You are on page 1of 32

TUGAS REFERAT RADIOLOGI

KARSINOMA KOLOM
Dan
ASPEK RADIOLOGISNYA

DISUSUN OLEH:
RAYMOND TANJUNG
406148050

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
KEPANITERAAN RADIOLOGI
RS. ROYAL TARUMA
2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga referat yang berjudul Karsinoma Kolon
dan Aspek Radiologisnya ini dapat selesai tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Radiologi di Rumah Sakit Royal Taruma Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara serta agar dapat menambah kemampuan dan ilmu
pengetahuan bagi para pembaca.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan serta
bimbingan dari dr. Herman W. Hadiprodjo, Sp.Rad selama menjalani kepaniteraan radiologi.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat disempurnakan di
masa yang akan datang. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, 13 Mei 2015

Penulis

i
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ii

BAB I.

PENDAHULUAN

BAB II.

KARSINOMA PARU

ANATOMI PARU

DEFINISI

EPIDEMIOLOGI

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

PATOFISIOGI

MANIFESTASI KLINIS

DIAGNOSIS, PEMERIKSAAN & DETEKSI DINI

GEJALA

TATALAKSANA

10

PROGNOSIS

14

PENCEGAHAN

15

BAB III.

ASPEK RADIOLOGIS

17

BAB IV

PENUTUP

22

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

25

ii
BAB I

PENDAHULUAN
Tumor usus halus jarang terjadi,sebaliknya tumor usus besar atau rectum relative umum. Di
Amerika Serikat menempati urutan ketiga untuk kanker organ visceral. Selain itu, kanker
kolon merupakan kanker penyebab kematian tertinggi kedua di Amerika Serikat.
Dari penelitian yang dilakukan olh Harijono Achmad di RSSA Malang, didapatkan bahwa
kasus karsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita selama 5 tahun,terdiri dari
penderita di bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita (14,26%).
Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%), rekto sigmoid
(8%), sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon tranversum
(6%),flexura hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum (12%),appendix (2%).
Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat,.Amerika Utara. Di Asia, banyak
terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan makanan. Beberapa faktor antara
lain lingkungan, genetik dan immunologi merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker
kolon, di samping bahan karsinogen, bakteri dan virus.
Gejala klinik karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker cecum dan kolon
asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto sigmoid dapat
menyumbat lumen atau berdarah.
Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah tersebut
meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan
dengan diagnosis dini dan tindakan segera. Laporan kasus Lab JUPF Ilmu Penyaki Dalam
FK. UNIBRAW RSSA Malang, tangga1 17 Juni 1992.

1
BAB II

KARSINOMA KOLON
II.1 ANATOMI KOLON
Colon merupakan bagian paling distal dari tractus digestivus. Panjangnya kira-kira 1,5 2 m,
diameter

sekitar

6,5

cm

pada

daerah

caecum,

terbagi

atas

- Colon Ascendens
- Colon Tranversum
- Colon Descendens
- Colon Sigmoid
Terdapat 3 flexura:
- Flexura Hepatica : Di bawah hati , peralihan dari colon ascendens ke colon transversum.
- Flexura Linealis : Di bawah pancreas , peralihan dari colon transversum ke colon
descendens.
- Flexura Sigmoidea : Peralihan dari colon descendens ke colon sigmoid.
Terdapat diverticulum pada caecum yang disebut appendiks.
II.2 DEFINISI
Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca. Colon atau Kanker Usus Besar adalah suatu
bentuk keganasan yang terjadi pada caecum, kolon, dan rectum. Di negara maju, kanker ini
menduduki peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang
utama di dunia barat. Kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel yang tidak
ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal membentuk polip (sel yang tumbuh
sangat cepat). Pada stadium awal, polip dapat diangkat dengan mudah. Tetapi, seringkali pada
stadium awal adenoma tidak menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi dalam
waktu yang relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi kanker yang dapat
terjadi pada semua bagian dari usus besar
II.3 EPIDEMIOLOGI
Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan mortalitas.
Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas
2
lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada
wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.

Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru;
sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di
Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering terjadi pada
pria dan wanita pada tingkat insidensi dan mortalitas. Pada tahun 2004 di eropa terdapat
2.886.800 insiden kanker yang terdiagnosa dan 1.711.000 kematian karena kanker. Insiden
kanker yang paling sering adalah kanker paru-paru (13,3%), diikuti oleh kanker kolorektal
(13,2%) dan kanker payudara (13%). Kanker paru-paru juga merupakan kanker yang
tersering menyebabkan kematian (341.800) diikuti oleh kanker kolorektal (203.700), kanker
lambung (137.900) dan kanker payudara (129.900). Dengan estimasi 2,9 juta kasus baru
(54% muncul pada pria, 46% pada wanita) dan 1,7 juta kematian (56% pada pria, 44% pada
wanita) tiap tahunnya. Di Amerika kanker kolorektal merupakan penyebab kematian tersering
setelah kanker paru paru dan menduduki peringkat ketiga pada kanker yang terdapat pria dan
wanita dengan lebih dari 130.000 kasus baru tiap tahun dan menyebabkan kematian 55.000
orang tiap tahun. Dari data berdasarkan 19 tahun follow up pada insiden kanker kolorektal di
Swedia pada tahun 1960 pada 53.377 kasus yang diketemukan (28.003 pria dan 25.374
wanita), Didapatkan suatu hubungan yaitu 1) terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita
yang berusia lanjut, yang meningkat seiring dengan usia; 2) meningkatnya insiden kanker
kolorektal seiring dengan kepadatan penduduk; 3) rendahnya insiden pada pria yang belum
pernah menikah dibandingkan dengan pria lainnya.
Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun, hanya 3,2%
dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Program yang dilaksanakan
oleh proyek pengawasan kanker terpadu yang berbasis komunitas di Sidoarjo menunjukkan
kenaikan 10-20% dari kasus kanker yang menerima perawatan dari Rumah Sakit. Dewasa ini
kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data
yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan
salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita.
Gambar 2.3 Insiden Kanker di Indonesia

3
Dari berbagai laporan, di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker kolorektal,
meskipun belum ada data yang pasti, namun data di Departemen Kesehatan didapati angka
1,8 per 100 ribu penduduk. Sejak tahun 1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang

datang berobat ke RS Kanker Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya
didapatkan 247 penderita dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169
(43,45%) wanita berusia antara 20-71 tahun.
II.4 ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO
Penyebab pasti kanker kolorektal masih belum diketahui, tetapi kemungkinan besar
disebabkan oleh:

Cara diet yang salah, diet makanan tinggi lemak (khususnya lemak hewani) dan
rendah kalsium, folat dan rendah serat, jarang konsumsi sayuran dan buah-buahan,
sering mengkonsumsi alkohol

Obesitas/kegemukan

Pernah terkena kanker kolorektal sebelumnya

Kelainan genetik. Bentuk paling sering dari kelainan gen yang dapat menyebabkan
kanker ini adalah perubahan pada gen hereditary nonpolyposis colon cancer
(HNPCC).

Pernah memiliki polip di usus

Umur (resiko meningkat pada usia diatas 50 tahun)

Jarang melakukan aktifitas fisik

Radang usus besar, berupa colitis ulceratif atau penyakit Crohn yang menyebabkan
inflamasi atau peradangan pada usus untuk jangka waktu lama, akan meningkatkan
resiko terserang kanker kolorektal.

Untuk menemukannya diperlukan suatu tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi,


sedangkan untuk terapinya adalah melalui pembedahan diikuti kemoterapi.
Insidensnya meningkat sesuai dengan usia (kebanyakan pada pasien yang berusia lebih dari
50 tahun) dan makin tinggi pada individu dengan riwayat keluarga mengalami kanker kolon,
penyakit usus inflamasi kronis atau polip. Perubahan pada persentase distribusi telah terjadi

pada tahun terakhir. Insidens kanker pada sigmoid dan area rektal telah menurun, sedangkan
insidens pada kolon asendens dan desendens meningkat.
4
Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah tersebut
meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan
dengan diagnosis dini dan tindakan segera. Angka kelangsungan hidup di bawah lima tahun
adalah 40% sampai 50%, terutama karena terlambat dalam diagnosis dan adanya metastase.
Kebanyakan orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan mencari bantuan kesehatan
hanya bila mereka menemukan perubahan pada kebiasaan defekasi atau perdarahan rektal.
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)
didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma
[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang
adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika dari hasil
penelitian di RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan
derajat differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan
oleh Soeripto et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat
differensiasi kanker kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik. 14 Perbedaan
pola demografik dan klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat
membantu untuk studi epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang.
II.5 PATOFISIOLOGI
Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polyp adenoma.
Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun umumnya masih terjadi di rektum dan
kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor secara tipikal tidak terdeteksi, menimbulkan beberapa
gejala. Pada saat timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar kedalam lapisan lebih
dalam dari jaringan usus dan oragan-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar
dengan perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan dinding luar usus.
Struktur yang berdekatan, seperti hepar, kurvatura mayor lambung, duodenum, usus halus,
pankreas, limpa, saluran genitourinary, dan dinding abdominal juga dapat dikenai oleh
perluasan. Metastasis ke kelenjar getah bening regional sering berasal dari penyebaran tumor.
Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah dikenai namun kelenjar
regional masih normal (Way, 1994). Sel-sel kaner dari tumor primer dapat juga menyebar
melalui sistem limpatik atau sistem sirkulasi ke area sekunder seperti hepar, paru-paru, otak,
tulang, dan ginjal. Penyemaian dari tumor ke area lain dari rongga peritoneal dapat terjadi

bila

tumor

meluas

melalui

serosa

atau

selama

pemotongan

pembedahan.
5

Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala hingga tahap lanjut. Karena pola
pertumbuhan lamban, 5 sampai 15 tahun sebelum muncul gejala (Way, 1994).
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus)
dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan
normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer
dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).

II.6 MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis karsinoma kolon kiri berbeda dengan yang kanan. Karsinoma kiri sering bersifat
skirotik, sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih karena feses
sudah menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan jarang terjadi stenosis dan feses masih cair
sehingga tidak ada faktor obstruksi.
Gejala dan tanda dini karsinoma kolon rektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul
karena penyulit, yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran.
Karsinoma kolon dan rektum menyebabkan pola defekasi seperti konstipasi atau defekasi
dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses makin menipis, atau seperti kotoran
kambing, atau lebih cair disertai darah dan lendir. Tenesmi merupakan gejala yang sering
didapat pada karsinoma rektum. Perdarahan akut jarang dialami demikian juga nyeri di
daerah pangggul berupa tanda penyakit lanjut. Bila pada obstruksi penderita flatus terasa lega
di perut.
Gambaran klinik tumor sekum dan kolon ascenden tidak khas. Dispepsi, kelemahan umum,
penurunan berat badan dan anemia merupakan gejala umum, karena itu sering penderita
dalam keadaan menyedihkan. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada kolon kanan.
Tempat yang dirasakan sakit berbeda karena asal embriogenik yang berlainan, yaitu dari usus
tengah dan usus belakang. Nyeri dari kolon kiri bermula di bawah umbilikus sedangkan dari
kolon kanan dari epigastrium.
II.7 DIAGNOSIS, PEMERIKSAAN, & DETEKSI DINI
Diagnosis

Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, colok


6
dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda. Pemeriksaan ini
sebaiknya dilakukan setiap 3 tahun untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian diagnosis
ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan tambahan ditujukan pada
jalan kemih untuk kemungkinan tekanan ureter kiri atau infiltrasi ke kandung kemih serta hati
dan paru untuk metastasis
Pemeriksaan
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila teraba menunjukan keadaan
sudah lanjut. Massa di dalam sigmoid lebih jelas teraba daripada masa di bagian lain kolon.
Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul dengan pemeriksaan
rektosigmoidoskopi. Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain ialah foto dada
dan foto kolon (barium enema).
Pemeriksaan foto dada berguna selain untuk melihat adanya tidaknya metastasis kanker ke
paru, juga bisa untuk persiapan tindakan pembedahan. Barium enema sebaiknya
menggunakan kontras ganda, dan usahakan melakukan pemotretan pada berbagai posisi bila
di temukan kelainan. Pada foto kolon dengan barium dapat terlihat suatu filling defect pada
suatu tempat atau suatu srtiktura.
DETEKSI DINI
Deteksi dini berupa skrining untuk mengetahui kanker kolorektal sebelum timbul gejala dapat
membantu dokter menemukan polyp dan kanker pada stadium dini. Bila polyp ditemukan
dan segera diangkat, maka akan dapat mencegah terjadinya kanker kolorektal.
Begitu juga pengobatan pada kanker kolorektal akan lebih efektif bila dilakukan pada
stadium dini. Untuk menemukan polyp atau kanker kolorektal dianjurkan melakukan deteksi
dini atau skrining pada orang diatas usia 50 tahun, atau dibawah usia 50 tahun namun
memiliki faktor resiko yang tinggi untuk terkena kanker kolorektal seperti yang sudah
disebutkan diatas.
Tes skrining yang diperlukan adalah
1.

Fecal Occult Blood Test ( FOBT), kanker maupun polyp dapat menyebabkan
pendarahan dan FOBT dapat mendeteksi adanya darah pada tinja. FOBT ini adalah tes
untuk memeriksa tinja.Bila tes ini mendeteksi adanya darah, harus dicari darimana
sumber

7
darah tersebut, apakah dari rektum, kolon atau bagian usus lainnya dengan pemeriksaan
yang lain. Penyakit wasir juga dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja.
2.

Sigmoidoscopy, adalah suatu pemeriksaan dengan suatu alat berupa kabel seperti
kabel kopling yang diujungnya ada alat petunjuk yang ada cahaya dan bisa diteropong.
Alatnya disebut sigmoidoscope, sedangkan pemeriksaannya disebut sigmoidoscopy. Alat
ini dimasukkan melalui lubang dubur kedalam rektum sampai kolon sigmoid, sehingga
dinding dalam rektum dan kolon sigmoid dapat dilihat.Bila ditemukan adanya polyp,
dapat sekalian diangkat. Bila ada masa tumor yang dicurigai kanker, dilakukan biopsi,
kemudian diperiksakan ke bagian patologi anatomi untuk menentukan ganas tidaknya
dan jenis keganasannya.

3.

Colonoscopy, sama seperti sigmoidoscopy, namun menggunakan kabel yang lebih


panjang, sehingga seluruh rektum dan usus besar dapat diteropong dan diperiksa. Alat
yang digunakan adalah colonoscope.

4.

Double-contrast barium enema, adalah pemeriksaan radiologi dengan sinar rontgen


(sinar X ) pada kolon dan rektum. Penderita diberikan enema dengan larutan barium dan
udara yang dipompakan ke dalam rektum. Kemudian difoto. Seluruh lapisan dinding
dalam kolon dapat dilihat apakah normal atau ada kelainan.

5.

Colok dubur, adalah pemeriksaan yang sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh
semua dokter, yaitu dengan memasukkan jari yang sudah dilapisi sarung tangan dan zat
lubrikasi kedalam dubur kemudian memeriksa bagian dalam rektum. Merupakan
pemeriksaan yang rutin dilakukan. Bila ada tumor di rektum akan teraba dan diketahui
dengan pemeriksaan ini.

II.8 GEJALA
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah
yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (caecum,
kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika
inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon
descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon

sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal
berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan,
8
dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit
kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer.
Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan symptomatic anemia
(menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat badan). Tumor yang berada pada
kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan
respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri
yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi.
Gejala Subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada pola buang
air besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare.
Pasien mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor
seringkali menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang
wanita post menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka
kemungkinan kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan.
Karena perdarahan yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif
dari tes occult blood tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit
perut bagian bawah biasanya berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang
mereda setelah buang air besar. Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola
buang air besar serta adanya darah yang berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air
besar. Gejala lain yang jarang adalah penurunan berat badan dan demam. Meskipun
kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat menjadi tempat utama intususepsi, sehingga
jika ditemukan orang dewasa yang mempunyai gejala obstruksi total atau parsial dengan
intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium enema harus dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan kanker kolon.

Gejala akut

Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan
9
pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah
kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah
sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan
penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau
buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal
ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika
urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan
hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.
Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi.
Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar,
cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak
sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava inferior,
maka metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda
dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase kanker
kolon pertama kali paling sering di hepar.
II.9 TATALAKSANA
II.9.1 Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan
kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang
luas dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon
sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas
tumor. Pendekatan laparaskopik kolektomi telah dihubungkan dan dibandingkan dengan

tehnik bedah terbuka pada beberapa randomized trial. Subtotal kolektomi dengan
ileoproktostomi dapat digunakan pada pasien kolon kanker yang potensial kurabel dan
10
dengan adenoma yang tersebar pada kolon atau pada pasien dengan riwayat keluarga
menderita kanker kolorektal. Eksisi tumor yang berada pada kolon kanan harus
mengikutsertakan cabang dari arteri media kolika sebagaimana juga seluruh arteri ileokolika
dan arteri kolika kanan. Eksisi tumor pada hepatik flexure atau splenic flexure harus
mengikutsertakan seluruh arteri media kolika. Permanen kolostomi pada penderita kanker
yang berada pada rektal bagian bawah dan tengah harus dihindari dengan adanya tehnik
pembedahan terbaru secara stapling. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kanan
biasanya ditangani dengan reseksi primer dan anastomosis. Tumor yang menyebabkan
obstruksi pada kolon kiri dapat ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan
perforasi membutuhkan eksisi dari tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan
reanastomosis dan closure dari kolostomi.
II.9.2 Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi
untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan
eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe
dan stadium dari kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat
tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel
kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat
disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung
beberapa menit.
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke
dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut
radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor.
Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif

singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi
secara sementara menetap didalam tubuh.
II.9.3 Adjuvant Kemoterapi
11
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi.
Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis
seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif
digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada
fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen atau dengan
kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian
secara kombinasi dari obat kemoterapi tersebut berhubungan dengan peningkatan survival
ketika diberikan post operatif kepada pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU +
levamisole menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%, menurunkan kematian akibat
kanker hingga 32%.
II.9.3.1 Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium II
Pemakaian adjuvant kemoterapi untuk penderita kanker kolorektal stadium II masih
kontroversial. Peneliti dari National Surgical Adjuvant Breast Project (NSABP) menyarankan
penggunaan adjuvant terapi karena dapat menghasilkan keuntungan yang meskipun kecil
pada pasien stadium II kanker kolorektal pada beberapa penelitiannya. Sebaliknya sebuah
meta-analysis yang mengikutkan sekitar 1000 pasien menunjukkan perbedaan yang tidak
bermakna pada 5-years survival rate sebesar 2%, antara yang diberi perlakuan dan yang tidak
untuk semua pasien stage II.
II.9.3.2 Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium III
Penggunaan 5-FU + levamisole atau 5-FU + leucovorin telah menurunkan insiden rekurensi
sebesar 41% pada sejumlah prospektif randomized trial. Terapi selama satu tahun dengan
menggunakan 5-FU + levamisole meningkatkan 5-year survival rate dari 50% menjadi 62%
dan menurunkan kematian sebesar 33%. Pada kebanyakan penelitian telah menunjukkan
bahwa 6 bulan terapi dengan menggunakan 5-FU + leucovorin telah terbukti efektif dan

sebagai konsekuensinya, standar regimen terapi untuk stage III kanker kolorektal adalah 5FU + leucovorin.

12
II.9.3.3 Adjuvant Kemoterapi Kanker Kolorektal Stadium Lanjut
Sekitar delapan puluh lima persen pasien yang terdiagnosa kanker kolorektal dapat dilakukan
pembedahan. Pasien dengan kanker yang tidak dapat dilakukan penanganan kuratif, dapat
dilakukan penanganan pembedahan palliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi, dan
perdarahan. Bagaimanapun juga pembedahan dapat tidak dilakukan jika tidak menunjukkan
gejala adanya metastase. Penggunaan stent kolon dan ablasi laser dari tumor intraluminal
cukup memadai untuk kebutuhan pembedahan walaupun pada kasus asymptomatik.
Radiasi terapi dapat digunakan sebagai tindakan primer sebagai modalitas penanganan untuk
tumor yang kecil dan bersifat mobile atau dengan kombinasi bersama sama kemoterapi
setelah reseksi dari tumor. Radiasi terapi pada dosis palliatif meredakan nyeri, obstruksi,
perdarahan dan tenesmus pada 80% kasus. Penggunaan hepatic arterial infusion dengan 5-FU
terlihat meningkatkan tingkat respon, tetapi penggunaan ini dapat mengakibatkan berbagai
masalah termasuk berpindahnya kateter, sklerosis biliaris dan gastrik ulserasi. Regimen
standar yang sering digunakan adalah kombinasi 5-FU dengan leucovorin, capecitabine (oral
5-FU prodrug), floxuridine (FUDR), irinotecan (cpt-11) dan oxaliplatin.
II.9.4 Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk rekurensi
tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan
telah menggunakan pendekatan nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi
adanya rekurensi dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka
waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah ditangani dari
kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari metachronous kanker kolon. Deteksi dini
dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi

follow up termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA,
foto polos thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan. Tingginya nilai CEA
preoperatif biasanya akan kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan.

13
1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk
mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu atau
beberapa tempat metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor
primer telah diangkat.
2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi
rekurensi.
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3 sampai
6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang tertinggal di
kolon. Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor,
suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka kolonoskopi
dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah pembedahan, jika negatif maka endoskopi
dilakukan lagi dengan interval 2-3 tahun.
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh untuk
mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam mengidentifikasi
metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu
diagnosa daripada CT scan.

II.10 PROGNOSIS
Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting. Grade histologi secara signifikan
mempengaruhi tingkat survival disamping stadium. Pasien dengan well differentiated
karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year survival yang lebih baik dibandingkan dengan
poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4).
14
Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama
pasien dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila
dibandingkan dengan tumor yang berada di kolon.
Dan tumor yang berada pada kolon transversal dan kolon descendens mempunyai prognosa
yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada pada kolon ascendens dan
kolon rektosigmoid. Pasien yang menderita obstruksi atau perforasi mempunyai prognosa
lebih buruk bila dibandingkan dengan pasien yang tanpa keadaan ini. Prognosa pasien yang
kehilangan allelic pada kromosom 18q secara signifikan lebih buruk daripada pasien yang
tidak kehilangan allelic pada kromosom 18q. Survival pasien dengan stage II(B) yang tidak
kehilangan allelic pada kromosom 18q sama dengan pasien stage I(A), tetapi jika terdapat
kehilangan allelic pada kromosom 18q maka tingkat survival sama dengan pasien stage
III(C). Pemeriksaan pada kromosom 18q ini telah terbukti sangat membantu dalam
menyeleksi pasien stage II(B) untuk adjuvant terapi atau pasien stage III(C) dengan prognosa
yang lebih baik untuk menghindarkan efek toksisitas dan pengeluaran biaya adjuvant terapi.
II.11 PENCEGAHAN
1. Endoskopi
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan
menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani kolonoskopi
polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian prospektif randomized clinical trial
yang menunjukan bahwa sigmoidoskopi efektif untuk mencegah kematian akibat kanker
kolorektal, meskipun penelitian trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada
rektosigmoid dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi,
sehingga pemeriksaan kolonoskopi harus dilakukan.

2. Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai
diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih
baik daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola
15
diet pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40 ke
30% dari total kalori, (b) meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c)
membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang
mengandung bahan pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol.
3. Non Steroid Anti Inflammation Drug
Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac dosis 150
mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan
dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap
meningkat tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa
aspirin mengurangi formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari
kanker kolorektal, baik pada kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif
ini terlihat membutuhkan pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari
selama 1 tahun.
4. Hormon Replacement Therapy (HRT)
Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan sebanyak 59.002 orang
wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara pemakaian HRT dengan kanker
kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan penurunan risiko untuk menderita
kanker kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun
setelah pemakaian HRT dihentikan.

16
BAB III
ASPEK RADIOLOGIS

Gambaran Radiologik Colon Normal


Pada radiografi akan terlihat bangunan haustrae sepanjang colon. Mulai dari distal kolon
descenden sampai sigmoid, haustrae semakin tampak berkurang. Dalam keadaan normal
garis-garis haustrae haruslah dapat diikuti dengan jelas dan berkesinambungan.
Kaliber kolon berubah secara perlahan, mulai dari caecum (+/- 8,5 cm) sampai sigmoid (+/2,5 cm). Panjang kolon sangat bervariasi tiap individu, berkisar antara 91-125 cm, bahkan
lebih.
Mukosa kolon terlihat sebagai garis-garis tipis halus, melingkar secara teratur yang
dinamakan linea innominata
Usus kecil berakhir di ileum terminal dan memasuki kolon di daerah yang di sebut regio
iliosekal. Terkadang terlihat penonjolan muaranya di dalam caecum yang sering diduga
sebagai polip.
Caecum sendiri terletak di bawah regio tersebut sepanjang +/- 6,5 cm dan lebar +/- 8,5 cm.
Normal caecum menunjukkan kontur yang rata dan licin. Apendiks merupakan saluran mirip
umbai cacing dengan panjang antara 2,5-22,5 cm. Kadang terlihat penonjolan muaranya ke
dalam lumen caecum.

Kolon ascenden dimulai proksimal regio iliosekal sampai mencapai fleksura hepatika. Kolon
tranversum merupakan bagian yang bebas bergerak ( mobil), melintasi abdomen dengan
fleksura hepatika sampai fleksura lienalis.
Kolon descenden dimulai dari fleksura lienalis ke arah bawah sampai persambungannya
dengan sigmoid. Batas yang tegas antara kolon descenden dengan sigmoid sukar ditentukan,
namun krista iliaka mungkin dapat dianggap sebagai batas peralihannya.
17
Sigmoid merupakan bagian kolon yang panjang dan berkelok-kelok, berbentuk huruf S.
Bentuknya yang demikian itu seringkali menyukarkan penilaian radiografik proyeksi anteroposterior. Proyeksi oblik dan lateral merupakan cara terbaik untuk mengatasinya
Rektum dimulai setinggi S3, lumennya berbentuk fusiform, dan bagian tengahnya disebut
sebagai ampula dinding posteriornya mengikuti kelengkungan sakrum.
RADIOLOGIS KARSINOMA KOLON
Karsinoma usus besar biasanya type anular dan enema barium tampak sebagai penyempitan
lesi setempat, memperlihatkan secara khas kelainan bentuk cincin napkin jarang terdapat
karsinoma ensefaloid, namun dalam caecum carsinoma dapat muncul sebagai filling.
Filling defect yang besar dan tidak teratur sangat penting untuk menyadari bahwa enema
barium dapat dengan mudah meluputkan suatu karsinoma pada rektum dimana lesi tidak jelas
dalam ruangan yang melebar yang berisi barium. Karsinoma rektum harus di diagnosa
dengan permeriksaan tangan atau proktoskopi. Meskipun demikian, kebanyakan ahli
radiologi yang berpengalaman telah banyak menemukan kasus kasus dengan enema barium
yang luput oleh dokter yang mengkonsultasi karena pemeriksaan yang tidak memadai.
Karsinoma kolon secara radiologik memberikan gambaran sebagai berikut :
1. Penonjolan ke dalam lumen (Protuded lesion)
Bentuk klasik seperti ini adalah polip. Polip dapat bertangkai (pedunculated) atau tak
bertangkai (sessile). Dinding kolon sering kali masih baik.
2. Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)
Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core). Lumen kolon sempit
dan ireguler. Hal ini sulit dibedakan dengan kolitis Crohn.
3. Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)

bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik. Lumen kolon dapat / tidak
menyempit. Bentuk ini sukar dibedakan dengan kolitis ulseratif.

Barium enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema
(gambar 2.12), yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran
18
>1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara
yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat
mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien
yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan
perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada barium enema. Barium
peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai
infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat
menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.
Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.
Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari
rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk
digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika
digunakan bersama sama dengan occult blood test.
Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan dapat mencapai
bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi
dengan menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk

indikasi terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus,
seperti pada ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur
50 tahun merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang
asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon.

19
Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi
untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di
distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10%
pasien.

Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi
merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang
dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada
barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. Sebuah kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan,
komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi
merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory
bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon
non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi
diagnostik.

Imaging Teknik

MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan
untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan
merupakan screening tes.

20
1.

CT scan

CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif. CT scan
bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ
lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan
nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai
55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan
mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien. Penggunaan CT
dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan
daerah intraperitoneal.
2 MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya
yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis
ke hepar.
3 Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor,
terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60%
untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk
melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor
seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan

pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi
dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.

21
BAB IV
PENUTUP

Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di
dunia. Di seluruh dunia 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal,
sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.
Eropa sebagai salah satu negara maju dengan angka insiden kanker kolorektal yang tinggi.
Pada tahun 2004 terdapat 2.886.800 insiden dan 1.711.000 kematian karena kanker, kanker
kolorektal menduduki peringkat kedua pada angka insiden dan mortalitas.
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya.
Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang
terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari
semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di
Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000
penduduk.
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan, yang
mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara
maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan Indonesia, terdapat perbedaan
pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal
yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang yang
berusia muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid, sedangkan di
Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan pada pria lebih besar daripada
wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan
hanya sekitar 50% yang berada pada kolon rektosigmoid.

Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid. Keluhan pasien
karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari lesi yang
berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic anemia
dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat berupa
perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.
Gambaran histologi merupakan faktor penting dalam hal penanganan dan prognosis dari
kanker. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe adenocarcinoma
22
(90-95%), adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell carcinoma (2-4%), dan sarcoma
(0,1-3%).
Prof. K.L. Goh dari departement of medicine University of Malaysia mengatakan bahwa
masyarakat di Asia telah mengikuti pola penyakit gastrointestinal yang muncul pada
masyarakat di negara Barat beberapa dekade yang lalu, hal ini dikarenakan adanya perubahan
pada kondisi sosial ekonomi. Perubahan sosial ekonomi tersebut membawa dua dampak yaitu
perubahan gaya hidup dari masyarakat serta peningkatan usia harapan hidup akibat kemajuan
pembangunan.
Perubahan gaya hidup yang diasosiasikan dengan masalah kesehatan adalah diet, merokok,
gaya hidup yang sedentari serta obesitas. Peningkatan usia harapan hidup yang ada beserta
populasi Indonesia yang menduduki peringkat 4 dunia akan menjadikan Indonesia pada tahun
1990-2025 akan mempunyai jumlah usia lanjut paling tinggi di dunia.
Jika dilihat dari sudut pandang epidemiologi ada 2 faktor yang menyebabkan suatu penyakit
menjadi suatu masalah kesehatan yang penting. Yang pertama adalah frekuensi, ini berkaitan
dengan tingginya insiden atau prevalensi, termasuk penyakit yang potensial akan meninggi
dalam tingkat insidensi. Adanya faktor- faktor gaya hidup dan populasi diatas memungkinkan
kanker kolorektal dimasa yang akan datang potensial meninggi dalam hal insidensi. Yang
kedua adalah derajat keparahan atau tingginya mortalitas. Dari data didapatkan 50 persen
penderita kanker kolorektal meninggal dikarenakan penyakit ini. Hal ini disebabkan karena
pada stadium awal seringkali tidak menunjukkan gejala, sehingga pasien baru datang setelah
ada gejala yang biasanya sudah pada stadium akhir, yang menyebabkan penanganan kuratif
sudah tidak dapat dilakukan lagi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Rasad,Sjahriar,

Sukonto

kartoleksono,

Iwan

Ekayuda.1995.

Radiologi

Diagnostik.Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Patel, Pradip R. .2007. Lecture Notes Radiologi edisi kedua. Jakarta: penerbit
Erlangga.

http://emedicine.medscape.com/article/277496-overview

https://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/colorectal/colorectalcancer/?region=on

Armstrong P, Wastie ML, Rockall AG. Diagnostic Imaging. 6th edition. Oxford:
Wiley-Blackwell Publishing, 2009.

Desen W, editor. Japaries W, penerjemah. Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2008.

Longo LD, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th edition. USA: McGraw-Hill
Companies, Inc, 2012.

Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A, editor. Panduan
Pelayanan Medik. Edisi 1. Jakarta: PB PAPDI, 2006.

Rasad S. Radiologi Diagnostik. Edisi 2 cetakan ke-7. Ekayuda I, editor. Jakarta:


Badan Penerbit FKUI, 2011.

Sudoyo AW, Setiati S, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 5 cetakan kedua. Jakarta: Interna Publishing, 2010.

24
LAMPIRAN

Gambar 1. X-Ray Abdomen Normal

Gambar 2. Haustral Pattern

25

Gambar 3. Gambaran Feses Pada Kolon

Gambar 4. Distribusi Kolon (Panah Hitam)


26

Gambar 5. CT scan sagittal reformatted image shows extensive posterior cecal wall
thickening; pathologic diagnosis of adenocarcinoma of the colon.

Gambar 6. Annular carcinoma of the transverse colon is associated with a 2-cm polyp in
the sigmoid colon.

Gambar 7. Synchronous annular carcinomas in the ascending colon and splenic flexure.

27

Gambar 8. Cecal carcinoma. A large polypoid cecal mass involves the ileocecal valve and
causes small bowel obstruction.

Gambar 9. Barium enema. Typical annular carcinoma in the proximal sigmoid colon
with adjacent diverticular disease.

Gambar 10. Apple Core-appearance of an annular constricting carcinoma of the bowel,


usually the colon
28

You might also like