You are on page 1of 23

LAPORAN KASUS

ANESTESI UMUM
Seorang Wanita Datang Dengan Keluhan Patah Tulang Selangka

Pembimbing :
dr. H. Sabur Nugraha, Sp. An
dr. Ucu Nurhadiat, Sp. An
dr. Ade Nurkacan, Sp. An

Penyusun:
Shinta Arumadina
030.10.254

Kepanitraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Karawang


Periode 2 Juni 5 Juli 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I

ILUSTRASI KASUS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 10

BAB III

PEMBAHASAN 22

BAB IV

KESIMPULAN . 26

DAFTAR PUSTAKA 27

BAB I
ILUSTRASI KASUS
Pemeriksaan pre operasi
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. Anih Binti Rohali
Usia
: 31 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Bekasi, 15 Juni 1982
Alamat
: Rawa kuda, karang harum, Rt. 01/ Rw. 01
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Pendidikan
: SLTA
Agama
: Islam
Status
: Sudah menikah
Nama suami
Pekerjaan
Pendidikan

: Mahfud
: Wiraswasta
: SLTA

No. CM
Ruang rawat
Tanggal masuk RS
Tanggal operasi

: 00542683
: Teluk jambe
: 11 Juni 2014
: 12 Juni 2014

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap pasien secara autoanamnesis di bangsal teluk jambe
RSUD Karawang pada tanggal 12 Juni 2014 pukul 07.30 WIB.
Keluhan utama
: patah pada tulang selangka kanan sejak 6 bulan SMRS.
Keluhan tambahan : nyeri seperti ditusuk di bahu kanan

Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang wanita datang ke RSUD Karawang pada tanggal 11 Juni 2014 dengan
keluhan utama patah tulang selangka tangan kanan sejak 6 bulan SMRS. Pasien
mengalami kecelakaan sampai terjatuh dari motor yang menyebabkan tulang selangka
tangan kanan patah. Setelah mengalami kecelakaan, pasien tidak langsung dibawa ke
rumah sakit melainkan dibawa ke tukang urut. Setelah diurut, keadaan pasien
membaik. Namun beberapa hari setelah diurut, pasien kembali mengalami nyeri di
bagian yang patah tersebut. Keadaan ini dibiarkan oleh pasien selama kurang lebih 6
bulan. Pasien mengeluh adanya rasa nyeri di bahu kanan. Nyeri dirasakan terus
menerus, seperti ditusuk-tusuk. Nyeri tersebut dirasakan menjalar dari bahu sampai ke
3

punggung. Pasien mengeluh nyeri pada bagian yang patah tersebut apabila ditekan.
Pasien tidak mengeluh adanya demam ataupun nyeri di bagian tubuh lain. Pasien
tidak mengeluh pusing, sesak napas, mual, atau muntah. Pasien tidak mengalami
gangguan buang air kecil maupun buang air besar. Pasien tidak memiliki riwayat
penyakit hipertensi, alergi, asma, penyakit jantung, maupun kencing manis.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami hal seperti ini. Sebelumnya pasien belum pernah
dirawat maupun dioperasi. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, alergi,
asma, penyakit jantung, maupun kencing manis.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa. Tidak ada yang memiliki riwayat
penyakit hipertensi, alergi, asma, penyakit jantung, maupun kencing manis.
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol. Pasien mengaku jarang
berolahraga. Pasien sehari-hari jarang minum kopi dan cukup minum air putih.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan terhadap pasien di bangsal teluk jambe RSUD Karawang
pada tanggal 12 Juni 2014 pukul 07.30.
Keadaan Umum
Kesadaran
: compos mentis
Kesan sakit : tampak sakit sedang
Kesan gizi
: gizi cukup
Tanda vital
- Tekanan darah : 100/70 mmHg
- HR
: 75 x/menit
- RR
: 20x/menit
- Suhu
: 36,5 0C
Status Lokalis
Kepala
: normosefali
Rambut
: warna hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata
: konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, pupil isokor RCL +/+
RCTL +/+
Telinga: discharge -/-, nyeri tekan tragus -/-, nyeri tarik -/4

Hidung
: pernafasan cuping hidung -/-, sekret -/Mulut
: bibir sianosis -, lidah kotor +
Tenggorokan : tonsil T1/T1, mukosa faring hiperemis (-)
Leher
: simetris, pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru
- Inspeksi
: simetris, retraksi dinding dada (-)
- Palpasi
: gerak nafas simetris, vocal fremitus sama kuat kanan kiri
- Perkusi
: tidak dilakukan
- Auskultasi
: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/Jantung
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi

: pulsasi iktus cordis tidak tampak


: iktus cordis teraba 2 cm lateral linea midklavikula sinistra
: tidak dilakukan
: bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi
- Auskultasi
- Perkusi
- Palpasi

: datar dan simetris


: bising usus (+) normal
: timpani di seluruh kuadran abdomen
: supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)

Genitalia
Anus
Ekstremitas

: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
:

Ekstremitas
Akral dingin
Akral sianosis

Superior
-/-/-

Inferior
-/-/-

Status Lokalis Regio Bahu Kanan:


- Inspeksi
: hiperemis (+), deformitas (+), bone protruded (+)
- Palpasi
: Nyeri tekan (-), teraba hangat
IV. HASIL LABORATORIUM
Hematologi
Hemoglobin
: 12,2 g/dL
Eritrosit
: 5,6 jt/uL
Leukosit
: 11.340 /uL ()
Trombosit
: 448.000/uL ()
Hematokrit
: 35,6%
Masa perdarahan
: 2 menit
Masa pembekuan
: 9 menit
Gol. Darah
:A
Rhesus
:+
Kimia darah
Gula darah sewaktu

: 86 mg/dL
5

Ureum
Creatinin

: 22,4 mg/dL
: 0,53 mg/dL

Perencanaan anestesi
Pada pasien ini direncanakan untuk dilakukan anestesi umum dan dilakukan intubasi
menggunakan ETT non kinking no. 28
Intraoperasi
Status anestesi
-

Diagnosa pre operasi

: Non Union Fraktur Clavicula Dextra

Jenis operasi

: ORIF (Open Reduction Internal Fixation) + Bone


Graft

Rencana teknik anestesi

: Anestesi Umum

Status fisik

: ASA I

Keadaan selama pembedahan


Lama operasi : 1 jam 30 menit (09.25 10.55 WIB)
Lama anestesi : 1 jam 45 menit (09.20 11.05 WIB)
Jenis anestesi : Anestesi umum dengan teknik intubasi oral, ETT NK no. 28
Posisi

: Supine

Infus

: Ringer laktat 1.000 cc pada tangan kiri

Premedikasi

: Miloz (Midazolam) 3 mg

Medikasi

: Fentanyl 100 g, Propofol 100 mg, Ceftazidime 1 g, Dicynone 500 mg,


Ketorolac 30 mg, Ondansentron 4 mg, Ranitidin 50 mg

Cairan masuk : 1.000 cc Ringer Laktat


Cairan Keluar : 500 cc Perdarahan

Monitoring saat operasi


Jam
(waktu)

Tindakan

Tekanan
darah
(mmHg)

Nadi
(x/menit)

09.20

Pasien masuk ke kamar


operasi dan di pindahkan
ke meja operasi
Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi,
saturasi oksigen
Infus Ringer Laktat
terpasang pada tangan kiri

101/70

Premedikasi:
Miloz: 3 mg
Medikasi:
Fentanyl 100 g
Propofol 100 mg
Pemberian oksigen
sungkup 5 L/menit selama
3 menit
Melakukan pemasangan
ETT non kingking no.28
(intubasi)
Pemberian Oksigen 2
L/menit
Pemberian N2O 2 L/menit
Isofluran 2 vol %
Dilakukan asepsis dan
antisepsis lapangan
operasi
Operasi dimulai

101/70

Pasien masih dalam keadaan


dioperasi

120/80

09.25

09.35

72
SPO2: 98 %

72
SPO2 : 99 %

90
SPO2 : 99 %

09.50

Pasien masih dalam keadaan


dioperasi

120/80

90
SPO2 : 98 %

10.05

Pasien masih dalam keadaan


dioperasi

Pemberian Ceftazidime 1
g
Pemberian Dicynone 500
mg

10.20
10.35

Pasien masih dalam keadaan


dioperasi

Pasien masih dalam keadaan

100/70

60
SPO2 : 98%

115/70

60

110/70

SPO2 : 99 %
70
7

dioperasi
Pemberian Ketorolac 30 mg
Pemberian Ondansentron 4

SPO2 : 98 %

mg
Pemberian Ranitidin 50
mg

10.50

Pasien masih dalam keadaan


dioperasi

95/65

68

10.55

95/65

SPO2 : 98 %
68

11.05

Operasi selesai dilakukan

Dilakukan tindakan
ekstubasi, pemberian
oksigen murni 5 L/menit
Pemberian oksigen dihentikan

SPO2 : 99 %
82/60

70
SPO2 :100 %

Keadaan akhir pembedahan


Tekanan darah : 82/60 mmHg, Nadi : 70 x/menit, Saturasi O2 : 100%
Penilaian Pemulihan Kesadaran (berdasarkan Skor Aldrete) :
Nilai
Kesadaran

2
1
Sadar, orientasi
Dapat
baik
dibangunkan
Warna
Merah muda
Pucat atau
(pink) tanpa O2,
kehitaman perlu O2
SaO2 > 92 %
agar SaO2 > 90%
Aktivitas
4 ekstremitas
2 ekstremitas
bergerak
bergerak
Respirasi
Dapat napas
Napas dangkal
dalam
Sesak napas
Batuk
Kardiovaskular
Tekanan darah
Berubah 20-30 %
berubah 20 %
Total = 8 Pasien tetap dipantau di ruang pemulihan

0
Tak dapat
dibangunkan
Sianosis dengan O2
SaO2 tetap < 90%
Tak ada ekstremitas
bergerak
Apnu atau
obstruksi
Berubah > 50 %

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi umum adalah menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Anestesi memungkinkan pasien untuk
mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
8

1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran


2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Relaksasi otot: relaksasi otot rangka
Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain:
1. Faktor Respirasi
Pada setiap inspirasi, sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam paru-paru
(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Bila tekanan
parsial dalam alveolus lebih tinggi, maka zat anestesi akan berdifusi melalui membran
alveolus menuju sirkulasi sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan
tekanan parsial dalam sirkulasi. Hal-hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
a. Konsentrasi zat anestesi yang dihirup; makin tinggi konsentrasinya, makin
cepat naik tekanan parsial zat anestesi dalam alveolus.
b. Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya
tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi
2. Faktor Sirkulasi
a. Aliran darah paru dan cardiac output menentukan pengangkutan gas anestesi
dari paru ke jaringan dan sebaliknya. Bila terjadi gangguan maka makin
sedikit obat anestesi yang dapat diangkut.
b. Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah
dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan seimbang. Bila kelarutan zat
anestesi dalam darah tinggi (BG koefisien tinggi), maka obat yang berdifusi
cepat larut dalam darah. Bila BG koefisien rendah, maka cepat terjadi
keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah
tertidur saat induksi dan mudah terbangun saat anestesi diakhiri.
3. Faktor Jaringan
a. Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara sirkulasi darah arteri dan
jaringan.
b. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesi, kecuali halotan.
c. Kecepatan metabolism obat.
d. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
- Jaringan kaya pembuluh darah: otak, jantung, hepar, ginjal. Organorgan ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat
anestesi meningkat dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak
-

menerima 14% curah jantung.


Kelompok intermediate: otot skelet dan kulit.
9

Lemak: jaringan lemak.


Jaringan sedikit pembuluh darah: relatif tidak ada aliran darah yaitu
ligament dan tendon.

4. Faktor Obat Anestesi


Setiap obat anestesi mempunyai potensial yang berbeda. Untuk mengukur potensi
obat anestesi digunakan Minimal Alveolar Concentration (MAC). MAC adalah
konsentasi obat anestesi inhalasi dalam alveolus yang dapat mencegah respon nyeri
pada 50% individu. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.
Teori Terjadinya Anestesi Umum
1. Lipid solubility theory (Meyer 1899, Overton 1901)
Obat anestesi adalah lipid soluble sehingga efeknya berhubungan dengan daya
larutnya di dalam lemak. Makin besar daya larutnya, makin besar efek anestesinya.
2. Teori colloid
Efek anestesi disebabkan karena terjadinya agregasi colloid dalam sel yang
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pada sel.
3. Teori adsorbsi/tegangan permukaan
Menghubungkan efek anestesi dengan daya adsorbsi atau menurunnya tegangan
permukaan membrane sel. Dengan mengumpulnya obat anestesi dari membrane sel
berakibat perubahan permeabilitas membrane dan menyebabkan hambatan fungsi
neuron.
4. Teori biokimiawi
Menerangkan efek obat anestesi dengan peningkatan reaksi enzimatik atau di dalam
sel. Beberapa obat anestesi menyebabkan uncoupling dan oxsidative phosphorylation
dan menghambat konsumsi oksigen.
5. Teori fisik
Menghubungkan daya anestesi dengan aktivitas thermodinamik atau bentuk dasar
molekul.
TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM
I. Penilaian dan persiapan pra anestesi
Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga
pada waktu pasien dibedah, pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan
tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi
dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
a. Penilaian pra bedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
10

khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas
pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan lebih baik.
Beberapa peneliti menganjurkan obat yang mungkin bisa menimbulkan masalah
dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan
digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 12 hari sebelumnya
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting
untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher
pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin
secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien
Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan
foto thoraks.
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi
fisik ini bukan

alat

perkiraan

resiko

anestesi, karena dampak samping

anestesi tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.


Kelas I
: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada
11

pasien-pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,


semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.
b. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi, yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1) Menimbulkan rasa nyaman pada pasien
2) Menghilangkan rasa khawatir
3) Memberikan ketenangan
4) Mengurangi rasa sakit
5) Mencegah mual dan muntah
6) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
7) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Waktu dan cara pemberian premedikasi:
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara intramuscular
minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu
tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena.
Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam
waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak
dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat
menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi
dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:


1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB
2. Analgesik non narkotik

12

a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1 cc = 0,25 mg), dosis 0,001

II. Induksi anestesi


Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara
intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan (maintenance) anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S : Scope, stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube, pipa trakea. pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway, pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
13

T : Tape, plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer, mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction, penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
1. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indiksi intravena dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien
yang kooperatif. Obat-obat induksi intravena:
a. Tiopental (pentotal, tiopenton), amp 500 mg atau 1000 mg
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5%
( 1ml = 25mg). Hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7
mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung
dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada
dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran

darah

otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan

diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat


anti-analgesi.
b. Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic
dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). Suntikan intravena sering menyebabkan
nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa
5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
c. Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan

sedasi midazolam (dormikum)

atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi saliva diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg
14

dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi
opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3. Induksi inhalasi
a. N2O (nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau
manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian
harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
b. Halotan (fluotan), sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi
semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan
menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
c. Enfluran (etran, aliran), efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
d. Isofluran (foran, aeran), meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
15

jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan


banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e. Desfluran (suprane), sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga
tidak digunakan untuk induksi anestesi.
f. Sevofluran (ultane), waktu induksi dan waktu pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
4. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
III.Pemeliharaan (maintenance) anestesi
Pada periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu, tergantung jenis operasinya.
Anestesi tidak boleh terlalu dalam karena dapat membahayakan jiwa, namun tidak boleh
terlalu ringan karena pasien bisa saja masih dapat merasakan nyeri. Hal tersebut akan
menimbulkan trauma psikis, selain itu dapat menyebabkan spasme saluran pernapasan,
batuk, muntah, atau gangguan kardiovaskuler.
Pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi atau intravena. Anestesi umum
dilakukan sampai tingkat kedalaman obat mencapai trias anestesi, yaitu penderita tidur,
analgesik cukup, dan terjadi relaksasi otot.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB.
Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan
inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4vol% atau sevofluran
2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.
Berdasarkan respirasinya, anestesi umum dibedakan menjadi:
- Respirasi spontan, yaitu penderita bernapas sendiri secara spontan
- Respirasi kendali/respirasi terkontrol/balance anestesi: pernapasan sepenuhnya
-

tergantung bantuan kita


Respirasi dibantu (assisted respiration): penderita bernapas spontan tapi masih
diberikan sedikit bantuan
16

Berdasarkan sistem aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi, anestesi
dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu:
- Sistem open
Merupakan sistem yang paling sederhana. Disini udara ekspirasi bebas keluar
menuju udara bebas dan tidak ada hubungan fisik secara langsung antara jalan
-

napas dengan alat anestesi.


Sistem semi open
Pada sistem ini, obat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag, selain itu ditambah
dengan klep 1 arah untuk mengeluarkan udara ekspirasi, klep ini disebut nonrebreathing valve.
Tingkat keborosan dan polusi lebih rendah disbanding sistem open. Sistem open
dan semi open disebut juga sistem non rebreathing karena tidak boleh ada udara
ekspirasi yang dihirup kembali, serta tidak membutuhkan sodalyme untuk

menyaring CO2.
Sistem semi closed
Udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan oksigen yang lebih rendah
dibandingkan dengan udara inspirasi, juga mengandung CO2 yang lebih tinggi.
Gas-gas ini dialirkan menuju canester yang mengandung sodalyme untuk
menyaring CO2. Lalu udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan
oksigen dari sumber gas (Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali. Kelebihan
aliran gas akan dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara ekspirasi dihirup
kembali, maka obat anestesi dan oksigem dapat dihemat dan polusi juga

berkurang.
Sistem closed
Prinsipnya sama dengan sistem semi closed, namun disini tidak ada udara yang
keluar menuju udara bebas. Sistem semi closed dan closed disebut juga sistem
rebreathing, karena udara ekspirasi dihirup kembali dan butuh sodalyme untuk
membersihkan CO2.

IV. Pemulihan
Pada akhir operasi, anestesi akan diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi.
Pada anestesi inhalasi, bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran oksigen
dinaikkan. Hal ini disebut oksigenasi. Dengan oksigenasi, maka oksigen akan mengisi
tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli dan kemudian
17

keluar bersamaan dengan udara ekspirasi. Tekanan parsial obat anestesi di dalam alveoli
akan menurun, sehingga lebih rendah dibandingkan tekanan parsial obat anestesi di dalam
darah. Kemudian terjadi difusi dari dalam darah menuju alveoli, semakin tinggi
perbedaan tekanan parsial semakain cepat difusi.

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien seorang wanita berusia 31 tahun datang ke RSUD Karawang dengan kesadaran
compos mentis, keadaan umum tampak sakit sedang, dengan keluhan utama patah tulang
selangka tangan kanan sejak 6 bulan SMRS. Tekanan darah, pernafasan, suhu dan nadi pasien
dalam batas normal. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, ditemukan pada status lokalis
regio bahu kanan terdapat hiperemis, deformitas, bone protruded, dan teraba hangat. Dari
pemeriksaan laboratorium terdapat leukositosis dan trombositosis. Leukositosis dikarenakan
terjadinya reaksi peradangan, sedangkan trombositosis dikarenakan terdapat inflamasi kronik.

18

Pasien dianjurkan untuk menjalani operasi, izin operasi didapatkan dari pasien dan
disetujui oleh dokter spesialis anestesi. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, disimpulkan bahwa pasien termasuk ASA I. Menjelang operasi, pasien tampak
sakit sedang, tenang, tekanan darah, nadi, pernafasan, dan suhu dalam batas normal.
Operasi dilakukan pada tanggal 12 Juni 2014 pukul 09.25 WIB sedangkan anestesi
dimulai pada pukul 09.20 WIB di RSUD Karawang dengan memberikan obat premedikasi
Miloz 3 mg selanjutnya obat medikasi Fentanyl 100 g, Profopol 100 mg, Ceftazidime 1 g,
Dicynone 500 mg, Ketorolac 30 mg, Ondansentron 4 mg, Ranitidin 50 mg serta diberikan
anestesi inhalasi berupa campuran N20 2 L/menit dan O2 2 L/menit serta isofluran 2 vol%.
Anestesia dilakukan secara umum dengan suntikan secara intra vena dan inhalasi sesuai
indikasinya
Untuk premedikasi diberikan midazolam dengan dosis premedikasi dewasa 0,07-0,1
mg/kgBB. Untuk induksi 10-15 mg (0,1-0,4 mg/kgBB) iv, penderita akan tertidur setelah 2-3
menit. Kebutuhan midazolam untuk sedasi menurun dengan bertambahnya usia, kira-kira
15% tiap dekade peningkatan usia.
Fentanyl termasuk golongan obat analgetik opioid yang mudah larut dalam lemak dan
dapat menembus sawar jaringan dengan mudah. Dosis 1-3 ug/kgBB kira-kira berlangsung
selama 30 menit. Untuk induksi, diperlukan dosis yg lebih besar seperti 50-150 ug/kgBB.
Propofol merupakan derivate fenol yang banyak digunakan sebagai anastesi intravena.
Dosis sedasinya 2-3 mg/kgBB. Sebaiknya menyuntikkan obat anastesi ini pada vena besar
karena dapat menimbulkan nyeri.
Ceftazidime adalah kelompok obat yang disebut cephalosporin antibiotics.
Ceftazidime bekerja dengan mematikan bakteri dalam tubuh. Ceftazidime digunakan untuk
mengobati berbagai jenis infeksi bakteri termasuk keadaan parah atau yang mengancam
nyawa. Dosis dewasa 1-6 gram/hari, dalam 2-3 dosis terbagi. Untuk bayi >2 bulan dan anakanak 30-100 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis terbagi. Neonatus dan bayi <2 bulan 25-60
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi.
Dicynone membantu pembentukan trombosit sehingga perdarahan lebih cepat
berhenti. Indikasi perdarahan operatif terutama yang melibatkan jaringan yang kaya
pembuluh darah. Dosis dewasa pre operasi adalah 2 ampul iv/im 1 jam sebelum operasi, dosis
intra operasi adalah 2 ampul iv/im, dosis post operasi 3x1 ampul iv/im.
19

Ketorolac efek analgetiknya sama baiknya dengan morfin dengan dosis yang
sebanding, tanpa takut terjadinya depresi pernafasan. Hal inilah salah satu sebab dipilihnya
ketorolac sebagai analgetik pasca operasi Ketorolac juga bersifat anti inflamasi sedang. Dosis
awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 1030 mg tiap 4 sampai 6 jam
bila diperlukan.
Ondansetron adalah antagonis reseptor 5HT yang poten dan selektif. Pemberian obatobat kemoterapi dan radioterapi dapat menyebabkan pelepasan 5HT ke dalam usus halus
yang akan merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut afferen vagal lewat
reseptor 5HT3. Ondansetron menghambat dimulainya refleks ini. Aktivasi serabut afferen
vagal juga dapat menyebabkan pelepasan 5HT3 dalam area postrema, yang berlokasi di dasar
ventrikel keempat, dan ini juga dapat merangsang emesis melalui mekanisme sentral.
Karenanya efek Ondansetron dalam penanganan mual dan muntah yang diinduksi oleh
kemoterapi dan radioterapi sitotoksik ini disebabkan oleh antagonisme reseptor 5HT3, pada
neuron yang berlokasi di sistem saraf pusat maupun di sistem saraf tepi. Pada percobaan
psikomotor, Ondansetron tidak mengganggu kinerja. Ondansetron tidak mengganggu
konsentrasi prolaktin dalam plasma. Pencegahan mual dan muntah pasca bedah 4 mg/i.m.
sebagai dosis tunggal atau injeksi i.v. secara perlahan.
Ranitidin adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja
histamine secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung.
Ranitidin diabsorpsi 50% setelah pemberian oral. Waktu paruh 2,5-3 jam pada pemberian
oral, ranitidine diekskresi melalui urin. Dosis intravena pada dewasa adalah 50 mg setiap 6-8
jam, jika perlu dosis dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian namun
tidak boleh melebihi 400 mg sehari.
N2O (nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis,
tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian,
tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.
Isofluran merupakan eter berhalogen berbau tajam dan mudah terbakar. Keuntungan
isofluran adalah irama jantung stabil dan tidak terangsang oleh adrenalin serta induksi dan

20

masa pulih anestesi cepat. Namun harga obat ini mahal. Dosis induksi 3 3,5 % dalam
oksigen atau campuran N2 dan O2.
Ringer laktat adalah larutan steril dari kalsium klorida, natrium klorida, kalium
klorida, dan natrium laktat dalam air untuk injeksi. Injeksi ringer laktat tidak boleh
mengandung antimikroba, dan kecepatan pemberiannya tidak boleh lebih dari 300 ml/jam.
Indikasi pemberian ringer laktat adalah untuk menambah kadar elektrolit yang diperlukan
tubuh.
Pemberian cairan intraoperatif
Kebutuhan cairan basal (BB= 45 kg)
4 x 10kg = 40
2 x 10kg = 20
1 x 25kg = 25
----------+
85 ml/jam
Kebutuhan cairan intraoperasi (operasi sedang)
6 x 45kg = 270 ml/jam
Kebutuhan cairan saat puasa dari pukul 24.00 10.00 (10 jam)
10 x 85 ml/jam = 850 ml/jam
Di ruangan sudah diberi cairan 500 ml
Jadi kebutuhan cairan puasa sekarang = 850 500 = 350 ml
Pemberian cairan pada jam pertama operasi
: Kebutuhan basal + kebutuhan intraoperasi + 50% x kebutuhan cairan puasa
: 85 + 270 + 175 = 530 ml
Pemberian cairan pada jam kedua operasi
: Kebutuhan basal + kebutuhan intraoperasi + 25% x kebutuhan cairan puasa
: 85 + 270 + 87,5 = 442,5 ml
Kebutuhan cairan selama operasi : ( 1 Jam 30 menit )
Jam I + Jam II
= 530 ml + x 442,5 ml
= 530 ml + 221,25 ml
= 751,25 ml
Cairan yang masuk selama operasi (1 Jam 30 menit)
1000 cc Ringer Laktat
Allowed Blood Loss
20 % x EBV = 20 % x (45 x 65) = 585 ml
Jumlah cairan keluar
= darah di kassa sedang 6 buah + botol suction
= 6x20 ml + 400 ml
= 520 ml
21

Maka tidak perlu dilakukan transfusi darah, namun cukup diberikan cairan kristaloid
sebanyak 1560 ml atau koloid sebanyak 520 ml
Kebutuhan cairan selama operasi + cairan yang harus diberikan sebagai pengganti

perdarahan = 751,25 ml + 1560 ml = 2.311,25 ml.


Cairan yang harus diganti di ruang pemulihan (kristaloid)
= 2.311,25 1.000 ml = 1.311,25 ml
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien Ny. Anih berumur 31 tahun datang dengan keluhan patah tulang selangka
tangan kanan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Setelah melalui hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, pasien mendapat diagnosis Non Union
Fraktur Clavicula Dextra dan mendapatkan tindakan operasi ORIF dan bone graft.
Selama pembedahan, pasien mendapatkan anestesi umum dengan dilakukan intubasi
menggunakan ETT non kingking no.28. Selama pembedahan, dilakukan monitoring terhadap
pasien yaitu tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen setiap 15 menit. Tindakan pemberian
obat-obat anestesi sudah sesuai dengan indikasi.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Brockwell RC, Andrew JJ: Inhaled Anesthetic Delivery Sistems dalam Miller RD:
Millers Anesthesia, 6th ed. Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone, 2005, p 273311.
2. Orkin FK: Anesthetic Systems dalam Miller RD: Anesthesia. New York, Churchill
Livingstone, 1981, p 117-152.
3. Howley JE, Roth PA: Anesthesia Delivery Systems dalam Stoelting RK, Miller RD
(eds.): Basics of Anesthesia. 5th ed. Philadelphia. Churchill Livingstone, 2007, p 185206.
4. Taylor D: Choice of Anesthetic Technique dalam Stoelting RK, Miller RD (eds):
Basics of Anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Churchill Livingstone, 2007, p 178-184.

23

You might also like