Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau
jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang yang terinfeksi
kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual merupakan salah satu penyebab infeksi saluran
reproduksi (ISR). Tidak semua IMS menyebabkan ISR dan sebaliknya tidak semua ISR
menyebabkan IMS.1
Berdasarkan penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi1 :
Secara gender perempuan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan
dengan kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit kronik dan infeksi. Selama masa
kehamilan, perempuan mengalami berbagai perubahan yang secara alamiah sebenarnya
diperlukan untuk kelangsungan hidup janin dalam kandungannya. Namun, ternyata berbagai
perubahan tersebut dapat mengubah kerentanan dan juga mempermudah terjadinya infeksi
selama kehamilan, perubahan tersebut antara lain sebagai berikut :
Perubahan Imunologik
o Selama kehamilan terjadi supresi imunokempetensi ibu yang dapat mempengaruhi
terjadinya berbagai penyakit infeksi. Supresi sistem imun akan semakin meningkat
seiring berlanjutnya usia kehamilan. Limfosit T jumlahnya berkurang dalam sampel
darah tepi perempuan hamil, tetapi tidak demikian halnya dengan limfosit B.
Pengurangan maksimal CD4+ limfosit T terjadi pada trimester 3.1
Perubahan Anatomik
1
o Anatomi saluran genital sangat berubah saat kehamilan. Dinding vagina menjadi
hipertrofik dan penuh darah. Serviks mengalami hipertrofi dan semakin luas daerah
epitel kolumnar pada ektoserviks yang terpajan mikroorganisme. Perluasan ektopi
serviks selama kehamilan mengakibatkan mudahnya infeksi serviks atau reaktivasi
laten. Serviks akan mensekresi mukus yang sangat kental, membentuk mucous plug. 1
Perubahan flora mikrobial servikovaginalis
o Flora vagina merupakan ekosistem heterogen untuk berbagai bakteri anaerob dan
bakteri fakultatif anaerob. Diduga mekanisme yang menyebabkan perubahan tersebut
adalah pH vagina, kandungan glikogen dan vaskularisasi genital bagian bawah.1
1.2. Epidemiologi
Prevelensi IMS dinegara sedang berkembang jauh lebih tinggi dibanding dengan di negara maju.
Pada perempuan hamil di negara dunia ketiga, angka kejadian gonore 10-15 kali lebih tinggi,
infeksi klamidia 2 3 kali lebih tinggi dan sifilis 10 100 kali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan angka kejadiannya pada perempuan hamil di negara industri. Prevalensi sifilis pada
perempuan hamil dinegara maju hanya sebesar 0,03 0,3 %, tetapi di negara Afrika Sub-Sahara,
sebagian besar Amerika Latin dan Fiji, sifilis didapatkan pada 3 22% perempuan hamil.1
Di Indonesia sendiri angka kejadian IMS pada perempuan hamil sangat terbatas. Pada
perempuan hamil pengunjung puskesmas Merak Jawa Barat 1994, sebanyak 58% menderita ISR.
sebanyak 29,5% infeksi genital nonspesifik, 10,2% vaginosis bakterial, 9,1% kandidosis
vaginalis, 3,4% gonore, 1,1% trikomoniasis.
Tingkat infeksi HIV pada perempuan hamil di negara-negara Asia diperkirakan belum
melebihi 3-4%, tetapi epideminya berpotensi untuk menjadi lebih besar. Penelitian prevalensi
HIV pada ibu hamil di daerah miskin di Jakarta pada tahun 1999-2001 oleh Kharbiati
mendapatkan angka prevalensi sebesar 2,86%.1
1.3. Dampak IMS pada Kehamilan
Dampak IMS pada kehamilan bergantung pada organisme penyebab, lamanya infeksi dan usia
kehamilan pada saat terinfeksi. Hasil konsepsi yang tidak sehat seringkali terjadi akibat IMS,
misalnya kematian janin (abortus spontan atau lahir mati), bayi berat lahir rendah (akibat
prematuritas, retardasi pertumbuhan janin dalam rahim) dan infeksi kongenital atau perinatal
(kebutaan, pneumonia neonatus dan retardasi mental).1
2
Diagnosis dan manajemen IMS pada kehamilan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas maternal maupun janin. Sebagian besar IMS bersifat asimptomatik atau muncul
dengan gejala yang tidak spesifik. Tanpa adanya tingkat kewaspadaan yang tinggi dan ambang
batas tes yang rendah, sejumlah besar kasus IMS dapat terlewatkan, yang pada akhirnya
mengarah pada hasil perinatal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, riwayat IMS yang lengkap
dan melakukan pemeriksaan skrining yang sesuai pada pasien yang sedang hamil pada saat
pemeriksaan prenatal yang pertama adalah penting.1
Dengan
adanya
perubahan
fisiologik
selama
kehamilan
yang
mempengaruhi
farmakokinetik dari terapi medik, paparan obat ke janin dan pertimbangan keamanan menyusui
bayi, penatalaksanaan IMS pada ibu hamil dan pascapersalinan dapat berbeda dari tatalaksana
IMS untuk perempuan tidak hamil. Selain itu, pertimbangan khusus berkaitan dengan potensi
penularan untuk beberapa IMS viral perlu dipertimbangkan dalam menentukan keamanan dari
pemberian air susu ibu (ASI).1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
HIV Pada Kehamilan
3
2.1.
Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS yang
termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur
hidup. Kebanyakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala
dari suatu penyakit) untuk jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya mereka telah dapat
menulari orang lain.2
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau
sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus.3
2.2.
Epidemiologi
Di banyak negara berkembang, HIV merupakan penyebab utama kematian perempuan usia
reproduksi. Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 57.000 ibu hamil terinfeksi HIV di regional
Asia Tenggara. Negara dengan high-burden penularan infeksi HIV dari ibu ke anak seperti India,
Thailand, Myanmar dan Indonesia menunjukan estimasi insidens HIV diantara ibu hamil
cenderung tetap selama lima tahun terakhir. Jumlah anak kurang dari 15 tahun yang terinfeksi
HIV sebesar 87.000 dengan estimasi infeksi HIV baru sebesar 48.000. Data estimasi
UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV
dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang
tahun kedua.4
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu
penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Human Immunodeficiency
Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan tahun 1987. Sampai saat ini
kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi. Selain itu,
Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV/AIDS yang berkembang paling
cepat (UNAIDS, 2008) dan merupakan negara dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi,
karena terdapat beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu
dan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum 15-49 tahun terjadi di Provinsi Papua dan Papua
Barat (2,4%).4
2.3.
Etiologi
4
Virus HIV adalah retrovirus yang dulu disebut LAV (Lymphadenopathy Associated Virus)
HTLV III (Human T cell Lymphotropic Virus III) HIV tipe I dan II. LAV yang ditemukan oleh
Montagnier dkk. pada tahun 1983 di Perancis, sedangkan HTLV-III ditemukan oleh Gallo di
Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak ditemukan di
Afrika Tengah.1
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang
berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus
bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini. Karena informasi genetik virus ini
berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi
DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan
enzim reverse transkriptase.5
HIV merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga
melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS. Pada awalnya penularan HIV/AIDS di
Indonesia terjadi melalui penularan secara horisontal yaitu melalui cairan tubuh saat terjadi
kontak seksual (heteroseksual/homoseksual) atau transfusi darah. Setelah itu, mulai terjadi
penularan secara vertikal yaitu dari ibu yang positif HIV/AIDS ke bayi. 1,6,7 Salah satu intervensi
untuk mencegah penularan dari ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya yaitu melalui program
PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission of HIV). PMTCT ini sangat penting
karena penularan HIV pada anak sebagian besar (90%) terjadi secara vertikal dan hanya sebagian
kecil (10%) sisanya melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril.
2.4.
Penularan Prenatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) kepada
janin pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 10%, saat
persalinan sekitar 10 20% dan saat menyusui sekitar 30 - 45% bila disusui sampai 2 tahun.
Penularan pada masa menyusui terjadi pada minggu minggu pertama menyusui, terutama bila
ibu baru terinfeksi saat menyusui.8
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta.
Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang
dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan
melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri
ataupun parasit pada plasenta atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi,
sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan
berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan
semakin tinggi. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih
rendah dari yang ditemukan dalam darahnya, sehingga ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak
menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan melalui asi dari
ibu ke bayi mencapai sekitar 15% dari populasi.8
2.5.
Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan HIV ke
bayinya, yaitu:
A. Faktor Ibu
1. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus
dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari
ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang
dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
2. Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin
rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
3. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan
risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan
risiko penularan HIV ke bayi.
4. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi saluran reproduksi
lainnya, malaria dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan
HIV ke bayi.
5. Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses dan luka di puting
payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.2
B. Faktor Bayi
1. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular
HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
2. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
7
Cara Persalinan
Rekomendasi
hamil
yang
terinfeksi
HIV-AIDS
dilakukan :
Kehamilan 36 minggu
menunggu
hasil
diputuskan
seksio
sesarea,
seksio
persalinan.
diteruskan.
mendapat
antiretrovirus
Kadar HIV tetap di atas 1000
persalinan,
sehingga
dianjurkan
seksio
yang
meningkat,
seperti
infeksi
8
diputuskan
seksio
sesarea,
seksio
AIDS yang:
diberikan:
Sedang
mendapat
antiretrovirus
minggu ke 36 kehamilan.
cara
persalinan
harus
seksio
sesarea elektif
Namun
datang
pada
pecah.
elektrode
kepala,
monitor
Bayi
sebaiknya
mendapat
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik
yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah:
1. Jenis Persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar dari pada persalinan melalui bedah sesar
(sectio caesaria).
2. Lama Persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin
tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
3. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua
kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
4. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV karena
berpotensi melukai ibu atau bayi.2
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa
lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi jika terjadi
peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV dapat menembus plasenta
sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya
terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui.2
2.6.
Penatalaksanaan
1. Penanganan ante partum
a. Konseling
Pada konseling, ibu hamil diajak berkomunikasi dua arah dengan memberikan informasi
mengenai HIV dan hubungannya dengan kehamilan, tanpa mengarahkan, dimana kemudian
ibu hamil ini dapat mengambil keputusan mengenai kehamilannya dan persalinannya. Pada
kehamilan trimester pertama, konseling perlu dilakukan dengan intensif untuk memutuskan
apakah kehamilan akan diteruskan atau tidak.9
b. Pemberian obat anti virus
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan perkembangan
virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas
dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan, keuntungan pemberian
antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek
samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis dan efek
samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit.9
10
atau
VL < 1000 kopi/L
3. Penanganan pasca persalinan
Persalinan perabdomen
Syarat :
Terdapat 50-75% dari bayi yang terinfeksi HIV yang disusui ibu HIV/AIDS tertular HIV pada 6
bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif memiliki resiko transmisi HIV yang rendah daripada
ASI yang dikombinasikan dengan cairan atau makanan lainnya (ASI campuran).
Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat dianjurkan untuk memberikan ASI Ekslusif hingga
6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI sekaligus makanan tambahan hingga usia 12
bulan. Bila ibu yang menderita HIV/AIDS memutuskan untuk tidak memberikan ASI ekslusif,
dapat mengganti dengan makanan tambahan bila kriteria AFASS terpenuhi. Adapun kriteria
AFASS dari WHO yaitu: Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan,
Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya.
Salah satu alternatif untuk menghindari penularan HIV yaitu dengan menghangatkan ASI
> 66 0C untuk membunuh virus HIV. Adapun bayi yang telah dinyatakan terinfeksi HIV positif
maka harus diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan diteruskan dengan pemberian ASI campuran
hingga usia 24 bulan. Ibu pengidap HIV harus di sarankan mencegah kehamilan berikutnya
dengan alat kontrasepsi.9
Pada tahun 2013 WHO mengeluarkan aturan pemberian obat ARV untuk pencegahan
HIV dari ibu ke bayi, yaitu :10
11
a. Untuk ibu :
Lini Pertama: TDF + 3 TC (atau FTC) + EFV sebanyak 1 kali sehari pada ibu yang hamil dan
sedang menyusui, termasuk ibu yang berada dalam trimester pertama kehamilan
Kegagalan TDF + 3 TC (atau FTC), regimen pengobatan lini pertama gunakan AZT +
12
Usia Bayi
Sampai Usia 6 minggu
2000-2499 gram
2500 gram
Sampai Usia 6 minggu
2000-2499 gram
2500 gram
>6 minggu 6 bulan
>6bulan 9 bulan
>9 bulan berakhirnya
Dosis
10 mg, 2x sehari
15 m, 2x sehari
10 mg, 1x sehari
15 m, 1x sehari
20 mg, 1x sehari
30 mg, 1x sehari
40 mg, 1x sehari
periode menyusui
Tabel. Dosis Pemberian ARV dan NVP untuk Bayi yang menyusui.10
13
Menurut WHO tahun 2012, pemberian ARV mencakup dua options, yang keduanya harus mulai
lebih awal pada kehamilan, pada usia kehamilan 14 minggu atau segera mungkin setelah ibu
hamil.11
a. Opsi A, yaitu dua kali sehari pemberian AZT (zidovudin) untuk ibu dan untuk bayi dengan
pemberian salah satu dari AZT atau NVP selama enam minggu setelah lahir jika bayi tidak
menyusui. Jika bayi sedang menyusui, NVP harian profilaksis bayi harus dilanjutkan selama
satu minggu setelah berakhirnya periode menyusui.
b. Opsi B, yaitu pemberian ketiga jenis obat profilaksis untuk ibu yang dipakai selama
kehamilan dan selama menyusui serta untuk bayi pemberian NVP sekali sehari atau AZT dua
kali sehari selama empat sampai enam minggu setelah lahir.11
yang terdiagnosa HIV intrapartum dan mau memberikan makanan pengganti pada bayinya
haruslah dirujuk ke unit perawatan HIV untuk evaluasi bagi tindakan lanjut dalam pengobatan
dan pada bayinya harus diberikan NVP selama 6 minggu.11
Bagi ibu-ibu yang sedang menerima pengobatan ART tetapi memilih untuk berhenti
regimen pengobatan selama menyusui maka harus dideterminasi regimen ART alternatif serta
diberikan konselling tentang kepentingan pengobatan ART dan bahayanya jika dihentikan
pengobatannnya. Bayi ibu-ibu ini harus diberikan profilaksis NVP selama 6 minggu selepas ART
maternal dimulakan kembali atau sehingga 1 minggu selepas proses menyusui dihentikan.11
2.7.
Pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan Western Blot tidak dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18 bulan. Hal ini disebabkan masih dapat
ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24
bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga dapat
digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi, sensitivitas kedua
pemeriksaan ini masih rendah. 4
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain kultur
HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan
deteksi antigen p24.2 Infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang
berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak
terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif. 2,4
Pada bayi usia 18 bulan keatas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan antibodi
menetap atau bayi meninggal akibat penyakit terkait HIV. Disebut tidak terinfeksi bila dua kali
pemeriksaan antibodi menunjukkan negatif. Pemeriksaan antibodi ini kemudian dilanjutkan
dengan konfirmasi pemeriksaan Western Blot.2
Di
Indonesia
untuk
mendefinisikan
kasus
HIV pada
anak
dipakai
kriteria
WHO/UNAIDS:5
Anak berumur 18 bulan atau kurang :
Ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2 gejala minor dengan ibu yang HIV positif.
Gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Anak berumur diatas 18 bulan :
15
Menunjukkan tes HIV yang positif dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 2
gejala minor dibawah ini dengan ibu HIV positif dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Gejala mayor :
1. Berat badan menurun atau gagal tumbuh
2. Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
3. Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
4. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor :
1. Limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali
2. Kandidiasis oral atau tenggorokan
3. Infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang (misalnya otitis media akut, faringitis
4. Batuk kronis
5. Dermatitis yang luas
6. Ensefalitis.
Manifestasi lain yang mungkin timbul tetapi tidak termasuk dalam kriteria diagnosis, antara lain
masalah persarafan, keterlambatan perkembangan, pembesaran kelenjar parotis pada kedua sisi,
abses berulang, meningitis dan herpes simplex yang berulang dan persisten.
2.8.
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World Health Organization
menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission),
dapat menurunkan penularan vertikal HIV juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV,
anak serta keluarganya untuk memperoleh pengobatan, perawatan serta dukungan. PMTCT
merupakan program yang komperhensif dan mengikuti protokol serta kebijakan nasional9.
Intervensi PMTCT :
Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama kehamilan
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
Infeksi menular seksual
Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
Prosedur persalinan invasif
Janin pertama pada kehamilan gemeli
Korioamnionitis
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Lama menyusui
Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
Abses payudara / puting yang terinfeksi
Malnutrisi maternal
Penyakit oral bayi (mis: oral trust atau luka mulut)
WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak, yaitu:
1. Pencegahan primer, dengan melakukan pencegahan agar seluruh wanita tidak
terinfeksi HIV
17
Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat jangan sampai tertular
HIV, untuk itu terutama perilaku seksual, setia pada pasangan, hindari hubungan seksual
dengan berganti pasangan, bila hal ini dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang ditularkan
secara seksual harus dicegah dan diobati dengan segera. Jangan menjadi pengguna narkotika
suntikan, terutama dengan penggunaan jarum suntik bergantian.
Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan universal standar. Dokter,
perawat dan tenaga kesehatan lain yang merawat pasien dengan HIV / AIDS (ODHA) tidak
termasuk kelompok resiko tinggi tertular HIV, khususnya bila menerapkan prosedur baku
kewaspadaan universal pencegahan penularan infeksi. Semua darah atau cairan tubuh harus
dianggap dapat menularkan HIV atau penyakit lain yang terdapat dalam darah.
2. Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV positif
Ada tiga strategi yang dicanangkan :
1. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak mengetahui status
serologis mereka. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk mereka
yang terinfeksi mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk mencegah kehamilan yang
tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial
dan dukungan termasuk keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga
mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.
2. Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun jarak antar
kehamilan. Untuk menunda kehamilan :
Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat menjalarkan
infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita yang menggunakan IUD
18
Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah penularan HIV
dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai angka keberhasilan yang sama
tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat adalah
sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka
pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
Tindakan tidak menyusui untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi
menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu perlu alat kontrasepsi
untuk mencegah kehamilan.
19
BAB 3
KESIMPULAN
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik
dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi
kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Penyebab dari virus ini adalah dari
retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus. Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2.
HIV dapat menular dari ibu ke bayi, namun kebanyakan penularan terjadi saat persalinan
(waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular
HIV. Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang
paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya, namun
risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan
20
vagina ibu waktu melalui jalan lahir. Intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai
bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi
HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui menyusui.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
adalah yang dapt menemukan virus atau partikelnya dalam tubuh seorang bayi. Meskipun
beberapa tes dapat mendeteksi HIV di tubuh bayi pada usia dini, tes tersebut (seperti tes PCR)
belum secara luas tersedia di Indonesia. Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
pemeriksaan serologi HIV. Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metoda
ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan
hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
konfirmasi yang biasanya dengan memakai metoda Western Blot. ELISA yang sangat sensitif dan
Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif
AIDS.
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the
Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga
menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh
pengobatan, perawatan, serta dukungan.
21