You are on page 1of 22

HAND OUT

GANGGUAN JIWA PASKA PERSALINAN

Untuk Mahasiswa Kedokteran UMY


Blok Reproduksi

Oleh:
dr. Warih Andan Puspitosari, MSc, SpKJ
Lama kuliah : 1 jam pertemuan

Learning Objectif :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang macam-macam gangguan jiwa paska
persalinan
2. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang factor risiko gangguan jiwa paska
persalinan
3. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang diagnosis gangguan jiwa paska persalinan
4. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang penatalaksanaan gangguan jiwa paska
persalinan

Gangguan emosi pasca persalinan dilaporkan terjadi pada 20-40 % ibu melahirkan.
Adapun gangguan suasana perasaan pada masa Post Partum diklasifikasikan menjadi 3
kategori yaitu :
1. Postpartum blues ( 30-85%)
Onset pada minggu pertama
Adanya mood yang labil, kesedihan, insomnia dan kecemasan
2. Non psychotic postpartum depression (10-15%)
Onset biasanya tersembunyi, dalam 2 atau 3 bulan pertama
Mood yang depresif, kecemasan berlebihan dan insomnia
3. Puerperal psychosis (0,1-0,2%)
Onset biasanya dalam 2-4 minggu pertama
Agitasi dan iritabilitas, mood depresi atau euforia, delusi, depersonalisasi,
tingkah laku yang tidak terorganisir

Variabel Demografik

Usia

Status perkawinan

Jumlah anak

Tingkat pendidikan

Status sosial ekonomi.

Etiologi
1. Variabel demografik. Ada kaitan yang jelas antara semua jenis penyakit psikiatrik
postpartum dengan riwayat gangguan suasana perasaan pada wanita.
2. 70% wanita yang pernah mengalami episode psikosis puerperalis akan mengalami
episode lain pada kehamilan selanjutnya.
3. Faktor psikososial
4. Riwayat penyakit Psikiatrik
5. Faktor hormonal

Gambaran Klinis dan Diagnosis


Menurut DSM IV penyakit psikiatrik pospartum bisa diindikasikan adanya postpartum
onset specifier

DSM IV Kriteria untuk Postpartum Onset Specifier


Dipastikan bila:

Dengan serangan postpartum (dapat diterapkan pada depresi mayor terkini,


manik, atau episode campuran pada gangguan depresi mayor, gangguan afektif
bipolar I, II atau gangguan psikotik jangka pendek)

Munculnya gejala dalam 4 minggu pertama setelah melahirkan

Postpartum Blues

Gejala depresi ringan pada satu minggu pertama setelah melahirkan

Prevalensinya 30-85%

Gejala bervariasi al: diforia, mood labil, udah sedih, cemas dan sulit tidur.

Gejala memuncak pada hari ke 4 atau ke 5 dan hilang spontan hari ke 10.

Postpartum Blues

Pada umunya ringan dan singkat

Sebagian kasus tidak memberikan gambaran psikopatologis

Sebagian akan berkembang menjadi depresi mayor pada wanita yang sebelumnya
mengalami episode penyakit afektif.

PostpartumDepression

Depresi mayor biasa dijumpai selama masa postpartum.

Terdapat 10-15% kasus depresi mayor dan minor pada post partum.

Sebagian besar muncul bertahap setelah 6 bulan pasca melahirkan.

Pada umumnya sulit dibedakan ggn depresi mayor non psikotik yang biasa
muncul kapan saja setelah melahirkan.

Psikosis Pueperalis

Bentuk terberat dari penyakit psikiatri postpartum

Jarang terjadi

Munculnya dramatis secepat-cepatnya 48-72 jam setelah melahirkan.

Sebagian besar gejala pada 3 minggu sampai -4 minggu pertama setelah


melahirkan.

Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)

Untuk mendeteksi adanya depresi posnatal pada ibu.

Terdiri atas 10 pertanyaan.

Untuk membantu klinisi mengenali gejala dini depresi posnatal

Diagnosa Banding

Hipotiroidisme

Eksaserbasi dari penyakit psikitrik masa lalu

Penyakit psikiatrik yang mungkin muncul pertama kali pada masa postpartum

Skizofrenia atau skizoafektif

Kecemasan umum

Perjalanan penyakit dan prognosis

Durasi bervariasi

Sering singkat dan berakhir 3 bulan

Episode depresi cenderung lebih lama

Lebih parah bila ada riwayat depresi mayor sebelumnya.

Perawatan
Postpartum Blues

Ringan dan sembuh sendiri

Tidak ada perawatan khusus

Perlu dukungan emosional

Bila menetap lebih 2 mingguperlu konsultasi psikiatrik

Depresi Postpartum

Sedikit penelitian ttg manfaat terapi farmakologis

Tidak ada data yang menyebutkan bahwa depresi postpartum harus dikelola beda
degan depresi mayor non puerperalis.

Perawatan

Terapi Non Farmakologis

Terapi Farmakologi

Rawat Inap

Terapi Non Farmakologi

Psikoterapi Interpersonal

Cognitive behavioral therapy

Terapi Farmakologik

Disesuaikan dengan respon pasien.

Fluoxetin - SSRIs terapi lini pertama

Jenis trisiklik juga sering digunakan.

Bila ada kecemasan Benzodiazepin sangat membantu: klonazepam (Klonopin),


lorazepam (Ativan)

Efek pada bayi

Anti depresan akan diekskresikan melalui ASI .

Data: komplikasi ok obat trisiklik fluoxetine dan sertaline untuk bayijarang


dijumpai.

Efek jangka panjang, belum diketahui.

Terapi Hormonal

Pada masa post partum terjadi penurunan estrogen dan progesteron yang luar
biasa.

Penggunaan progesteron sebagai terapi tidak didukung data yang akurat.

A.J. Gregoire: terapi estrogen eksogen memberikan efek yang menguntungkan


pada depresi post partumbelum jelas

Pada depresi sedang-berat, pengobatan lini pertama adalah antidepresan.

Psikosis Puerperalis

Merupakan kegawat daruratan psikiatri

Adanya hubungan yang jelas antara psikosis puerperalis dg ggn afektif bipolar

Terapi yg digunakananti psikotik dan mood stabilizer

Sebagian besar diterapi dengan lithium karbonat, jenis yang lain belum diketahui
jelas.

TKL cukup efektif.

Berapa lama pemberian terapi ?

Kontroversi

Penghentian pengobatan setelah gejala hilang.

Dilanjutkan sampai 1 tahun setelah melahirkan.

Pengunaan mood stabilizer dilanjutkan meskipun gejala aktif sudah tdk ada.

Lama pemberian mood stabilizer masih kontroversi

Pencegahan

Dasar profilaksi kelompok resiko.

Apabila ada riwayat penyakit psikiatrik, pertimbangkan profilaksi.

Faktor Resiko

Dengan riwayat
- depresi post partum
- ggn siklotimik
- depresi post partum
- depresi mayor rekuren
- depresi selama kehamilan
- dg riwayat ggn afektif bipolar I dan II
- dg riwayat psikosis puerperalis.

PENGOBATAN UNTUK WANITA HAMIL DAN MENYUSUI


1. Menghindari pemberian obat pada wanita hamil terutama trimester 1 dan wanita
yang sedang menyusui anaknya.
2. Dua obat yang paling teratogenik adalah lithium dan anti konvulsan
Lithiumanomali Ebstain (kel.perkembangan jantung)
3. Terapi ECT lebih disukai.
4. Hampir semua obat psikotropik diekskresikan dalam ASI.

BENZODIAZEPIN PADA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI

Data: Benzodiazepin adalah teratogenik

Pemakain pada trimester 3 mencetuskan gejala putus obat pada neonatus.

Bila diekskresikan pada air susu dapat menyebabkan dispnea, bradikardia dan
mengantuk pada bayi yang disusui.

CARBAMAZEPIN PADA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI

Bukti: spina bifida pada bayi mungkin berhubungan dengan pemakaian


carbamazepin pada waktu kehamilan.

Diekskresikan pada air susu mutlak tidak boleh diberikan.

ANTI PSIKOTIK PADA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI

Sebaiknya dihindari selama kehamilan terutama trimester 1, kecuali manfaat


melebihi resikonya.

Beberapa data menyebutkan AP selama kehamilan dapat menyebabkan


penurunan rec. dopamin pada neonatus, peningkatan kolesterol, dan kemungkinan
ggn prilaku.

AP pada trimester 2 dan 3, AP relatif aman.

Data pada binatang: risperidone dan ramoxipride relatif aman untuk wanita hamil,
tetapi untuk manusia tidak ada data klinis.

Lithium

10% neonatus yang terpapar lithium dlm trimester 3mengalami transformasi


kongenital berat.

Jika terpaksa menggunakan lithium, dipakai dosis efektif terendah.

Lithium harus dihentikansegera sblm pesalinan, dan dimulain lagi bila ada ggn
mood pasca persalinan.

Lithium tdk boleh pada wanita menyusui.

Tanda toksisitas lithium pada bayi: letargi, sianosis, reflek abnormal dan kadangkadang hepatomegali.

Terapi Interpersonal jangka pendek

Dengan penelitian kohortpada depresi non puerpealisuntuk mengatasi akut


depresi.

Tujuan: untuk mengatasi masalah sbb:


-masa transisi
-hubungan dengan pasangan

-interaksi dengan bayi.

Penelitian terbaru, tx interpersonal efektif untuk depresi mayor post partum baik
ringan ataupun sedang.

Psikoterapi pada depresi

Psikoterapi Individual/interpersonal berorientasi dinamis jangka pendek

Tekhnik terapi berdasarkan masalah

Tujuan : mengurang gejala dan memperbaiki fungsi selama fase akut


episode depresi

Tekhnik : mengajarkan tentang perjalanan alami penyakit, penentraman


hati

Fokus: pengalaman antar pribadi pasien, rx dapat memberi pandangan


sosial baru untuk mencari jalankeluar

Cognitive behavioral therapy

Pada uji klinik menggunakan plasebo sebagai kontrol:

Pada depresi post partum sama efektifnya dengan terapi farmakologik


yang menggunakan fluoxetin (Prozac)

Cognitive Behavioral Therapy

Berorientasi pada masalah sekarang dan pemecahannya

Tekhnik: mendapatkan pemikiran otomatis;

Contoh: bila orang tahu kebusukan saya, orang akan mentertawakan saya.

Menguji pikiran otomatis meninjau keseluruhan dan mencoba


menghubungi kembali kesalahan/penyebab peristiwa yang tidak
mengenakkan

Mengidentifikasi asumsi maladaptif.

Teknik Relaksasi
- dengan khayalan mental mengkhayal dirinya sendiri didalam tempat yang

berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan.

- menghasilkan efek fisiologis yang berlawan dengan kecemasan, yaitu kecepatan


denyut jantung yang lambat, peningkatan aliran darah perifer.

INDIKASI ECT

Depresi Mayor:

Terapi plg efektif

Bermakna pada 70% pasien yang sebelumnya tidak mendpat


terapi.

Pada individu yang tidak berespon pada medikasiperbaikan


signifikan dengan ECT.

Ect sbg pilihan awal untuk pasien depresi

ES relatif tidak ada.

Pemberian ECT pemeliharaan memberi hasil yang baik.

Indikasi ECT

Manik

80% individu menunjukkan remisi penuh/sebagian

ECT dilakukan sampaikemajuan simptomatik stabil

ECT harus dipertimbangkanlebih awaluntuk pasien dengan gangguan


bipolar

LAMPIRAN

DEPRESI POST PARTUM


dr. Jenny Maria, SpKJ

Masa setelah melahirkan bagi para wanita hamil dan keluarga sangat diharapkan
menjadi masa-masa yang membahagiakan dengan kehadiran anggota keluarga yang baru
lahir. Namun demikian, setelah melahirkan, sebagian wanita akan mengalami gangguan
suasana hati paska melahirkan. Salah satu gangguan suasana hati paska melahirkan di
dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah depresi paska melahirkan. Hal ini sering
tidak disadari pertama karena gejalanya mirip dengan gejala ketidaknyamanan pada masa
puerperium seperti kelelahan, sulit tidur, dan penurunan libido; kedua karena
pengetahuan yang minim dari wanita dan keluarganya tentang gejala-gejala depresi; dan
ketiga karena wanita dan keluarganya salah menanggapi sakit mental sebagai
ketidakmampuan beradaptasi dengan berkurangnya waktu tidur, kehadiran anak yang
baru lahir, dan kedudukan sebagai orang tua. Dengan adanya alasan-alasan di atas
ditambah dengan adanya stigma sosial, wanita paska melahirkan segan mengeluhkan
perubahan suasana hati yang dirasakannya, dan tidak mengonsultasikan dirinya pada
tenaga-tenaga kesehatan.
Depresi paska melahirkan merupakan masalah kesehatan utama yang mengenai
sekitar 13% ibu baru menurut penelitian yang diadakan di negara Australia, Inggris,
Amerika, dan China. Penelitian meta-analisis di tempat-tempat lain juga menunjukkan
rata-rata prevalensi depresi paska melahirkan sebesar 13%. Penelitian dengan sampel
internasional dari 9 negara di 5 benua mendapatkan hasil bahwa wanita di Eropa dan
Australia menduduki tingkat terendah depresi paska melahirkan, diikuti oleh wanita di
Amerika Serikat. Wanita Asia dan Amerika Selatan menunjukkan skor gejala depresi
paska melahirkan yang tertinggi.
Untuk prevalensi depresi paska melahirkan di Indonesia belum diketahui dengan
pasti. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien paska melahirkan di bangsal kandungan
dan kebidanan di RS DR Sardjito Yogyakarta pada bulan Oktober-Desember 1996
mendapatkan prevalensi depresi berat 0,5%, depresi sedang 1,9%, dan depresi ringan

10

11,3%8. Sebuah penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2000 di tempat yang sama
mendapatkan hasil depresi ringan 63,33% dan depresi sedang 8,33% pada pasien paska
melahirkan.
Depresi paska melahirkan merupakan kondisi yang berdampak besar pada
kehidupan keluarga

karena

sosok ibu memiliki peran besar bagi kelangsungan

kehidupan berkeluarga. Kondisi ini terutama mengganggu kapasitas wanita dalam


mengasuh anak yang nantinya dapat berdampak buruk pada perkembangan emosi dan
kognisi anak. Selain itu, kondisi ini dapat menyebabkan terganggunya keharmonisan
keluarga. Pasangan dari wanita yang mengalami depresi paska melahirkan akan
mengalami gangguan dalam hubungan dengan pasangannya, beban finansial, dan
peningkatan gejala depresi bagi diri mereka sendiri. Bagi wanita yang mengalami,
terjadinya depresi paska melahirkan dapat mengakibatkan tindakan melukai diri sendiri
bahkan bunuh diri.
Dengan alasan-alasan di atas, selain langkah prevensi dan identifikasi awal,
penanganan efektif terhadap depresi paska melahirkan sangat diperlukan, sehingga dapat
mengurangi berat dan lamanya kondisi sakit, serta dapat memperbaiki kualitas hubungan
antara ibu, anak, dan keluarga.
Di masa lalu penanganan terhadap depresi paska melahirkan tidak terlalu banyak
diteliti karena para klinisi memandang gejalanya menyerupai depresi non puerperal
sehingga dipandang penanganannya pun sama. Tetapi sejak munculnya pemikiran
tentang penggunaan steroid seks sebagai terapi depresi paska melahirkan, maka mulai
banyak penelitian dilakukan tentang penanganan depresi paska melahirkan. Selain itu,
dalam penanganan depresi paska melahirkan perlu juga memperhatikan kekuatiran ibu
akan efek samping pengobatan terhadap anak mereka.
Sampai

saat

ini,

penelitian-penelitian

epidemiologis

secara

konsisten

menunjukkan bahwa faktor etiologi depresi paska melahirkan yang tak kalah penting
adalah faktor psikososial selain faktor lainnya seperti

faktor biologi. Penelitian-

penelitian epidemiologis dan meta-analisis terhadap faktor-faktor predisposisi telah


berhasil mengetahui pentingnya faktor psikososial

sebagai faktor risiko terjadinya

gangguan depresi paska melahirkan. Dalam beberapa penelitian didapatkan hasil


perbaikan gejala yang lebih baik bila mana faktor-faktor psikososial yang mendasari telah

11

teratasi. Hasil dari penelitian analisis subgrup juga menunjukkan bahwa mengidentifikasi
ibu dengan faktor risiko dapat membantu mencegah terjadinya gangguan depresi paska
melahirkan.
Terbatasnya jumlah tenaga kerja kesehatan mental di negara berkembang dan
terbatasnya

pengetahuan

tenaga-tenaga

kesehatan

tentang

kesehatan

mental

menyebabkan gejala-gejala maupun faktor-faktor risiko yang dapat menimbulkan


gangguan depresi paska melahirkan tersebut sering tidak dikenali.

Definisi dan Gejala Klinis Depresi Paska Melahirkan


Berdasarkan kriteria DSM-IV-TR, yang disebut dengan depresi paska melahirkan
adalah gangguan suasana hati yang timbul pada empat minggu pertama paska
persalinan12,15,17. Dalam PPDGJ III, gangguan jiwa dan perilaku paska melahirkan
digolongkan dalam Gangguan Jiwa dan Perilaku yang Berhubungan dengan Masa Nifas
YTK, dengan kode F53. Klasifikasi ini hanya digunakan untuk gangguan jiwa yang
berhubungan dengan masa nifas (yang timbul dalam 6 minggu setelah persalinan), yang
tidak memenuhi kriteria gangguan lain dalam buku ini, karena tidak tersedia cukup
informasi yang memadai atau karena dianggap terdapat gambaran klinis tambahan yang
khusus sehingga klasifikasi di tempat lain tidak tepat. Depresi paska melahirkan sendiri
termasuk ke dalam Gangguan Jiwa dan perilaku Ringan yang Berhubungan dengan Masa
Nifas YTK, dengan kode F53.0.
Gejala-gejala klinis gangguan depresi paska melahirkan yang sering dijumpai
antara lain suasana hati yang terdepresi, perasaan tidak berguna, rasa bersalah yang
berlebihan, sering menangis, sulit berkonsentrasi, gangguan tidur (baik berupa insomnia
maupun hipersomnia), hilangnya energi atau perasaan mudah lelah, hilangnya minat,
perubahan berat badan, penurunan libido, dan yang paling parah adalah adanya pikiran
untuk mati atau bunuh diri.
Gejala-gejala klinis di atas seperti perubahan berat badan, hilangnya energi, dan
gangguan tidur merupakan keluhan-keluhan normal yang dialami oleh para wanita
setelah melahirkan, sehingga tak jarang gejala tersebut dianggap wajar dan tidak
mendapat perhatian khusus.

12

Faktor Risiko Psikososial


Berdasarkan pencarian tinjauan pustaka secara sistematis di beberapa database
internet, diidentifikasikan beberapa abstrak dan makalah lengkap penelitian yang
membahas tentang faktor-faktor risiko depresi paska melahirkan. Didapatkan pula
makalah penelitian meta-analisis terhadap penelitian-penelitian tentang faktor risiko
depresi paska melahirkan.
Satu penelitian meta-analisis terdahulu terhadap 44 penelitian tahun 1980-an
tentang faktor risiko depresi paska melahirkan, didapatkan faktor risiko terkuat depresi
paska melahirkan adalah depresi prenatal. Faktor risiko dengan kekuatan sedang antara
lain stres dalam merawat anak, stres kehidupan, dukungan sosial, cemas prenatal,
maternity blues, dan kepuasan terhadap pernikahan. Sedang faktor risiko dengan
kekuatan yang kecil adalah adanya riwayat depresi. Satu tambahan faktor risiko yang
didapat dari penelitian meta-analisis tambahan yang dilakukan oleh peneliti yang sama
adalah temperamen bayi.
Penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh peneliti lain mendapatkan faktorfaktor risiko terkuat depresi paska melahirkan sebagai berikut, yaitu depresi prenatal,
kecemasan prenatal, dukungan sosial, kejadian hidup, dan riwayat psikopatologi.
Terdapat 3 faktor risiko lain dengan kontribusi kecil terhadap terjadinya depresi paska
melahirkan, yaitu kecemasan, pola kognitif negatif, dan variabel obstetrik. Hasil metaanalisis ini menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan faktor risiko depresi paska
melahirkan dengan hasil meta-analisis yang dilakukan peneliti lain seperti tersebut di
atas.
Kumar dan Robson (1984) dalam penelitian tentang gangguan emosional pada ibu
paska melahirkan mendapatkan hasil bahwa adanya konflik pernikahan dan keraguan
dalam memiliki anak berhubungan dengan kejadian depresi. Rasa sedih dan kelahiran
preterm merupakan 2 faktor yang berhubungan dengan onset depresi, dengan faktor rasa
sedih memiliki efek lebih besar selama kehamilan. Hasil ini menunjukkan faktor risiko
yang sama yang tercakup dalam meta-analisis di atas.
Penelitian-penelitian yang dilakukan di Amerika pada tahun 1990-an tentang
faktor risiko depresi paska melahirkan mendapatkan hasil faktor-faktor risiko bermakna

13

terhadap terjadinya depresi paska melahirkan antara lain riwayat depresi, depresi saat
kehamilan, kejadian hidup yang negatif, kurangnya dukungan sosial dari keluarga dekat,
konflik pernikahan, dan adanya gangguan psikiatri lain. Cooper dan Tomlinson (1999)
melakukan penelitian di lingkungan pinggir kota di Afrika Selatan untuk melihat kejadian
depresi paska melahirkan di salah satu negara berkembang. Hasilnya menunjukkan
bahwa depresi paska melahirkan berhubungan dengan dukungan praktis dan emosional
yang buruk dari pasangan, dan hubungan yang buruk antara ibu dan anaknya. Satu
penelitian di Yogyakarta, Indonesia menemukan bahwa stresor psikososial yang
berhubungan dengan depresi paska melahirkan adalah peristiwa kehidupan. Ditemukan
juga adanya perbedaan faktor sosial budaya antara subyek depresi dan non depresi,
dimana subyek depresi kebanyakan tidak memilih sendiri suaminya, kehamilannya tidak
dikehendaki, dan mengalami kegagalan KB.
Sejak penelitian meta-analisis terdahulu, dipandang telah terjadi perubahan atau
penambahan faktor risiko depresi paska melahirkan. Dalam meta-analisis yang dilakukan
Beck (2001) terhadap 84 penelitian dekade 1990-an tentang faktor risiko depresi paska
melahirkan ingin diketahui apakah faktor-faktor risiko yang ditemukan dalam metaanalisis sebelumnya telah mengalami perubahan atau penambahan, dan ingin diketahui
kekuatan faktor-faktor risiko terdahulu tersebut terhadap terjadinya depresi paska
melahirkan.
Hasilnya menyebutkan terdapat 13 faktor risiko bermakna yang berhubungan
dengan depresi paska melahirkan. Adapun ke-13 faktor risiko tersebut dengan urutan
effect size dari terbesar sampai terkecil adalah sebagai berikut: depresi prenatal, nilai diri,
stres dalam perawatan anak, kecemasan prenatal, stres kehidupan, dukungan sosial,
hubungan dalam perkawinan, riwayat depresi sebelumnya, temperamen bayi, maternity
blues, status pernikahan, status sosial ekonomi, dan kehamilan yang tidak direncanakan
atau diinginkan.
Tiga dari 13 faktor risiko tersebut memiliki effect size yang kecil, yaitu status
pernikahan, status sosioekonomi, dan kehamilan yang tidak direncanakan atau
diinginkan. Kesepuluh faktor risiko lainnya memiliki effect size yang sedang.
Dalam meta-analisis ini terungkap 4 faktor risiko baru, dimana 2 diantaranya
merupakan faktor demografik, yaitu status pernikahan dan status sosioekonomi. Wanita

14

yang cenderung tidak menikah dan berpenghasilan rendah berisiko mengalami depresi
paska melahirkan dan mengalami stresor seperti kesulitan finansial, berkaitan dengan
status demografik mereka-yang akan mengalami eksaserbasi setelah kelahiran anak. Ibu
dengan status single dan berpenghasilan rendah ini hanya memiliki sumber atau
dukungan minimal sehingga mereka kurang terbantu dalam memasuki tahapan menjadi
seorang ibu.
Dua faktor risiko lainnya adalah kehamilan yang tidak direncanakan atau
diinginkan dan nilai diri. Wanita dengan kehamilan yang tidak direncanakan harus
beradaptasi dengan kondisi barunya yang akan berpengaruh sepanjang hidup. Nilai diri
merupakan barrier terhadap akibat-akibat negatif dari stres kehidupan. Wanita dengan
nilai diri yang rendah kurang dapat bertahan terhadap stres kehidupan, terutama di masa
paska melahirkan yang merupakan masa rapuh untuk nilai diri, apalagi bila ditambah
dengan adanya depresi.
Ditemukan beberapa penelitian lain tentang faktor risiko demografik yang
menyebutkan adanya faktor-faktor risiko depresi paska melahirkan selain faktor-faktor
risiko yang tersebut dalam meta-analisis di atas. Pfost et al (1990) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa kesulitan dalam kehamilan dapat memprediksi tingkat depresi paska
melahirkan, dan stresor somatik dapat memicu gejala-gejala depresi yang bertahan
sampai setelah kelahiran anak, terutama pada wanita yang tidak menikah. Penelitian oleh
Warner et al (1996) menyebutkan adanya faktor-faktor risiko seperti tidak menyusui,
kehilangan pekerjaan setelah kehamilan, dan kepala keluarga yang tidak memiliki
pekerjaan. Penelitian di Yogyakarta, Indonesia menemukan pula adanya hubungan
bermakna antara faktor demografis dan pasien depresi paska melahirkan. Faktor
demografis tersebut mencakup banyaknya persalinan dan skor Apgar menit pertama.
Beberapa penelitian lain tentang faktor risiko depresi paska melahirkan dilakukan
setelah tahun 2000. Da Costa, Larouche, Drisa, dan Brender (2000) dalam penelitian
mereka mendapatkan hasil bahwa faktor prediktor depresi paska melahirkan yang terkuat
adalah depresi prenatal. Breese et al (2006) mendapatkan faktor-faktor risiko bermakna
terhadap terjadinya depresi paska melahirkan adalah status menyusui, merokok, dan
riwayat depresi. Satu penelitian yang dilakukan Yonkers dan Ramin (2001) di Amerika
terhadap ibu-ibu dengan etnis minoritas di sana yaitu etnis Latin dan African American

15

menemukan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan depresi paska melahirkan
adalah menyusui dengan botol dan tidak tinggal dengan pasangan atau keluarga dekat.
Gejala depresi yang menetap dalam penelitian ini juga berkaitan dengan adanya anak lain
yang harus dirawat.
Hasil penelitian Pate, Rodrigues, dan DeSouza (2002) yang dilakukan di negara
berkembang di Asia Selatan yaitu India semakin menegaskan peranan hubungan
pernikahan yang buruk dan adanya gangguan psikiatri antenatal dengan terjadinya
depresi paska melahirkan. Ditegaskan pula peranan variabel kemiskinan seperti adanya
kelaparan dan tingkat pendidikan yang rendah. Sebagai tambahan, dengan adanya setting
kultural dalam penelitian ini, terdapat faktor risiko bermakna terkait faktor jender, yaitu
adanya keinginan mendapatkan anak lelaki lebih dari anak perempuan dan adanya
kekerasan dalam rumah tangga. Faktor risiko ini mungkin hanya ditemukan di negaranegara berkembang, seperti nyata pada hasil-hasil penelitian di atas di negara-negara
maju yang tidak menyebutkan faktor risiko jender.

Penatalaksanaan Depresi Paska Melahirkan


Penatalaksanaan depresi paska melahirkan secara umum sama dengan
penatalaksanaan

depresi non puerperal. Secara garis besar, penatalaksanaan depresi

paska melahirkan terdiri dari psikoterapi dan farmakoterapi. Kedua modalitas terapi
tersebut dapat digunakan sendiri-sendiri atau secara kombinasi. Masing-masing modalitas
tersebut diketahui tidak ada yang lebih baik antara satu dan lainnya.

1. Psikoterapi
Psikoterapi sering digunakan sebagai terapi lini pertama dalam penatalaksanaan
depresi paska melahirkan, karena banyak ibu yang lebih memilih menggunakan terapi ini
dikarenakan adanya kemungkinan efek samping pada bayi bila ibu mengonsumsi
antidepresan. Jenis psikoterapi yang paling sering digunakan adalah psikoterapi
interpersonal. Psikoterapi interpersonal sesuai untuk wanita paska melahirkan karena
fokus pada hubungan interpersonal pasien dan adanya perubahan peran ibu dari sebelum
melahirkan menuju paska melahirkan. Terapi interpersonal ini dapat dilakukan pada
individu ataupun dalam bentuk terapi kelompok. Dalam terapi kelompok, pasien juga

16

mendapat keuntungan lain seperti dapat berbagi dengan sesama pasien yang mengalami
hal yang sama. Penelitian tentang terapi kelompok pada wanita depresi paska melahirkan
mendapatkan hasil bahwa terapi kelompok dengan komponen edukasional, dukungan
sosial, dan terapi kognitif-perilaku efektif sebagai terapi depresi paska melahirkan. Tetapi
sampel dalam penelitian ini sangat kecil.
Bentuk psikoterapi lain selain psikoterapi interpersonal antara lain terapi suportif
dan terapi kognitif-perilaku. Jika terjadi konflik marital, dapat dilakukan konseling
marital dengan pasangan, dan perlu dilakukan edukasi terhadap pasangan dan keluarga
dekat pasien tentang perjalanan penyakit dan pengobatan. Psikoterapi dapat dilakukan
oleh psikiater, perawat, petugas kesehatan lain, atau konselor.
Ditemukan beberapa penelitian tentang penggunaan psikoterapi sebagai
penatalaksanaan depresi paska melahirkan. Murray, Cooper, Wilson, dan Romaniuk
(2003) dalam penelitiannya menggunakan 3 metode untuk melihat pengaruhnya pada
hubungan ibu dan anak. Ketiga metode itu adalah konseling suportif tidak langsung,
terapi kognitif-perilaku, dan terapi psikodinamik singkat. Ketiga metode tersebut berhasil
memberi manfaat bermakna dalam mengatasi kesulitan hubungan antara ibu dan bayinya.
Metode konseling sendiri memberi tingkat emosional dan perilaku yang lebih baik dan
interaksi ibu dan anak yang lebih sensitif.
Penelitian lain tentang bentuk-bentuk terapi suportif memberi hasil yang
berlawanan. Dua penelitian berhasil menemukan dampak positif dukungan pasangan atau
teman sesama ibu untuk mengatasi depresi paska melahirkan ataupun sebagai prevensi.
Tetapi penelitian di Australia yang melibatkan 16 masyarakat rural dan metropolitan dan
pusat pelayanan primer dan berbasis komunitas gagal membuktikan pengaruh dukungan
sosial terhadap depresi paska melahirkan atau dalam memperbaiki kesehatan fisik ibu 6
bulan paska melahirkan.
Untuk terapi interpersonal, didapatkan 1 penelitian tentang implementasi terapi
interpersonal dalam setting intervensi kelompok atau pendampingan masyarakat. Dalam
penelitian ini didapatkan hasil bahwa 4 sesi terapi interpersonal berhasil mencegah
terjadinya depresi paska melahirkan pada wanita dengan tingkat finansial rendah.
Howard (2005) dalam makalahnya menyebutkan laporan-laporan penelitian
Randomized Controlled Trial (RCT) tentang penatalaksanaan depresi paska melahirkan.

17

Dalam makalah tersebut terdapat 2 penelitian RCT tentang efek konseling tidak langsung
terhadap depresi paska melahirkan. Terapi ini memberi perbaikan dibandingkan
perawatan primer rutin, bila dilakukan dalam jangka waktu pendek. Tetapi 1 RCT lain
menunjukkan hasil yang berlawanan.
Untuk terapi kognitif perilaku, 1 RCT mendapatkan hasil memberi perbaikan
dalam jangka waktu pendek bila dibandingkan dengan perawatan primer rutin, konseling
tidak langsung, atau terapi psikodinamika, tetapi tidak efektif bila diberikan dalam jangka
waktu panjang.
Masih dalam makalah yang sama, 1 RCT tentang terapi interpersonal
mendapatkan hasil terdapat perbaikan depresi paska melahirkan pada 12 minggu. Sedang
1 RCT tentang terapi psikodinamika mendapatkan hasil terdapat perbaikan dalam jangka
waktu pendek, tetapi tidak dalam jangka waktu panjang.

2. Farmakoterapi
Pada kasus-kasus depresi paska melahirkan yang persisten dan berat dengan
gejala-gejala seperti kesulitan merawat diri sendiri, kesulitan melakukan fungsi sebagai
ibu, dan adanya ide untuk melukai diri sendiri ataupun anaknya, diperlukan
farmakoterapi berupa antidepresan. Antidepresan yang banyak digunakan adalah
golongan trisiklik seperti imipramin, desipramin, amitriptilin, dan nortriptilin, dan
golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) seperti fluoxetine dan sertraline.
SSRI dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih disukai karena penggunaannya hanya
sekali sehari. Dosis fluoxetine 20 dan 40 mg aman digunakan untuk ibu menyusui. Kedua
golongan antidepresan tersebut (trisiklik dan SSRI) tidak kontraindikasi untuk
dikonsumsi selama ibu menyusui anaknya. Memang terdapat risiko bagi anak yang
menyusui pada ibu yang mengonsumsi antidepresan, karena belum matangnya sistem
fetal, lemak tubuh dan ikatan protein plasma lebih sedikit, hati dan ginjal belum
sempurna, dan sawar darah-otak belum terbentuk. Tetapi ternyata hanya sedikit efek
samping terjadi pada anak yang pernah dilaporkan sehingga dapat dikatakan bahwa bayi
dapat menoleransi paparan antidepresan. Hasil dari suatu penelitian bahkan menyatakan
bahwa fluoxetine dan sertraline tidak mempengaruhi kadar serotonin pada bayi

18

menyusui. Tetapi dianjurkan agar dilakukan pemeriksaan darah pada bayi setelah 6
minggu menyusui untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya akumulasi obat.
Newport, Hostetter, Arnold, dan Stowe (2002) dalam makalahnya menyatakan
bahwa pemeriksaan konsentrasi serum bayi merupakan standar emas dalam memeriksa
akumulasi obat pada bayi. Tetapi apabila rutin dilakukan akan tidak praktis. Disarankan
agar dalam waktu 7-9 jam setelah ibu minum obat (SSRI), ASI dikeluarkan dan dibuang.
Waktu 7-9 jam tersebut merupakan waktu tercapainya konsentrasi puncak untuk
kebanyakan obat SSRI. Dengan dibuangnya ASI semasa rentang waktu tersebut, dapat
memberi penurunan 17-20% paparan dosis harian total terhadap bayi.
Dalam hal ini belum dapat ditetapkan suatu petunjuk standar pengobatan
farmakologi untuk depresi paska melahirkan. Antidepresan dapat diteruskan pada ibu
yang menyusui, tetapi dengan hati-hati, harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti
beratnya gejala depresi, respon positif terhadap SSRI tertentu, dan komitmen ibu untuk
menyusui anaknya. Belum ada penelitian yang meneliti efek jangka panjang pada bayi
yang menyusui dari ibu yang mengonsumsi antidepresan.
Adapun dosis antidepresan untuk penanganan depresi paska melahirkan adalah
sama seperti depresi non puerperal, baik untuk golongan trisiklik maupun golongan
SSRI. Lama pemberian antidepresan untuk episode pertama depresi paska melahirkan
sama dengan depresi non puerperal yaitu antara 9 sampai 12 bulan.
Selain pemberian antidepresan, dapat ditambahkan benzodiazepine apabila
terdapat gejala seperti cemas dan agitasi.
Apabila dengan psikoterapi dan farmakoterapi belum memberi hasil yang
memuaskan, ada baiknya pasien dirawat inap untuk mendapatkan penanganan yang lebih
intensif. Satu penelitian menyebutkan bahwa pemberian ECT (Electro Convulsive
therapy) memberi hasil yang baik.
Ditemukan 1 penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) tentang keefektifan
fluoxetine dibandingkan dengan placebo, dengan 1 dan 6 sesi konseling kognitif-perilaku,
dan dengan kombinasi fluoxetine dan 1 dan 6 sesi konseling kognitif-perilaku dalam
memperbaiki depresi paska melahirkan. Hasilnya ketiga modalitas terapi efektif
memperbaiki gejala depresi. Tidak terlihat perbaikan yang lebih baik pada terapi

19

kombinasi dibandingkan terapi tunggal. Tetapi penelitian ini memiliki kelemahan karena
tidak mencakup sampel ibu yang menyusui.
Cohen et al (2001) dalam penelitiannya tentang penggunaan venlavaxine sebagai
terapi depresi paska melahirkan mendapatkan hasil bahwa venlavaxine efektif sebagai
terapi depresi paska melahirkan dengan gejala bermakna. Kebanyakan pasien mulai
mendapatkan perbaikan gejala setelah 2 minggu, dan perbaikan tampak bermakna dalam
4 minggu, sampai akhirnya mencapai remisi. Venlavaxine juga dapat menurunkan gejala
kecemasan pada pasien.

3. Terapi Hormonal
Hubungan depresi paska melahirkan dengan kelahiran bayi memunculkan
pemikiran bahwa penyakit paska melahirkan mungkin dipicu oleh perubahan postnatal
pada sistem neuroendokrin reproduksi wanita. Tetapi penelitian tentang hal ini masih
sangat sedikit, dan adanya abnormalitas pada aksis gonadal wanita belum teridentifikasi.
Tetapi terdapat bukti-bukti bahwa beberapa wanita mengalami depresi paska melahirkan
sebagai akibat sensitifitas terhadap efek disfori karena perubahan konsentrasi steroid
gonadal yang sangat cepat.
Bloch et al (2000) melakukan penelitian tentang keterlibatan hormon reproduktif
estrogen dan progesteron terhadap terjadinya depresi paska melahirkan. Hasilnya
ditemukan bahwa terdapat sebagian wanita yang memiliki sensitifitas berbeda terhadap
hormon reproduksi, dimana terjadinya peristiwa perubahan endokrin normal pada
kelahiran bayi pada kelompok wanita ini dapat menimbulkan episode depresi. Mereka
mungkin memberi respon berbeda terhadap terjadinya reduksi kadar plasma steroid
gonadal yang sangat cepat. Kesensitifan tersebut mungkin merupakan suatu fenomena
karakteristik.
Penelitian ini tidak dapat membedakan antara efek terjadinya penurunan drastis
hormon dan keadaan hipogonadisme. Gejala akibat penurunan drastis steroid gonadal dan
terjadinya perbaikan gejala pada wanita dengan riwayat depresi paska melahirkan
sepanjang bulan saat terjadinya penurunan drastis saat masih dalam keadaan hipogonad
menunjukkan bahwa hipogonadisme tidak terlalu berperan sebagai pemicu depresi.
Penemuan ini juga menyatakan bahwa efikasi estrogen dalam mengobati atau mencegah

20

rekurensi depresi paska melahirkan berasal dari prevensi penurunan drastis estrogen yang
terjadi tiba-tiba.
Beberapa mekanisme dapat mendasari terjadinya gejala depresi dalam penelitian
ini. Steroid gonadal berfungsi sebagai neuromodulator utama yang mengubah aktivitas
sistem neurotransmiter sistem saraf pusat, yang berdampak pada regulasi mood dan
gangguan mood. Dengan adanya efek neuromodulator steroid gonadal dan absennya
kadar hormon abnormal pada wanita depresi paska melahirkan, keadaan depresi tersebut
dapat menunjukkan terjadinya suatu defisiensi homeostasis yaitu kegagalan untuk
berkompensasi terhadap perubahan neuroregulatori yang dipicu oleh perubahan kadar
steroid gonadal yang besar (tetapi normal)-atau menunjukkan suatu perubahan signal
steroid intraseluler.
Satu abstrak penelitian tentang faktor risiko hormonal pada wanita paska
melahirkan mendapat hasil bahwa kadar progesteron paska melahirkan dan kadar
prolaktin antenatal berhubungan bermakna dengan kejadian depresi paska melahirkan
pada 6 bulan. Wanita dengan kadar progesteron rendah pada masa segera setelah
melahirkan cenderung mengalami depresi pada 6 bulan paska melahirkan.
Hasil penelitian di atas berlawanan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh
Abou-Saleh et al tahun 1998. Penelitian ini menyebutkan bahwa wanita paska melahirkan
memiliki kadar kortisol, prolaktin, tiroksin, dan estrogen yang lebih tinggi bermakna
dibandingkan wanita non puerperal. Wanita depresi paska melahirkan memiliki kadar
prolaktin plasma yang lebih rendah bermakna dibandingkan wanita non depresi paska
melahirkan. Wanita yang mengalami depresi dalam 6-10 minggu setelah melahirkan
memiliki kadar prolaktin plasma lebih rendah dan kadar progesteron lebih tinggi
bermakna dibandingkan wanita non depresi. Kadar tiroksin lebih tinggi memprediksi
gejala yang lebih berat, sedang kadar progesteron yang lebih tinggi dan kadar prolaktin
yang lebih rendah memprediksi terjadinya depresi 6-10 minggu paska melahirkan.
Terdapat hipotesis lain bahwa penurunan konsentrasi Corticothropine-Releasing
Hormone (CRH) dalam beberapa jam paska melahirkan mungkin berperan dalam
terjadinya depresi paska melahirkan. Tetapi hal ini berlawanan dengan data yang telah
ada yang menyatakan bahwa pada pasien-pasien depresi terjadi hipersekresi CRH di
sistem saraf pusat.

21

Satu abstrak penelitian menyatakan bahwa terjadi perubahan dramatis pada sistem
Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) dalam masa transisi dari kehamilan menuju paska
melahirkan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terjadinya disregulasi aksis HPA pada
wanita depresi paska melahirkan, yang tidak terjadi pada wanita non depresi paska
melahirkan. Pada wanita depresi paska melahirkan terdapat pola kadar ACTH yang
meningkat untuk menstimulasi kortisol yang lebih sedikit, yang menyerupai kejadian
pada wanita yang mengalami stres awal. Pada wanita depresi paska melahirkan
didapatkan tidak ada hubungan antara kadar ACTH dan kortisol, dimana kadar ACTH
wanita depresi paska melahirkan lebih tinggi dibandingkan wanita non depresi paska
melahirkan, sedang kadar kortisol wanita depresi paska melahirkan lebih rendah
dibandingkan wanita non depresi paska melahirkan. Pada wanita non depresi paska
melahirkan, kadar kortisol meningkat seiring peningkatan ACTH.

22

You might also like