You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi organ dalam tubuh akan mengalami
penurunan, tidak terkecuali pada sistem genitourinaria. Adanya penurunan fungsi dari
sistem genitourinaria ini dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia. Inkontinensia
adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup untuk mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau social. Inkontinensia
dapat berupa inkontinensia urin dan inkontinensia alvi. Inkontinensia urin adalah
keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya. Sedangkan inkontinensia alvi adalah
keluarnya feses pada waktu yang tidak dikehendaki dan lebih jarang ditemukan.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar
antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di
rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau feses atau inkontinensia
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu
atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu
yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine ataupun alvi merupakan gejala
yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan
kualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin atau alvi yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati,
2000).
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis akan membahas mengenai
inkontinensia urin dan alvi pada lansia agar dapat menambah pengetahuan pembaca
serta mampu memberikan penanganan pada lansia yang mengalaminya, dan
khususnya penanganan oleh perawat sebagai tenaga kesehatan melalui pemberian
asuhan keperawatan gerontik.
1

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
2. Apa saja klasifikasi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
3. Apa etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
5. Apa tanda dan gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
3. Untuk mengetahui etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
4. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang inkontinensia urin dan inkontinensia
alvi
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.
8. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan pada
lansia dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.

BAB II
PEMBAHASAN
I.

KONSEP TEORI INKONTINENSIA URIN


A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter
dan Perry, 2005).
2

Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan


otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin.
Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran
kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau
sedatif.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin
(Hariyati, 2000).
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi
dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya
(FKUI, 2006).
B. Klasifikasi
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat (2006):
Jenis Inkontinensia Urin
Inkontinensia dorongan

Definisi
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat setelah berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya
terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan
spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien
Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat
menahan kencing segera setelah timbul sensasi
ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat

Inkontinensia total

kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.


Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urin

yang

terus

menerus

dan

tidak

dapat

diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia


total antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi
3

independen
pembedahan,

dan

refleks

trauma

atau

detrusor
penyakit

karena
yang

mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula,


Inkontinensia stress

neuropati.
tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia
stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak
dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan
meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat,

Inkontinensia reflex

tertawa.
Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran
urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung
kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung

Inkontinensia fungsional

kemih tidak dihambat pada interval teratur


keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran
urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai
dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi
kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

C. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis.
Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
4

kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau
adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya
dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika
perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi
urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan
yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang
bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi
urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah
masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena
penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau
penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal
pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic
alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU.
Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal
yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot
dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
5

persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan
otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan

inkontinensia.

Semakin

tua

seseorang

semakin

besar

kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur


kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).
D. Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat
di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi
pengeluaran urin secara kontinen.

Pengendalian memerlukan kegiatan otot

normal diluar kesadaran dan yang didalam kesadaran yang dikonrdinasi oleh
refleks urethrovsien urinaris. Bila terjadi pengisian kandung kencing tekanan
6

didalam kandung kemih meningkat.

Otot detrusor (lapisan yang tiga dari

dinding kencing) memberikan respon dengan relaksasi agar memperbesar


volume daya tampung. Bila sampai 200 ml urin daya rentang reseptor yang
terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsangan.

Stimulus

ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke lengkungan pusat refleks untuk


meksitrurisasi.

Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari

lengkungan refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor.


Sfinkter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama sama
membuka dan urin masuk ke uretra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan
otot pariental mengkuti dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaaan kegiatan
refleks bisa mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui
dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat kortek yang berdampak kontraksi
diluar kesadaran dan sfinkter eksterna. Bila disalah satu bagian mengalami
kerusakan maka akan dapat mengakibatkan inkontenensia
E. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (Alimul Azis, 2006)
1) Inkontinensia Dorongan
a)

Sering miksi

b) Spasme kandung kemih


2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
F. Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis

Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.

Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran

ketika pasien berkemih.


Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas

intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.


Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur
dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih. Urografi ekskretori bawah

kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.


Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut
misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar
secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat
pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk
berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada
interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
8

secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan
lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul
dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut
adalah dengan cara : Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam
keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10
kali, ke depan ke belakang 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses
pada saat kita buang air besar dilakukan 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik

seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,

flavoxate,

Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu


pseudoephedrine

untuk

meningkatkan

retensi

urethra.

Pada sfingter

relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik


antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan
secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,
bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia
tipe

overflow umumnya

memerlukan

tindakan

pembedahan

untuk

menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,


divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia
yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
f. Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari
dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan
asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat
membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah kejadian9

kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan sebelum waktu tidur


dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi cairan harus
diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan setiap
harinya tetap sama.
II.

KONSEP

ASUHAN

KEPERAWATAN

PADA

LANSIA

DENGAN

INKONTINENSIA URIN
A. PENGKAJIAN
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih)
yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5) Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, Hipertensi.
6) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri
10

saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien


terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah
supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing /
dapat juga di luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih
2) Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
yang lama.
3) Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.
4) Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
C. INTERVENSI
Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan
bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia.
Kriteria Hasil: Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan
rasional penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi
kandung kemih
2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya
enurasis
3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang
telah direncanakan
11

R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung


volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada
kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan
dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan
cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat
untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia.
Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil : Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine
menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau

darah

yang

terjadi

(memberikan

perawatan

perianal,

pengosongan kantung drainase urine, penampungan spesimen urine).


Pertahankan teknik aseptik bila melakukan kateterisasi, bila
mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
12

5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.


Tingkatkan masukan sari buah berri.
Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh
dalam pengobatan infeksi saluran kemih.

Diagnosa 3
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi
konstan oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan
integritas kulit teratasi.
Kriteria Hasil :
Jumlah bakteri <100.000/ml.
Kulit periostomal tetap utuh.
Suhu 37 C.
Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil
yang diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang
baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar
diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang
benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.
Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume
cairan seimbang
13

Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg


Intervensi
1. Awasi TTV
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume
intravascular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan
dan penurunan resiko kelebihan cairan
3. Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn
urine
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan
yang terbatas dan menurunkan rasa haus
5. Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan
D. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang telah dibuat.
E. EVALUASI
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari adanya
kemampuan dalam :
a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai
dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan
obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter
b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal
kering tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.

III.

KONSEP TEORI INKONTINENSIA ALVI


A. Pengertian
Ikontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air
besar, menyebabkan feses bocor tidak terduga dari dubur. Inkontinensia alvi
juga disebut inkontinensia usus.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan
mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat.
14

Inkontinensia alvi adalah keadaan individu yang mengalami perubahan


kebiasaan dari proses defekasi normal mengalami proses pengeluaran feses tak
disadari,atau hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses
dan gas melalui spingter akibat kerusakan sfingter.
B. Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok
(Pranarka, 2000):
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
2. Inkontinensia alvi simtomatik
3. Inkontinensia alvi neurogenik
4. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal
C. Etiologi
Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit,
penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan
stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan
kerusakan sfingter rektum.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock
Lehurst dkk, 1987; Kane dkk,1989):
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan
atau impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses
yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari
anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal.
Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara
flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes

keluar (broklehurst dkk, 1987).


Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa
rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya
melalui sela sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi

inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).


2. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus
besar
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari
macam macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare.
Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan
dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi
sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian
15

atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (broklehurst dkk,
1987)
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat
obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat
pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert Thomson)
3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses
defekasi (inkontinensia neurogenik)
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi

akibat

gangguann

fungsi

menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi


rektum. Proses normal dari defekasi melalui reflek gastro-kolon. Beberapa
menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan
pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum. Distensi rektum akan
diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak
terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena
ada inbisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri (broklehurst dkk,
1987).
4. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal,
disertai kelemahan otot-otot seran lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh
broklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit unit yang
berfungsi motorik pada otot otot daerah sfingter dan pubo-rektal,
keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi
pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat
inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra abdomen dan prolaps
dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli
progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).
D. Patofisiologi
Reflek defekasi parasimpatis
Feses masuk rectum
Saraf rectum
Dibawa ke spinal cord
16

Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum


Intensifkan peristaltic
Kelemahan spingter interna anus
Inkontinensia alvi
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang
hidup. Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan
akibat motilitas yang melambat. Peristaltik di esophagus kurang efisien pada
lansia. Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan
pengosongan esophagus terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada
perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster
juga menurun, akibatnya terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung.
Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan absorsi besi, kalsium
dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus juga berkurang dengan bertambahnya
usia namun masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kantung empedu dan pankreas
tetap dapat di pertahankan, meski terdapat insufisiensi dalam absorsi dan
toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi
otot polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia alvi.
E. Manifestasi Klinis
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):
1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar
merembes.
2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari,
dipakaian atau ditempat tidur.
Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat
mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk
diagnosis.
F. Pemeriksaan Penunjang
17

1. Anal Manometry, memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan


sfingter anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari
rektum. MRI terkadang juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.
2. Anorectal Ultrasonography, memeriksa dan mengevaluasi struktur dari
sfingter anal
3. Proctography, menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh
rektum, sebaik apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum
mampu mengosongkannya.
4. Progtosigmoidoscopy, melihat kedalam rektum atau kolon untuk
menemukan tanda-tanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan
inkontinensia fekal seperti inflamasi, tumor, atau jaringan parut.
G. Penatalaksanaan
Peningkatan Keteraturan Defekasi
Perawat dapat membantu klien memperbaiki keteraturan defekasi dengan
a. Memberikan privacy kepada klien saat defekasi
b. Mengatur waktu, menyediakan waktu untuk defeksi
c. Memperhatikan nutrisi dan cairan, meliputi diit tinggi serat seperti
sayuran, buah-buahan, nasi; mempertahankan minum 2 3 liter/hari
d. Memberikan latihan / aktivitas rutin kepada klien
e. Positioning
Privacy
Privacy selama defekasi sangat penting untuk kebanyakan orang. Perawat
seharusnya menyediakan waktu sebanyak mungkin seperti kepada klien yang
perlu menyendiri untuk defeksi. Pada beberapa klien yang mengalami
kelemahan, perawat mungkin perlu menyediakan air atau alat kebersihan
seperti tissue dan tetap berada dalam jangkauan pembicaraan dengan klien.
Waktu
Klien seharusnya dianjurkan untuk defeksi ketika merasa ingin defekasi.
Untuk menegakkan keteraturan eliminasi alvi, klien dan perawat dapat
berdiskusi ketika terjadi peristaltik normal dan menyediakan waktu untuk
defekasi. Aktivitas lain seperti mandi dan ambulasi seharusnya tidak menyita
waktu untuk defekasi.
Nutrisi dan Cairan
Untuk mengatur defekasi normal diperlukan diet, tergantung jenis feses klien
yang terjadi, frekuensi defekasi dan jenis makanan yang dirasakan klien
dapat membantu defekasi normal.
Untuk Konstipasi
18

Tingkatkan asupan cairan dan instruksikan klien untuk minum cairan hangat
dan jus buah, juga masukkan serat dalam diet.
Untuk Diare
Anjurkan asupan cairan dan makanan lunak. Makan dalam porsi kecil dapat
membantu karena lebih mudah diserap. Minuman terlalu panas / dingin
seharusnya dihindari sebab merangkasang peristaltik. Makanan tinggi serat
dan tinggi rempah dapat mencetuskan diare. Untuk manajemen diare, ajarkan
klien sebagai berikut :
a. Minum minimal 8 gelas / hari untuk mencegah dehidrasi
b. Makan makanan yang mengandung Natrium dan Kalium. Sebagian besar
makanan mengandung Na. Kalium ditemukan dalam daging, beberapa
sayuran dan buah seperti tomat, nanas dan pisang.
c. Tingkatkan makanan yang mengandung serat yang mudah larut seperti
pisang
d. Hindari alkohol dan minuman yang mengandung kafein
e. Batasi makanan yang mengandung serat tidak larut seperti buah mentah,
sereal
f. Batasi makanan berlemak
g. Bersihkan dan keringkan daerah perianal sesudah BAB untuk mencegah
iritasi
h. Jika mungkin hentikan obat yang menyebabkan diare
i. Jika diare telah berhenti, hidupkan kembali flora usus normal dengan
minum produk-produk susu fermentasi.
Untuk Flatulensi
Batasi minuman berkarbinat, gunakan sedotan saat minum dan mengunyah
gusi; untuk meningkatkan pencernaan udara. Hindari makanan yang
menghasilkan gas, seperti kubis, buncis, bawang dan bunga kol.
Latihan
Latihan teratur membantu klien mengembangkan pola defekasi normal. Klien
dengan kelemahan otot abdomen dan pelvis (yang mengganggu defekasi
normal) mungkin dapat menguatkannya dengan mengikuti latihan isometrik
sebagai berikut :
Dengan posisi supine, perketat otot sbdomen dengan mengejangkan,
menahan selama 10 detik dan kemudian relax. Ulangi 5 10 kali sehari
tergantung kekuatan klien.
Positioning
Meskipun posisi jongkong memberikan bantuan terbaik untuk defekasi. Posisi
pada toilet adalah yang terbaik untuk sebagian besar orang. Untuk klien yang
mengalami kesulitan untuk duduk dan bangun dari toilet, maka memerlukan
19

alat bantu BAB seperti commode, bedpad yang jenis dan bentuknya
disesuaikan dengan kondisi klien.
Obat-obatan
Obat-obatan yang termasuk kategori mempengaruhi eliminasi alvi adalah
katarsis dan laxantive, antidiare dan antiflatulensi
Mengurangi flatulensi
Ada banyak cara untuk mengurangi / mengeluarkan flatus, meliputi
menghindari makanan yang menghasilkan gas, latihan, bergerak di tempat
tidur dan ambulasi. Gerakan merangsang peristaltik dan membantu
melepaskan flatus dan reabsorbsi gas dalam kapiler intestinal. Satu metode
untuk penanganan flatulensi adalah dengan memasukkan suatu rectal tube.
Caranya adalah sebagai berikut :
1. Gunakan rectal tube ukuran 22 30 F untuk dewasa dan yanglebih
kecil untuk anak
2. Tempatkan klien pada posisi miring
3. Berikan lubrikasi untuk mengurangi iritasi
4. Buka anus dan masukkan rectal tube dalam rektum (10 cm). Rectal
tube akan merangsang peristaltik. Jika tidak ada flatus yang keluar,
masukkan tube lebih dalam. Jangan menekan tube jika tidak bisa
masuk dengan mudah.
5. Lepaskan tube jangan lebih dari 30 menit untuk menghindari iritasi.
Jika terjadi distensi abdomen, masukkan tube setiap 2 3 jam.
6. Jika tube tidak dapat mengurangi flatus, konsul dengan dokter untuk
pemakaian suppository, enema atau obat-obatan yang lain.
Pemberian Enema
Enema adalah larutan yang dimasukkan dalam rektum dan usus besar. Cara
kerja enema adalah untuk mengembangkan usus dan kadang-kadang
mengiritasi

mukosa

usus,

meningkatkan

peristaltik

dan

membantu

mengeluarkan feses dan flatus.


Program Bowel Training
Pada klien yang mengalami konstipasi kronik, sering terjadi obstipasi /
inkontinensia feses, program bowel training dapat membantu mengatasinya.
Program ini didasarkan pada faktor dalam kontrol klien dan didesain untuk
membantu klien mendapatkan kembali defekasi normal. Program ini berkaitan
dengan asupan cairan dan makanan, latihan dan kebiasaan defekasi. Sebelum
mengawali program ini, klien harus memahaminya dan terlibat langsung.
Secara garis besar program ini adalah sebagai berikut :
20

Tentukan kebiasaan defekasi klien dan faktor yang membantu dan


menghambat defekasi normal.
Desain suatu rencana dengan klien yang meliputi :
o Asupan cairan sekitar 2500 3000 cc/hari
o Peningkatan diit tinggi serat
o Asupan air hangat, khususnya sebelum waktu defekasi
o Peningkatan aktivitas / latihan
Pertahankan hal-hal berikut secara rutin harian selama 2 3 minggu :
o Berikan suppository katarsis (seperti dulcolax) 30 menit sebelum
waktu defekasi klien untuk merangsang defekasi.
o Saat klien merasa ingin defekasi, bantu klien untuk pergi ke toilet /
duduk di Commode atau bedpan. Catat lamanya waktu antara
pemberian suppository dan keinginan defekasi.
o Berikan klien privacy selama defekasi dan batasi waktunya,
biasanya cukup 30 40 menit.
o Ajarkan klien cara-cara meningkatkan tekanan pada kolon, tetapi
hindari mengecan berlebihan, karena dapat mengakibatkan

hemorrhoid.
Berikan umpan balik positif kepada klien yang telah berhasil defekasi.
Hindari negative feedback jika klien gagal. Banyak klien memerlukan
waktu dari minggu sampai bulan untuk mencapai keberhasilan

IV.

KONSEP
A.

ASUHAN

KEPERAWATAN

PADA

LANSIA

DENGAN

INKONTINENSIA ALVI
PENGKAJIAN
Untuk mengkaji pola eliminasi dan menentukan adanya kelainan, perawat
melakukan pengkajian riwayat keperawatan, pengkajian fisik abdomen,
menginspeksi karakteristik feses dan meninjau kembali hasil pemeriksaan yang
berhubungan.
Riwayat Keperawatan
a. Pola defekasi
Kapan anda biasanya ingin BAB ?
Apakah kebiasaan tersebut saat ini mengalami perubahan ?
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
Apakah anda memperhatikan adanya perubahan warna, tekstur
(keras, lemah, cair), permukaan, atau bau feses anda saat ini ?
c. Masalah eliminasi fekal

21

Masalah apa yang anda rasakan sekarang (sejak beberapa hari yang
lalu) berkaitan dengan BAB (konstipasi, diare, kembung, merembes /

inkontinensia{tidak tuntas}) ?
Kapan dan berapa sering hal tersebut terjadi ?
Menurut anda kira-kira apa penyebabnya (makanan, minuman,

latihan, emosi, obat-obatan, penyakit, operasi) ?


Usaha apa yang anda lakukan untuk mengatasinya dan bagaimana

hasilnya ?
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
Menggunakan alat bantu BAB. Apa yang anda lakukan untuk
mempertahankan kebiasaan BAB normal ? Menggunakan bahan

bahan alami seperti makanan / minuman tertentu atau obat-obatan ?


Diet. Makanan apa yang anda percaya mempengaruhi BAB ?
Makanan apa yang biasa anda makan ? yang biasa anda hindari,

berapa kali anda makan dalam sehari ?


Cairan. Berapa banyak dan jenis minuman yang anda minum dalam

sehari ? (misalnya 6 gelas air, 2 cangkir kopi)


Aktivitas dan Latihan. Pola aktivitas / latihan harian apa yang biasa

dilakukan ?
Medikasi. Apakah anda minum obat yang dapat mempengaruhi

sistem pencernaan (misalnya Fe, antibiotik) ?


Stress. Apakah anda merasakan stress. Apakah dengan ini anda

mengira berpengaruh pada pola BAB (defekasi) anda ? Bagaimana ?


e. Ada ostomi dan penanganannya
Apa yang biasa anda lakukan terhadap kolostomy anda ?
Jika ada masalah, apa yang anda lakukan ?
Apakah anda memerlukan bantuan perawat untuk menangani
kolostomy anda ? Bagaimana caranya ?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi inspeksi,
auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran intestinal. Auskultasi
dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat merubah peristaltik.
Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan palpasi. Inspeksi Feses.
Observasi feses klien terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah,
bau dan adanya unsur-unsur abdomen. Perhatikan tabel berikut :
KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL
Karakteristi

Normal

Abnormal

Kemungkinan penyebab
22

k
Warna

Dewasa :
kecoklatan

Pekat / putih

Adanya pigmen empedu


(obstruksi empedu);
pemeriksaan diagnostik
menggunakan barium

Hitam / spt ter.

Obat (spt. Fe); PSPA


(lambung, usus halus); diet
tinggi buah merah dan sayur
hijau tua (spt. Bayam)

Merah

PSPB (spt. Rektum), beberapa


makanan spt bit.

Pucat

Malabsorbsi lemak; diet tinggi


susu dan produk susu dan
rendah daging.

Orange atau
hijau

Infeksi usus

Bayi : kekuningan

Konsistensi

Berbentuk, lunak, Keras, kering


agak cair / lembek,
basah.

Bentuk

Silinder (bentuk
rektum) dgn 2,5
cm u/ orang
dewasa

Jumlah

Tergantung diet
(100 400 gr/hari)

Bau

Aromatik :
dipengaruhi oleh
makanan yang
dimakan dan flora
bakteri.

Unsur pokok Sejumlah kecil

Dehidrasi, penurunan
motilitas usus akibat
kurangnya serat, kurang
latihan, gangguan emosi dan
laksantif abuse.

Diare

Peningkatan motilitas usus


(mis. akibat iritasi kolon oleh
bakteri).

Mengecil, bentuk
pensil atau
seperti benang

Kondisi obstruksi rektum

Tajam, pedas

Infeksi, perdarahan

Pus

Infeksi bakteri
23

bagian kasar
makanan yang
tidak dicerna,
potongan bakteri
yang mati, sel
epitel, lemak,
protein, unsurunsur kering
cairan pencernaan
(pigmen empedu
dll)
B.

C.
D.
E.

Mukus
Parasit

Konsidi peradangan

Darah

Perdarahan gastrointestinal

Lemak dalam
jumlah besar

Malabsorbsi
Salah makan

Benda asing

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan
a. Diare berkepanjangan
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
a. Diare berkepanjangan
b. Inkontinensia fekal
Harga diri rendah berhubungan dengan
b. Inkontinensia fekal
c. Perlunya bantuan untuk toileting
Defisit pengetahuan tentang bowel training
INTERVENSI
IMPLEMENTASI
EVALUASI

24

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

25

DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta:
EGC.
Darmojo B. 2009. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi Keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Hariyati, Tutik S. 2000. Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan
inkontinensia

urin

pada

pasien

stoke. Diakses

dari

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada
tanggal 15 Juni 2015.
Hidayat, A. Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep Dan
Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Proses Dan Praktik. Ed. 4.
Jakarta: EGC.
Rochani. 2002. Penduduk

Indonesia

Idap

Inkontinensia

Urin.

Diakses

dari

http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 14 Juni 2015.

26

You might also like