You are on page 1of 28

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................


2.1. Definisi ...........................................................................................................
2.2. Epidemiologi ..................................................................................................
2.3. Etiologi dan faktor resiko ...............................................................................
2.4 Patogenesis .....................................................................................................
2.4.1 Aktivasi aksis HPA janin atau ibu: stres .................................................
2.4.2 Infeksi dan Inflamasi ..............................................................................
2.4.3 Perdarahan Desidua ................................................................................
2.4.4 Distensi Uterus yang Berlebihan ............................................................
2.4.5 Insufisiensi Serviks ................................................................................
2.4.6 Genetik....................................................................................................
2.5 Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami Persalinan Preterm ..................
2.5.1 Skoring Risiko .......................................................................................
2.5.2 Uji Kontraksi Uterus Ambulatorik .........................................................
2.5.3 Estriol Saliva ..........................................................................................
2.5.4 Skrining Bakterial Vaginosis ..................................................................
2.5.5 Skrining Fibronaktin Janin .....................................................................
2.5.6 Pengukuran Panjang Serviks ..................................................................
2.5.7 Kombinasi Penilaian fFN dengan Ultrasonografi Serviks.......................
2.6 Diagnosis.........................................................................................................
2.7 Penatalaksanaan ..............................................................................................
2.7.1 Tokolisis .................................................................................................
2.7.2 Akselerasi Pematangan Fungsi Paru .......................................................
2.7.3 Antibiotik ...............................................................................................
2.7.4 Cara Persalinan ......................................................................................
2.8 Komplikasi .....................................................................................................
2.9 Pencegahan .....................................................................................................
2.9.1 Pencegahan Primer..................................................................................
2.9.2 Pencegahan Sekunder .............................................................................
2.9.3 Pencegahan Tersier..................................................................................

3
3
4
4
5
5
6
8
9
10
11
11
12
12
13
14
14
15
16
17
18
19
20
22
23
23
24
24
24
25

BAB III. PENUTUP ............................................................................................... 27


3.1 KESIMPULAN ........................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 28

BAB 1
PENDAHULUAN

Sampai saat ini mortalitas dan mordibitas neonatus pada bayi preterm/ prematur masih
sangat tinggi. Hal ini berkaitan dengan maturitas organ pada bayi lahir seperti paru-paru, otak
dan gastrointestinal. Persalinan preterm menyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, dan
pada bayi yang selamat 10% mengalami permasalahan dalam jangka panjang, yang meliputi
retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan, hilangnya
pendengaran, dapat juga terjadi disfungsi neurobehavioral serta prestasi sekolah yang kurang
baik dan gangguan non-neurologi seperti penyakit paru kronis, serta retinopati. Selain itu
kelainan jangka pendek juga dapat terjadi, seperti RDS ( Respiratory Distress syndrome),
perdarahan intra/periventrikuler, NEC (Necrotizing Entero Cilitis), displasi bronko-pulmonar,
sepsis dan paten duktus arteriosus. Hal ini berarti, morbiditas menjadi masalah sosial dan
ekonomi yang signifikan, baik bagi keluarga yang terlibat maupun negara secara keseluruhan.
Oleh karena itu, persalinan preterm bukan hanya menjadi komplikasi obstetri yang paling umum,
namun juga menjadi salah satu yang paling serius.1
Partus prematurus dapat meningkatkan morbidits dan mortalitas. Meskipun angka
kejadian 10 15% kehamilan namun kontribusinya terhadap morbiditas dan mortalitas neonatal
adalah sekitar 50 70% . Di Amerika Serikat, sekitar 450.000 (11,5%) persalinan preterm terjadi
setiap tahunnya, dan menyebabkan 75% kematian neonatal dan 50% gangguan neurologis jangka
panjang pada anak.

Selain itu juga menyebabkan pengeluaran biaya perawatan kesehatan

sebesar 35% untuk bayi dan 10% untuk anak. 4 Di Indonesia belum ada angka yang secara
nasional menunjukan kejadian persalinan preterm, tetapi beberapa peneliti memberikan angka
kejadian persalinan preterm di rumah sakit. Joesoef dkk. melaporkan angka kejadian persalinan
preterm di beberapa rumah sakit di Jakarta pada tahun 1991 sebesar 13,3%.5
Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang berhubungan
dengan persalinan preterm diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor risiko,
etiologi, dan mekanisme persalinan preterm, serta program yang akurat untuk mengidentifikasi
wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Diagnosis persalinan preterm dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang dapat
berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain mengatakan
persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). Badan kesehatan dunia (WHO)
menyatakan bahwa bayi premature adalah bayi yang lahir padda usia kehamilan 37 minggu atau
kurang. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di semarang tahun 2005 menetapkan bahwa
persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.1
2. 2 Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: (1) persalinan atas
indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) persalinan
preterm spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) persalinan preterm dengan ketuban pecah
dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 3035% dari persalinan preterm berdasarkan indikasi, 40-45% persalinan preterm terjadi secara
spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% persalinan preterm yang didahului ketuban
pecah dini.4,8
Konstribusi penyebab persalinan preterm berbeda berdasarkan kelompok etnis. Persalinan
preterm pada wanita kulit putih lebih umum merupakan persalinan preterm spontan dengan
selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah
dini sebelumnya. Persalinan preterm juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5%
persalinan preterm terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity),
sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada
usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36
minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian persalinan preterm,
yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi.8
3

2. 3 Etiologi dan Faktor Resiko


Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab persalinan preterm multifaktorial dan sesuai
dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (pada kehamilan multipel atau polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang leher rahim (akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),
6. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik (akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal, baik pada
ibu maupun janin (karena stres pada ibu atau janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan obat, merokok, atau
konsumsi alkohol).6,1,8

Faktor Resiko
Kondisi selama kehamilan yang beresiko terjadinya persalinan preterm adalah :

Janin dan Plasenta


- Perdarahan di trisemester awal
- Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa)
- Ketuban pecah dini (KPD)
- Pertumbuhan janin terhambat
- Cacat bawaan janin
- Kehamilan ganda/gemeli
- Polihidroamnion
Ibu
- Penyakit berat pada ibu
- Diabetes mellitus
- Preeklamsi /hipertensi
- Infeksi saluran kemih/genital/intrauterine
- Penyakit infeksi dengan demam
- Stress psikologik
- Kelinan bentuk uteru/serviks
4

2. 4

Riwayat persalinan preterm/abortus berulang


Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)
Perokok berat dan memakai obat narkotika
Trauma
Kelainan imunologi/kelainan resus

Patogenesis
Penyebab persalinan preterm multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain.

Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada persalinan preterm: 11


2. 4. 1 Aktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu: stres
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang mengancam atau yang
dianggap

mengancam

homeostasis

pasien,

akan

mengakibatkan

akitivasi

prematur

hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko
penting untuk persalinan preterm. Beberapa penelitian telah menemukan 50% hingga 100%
kenaikan angka kelahiran preterm berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan
gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin,
kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan persalinan preterm
terkait stres. Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran
preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini
dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta. Penelitian in vitro pada sel
plasenta manusia menunjukan CRH dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalam dosis yang
sesuai responnya terhadap semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol, katekolamin,
oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam penelitian in vivo juga ditemukan
hubungan yang signifikan antara stres psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan kortisol
plasma ibu. Beberapa penelitian menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu dengan waktu
persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian kadar CRH serial selama kehamilan dan
menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang
melahirkan preterm memiliki kadar CRH yang meningkat secara signifikan, dengan
mempercepat peningkatan kadar CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan bahwa
tingkat stres psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara signifikan dapat memprediksi
besarnya peningkatan CRH ibu di antara pertengahan kehamilan dan setelahnya.9,11

Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan prematuritas
dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta. Pada persalinan term, aktivasi
CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis HPA janin dalam suatu feedback positif pada
pematangan janin. Pada persalinan preterm, aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH
plasenta. Stres pada ibu, tanpa adanya penyebab persalinan preterm lainnya, seperti infeksi akan
menyebabkan peningkatan efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang
mengaktifkan ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat menstimulasi janin
untuk mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) (melalui aktivasi
aksis HPA janin) dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan prostaglandin,
sehingga mempercepat persalinan preterm.9,11
Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian persalinan preterm di antara
orang Afrika-Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat mewakili hasil akhir yang umum pada
berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan, preeklampsia, dan infeksi. Asfiksia memainkan
peranan penting dalam persalinan preterm, bayi lahir mati, dan perkembangan neonatal yang
merugikan. Asfiksia kronik yang berhubungan dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat
terjadi pada infeksi plasenta seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes, preeklamsia,
hipertensi kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya kelahiran
preterm.9,11
2.4.2 Infeksi dan inflamasi
Patogenesis dari persalinan preterm masih belum dimengerti dengan benar.8 Namun,
infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam persalinan preterm. 1,8
Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga menyebabkan persalinan preterm pun hingga
kini belum jelas benar, namun diduga berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh
aktivasi fosfolipase A2 yang melepaskan bahan asam arakidonat dari selaput amnion janin,
sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Endotoksin dalam air
ketuban akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang akan
menginisiasi proses persalinan. Proses persalinan preterm yang dikaitkan dengan infeksi
diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk sebagai hasil dari aktivasi monosit. Berbagai
sitokin, termasuk IL-1, TNF, dan IL-6 adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan
persalinan preterm. Sementara itu, Platelet Activating Factor (PAF) yang ditemukan dalam air
ketuban terlibat secara sinergik pada aktivitas jalinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan dar
6

paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin tampaknya memainkan suatu peran sinergistik untuk
inisiasi kelahiran preterm yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teori, hal ini
kemungkinan menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang
terinfeksi. . 1,8,10,12
Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi prostaglandin,
mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading enzymes. Prostaglandin akan merangsang
kontraksi uterus, dan berperan dalam mengatur metabolisme matriks ekstraselular yang terkait
dengan pematangan serviks saat dimulainya persalinan, sedangkan degradasi dari matriks
ekstraselular pada membran amnion akan menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian
menyebabkan persalinan preterm.8,13
Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron melalui pemecahan asam
arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H
synthase),

dan

menghambat

aktivasi

PGDH

(15-OH

prostaglandin

dehydrogenase).

Meningkatnya PGHS-2 akan menstimulasi sintesis prostaglandin. Sedangkan downregulation


PGDH akan meningkatkan ratio prostaglandin (PG) terhadap prostaglandin metabolite (PGM),
yang akan meningkatkan aktivitas uterus, pematangan serviks, dan rupturnya membran amnion.13
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi intrauterin,
infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik, dan periodontitis ibu. 11
Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga amnion adalah genital Mycoplasma spp,
dan Ureaplasma urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia
bawah, seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum selaput
amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang jumlahnya
cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah penyebaran
secara ascending dari vagina dan serviks.8,12 Hal ini dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang
disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina
predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob,
7

Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama
dikaitkan dengan ketuban pecah dini, persalinan preterm, dan infeksi amnion, terutama bila pada
pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.1

Gambar 2.1 Patogenesis bakteri menghasilkan persalinan preterm


2.4.3

Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)


Perdarahan desidua dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskular dari plasenta

biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini.

Lesi plasenta

dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35% dari wanita dengan ketuban pecah
dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai
kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau
janin. Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan persalinan preterm
ialah iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan
memainkan peran utama.9,11
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease multifungsi
yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot halus miometrium.
Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos longitudinal miometrium, secara in
vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang
diperkuat oleh penelitian in vivo menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan
menurun dengan pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in
8

vitro dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan aktivitas
uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta persalinan preterm yang mengikuti
perdarahan pada trimester pertama dan kedua.9,11
Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini. Matrix
metaloproteinase

(MMPs)

memecah

matriks

ekstraseluler

dari

membran

janin

dan

choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini. Secara in vitro, trombin
meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada sel-sel desidua dan membran
janin yang dikumpulkan dari kehamilan term tanpa komplikasi. Trombin juga menimbulkan
peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab terhadap recruitment
neutrofil. Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai
infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini mungkin melengkapi
mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan desidua.9,11
2.4.4 Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)
Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai persalinan
preterm yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan makrosomia.
Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted
reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan
merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari persalinan preterm di negara-negara
maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17%
dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak
kembar. Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan persalinan
preterm masih belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi
protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya
yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin. Pada penelitian in vitro, regangan
miometrium juga meningkatkan prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E
(PGE). Regangan otot pada segmen menunjukan peningkatan produksi IL-8 dan kolagen, yang
pada gilirannya akan memfasilitasi pematangan serviks. Namun, penelitian eksperimental pada
hewan mengenai uterine overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada manusia
sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.9
2.4.5

Insufisiensi serviks
9

Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada trimester
kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks berhubungan dengan
outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup luas, termasuk persalinan
preterm. Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat
pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima
penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero
diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti
Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan yang bersifat
traumatis; dan (5) infeksi.9
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan cervical
cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan kasus insufisiensi
serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur dari proses
patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik diprediksi
oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks
yang diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik dengan risiko
persalinan preterm. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari kehamilan
sebelumnya yang mengakibatkan persalinan preterm dengan panjang serviks pada kehamilan
berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks dan
panjang serviks pada kehamilan berikutnya.9
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan pemendekan serviks
lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling serviks prematur, hasil dari proses
patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin memainkan peranan penting dalam pemendekan dan
dilatasi serviks prematur. Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis
sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester kedua, dan 9% dari pasien
memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti mengalami infeksi
intraamnion. Data ini menunjukan suatu peranan penting infeksi intraamnion yang menyebar
secara ascending.9
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko persalinan preterm juga meningkat
pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko persalinan preterm pada wanita yang merokok
sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang
masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon
10

monoksida merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta
serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya
pertumbuhan janin dan persalinan preterm.8
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah uteroplasenta
atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA)
janin, yang ditunjukkan dengan peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH) oleh
hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh
hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dari
korteks adrenal. Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase),
dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).13
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik yang juga
dianggap dapat meningkatkan risiko persalinan preterm, melalui peningkatan produksi sitokin.8
2.4.6 Genetik
Sifat keluarga, riwayat prematur dan sifat rasial kelahiran prematur telah diketahui bahwa
genetika mungkin memainkan peran dalam menyebabkan persalinan preterm. Gen untuk relaksin
desidua merupakan salah satu kandidat. Defek pada protein trifunctional mitokondria defek janin
atau polimorfisme dalam kompleks gen interleukin-1, reseptor 2-adrenergik, atau faktor nekrosis
tumor (TNF) mungkin juga terlibat dalam ruptur membran yang prematur.(F. Gary C., et al,
2007)
2.5

Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami Persalinan Preterm


Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak awal,

sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang berisiko, untuk
diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap persalinan preterm serta pengenalan
kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan
serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan antenatal, padahal sebenarnya pemeriksaan
tersebut mempunyai manfaat yang cukup besar dalam meramalkan terjadinya persalinan preterm.
Bila dijumpai seviks pendek (< 1 cm) disertai dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks
matang/inkompetensi serviks, maka pasien tersebut mempunyai risiko terjadinya persalinan
preterm 3-4 kali.1

11

Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang
berisiko mengalami persalinan preterm:
2.5.1 Skoring risiko
Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh Creasly dkk.
Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor risiko, antara lain
sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta penyulit kehamilan yang dihadapi saat ini.
Wanita dengan skor 10 atau lebih dianggap berisiko tinggi mengalami persalinan preterm. 1,4
Meskipun Creasy dkk. serta Covington dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring yang
disertai program pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik. Pada
prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna. Dan karena metode ini sangat
bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak sesuai untuk nulipara.
Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari penilaian klinis lainnya,
dan tidak dapat direkomendasikan.7
2.5.2 Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring
Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada wanita yang
berisiko mengalami persalinan preterm. Metode ini melibatkan pencatatan telematika dari
kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang diikatkan disekitar abdomen,
dan dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik kecil yang dipasang dipinggang, kemudian
hasil aktivitas uterus akan dihantarkan ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan
tersebut, para praktisi kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap harinya terhadap
pasien tersebut melalui telepon. 4,12
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan aktivitas uterus di
rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah persalinan preterm, baik pada wanita yang berisiko
rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan metode ini akan meningkatkan
kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang
signifikan terhadap terapi obat tokolisis profilaktik pada wanita hamil. 1,4,12 Selain itu metode ini
membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pelaksanaannya.12 Oleh karena itu, metode ini
tidak direkomendasikan pada praktek klinis rutin.4
2.5.3 Estriol saliva
12

Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan konsentrasi estriol
saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian mengenai
fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA)
janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya
persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada
persalinan preterm akan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat
menjadi perediktor dimulainya persalinan preterm.4 Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol
akan dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami
persalinan preterm atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam
serum ibu, dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko persalinan preterm dengan atau
tanpa gejala.
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif dalam
memprediksi persalinan preterm dibandingkan metode skoring risiko. Namun, tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat positif palsu yang sangat
tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan kehamilan karena intervensi yang tidak perlu. 4
Tingkat estriol saliva dapat diukur secara akurat dengan menggunakan radioimmunoassay. Heine
dkk. menunjukan bahwa tingkat estriol saliva positif satu ( 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan
suatu peningkatan risiko persalinan preterm 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah
maupun tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil tes positif, ini menunjukan peningkatan
akurasi prediksi yang signifikan, tetapi masih memiliki sedikit penurunan sensitivitas. Tes estriol
saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel
saliva yang mudah didapatkan, dan dapat memberikan hasil positif beberapa minggu sebelum
dimulainya persalinan. Namun, adanya variasi diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta
pemberian betametason untuk produksi surfaktan yang dapat menekan tingkat estriol saliva ibu,
dapat mempersulit interpretasi hasil.4 Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai
intervensi dan pengobatan yang potensial pada wanita dengan peningkatan kadar estriol saliva
yang tinggi, sebelum penggunaannya direkomendasikan secara luas pada populasi obtetrik.7
2.5.4 Skrining bacterial vaginosis (BV)
Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan persalinan preterm spontan, ketuban
pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. Platz-Christense dkk. (1993)
telah memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis bakterialis dapat mencetuskan persalinan
13

preterm dengan suatu mekanisme yang serupa dengan jalur jaringan sitokin yang diusulkan
untuk bakteri cairan amnion.12 Banyak penelitian klinis secara konsisten menemukan bahwa
wanita dengan vaginosis bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko mengalami persalinan
preterm yang meningkat 2 kali lipat.1 Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3
dari 4 kriteria berikut ini:
1. pH vagina > 4,5
2. adanya clue cells (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada pewarnaan gram
3. adanya duh vagina homogen
4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.1,12
Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil yang
ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi dengan riwayat persalinan
preterm sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat mencegah persalinan
preterm pada sebagian dari wanita. Namun, meta-analisis terbaru menunjukan banyak perbedaan
diantara 6 penelitian mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan kesimpulan yang pasti. 1
Telah banyak hasil yang tidak meyakinkan dan tidak memberikan manfaat dari skrining
vaginosis bakterialis yang bertujuan untuk memprediksi persalinan preterm, terutama pada
kelompok risiko rendah.4
2.5.5 Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)
Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk molekul yang
berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas, fibroblast, sel endotel, dan amnion
janin. Glikoprotein ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta
dianggap memainkan peranan pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta
dalam mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin diukur dengan
menggunakan enzyme linked immunosorbent assay. Normalnya, fibronektin janin terdeteksi pada
sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih,
kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih dianggap sebagai hasil positif dan mengindikasikan
risiko persalinan preterm. 7,12
Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin pada sekret
servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu pertanda adanya ancaman
persalinan preterm.12 Berdasarkan teori, peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks

14

dan cairan amnion memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan
desidua. 3,4,5
Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan normal
aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya memperlihatkan remodeling stroma serviks
sebelum persalinan. Cox dkk. (1996) menemukan bahwa dilatasi serviks lebih bermakna untuk
mendeteksi fibronektin daripada untuk meramalkan kelahiran preterm. 12 Namun demikan,
banyak penelitian telah menunjukan adanya peningkatan risiko persalinan preterm, jika fFN
positif pada sekret serviks setelah usia kehamilan 24 minggu, dan sebaliknya terdapat penurunan
risiko jika didapatkan fFN negatif.1
Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi persalinan preterm dalam 1 dan 2
minggu kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi persalinan preterm dalam 3 minggu
kemudian ialah 92%. Sensitivitas dari tes ini, dalam memprediksi dimulainya persalinan preterm
dalam 1 minggu dan 3 minggu kemudian, masing-masing ialah 71% dan 59%.2
Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi peripartum dapat
merangsang pelepasan fibronektin janin. Serupa dengan hal tersebut, Jackson dkk. (1996)
memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro menghasilkan fibronektin janin bila
dirangsang oleh produk-produk radang yang dicurigai mengawali persalinan preterm akibat
infeksi.12
2.5.6 Pengukuran panjang serviks
Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan isi uterus
terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine sampai persalinan, dan serviks akan
berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari isi uterus untuk melintasinya selama proses
persalinan. Kompetensi serviks tergantung pada kesatuan antara anatomi dan komposisi biokimia
dari serviks. Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks atau dimulainya persalinan ialah
terjadinya pemendekan dari serviks. Perhatian terhadap penilaian panjang serviks menggunakan
ultrasonografi sebagai prediktor persalinan preterm muncul setelah Iams dkk. (1996)
menentukan distribusi normal dari panjang serviks setelah umur kehamilan 22 minggu. Hal ini
kemudian diterima secara luas, bahwa panjang serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan
24-28 minggu dapat meningkatkan risiko persalinan preterm. Suatu penelitian prospektif yang
melibatkan 2.915 wanita yang dievaluasi menggunakan ultrasonografi pada serviks secara serial
menunjukan suatu risiko relatif terhadap persalinan preterm ialah 9.57, 13.88, dan 24,94 untuk
15

panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm, pada usia kehamilan 28 minggu.
Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan penilaian panjang serviks sebagai prediktor
persalinan preterm tidak selalu dapat dipercaya.terdapat variasi yang luas pada nilai prediksinya.
Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang melibatkan penilaian panjang serviks menunjukan
variasi yang sangat luas dalam sensitivitas (68-100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu
hingga saat ini tidak ada bukti kuat yang mendukung penggunaan penilaian panjang serviks
dengan menggunakan USG pada usia kehamilan 24-28 minggu dalam memprediksi persalinan
preterm sebagai pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi
atau dalam kombinasi dengan test fFN.4
2.5.7 Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks
Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret vaginoserviks pada
wanita yang berisiko tinggi mengalami persalinan preterm mungkin bermanfaat. Suatu penelitian
yang menilai risiko terulangnya persalinan preterm spontan pada wanita yang memiliki riwayat
persalinan preterm sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65% jika panjang serviks kurang dari
25 mm dan fFN positif. Namun, jika fFN negatif, risiko persalinan preterm hanya sebesar 25%.
Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah, risiko terulangnya persalinan preterm pada wanita
dengan panjang serviks > 35 mm dan fFN negatif, hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, kombinasi
penilaian panjang serviks dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu
memprediksi terulangnya persalinan preterm pada wanita risiko tinggi.4
Tabel 2.1 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam memprediksi risiko
terulangnya persalinan preterm4
Panjang serviks
< 25 mm
25-35 mm
> 35 mm

Risiko terulangnya persalinan preterm


fFN positif
fFN negatif
65%
25%
45%
14%
25%
7%

2.6 Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan preterm.
Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan sebelum
adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan karena ada
kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak
16

ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan
yang amat besar dalam penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang
melahirkan sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons
Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu. 1,2,4
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit
sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa tekanan
intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah terjadi
pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.1,3,10
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American
Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis persalinan preterm ialah
sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali
dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.12
2.7 Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan persalinan preterm ialah, apakah ini
memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin
yang

dapat

dilakukan

secara

klinis,

laboratoris,

ataupun

ultrasonografi,

meliputi

pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan keadaan
janin/kelainan kongenital. 1
Bila proses persalinan preterm masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah
dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
17

1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis kesehatan
anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa persen yang akan
hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan bayi preterm
dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan rencana
perawatan intensif neonatus.1
Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau menunjukan
tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal
outcomes. 1
Manajemen persalinan preterm tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:
1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat bilamana selaput
ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan makin perlu
dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2000 gram, atau
kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan 34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer, mengingat
prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas perawatan
neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi persalinan preterm.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.1
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.1
18

2.7.1 Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada yang
benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai
kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks pada kehamilan preterm.
Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:
1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru janin
3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap
4. Optimalisasi personil.1
Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:
1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam
sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan 20 mg.
Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang.Dan dosis perawatan 3x10 mg.7,10
2. Obat -mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat digunakan,
tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.1
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 g/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4
kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 g/menit, subkutan:
250 g setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek
samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia,
iskemi miokardial, edema paru.
3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus selama
20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang digunakan karena
efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. 7 Beberapa efek
sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan
bayi).10
4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat menghambat
produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan
untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat,
namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek samping

19

yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam
konteks percobaan klinis.
Untuk menghambat proses persalinan preterm, selain tokolisis, pasien juga perlu
membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.10
Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti
tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil dan
kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.2,6

2.7.2 Akselerasi pematangan fungsi paru


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin,
menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan intraventrikular,
necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus.
Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu dan lebih dari 23
minggu.1
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini tidak
diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal kortikosteroid
ialah: 1,2,3,4
1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.1
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone 400 ug
iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan
20

produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen
membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan. 10
Rasio Lesitin-sfngomielin
Pemeriksaan untuk menentukan rasio lesitin-sfngomielin ini merupakan pemeriksaan
yang paling sering digunakan untuk memprediksikan maturitas paru-paru janin, dan dianggap
sebagai

gold standart method. Pemeriksaan ini mempunyai beberapa hal yang kurang

menguntungkan, yaitu memerlukan banyak waktu dalam proses pemeriksaannya, disamping itu
pengukuran rasio lesitin-sfingomielin ini memerlukan laboratorium yang monitornya dengan
baik karena variasi kecil dalam teknik dapat sangat mempengaruhi keakuratan hasilnya. 6
Borer dan dkk, yang pertama kali memperkenalkan pengukuran rasio lesitin-sfingomielin
ini. Selanjutnya banyak penelitian dilakukan untuk mengevaluasi berbagai teknik pemeriksaan
ini. 6
Metode Gluck dkk dimulai dengan melakukan sentrifugasi terhadap cairan amnion yang
akan diperiksa dengan 5.400 rpm selama 5 sampai 10 menit, kemudian dilakukan ekstraksi
fosfolipid dengan chloroform, presipitasi dalam asetor dingin, resuspensi dalam chloroform
separation dengan thin-layer chromatography (TLC), dan pengukuran rasio lesitin-sfingomeilin
dengan menggunakan densitometry atau dilakukan pewarnaan dengan bromothymol blue
dilanjutkan dengan planimetry. Apabila analisis tersebut tidak cepat dilakukan, spesimen
hendaknya dimasukan dalam lemari pendingin. Metode ini juga dipakai oleh Donald dkk dan
Aubrey dkk dalam penelitian-penelitiannya. 6
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur rasio lesitin sfingomielin dengan
menggunakan berbagai modifikasi dalam prosedur pemeriksaannya. Modifikasi yang paling
sering adalah menghilangkan langkah pemeriksaan presitasi dalam aseton dingin. Gluck dkk
menyatakan bahwa prespitasi dengan aseton akan memisahkan fosfolipid permukaa-aktif dari
yang bukan permukaan aktif, tetapi peneliti-peneliti lain tidak menemukan pemisahan fosfolipid
dalam dua fraksi tersebut. Penelitian dengan menggunakan metode tanpa presipitasi aseton
dilaporkan oleh Tuimala serta Morison dkk yang menyatakan prediktabilitas rasio lesitin
sfngomielin pada level 1,5/1dan 2/1. 6

21

Sebelum kehamilan 34 minggu, lesitin dan sfingomielin terdapat didalam cairan amnion
dengan konsentrasi yang sama. Pada sekitar usia kehamilan 34 minggu, konsentrasi relative
lesitin terhadap sfingomielin mulai naik. 6
Gluck dkk, pada tahun 1971, melaporkan bahwa untuk kehamilan yang tidak diketahui
umurnya tetapi tanpa komplikasi apaun, resiko terjadinya sindroma gawat napas pada bayi baru
lahir sangat kecil kalau konsentrasi lesitin di dalam cairan amnion sedikitnya dua kali
konsentrasi sfingomielin, sementara itu ada resiko yang semakin tinggi untuk terjadinya
sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin di bawah 2. hal ini segera dikonfirmasikan
oleh peneliti lain. Pada tahun 1975, Harvey dkk menggabungkan 25 laporan yang rasio lesitinsfingomielin diukur dengan teknik yang sama pada cairan amnion yang dikumpulkan dalam 72
jam setelah kelahiran. Bila rasio lesitin-sfingomielin lebih besar dari 2, resiko terjadi sindroma
gawat napas ditemukan kecil sekali, kecuali bila ibu menderita diabetes. Kalau rasio lesitinsfingomielin antara 1,5 sampai 2, maka sindroma gawat napas ditemukan pada 40% kasus, dan
kalau dibawah 1,5 ditemukan pada 73% kasus. Meskipun 73 bayi mengalami sindroma gawat
napas kalau rasio lesitin-sfingomielin dibawah 1,5 tetapi yang terbukti fatal hanya pada 14%. 6
2.7.3 Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang tepat dapat
menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.9 Antibiotika hanya
diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD.
Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan
lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain
seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising
enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob. Yang
terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu dilakukan deteksi dan
penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila tidak ada kontra indikasi, diberi
tokolisis. 10
2.7.4

Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti: apakah

sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada berat janin yang
22

sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk melindungi kepala janin, dan
apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma
kepala. Bila janin presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi
lebar dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu. 7,10
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan merugikan
ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk melakukan seksio
sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.7
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah, oligohidramnion, dan
cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan sebagainya).10
2.8

Komplikasi
Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan bagi bayi,
persalinan preterm menyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan
morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah
respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan intra/periventrikular, necrotising enterocolitis
(NEC), displasia bronko-pulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas
jangka panjang yang meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure
disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan
prestasi sekolah yang kurang baik. 3,7

2.9 Pencegahan
2.9.1 Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
2.9.1 Pencegahan primer
23

Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk mencegah dan
mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan
primer:
Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi diberikan pendidikan
mengenai faktor-faktor risiko dari persalinan preterm. Sehingga faktor-faktor risiko yang
dapat dimodifikasi seperti pengambilan keputusan mengenai prosedur invasif (kuretase
uterus dan biopsi endometrium), kehamilan yang dibantu oleh teknologi, dan merokok
dapat dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu pemerintahan dalam
melindungi wanita yang sedang hamil, seperti menerapkan waktu cuti minimal 14
minggu pada wanita hamil yang bekerja, memberikan izin bagi wanita yang berkerja
untuk menghadiri asuhan prenatal, menghindarkan wanita hamil dari jam kerja malam,
serta perlindungan wanita hamil terhadap bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan kehamilan
disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen nutrisi, hingga selama
kehamilan untuk mengurangi risiko masalah kehamilan. Berdasarkan penelitian,
morbiditas respiratori menurun pada bayi yang dilahirkan oleh wanita yang
mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan, mengingat adanya
hubungan antara merokok dengan persalinan preterm.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang melakukan asuhan
prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian persalinan preterm yang lebih rendah
dibanding mereka yang melakukan asuhan prenatal tidak memadai, atau yang tidak
melakukan asuhan prenatal.
6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm berhubungan dengan
keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat ketika penyakit periodontal
berkembang selama kehamilan, tetapi dasar mengenai hubungan ini masih belum jelas.
Peningkatan risiko persalinan preterm ini dapat disebabkan oleh penyebaran secara
hematogen dari mikroba pathogen rongga mulut ke organ genital, atau lebih mungkin
karena respon inflamasi terhadap mikroba pada rongga mulut dan traktus genitalis.
24

7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi bakteriuria asimptomatik
telah dilaporkan menurunkan tingkat persalinan preterm. Namun, skrining dan protokol
terapi yang optimum dalam mencegah persalinan preterm masih belum jelas benar.
Pencegahan persalinan preterm sebagian besar didasarkan pada riwayat persalinan
preterm sebelumnya dan adanya faktor risiko kehamilan seperti kehamilan multipel dan
perdarahan, tetapi lebih dari 50% persalinan preterm terjadi pada kehamilan tanpa faktor
risiko yang jelas. Sebagian besar faktor risiko yang didasarkan pada riwayat persalinan
sebelumnya ini, memiliki sensitivitas yang rendah dalam memprediksi persalinan
preterm. Namun, Goldenberg dkk melaporkan bahwa jumlah dan usia persalinan preterm
sebelumnya, merupakan faktor risiko persalinan preterm yang kuat, begitu juga dengan
adanya fibronektin janin pada cairan servikovaginal, panjang serviks, dan vaginosis
bacterial, juga merupakan faktor risiko persalinan preterm spontan yang kuat.15
2. 9.2 Pencegahan sekunder
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko pada wanita yang diketahui
memiliki faktor risiko persalinan preterm. Sehingga dilakukan pada wanita yang terbukti
memiliki risiko persalinan preterm berdasarkan riwayat persalinan (misalnya, persalinan preterm
sebelumnya atau adanya anomali uterus) atau adanya risiko kehamilan saat ini (misalnya
kehamilan multipel atau perdarahan). Pencegahan ini memerlukan identifikasi dan penurunan
faktor risiko, yang keduanya terbukti sulit dilakukan.15
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder diantaranya
ialah:
1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi: koreksi anomali duktus Mullerian, pemberian
progesteron profilaksis, mengontrol penyakit-penyakit seperti diabetes, seizures, asma atau
hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan aktivitas
seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan persalinan preterm)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids dianggap dapat
menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang intensif, meliputi
dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan pada wanita hamil)
25

d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita yang


mengalami persalinan preterm sebelumnya dengan dugaan dikarenakan bakterial
vaginosis)
e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin, sehingga
menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara integritas serviks, dan
memiliki efek antiinflamasi).15
2.9.3 Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang umum dilakukan. Dimulai setelah proses
persalinan terjadi, dengan tujuan untuk mencegah kelahiran preterm atau meningkatkan outcome
dari bayi preterm. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan tersier
diantaranya ialah pengiriman ibu dengan persalinan preterm ke rumah sakit yang dilengkapi
perawatan bayi preterm dalam sistem regionalisasi, yang memberikan pelatihan dan
pengembangan keterampilan dan perawatan fasilitas, pemberian terapi tokolisis, kortikosteroid
antenatal, antibiotik dan persalinan preterm atas indikasi pada waktu yang tepat.15

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37
minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). Persalinan preterm merupakan
salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas perintal di seluruh dunia. 10 15%
kehamilan namun kontribusinya terhadap morbiditas dan mortalitas neonatal adalah sekitar 50
70%. Patogenesis dari persalinan preterm masih belum dimengerti dengan benar. Namun, infeksi
26

tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam persalinan preterm. Terdapat
banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan preterm, dan pengetahuan terhadap
adanya faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya persalinan preterm.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat proses persalinan
preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan
kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi. Ibu hamil yang mempunyai
risiko mengalami persalinan preterm dan/atau menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu
dilakukan pencegahan secara dini guna mencegah terjadinya persalinan preterm. Intervensi yang
dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan persalinan
preterm dapat diklasifikasikan menjadi pencegahan primer, sekunder, dan tersier.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. Persalinan Preterm dalam Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta : PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. p. 97-112; 289-95; 667-76.
2. Abassi S, Gerdess JS , Shedev HM et al. Preterm Labour. In : Obstetrics illustrated. Sixth
edition, Elsevier Science Limited, Philadelphia : 2003. p.204-6.
3. Lewis David. Magnesium Sulfate The First Line Tokolitik. In : Obstetrics and Gynecology
Clinics of North America. Sixth edition, Elsevier Science Limited, Philadelphia : 2005. p.485500.
27

4. Ables Adrienne , Maria Ana et al. Use of Calcium Channel Antagonist for Preterm Labor.
In :Obstetrics and Gynecology Clinics of North America. Sixth edition, Elsevier Science
Limited, Philadelphia : 2005. p.519-25.
5. Tucker Janet, McGuire Willism.. Epidemiology of Preterm Birth In : ABC of Preterm Birth.
Volume 329, bmj, USA : 2004. p. 675-78
6. Obrien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amniotic fluid tests for fetal pulmonic
maturity. Am J Obstet Gynecol 1980; 136; 135-144.
7. Hariadi R. Ilmu kedokteran fetomaternal: Edisi Perdana. Himpunan kedokteran Fetomaternal
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi. Surabaya :2004. hlm.364-80.
8. Edmonds, D. Keith. Dewhursts Textbook of Obstetrics & Gynaecology Seventh Edition :
Preterm Labour. USA : Blackwell Publishing. 2007. 177-91
9. Wall Moira, Jenny Fraser, McGuire Willism.. Respiratory Complication of Preterm Birth In :
ABC of Preterm Birth. Volume 329, bmj, USA : 2004. p. 962-65
10. Yeast John , Lu George. Biochemical Markers for the prediction of Preterm Labor. In
:Obstetrics and Gynecology Clinics of NorthAmerica. Sixth edition, Elsevier Science Limited,
Philadelphia :2005. p.369-78.
11. Reece, E. Albert. Clinical Obstetrics The Fetus & Mother Third Edition
USA: Blackwell Publishing. 2007.p. 1085-113.

: Preterm Labor.

12. Gabbe, Steven G. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies Fifth Edition: Patophysiology
Preterm Parturition. Philadelphia: Elsevier. 2007.p.677-83.
13. Cunningham, F. Gary. et.al. Williams Obstetrics 22nd Ed. : Preterm Birth. USA: McGrawHill. 2005.202-13.

28

You might also like