Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Natalia (406148134)
Pembimbing:
dr. H. Imam Firmansyah, Sp.PD
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga referat yang berjudul HIV AIDS
dan Infeksi Oportunistik ini dapat selesai tepat pada waktunya. Referat ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Penyakit Infeksi Prof.Dr.Sulianti Saroso serta agar dapat menambah kemampuan dan
ilmu pengetahuan bagi para pembaca.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan
serta bimbingan dari dr. H. Imam Firmansyah, Sp.PD dan dokter pembimbing lainnya
selama menjalani kepaniteraan penyakit dalam periode 5 Oktober 12 Desember
2015 ini.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat
disempurnakan di masa yang akan datang. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima
kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV).1 Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuan
Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita
dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenophaty
Associated Virus (LAV).2
HIV/AIDS merupakan sebuah masalah besar yang sangat mengancam, tidak
hanya Indonesia tapi juga seluruh negara di dunia. Saat ini tidak ada negara yang
terbebas dari penyakit ini. HIV/AIDS tidak hanya menyerang dewasa tapi juga anakanak.
Menurut UNAIDS di tahun 2014, 19 juta dari 35 juta manusia penderita HIV
di dunia hidup tanpa mengetahui bahwa mereka berstatus HIV positif, dengan kasus
baru sebanyak 2,1 juta, dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV.
Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 16 juta, usia produktif 31,8 juta
( 15-24 th) dan anak-anak 3,2 juta. Asia dan Pasifik sendiri menyumbang sekitar 4.8
juta manusia dengan HIV, dengan kasus baru sebanyak 350.000. HIV dan AIDS
menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis
pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan. 3
Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan pertumbuhan
epidemi tercepat di Asia. Pada tahun 2007 menempati urutan ke-99 di dunia dan pada
tahun 2013 menempati urutan ke 3 se-Asia dan Pasifik, namun karena pemahaman
dari gejala penyakit dan stigmata sosial masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa
dan dilakukan pengobatan.3
Depkes pada tahun 2006 memperkirakan terdapat 169.000 216.000 ODHA
di Indonesia dengan rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 30 Juni 2007
adalah 4,27 per 100.000 penduduk (revisi berdasarkan data BPS 2005, jumlah
penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa) .4
Upaya penanggulangan HIV/AIDS pada sebelumnya lebih diprioritaskan
upaya pencegahan. Namun semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS,
maka strategi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan memadukan upaya
pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan. Dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1PengertianHIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae.2 AIDS merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV. Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan
patogen yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki
penanda CD4+ di permukaannya seperti makrofag dan limfosit T. 1
2.2Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2. HIV adalah virus yang tergolong
kedalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus. HIV-1 dan HIV -2 memiliki
struktur yang hampir sama. HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai gen
vpx, sedangkan HIV-2 mempunyai gen vpx tetapi tidak mempunyai gen vpx.5
2.2.1 Struktur HIV
HIV mempunyai inti berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung genom RNA
diploid dan enzim reverse transcriptase (RT), protease serta integrase. Reverse
transcriptase digunakan RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Antigen
kapsid (p24) adalah core antigen virus HIV yang merupakan petanda terdini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari- minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis
antibody terhadap HIV-1. Antigen ini menutupi komponen nukleoid, sehingga
membentuk struktur nukleokapsid. Antigen P17 merupakan bagian dalam sampul
HIV. Pada bagian permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul
glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini yang
mengikat reseptor sel CD4 pada sel T dan makrofag.6
Adanya gangguan produksi sitokin oleh sel makrofag dan monosit akan
sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pada penderita AIDS mudah mendapat
infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal
(nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :
Infeksi virus
2-3minggu
2-3minggu
gejala menghilang
+
Serokonversi
5-10tahun
Infeksi kronis HIV/AIDS simtomatik
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik
dengan atau tanpa pengobatan. 2
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya
lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,
infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.2
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
Kelompok
Umum
Mukokutan
Limfadenopati
Neurologi
Saluran cerna
Gejala
Demam
Nyeri otot
Nyeri sendi
Rasa lemah
Ruam kulit
Ulkus di mulut
Kekerapan (%)
90
54
70
12
74
Nyeri kepala
32
Nyeri belakang mata
Fotofobia
Depresi
Meningitis
12
Anoreksia
Nausea
Diare
32
Jamur di mulut
12
Sumber : (Djauzi S, 2002)
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah
masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh
akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis
menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya
kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe
Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan
limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.2
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul
HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4
yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari.2
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak
ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum
suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama
seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan
tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan
lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif. 2
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
ditampilkan dalam gambar 3.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer,
HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat
pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,
ditandai dengan penurunan viremia.
Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV
sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga
mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi
oportunistik.
2.5CaraPenularan
Cara penularan HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama9 :
a. Transmisi vertikal dari ibu ke janin
Suntikan intravena
Penularan infeksi melalui suntikan intra vena disebabkan karena terjadinya
kontak langsung darah dengan jarum dan spuit yang terkontaminasi. Meski
jumlah darah dalam spuit relatif kecil, efek kumulatif pemakaian bersama alat
peralatan suntik yang sudah terkontaminasi tersebut akan meningkatkan resiko
penularan. Penularan cara ini banyak dialami oleh para pengguna narkoba.
Darah dan produk darah
Penularan darah dapat terjadi jika pada pasien yang menerima transfusi darah
dan penderita HIV. Namun demikian resiko yang berkaitan dengan transfusi
kini sudah banyak berkurang sebagai hasil dari pemeriksaan serologi yang
secara sukarela diminta sendiri, pemrosesan konsentrat faktor pembekuan,
pemanasan, dan cara-cara inaktivasi virus yang semakin efektif.
c. Transmisi melalui mukosa genital.
Kontak seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual ataupun homoseksual adalah cara
paling dominan dari semua cara penularan. Pada hubungan heteroseksual atau
homoseksual berarti terjadi kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal,
ataupun oral antara dua individu. Kontak ini akan meningkatkan kemungkinan
trauma pada mukosa rektum ataupun vagina dan selanjutnya memperbesar
peluang untuk terkena virus HIV lewat sekret tubuh. Peningkatan frekuensi
berhubungan dengan pasangan bergantian juga turut menyebarkan penyakit
ini. Tingkatan resiko penularan HIV juga tergantung dari jumlah virus yang
keluar dan masuk kedalam pintu masuk tubuh seseorang.
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk faktor risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan
diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata
laksana selanjutnya.
Stadium
Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.7
Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV
(sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T
CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi
profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,
system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan
mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak
mampu memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang
tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang
tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan
diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak
memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi
pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan
medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan
spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal
sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan
penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah
infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang ulang dan pemaparan
terhadap
infeksi-infeksi
lain
mempengaruhi
perkembangan
kearah
AIDS.
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala
yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala
kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber,
gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase
ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas
merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2
minggu.
b.
memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia
positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC
(AIDS Relative Complex)
Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa
Bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebabsebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian
kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2.
Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
2.7 Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. 2
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 11
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai
infeksi
HIV/AIDS,
seperti
jamur,
tuberkulosis,
hepatitis,
Nucleoside
reverse
transcriptase
inhibitors
(NRTI)
:Abacavir
(ABC)Didanosine (ddI)Emtricitabine (FTC)Lamivudine (3TC)Stavudine
(d4T)Zidovudine (AZT)
N
Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis : 10
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan
infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Pada
waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau non infeksi
yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis).
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus
untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut : 10
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
dengan inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat
memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi ARV,
banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA HIV yang
cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis infeksi
oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi oportunistik
dan memulai terapi ARV.
Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan
jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat
antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya pemberian
kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari prednisolon.
Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral10
1. Pemantauan klinis
Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu
ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada
tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila
menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250 350 sel/mm3
maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan
12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan
pemantauan berdasar gejala klinis
Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF
Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien
yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI. Tidak direkomendasi untuk
pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, kecuali bila pasien menunjukkan
tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat
Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memantau
pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan
pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi.
Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan
hanya menggunakan pemantauan klinis dan pemeriksaan jumlah CD4
Penatalaksanaan non-farmakologis2
1. Rehabilitasi
Rehabilitasi ditujukan pada pengidap dan keluarga atau orang terdekat dengan
melakukan konseling dengan maksud :
o Memberikan dukungan mental-psikologis.
o Membantu mengubah perilaku risiko tinggi.
o Mengingatkan kembali tentang cara hidup sehat.
o Membantu menemukan solusi rmasalah yang berkaitan dengan penyakitnya.
2. Edukasi :
Tujuannya untuk mendidik pasien dan keluarga bagaimana mengahadapi
kenyataan hidup bersama AIDS, kemungkinan diskriminasi lingkungan, cara
hidup sehat, mengatur diet, mengindari kebiasaan yang merugikan kesehatan.
Pencegahan Penularan HIV2
1. Ubah perilaku seks bebas berganti-ganti pasangan
2. Gunakan kondom
3. Konsultasi dan tes HIV
4. Kewaspadaan universal standart
5. Hindari penggunaan jarum suntik bersama
6. Pencegahan khusus bagi ibu ODHA :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
edukasi karena penularan AIDS dapat dicegah melalui perilaku yang bertanggung
jawab.
Didalam menyusun kebijaksanaan menghadapi masalah AIDS perlu
dipertimbangkan beberapa hal antara lain adalah :
1.
2.
AIDS telah melanda sebagian besar negara didunia (pendemi) dan telah
menjadikan masalah internasional.
3.
4.
5.
Dampak yang merugikan yang disebabkan oleh infeksi HIV tidak saja
dibidang medik tetapi juga dibidang lainnya seperti sosiol ekonomi politik
dan kebudayaan.
6.
7.
Kesehatan telah membentuk suatu panitia untuk menanggulangi AIDS yang diketuai
oleh Direktur Jenderal Pemerantasan Penyakit Menular dan penyehatan lingkungan
pemukiman. Panitia ini merupakan wadah komunikasi/koordinasi serta pengolahan
informasi dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dari kesiap-siapan menghadapi
AIDS. Adanya panitia ini tidak mengurangi wewenang dan tugas dari unit unit
struktural di Departemen Kesehatan sesuai dengan bidang masing-masing. Perlu
ditegaskan bahwa untuk penanggulangan AIDS tidak akan diadakan struktur khusus
dalam sistem pelayanan kesehatan. Penangulangan AIDS akan dilakukan secara
terpadu oleh unit- unit yang bertangung jawab mengnai masalah tersebut.
Beberapa kebijaksanaan / keputusan telah diambil panitia penanggulangan
AIDS Departemen Kesehatan antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
Interprestasi hasil tes ELISA yang positif harus dilakukan dengan hati-hati.
Kerahasiaan harus dipegang teguh. Counseling hanya dilakukan bila
konfirmasi dengan tes Western Blot Positif.
6.
7.
8.
9.
dan
menyatukan
upaya-upaya
nasional
untuk
penanggulangan HIV/AIDS
Adapun prinsip-prinsip dasar penanggulangan HIV /AIDS adalah :
1. Upaya penanggulangan HIV /AIDS dilaksanakan oleh seluruh penduduk di
Indonesia, masyarakat, dan pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama dan
pemerintah berkewajiban membimbing. mengarahkan serta menciptakan
suasana yang menunjang
2. Setiap upaya penanggulangan harus mencerminkan nilainilai agama dan
budaya yang ada di Indonesia.
3. Setiap kegiatan untuk mempertahankan dan memperkuat ketahanan dan
kesejahteraan keluarga serta sistem dukungngan sosial yang mengakar dalam
masyarakat.
Etiologi
mempunyai pola tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada
gambaran IO yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah
limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan
sering mengakibatkan kematian. Pegobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat
menekan replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka
waktu panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme
yang sering menyebabkan IO terdapat di lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti
air, tanah, atau organisme tersebut memang berada dalam tubuh kita pada keadaan
normal, atau tinggal secara laten lalu mengalami reaktivasi.2
2.7.3 Diagnosis Infeksi Oportunistik
Penegakan diagnosis infeksi oportunistik dapat dilakukan secara diagnosis
presumptif dan diagnosis definitif. Pada diagnosis definitif penyebab infeksi
oportunistik dapat ditemukan, sedangkan pada diagnosis presumptif penyebab infeksi
tak ditemukan akan tetapi kriteria klinis dan penunjang menjurus ke suatu diagnosis.10
2.7.
Epidemiologi
Sebelum pemakaian obat profilaksis primer, PCP muncul pada 70-80%
pasien HIV. Insidensi penderita HIV di Eropa Barat dan Amerika Serikat 2-3
kasus per 100 orang per tahun.10,15
iii.
Penularan
Tidak diketahui pasti bagaimana jamur ini ditransmisikan pada
tampaknya pada manusia juga melalui udara karena DNA jamur ini
diidentifikasi pada spora udara di lingkungan perumahan dan rumah sakit.10,15
iv.
Gejala klinis
Manifestasi paling umum dari PCP di antara orang yang terinfeksi HIV
Gejala
sesak
Sedang
berkeringat, Sesak napas
napas
beraktivitas
Analisis
Darah
Foto
Rontgen Normal
atau
perihilar minor
Dada
v.
saat aktivitas
Berat
saat Sesak napas saat
menurun
saat
aktivitas
tanda Bayangan interstisial Bilateral interstisial
bilateral difusa
ekstensif
Diagnosis 16
Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah infiltrate
pertukaran gas yang rendah (<80% nilai prediksi) atau peningkatan AaDO2
tidak ada bukti pneumonia bakterialis
vi.
-
Penatalaksanaan10
Terapi pilihan:
Kotrimoksasol (TMP 15 mg + SMZ 75 mg/kg/ hari) dibagi dalam 4
dosis atau Kotrimoksasol 480 mg, 2 tablet 4 kali sehari untuk BB < 40 kg dan
3 tablet 4 kali sehari untuk BB > 40 kg selama 21 hari
-
Terapi alternatif:
Klindamisin 600 mg IV atau 450 mg oral 3 kali sehari + primakuin 15
mg oral sekali sehari selama 21 hari bila pasien alergi terhadap sulfa.
Untuk pasien yang parah dianjurkan pemberian prednisolon 40 mg, 2
kali sehari, dengan penurunan dosis secara bertahap hingga 7 10 hari,
tergantung dari respon terhadap terapi.
vii.
-
Profilaksis 10,16
Primer
Diberikan pada CD4 < 200 sel/uL atau limfosit total kurang dari 14%
dengan kandidiasis orofaringeal atau demam yang tidak jelas sebabnya yang
berlangsung lebih dari 2 minggu. Regimen yang diberikan kotrimoksasol.
Kotrimoksasol forte diberikan per oral 2 kali sehari, seminggu 2 kali
pemberian atau dapsone 100 mg PO per hari atau atovaquone 750 mg PO 2
kali per hari.
- Sekunder
Gejala klinis 17
Kandidiasis kulit dan mukosa sering menyertai berbagai keadaan
sedangkan
esofagitis
CMV
atau
HSV
lebih
sering
Diagnosis
Diagnosis laboratorik dapat dilakukan melalui pemeriksaan spesimen,
pemeriksaan
mikroskopis,
biakan,
dan
serologi.
Diagnosis
definitif
Penatalaksanaan 10
Terapi kandidiasis oral:
Tablet Nistatin 100.000 IU, dihisap setiap 4 jam selama 7 hari atau
suspensi Nistatin 3-5 cc dikumur 3 kali sehari selama 7 hari.
Terapi kandidiasis esofageal:
Flukonasol 200 mg per sehari selama 14 hari atau Itrakonasol 400 mg
per sehari selama 14 hari atau Ketokonasol 200 mg per sehari selama 14
hari.
iv.
Profilaksis
Tidak ada terapi profilaksis untuk kandidiasis yang dianjurkan pada
Gejala klinis
Terdapat perbedaan manifestasi klinis kriptokokosis pada imunokompromais
dan bukan. Pada AIDS gejala klinis MK sering kali tidak jelas atau samar-samar.
Biasanya dijumpai gejala prodormal selama 2-4 minggu. Gejala awal berupa demam,
nyeri kepala belakang dan kadang disertai fotofobia. Tanda klasik meningitis berupa
kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal hanya dijumpai 30%. Sekitar 10-30%
pasien datang dengan keluhan gangguan kesadaran dan perilaku. Gejala neurologis
fokal hanya dilaporkan 10%. Peningkatan tekanan intrakranial didapatkan pada 75%
kasus meningitis kriptokokosis, walaupun demikian edema papil hanya didapatkan
pada 26% kasus. 16,17
Pada kriptokokosis paru dapat dijumpai demam dan batuk dengan sputum
yang tidak terlalu produktif. Mengingat kriptokokosis merupakan penyakit yang
berbahaya, dianjurkan untuk memikirkan kemungkinan ini pada setiap penderita
dengan klinis pneumonia. Manifestasi kriptokokosis paru dapat mendahului terjadinya
meningitis kriptokokosis. Karena itu bila terdapat bukti infeksi C. neoformans di paru
harus dilakukan punksi lumbal. 16,17
Diagnosis
Diagnosis
definitive
kriptokokosis
adalah
dengan
isolasi
jamur,
Penatalaksanaan10
- Terapi pilihan:
Amfoterisin B IV (0,7 mg/ kg/ hari) selama 2 minggu diikuti dengan
flukonasol 400 mg perhari selama 8-10 minggu. Hati- hati akan efek samping
nefrotoksik amfoterisin.
-
Terapi alternatif
Flukonasol 400-800 mg per hari selama 8 12 minggu
Terapi rumatan:
itrakonasol 200 mg/hari atau flukonasol 200 mg/ hari
iv.
Profilaksis
Tidak ada terapi profilaksis primer yang dianjurkan untuk mencegah
MK. Profilaksis sekunder (rumatan) dengan salah satu regimen dibawah
diberikan seterusnya hingga nilai CD4>200 sel/uL : Flukonazol 200 mg/hari
adalah
penyakit
zoonosis,
disebabkan
oleh
parasit
Toxoplasma gondii yang dikenal sejak tahun 1908 (Yunani : berbentuk seperti panah),
merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi asimtomatik pada 80%
manusia sehat, tapi berbahaya pada penderita HIV. Toxoplasmosis pada penderita HIV
terbanyak disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten. Siklus hidup T.gondii sangat
kompleks. Inang definitifnya adalah kucing. Sedangkan inang perantaranya sangat
bervariasi seperti tikus, kambing, sapi, babi, unggas dan hewan ternak lainnya. Pada
manusia infeksi T.gondii melalui makanan dapat terjadi dua mekanisme, yaitu
makanan tercemar ookista yang berasal dari tinja kucing dan melalui daging yang
mengandung kista jaringan akibat kurang matang dimasak. Serangga seperti kecoa
dan lalat juga dapat mencemari makanan dengan ookista. 18
Ensefalitis toksoplasma (ET) merupakan manifestasi utama toksoplasmosis
pada orang dengan HIV/AIDS. Manisfestasi ocular (retinitis), paru (pneumonitis) dan
infeksi sistemik lebih jarang dijumpai. Infeksi juga dapat terjadi pada kelenjar limfe,
hati, sumsum tulang dan jantung. Sebelum ARV digunakan secara luas, 70% kasus
lesi massa intrakranial pada ODHA disebabkan oleh ET. Penyakit ini paling sering
timbul pada ODHA dengan CD4 < 100 sel/uL. 18
i.
Gejala klinis
Perjalanan penyakit ET biasanya berlangsung subakut. Keluhan dan gejala
klinis berkembang progresif dalam kurun waktu 1-4 minggu. Pada sepertiga kasus
ditemukan awitan akut. Seringkali, secara klinis dapat diduga diagnosis ET pada
orang dengan HIV/AIDS, walaupun tidak ada tanda patognomonik. Demam, sakit
kepala, deficit neurologic fokal dan penurunan kesadaran merupakan manifestasi
klinis utama dari ET. Sakit kepala, penurunan kesadaran dan gangguan perilaku
dijumpai pada 50-70% kasus. Demam dijumpai pada 40-50% kasus. Defisit
neurologik fokal ditemukan sebanyak 80%. Hemiparesis merupakan defisit fokal
yang paling sering dijumpai, ditemukan sebanyak 40-50%. Kejang sebagai gejala
utama dijumpai pada 15-30% kasus. Gejala lain adalah ataksia, paresis saraf
kranial, afasia, parkinsonism, korea-atetosis dan gangguan lapangan pandang. 10,18
ii.
Diagnosis
Diagnosis presumtif berdasarkan gejala klinis neurologi yang progresif
pada ODHA dengan nilai CD4 <200 sel/uL dan disertai gambaran
neuroimaging(CT/MRI) yang sesuai. Diagnosis definitive ET hanya dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi jaringan otak. Pemeriksaan MRI
lebih sensitif daripada CT scan dalam menemukan lesi ET. Sembilan puluh
persen memperlihatkan lesi tunggal atau multiple yang hipodens pada CT atau
hipointens pada MRI. Walaupun demikian, lesi yang tidak disertai
penyangatan kontras juga dilaporkan pada 6-20% kasus ET. Lokasi lesi sering
kali didapatkan pada ganglia basal, thalamus, atau cortio-medullary junction.
Bedasarkan diagnosis presumtif, terapi empiris toksoplasma dapat dimulai.
Jika diagnosis tersebut benar, lesi akan mengecil pada CT-scan atau MRI
ulangan setelah 2 minggu. Pada ET biasanya dijumpai lgG yang positif,
sedangkan lgM negative. Hal ini tidak mengherankan karena ET pada ODHA
biasanya merupakan reaktivasi infeksi laten. Walaupun demikian, pemeriksaan
serologi yang negative dijumpai pada 3-17% kasus ET yang didiagnosis
melalui biopsy maupun presumtif.
European Federation of Neurological Societies (EFNS) mengeluarkan
panduan tatalaksana, yaitu secara praktis semua ODHA dengan lesi massa
intrakranial dapat diberikan terapi empiris anti-toksoplasma selama 2 minggu,
walaupun serologinya negative atau lesinya tunggal. Bila tidak terdapat
perbaikan klinis ataupun radiologis, barulah dianjurkan biopsi 18
Penatalaksanaan 10
iii.
-
iv.
Profilaksis
Profilaksis primer TMP-SMZ DS (960 mg) 1x1 tab diberikan pada ODHA
dengan CD4 < 100 sel/uL Profilaksis primer dihentikan bila CD4 > 200 sel/uL
stabil selama > 3 bulan. Terapi profilaksis primer dimulai kembali bila CD4 <
100 sel/uL. Terapi rumatan (profilaksis sekunder) dapat dihentikan bila telah
terjadi perbaikan sistim imun, yaitu bila nilai CD4 > 200 sel/uL selama lebih
dari 6 bulan. Terapi profilaksis diberikan kembali jika CD4 turun < 200 sel/uL
sesuai dengan profilaksis PCP.
5. HSV ( Herpes Simpleks Virus )
i.
Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV)
tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus
paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret
genital/oral dari individu yang terinfeksi.15
ii.
Jenis-jenis Virus Herpes Simplek
1. HSV tipe 1, menyebabkan demam seperti pilek dengan menimbulkan luka di
bibir semacam sariawan. HSV jenis ini ditularkan melalui ciuman mulut atau
bertukar alat makan seperti sendok garpu (misalnya suap-suapan dengan
teman). Virus tipe 1 ini juga bisa menimbulkan luka di sekitar alat kelamin. 15
2. HSV tipe 2, dapat menyebabkan luka di daerah alat vital sehingga suka
disebut genital herpes, yang muncul luka-luka di seputar penis atau vagina.
HSV 2 ini juga bisa menginfeksi bayi yang baru lahir jika dia dilahirkan
secara normal dari ibu penderita herpes. HSV-2 ini umumnya ditularkan
melalui hubungan seksual. Virus ini juga sesekali muncul di mulut. Dalam
kasus yang langka, HSV dapat menimbulkan infeksi di bagian tubuh lainnya
seperti di mata dan otak.15
iii.
serta penyembuhan luka juga lebih lambat. Sebagian lain gejalanya tidak khas
atau mengenai organ lain seperti esofagus, rektum, paru, hepar, mata,
pankreas, ginjal, hepar, adrenal dan otak. Setelah infeksi primer, ODHA tetap
mempunyai kemungkinan terjadinya infeksi rekurens yang dapat terjadi secara
spontan atau dicetuskan keadaan lain seperti demam, stres, dan paparan
ultraviolet di tempat lesi. HSV-1 lebih sering rnenginfeksi daerah orolabial,
sedangkan HSV- 2 lebih sering menginfeksi daerah anogenital.
Ensefalitis HSV pada ODHA menunjukkan gejala yang tidak dapat
timbul tiba- tiba atau perlahan, dengan keluhan mulai dari sakit kepala.
meningismus, perubahan kepribadian, kejang, sampai penurunan kesadaran.
iv.
lokal,
biasanya
pada
Profilaksis
Tidak ada terapi rumatan ataupun profilaksis primer pada
infeksi HSV pada ODHA.10
6. Herpes Zoster
Infeksi primer virus ini biasanya terjadi pada masa kanak- kanak. ODHA
mengalami infeksi rekurens virus ini (herpes zoster) lebih sering dibandingkan pasien
imunokompeten. Kejadian herpes zoster seringkali merupakan salah satu indikator
adanya infeksi HIV pada orang yang berisiko terinfeksi HIV.
i.
Gejala
Pada infeksi primer (varisela), lesi rata-rata muncul setelah 14 hari
didahului gejala prodromal seperti malaise, mialgia, dan demam 1-2 hari
sebelumnya. Pada pasien imunokompromais gejala biasa-nya lebih berat, bahkan
dapat menyebabkan sesak napas serta sianosis. Lesi awal bermula sebagai makula
eritema kecil dan berkembang dalam 12-36 jam menjadi papul dan vesikel, mulamula di daerah badan leher dan muka. ODHA yang mengalami varisela
mempunyai resiko lesi menjadi lebih luas, bahkan dapat mengenai telapak tangan
dan kaki. Jumlah lesi kulit menjadi lebih banyak, lebih monomorf, berukuran
lebih besar dan lebih dalam, dan berlangsung lebih lama (lebih dari 2 rninggu).
Infeksi sekunder juga lebih sering muncul. (20-30%), demikian juga dengan
penyebaran ke organ viseral. Setelah infeksi primer, virus ini menetap pada akar
ganglia dorsalis yang dapat bereaktivasi rnenjadi herpes zoster. Gejalanya
biasanya dimulai dengan nyeri radikuler yang dilanjutkan dengan munculnya lesi
makulopapuler hingga menjadi vesikel. Vesikel seringkali menyatu dan
membentuk bula. Pada ODHA, lesi yang biasanya hanya mengenai satu dermatom
dapat mengenai lebih dari satu dermatom, lebih banyak bula, nekrosis, lebih nyeri,
dan meninggalkan jaringan parut yang lebih luas.
Infeksi VVZ dapat menyebabkan komplikasi pneumonia, ensefalitis,
hepatitis, nekrosis retinal akut, dan neuralgia pasca herpetiko. Pneumonia varisela
dapat terjadi bersamaan dengan infeksi primer atau herpes zooster, dengan
gambaran bervariasi mulai dari yang ringan sampai menyebabkan gagal napas.
Ensefalitis Varicella zooster jarang terjadi. Gejala yang khas berupa sakit kepala,
muntah, letargi. dan gejala keterlibaran serebelum (ataksia, tremor, dan pusing
berputar muncul 3-9 hari setelah onset infeksi primer atau 1- 2 minggu setelah
onset herpeszooster. Nekrosis retinal akut dapat terjadi dalam beberapa minggu
atau bahkan setelah kejadian herpes zooster, dan dapat menyebabkan kebutaan.
Neuralgia pasca herpetika didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari 30
hari setelah kejadian herpes zoster. Komplikasi ini meningkat pada usia yang lebih
tua, sedangkan infeksi HIV bukan dianggap sebagai faktor yang meningkatkan
resiko komplikasi ini.
ii.
Diagnosis
Diagnosis umumnya berdasarkan gejala klinis. Diagnosis definitif
berdasarkan
kultur
atau
deteksi
antigen
di
jaringan
dengan
iii.
Profilaksis
Imunoglobulin varicella zoster dianjurkan diberikan pada ODHA dalam 48
jam setelah paparan dengan dosis 6,25 mL. Sedangkan vaksin varisela
dikontraindikasikan pada ODHA karena mengandung virus hidup. Namun,
sampai saat ini imunoglobulin tersebut belum tersedia di Indonesia.
7. Tuberculosis
i.
Definisi
Tuberkulosis
adalah
penyakit
yang
disebabkan
oleh
infeksi
Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex. Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh Robert
Koch pada tahun 1882.20 Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab
TB yang berbentuk batang ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua
ujungnya membulat. Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk
bunga kol dan berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam
kondisi optimal. Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah
antara 6,8-8,0. Untuk memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi
pertumbuhannya pada pH 6,8.20
M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah jenis yang paling
banyak menimbulkan penyakit TB pada manusia. Basil tuberkulosis tahan
hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang lembab. 20
Basil tersebut berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih
(5 menit pada suhu 80 C dan 20 menit pada suhu 60C), dan mudah mati
apabila terkena sinar ultraviolet (sinar matahari).20
iii.
Patogenesis
a. Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer yang disebut sebagai fokus
Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian dimana saja dalam
paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
terlihat peradangan pembuluh limfe menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut:19
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara:
1. Perkontinuatum
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu
kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus
yang
atelektasis
tersebut,
yang
dikenal
sebagai
epituberkulosis.19
2. Penyebaran secara bronkogen
Penyebaran secara bronkogen berlangsung baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.19
3. Penyebaran secara hematogen dan limfogen
tuberkuloma.
Tuberkuloma
dapat
mengapur
dan
iv.
Diagnosis
Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan
Demam
2. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia,
dan berat badan menurun.
c.
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.19
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung
dengan organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.19
c. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, LCS, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi.19
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan
ialah bila:
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian, bila
1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif
BTA negatif.21
Menurut
rekomendasi
WHO,
interpretasi
pemeriksaan
4. Pemeriksaan Radiologi
2.
3.
4.
5.
a. Fibrotik.
b. Kalsifikasi.
c. Schwarte atau penebalan pleura
Pemeriksaan Penunjang Lain
Analisis cairan pleura uji Rivalta (+), eksudat, limfosit
v.
Penatalaksanaan
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan
lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT
terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) pada akhir pengobatan intensif.21
Kategori penggunaan OAT di Indonesia, adalah sebagai berikut:22
1. Kategori 1 2(HRZE)/4(HR)3 diberikan untuk pasien dengan
kriteria:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
2. Kategori 2 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
kanamisin,capreomisin,
levofloksasin,
etionamid,
mudah
lelah.
Gejala
lainnya
adalah
diare,
limfadenopati,
ii. Diagnosis
Diagnosis definitive ditegakkan jika ditemukan kuman Mycobacterium
avium atau mycobacterium intracellulare pada kultur darah atau cairan tubuh
lain yang umumnya steril. Jika tidak ditemukan pada kultur darah sementara
kecurigaan cukup besar, dapat dipertimbangkan biopsi sumsum tulang atau
hati. Diagnosis presumptive infeksi MAC diseminata jika ditemukan basil
tahan asam di feses atau jaringan, namun tidak dibuktikan dengan kultur. BTA
di feses mempunyai nilai prediktif 60% terjadinya infeksi diseminata.
iii.
Penatalaksanaan
- Terapi pilihan
Azitromisin 1 X 500 mg atau Klaritromisin 2 X 500 mgi + etambutol 15
mg/kg/ hari. Bila infeksi berat dapat ditambah obat ketiga seperti
levofloxacin 1 X 500 mg (atau Ciprofloxacin 2 X 500 mg). Keadaan
-
9. Kriptodosporiosis
i. Etiologi dan Epidemiologi
Kriptosporidiosis disebabkan oleh protozoa usus yang tergolong
coccidia, Cryptosporidium sp dengan manifestasi diare kronik berat disertai
malabsorpsi dan dehidrasi pada penderita AIDS sehingga dapat berakibat fatal.
Penderita AIDS, bisa terinfeksi parasit ini melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Parasit ini biasa ditemukan pada kotoran binatang. Parasit
tersebut akan tumbuh dan berkembang di saluran cerna (terutama usus kecil)
dan duktus asam empedu. 15
Saat ini diketahui ada 14 spesies Cryptosporidium akan tapi 6 spesies
yang paling sering menjadi penyebab kriptoporidiosis : C. parvum, C. hominis,
C. felis, C. Canis, C. Muris, C. Meleagridis. Pada manusia penyebab tersering
adalah C. parvum dan C. hominis. Hasil pemeriksaan tinja penderita AIDS
dengan diare di lab. Parasitologi FKUI, mendapatkan 11.9% menderita
kriptosporidiosis dan 72% Blastosistosis; sedangkan lainnya strongiloidiasis,
isosporiasis, siklosporiasis ataupun infeksi campur 15
ii.
Gejala klinis
Tinjanya biasanya berair tanpa darah dan lendir dengan volume
bisa mencapai 12 17 liter/hari. 16 Diare kronis, Kram perut dan
iii.
iv.
Penatalaksanaan
Pengobatan kriptosporidiosis adalah dengan paromomycin 4 x
500 mg selama 21 hari atau nitazoxanide 2 x 500 mg selama 3
hari; akan tetapi pada pasien AIDS pemberian anti parasitik
tidak selalu memberikan hasil yang lebih baik dibanding
plasebo. Untuk itu pengobatan dengan anti retro viral perlu
dilakukan untuk memperbaiki sistim imunitas pasien. 10
2.7.5
pasien yang mengalami infeksi oportunistik TB namun juga dapat timbul pada infeksi
oportunistik lain.
BAB III
KESIMPULAN
HIV menyebabkan imunosupresi pada manusia dengan cara menurunkan
jumlah dan mengganggu fungsi sel T CD4. efek ini dicapai mlalui dua cara yaitu efek
langsung dan efek tidak langsung. Tujuan umum dari terapi HIV adalah untuk
memperpanjang harapan dan kualitas hidup penderita bukan untuk menghilangkan
penyakit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan,
perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS
ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART), infeksi opportunistik, status kekebalan
tubuh, simptomatis dan suportif.
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Matondang Corry, Penyunting. Buku ajar Alergi-imunologi anak. Jakarta:
BPIDAI; 1996;274-286.
2. Djoerban Z, Samsuridjal D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam, AF, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
3. UNAIDS-WHO.
Report
on
the
global
HIV/AIDS
epidemic
2014:
Indonesia
Direktorat
Jenderal
Pengendalian
Penyakit
dan
Indonesia
Direktorat
Jenderal
Pengendalian
Penyakit
dan
http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/adult_oi.pdf.
Accessed
Tuberkulosis
20112014.
Jakarta:
Direktorat
Jenderal