You are on page 1of 30

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh
bakteri, virus, parasit, atau jamur, yang penularannya terutama melalui
hubungan seksual dari seseorang yang terinfeksi kepada mitra
seksualnya. Infeksi menular seksual merupakan salah satu penyebab
infeksi saluran reproduksi (ISR). Tidak semua IMS menyebabkan ISR, Dan
sebaliknya tidak semua ISR menyebabkan IMS.
Berdasarkan penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi :
Infeksi menular seksual, misalnya gonore, sifilis, trikomoniasis,
herpes genitalis, kondiloma akuminata, dan infeksi HIV
Infeksi endogen oleh flora normal komensal yang tumbuh
berlebihan, misalnya kandidosis vaginalis Dan vaginosis bakterial.
Infeksi iatrogenik yang disebabkan bakteri atau mikroorganisme
yang masuk ke saluran reproduksi akibat prosedur medik atau
intervensi selama kehamilan, pada waktu partus atau pasca partus
dan dapat juga oleh karena kontaminasi instrument.
Secara gender perempuan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit
yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit
kronik dan infeksi. Selama masa kehamilan, perempuan mengalami
berbagai perubahan, yang secara alamiah sebenarnya diperlukan untuk
kelangsungan hidup janin dalam kandungannya. Namun, ternyata
berbagai perubahan tersebut dapat mengubah kerentanan dan juga
mempermudah terjadinya infeksi selama kehamilan, perubahan tersebut
antara lain sebagai berikut :
Perubahan Imunologik
o Selama kehamilan terjadi supresi imunokempetensi ibu yang
dapat mempengaruhi terjadinya berbagai penyakit infeksi.
Supresi sistem imun akan semakin meningkat seiring
berlanjutnya usia kehamilan. Limfosit T jumlahnya berkurang
dalam sampel darah tepi perempuan hamil, tetapi tidak
demikian halnya dengan limfosit B. Pengurangan maksimal
CD4+ limfosit T terjadi pada trimester 3.
Perubahan Anatomik
o Anatomi saluran genital sangat berubah saat kehamilan.
Dinding vagina menjadi hipertrofik dan penuh darah. Serviks
mengalami hipertrofi, dan semakin luas daerah epitel
1

kolumnar pada ektoserviks yang terpadan mikroorganisme.


Perluasan ektopi serviks selama kehamilan mengakibatkan
mudahnya infeksi serviks atau reaktivasi laten. Serviks akan
mensekresi mukus yang sangat kental, membentuk mucous
plug.
Perubahan flora mikrobial servikovaginalis
o Flora vagina merupakan ekosistem heterogen untuk berbagai
bakteri anaerob dan bakteri fakultatif anaerob. Diduga
mekanisme yang menyebabkan perubahan tersebut adalah
pH vagina, kandungan glikogen, dan vaskularisasi genital
bagian bawah.

1.2. Epidemiologi
Prevelensi IMS dinegara sedang berkembang jauh lebih tinggi
dibanding dengan di negara maju. Pada perempuan hamil di negara dunia
ketiga, angka kejadian gonore 10-15 kali lebih tinggi, infeksi klamidia 2 3
kali lebih tinggi, dan sifilis 10 100 kali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan angka kejadiannya pada perempuan hamil di negara industri.
Prevalensi sifilis pada perempuan hamil dinegara maju hanya sebesar
0,03 0,3 %, tetapi di negara Afrika Sub-Sahara, sebagian besar Amerika
Latin, dan Fiji, sifilis didapatkan pada 3 22% perempuan hamil.
Di indonesia sendiri angka kejadian IMS pada perempuan hamil
sangat terbatas. Pada perempuan hamil pengunjung puskesmas Merak
Jawa Barat 1994, sebanyak 58% menderita ISR. Sebanyak 29,5% infeksi
genital nonspesifik, 10,2% vaginosis bakterial, 9,1% kandidosis vaginalis,
3,4% gonore, 1,1% trikomoniasis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
DAMPAK IMS PADA KEHAMILAN
Dampak IMS pada kehamilan bergantung pada organisme
penyebab, lamanya infeksi dan usia kehamilan pada saat terinfeksi. Hasil
konsepsi yang tidak sehat seringkali terjadi akibat IMS, misalnya kematian
janin (abortus spontan atau lahir mati), bayi berat lahir rendah (akibat
prematuritas, retardasi pertumbuhan janin dalam rahim), dan infeksi
kongenital atau perinatal (kebutaan, pneumonia neonatus, dan retardasi
mental).
Diagnosis dan manajemen IMS pada kehamilan dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas maternal maupun janin. Sebagian besar IMS
bersifat asimptomatik atau muncul dengan gejala yang tidak spesifik.
Tanpa adanya tingkat kewaspadaan yang tinggi dan ambang batas tes
yang rendah, sejumlah besar kasus IMS dapat terlewatkan, yang pada
akhirnya mengarah pada hasil perinatal yang tidak diinginkan. Oleh
karena itu, riwayat IMS yang lengkap dan melakukan pemeriksaan
skrining yang sesuai pada pasien yang sedang hamil pada saat
pemeriksaan pranatal yang pertama adalah penting.
Dengan adanya perubahan fisiologik selama kehamilan yang
mempengaruhi farmakokinetik dari terapi medik, eksposur obat ke janin
dan pertimbangan keamanan menyusui bayi, penatalaksanaan IMS pada
ibu hamil dan pascapersalinan dapat berbeda dari tatalaksana IMS untuk
perempuan tidak hamil. Selain itu, pertimbangan khusus berkaitan
dengan
potensi
penularan
untuk
beberapa
IMS
viral
perlu
dipertimbangkan dalam menentukan keamanan dari pemberian air susu
ibu (ASI).

2.1. Gonore Pada Kehamilan


2.1.1.
Definisi
Gonore adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae.
3

2.1.2.

Epidemiologi
Infeksi ini ditularkan melalui hubungan seksual, dapat juga
ditularkan kepada janin pada saat proses kelahiran berlangsung.
Walaupun semua golongan rentan terinfeksi penyakit ini, tetapi insidens
tertingginya berkisar pada usia 15-35 tahun. Di antara populasi wanita
pada tahun 2000, insidens tertinggi terjadi pada usia 15 -19 tahun (715,6
per 100.000) sebaliknya pada laki-laki insidens rata-rata tertinggi terjadi
pada usia 20-24 tahun (589,7 per 100.000). Epidemiologi N. gonorrhoeae
berbeda pada tiap tiap negara berkembang.
2.1.3.
Etiologi
Gonore disebabkan oleh gonokok yang dimasukkan ke dalam
kelompok Neisseria, sebagai Neisseria Gonorrhoeae. Gonokok termasuk
golongan diplokok berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u, panjang 1,6 u,
dan bersifat tahan asam. Kuman ini juga bersifat negatif-Gram, tampak di
luar dan di dalam leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati
pada keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39 derajat C, dan tidak
tahan zat desinfektan. Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah
dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang
(imatur), yakni pada vagina wanita sebelum pubertas.
2.1.4.
Gambaran klinik
1. Masa tunas sulit untuk ditemukan karena pada umumnya asimtomatik,
2. Pada wanita, penyakit akut atau kronik jarang ditemukan gejala
subjektif dan objektifnya.
3. Infeksi pada wanita, pada mulanya hanya mengenai serviks uteri
4. Keluhan: kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri pada panggul
bawah, demam, keluarnya cairan dari vagina, nyeri ketika berkemih
dan desakan untuk berkemih, perdarahan antara masa haid dan
menoragia.
5. Pada pemeriksaan serviks tampak merah dengan erosi dan sekret
mukopurulen, duh tubuh akan terlihat lebih banyak, bila terjadi servitis
akut.
2.1.5.
a)
b)
c)
d)
e)

Komplikasi
Infeksi pada serviks (servisitis gonore)
Salpingitis (penyakit radang panggul) pada trimester pertama,
sebelum korion berfusi dengan desidua dan mengisi kavum uteri.
Infertilitas
Infeksi pada uretra dapat terjadi para uretritis
Pada kelenjar Bartholin (bartholinitis)
4

f) gonore pada rektumnya. Penderita merasakan tidak nyaman di


sekitar anusnya dan dari rektumnya keluar cairan. Daerah di sekitar
anus tampak merah dan kasar, tinjanya terbungkus oleh lendir dan
nanah. Pada pemeriksaan dengan anaskop akan tampak lendir dan
cairan di dinding rektum penderita.
g) gonore pada tenggorokan (faringitis gonokokal).
Pada janin dan bayi baru lahir
a) adanya kemungkinan lahir prematur, infeksi neonatal dan
keguguran akibat infeksi gonokokkus pada wanita hamil
b) adanya sepsis pada bayi baru lahir karena gonore pada ibu
c) Kebutaan, untuk mencegah kebutaan, semua bayi yang lahir di
rumah sakit biasanya diberi tetesan mata untuk pengobatan gonore
d) Pembengkakan pada kedua kelopak matanya dan dari matanya
keluar nanah
e) Penyakit sistemik seperti meningitis dan arthritis sepsis pada bayi
yang terinfeksi pada proses persalinan.
2.1.6.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang, serta biakan atau pemerikasaan gen hasilnya
positif.
Pemeriksaan Khusus
a) Eksudat untuk diplokok intraselular gram-negatif
b) Biakan pada media khusus
c) Pemeriksaan antibodi fluoresensi
d) Biakan dan serviks pada wanita
e) Biakan dan faring pada kasus-kasus yang dicurigai terjadi kontak
orogenital
f) Tes serologik untuk sifilis

2.1.7.

Pengobatan
Pada wanita hamil tidak dapat diberikan obat golongan kuinolon dan
tetrasiklin. Yang direkomendasikan adalah pemberian obat golongan
sefalosporin (Seftriakson 50-100 mg/kgBB IM, dosis tunggal 125 mg IM).
Jika wanita hamil alergi terhadap penisilin atau sefalosporin tidak dapat
ditoleransi sebaiknya diberikan Spektinomisin 2 gr IM sebagai dosis
tunggal. Pada wanita hamil juga dapat diberikan Amoksisilin 2 gr atau 3 gr
oral dengan tambahan probenesid 1 gr oral sebagai dosis tunggal yang
diberikan saat isolasi N. gonorrhoeae yang sensitive terhadap penisilin.
Amoksisilin direkomendasikan untuk pengobatan jika disertai infeksi C.
trachomatis.
5

2.1.8.
Pencegahan
a) Tidak melakukan hubungan seksual baik vaginal, anal dan oral dengan
orang yang terinfeksi
b) Pemakaian
Kondom
dapat
mengurangi
tetapi
tidak
dapat
menghilangkan sama sekali risiko penularan penyakit ini
c) Hindari hubungan seksual sampai pengobatan antibiotik selesai.
d) Sarankan juga pasangan seksual kita untuk diperiksa guna mencegah
infeksi lebih jauh dan mencegah penularan
e) Pengendalian penyakit menular seksual ini adalah dengan
meningkatkan keamanan kontak seks dengan menggunakan upaya
pencegahan.
2.2. Klamidiasis
2.2.1.
Definisi
Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Chlamydia trachomatis, berukuran 0,2 1,5 mikron, berbentuk sferis,
tidak bergerak, dan merupakan parasit intrasel obligat.
2.2.2.

Manifestasi klinis
Masa inkubasi berkisar antara 1 3 minggu. Manifestasi klinis
infeksi CT merupakan efek gabungan berbagai faktor, yaitu kerusakan
jaringan akibat replikasi CT, respon inflamasi terhadap CT, dan bahan
nekrotik dari sel pejamu yang rusak. Sebagian besar infeksi CT
asimptomatik, 37% perempuan memberi gambaran klinik duh
mukopurulen, perdarahan, disuria, dan nyeri panggul.
Servisitis dapat ditegakkan bila ditemukan duh serviks yang
mukopurulen, ektopi serviks, edema, dan perdarahan serviks baik
spontan maupun dengan hapusan ringan lidi kapas. Infeksi pada serviks
dapat menyebar melalui rongga endometrium hingga mencapai tuba
Fallopi. Secara klinis dapat memberi gejala menoragia dan metroragia.

2.2.3.

Komplikasi
Infeksi CT pada serviks akan menyebar secara ascendens dan
menyebabkan penyakit radang panggul (PRP). Infeksi yang kronis dan
atau rekuren menyebabkan jaringan parut pada tuba. Komplikasi jangka
panjang yang sering adalah kehamilan ektopik dan infertilitas akibat
obstruksi. Komplikasi lain dapat pula terjadi seperti artritis reaktif dan
perihepatitis.
Dampak infeksi CT pada kehamilan dapat menyebabkan
abortus spontan, kelahiran prematur, dan kematian perinatal. Disamping
6

itu, dapat menyebabkan konjungtivitis pada neonatus dan pneumonia


infantil.
2.2.4.
Diagnosis
1) Kultur
2) Deteksi antigen secara : Direct Fluorescent Antibody (DFA), ELISA, dan
rapid atau point of care test
3) Deteksi asam nukleat : Hibridisasi probe deoxyribonucleic acid (DNA),
uji amplikasi asam nukleat seperti PCR, LCR
4) Pemeriksaan serologi
2.2.5.

Penatalaksanaan
Obat yang diberikan terutama yang dapat mempengaruhi sintesis
protein CT, golongan tetrasiklin, eritromisin, quinolon. Obat yang
dianjurkan adalah doksisiklin 100 mg 2 x sehari selama 7 hari atau
azitromisin 1g per oral, dosis tunggal, atau tetrasiklin 500mg, 4 x perhari
selama 7 hari, atau eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari, atau
ofloksasin 200mg, 2x sehari selama 9 hari. Untuk kehamilan obat
golongan kuinolon dan tetrasiklin tidak dianjurkan pemakaiannya.
Untuk pengobatan konjungtivitis pada neonatus atau pneumonia
infantil dianjurkan pemberian sirup eritromisin, 50 mg/kgBB peroral,
perhari dibagi dalam 4 dosis dan diberikan selama 14 hari.

2.3 Sifilis Pada Kehamilan


2.3.1.
Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat
sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh,
dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat
ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan genitogenital (kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga
dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa
kehamilan.
2.3.2.

Epidemiologi
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996
berkisar antara 0,04-0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan
yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%. Gejala
dan tanda dari sifilis banyak dan berlainan, sebelum perkembangan tes
7

serologikal, diagnosis sulit dilakukan dan penyakit ini sering disebut


Peniru Besar karena sering dikira penyakit lainnya. Data yang dilansir
Departemen Kesehatan menunjukkan penderita sifilis mencapai 5.000
10.000 kasus per tahun. Sementara di Cina, laporan menunjukkan jumlah
kasus yang dilaporkan naik dari 0,2 per 100.000 jiwa pada tahun 1993
menjadi 5,7 kasus per 100.000 jiwa pada tahun 2005. Di Amerika Serikat,
dilaporkan sekitar 36.000 kasus sifilis tiap tahunnya, dan angka
sebenarnya diperkiran lebih tinggi. Sekitar tiga per lima kasus terjadi
kepada lelaki.
2.3.3.

Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan
Hoffman ialah Treponema pallidum yang termasuk dlam ordo
Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema.
Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya 6,15um, lebar 0,15um,
terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa
rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak
secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap 30 jam.
Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Di luar
badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk
transfusi dapat hidup 72 jam.
Penularan sifilis dapat melalui cara sebagai berikut :
1.
Kontak langsung :
1.
sexually tranmited diseases (STD)
2.
non-sexually
3.
Transplasental, dari ibu yang menderita sifilis ke janin yang
dikandungnya.
2.
Transfusi

2.3.4.

Manifestasi Klinis
Infeksi terbagi atas beberapa fase, yaitu sifilis primer, sifilis
sekunder, sifilis laten dini dan lanjut, serta neurosifilis (sifilis tersier). Lesi
primer sifilis berupa tukak yang biasanya timbul di daerah genital
eksterna dalam waktu 3 minggu setelah kontak. Pada perempuan
kelainan sering ditemukan di labia mayor, labia minor, fourchette, atau
serviks. Lesi awal berupa papul berindurasi yang tidak nyeri, kemudian
permukaannya mengalami nekrosis dan ulserasi dengan tepi yang
meninggi, teraba keras, dan berbatas tegas. Jumlah ulserasi biasanya
hanya satu, namun dapat juga multipel.
8

Lesi sekunder ditandai dengan malese, demam, nyeri kepala,


limfadenopati generalisata, ruam generalisata dengan lesi di palmar,
plantar, mukosa oral atau genital, kondiloma lata di daerah intertrigenosa
dan aloplesia. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papula,
papuloskuamosa, dan pustul yang jarang disertai keluhan gatal. T.
pallidum banyak di temukan pada lesi di selaput lendir atau lesi yang
basah seperti kondiloma lata.
Sifilis laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinik dan hanya
pemeriksaan serologik yang reaktif. Hal ini mengindikasikan organisme ini
masih tetap ada di dalam tubuh, yang dalam perjalanannya fase ini dapat
berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup. Kurang lebih
2/3 pasien sifilis laten yang tidak diobati akan tetap dalam fase ini selama
hidupnya.
Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak diobati. Fase ini
dapat terjadi sejak beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah fase
laten dimulai. T. pallidum menginvasi dan menimbulkan kerusakan pada
sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular, mata, kulit, serta organ lain.
Pada sistem kardiovaskular dapat terjadi aneurisma aorta dan
endokarditis. Gumma timbul akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat
terhadap antigen T. pallidum, lesi tersebut bersifat dekstruktif dan
biasanya muncul dikulit, tulang, atau organ dalam.

2.3.5.
Komplikasi
Komplikasi Pada Janin Dan Bayi
Dapat menyebabkan kematian janin, partus immaturus dan partus
premature. Bayi dengan sifilis kongenital memiliki kelainan pada
tulang, gigi, penglihatan, pendengaran, gangguan mental dan tumbuh
kembang anak. Oleh karena itu, setiap wanita hamil sangat dianjurkan
untuk memeriksakan kesehatan janin yang dikandungnya. Karena
pengobatan yang cepat dan tepat dapat menghindari terjadinya
penularan penyakit dari ibu ke janin.
Pengaruh Terhadap Kehamilan
Sifilis yang terjadi pada ibu yang hamil dapat mempengaruhi proses
kehamilannya dan janin. Berikut ini adalah pengaruh sifilis terhadap
kehamilan yaitu:
1. Infeksi pada janin terjadi setelah minggu ke 16 kehamilan dan pada
kehamilan dini, dimana Treponema telah dapat menembus barier
plasenta. Akibatnya kelahiran mati dan partus prematurus.
9

2. Bayi lahir dengan lues konginetal : pemfigus sifilitus, diskuamasi


telapak tangan-kaki, serta kelainan mulut dan gigi. Bila ibu
menderita baru 2 bulan terakhir tidak akan terjadi lues konginetal.
2.3.6.

Diagnosis
Diagnosis pasti pada sifilis kongenital ditegakan dengan
identifikasi T.pallidum. Selain itu, sifilis kongenital dapat didiagnosis
berdasarkan pemeriksaan antepartum dan pada bayi lahir mati. Untuk
pemeriksaan pada janin dapat digunakan ultrasonografi (USG). Pada
pemeriksaan USG dapat dijumpai penebalan kulit, penebalan plasenta,
hepatosplenomegali dan hidramnion. Pemeriksaan ini dilengkapi dengan
pemeriksaan cairan amnion untuk mencari adanya treponema.
Identifikasi T. pallidum dengan pemeriksaan mikroskop lapagan gelap
atau imunofluoresensi dapat dilakukan apabila dijumpai secret
hidung, mucous patches, lesi vesiko bulosa atau kondiloma lata. Namun,
cara konvensional untuk pengambilan specimen tidak sensitive dan
merupakan prosedur invasive, sehingga sulit dilakukan dan hanya
dilakukan pada bayi dengan lesi luas. Selain itu, terdapat beberapa
kendala yang menyebabkan identifikasi T.pallidum sulit dilakukan untuk
menegakkan diagnosis sifilis kongenital, yaitu :
a) T.pallidum bersifat tidak dapat dibiakkan dan sulit ditemukan pada
spesimen klinis
b) Analisis serologic pada bayi rumit oleh adanya antibody maternal yang
didapat transplasental
c) Sebagian besar bayi sakit yang hidup tidak menunjukkan adanya tanda
infeksi
Untuk menegakkan diagnosis klinis sifilis kongenital, saat ini di AS
digunakan dua criteria, yaitu kriteria dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) yang direvisi dan kriteria Kaufman yang dimodifikasi.
1)
Kriteria Kaufman yang dimodifikasi.

Pasti (definite)
Dijumpai T.pallidum pada pemeriksaan mikroskop lapangan
gelap atau pemeriksaan histologik

Sangat Mungkin (probable)


1. Peningkatan titer VDRL dalam waktu 3 bulan atau tes
serologic untuk sifilis (TSS) reaktif yang tidak berubah menjadi
non reaktif dalam waktu 4 bulan
2. Satu kriteria mayor atau dua minor dan disertai TSS reaktif
atau tes FTA reaktif
10

3. Satu kriteria mayor dan satu kriteria minor

Kriteria mayor berupa kondiloma lata, osteokondritis, periostitis,


rhinitis, rhinitis hemoragik

Kriteria minor berupa fisura pada bibir, lesi kulit, mucous patch,
hepatomegali, splenomegali, limfadenopati generalisata, kelainan SSP,
anemia hemolitik, sel cairan serebrospinal (CSS) >20, protein >100
2)
Kriteria CDC yang di revisi

Pasti (confirmed)
Diijumpai T. Pallidum pada pemeriksaan mikroskop lapangan gelap

Tersangka (presumtive)
1. Semua bayi yang ibunya menderita sifilis tanpa pengobatan atau
mendapat pengobatan tidak adekuat selama kehamilan
2. Semua bayi dengan TSS reaktif dan satu dari keadaan di bawah
ini :
- Gambaran sifilis kongenital pada pemeriksaan fisik
- VDRL CSS reaktif/ hitung sel CSS 5/protein CSS 50 diluar
sebab lain.
- Tes FTA-abs-19S-antibodi IgM reaktif
3. Bayi lahir mati (syphilitic stillbirth)
Kematian janin setelah umur kehamilan 20 minggu atau berat
janin 500 gram pada wanita yang menderita sifilis tanpa
pengobatan atau memperoleh pengobatan tidak adekuat saat
melahirkan.
2.3.7.

Penatalaksanaan
Pengobatan sifilis kongenital terbagi menjadi pengobatan pada ibu
hamil dan pengobatan pada bayi. Penisilin masih tetap merupakan obat
pilihan untuk pengobatan sifilis, baik sifilis didapat maupun sifilis
kongenital. Pada wanita hamil, tetrasiklin dan doksisiklin merupakan
kontraindikasi. Penggunaan sefriakson pada wanita hamil belum ada data
yang lengkap. Pengobatan sifilis pada kehamilan di bagi menjadi tiga,
yaitu :
1. Sifilis dini (primer, sekunder, dan laten dini tidak lebih dari 2 tahun).
Benzatin penisilin G 2,4 juta unit satu kali suntikan IM, atau penisilin
G prokain dalam aquadest 600.000 unit IM selama 10 hari.
2. Sifilis lanjut (lebih dari 2 tahun, sifilis laten yang tidak diketahui
lama infeksi, sifilis kardiovaskular, sifilis lanjut benigna, kecuali
neurosifilis)

11

Benzatin penisilin G 2,4 juta unit, IM setiap minggu, selama 3 x


berturut-turut, atau dengan penisilin G prokain 600.000 unit IM
setiap hari selama 21 hari.
3. Neurosifilis
Bezidin penisilin 6-9 MU selama 3-4 minggu. Selanjutnya dianjurkan
pemberian benzil penisilin 2-4 MU secara IV setiap 4 jam selama 10
hari yang diikuti pemberian penisilin long acting, yaitu pemberian
benzatin penisilin G 2,4 juta unit IM sekali seminggu selama 3
minggu, atau penisilin G prokain 2,4 juta unit IM + prebenesid 4 x
500 mg/hari selama 10 hari yang diikuti pemberian benzatin
penisilin G 2,4 juta unit IM sekali seminggu selama 3 minggu.
Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi pada pengobatan sifilis
kongenital menurut CDC tahun 1998. pengobatan harus diberikan pada
bayi :
a) Menderita sifillis kongenital yang sesuai dengan gambaran klinik,
laboratorium dan/radiologik,
b) Mempunyai titer test nontreponema 4 kali dibanding ibunya
c) Dilahirkan oleh ibu yang pengobatannya sebelum melahirkan tidak
tercatat, tidak
d) diketahui, tidak adekuat atau terjadi 30 hari sebelum persalinan.
e) Dilahirkan oleh ibu seronegatif yang diduga menderita sifilis
f) Titer pemeriksaan nontreponema meningkat 4 kali selama
pengamatan.
g) Hasil tes treponema tetap reaktif sampai anak berusia 15 bulan,
atau
h) Mempunyai antibodi spesifik IgM antitreponema.
Selain itu, juga dipertimbangkan pengobatan pada bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang menderita sifilis dan diobati selama kehamilannya namun
bayi tersebut selanjutnya tidak bisa diamati. Pengobatan sifilis kongenital
tidak boleh ditunda dengan alasan menunggu diagnosis pasti secara klinis
atau serologik. Dengan pengobatan dengan Aqueous penisilin bergantung
1 minggu >usia bayi. Pada usia 1 minggu, diberikan tipa 12 jam, usia
4 minggu diberikan tiap 8 jam, dan setelah usia 4 minggu diberikan tipa
6 jam.
1. Pengobatan sifilis kongenital menurut CDC tahun 1998

Bayi dengan sifilis kongenital, ibu dengan/ tanpa sifilis


Penisilin G prokain 50.000 unit/kgBB IM/IV selama 10-14 hari.

Bayi normal
a) Ibu sifilis dini dan/atau tanpa terapi atau terapi tidak
tercatat diberikan :
12

a. Aqueous penisilin G 50.000 unit/kgBB IV selama 1014 hari, atau penisilin


b. prokain G 50.000 unit/kgBB IM, 10-14 hari usia (usia
4 minggu), atau
c. benzatin penisilin G 50.000 unit/kgBB IM, dosis
tunggal
b) Ibu sifilis laten lanjut, atau
c) Ibu mendapat terapi eritromosin atau obat selain penisilin,
atau
d) Ibu mendapat terapi adekuat 4 minggu sebelum
persalinan, atau
e) Ibu mendapat terapi adekuat > 1 bulan sebelum
persalinan, titer non treponema tidak turun 4 kali lipat,
diberikan : Benzatin penisilin 50.000 unit/kgBB IM, dosis
tunggal
f) Ibu mendapat terapi adekuat > 1 bulan sebelum
persalinan, titer nontreponema turun 4 kali lipat,
dilakukan : Pengamatan klinis dan serologik, atau benzatin
penisilin G 50.000 unit/kgBB IM, dosis tunggal bila
pengamatan tidak memungkinkan
g) Ibu mendapat terapi adekuat sebelum kehamilan dan titer
stabil (VDRL 1:2) selama kehamilan, dilakukan :
Pengamatan klinis dan serologic.
Menurut CDC 1998, diluar masa neonatus, anak yang
didiagnosis sifilis congenital harus diperiksa CSS untuk
menyingkirkan neurosifilis dan menentukan sifilis congenital atau
sifilis didapat. Semua anak yang diduga menderita sifilis kongenital
atau dengan kelainan neurologik diberikan aqueous penisiline G
50.000 unit/kgBB IV/IM tiap 4-6 jam selama 10-14 hari. Pemberian
penisilin prokain tidak dianjurkan.
2. Pengobatan alternatif untuk pasien alergi penisilin
Bila alergi terhadap penisilin, sebagai obat alternatif diberikan obat
tetrasiklin dan eritromisin. Tetapi efektifitasnya lebih rendah bila
dibandingkan dengan penisilin. Penggunaan sefriakson pada wanita hamil
belum ada data yang lengkap.
3. Pemeriksaan Setelah Pengobatan
Pemeriksaan penderita sifilis dini harus dilakukan, bila terjadi infeksi
ulang setelah pengobatan. Setelah pemberian penisilin G, maka setiap
pasien harus diperiksa 3 bulan kemudian untuk penentuan hasil
13

pengobatan. Pengalaman menunjukkan bahwa infeksi ulang sering terjadi


pada

2.4. HPV dalam Kehamilan


2.4.1.
Definisi
Secara global, infeksi Human Papillomavirus (HPV) adalah infeksi
menular seksual paling umum terjadi. Gambaran klinis yang tampak
berupa gambaran seperti kembang kol pada daerah genital. Selama
kehamilan, prevalensi Kondiloma meningkat
dari trimester pertama
sampai trimester ketiga dan menurun secara signifikan pada periode
postpartum. Risiko kondiloma akuminata pada kehamilan adalah dua kali
lipat. Lesi HPV yang berupa kondiloma dapat terjadi pada daerah cerviks
(kondiloma serviks) atau condilom avulva cenderung berkembang dalam
ukuran dan vaskularitas selama kehamilan karena adanya perubahan
anatomi termasuk vaskularisasi selama kehamilan dan adanya penurunan
kekebalan alami serta
pengaruh hormonal. Keadaan ini dapat
menghalangi saluran reproduksi dan dapat berakibat terjadinya
perdarahan banyak saat persalinan.
Kehamilan
dan
obat-obat
kontrasepsi
oral
merangsang
pertumbuhan kondiloma akuminata, karena peningkatan hormon estrogen
saat itu. Demikian juga pada pemakaian obat-obat imunosupresif yang
menekan imunitas untuk melawan virus, dapat mempersukar berhasilnya
penatalaksanaan.
Prevalensi yang tinggi pada usia produktif membuat infeksi HPV
dapat terjadi pada saat kehamilan. Kondiloma akuminata tumbuh lebih
cepat pada wanita yang sedang hamil. Kondiloma akuminata pada wanita
hamil dapat meluas pada serviks, vagina, vulva, dan dapat begitu luasnya
sehingga menutupi jalan lahir. Penyebab perluasan lesi ini masih belum
diketahui dengan pasti tetapi memang terjadi penurunan kekebalan yang
dihantarkan sel selama kehamilan.
2.4.2.

Resiko Penularan HPV Kepada Neonatal


Neonatus terkena penularan infeksi virus terutama selama
perjalanan melalui jalan lahir. Transmisi bahkan dapat terjadi tanpa
adanya lesi klinis jelas. Meskipun modus klasik penularan HPV pada bayi
baru lahir adalah selama perjalanan janin melalui jalan lahir dan
14

mengalami kontak dengan ibu yang terinfeksi. Namun, dalam kasus


tertentu, bayi baru lahir dapat mengalami infeksi kongenital intra uterine,
walaupun dengan kelahiran melalui sectio caesaria, dan itu dapat
disebabkan oleh infeksi ascending dari saluran vagina setelah terjadinya
ketuban pecah dini. Ada pula infeksi yang terjadi saat pembuahan dan
terjadi transmisi intra uterine melalui sperma yang membawa HPV carrier
atau infeksi transplasenta.
Paparan pada fetus dapat berakibat terjadinya papilomatosis larings
juvenil, yang biasanya manifes pada usia 5 tahun. Insidensi papilomatosis
larings juvenil tidak tinggi dan patogenesisnya masih belum jelas, tetapi
penyakit ini dapat menimbulkan distress pernafasan akibat terjadinya
obstruksi saluran pernafasan karena edema pada larings serta memiliki
tingkat rekurensi yang tinggi. Pada ibu dengan riwayat kondiloma
akuminata didapatkan 50% bayi yang menderita papilomatosis larings
yuvenil. Meski demikian, risiko untuk terjadinya papilomatosis larings
yuvenil pada janin yang dilahirkan oleh ibu yang menderita kondiloma
akuminata belum dapat ditentukan, ada yang mengungkapkan bahwa
jumlahnya terlalu kecil.
2.4.3.

Terapi Kondiloma Akuminata Pada Ibu Hamil


Pengobatan saat hamil sangat mengganggu penderita dan lesi ini
biasanya menghilang setelah persalinan. Saat kehamilan dianjurkan untuk
sering mencuci dan membersihkan daerah vulva ditambah membersihkan
vagina dengan irigasi dan menjaga daerah itu tetap kering dan hal ini
akan menghambat proliferasi kutil itu dan mengurangi ketidak nyamanan
yang ada. Pada umumnya bila tidak begitu penting dan tidak begitu
mengganggu maka tidak perlu memberikan mengobatan pada saat
kehamilan karena dia akan menghilang setelah persalinan. Terapi
ditujukan untuk mengurangi keluhan dan memilih pengobatan yang tidak
toksik terhadap ibu dan anak dan mengurangi ukuran besar kutil.
Beberapa obat pilihan yang ada dibatasi untuk tidak dipergunakan pada
wanita hamil. Pemilihan cara pengobatan tergantung pada besar,
lokalisasi, jenis dan jumlah lesi serta fasilitas pelayanan yang tersedia.
Penatalaksanaan kondiloma akuminata pada wanita hamil
merupakan hal yang sulit. Pemberian podofilin, yang merupakan drug of
choice, tidak dapat dilakukan karena akan beresiko terjadinya absorpsi
podofilin yang bersifat toksik. Podofilin memiliki sifat antimitotik dan
dicurigai bersifat teratogenik. Podofilin mengakibatkan spasme
vaskularisasi lokal, iskemik dan nekrosis jaringan. Pada kehamilan, lesi
sangat profuse dan vaskularisasinya banyak sehingga memudahkan
15

untuk absorpsi sistemik podofilin. Pemakaian agen ini pada ibu hamil
dapat menyebabkan IUFD dan neuropati maternal.
Krioterapi, elektrokauterisasi, terapi laser, dan asam trikloroasetat
adalah pilian terapi kondiloma akuminata yang dapat digunakan untuk
wanita hamil. Penatalaksanaan kondiloma akuminata pada ibu hamil
secara eksisi lesi dengan kauter atau cryosyrgery
harus dilakukan
dengan hati-hati agar tidak menyebabkan skar yang ekstensif atau
melukai jaringan. Penggunaan laser CO2 terbukti lebih efektif untuk eksisi
dan keberhasilan penggunaan laser sampai 90%. Laser juga
meminimalkan kerusakan jaringan sekitar lesi tetapi terapi ini sangat
mahal dan membutuhkan anestesi lokal. Namun, laser CO2 dan
elektrokauterisasi dapat menyebabkan perdarahan yang berat pada 33%
pasien bila dilakukan pada kehamilan, serta dapat menimbulkan infeksi
dan nekrosis jaringan yang berat.
Agen kimia alternatif lainnya adalah asam trikloroasetat 50% yang
digunakan setiap minggu seperti halnya podofilin. Agen ini tidak perlu
dicuci setelah penggunaannya tetapi rasa terbakarnya dapat bertahan 530 menit. Asam trikloroasetat (TCA) merupakan zat yang bersifat kaustik
dan dapat mengikis kulit dan membrana mukosa. Mekanisme kerja TCA
adalah dengan cara koagulasi protein yang menyebabkan terjadi
kekeringan sel dan jaringan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
destruksi yang berat pada kondiloma. Asam trikloroasetat dinyatakan
aman digunakan pada kehamilan karena tidak diabsorbsi secara sistemik.
Zat ini dapat diaplikasikan langsung ke permukaan lesi dengan lidi/kapas
lidi aplikator setiap minggu. Tingkat keberhasilan TCA untuk terapi
kondiloma adalah 56-81% dengan tingkat rekurensi 36%.

2.5. Herpes Genital (HSV-2)


2.5.1.
Definisi
Herpes Genitalis merupakan IMS virus yang menempati urutan
kedua tersering di dunia dan merupakan ulkus genital tersering di negara
maju.
2.5.2.

Etiologi
Virus herpes simpleks tipe-2 (VHS-2) merupakan penyebab HG
tersering (82%), sedangkan virus herpes simpleks tipe-1 (VHS-1) yang
lebih sering dikaitkan dengan lesi di mulut dan bibir, ternyata dapat pula
ditemukan pada 18% kasus herpes genitalis. Cara Penularan: Herpes
16

menyebar melalui kontak seksual antar kulit dengan bagian-bagian tubuh


yang terinfeksi saat melakukan hubungan seks vaginal, anal atau
oral. Transmisi virus ini dapat terjadi secara vertikal dari ibu ke janin yang
dikandungnya. Infeksi pada neonatus terjadi pada saat persalinan ketika
bayi berkontak langsung melalui jalan lahir dengan duh vagina ibu yang
terinfeksi.
2.5.3.

Gambaran Klinik
Manifestasi dipengaruhi oleh faktor pejamu, pajanan VHS
sebelumnya, episode terdahulu, dan tipe virus. Masa inkubasi berkisar 3
7 hari, bahkan dapat lebih lama. Predileksi dapat ditemukan di labia
mayor/minor, klitoris, introitus vagina dan serviks, sedangkan yang lebih
jarang di daerah perianal, bokong, dan mons pubis.
Gejala bisa ringan sampai berat, diawali rasa gatal atau terbakar
didaerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Selain itu
bisa terjadi gejala konstitusi seperti malese, demam, dan nyeri otot. Lesi
tipikal berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema yang mudah
pecah dan menimbulkan erosi multipel. Kelenjar getah bening regional
dapat membesar dan nyeri.
Lesi rekuren dapat terjadi dengan gejala klinik umumnya lebih
ringan, penyembuhan lebih cepat, dan masa pelepasan virus berlangsung
kurang dari 5 hari. Herpes Genitalis rekuren dapat hanya berupa fisura
yang cepat hilang tanpa gejala. Umumnya, rekurensi lebih sering terjadi
pada 1 tahun pertama setelah episode pertama, sedangkan tahun-tahun
berikutnya lebih jarang.

2.5.4.

Komplikasi
Pasien yang terkena herpes primer pada kehamilan menghadapi
resiko komplikasi obstetrik dan neonatal, antara lain :
a) Aborsi spontan
b) IUGR
c) Persalinan kurang bulan
Sedangkan kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa :
a) Ensefalopati
b) Keratokonjungtivitis
c) Hepatitis
d) Lesi pada kulit

2.5.5.

Diagnosis

17

Secara klinik ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel


berkelompok dengan dasar eritema, dan riwayat gejala serupa berulang.
Pemeriksaan laboratorium paling sederhana adalah uji Tzank, akan tetapi
sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah. Deteksi
VHS dengan kultur merupakan pemeriksaan baku emas untuk infeksi VHS
genital dini. Pemeriksaan ELISA merupakan pemeriksaaan untuk
menentukan adanya antigen atau antibodi VHS dalam serum penderita.
2.5.6.

Penatalaksanaan
Belum ada pengobatan untuk penyakit ini. Obat anti virus biasanya
efektif dalam mengurangi frekuensi dan durasi (lamanya) timbul gejala
karena infeksi HSV-2. Pengobatan dengan asiklovir harus diberikan
kepada semua perempuan yang menderita HG episode primer dalam
kehamilan. Terapi supresif dengan asiklovir pada 4 minggu terakhir
kehamilan dapat mencegah rekurensi HG pada saat partus. Dianjurkan
untuk dilakukan seksio sesarea terhadap semua perempuan hamil yang
datang dengan HG lesi primer pada saat menjelang kelahiran, namun
tidak dianjurkan untuk perempuan yang terserang HG lesi primer pada
trimester pertama ataupun kedua.
Dosis asiklovir/valasiklovir yang dianjurkan untuk infeksi primer:
Asiklovir per oral 5 x 200 mg/hari selama 7 hari; pada lesi berat i.v.
3-5 mg/kgBB/hari selama 7 10 hari, atau
Valasiklovir 2 x 500 mg/hari selama 7 hari
Dosis untuk infeksi rekuren:
Asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari atau
Valasiklovir 2 x 500 mg/hari selama 5 hari
Pengobatan untuk neonatus dengan infeksi VHS dapat diberikan asiklovir
10 mg/ kgBB i.v. tiap 8jam selama 10 21 hari.

2.6. HIV pada Kehamilan


2.6.1.
Definisi
Virus penyebab adalah HIV merupakan virus yang secara progresif
menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan
manusia dan menyebabkan AIDS. Orang yang terinfeksi virus ini menjadi
rentan terhadap infeksi ataupun mudah terkena tumor/kanker. Pada
awalnya penularan HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui penularan secara
horisontal yaitu melalui cairan tubuh saat terjadi kontak seksual
(heteroseksual/homoseksual) atau transfusi darah. Setelah itu, mulai
terjadi penularan secara vertikal yaitu dari ibu yang positif HIV/AIDS ke
18

bayi. Pada tahun 2010, sekitar 390.000 anak-anak di bawah 15 tahun


terinfeksi HIV. Sekitar 95% anak/bayi/neonatus yang positif HIV/AIDS
tertular dari ibunya. Salah satu intervensi untuk mencegah penularan dari
ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya yaitu melalui program PMTCT
(Prevention of Mother To Child Transmission of HIV). PMTCT ini sangat
penting karena penularan HIV pada anak sebagian besar (90%) terjadi
secara vertikal, dan hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui transfusi
darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril.
2.6.2.

Penularan Prenatal

Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada


janin pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan
berkisar sekitar 5 10%, saat persalinan sekitar 10 20%, dan saat
menyusui sekitar 30 - 45% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada
masa menyusui terutama terjadi pada minggu minggu pertama
menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat
melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah
bayi, sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif
tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari
HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri,
ataupun parasit pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan
ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun
lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi.
Semakin lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan
cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi
yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Atas dasar
tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan
diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi
mencapai sekitar 15% dari populasi.

2.6.3.

Faktor Resiko Penularan


19

Seorang ibu yang terinfeksi HIVdengan kehamilan memiliki resiko


untuk menularkan HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu yaitu:
1. Antepartum:
a. Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral,
jumlah CD4+, defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV,
malnutrisi, sedang dalam terapi pelepasan ketergantungan obat,
perokok, korionik villus sampling (CVS), amniosintesis, berat badan
ibu.
b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu merupakan faktor resiko utama
terjadinya penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata
angka penularan vertikal lebih tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan
gejala yang sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa gejala.
Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan
kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma,
serta keadaan imunitas ibu. Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS
yang sangat jelas (dengan gejala berbagai penyakit oportunistik),
jumlah muatan virus di dalam tubuh >1000/mL, dan jumlah limfosit
<200-350/mL dianggap menderita penyakit AIDS sangat berat dan
harus mendapat pengobatan antiretrovirus.
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga
mempunyai risiko tinggi untuk menularkan HIV kepada bayinya.
Misalnya, ibu yang menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia
ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus
(CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko
penularan vertikal lebih tinggi.
d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko
tinggi untuk menularkan infeksi HIV kepada bayinya. Berdasarkan
hasil penelitian, para ibu yang merokok mempunyai risiko untuk
menularkan HIV. Penularan vertikal juga sering terjadi pada ibu
pengguna obat terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan
hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama dengan pasangan
yang berganti-ganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan
vertikal.
2. Intrapartum:
a. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan
vertikal. Bayi yang lahir per vaginam dengan tindakan invasif
seperti tindakan forsep, vakum, penggunaan elektrode pada kepala
janin dan episiotomi, mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular
HIV.

20

b. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga


mempunyai risiko tinggi untuk menularkan HIV kepada bayinya,
juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi.
3. Post partum melalui menyusui:
a. Telah diketahui air susu ibu degan infeksi HIV mengandung proviral
HIV dan virus bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti
antibodi terhadap HIV dan glikoprotein yang menghambat ikatan
HIV dengan CD4+. Kebanyakan kasus penularan terjadi pada wanita
yang diketahui negatif terhadap HIV akan tetapi penularan terjadi
saat pemberian air susu ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi
HIV, pemberian air susu ibu beresiko kecil untuk terjadi penularan
oleh karena terdapatnya antibodi terhadap HIV, bagaimanapun juga
di Negara berkembang, makanan formula menjadikan bayi memiliki
resiko tinggi terkena infeksi yang lain, air susu ibu merupakan
pilihan terbaik. Pemilihan pemberian makanan pada bayi dengan 2
strategi sebagai pencegahan penularan dari ibu kebayinya
postnatal, dengan pemberian zidovudine sebagai profilaksis selama
38 minggu. Ternyata didapatkan pemberian air susu ibu dengan
zidovudine sebagai profilaksis tidak efektif seperti pemberian susu
formula, akan tetapi bermakna dalam menurunkan angka kematian
pada 7 bulan pertama kehidupan, disimpulkan bahwa penularan
postnatal dari infeksi virus HIV lewat pemberian air susu ibu dapat
diturunkan dengan intervensi pemberian ARV saat perinatal.
b. Bayi yang diberikan ASI mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi
yang diberi susu formula atau makanan campuran (mixed feeding).
Risiko akan lebih tinggi lagi bila payudara ibu terinfeksi atau lecet
(mastitis yang tampak secara klinis ataupun subklinis).
2.6.4.

Pencegahan HIV pada bayi dan anak

Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV,


World Health Organization menyebutkan bahwa PMTCT (programmes
of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan
penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV,
anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan,
serta dukungan. PMTCT merupakan program yang komperhensif dan
mengikuti protokol serta kebijakan nasional.
Intervensi PMTCT :
21

Pemeriksaan dan konseling HIV


Antiretroviral
Persalinan yang lebih aman
Menyusui yang lebih aman

Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:

Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman


selama persalinan dan masa menyusui
Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT

Faktor resiko MTCT selama kehamilan:

Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya
malaria)
Infeksi menular seksual
Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)

Faktor resiko MTCT selama persalinan:

Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
Prosedur persalinan invasif
Janin pertama pada kehamilan gameli
Korioamnionitis

Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:

Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Lama menyusui
Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
Abses payudara / puting yang terinfeksi
Malnutrisi maternal
Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)

22

WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV


pada bayi dan anak, yaitu :
1.

Pencegahan primer, dengan melakukan pencegahan agar


seluruh wanita tidak terinfeksi HIV
Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat
jangan sampai tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual,
setia pada pasangan, hindari hubungan seksual dengan berganti
pasangan, bila hal ini dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang
ditularkan secara seksual harus dicegah dan diobati dengan segera.
Jangan menjadi pengguna narkotika suntikan, terutama dengan
penggunaan jarum suntik bergantian.
Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan
universal standar. Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang
merawat pasien dengan HIV / AIDS (ODHA) tidak termasuk kelompok
resiko tinggi tertular HIV, khususnya bila menerapkan prosedur baku
kewaspadaan universal pencegahan penularan infeksi. Semua darah atau
cairan tubuh harus dianggap dapat menularkan HIV atau penyakit lain
yang terdapat dalam darah.

2.

Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita


dengan HIV positif
Ada tiga strategi yang dicanangkan :
1.

Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan


Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak
mengetahui status serologis mereka. Pelayanan KB perlu diperluas
untuk semua wanita, termasuk mereka yang terinfeksi, mendapatkan
dukungan dan pelayanan untuk mencegah kehamilan yang tidak
diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV agar mendapat
pelayanan esensial dan dukungan termasuk keluarga berencana dan
kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat membuat keputusan
tentang kehidupan reproduksinya.

2.

Menunda kehamilan berikutnya

23

Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun


jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :

Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab


dapat menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi
pelvis. Wanita yang menggunakan IUD mempunyai kecenderungan
mengalami perdarahan yang dapat menyebabkan penularan lebih
mudah terjadi.
Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat
mencegah penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak
mempunyai angka keberhasilan yang sama tinggi dengan alat
kontrasepsi lainnya seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling
tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah
kehamilan, maka pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk
mencegah penularan HIV.

3.

Gantikan efek kontrasepsi menyusui


Tindakan tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari ibu ke
bayi menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu
perlu alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.

2.6.5.
Persalinan
a. Persalinan pervaginam
Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam,
diusahakan selaput amnionnya utuh selama mungkin. Pengambilan
sampel darah janin harus dihindari. Jika sebelumnya telah diberikan obat
HAART, maka obat ini harus dilajutkan sampai partus. Jika direncanakan
pemberian infuse zidovudin, harus diberikan pada saat persalinan dan
dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Tali pusat harus diklem secepat
mungkin dan bayi harus dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi
biasanya dilakukan karena alasan obstetrik, menghindari partus lama,
dan ketuban pecah dini.
24

Kelahiran pervaginam dapat dipertimbangkan dengan syarat:


1. Selama kehamilan penderita menjalani perawatan prenatal
2. Viral load <1000 kopi/ml pada minggu ke-36 kehamilan
3. Penderita menjalani pengobatan HIV selama kehamilan.
b. Seksio Sesaria
Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus
diberikan antibiotik profilaksis. Infuse zidovudin harus dimulai 4 jam
sebelum seksio sesaria dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Sampel
darah ibu diambil saat itu dan diperiksa viral load-nya. Tali pusat harus
diklem secepatnya pada saat seksio sesaria dan bayi harus dimandikan
segera.
Kelahiran secara seksio sesarea direkomendasikan dengan syarat:
1. Wanita hamil penderita HIV dengan viral load >1000
kopi/ml atau viral load tidak diketahui pada minggu ke-36
kehamilan
2. Penderita yang tidak menjalani pengobatan HIV selama
kehamilan
3. Penderita yang tidak menjalani perawatan prenatal
sebelum usia kehamilan 36 minggu
4. Belum terjadi ruptur membran (pecah ketuban).
Diskusi mengenai pilihan seksio sesarea harus dimulai secepat
mungkin pada wanita hamil dengan infeksi HIV untuk
memberikan kesempatan adekuat pada penderita untuk
mempertimbangkan pilihan dan rencana untuk prosedur.
2.6.6.

Pasca Persalinan
Terdapat 50-75% dari bayi yang terinfeksi HIV yang disusui ibu
HIV/AIDS tertular HIV pada 6 bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif
memiliki resiko transmisi HIV yang rendah daripada ASI yang
dikombinasikan dengan cairan atau makanan lainnya (ASI campuran).
Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat dianjurkan untuk memberikan
ASI Ekslusif hingga 6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI
sekaligus makanan tambahan hingga usia 12 bulan. Bila ibu yang
menderita HIV/AIDS memutuskan untuk tidak memberikan ASI ekslusif,
dapat mengganti dengan makanan tambahan bila kriteria AFASS
terpenuhi. Adapun kriteria AFASS dari WHO yaitu: Acceptable = mudah
diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau,
Sustainable = berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya. Salah satu
alternatif untuk menghindari penularan HIV yaitu dengan menghangatkan
ASI > 66 0C untuk membunuh virus HIV. Adapun bayi yang telah
25

dinyatakan terinfeksi HIV positif maka harus diberikan ASI ekslusif selama
6 bulan diteruskan dengan pemberian ASI campuran hingga usia 24
bulan.
2.6.7.

Penatalaksanaan
Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang
terinfeksi HIV-AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi
perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat
sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga
20% dengan terapi antiretrovirus.
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah
menekan perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis,
memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas
penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan, keuntungan pemberian
antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas,
teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian
mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama
antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut
diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti
efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang
dilaporkan Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi
antiretrovirus tidak meningkatkan resiko prematuritas, berat badan lahir
rendah atau kematian janin intrauterine. Kategori Food and Drug
Administration (FDA) tentang ART dapat dilihat pada table 2.
A. Monoterapi Zidovudine
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi
resiko transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology
Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang
diberikan peroral mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin
intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup
yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu.
Regimen pemberian Zidovudine berdasarkan PACTG 076
Antepartum
:
Intrapartum
:

Zidovudine oral dari kehamilan 14-34 minggu


5x100mg/hari
Zidovudine
intravena,
dosis
awal
2mg/kgBB/1jam,
dilanjutkan infus 1mg/kgBB sampai 1 hari
26

setelah
melahirkan
Postpartum
Zidovudine sirup, 2 mg/kgBB, dimulai 8-12 jam
:
postpartum dan diteruskan sampai 6 minggu
Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah
diteliti ialah monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin
dan lamivudin.Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin
dan nevirapin.
B. Nevirapin
Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat
melahirkan disertai pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi
bayi pada usia 2 atau 3 hari. Selain karena harga obat generiknya yang
cukup murah, seringkali wanita hamil terinfeksi HIV-AIDS baru dating pada
saat melahirkan.
Tabel 1. Kategori FDA antiretrovirus untuk digunakan pada
kehamilan
Golongan
Obat
Kategori
FDA
Nukleosida Reverse Zidovudin/ZDV/AZT
C
Transcriptase
Zalsitabin/ddC
C
Inhibitor (NRTI)
Didanosin/ddl
B
Stavudin/d4T
C
Lamivudin/3TC
C
Abacavir/ABC
C
Tenofovir/DF
B
Non
Nukleosida Nevirapin
C
Reverse
Delavirdin
C
Transcriptase
Efavirenz
C
Inhibitor (NNRTI)
Protease Inhibitor (PI) Indinavir
C
Ritonavir
B
Saquinavir
B
Nelvinafir
B
Amprenavir
C
Lopinavir
C
Golongan lain
Hidroksiurea
D
Keterangan :
27

Kategori B :Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada hewan,
namun belum terdapat penelitian pada wanita hamil; atau
penelitian pada hewan menunjukkan efek samping yang tidak
sesuai dengan penelitian kontrol pada wanita hamil trisemester
pertama (dan tidak beresiko pada trisemester berikutnya).
Kategori C:Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin
(teratogenik atau embrisiodal atau lainnya) dan belum terdapat
penelitian kontrol pada wanita hamil atau belum terdapat
penelitian efek samping obat pada hewan ataupun wanita
hamil. Obat kategori ini hanya diberikan jika keuntungannya
melebihi resiko potensial pada janin.
Kategori D :
Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin
manusia, namun keuntungan pada wanita hamil dapat diterima
dibandingkan resikonya terutama untuk penyelamatan jiwa.
Berdasarkan pedoman PMTCT WHO 2010, pemberian ARV dimulai pada
semua wanita hamil dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm 3 atau stadium
klinis 3 dan 4.
Stadium
Tidak
Tersedia Tes CD4
Klinik WHO
Tersedia Tes
CD4
1
Tidak diobati
Diobati jika jumlah sel CD4
2
Tidak diobati
<200/mm3
3
Diobati
Diobati jika jumlah sel CD4 <
350/mm3
4
Diobati
Diobati
tanpa
memandang
jumlah sel CD4
Tabel 2. Syarat Pemberian ART menurut PMTCT 2010
Pemberian ARV berdasarkan pedoman WHO 2010 yaitu:
AZT+3TC+NVP/EFV atau TDF+3TC+NVP/EFV. Terdapat 2 opsi yang
ditawarkan WHO untuk tindakan profilaksis:
1. Profilaksis Opsi A
a. Ibu
i.
Antepartum : AZT saat 14 minggu kehamilan
ii.
Intrapartum : AZT/3TC + NVP 2 kali sehari
iii.
Postpartum : AZT/3TC + NVP x 7 hari
b. Bayi
i.
Bila diberikan ASI: NVP hingga 1 minggu lepas ASI
ii.
Tanpa pemberian ASI: AZT atau NVP x 6 minggu
2. Profilaksis Opsi B
28

a. Ibu : Triple ARV mulai 14 minggu hingga 1 minggu lepas ASI


b. Bayi : VP/AZT setiap hari sejak lahir hingga umur 4-6 minggu tanpa
memandang pemberian ASI atau tidak

BAB 3
KESIMPULAN
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh
bakteri, virus, parasit, atau jamur, yang penularannya terutama melalui
hubungan seksual dari seseorang yang terinfeksi kepada mitra
seksualnya. Dampak IMS pada kehamilan bergantung pada organisme
penyebab, lamanya infeksi dan usia kehamilan pada saat terinfeksi. Hasil
konsepsi yang tidak sehat seringkali terjadi akibat IMS.
Gonore adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae. Komplikasi pada pasien terinfeksi Gonore dalam
kehamilan adalah servisitis gonore, Salpingitis, Infertilitas, Para uretritis,
Bartholinitis, gonore pada rektumnya, Faringitis gonokokal. Pada janin dan
bayi baru lahir adalah adanya kemungkinan lahir prematur, infeksi
neonatal dan keguguran akibat infeksi gonokokkus pada wanita hamil,
adanya sepsis pada bayi baru lahir karena gonore pada ibu, Kebutaan,
Blefaritis dan konjungtivitis gonore.
Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Chlamydia trachomatis, Infeksi CT pada serviks akan menyebar secara
ascendens dan menyebabkan penyakit radang panggul (PRP). Dampak
infeksi CT pada kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan,
kelahiran prematur, dan kematian perinatal. Disamping itu, dapat
menyebabkan konjungtivitis pada neonatus dan pneumonia infantil.
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat
sistemik. Komponen infeksi sifilis bawaan dini, antara lain :
Hepatosplenomegali, Anemia, Trombositopenia yang berat, Lesi kulit,
Ruam, Pneumonia.
Pasien yang terkena herpes primer pada kehamilan menghadapi
resiko komplikasi obstetrik dan neonatal, antara lain : Aborsi spontan,
IUGR, Persalinan kurang bulan. Sedangkan kelainan yang timbul pada bayi
dapat berupa : Ensefalopati, Keratokonjungtivitis, Hepatitis, Lesi pada
kulit.
Paparan pada fetus dari ibu yang terinfeksi Human Papiloma Virus
dapat berakibat terjadinya papilomatosis larings juvenil, yang biasanya
manifes pada usia 5 tahun, tetapi penyakit ini dapat menimbulkan
29

distress pernafasan akibat terjadinya obstruksi saluran pernafasan karena


edema pada larings serta memiliki tingkat rekurensi yang tinggi. Pada ibu
dengan riwayat kondiloma akuminata didapatkan 50% bayi yang
menderita papilomatosis larings yuvenil.
Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV akan terinfeksi HIV juga
sekitar 20-30% dan muncul dalam satu tahun pertama. 20% dari bayi
yang terinfeksi tersebut akan meninggal pada saat berusia 18 bulan.

30

You might also like