Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
dr. Warih Andan Puspitosari, MSc, SpKJ
Lama kuliah : 1 jam pertemuan
Learning Objectif :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang macam-macam gangguan jiwa paska
persalinan
2. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang factor risiko gangguan jiwa paska
persalinan
3. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang diagnosis gangguan jiwa paska persalinan
4. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang penatalaksanaan gangguan jiwa paska
persalinan
Gangguan emosi pasca persalinan dilaporkan terjadi pada 20-40 % ibu melahirkan.
Adapun gangguan suasana perasaan pada masa Post Partum diklasifikasikan menjadi 3
kategori yaitu :
1. Postpartum blues ( 30-85%)
Onset pada minggu pertama
Adanya mood yang labil, kesedihan, insomnia dan kecemasan
2. Non psychotic postpartum depression (10-15%)
Onset biasanya tersembunyi, dalam 2 atau 3 bulan pertama
Mood yang depresif, kecemasan berlebihan dan insomnia
3. Puerperal psychosis (0,1-0,2%)
Onset biasanya dalam 2-4 minggu pertama
Agitasi dan iritabilitas, mood depresi atau euforia, delusi, depersonalisasi,
tingkah laku yang tidak terorganisir
Variabel Demografik
Usia
Status perkawinan
Jumlah anak
Tingkat pendidikan
Etiologi
1. Variabel demografik. Ada kaitan yang jelas antara semua jenis penyakit psikiatrik
postpartum dengan riwayat gangguan suasana perasaan pada wanita.
2. 70% wanita yang pernah mengalami episode psikosis puerperalis akan mengalami
episode lain pada kehamilan selanjutnya.
3. Faktor psikososial
4. Riwayat penyakit Psikiatrik
5. Faktor hormonal
Postpartum Blues
Prevalensinya 30-85%
Gejala bervariasi al: diforia, mood labil, udah sedih, cemas dan sulit tidur.
Gejala memuncak pada hari ke 4 atau ke 5 dan hilang spontan hari ke 10.
Postpartum Blues
Sebagian akan berkembang menjadi depresi mayor pada wanita yang sebelumnya
mengalami episode penyakit afektif.
PostpartumDepression
Terdapat 10-15% kasus depresi mayor dan minor pada post partum.
Pada umumnya sulit dibedakan ggn depresi mayor non psikotik yang biasa
muncul kapan saja setelah melahirkan.
Psikosis Pueperalis
Jarang terjadi
Diagnosa Banding
Hipotiroidisme
Penyakit psikiatrik yang mungkin muncul pertama kali pada masa postpartum
Kecemasan umum
Durasi bervariasi
Perawatan
Postpartum Blues
Depresi Postpartum
Tidak ada data yang menyebutkan bahwa depresi postpartum harus dikelola beda
degan depresi mayor non puerperalis.
Perawatan
Terapi Farmakologi
Rawat Inap
Psikoterapi Interpersonal
Terapi Farmakologik
Terapi Hormonal
Pada masa post partum terjadi penurunan estrogen dan progesteron yang luar
biasa.
Psikosis Puerperalis
Adanya hubungan yang jelas antara psikosis puerperalis dg ggn afektif bipolar
Sebagian besar diterapi dengan lithium karbonat, jenis yang lain belum diketahui
jelas.
Kontroversi
Pengunaan mood stabilizer dilanjutkan meskipun gejala aktif sudah tdk ada.
Pencegahan
Faktor Resiko
Dengan riwayat
- depresi post partum
- ggn siklotimik
- depresi post partum
- depresi mayor rekuren
- depresi selama kehamilan
- dg riwayat ggn afektif bipolar I dan II
- dg riwayat psikosis puerperalis.
Bila diekskresikan pada air susu dapat menyebabkan dispnea, bradikardia dan
mengantuk pada bayi yang disusui.
Data pada binatang: risperidone dan ramoxipride relatif aman untuk wanita hamil,
tetapi untuk manusia tidak ada data klinis.
Lithium
Lithium harus dihentikansegera sblm pesalinan, dan dimulain lagi bila ada ggn
mood pasca persalinan.
Tanda toksisitas lithium pada bayi: letargi, sianosis, reflek abnormal dan kadangkadang hepatomegali.
Penelitian terbaru, tx interpersonal efektif untuk depresi mayor post partum baik
ringan ataupun sedang.
Contoh: bila orang tahu kebusukan saya, orang akan mentertawakan saya.
Teknik Relaksasi
- dengan khayalan mental mengkhayal dirinya sendiri didalam tempat yang
INDIKASI ECT
Depresi Mayor:
Indikasi ECT
Manik
LAMPIRAN
Masa setelah melahirkan bagi para wanita hamil dan keluarga sangat diharapkan
menjadi masa-masa yang membahagiakan dengan kehadiran anggota keluarga yang baru
lahir. Namun demikian, setelah melahirkan, sebagian wanita akan mengalami gangguan
suasana hati paska melahirkan. Salah satu gangguan suasana hati paska melahirkan di
dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah depresi paska melahirkan. Hal ini sering
tidak disadari pertama karena gejalanya mirip dengan gejala ketidaknyamanan pada masa
puerperium seperti kelelahan, sulit tidur, dan penurunan libido; kedua karena
pengetahuan yang minim dari wanita dan keluarganya tentang gejala-gejala depresi; dan
ketiga karena wanita dan keluarganya salah menanggapi sakit mental sebagai
ketidakmampuan beradaptasi dengan berkurangnya waktu tidur, kehadiran anak yang
baru lahir, dan kedudukan sebagai orang tua. Dengan adanya alasan-alasan di atas
ditambah dengan adanya stigma sosial, wanita paska melahirkan segan mengeluhkan
perubahan suasana hati yang dirasakannya, dan tidak mengonsultasikan dirinya pada
tenaga-tenaga kesehatan.
Depresi paska melahirkan merupakan masalah kesehatan utama yang mengenai
sekitar 13% ibu baru menurut penelitian yang diadakan di negara Australia, Inggris,
Amerika, dan China. Penelitian meta-analisis di tempat-tempat lain juga menunjukkan
rata-rata prevalensi depresi paska melahirkan sebesar 13%. Penelitian dengan sampel
internasional dari 9 negara di 5 benua mendapatkan hasil bahwa wanita di Eropa dan
Australia menduduki tingkat terendah depresi paska melahirkan, diikuti oleh wanita di
Amerika Serikat. Wanita Asia dan Amerika Selatan menunjukkan skor gejala depresi
paska melahirkan yang tertinggi.
Untuk prevalensi depresi paska melahirkan di Indonesia belum diketahui dengan
pasti. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien paska melahirkan di bangsal kandungan
dan kebidanan di RS DR Sardjito Yogyakarta pada bulan Oktober-Desember 1996
mendapatkan prevalensi depresi berat 0,5%, depresi sedang 1,9%, dan depresi ringan
10
11,3%8. Sebuah penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2000 di tempat yang sama
mendapatkan hasil depresi ringan 63,33% dan depresi sedang 8,33% pada pasien paska
melahirkan.
Depresi paska melahirkan merupakan kondisi yang berdampak besar pada
kehidupan keluarga
karena
saat
ini,
penelitian-penelitian
epidemiologis
secara
konsisten
menunjukkan bahwa faktor etiologi depresi paska melahirkan yang tak kalah penting
adalah faktor psikososial selain faktor lainnya seperti
11
teratasi. Hasil dari penelitian analisis subgrup juga menunjukkan bahwa mengidentifikasi
ibu dengan faktor risiko dapat membantu mencegah terjadinya gangguan depresi paska
melahirkan.
Terbatasnya jumlah tenaga kerja kesehatan mental di negara berkembang dan
terbatasnya
pengetahuan
tenaga-tenaga
kesehatan
tentang
kesehatan
mental
12
13
terhadap terjadinya depresi paska melahirkan antara lain riwayat depresi, depresi saat
kehamilan, kejadian hidup yang negatif, kurangnya dukungan sosial dari keluarga dekat,
konflik pernikahan, dan adanya gangguan psikiatri lain. Cooper dan Tomlinson (1999)
melakukan penelitian di lingkungan pinggir kota di Afrika Selatan untuk melihat kejadian
depresi paska melahirkan di salah satu negara berkembang. Hasilnya menunjukkan
bahwa depresi paska melahirkan berhubungan dengan dukungan praktis dan emosional
yang buruk dari pasangan, dan hubungan yang buruk antara ibu dan anaknya. Satu
penelitian di Yogyakarta, Indonesia menemukan bahwa stresor psikososial yang
berhubungan dengan depresi paska melahirkan adalah peristiwa kehidupan. Ditemukan
juga adanya perbedaan faktor sosial budaya antara subyek depresi dan non depresi,
dimana subyek depresi kebanyakan tidak memilih sendiri suaminya, kehamilannya tidak
dikehendaki, dan mengalami kegagalan KB.
Sejak penelitian meta-analisis terdahulu, dipandang telah terjadi perubahan atau
penambahan faktor risiko depresi paska melahirkan. Dalam meta-analisis yang dilakukan
Beck (2001) terhadap 84 penelitian dekade 1990-an tentang faktor risiko depresi paska
melahirkan ingin diketahui apakah faktor-faktor risiko yang ditemukan dalam metaanalisis sebelumnya telah mengalami perubahan atau penambahan, dan ingin diketahui
kekuatan faktor-faktor risiko terdahulu tersebut terhadap terjadinya depresi paska
melahirkan.
Hasilnya menyebutkan terdapat 13 faktor risiko bermakna yang berhubungan
dengan depresi paska melahirkan. Adapun ke-13 faktor risiko tersebut dengan urutan
effect size dari terbesar sampai terkecil adalah sebagai berikut: depresi prenatal, nilai diri,
stres dalam perawatan anak, kecemasan prenatal, stres kehidupan, dukungan sosial,
hubungan dalam perkawinan, riwayat depresi sebelumnya, temperamen bayi, maternity
blues, status pernikahan, status sosial ekonomi, dan kehamilan yang tidak direncanakan
atau diinginkan.
Tiga dari 13 faktor risiko tersebut memiliki effect size yang kecil, yaitu status
pernikahan, status sosioekonomi, dan kehamilan yang tidak direncanakan atau
diinginkan. Kesepuluh faktor risiko lainnya memiliki effect size yang sedang.
Dalam meta-analisis ini terungkap 4 faktor risiko baru, dimana 2 diantaranya
merupakan faktor demografik, yaitu status pernikahan dan status sosioekonomi. Wanita
14
yang cenderung tidak menikah dan berpenghasilan rendah berisiko mengalami depresi
paska melahirkan dan mengalami stresor seperti kesulitan finansial, berkaitan dengan
status demografik mereka-yang akan mengalami eksaserbasi setelah kelahiran anak. Ibu
dengan status single dan berpenghasilan rendah ini hanya memiliki sumber atau
dukungan minimal sehingga mereka kurang terbantu dalam memasuki tahapan menjadi
seorang ibu.
Dua faktor risiko lainnya adalah kehamilan yang tidak direncanakan atau
diinginkan dan nilai diri. Wanita dengan kehamilan yang tidak direncanakan harus
beradaptasi dengan kondisi barunya yang akan berpengaruh sepanjang hidup. Nilai diri
merupakan barrier terhadap akibat-akibat negatif dari stres kehidupan. Wanita dengan
nilai diri yang rendah kurang dapat bertahan terhadap stres kehidupan, terutama di masa
paska melahirkan yang merupakan masa rapuh untuk nilai diri, apalagi bila ditambah
dengan adanya depresi.
Ditemukan beberapa penelitian lain tentang faktor risiko demografik yang
menyebutkan adanya faktor-faktor risiko depresi paska melahirkan selain faktor-faktor
risiko yang tersebut dalam meta-analisis di atas. Pfost et al (1990) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa kesulitan dalam kehamilan dapat memprediksi tingkat depresi paska
melahirkan, dan stresor somatik dapat memicu gejala-gejala depresi yang bertahan
sampai setelah kelahiran anak, terutama pada wanita yang tidak menikah. Penelitian oleh
Warner et al (1996) menyebutkan adanya faktor-faktor risiko seperti tidak menyusui,
kehilangan pekerjaan setelah kehamilan, dan kepala keluarga yang tidak memiliki
pekerjaan. Penelitian di Yogyakarta, Indonesia menemukan pula adanya hubungan
bermakna antara faktor demografis dan pasien depresi paska melahirkan. Faktor
demografis tersebut mencakup banyaknya persalinan dan skor Apgar menit pertama.
Beberapa penelitian lain tentang faktor risiko depresi paska melahirkan dilakukan
setelah tahun 2000. Da Costa, Larouche, Drisa, dan Brender (2000) dalam penelitian
mereka mendapatkan hasil bahwa faktor prediktor depresi paska melahirkan yang terkuat
adalah depresi prenatal. Breese et al (2006) mendapatkan faktor-faktor risiko bermakna
terhadap terjadinya depresi paska melahirkan adalah status menyusui, merokok, dan
riwayat depresi. Satu penelitian yang dilakukan Yonkers dan Ramin (2001) di Amerika
terhadap ibu-ibu dengan etnis minoritas di sana yaitu etnis Latin dan African American
15
menemukan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan depresi paska melahirkan
adalah menyusui dengan botol dan tidak tinggal dengan pasangan atau keluarga dekat.
Gejala depresi yang menetap dalam penelitian ini juga berkaitan dengan adanya anak lain
yang harus dirawat.
Hasil penelitian Pate, Rodrigues, dan DeSouza (2002) yang dilakukan di negara
berkembang di Asia Selatan yaitu India semakin menegaskan peranan hubungan
pernikahan yang buruk dan adanya gangguan psikiatri antenatal dengan terjadinya
depresi paska melahirkan. Ditegaskan pula peranan variabel kemiskinan seperti adanya
kelaparan dan tingkat pendidikan yang rendah. Sebagai tambahan, dengan adanya setting
kultural dalam penelitian ini, terdapat faktor risiko bermakna terkait faktor jender, yaitu
adanya keinginan mendapatkan anak lelaki lebih dari anak perempuan dan adanya
kekerasan dalam rumah tangga. Faktor risiko ini mungkin hanya ditemukan di negaranegara berkembang, seperti nyata pada hasil-hasil penelitian di atas di negara-negara
maju yang tidak menyebutkan faktor risiko jender.
paska melahirkan terdiri dari psikoterapi dan farmakoterapi. Kedua modalitas terapi
tersebut dapat digunakan sendiri-sendiri atau secara kombinasi. Masing-masing modalitas
tersebut diketahui tidak ada yang lebih baik antara satu dan lainnya.
1. Psikoterapi
Psikoterapi sering digunakan sebagai terapi lini pertama dalam penatalaksanaan
depresi paska melahirkan, karena banyak ibu yang lebih memilih menggunakan terapi ini
dikarenakan adanya kemungkinan efek samping pada bayi bila ibu mengonsumsi
antidepresan. Jenis psikoterapi yang paling sering digunakan adalah psikoterapi
interpersonal. Psikoterapi interpersonal sesuai untuk wanita paska melahirkan karena
fokus pada hubungan interpersonal pasien dan adanya perubahan peran ibu dari sebelum
melahirkan menuju paska melahirkan. Terapi interpersonal ini dapat dilakukan pada
individu ataupun dalam bentuk terapi kelompok. Dalam terapi kelompok, pasien juga
16
mendapat keuntungan lain seperti dapat berbagi dengan sesama pasien yang mengalami
hal yang sama. Penelitian tentang terapi kelompok pada wanita depresi paska melahirkan
mendapatkan hasil bahwa terapi kelompok dengan komponen edukasional, dukungan
sosial, dan terapi kognitif-perilaku efektif sebagai terapi depresi paska melahirkan. Tetapi
sampel dalam penelitian ini sangat kecil.
Bentuk psikoterapi lain selain psikoterapi interpersonal antara lain terapi suportif
dan terapi kognitif-perilaku. Jika terjadi konflik marital, dapat dilakukan konseling
marital dengan pasangan, dan perlu dilakukan edukasi terhadap pasangan dan keluarga
dekat pasien tentang perjalanan penyakit dan pengobatan. Psikoterapi dapat dilakukan
oleh psikiater, perawat, petugas kesehatan lain, atau konselor.
Ditemukan beberapa penelitian tentang penggunaan psikoterapi sebagai
penatalaksanaan depresi paska melahirkan. Murray, Cooper, Wilson, dan Romaniuk
(2003) dalam penelitiannya menggunakan 3 metode untuk melihat pengaruhnya pada
hubungan ibu dan anak. Ketiga metode itu adalah konseling suportif tidak langsung,
terapi kognitif-perilaku, dan terapi psikodinamik singkat. Ketiga metode tersebut berhasil
memberi manfaat bermakna dalam mengatasi kesulitan hubungan antara ibu dan bayinya.
Metode konseling sendiri memberi tingkat emosional dan perilaku yang lebih baik dan
interaksi ibu dan anak yang lebih sensitif.
Penelitian lain tentang bentuk-bentuk terapi suportif memberi hasil yang
berlawanan. Dua penelitian berhasil menemukan dampak positif dukungan pasangan atau
teman sesama ibu untuk mengatasi depresi paska melahirkan ataupun sebagai prevensi.
Tetapi penelitian di Australia yang melibatkan 16 masyarakat rural dan metropolitan dan
pusat pelayanan primer dan berbasis komunitas gagal membuktikan pengaruh dukungan
sosial terhadap depresi paska melahirkan atau dalam memperbaiki kesehatan fisik ibu 6
bulan paska melahirkan.
Untuk terapi interpersonal, didapatkan 1 penelitian tentang implementasi terapi
interpersonal dalam setting intervensi kelompok atau pendampingan masyarakat. Dalam
penelitian ini didapatkan hasil bahwa 4 sesi terapi interpersonal berhasil mencegah
terjadinya depresi paska melahirkan pada wanita dengan tingkat finansial rendah.
Howard (2005) dalam makalahnya menyebutkan laporan-laporan penelitian
Randomized Controlled Trial (RCT) tentang penatalaksanaan depresi paska melahirkan.
17
Dalam makalah tersebut terdapat 2 penelitian RCT tentang efek konseling tidak langsung
terhadap depresi paska melahirkan. Terapi ini memberi perbaikan dibandingkan
perawatan primer rutin, bila dilakukan dalam jangka waktu pendek. Tetapi 1 RCT lain
menunjukkan hasil yang berlawanan.
Untuk terapi kognitif perilaku, 1 RCT mendapatkan hasil memberi perbaikan
dalam jangka waktu pendek bila dibandingkan dengan perawatan primer rutin, konseling
tidak langsung, atau terapi psikodinamika, tetapi tidak efektif bila diberikan dalam jangka
waktu panjang.
Masih dalam makalah yang sama, 1 RCT tentang terapi interpersonal
mendapatkan hasil terdapat perbaikan depresi paska melahirkan pada 12 minggu. Sedang
1 RCT tentang terapi psikodinamika mendapatkan hasil terdapat perbaikan dalam jangka
waktu pendek, tetapi tidak dalam jangka waktu panjang.
2. Farmakoterapi
Pada kasus-kasus depresi paska melahirkan yang persisten dan berat dengan
gejala-gejala seperti kesulitan merawat diri sendiri, kesulitan melakukan fungsi sebagai
ibu, dan adanya ide untuk melukai diri sendiri ataupun anaknya, diperlukan
farmakoterapi berupa antidepresan. Antidepresan yang banyak digunakan adalah
golongan trisiklik seperti imipramin, desipramin, amitriptilin, dan nortriptilin, dan
golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) seperti fluoxetine dan sertraline.
SSRI dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih disukai karena penggunaannya hanya
sekali sehari. Dosis fluoxetine 20 dan 40 mg aman digunakan untuk ibu menyusui. Kedua
golongan antidepresan tersebut (trisiklik dan SSRI) tidak kontraindikasi untuk
dikonsumsi selama ibu menyusui anaknya. Memang terdapat risiko bagi anak yang
menyusui pada ibu yang mengonsumsi antidepresan, karena belum matangnya sistem
fetal, lemak tubuh dan ikatan protein plasma lebih sedikit, hati dan ginjal belum
sempurna, dan sawar darah-otak belum terbentuk. Tetapi ternyata hanya sedikit efek
samping terjadi pada anak yang pernah dilaporkan sehingga dapat dikatakan bahwa bayi
dapat menoleransi paparan antidepresan. Hasil dari suatu penelitian bahkan menyatakan
bahwa fluoxetine dan sertraline tidak mempengaruhi kadar serotonin pada bayi
18
menyusui. Tetapi dianjurkan agar dilakukan pemeriksaan darah pada bayi setelah 6
minggu menyusui untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya akumulasi obat.
Newport, Hostetter, Arnold, dan Stowe (2002) dalam makalahnya menyatakan
bahwa pemeriksaan konsentrasi serum bayi merupakan standar emas dalam memeriksa
akumulasi obat pada bayi. Tetapi apabila rutin dilakukan akan tidak praktis. Disarankan
agar dalam waktu 7-9 jam setelah ibu minum obat (SSRI), ASI dikeluarkan dan dibuang.
Waktu 7-9 jam tersebut merupakan waktu tercapainya konsentrasi puncak untuk
kebanyakan obat SSRI. Dengan dibuangnya ASI semasa rentang waktu tersebut, dapat
memberi penurunan 17-20% paparan dosis harian total terhadap bayi.
Dalam hal ini belum dapat ditetapkan suatu petunjuk standar pengobatan
farmakologi untuk depresi paska melahirkan. Antidepresan dapat diteruskan pada ibu
yang menyusui, tetapi dengan hati-hati, harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti
beratnya gejala depresi, respon positif terhadap SSRI tertentu, dan komitmen ibu untuk
menyusui anaknya. Belum ada penelitian yang meneliti efek jangka panjang pada bayi
yang menyusui dari ibu yang mengonsumsi antidepresan.
Adapun dosis antidepresan untuk penanganan depresi paska melahirkan adalah
sama seperti depresi non puerperal, baik untuk golongan trisiklik maupun golongan
SSRI. Lama pemberian antidepresan untuk episode pertama depresi paska melahirkan
sama dengan depresi non puerperal yaitu antara 9 sampai 12 bulan.
Selain pemberian antidepresan, dapat ditambahkan benzodiazepine apabila
terdapat gejala seperti cemas dan agitasi.
Apabila dengan psikoterapi dan farmakoterapi belum memberi hasil yang
memuaskan, ada baiknya pasien dirawat inap untuk mendapatkan penanganan yang lebih
intensif. Satu penelitian menyebutkan bahwa pemberian ECT (Electro Convulsive
therapy) memberi hasil yang baik.
Ditemukan 1 penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) tentang keefektifan
fluoxetine dibandingkan dengan placebo, dengan 1 dan 6 sesi konseling kognitif-perilaku,
dan dengan kombinasi fluoxetine dan 1 dan 6 sesi konseling kognitif-perilaku dalam
memperbaiki depresi paska melahirkan. Hasilnya ketiga modalitas terapi efektif
memperbaiki gejala depresi. Tidak terlihat perbaikan yang lebih baik pada terapi
19
kombinasi dibandingkan terapi tunggal. Tetapi penelitian ini memiliki kelemahan karena
tidak mencakup sampel ibu yang menyusui.
Cohen et al (2001) dalam penelitiannya tentang penggunaan venlavaxine sebagai
terapi depresi paska melahirkan mendapatkan hasil bahwa venlavaxine efektif sebagai
terapi depresi paska melahirkan dengan gejala bermakna. Kebanyakan pasien mulai
mendapatkan perbaikan gejala setelah 2 minggu, dan perbaikan tampak bermakna dalam
4 minggu, sampai akhirnya mencapai remisi. Venlavaxine juga dapat menurunkan gejala
kecemasan pada pasien.
3. Terapi Hormonal
Hubungan depresi paska melahirkan dengan kelahiran bayi memunculkan
pemikiran bahwa penyakit paska melahirkan mungkin dipicu oleh perubahan postnatal
pada sistem neuroendokrin reproduksi wanita. Tetapi penelitian tentang hal ini masih
sangat sedikit, dan adanya abnormalitas pada aksis gonadal wanita belum teridentifikasi.
Tetapi terdapat bukti-bukti bahwa beberapa wanita mengalami depresi paska melahirkan
sebagai akibat sensitifitas terhadap efek disfori karena perubahan konsentrasi steroid
gonadal yang sangat cepat.
Bloch et al (2000) melakukan penelitian tentang keterlibatan hormon reproduktif
estrogen dan progesteron terhadap terjadinya depresi paska melahirkan. Hasilnya
ditemukan bahwa terdapat sebagian wanita yang memiliki sensitifitas berbeda terhadap
hormon reproduksi, dimana terjadinya peristiwa perubahan endokrin normal pada
kelahiran bayi pada kelompok wanita ini dapat menimbulkan episode depresi. Mereka
mungkin memberi respon berbeda terhadap terjadinya reduksi kadar plasma steroid
gonadal yang sangat cepat. Kesensitifan tersebut mungkin merupakan suatu fenomena
karakteristik.
Penelitian ini tidak dapat membedakan antara efek terjadinya penurunan drastis
hormon dan keadaan hipogonadisme. Gejala akibat penurunan drastis steroid gonadal dan
terjadinya perbaikan gejala pada wanita dengan riwayat depresi paska melahirkan
sepanjang bulan saat terjadinya penurunan drastis saat masih dalam keadaan hipogonad
menunjukkan bahwa hipogonadisme tidak terlalu berperan sebagai pemicu depresi.
Penemuan ini juga menyatakan bahwa efikasi estrogen dalam mengobati atau mencegah
20
rekurensi depresi paska melahirkan berasal dari prevensi penurunan drastis estrogen yang
terjadi tiba-tiba.
Beberapa mekanisme dapat mendasari terjadinya gejala depresi dalam penelitian
ini. Steroid gonadal berfungsi sebagai neuromodulator utama yang mengubah aktivitas
sistem neurotransmiter sistem saraf pusat, yang berdampak pada regulasi mood dan
gangguan mood. Dengan adanya efek neuromodulator steroid gonadal dan absennya
kadar hormon abnormal pada wanita depresi paska melahirkan, keadaan depresi tersebut
dapat menunjukkan terjadinya suatu defisiensi homeostasis yaitu kegagalan untuk
berkompensasi terhadap perubahan neuroregulatori yang dipicu oleh perubahan kadar
steroid gonadal yang besar (tetapi normal)-atau menunjukkan suatu perubahan signal
steroid intraseluler.
Satu abstrak penelitian tentang faktor risiko hormonal pada wanita paska
melahirkan mendapat hasil bahwa kadar progesteron paska melahirkan dan kadar
prolaktin antenatal berhubungan bermakna dengan kejadian depresi paska melahirkan
pada 6 bulan. Wanita dengan kadar progesteron rendah pada masa segera setelah
melahirkan cenderung mengalami depresi pada 6 bulan paska melahirkan.
Hasil penelitian di atas berlawanan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh
Abou-Saleh et al tahun 1998. Penelitian ini menyebutkan bahwa wanita paska melahirkan
memiliki kadar kortisol, prolaktin, tiroksin, dan estrogen yang lebih tinggi bermakna
dibandingkan wanita non puerperal. Wanita depresi paska melahirkan memiliki kadar
prolaktin plasma yang lebih rendah bermakna dibandingkan wanita non depresi paska
melahirkan. Wanita yang mengalami depresi dalam 6-10 minggu setelah melahirkan
memiliki kadar prolaktin plasma lebih rendah dan kadar progesteron lebih tinggi
bermakna dibandingkan wanita non depresi. Kadar tiroksin lebih tinggi memprediksi
gejala yang lebih berat, sedang kadar progesteron yang lebih tinggi dan kadar prolaktin
yang lebih rendah memprediksi terjadinya depresi 6-10 minggu paska melahirkan.
Terdapat hipotesis lain bahwa penurunan konsentrasi Corticothropine-Releasing
Hormone (CRH) dalam beberapa jam paska melahirkan mungkin berperan dalam
terjadinya depresi paska melahirkan. Tetapi hal ini berlawanan dengan data yang telah
ada yang menyatakan bahwa pada pasien-pasien depresi terjadi hipersekresi CRH di
sistem saraf pusat.
21
Satu abstrak penelitian menyatakan bahwa terjadi perubahan dramatis pada sistem
Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) dalam masa transisi dari kehamilan menuju paska
melahirkan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terjadinya disregulasi aksis HPA pada
wanita depresi paska melahirkan, yang tidak terjadi pada wanita non depresi paska
melahirkan. Pada wanita depresi paska melahirkan terdapat pola kadar ACTH yang
meningkat untuk menstimulasi kortisol yang lebih sedikit, yang menyerupai kejadian
pada wanita yang mengalami stres awal. Pada wanita depresi paska melahirkan
didapatkan tidak ada hubungan antara kadar ACTH dan kortisol, dimana kadar ACTH
wanita depresi paska melahirkan lebih tinggi dibandingkan wanita non depresi paska
melahirkan, sedang kadar kortisol wanita depresi paska melahirkan lebih rendah
dibandingkan wanita non depresi paska melahirkan. Pada wanita non depresi paska
melahirkan, kadar kortisol meningkat seiring peningkatan ACTH.
22