka pemberian vaksin polio oral dan BCG sebaiknya dihindari.2
Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi
oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan
dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang
berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan
bahaya infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid
(INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan
yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat,
dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak
menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi.
Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan
dan yang tidak.2
Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk
toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis
yang ditemukan pada penderita. Untuk ini banyak panduan yang cukup baik dijadikan bahan
bacaan.2
Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV
terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA
proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang
menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada
homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu
analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase
riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV
plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak
dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk
mutan yang resisten terhadap obat.2
HIV/ AIDS
Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini bukan untuk
menyembuhkan; bila digunakan dengan benar berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup
penderita.Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah (1) memperpanjang usia hidup anak yang
terinfeksi, (2) mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, (3) menjaga, menguatkan dan
memperbaiki sistim imun dan mengurangi infeksi oportunistik, (4) menekan replikasi virus HIV
dan mencegah progresifitas penyakit, (5) mengurangi morbiditas anak-anak dan meningkatkan
kualitas hidupnya.2
Hingga saat ini sudah terdapat lebih kurang 20 jenis obat ARV. Obat-obat ini pada
dasarnya terdiri dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya, yaitu NRTI (Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor), NNRTI (Non-Nucleoside ReverseTranscriptase Inhibitor), PI (protease
Inhibitor), Fusion Inhibitor, dan Anti-Integrase. Pemakaian kombinasi NRTI dengan NNRTI dan
PI ini saat ini dikenal sebagai Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART). Penamaan ini
didasarkan atas peningkatan survival, pengurangan kemungkinan infeksi oportunistik dan
komplikasi lain, perbaikan pertumbuhan dan fugnsi neurokognitif dan peningkatan kualitas
hidup penderita HIV.2
Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4 + yang terinfeksi dan sebagian kecil
oleh sel lain yang terinfeksi. Terapi obat dikembangkan untuk menghambat semua produksi HIV
yang terdeteksi untuk beberapa tahun. Penurunan viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi
dalam 3 fase. Fase pertama adalah penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat dengan
waktu paruh kurang dari 1 hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa virus diproduksi oleh sel
yang hanya hidup sebentar (short-lived) yaitu sel T CD4+ yang merupakan reservoir utama (93
97% dari seluruh sel T) dan sumber virus.2
Fase kedua penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2 minggu menyebabkan jumlah
virus dalam plasma berkurang hingga di bawah ambang deteksi. Hal ini menunjukkan
berkurangnya reservoir virus dalam makrofag.2
Fase ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus di sel T
memori yang terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang dari sel memori,
diperlukan berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkan reservoir virus ini.2
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 29
HIV/ AIDS
Prinsip ARV
ARV adalah bagian dari pelayanan HIV komprehensif. Sebelum memutuskan untuk
memberi ARV perlu diperhatikan bahwa:
Jangan mulai memberi ARV terlalu dini ketika hitung CD4 masih normal, atau
terlambat ketika sistim imun sudah terlanjur rusak
Pemilihan jenis obat harus memperhitungkan bukti efikasi, sedikit efek samping
dan kemudahan pemberian
Harus ada pemantauan dan dukungan pada pasien dan keluarganya untuk
meningkatkan kepatuhan berobat (adherence)
Kelemahan dari ARV adalah karena digunakan obat multipel, juga dengan obat bukan
ARV, maka bahaya interaksi obat dan resistensi akan menurunkan potensi ARV. Selain itu
mungkin timbul reaksi simpang serius. Karena dirancang untuk digunakan seumur hidup, maka
kepatuhan berobat (95% jumlah obat yang diminum) akan menghalangi timbulnya resistensi, dan
ini penting ditekankan pada keluarga pasien.2
HIV/ AIDS
Bila ada data PCR RNA, kadar virus mendekati 100,000 kopi/mL
Hitung absolut atau persentase CD4 menurun dengan cepat ke ambang defisiensi
imun berat
HIV/ AIDS
1. Terapi ARV direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang memiliki gejala
infeksi HIV(klasifikasi A, B, C menurut CDC atau II, III dan IV menurut WHO),
tanpa melihat stadium klinis, jumlah virus maupun nilai CD4
2. Terapi ARV juga direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang tergolong
stadium klinis N atau I yang memiliki kadar CD4 < 25%. Terapi ARV
dipertimbangkan untuk bayi < 12 bulan yang asimtomatik dan memiliki kadar
CD4 > 25%.
Imunodefisiensi
< 11 bulan
12-35 bulan
36-59 bulan
> 5 tahun
(%)
(%)
(%)
(sel/mm3)
> 35
> 30
> 25
> 500
30 35
25 30
20 25
350499
Tidak ada
Ringan
HIV/ AIDS
Sedang
25 30
2025
1520
200349
<25
<20
<15
Berat
Nilai absolut CD4 dapat naik atau turun bergantung pada penyakit yang sedang diderita,
perubahan fisiologis atau variabilitas tes. Pengukuran serial lebih informatif daripada informasi
tunggal. Seperti juga status klinis, perbaikan imunologis terjadi dengan pemberian ARV. Bila
mungkin ada 2 kali pengukuran di bawah ambang batas sebelum mulai pemberian ARV, terutama
pada stadium klinis 1 dan 2. Hasil CD4 juga berguna untuk memantau respons terhadap terapi.2
Rekomendasi untuk memulai pemberian ARV pada bayi dan anak HIV positif sesuai stadium
klinis dan ketersediaan pemeriksaan imunologis
Stadium
klinis
pengukuran
4a
12 bulan
CD4
Tanpa CD4b
3a
<12 bulan
CD4
Semua diobati
HIV/ AIDS
Semua diobati
Tanpa CD4b
trombositopenia
Semua diobatic
CD4
Tanpa CD4b
CD4
Tanpa CD4b
Jangan diobati
Bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4, pemeriksaan hitung total limfosit dapat
digunakan untuk memulai pemberian ARV. Kriteria total limfosit ini sebaiknya digunakan pada
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 34
HIV/ AIDS
stadium klinis 2. Hitung total limfosit tidak dapat digunakan untuk memantau keberhasilan
pemberian ARV
Kriteria limfosit total
Petanda
imunologis
11 bulan
[C (II)]*
<4000 sel/mm3
TLC
12 bulan-
36 bulan-
35 bulan
59 bulan
<3000
<2500
sel/mm3
sel/mm3
5 8 tahun
<2000
sel/mm3
Pengukuran viral load (dengan menggunakan PCR RNA) belum diperlukan menjadi standar
penilaian memulai ARV. Bila mungkin dilakukan maka kriteria CDC akan lebih tepat digunakan.
Bayi memiliki dua gejala baik itu kandidiasis oral, pneumonia berat atau sepsis
berat.
HIV/ AIDS
Faktor lain yang mendukung ditegakkannya diagnosis presumtif adalah apabila terdapat
kematian ibu karena HIV atau ibu menderita AIDS dengan hitung CD4 < 20%.2
Diagnosis klinis presumtif infeksi HIV memungkinkan seorang dokter memberi tata
laksana penyakit akut secara memadai, merawat pasien yang diduga HIV, dan menjadi dasar
memulai pemberian ARV. Penggunaan cara ini pada anak usia < 18 bulan harus disertai upaya
menegakkan diagnosis HIV, dan dilakukan pemantauan dengan ketat. Bila terdapat bukti baru
bahwa ternyata bayi atau anak ini terbukti negatif, maka ARV harus dihentikan.2
HIV/ AIDS
membahayakan pilihan dan harus dihindari kecuali bila diperlukan. Saat ini rekomendasi CDC
dan WHO lini pertama adalah menggunakan 2 kelas obat: 2 NRTI yang dikombinasikan dengan
satu NNRTI atau PI. Lebih lengkapnya rekomendasi ini berbunyi:
NRTI
Keuntungan
Kerugian
Zidovudin
banyak
Dalam bentuk sirup AZT jauh
(AZT)
Dipilih bila Hb
7,5g/dl
pasien rendah
Anemia dan neutropenia berat
dapat terjadi.
Stavudin (d4T)
Sering menimbulkan
lipodistrofi, asidosis laktat dan
neuropati perifer
Sirup d4T memerlukan
penyimpanan lemari pendingin.
Kapsul terkecil 15mg, cukup
untuk anak dengan berat >15kg
ke atas
Abacavir
(ABC)
Negara maju
ABC lebih mahal dari AZT dan
HIV/ AIDS
generic.
1 NNRTI
Keuntungan
Kerugian
Nevirapin
umur
Tidak memiliki efek teratogenik
Tersedia dalam bentuk pil dan
(NVP)
mengancam jiwa
Potensi hepatotoksik
Lebih sering terjaddi pada
pendingin
Salah satu kombinasi obat yang
tua
Efavirenz
oleh rifampisin
Pada anak yang belum bisa
(EFV)
untuk hamil
EFV lebih mahal dibanding NVP
HIV/ AIDS
Pilih 3 obat dengan warna berbeda, kecuali sudah tersedia FDC, otomatis
menggunakan d4T, 3TC, NVP
HIV/ AIDS
Kegagalan supresi imun adalah tidak tercapainya jumlah CD4 normal menurut umur.
Kriteria kenormalan menurut umur ini mutlak karena secara fisiologis parameter CD4 menurut
umur akan menurun. Tetapi persentase CD4 variasinya sedikit, karena itu nilai persentasenya
dipakai untuk penilaian keberhasilan terapi ARV. Lama penilaian keberhasilan terapi ini juga 6
bulan, dan bila terdapat hasil pemeriksaan CD4 sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang paling
tidak 1 minggu sesudahnya untuk konfirmasi sebelum menyimpulkan terdapat respons imun
suboptimal.2
Kondisi klinis harus selalu dihubungkand engan respon imun dan virologik terhadap
pemberian ARV. Pada pasien yang parameter imun dan virologiknya stabil, terdapatnya gejala
simtomatik HIV yang baru tidak berarti ARV perlu diganti. Tetapi bila timbul pada infeksi
oportunistik baru pada kasus imunosupresi berat pada awal pemberian terapi ARV, maka hal
tersebut menunjukkan disfungsi imun presisten meskipun jumlah virus sudah berkurang.
Kemungkinan sindrom pulih imun juga harus dipikirkan sebelum satu infeksi oportunistik baru
dikategorikan sebagai kegagalan klinis. Kegagalan klinis juga harus dipikirkan bila tidak ada
perbaikan perkembangan neurologik meskipun terapi adekuat sudah diberikan.2
Kadang-kadang timbul ketidaksinambungan antara keberhasilan klinis dan imunologis
pada kasus yang tidak memiliki efek supresi virologik yang diharapkan. Di negara maju, bila
ditemukan kondisi ini maka uji resistensi terhadap golongan ARV tertentu perlu dilakukan.2
HIV/ AIDS
kegagalan terapi terjadi dengan rejimen NNRTI atau 3TC (lihat pengkoean obat), hampir pasti
terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Memilih meneruskan NNRTI pada kondisi
ini tidak ada gunanya, tetapi meneruskan pemberian 3TC mungkin dapat menurunkan ketahanan
virus HIV.AZT dan d4T hampir selalu bereaksi silang dan mempunyai pola resistensi yang sama,
sehingga tidak dianjurkan mengganti satu dengan yang lainnya. 2
Prinsip pemilihan rejimen lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin. Bila
kelas yang sama akan digunakan, pilih obat yang sama sekali belum dipakai sebelumnya. Tujuan
pemberian rejimen lini kedua adalah untuk mencapai respons klinis dan imunologis (CD4+),
tetapi responsnya tidak sebaik pada rejimen lini pertama karena sudah terjadi resistensi silang di
antara obat ARV.2
Sebelum pindah ke rejimen lini kedua, kepatuhan berobat harus benar-benar dinilai. Anak
yang dengan rejimen lini kedua pun gagal, terapi penyelamatan yang efektif masih sulit
dilakukan. Konsultasi dengan panel ahli diperlukan. Untuk rejimen berbasis ritonavir-boosted PI,
pemeriksaan lipid (trigliserida dan kolesterol, jika mungkin LDL dan HDL) dilakukan setiap 612 bulan.2
Nilai kriteria imunologis untuk kegagalan pengobatan
Rekomendasi bila lini pertama adalah 2 NRTI + 1 NNRTI = 2 NRTI baru + 1 PI
Catatan:
Langkah 1: Pilih 2 NRTI
ddI + ABC
ABC + 3TC
ddI + AZT
HIV/ AIDS
*Meneruskan penggunaan 3TC pada rejimen lini kedua dapat dipertimbangkan karena 3TC
dihubungkan dengan berkurangnya ketahanan virus HIV
Langkah 2: Pilih 1 PI
PI terpilih
Keuntungan
Kerugian
Lopinavir/ritonavirLPV/
Membutuhkan
penyimpanan
dalam
lemari pendingin
-
besar
- Harganya mahal
dan tablet
- Rasa tidak enak
-
Sirup
mengandung
12%
alkohol
- Tidak bisa dibagi
Saquinavir/
Dapat
digunakan
bersama
ritonavir boosting
Ritonavir SQV/r
dan
mampu
menelan
kapsul
- Efiaksi baik
-
dan
memerlukan
penyimpanan di lemari
pendingin
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 42
HIV/ AIDS
PI alternative
Keuntungan
Kerugian
NFV
hiperlipidemia
dan
lipodistrofi
dibandingkan ritonavir-boosted PI
- Sering ditemukan efek
samping saluran cerna
HIV/ AIDS
antara
lain
adalah
status
gizi
yang
kurang/buruk,
gejala
infeksi
kronik
HIV/ AIDS
berusia >2tahun. Gejala khas LIP antara lain limfadenopati generalisata dan simetris, pembesaran
kelenjar parotis, dan jari tabuh.6
Tatalaksana TB pada anak HIV yang sedang atau akan mendapatkan pengobatan
antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan interaksi antar obat-obat yang
diberikan. Interaksi antar obat TB dan ARV dapat menyebabkan pengobatan HIV maupun TB
menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko toksisitas.
Rifampisin misalnya, obat ini berinteraksi dengan obat penghantar enzim reverse
transcriptase nonnukleosida (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI) dan
penghambat enzim protease (protease inhibitors, PI). Rifampisin menurunkan konsentrasi PI
hingga 80% atau lebih, dan NNRTI hingga 20-60%.6
Obat ARV yang menurut rekomendasi dapat diberikan bersamaan dengan rifampisin
adalah efavirenz (NNRTI) ditambah dua obat penghambat reverse transcriptase nukleosida
(nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NRTI) atau ritonavir (dosis yang dinaikkan) ditambah
dua NRTI. Rekomendasi mengenai kombinasi ini sering mengalami revisi sehingga harus
disesuaikan dengan informasi terbaru menurut CDC.
Reaksi simpang (adverse reaction) yang ditimbulkan oleh OAT hampir serupa dengan
yang ditimbulkan oleh obat ARV. Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer, begitu juga
dengan NRTI (didanosine, zalcitabine, dan stavudine). Reaksi paradox juga dapat terjadi jika
pengobatan terhadap TB dan HIV mulai diberikan pada waktu yang bersamaan.6
Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk menentukan
hal-hal berikut:
1. Apakah pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat antiretroviral
2. Apakah pemberian ARV harus menunggu 2 bulan setelah pemberian OAT dimulai,
3. Apakah pengobatan Tb harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian ARV dimulai
Rejimen Lini Pertama bila anak mendapat Terapi TB dengan Rifampisin
Jika terapi TB telah berjalan, maka ART yang digunakan:
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 45
HIV/ AIDS
Rejimen Terpilih
Sesudah terapi TB selesai alihkan ke rejimen Lanjutkan rejimen sesudah terapi TB selesai
lini pertama 2NRTI + NVP atau EFV untuk
efikasi lebih baik
2NRTI + NVP
Apabila diagnose TB ditegakkan, terapi TB harus dimulai lebih dahulu dan ART
diberikan 2 8 minggu setelah timbul toleransi terapi TB dan untuk menurunkan resiko sindrom
pulih imun (immune reconstitution inflammatory syndrome, IRIS)
Jika akan memulai terapi TB pada anak yang sudah mendapat ART:
2NRTI + ABC
Teruskan
2NRTI + EFV
Teruskan
2NRTI + NVP
PROGNOSIS
Prognosis anak-anak pengidap HIV berbeda-beda sesuai stadium klinis dan terutama
persentase CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Secara umum tercapainya stadium
AIDS pada anak lebih cepat pada orang dewasa. Bila pada orang dewasa ada sejumlah pengidap
HIV yang dapat tetap sehat dengan hitung CD4 tetap normal bertahun-tahun lamanya, maka pada
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 46
HIV/ AIDS
anak belum didapatkan studi kohort dengan hasil yang sebanding. Tetapi memang ditemukan
anak-anak yang hingga usia paling tidak 8 tahun tidak memilki gejala infeksi HIV dan hitung
CD4nya normal, meskipun HIV seropositif. Studi awal menunjukkan bahwa pada anak-anak
yang tetap sehat memiliki produksi antibodi lebih baik dan aktivitas sel Limfosit sitotoksik
terhadap HIV yang lebih baik. Tetapi lebih banyak anak-anak terinfeksi HIV yang sebelum usia 1
tahun pun sudah memerlukan terapi ARV. Dengan perkembangan riset obat ARV pada anak dan
keberhasilan pencegahan transmisi dari ibu pengidap HIV ke anaknya, diharapkan angka
keberhasilan hidup anak pengidap HIV lebih tinggi di masa yang akan datang.2
HIV/ AIDS
BAB III
KESIMPULAN
Setelah terjadi infeksi HIV tidak segera timbul gejala, oleh karena diperlukan waktu
untuk terjadinya replikasi virus yang kemudian memegang peran dalam timbulnya gejala klinis
dan laboratorium. Bayi dan balita dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu melahirkan dan
saat menyusui, jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan, kemungkinan anak
akan melanjut cepat ke AIDS, karena masa inkubasinya sekitar satu sampai dua tahun. Namun
pada anak lebih besar masa inkubasinya akan lebih panjang, sekitar 6 9 tahun. Setelah masa
inkubasi timbul gejala prodromal yang bersifat non spesifik setelah suatu selang waktu yang
berbeda-beda.
Pengobatan HIV/AIDS yang ada saat ini dapat dikatakan belum baik, karena hanya
bersifat mensupres virus dan tidak dapat mengeradikasi virus, sehingga petugas kesehatan
baiknya lebih mementingkan upaya pencegahan daripada pengobatan.
BAB IV
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 7 JULI 13 SEPTEMBER 2014 Page 48
HIV/ AIDS
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumarmo. Dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Bag. IKA FKUI: Jakarta.
2. Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N, penyunting: Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Ed 2.
Jakarta; IDAI; 2008.
3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson B. Nelson textbook of Pediatrics, 17th ed.
Philadelphia: WB Saunders, 2004.
4. DepKes RI.2008.Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak
di Indonesia.Jakarta:DepKes RI.
5. WHO Indonesia. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi Indonesia. Jakarta:
Depkes RI.
6. Rahajoe. NN, dkk. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi 1 Cetakan Kedua IDAI
Jakarta h.350-365