You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN
Persalinan preterm merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas perinatal di seluruh dunia. Persalinan preterm menyebabkan 70%
kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka panjang,
yang meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure
disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, dan gangguan non-neurologi seperti
penyakit paru kronis, dan retinopati. Hal ini berarti, morbiditas menjadi masalah
sosial dan ekonomi yang signifikan, baik bagi keluarga yang terlibat maupun
negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, persalinan preterm bukan hanya
menjadi komplikasi obstetri yang paling umum, namun juga menjadi salah satu
yang paling serius.[1,2,3,4]
Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya bervariasi antara 6%
sampai 15% dari seluruh persalinan. Di Amerika Serikat, sekitar 450.000 (11,5%)
persalinan preterm terjadi setiap tahunnya, dan menyebabkan 75%

kematian

neonatal dan 50% gangguan neurologis jangka panjang pada anak. Selain itu juga
menyebabkan pengeluaran biaya perawatan kesehatan sebesar 35% untuk bayi
dan 10% untuk anak.[4] Di Indonesia belum ada angka yang secara nasional
menunjukan kejadian persalinan preterm, tetapi beberapa peneliti memberikan
angka kejadian persalinan preterm di rumah sakit. Joesoef dkk. melaporkan angka
kejadian persalinan preterm di beberapa rumah sakit di Jakarta pada tahun 1991
sebesar 13,3%, sedangkan Usman dan Effendi di RS dr. Hasan Sadikin Bandung
pada tahun 2001 sebesar 9,9%.[5]
Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang
berhubungan dengan persalinan preterm mungkin memerlukan identifikasi faktor
risiko dan pelaksanaan program modifikasi perilaku yang efektif untuk mencegah
persalinan preterm. Sehingga diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai
faktor-faktor risiko psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm, serta
program yang akurat untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami
persalinan preterm.[6]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1

2. 1 DEFINISI
Diagnosis persalinan preterm dibuat jika pasien dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap
10 menit, yang dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks.
[2]

Pendapat lain mengatakan persalinan preterm adalah persalinan yang

berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir (AJOG 1995).[7] Namun, batas bawah usia kehamilan yang digunakan
untuk membedakan persalinan preterm dengan abortus spontan bervariasi menurut
lokasi.[8] Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu.[7]
2. 2 EPIDEMIOLOGI
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: (1)
persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh; dan
(3) persalinan preterm dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya
dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari persalinan
preterm berdasarkan indikasi, 40-45% persalinan preterm terjadi secara spontan
dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% persalinan preterm yang didahului
ketuban pecah dini.[4,8]
Konstribusi penyebab persalinan preterm berbeda berdasarkan kelompok
etnis. Persalinan preterm pada wanita kulit putih lebih umum merupakan
persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita
kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. Persalinan
preterm juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% persalinan preterm
terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar
15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20%
pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia
kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan
angka kejadian persalinan preterm, yang sebagian besar disebabkan oleh
meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi.[8]

Gambar 2.1 Gambaran angka kejadian persalinan preterm di USA, 1989-2000


(diambil dari kepustakaan 8)
2. 3 ETIOLOGI
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab persalinan preterm multifaktorial
dan sesuai dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:
1.
Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2.
Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau
3.
4.
5.

6.

7.

polihidramnion),
Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau
trikomonas),
Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisisadrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau

8.

janin), dan
Insufisiensi

uteroplasenta

(misalnya,

hipertensi,

diabetes

tipe

I,

penyalahgunaan obat, merokok, atau konsumsi alkohol).[6,7,8]


Tabel 2.1 Etiologi dan alur persalinan preterm yang diakui secara umum [9]

2. 4 FAKTOR RISIKO
Meskipun patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun
terdapat banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan preterm,
dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai
kemungkinan terjadinya persalinan preterm.[1,7] Namun sayangnya upaya untuk
menilai faktor risiko tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari
persalinan preterm terjadi pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko yang
jelas.[3]
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya persalinan preterm:
a. Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop
electrosurgical excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.
b. Faktor risiko minor
1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu
2. Riwayat pielonefritis
3. Merokok lebih dari 10 batang perhari
4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua
5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor;
atau dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya. [3,10]
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status
4

sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan


lainnya (seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa,
kehamilan yang diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak
melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan
persalinan preterm adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian
memberikan asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko
tambahan.[1,7]
2. 5 PATOGENESIS
Penyebab persalinan preterm multifaktorial dan dapat saling berinteraksi
satu sama lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada persalinan preterm:
[11]

a.

Aktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu: stres


Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang

mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan


mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin
atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko penting untuk persalinan
preterm. Beberapa penelitian telah menemukan 50% hingga 100% kenaikan angka
kelahiran preterm berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan
gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi.
Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti depresi) telah
dikaitkan dengan persalinan preterm terkait stres. Namun, proses yang paling
penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah neuroendokrin,
yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini dimediasi oleh
corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta. Penelitian in vitro pada sel
plasenta manusia menunjukan CRH dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia
dalam dosis yang sesuai responnya terhadap semua efektor biologi utama stres,
termasuk kortisol, katekolamin, oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1).
Dalam penelitian in vivo juga ditemukan hubungan yang signifikan antara stres
psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan kortisol plasma ibu. Beberapa
penelitian menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu dengan waktu persalinan.
Hobel dkk. melakukan penilaian kadar CRH serial selama kehamilan dan
5

menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita


yang melahirkan preterm memiliki kadar CRH yang meningkat secara signifikan,
dengan mempercepat peningkatan kadar CRH selama kehamilan. Selain itu,
mereka menemukan bahwa tingkat stres psikososial ibu pada pertengahan
kehamilan secara

Gambar 2.2 Alur yang umum terjadi pada persalinan preterm


(diambil dari kepustakaan 11)
signifikan dapat memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara
pertengahan kehamilan dan setelahnya.[9,11]
7

Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan
prematuritas dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta.
Pada persalinan term, aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis
HPA janin dalam suatu feedback positif pada pematangan janin. Pada persalinan
preterm, aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stres pada ibu,
tanpa adanya penyebab persalinan preterm lainnya, seperti infeksi akan
menyebabkan peningkatan efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan
epinefrin, yang mengaktifkan ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta, pada
gilirannya,

dapat

menstimulasi

janin

untuk

mensekresi

kortisol

dan

dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) (melalui aktivasi aksis HPA janin)


dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan prostaglandin, sehingga
mempercepat persalinan preterm.[9,11]
Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian persalinan
preterm di antara orang Afrika-Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat
mewakili hasil akhir yang umum pada berbagai alur yang meliputi stres,
perdarahan, preeklampsia, dan infeksi. Asfiksia memainkan peranan penting
dalam persalinan preterm, bayi lahir mati, dan perkembangan neonatal yang
merugikan. Asfiksia kronik yang berhubungan dengan insufisiensi sirkulasi
uteroplasenta dapat terjadi pada infeksi plasenta seperti malaria, atau penyakit ibu
(seperti diabetes, preeklamsia, hipertensi kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis
HPA janin dan berikutnya kelahiran preterm.[9,11]
b. Infeksi dan inflamasi
Patogenesis dari persalinan preterm masih belum dimengerti dengan benar.[8]
Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam
persalinan

preterm.[1,8]

Meskipun

demikian,

patogenesis

infeksi

hingga

menyebabkan persalinan preterm pun hingga kini belum jelas benar, namun
diduga berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi
fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh banyak mikroorganisme. Fosfolipase A2 akan
memecah asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat
bebas

meningkat

untuk

sintesis

prostaglandin.

Selain

itu,

endotoksin

(lipopolisakarida) bakteri dalam cairan amnion akan merangsang sel desidua


8

untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi proses


persalinan. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
dan tumour necrosis factor (TNF) adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan
persalinan preterm. Sementara itu, platelet activating factor (PAF) yang
ditemukan dalam cairan amnion terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan
sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan oleh paru dan ginjal janin. Oleh karenanya,
janin tampaknya memainkan suatu peran yang sinergik untuk inisiasi kelahiran
preterm yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teleologis, hal ini
kemungkinan menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari
lingkungan yang terinfeksi.[7,8,10,12]
Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang
produksi prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading
enzymes. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam
mengatur metabolisme matriks ekstraselular yang terkait dengan pematangan
serviks saat dimulainya persalinan, sedangkan degradasi dari matriks ekstraselular
pada membran amnion akan menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian
menyebabkan persalinan preterm.[8,13]
Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron melalui
pemecahan asam arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi
PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH
prostaglandin dehydrogenase). Meningkatnya PGHS-2 akan menstimulasi sintesis
prostaglandin. Sedangkan downregulation PGDH akan meningkatkan ratio
prostaglandin (PG) terhadap prostaglandin metabolite (PGM), yang akan
meningkatkan aktivitas uterus, pematangan serviks, dan rupturnya membran
amnion.[13]
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi
infeksi intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria
asimptomatik, dan periodontitis ibu.[11] Mikroorganisme yang umum dilaporkan
pada rongga amnion adalah genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma
urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia bawah,
seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum
selaput amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya
9

bakteri yang jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui
mekanisme sebagai berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum
ialah penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks.[8,12] Hal ini dapat
ditunjukkan oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang
merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominan-laktobasilus
yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob,
Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan
ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini, persalinan preterm, dan
infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.[7]

Gambar 2.3 Jalur masuknya kuman penyebab infeksi


(diambil dari kepustakaan 8)
c.

Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)


Perdarahan desidua dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskular

dari plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah
dini. Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35%
dari wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi.
Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari
arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan
mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan persalinan preterm ialah
iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin
diperkirakan memainkan peran utama.[9,11]

10

Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease


multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan
otot halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos
longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro
mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in
vivo menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan menurun dengan
pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in
vitro dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai
peningkatan aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta
persalinan preterm yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.
[9,11]

Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini.
Matrix metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran
janin dan choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini.
Secara in vitro, trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan
MMP-9 pada sel-sel desidua dan membran janin yang dikumpulkan dari
kehamilan term tanpa komplikasi. Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8
desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil.
Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai
infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini
mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan
desidua.[9,11]
d. Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)
Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai
persalinan

preterm

yang

berhubungan

dengan

kehamilan

multipel,

polihidramnion, dan makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh


reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted reproduction technologies
(ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari
penyebab yang paling penting dari persalinan preterm di negara-negara maju. Di
Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi
17% dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun
2003 merupakan anak kembar. Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan
11

hingga menyebabkan persalinan preterm masih belum jelas. Namun diketahui,


peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein gap junction, seperti
connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya yang
berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin. Pada penelitian in vitro,
regangan miometrium juga meningkatkan prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2)
dan prostaglandin E (PGE). Regangan otot pada segmen menunjukan peningkatan
produksi IL-8 dan kolagen, yang pada gilirannya akan memfasilitasi pematangan
serviks.

Namun, penelitian eksperimental pada hewan mengenai uterine

overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada manusia
sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.[9]
e.

Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses

pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan
pada serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan
variasi yang cukup luas, termasuk persalinan preterm. Insufisiensi serviks secara
tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses
berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima
penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero
diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur
operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization;
(4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.[9]
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan
cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan
kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan
pemendekan serviks prematur dari proses patofisiologi lainnya yang mana
cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik diprediksi oleh panjang serviks
yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang
diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik
dengan risiko persalinan preterm. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang
serviks dari kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan persalinan preterm
dengan panjang serviks pada kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya
12

antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks dan panjang serviks pada
kehamilan berikutnya.[9]
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan
pemendekan serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling
serviks prematur, hasil dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin
memainkan peranan penting dalam pemendekan dan dilatasi serviks prematur.
Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis sehubungan
dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester kedua, dan 9% dari pasien
memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti
mengalami infeksi intraamnion. Data ini menunjukan suatu peranan penting
infeksi intraamnion yang menyebar secara ascending.[9]
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko persalinan preterm
juga meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko persalinan
preterm pada wanita yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih
dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya
sebagian besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida
merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan
plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut
mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin dan persalinan preterm.[8]
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran
darah uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis
hypothalamicpituitaryadrenal

(HPA)

janin,

yang

ditunjukkan

dengan

peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang


kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis
anterior. ACTH pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol
dari korteks adrenal. Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2
(prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH
prostaglandin dehydrogenase).[13]
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik
yang juga dianggap dapat meningkatkan risiko persalinan preterm, melalui
peningkatan produksi sitokin.[8]
2.6 Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami Persalinan Preterm
13

Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat dilakukan


sejak awal, sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan
pasien yang berisiko, untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik
terhadap persalinan preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga
tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim
dilakukan pada kunjungan antenatal, padahal sebenarnya pemeriksaan tersebut
mempunyai manfaat yang cukup besar dalam meramalkan terjadinya persalinan
preterm. Bila dijumpai seviks pendek (< 1 cm) disertai dengan pembukaan yang
merupakan tanda serviks matang/inkompetensi serviks, maka pasien tersebut
mempunyai risiko terjadinya persalinan preterm 3-4 kali.[7]
Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm:
a. Skoring risiko
Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh
Creasly dkk. Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam
faktor risiko, antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta
penyulit kehamilan yang dihadapi saat ini. Wanita dengan skor 10 atau lebih
dianggap berisiko tinggi mengalami persalinan preterm.[1,4,12] Meskipun Creasy
dkk. serta Covington dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring yang
disertai program pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang
baik.[12] Pada prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna. Dan
karena metode ini sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka
metode ini tidak sesuai untuk nulipara. Oleh karena itu, metode ini tidak
menawarkan keuntungan lebih dari penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat
direkomendasikan.[1]
b.

Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring


Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan

pada wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm. Metode ini melibatkan
pencatatan telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor
kontraksi yang diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah
perekam elektronik kecil yang dipasang dipinggang, kemudian hasil aktivitas
uterus akan dihantarkan ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan
14

tersebut, para praktisi kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap
harinya terhadap pasien tersebut melalui telepon.[4,12]
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan
aktivitas uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah persalinan
preterm, baik pada wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi.
Bahkan penggunaan metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal
asuhan prenatal yang dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang signifikan
terhadap terapi obat tokolisis profilaktik pada wanita hamil. [1,4,12] Selain itu metode
ini membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pelaksanaannya. [12] Oleh karena
itu, metode ini tidak direkomendasikan pada praktek klinis rutin.[4]

c.

Estriol saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan

konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm.[12] Hal ini dapat dijelaskan
melalui penelitian mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan
peranan aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan
peningkatan produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya persalinan.
Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada
persalinan preterm akan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu,
dan ini dapat menjadi perediktor dimulainya persalinan preterm. [4] Telah
dilaporkan bahwa peningkatan estriol akan dimulai sejak 3 minggu sebelum
dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami persalinan preterm atau
aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam serum ibu,
dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko persalinan preterm dengan atau
tanpa gejala.[1]
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif
dalam memprediksi persalinan preterm dibandingkan metode skoring risiko.
Namun, tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan
memiliki tingkat positif palsu yang sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya
perawatan kehamilan karena intervensi yang tidak perlu.[4] Tingkat estriol saliva
dapat diukur secara akurat dengan menggunakan radioimmunoassay. Heine dkk.
15

menunjukan bahwa tingkat estriol saliva positif satu ( 2,1 ng/ml) dapat
memprediksikan suatu peningkatan risiko persalinan preterm 3-4 kali lipat pada
wanita dengan resiko rendah maupun tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut
hasil tes positif, ini menunjukan peningkatan akurasi prediksi yang signifikan,
tetapi masih memiliki sedikit penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva
menunjukan beberapa keunggulan yaitu merupakan tindakan yang tidak invasif,
sampel saliva yang mudah didapatkan, dan dapat memberikan hasil positif
beberapa minggu sebelum dimulainya persalinan.[1]

Namun, adanya variasi

diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta pemberian betametason untuk produksi
surfaktan yang dapat menekan tingkat estriol saliva ibu, dapat mempersulit
interpretasi hasil.[4] Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai intervensi
dan pengobatan yang potensial pada wanita dengan peningkatan kadar estriol
saliva yang tinggi, sebelum penggunaannya direkomendasikan secara luas pada
populasi obtetrik.[1]
d.

Skrining bacterial vaginosis (BV)


Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan persalinan preterm

spontan, ketuban pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan
amnion. Platz-Christense dkk. (1993) telah memberikan beberapa bukti bahwa
vaginosis bakterialis dapat mencetuskan persalinan preterm dengan suatu
mekanisme yang serupa dengan jalur jaringan sitokin yang diusulkan untuk
bakteri cairan amnion.[12] Banyak penelitian klinis secara konsisten menemukan
bahwa wanita dengan vaginosis bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko
mengalami persalinan preterm yang meningkat 2 kali lipat. [1] Diagnosis vaginosis
bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4 kriteria berikut ini:
1.
pH vagina > 4,5
2.
adanya clue cells (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada
3.
4.

pewarnaan gram
adanya duh vagina homogen
bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.[1,12]
Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita

hamil yang ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi
dengan riwayat persalinan preterm sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis
bakterialis dapat mencegah persalinan preterm pada sebagian dari wanita. Namun,
16

meta-analisis terbaru menunjukan banyak perbedaan diantara 6 penelitian


mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan kesimpulan yang pasti. [1] Telah
banyak hasil yang tidak meyakinkan dan tidak memberikan manfaat dari skrining
vaginosis bakterialis yang bertujuan untuk memprediksi persalinan preterm,
terutama pada kelompok risiko rendah.[4]

e.

Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)


Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk

molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas,
fibroblast, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam
konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan
peranan pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam
mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin diukur dengan
menggunakan enzyme linked immunosorbent assay.[12] Normalnya, fibronektin
janin terdeteksi pada sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada
kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih
dianggap sebagai hasil positif dan mengindikasikan risiko persalinan preterm.[7,12]
Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin
janin pada sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi
suatu pertanda adanya ancaman persalinan preterm. [12] Berdasarkan teori,
peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks dan cairan amnion
memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan desidua.
[7]

Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada


kehamilan normal aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya
memperlihatkan remodeling stroma serviks sebelum persalinan. Cox dkk. (1996)
menemukan bahwa dilatasi serviks lebih bermakna untuk mendeteksi fibronektin
daripada untuk meramalkan kelahiran preterm.[12] Namun demikan, banyak
penelitian telah menunjukan adanya peningkatan risiko persalinan preterm, jika
fFN positif pada sekret serviks setelah usia kehamilan 24 minggu, dan sebaliknya
terdapat penurunan risiko jika didapatkan fFN negatif.[4]
17

Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi persalinan


preterm dalam 1 dan 2 minggu kemudian ialah 89%, sedangkan untuk
memprediksi persalinan preterm dalam 3 minggu kemudian ialah 92%.
Sensitivitas dari tes ini, dalam memprediksi dimulainya persalinan preterm dalam
1 minggu dan 3 minggu kemudian, masing-masing ialah 71% dan 59%.[4]
Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi
peripartum dapat merangsang pelepasan fibronektin janin. Serupa dengan hal
tersebut, Jackson dkk. (1996) memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro
menghasilkan fibronektin janin bila dirangsang oleh produk-produk radang yang
dicurigai mengawali persalinan preterm akibat infeksi.[12]
f.

Pengukuran panjang serviks


Serviks memerankan peranan

ganda

pada

kehamilan.

Serviks

mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine


sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari
isi uterus untuk melintasinya selama proses persalinan. Kompetensi serviks
tergantung pada kesatuan antara anatomi dan komposisi biokimia dari serviks.
Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks atau dimulainya persalinan
ialah terjadinya pemendekan dari serviks. Perhatian terhadap penilaian panjang
serviks menggunakan ultrasonografi sebagai prediktor persalinan preterm muncul
setelah Iams dkk. (1996) menentukan distribusi normal dari panjang serviks
setelah umur kehamilan 22 minggu. Hal ini kemudian diterima secara luas, bahwa
panjang serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat
meningkatkan risiko persalinan preterm. Suatu penelitian prospektif yang
melibatkan 2.915 wanita yang dievaluasi menggunakan ultrasonografi pada
serviks secara serial menunjukan suatu risiko relatif terhadap persalinan preterm
ialah 9.57, 13.88, dan 24,94 untuk panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22
mm, < 13 mm, pada usia kehamilan 28 minggu. Hasil dari beberapa penelitian
yang menggunakan penilaian panjang serviks sebagai prediktor persalinan
preterm tidak selalu dapat dipercaya.terdapat variasi yang luas pada nilai
prediksinya. Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang melibatkan penilaian
panjang serviks menunjukan variasi yang sangat luas dalam sensitivitas (6818

100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu hingga saat ini tidak ada bukti
kuat

yang

mendukung

penggunaan

penilaian

panjang

serviks

dengan

menggunakan USG pada usia kehamilan 24-28 minggu dalam memprediksi


persalinan preterm sebagai pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada
kehamilan dengan risiko tinggi atau dalam kombinasi dengan test fFN.[4]
g.

Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks


Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret

vaginoserviks pada wanita yang berisiko tinggi mengalami persalinan preterm


mungkin bermanfaat. Suatu penelitian yang menilai risiko terulangnya persalinan
preterm spontan pada wanita yang memiliki riwayat persalinan preterm
sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65% jika panjang serviks kurang dari 25
mm dan fFN positif. Namun, jika fFN negatif, risiko persalinan preterm hanya
sebesar 25%. Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah, risiko terulangnya
persalinan preterm pada wanita dengan panjang serviks > 35 mm dan fFN negatif,
hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, kombinasi penilaian panjang serviks dengan
menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu memprediksi terulangnya
persalinan preterm pada wanita risiko tinggi.[4]
Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam
memprediksi risiko terulangnya persalinan preterm [4]
Panjang serviks
< 25 mm
25-35 mm
> 35 mm

Risiko terulangnya persalinan preterm


fFN positif
fFN negatif
65%
25%
45%
14%
25%
7%

2.7 DIAGNOSIS
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan
preterm. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit
dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus
sendiri dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini
digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu
sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat
besar dalam penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang

19

melahirkan sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan


kontraksi Braxtons Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu
persalinan palsu.[7,12]
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan
preterm, yaitu:
1.
Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2.
Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
3.

4.
5.

6.
7.

setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,
atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
Selaput amnion seringkali telah pecah,
Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.[3,7,10]
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The

American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis


persalinan preterm ialah sebagai berikut:
1.
Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
2.
3.

delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,


Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.[12]

2.8 PENATALAKSANAAN
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan persalinan preterm
ialah, apakah ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebabnya
dan menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris,
ataupun ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan
cairan amnion, persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital.[7]
Bila proses persalinan preterm masih tetap berlangsung atau mengancam,
meski telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1.
Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter
spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm,
2.
3.

atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat nafas.
20

4.

5.

Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan


bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan
rencana perawatan intensif neonatus.[7]
Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau

menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk


meningkatkan neonatal outcomes.[7]
Manajemen persalinan preterm

tergantung

pada

beberapa

faktor,

diantaranya:
1.
Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat
2.

3.

bilamana selaput ketuban sudah pecah.


Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai
4 cm.
Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila
TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan 34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,
mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan

4.
5.

fasilitas perawatan neonatus yang memadai.


Penyebab/komplikasi persalinan preterm.
Kemampuan neonatal intensive care facilities.[7]
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama

untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:


1.
Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2.
Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
3.
Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan
antibiotik.[7]
a.

Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,

tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan
serviks pada kehamilan preterm.
Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:
1.
Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2.
Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan
paru janin
21

3.
4.

1.

Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap


Optimalisasi personil.[7]
Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:
Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan
tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya
hanya diperlukan 20 mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi

2.

berulang dan dosis perawatan 3x10 mg.[7,10]


Obat -mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol
dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.
[7]

Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 g/menit, sedangkan per oral: 4
mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 1015 g/menit, subkutan: 250 g setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5
mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema
3.

paru.[10]
Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara
bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat
ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada
ibu ataupun janin.[7] Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi,

4.

nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).[10]


Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide
dapat

menghambat

produksi

prostaglandin

dengan

menghambat

cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin.


Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun
menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek
samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat
ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.[14]
Untuk menghambat proses persalinan preterm, selain tokolisis, pasien juga
perlu membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.[10]
Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan
intrauterine terbukti tidak baik, seperti:
a.
Oligohidramnion
b.
Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c.
Preeklamsia berat
22

d.
e.
f.

g.
h.

Hasil nonstress test tidak reaktif


Hasil contraction stress test positif
Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien
stabil dan kesejahteraan janin baik
Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.[2,6]

b. Akselerasi pematangan fungsi paru


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan
paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah
perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang
akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana
usia kehamilan kurang dari 35 minggu.[7,12]
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian
steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian
siklus tunggal kortikosteroid ialah:
1.
Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2.
Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.[7]
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing
hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang
kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen
inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan
dalam pembentukan surfaktan.[10]
c.

Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika

yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis


neonatorum.[9] Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung
risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah
ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain
seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko
necrotising enterocolitis.[7]
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob
maupun anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas

23

kuman. Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko
persalinan preterm, bila tidak ada kontra indikasi, diberi tokolisis.[10]
d. Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan
seperti, apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea
terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian
forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan
episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin
presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar
dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.[7,10]
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi,
bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai
indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik.[7]
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).[10]
2.9 KOMPLIKASI
Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering
terjadi sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka
episiotomi.[10] Sedangkan bagi bayi, persalinan preterm menyebabkan 70%
kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka pendek
maupun jangka panjang. Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah respiratory
distress

syndrome

(RDS),

perdarahan

intra/periventrikular,

necrotising

enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner, sepsis, dan paten duktus


arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang meliputi retardasi mental,
gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan, hilangnya

24

pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah


yang kurang baik.[3,7]
2.10PENCEGAHAN
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.

Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk

mencegah dan mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat


dilakukan sebagai pencegahan primer:
Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi diberikan
pendidikan mengenai faktor-faktor risiko dari persalinan preterm.
Sehingga faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti pengambilan
keputusan mengenai prosedur invasif (kuretase uterus dan biopsi
endometrium), kehamilan yang dibantu oleh teknologi, dan merokok dapat
dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu
pemerintahan dalam melindungi wanita yang sedang hamil, seperti
menerapkan waktu cuti minimal 14 minggu pada wanita hamil yang
bekerja, memberikan izin bagi wanita yang berkerja untuk menghadiri
asuhan prenatal, menghindarkan wanita hamil dari jam kerja malam, serta
perlindungan wanita hamil terhadap bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan
kehamilan disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen
nutrisi, hingga selama kehamilan untuk mengurangi risiko masalah
kehamilan. Berdasarkan penelitian, morbiditas respiratori menurun pada
bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan,
mengingat adanya hubungan antara merokok dengan persalinan preterm.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang
melakukan asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian
persalinan preterm yang lebih rendah dibanding mereka yang melakukan
asuhan prenatal tidak memadai, atau yang tidak melakukan asuhan
prenatal.
25

6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm berhubungan


dengan keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat ketika
penyakit periodontal berkembang selama kehamilan, tetapi dasar mengenai
hubungan ini masih belum jelas. Peningkatan risiko persalinan preterm ini
dapat disebabkan oleh penyebaran secara hematogen dari mikroba
pathogen rongga mulut ke organ genital, atau lebih mungkin karena respon
inflamasi terhadap mikroba pada rongga mulut dan traktus genitalis.
7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi bakteriuria
asimptomatik telah dilaporkan menurunkan tingkat persalinan preterm.
Namun, skrining dan protokol terapi yang optimum dalam mencegah
persalinan preterm masih belum jelas benar. Pencegahan persalinan
preterm sebagian besar didasarkan pada riwayat persalinan preterm
sebelumnya dan adanya faktor risiko kehamilan seperti kehamilan multipel
dan perdarahan, tetapi lebih dari 50% persalinan preterm terjadi pada
kehamilan tanpa faktor risiko yang jelas. Sebagian besar faktor risiko yang
didasarkan pada riwayat persalinan sebelumnya ini, memiliki sensitivitas
yang rendah dalam memprediksi persalinan preterm. Namun, Goldenberg
dkk melaporkan bahwa jumlah dan usia persalinan preterm sebelumnya,
merupakan faktor risiko persalinan preterm yang kuat, begitu juga dengan
adanya fibronektin janin pada cairan servikovaginal, panjang serviks, dan
vaginosis bacterial, juga merupakan faktor risiko persalinan preterm
spontan yang kuat.[15]
b. Pencegahan sekunder
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko pada wanita yang
diketahui memiliki faktor risiko persalinan preterm. Sehingga dilakukan pada
wanita yang terbukti memiliki risiko persalinan preterm berdasarkan riwayat
persalinan (misalnya, persalinan preterm sebelumnya atau adanya anomali uterus)
atau adanya risiko kehamilan saat ini (misalnya kehamilan multipel atau
perdarahan). Pencegahan ini memerlukan identifikasi dan penurunan faktor risiko,
yang keduanya terbukti sulit dilakukan.[15]
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder
diantaranya ialah:
26

1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi: koreksi anomali duktus Mullerian,


pemberian progesteron profilaksis, mengontrol penyakit-penyakit seperti
diabetes, seizures, asma atau hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan
aktivitas seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan
persalinan preterm)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids
dianggap dapat menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang
intensif, meliputi dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan
pada wanita hamil)
d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita
yang

mengalami

persalinan preterm sebelumnya

dengan dugaan

dikarenakan bakterial vaginosis)


e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin,
sehingga menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara
integritas serviks, dan memiliki efek antiinflamasi).[15]
c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang umum dilakukan.
Dimulai setelah proses persalinan terjadi, dengan tujuan untuk mencegah
kelahiran preterm atau meningkatkan outcome dari bayi preterm. Beberapa
intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan tersier diantaranya ialah
pengiriman ibu dengan persalinan preterm ke rumah sakit yang dilengkapi
perawatan bayi preterm dalam sistem regionalisasi, yang memberikan pelatihan
dan pengembangan keterampilan dan perawatan fasilitas, pemberian terapi
tokolisis, kortikosteroid antenatal, antibiotik dan persalinan preterm atas indikasi
pada waktu yang tepat.[15]

27

BAB III
PENUTUP
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 2237 minggu dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas
perintal di seluruh dunia.[7] Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya
bervariasi antara 6% sampai 15% dari seluruh persalinan. [4] Patogenesis dari
persalinan preterm masih belum dimengerti dengan benar.[8] Namun, infeksi
tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam persalinan
preterm.[1,8] Meskipun patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami,
namun terdapat banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan
preterm, dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai
kemungkinan terjadinya persalinan preterm.[1,7]
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama
untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat
proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan
fungsi paru janin dengan kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan
terhadap infeksi. Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm
28

dan/atau menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi


untuk meningkatkan neonatal outcomes.[7] Intervensi yang dilakukan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan persalinan
preterm dapat diklasifikasikan menjadi pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
[15]

DAFTAR PUSTAKA
1.

Hariadi R. Ilmu kedokteran fetomaternal: Edisi Perdana. Himpunan


kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi.

2.

Surabaya :2004. hlm.364-80.


Abassi S, Gerdess JS , Shedev HM et al. Preterm Labour. In : Obstetrics
illustrated. Sixth edition, Elsevier Science Limited, Philadelphia :

3.

2003. p.204-6.
Lewis David. Magnesium Sulfate The First Line Tokolitik. In :
Obstetrics and Gynecology Clinics of North America. Sixth edition,

4.

Elsevier Science Limited, Philadelphia : 2005. p.485-500.


Ables Adrienne , Maria Ana et al. Use of Calcium Channel Antagonist
for Preterm Labor. In :Obstetrics and Gynecology Clinics of North
America. Sixth edition, Elsevier Science Limited, Philadelphia :

5.

2005. p.519-25.
Tucker Janet, McGuire Willism.. Epidemiology of Preterm Birth In :

6.

ABC of Preterm Birth. Volume 329, bmj, USA : 2004. p. 675-78


Tucker Janet, McGuire William et al.. Organisation and delivery of
Perinatal services In : ABC of Preterm Birth. Volume 329, bmj,
USA : 2004. p. 730-32

7.

Prawirohardjo, Sarwono. Persalinan Preterm dalam Ilmu Kebidanan


Edisi Keempat. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2009. p. 97-112; 289-95; 667-76.
29

8.

Edmonds, D. Keith. Dewhursts Textbook of Obstetrics & Gynaecology


Seventh Edition : Preterm Labour. USA : Blackwell Publishing.
2007. 177-91

9.

Wall Moira, Jenny Fraser, McGuire Willism.. Respiratory Complication


of Preterm Birth In : ABC of Preterm Birth. Volume 329, bmj, USA

10.

: 2004. p. 962-65
Yeast John , Lu George. Biochemical Markers for the prediction of
Preterm Labor. In :Obstetrics and Gynecology Clinics of North
America. Sixth edition, Elsevier Science Limited, Philadelphia :
2005. p.369-78.

11.

Reece, E. Albert. Clinical Obstetrics The Fetus & Mother Third Edition

12.

: Preterm Labor. USA: Blackwell Publishing. 2007.p. 1085-113.


Gabbe, Steven G. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies Fifth
Edition:

13.

Patophysiology

Preterm

Parturition.

Philadelphia:

Elsevier. 2007.p.677-83.
Cunningham, F. Gary. et.al. Williams Obstetrics 22 nd Ed. : Preterm Birth.
USA: McGraw-Hill. 2005.202-13.

14.

McGuire William, Murphy Deirdre et al.. Obstetric Issues in Preterm


Birth In : ABC of Preterm Birth. Volume 329, bmj, USA : Oktober

15.

2004. p. 783-85.
Lams, Jay. Romero, Roberto. Preterm Birth. In : Gabbe, Steven G.
Niebyl, Jennifer. Simpson, Joe. Obstetric Normal and Problem
Pregnancies Fifth Edition. Philadelphia : Elsevier. 2007. Chapter
26.

30

You might also like