Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Persalinan preterm merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas perinatal di seluruh dunia. Persalinan preterm menyebabkan 70%
kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka panjang,
yang meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure
disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, dan gangguan non-neurologi seperti
penyakit paru kronis, dan retinopati. Hal ini berarti, morbiditas menjadi masalah
sosial dan ekonomi yang signifikan, baik bagi keluarga yang terlibat maupun
negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, persalinan preterm bukan hanya
menjadi komplikasi obstetri yang paling umum, namun juga menjadi salah satu
yang paling serius.[1,2,3,4]
Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya bervariasi antara 6%
sampai 15% dari seluruh persalinan. Di Amerika Serikat, sekitar 450.000 (11,5%)
persalinan preterm terjadi setiap tahunnya, dan menyebabkan 75%
kematian
neonatal dan 50% gangguan neurologis jangka panjang pada anak. Selain itu juga
menyebabkan pengeluaran biaya perawatan kesehatan sebesar 35% untuk bayi
dan 10% untuk anak.[4] Di Indonesia belum ada angka yang secara nasional
menunjukan kejadian persalinan preterm, tetapi beberapa peneliti memberikan
angka kejadian persalinan preterm di rumah sakit. Joesoef dkk. melaporkan angka
kejadian persalinan preterm di beberapa rumah sakit di Jakarta pada tahun 1991
sebesar 13,3%, sedangkan Usman dan Effendi di RS dr. Hasan Sadikin Bandung
pada tahun 2001 sebesar 9,9%.[5]
Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang
berhubungan dengan persalinan preterm mungkin memerlukan identifikasi faktor
risiko dan pelaksanaan program modifikasi perilaku yang efektif untuk mencegah
persalinan preterm. Sehingga diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai
faktor-faktor risiko psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm, serta
program yang akurat untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami
persalinan preterm.[6]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2. 1 DEFINISI
Diagnosis persalinan preterm dibuat jika pasien dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap
10 menit, yang dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks.
[2]
berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir (AJOG 1995).[7] Namun, batas bawah usia kehamilan yang digunakan
untuk membedakan persalinan preterm dengan abortus spontan bervariasi menurut
lokasi.[8] Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu.[7]
2. 2 EPIDEMIOLOGI
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: (1)
persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh; dan
(3) persalinan preterm dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya
dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari persalinan
preterm berdasarkan indikasi, 40-45% persalinan preterm terjadi secara spontan
dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% persalinan preterm yang didahului
ketuban pecah dini.[4,8]
Konstribusi penyebab persalinan preterm berbeda berdasarkan kelompok
etnis. Persalinan preterm pada wanita kulit putih lebih umum merupakan
persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita
kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. Persalinan
preterm juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% persalinan preterm
terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar
15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20%
pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia
kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan
angka kejadian persalinan preterm, yang sebagian besar disebabkan oleh
meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi.[8]
6.
7.
polihidramnion),
Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau
trikomonas),
Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisisadrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau
8.
janin), dan
Insufisiensi
uteroplasenta
(misalnya,
hipertensi,
diabetes
tipe
I,
2. 4 FAKTOR RISIKO
Meskipun patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun
terdapat banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan preterm,
dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai
kemungkinan terjadinya persalinan preterm.[1,7] Namun sayangnya upaya untuk
menilai faktor risiko tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari
persalinan preterm terjadi pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko yang
jelas.[3]
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya persalinan preterm:
a. Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop
electrosurgical excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.
b. Faktor risiko minor
1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu
2. Riwayat pielonefritis
3. Merokok lebih dari 10 batang perhari
4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua
5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor;
atau dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya. [3,10]
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status
4
a.
Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan
prematuritas dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta.
Pada persalinan term, aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis
HPA janin dalam suatu feedback positif pada pematangan janin. Pada persalinan
preterm, aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stres pada ibu,
tanpa adanya penyebab persalinan preterm lainnya, seperti infeksi akan
menyebabkan peningkatan efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan
epinefrin, yang mengaktifkan ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta, pada
gilirannya,
dapat
menstimulasi
janin
untuk
mensekresi
kortisol
dan
preterm.[1,8]
Meskipun
demikian,
patogenesis
infeksi
hingga
menyebabkan persalinan preterm pun hingga kini belum jelas benar, namun
diduga berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi
fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh banyak mikroorganisme. Fosfolipase A2 akan
memecah asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat
bebas
meningkat
untuk
sintesis
prostaglandin.
Selain
itu,
endotoksin
bakteri yang jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui
mekanisme sebagai berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum
ialah penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks.[8,12] Hal ini dapat
ditunjukkan oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang
merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominan-laktobasilus
yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob,
Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan
ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini, persalinan preterm, dan
infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.[7]
dari plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah
dini. Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35%
dari wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi.
Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari
arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan
mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan persalinan preterm ialah
iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin
diperkirakan memainkan peran utama.[9,11]
10
Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini.
Matrix metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran
janin dan choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini.
Secara in vitro, trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan
MMP-9 pada sel-sel desidua dan membran janin yang dikumpulkan dari
kehamilan term tanpa komplikasi. Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8
desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil.
Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai
infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini
mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan
desidua.[9,11]
d. Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)
Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai
persalinan
preterm
yang
berhubungan
dengan
kehamilan
multipel,
overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada manusia
sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.[9]
e.
Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses
pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan
pada serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan
variasi yang cukup luas, termasuk persalinan preterm. Insufisiensi serviks secara
tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses
berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima
penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero
diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur
operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization;
(4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.[9]
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan
cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan
kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan
pemendekan serviks prematur dari proses patofisiologi lainnya yang mana
cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik diprediksi oleh panjang serviks
yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang
diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik
dengan risiko persalinan preterm. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang
serviks dari kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan persalinan preterm
dengan panjang serviks pada kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya
12
antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks dan panjang serviks pada
kehamilan berikutnya.[9]
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan
pemendekan serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling
serviks prematur, hasil dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin
memainkan peranan penting dalam pemendekan dan dilatasi serviks prematur.
Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis sehubungan
dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester kedua, dan 9% dari pasien
memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti
mengalami infeksi intraamnion. Data ini menunjukan suatu peranan penting
infeksi intraamnion yang menyebar secara ascending.[9]
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko persalinan preterm
juga meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko persalinan
preterm pada wanita yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih
dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya
sebagian besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida
merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan
plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut
mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin dan persalinan preterm.[8]
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran
darah uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis
hypothalamicpituitaryadrenal
(HPA)
janin,
yang
ditunjukkan
dengan
pada wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm. Metode ini melibatkan
pencatatan telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor
kontraksi yang diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah
perekam elektronik kecil yang dipasang dipinggang, kemudian hasil aktivitas
uterus akan dihantarkan ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan
14
tersebut, para praktisi kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap
harinya terhadap pasien tersebut melalui telepon.[4,12]
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan
aktivitas uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah persalinan
preterm, baik pada wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi.
Bahkan penggunaan metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal
asuhan prenatal yang dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang signifikan
terhadap terapi obat tokolisis profilaktik pada wanita hamil. [1,4,12] Selain itu metode
ini membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pelaksanaannya. [12] Oleh karena
itu, metode ini tidak direkomendasikan pada praktek klinis rutin.[4]
c.
Estriol saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan
konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm.[12] Hal ini dapat dijelaskan
melalui penelitian mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan
peranan aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan
peningkatan produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya persalinan.
Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada
persalinan preterm akan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu,
dan ini dapat menjadi perediktor dimulainya persalinan preterm. [4] Telah
dilaporkan bahwa peningkatan estriol akan dimulai sejak 3 minggu sebelum
dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami persalinan preterm atau
aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam serum ibu,
dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko persalinan preterm dengan atau
tanpa gejala.[1]
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif
dalam memprediksi persalinan preterm dibandingkan metode skoring risiko.
Namun, tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan
memiliki tingkat positif palsu yang sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya
perawatan kehamilan karena intervensi yang tidak perlu.[4] Tingkat estriol saliva
dapat diukur secara akurat dengan menggunakan radioimmunoassay. Heine dkk.
15
menunjukan bahwa tingkat estriol saliva positif satu ( 2,1 ng/ml) dapat
memprediksikan suatu peningkatan risiko persalinan preterm 3-4 kali lipat pada
wanita dengan resiko rendah maupun tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut
hasil tes positif, ini menunjukan peningkatan akurasi prediksi yang signifikan,
tetapi masih memiliki sedikit penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva
menunjukan beberapa keunggulan yaitu merupakan tindakan yang tidak invasif,
sampel saliva yang mudah didapatkan, dan dapat memberikan hasil positif
beberapa minggu sebelum dimulainya persalinan.[1]
diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta pemberian betametason untuk produksi
surfaktan yang dapat menekan tingkat estriol saliva ibu, dapat mempersulit
interpretasi hasil.[4] Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai intervensi
dan pengobatan yang potensial pada wanita dengan peningkatan kadar estriol
saliva yang tinggi, sebelum penggunaannya direkomendasikan secara luas pada
populasi obtetrik.[1]
d.
spontan, ketuban pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan
amnion. Platz-Christense dkk. (1993) telah memberikan beberapa bukti bahwa
vaginosis bakterialis dapat mencetuskan persalinan preterm dengan suatu
mekanisme yang serupa dengan jalur jaringan sitokin yang diusulkan untuk
bakteri cairan amnion.[12] Banyak penelitian klinis secara konsisten menemukan
bahwa wanita dengan vaginosis bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko
mengalami persalinan preterm yang meningkat 2 kali lipat. [1] Diagnosis vaginosis
bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4 kriteria berikut ini:
1.
pH vagina > 4,5
2.
adanya clue cells (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada
3.
4.
pewarnaan gram
adanya duh vagina homogen
bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.[1,12]
Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita
hamil yang ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi
dengan riwayat persalinan preterm sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis
bakterialis dapat mencegah persalinan preterm pada sebagian dari wanita. Namun,
16
e.
molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas,
fibroblast, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam
konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan
peranan pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam
mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin diukur dengan
menggunakan enzyme linked immunosorbent assay.[12] Normalnya, fibronektin
janin terdeteksi pada sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada
kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih
dianggap sebagai hasil positif dan mengindikasikan risiko persalinan preterm.[7,12]
Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin
janin pada sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi
suatu pertanda adanya ancaman persalinan preterm. [12] Berdasarkan teori,
peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks dan cairan amnion
memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan desidua.
[7]
ganda
pada
kehamilan.
Serviks
100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu hingga saat ini tidak ada bukti
kuat
yang
mendukung
penggunaan
penilaian
panjang
serviks
dengan
2.7 DIAGNOSIS
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan
preterm. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit
dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus
sendiri dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini
digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu
sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat
besar dalam penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang
19
4.
5.
6.
7.
setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,
atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
Selaput amnion seringkali telah pecah,
Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.[3,7,10]
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
2.8 PENATALAKSANAAN
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan persalinan preterm
ialah, apakah ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebabnya
dan menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris,
ataupun ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan
cairan amnion, persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital.[7]
Bila proses persalinan preterm masih tetap berlangsung atau mengancam,
meski telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1.
Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter
spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm,
2.
3.
atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat nafas.
20
4.
5.
tergantung
pada
beberapa
faktor,
diantaranya:
1.
Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat
2.
3.
4.
5.
Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,
tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan
serviks pada kehamilan preterm.
Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:
1.
Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2.
Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan
paru janin
21
3.
4.
1.
2.
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 g/menit, sedangkan per oral: 4
mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 1015 g/menit, subkutan: 250 g setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5
mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema
3.
paru.[10]
Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara
bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat
ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada
ibu ataupun janin.[7] Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi,
4.
menghambat
produksi
prostaglandin
dengan
menghambat
d.
e.
f.
g.
h.
Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika
23
kuman. Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko
persalinan preterm, bila tidak ada kontra indikasi, diberi tokolisis.[10]
d. Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan
seperti, apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea
terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian
forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan
episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin
presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar
dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.[7,10]
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi,
bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai
indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik.[7]
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).[10]
2.9 KOMPLIKASI
Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering
terjadi sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka
episiotomi.[10] Sedangkan bagi bayi, persalinan preterm menyebabkan 70%
kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka pendek
maupun jangka panjang. Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah respiratory
distress
syndrome
(RDS),
perdarahan
intra/periventrikular,
necrotising
24
Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk
mengalami
dengan dugaan
27
BAB III
PENUTUP
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 2237 minggu dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas
perintal di seluruh dunia.[7] Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya
bervariasi antara 6% sampai 15% dari seluruh persalinan. [4] Patogenesis dari
persalinan preterm masih belum dimengerti dengan benar.[8] Namun, infeksi
tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam persalinan
preterm.[1,8] Meskipun patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami,
namun terdapat banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan
preterm, dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai
kemungkinan terjadinya persalinan preterm.[1,7]
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama
untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat
proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan
fungsi paru janin dengan kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan
terhadap infeksi. Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm
28
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
2003. p.204-6.
Lewis David. Magnesium Sulfate The First Line Tokolitik. In :
Obstetrics and Gynecology Clinics of North America. Sixth edition,
4.
5.
2005. p.519-25.
Tucker Janet, McGuire Willism.. Epidemiology of Preterm Birth In :
6.
7.
8.
9.
10.
: 2004. p. 962-65
Yeast John , Lu George. Biochemical Markers for the prediction of
Preterm Labor. In :Obstetrics and Gynecology Clinics of North
America. Sixth edition, Elsevier Science Limited, Philadelphia :
2005. p.369-78.
11.
Reece, E. Albert. Clinical Obstetrics The Fetus & Mother Third Edition
12.
13.
Patophysiology
Preterm
Parturition.
Philadelphia:
Elsevier. 2007.p.677-83.
Cunningham, F. Gary. et.al. Williams Obstetrics 22 nd Ed. : Preterm Birth.
USA: McGraw-Hill. 2005.202-13.
14.
15.
2004. p. 783-85.
Lams, Jay. Romero, Roberto. Preterm Birth. In : Gabbe, Steven G.
Niebyl, Jennifer. Simpson, Joe. Obstetric Normal and Problem
Pregnancies Fifth Edition. Philadelphia : Elsevier. 2007. Chapter
26.
30